• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Politik Imam Khomeini Oleh: Mujar Ibnu Syarif. Kata kunci: Syi'ah, pemikiran politik, imam Khomeini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pemikiran Politik Imam Khomeini Oleh: Mujar Ibnu Syarif. Kata kunci: Syi'ah, pemikiran politik, imam Khomeini"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Mujar Ibnu Syarif Abstrak

Pemikiran politik Imam Khomeini sangat eksklusif terhadap ahl al-bait atau

keturunan Nabi Muhammad s.a.w., kriteria faqih yang diusulkannya juga terlalu ideal sehingga sangat sulit dipenuhi. Sementara itu, konsep wilayah al-faqih yang dikembangkannya telah memberikan peran yang terlalu dominan kepada ulama dalam soal politik yang dapat berimplikasi pada munculnya gaya kepemimpinan yang absolut, sehingga kekuasaan mereka sulit dikontrol, dan tingkat partisipasi politik rakyat menjadi sangat rendah. Namun demikian, pemikiran politik Imam

Khomeini, utamanya mengenai konsep wilayat al-faqihnya, dapat dijadikan

instrumen pendukung yang sangat efektif bagi umat Islam untuk menguasai percaturan politik yang memungkinkan diterapkan.

Kata kunci: Syi'ah, pemikiran politik, imam Khomeini

A. Riwayat Hidup Imam Khomeini

Nama lengkap Imam Khomeini adalah Ayatullah al-‘Uzhma Sayyid Ruhullah al-Musavi al-Khomeini. Ia dilahirkan di kota Khumayn, dekat Isfahan, sekitar 300 kilometer Selatan Teheran pada 24 September 1902 M (20 Jumadi al-Tsani tahun 1320 H).1 Nama Khomeini berasal dari kata Khumayn. Di Iran memang ada semacam tradisi menggunakan nama kota atau daerah tertentu sebagai nama orang, biasanya dengan menambahkan akhiran “i”. Contoh lain, Rafsanjan menjadi Rafsanjani, Montazer menjadi Montazeri, dan lain-lain.

Gelar Ayatullah yang berarti ulama yang agung, diperolehnya karena jasanya memimpin rakyat banyak ke arah kebenaran yang dilandasi oleh ajaran-ajaran agama Islam,2 sedangkan gelar sayyid menunjukkan adanya garis keturunan dari Nabi Muhammad s.a.w. Ia menurut Baqer Moin, memang keturunan Nabi Muhammad s.a.w. melalui jalur imam ketujuh

Dosen mata kuliah Fiqh Siyasah dan Pembantu Dekan Bidang Akademik

Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1 Dalam akte kelahiran Khomeini tercantum keterangan bahwa ia dilahirkan pada

tahun 1900. Akan tetapi, menurut Ayatullah Pasandindeh, kakak tertua Khomeini, data yang benar adalah tahun 1902. Lihat Ayatullah Pasandindeh, “The Life of the Leader of Revolution”, dalam Iran Times, 17 Maret-19 Mei 1989, bandingkan dengan Sayyaid Najafiyan, “Imam Khumayni: Life and Works”, dalam al-Tawhid, Mei-Juli 1990, p. 117.

2Jajak MD (ed.), Ayatullah Khomeini Dalam Kontroversi, (Jakarta: Metro Pos, 1989), p.

(2)

Syi’ah, Musa al-Kazhim.3 Ia berasal dari keluarga yang sangat religius. Baik ayahnya, Ayatullah Sayyid Musthafa al-Musavi, kakaknya, Sayyid Ahmad Hindi, kakek ayahnya, Sayyid Ali Din Syah, maupun kakek dari ibunya (Hajar Agha Khanom), Ayatullah Aqa Mirza Ahmad, memang dikenal sebagai tokoh-tokoh agama yang disegani pada masanya masing-masing.

Pada tahun 1903, ayah Imam Khomeini meninggal dunia pada usia 42 tahun karena dibunuh oleh dua orang, yakni Ja’far Quli Khan dan Ridha Quli Sulthan, yang merupakan agen-agen Dinasti Qazar yang berkuasa dari tahun 1796 sampai dengan tahun 1926. Waktu itu ayah Khomeini sedang dalam perjalanan menuju ibukota provinsi Arak untuk menemui Gubernur Adhuh Sulthan, guna melaporkan situasi yang tidak aman di kota Khumayn. Pada umumnya, surat kabar-surat kabar waktu itu menuduh bahwa Syah sebenarnya berada di belakang pembunuhan itu. Jenasah Sayyid Musthafa segera dibawa ke Nazar. Para ulama di Teheran, Arak, Isfahan, Golpaygan, dan Khumayn, mengadakan upacara untuk mengenang kematian Sayyid Musthafa.

Demi menuntut keadilan, janda Sayyid Musthafa, ibunda Khomeini, pergi ke Teheran, dan setelah melakukan lobby selama tiga tahun, berkat bantuan ketua Mahkamah Agung setempat, ia berhasil memaksa Syah untuk mengeksekusi salah seorang pelaku pembunuhan atas suaminya, yakni Ja’far Quli Khan, sedangkan salah seorang pembunuh yang lain, yakni Ridha Quli Sulthan, telah tewas sebelum dieksekusi. Setelah itu, barulah ibu Khomeini kembali ke Teheran.

Sepeninggal sang ayah, Khomeini berada di bawah asuhan ibunya, Hajar Agha Khanom, dan bibinya Sahiba Khanom. Ketika Khomeini berusia 15 tahun ibunya meninggal dunia. Pada tahun 1929, Khomeini menikah dengan Batul, putri Hujjatul Islam Saqafi, dan dikaruniai dua orang putra dan tiga orang putri.

Khomeini memperoleh pendidikan dasarnya di tanah kelahirannya. Saat itu, ia belajar kaligrafi dan bahasa Arab di maktab (sekolah) setempat. Kemudian pada tahun 1920 ia pindah ke kota Arak untuk belajar teologi pada Syaikh Abd al-Karim Haeri, yang kala itu menjadi marja’ taqlid (ulama terkemuka yang menjadi rujukan umat dalam berbagai hal). Khomeini tidak begitu lama tinggal di Arak, sebab setahun kemudian, gurunya Syaikh Abd al-Karim Haeri dengan diikuti oleh seluruh muridnya, pindah ke kota Qom. Pada dekade berikutnya kota Qom menjadi pusat ilmu agama dan politik terbesar. Sebabnya, antara lain, karena kehadiran Syaikh Abd al-Karim Haeri di kota itu.

(3)

Sejak muda, Khomeini sudah sangat tertarik dengan masalah-masalah Islam, di samping berbagai ilmu pengetahuan yang lain, termasuk ilmu politik. Akan tetapi, yang paling banyak ditekuninya adalah al-Qur’an, tasawuf, dan filsafat. Setelah dewasa, di kota Qom ia mendirikan madrasah, sekaligus menjadi guru untuk pelajaran etika Islam. Di kota yang disebut terakhir ini ia dengan gigih mengajak anak-anak untuk belajar agama dan lain-lainnya, sehingga madrasahnya berkembang terus. Lama-kelamaan madrasahnya tidak hanya menjadi pusat studi Islam, tapi juga menjadi pusat pendidikan politik.

Hal inilah yang kemudian menjadi menarik, bukan saja bagi rakyat Iran, tapi juga bagi Syah Iran. Kemudian ketika rakyat Iran kecewa menyaksikan korupsi dan tingkat perbedaan miskin-kaya semakin nyata akibat pendistribusian kekayaan negara yang tidak merata, Khomeini tampil dengan kampanye-kampanye yang menanamkan pengaruh Islam dan membakar semangat rakyat untuk menggulingkan kekuasaan Syah yang diktator.

Kiprahnya di dunia politik, secara tidak resmi sudah dimulainya pada tahun 1943, tepatnya ketika ia menerbitkan sebuah buku yang berjudul Kasf al-Asrar. Dalam buku ini, ia mengecam pemerintahan Syah, dengan menegaskan bahwa sebuah monarki seharusnya dibatasi oleh aturan-aturan dalam syari’at sebagaimana ditafsirkan para mujtahid, dan mengisyaratkan keutamaan suatu pemerintahan oleh para mujtahid. Buku tersebut di atas, menurut Najibullah Lafraie, merupakan statemen politik pertama yang dilontarkan oleh Imam Khomeini.4

Setelah guru Khomeini Ayatullah Haeri wafat, posisinya sebagai

marja’ taqlid digantikan oleh Ayatullah Husain Burujirdi. Selama periode

kepemimpinan Burujirdi, Khomeini belum tampil secara langsung dalam kegiatan politik praktis, sebab Burujirdi sama dengan pendahulunya, Haeri, juga tidak suka pada politik. Khomeini memiliki hubungan yang begitu dekat dengan Burujirdi, utamanya setelah adik Khomeini menikah dengan salah seorang anggota keluarga Burujirdi. Lebih dari itu, Khomeini bahkan kemudian menjadi asisten mengajar sekaligus juga sebagai sekretaris pribadi Burujirdi.5 Menurut Pasandindeh, Burujirdi banyak memberikan saran berkenaan dengan hal-hal penting kepada Khomeini, termasuk dalam masalah politik. Lebih dari itu, Khomeini bahkan juga mengikuti saran Burujirdi untuk menjauhi politik. Karena itu, semasa hidup Burujirdi, Khomeini hanya berkonsentrasi dalam mengajar.

4Lafraie, "Ideology of Revolution: A Normatif Study of The Islamic Revolution in

Iran", Disertasi doktor Ilmu Politik, (University of Hawaii, 1986), p. 158.

5Ervand Abrahamian, Khomeinism, (New York: I.B. Tauris and Co.Ltd. Publisher,

(4)

Berdasarkan suatu keterangan, menurut Ervand Abrahamian, Khomeini sebenarnya memiliki perbedaan visi mengenai masalah politik dengan Burujirdi. Akan tetapi, hal itu dipendamnya saja dalam hatinya demi menjaga persatuan Islam (Islamic unity).

Sesungguhnya, sebagaimana disinggung di muka, pada tahun 1943 Khomeini sudah mulai memasuki dunia politik dengan menerbitkan buku yang berjudul Kasf al-Asrar. Akan tetapi, ia baru benar-benar terjun secara langsung ke gelanggang politik setelah Burujirdi wafat, yakni pada tanggal 19 Maret 1962. Meninggalnya Burujirdi tentu saja menciptakan kevacuman kepemimpinan di dalam hirarki umat Syi’ah. Untuk mengisi kevakuman kepemimpinan tersebut, sejumlah ulama penting, semisal Muhammad Hadi Milani di Mashad, Syari’at Madari di Tabriz, Muhsin Hakim dan Golpayagni di Najaf (Irak), dan Ruhullah Khomeini di Qom berkompetisi guna menggantikan posisi Burujirdi sebagai marja’ taqlid.

Syah mencoba mengintervensi proses seleksi tersebut. Ia berharap agar pusat Syi’ah dipindahkan dari Qom ke Najaf, dan agar seorang Ayatullah non-Iran yang kurang dikenal, dengan sendirinya juga kurang mempunyai perhatian terhadap politik dalam negeri Iran, yang duduk sebagai pemimpin tertinggi kaum Syi’ah. Pilihan Syah pada waktu itu jatuh pada Ayatullah Muhsin Hakim di Najaf. Akan tetapi, keinginan Syah itu tidak berhasil diwujudkan karena justeru Ayatullah Khomeini yang kemudian terpilih sebagai marja’ al-taqlid. Dengan demikian, Qom masih menjadi pusat Syi’ah. Celakanya lagi, dalam perkembangan selanjutnya, para ulama senior yang nama-namanya disebutkan di atas justeru memilih bersatu untuk sama-sama melawan Syah.

Isu-isu land reform, pengakuan terhadap Israel, dan revolusi putih (yang antara lain, berisi pemberian jaminan emansipasi bagi kaum wanita) yang digulirkan Syah kemudian ternyata memantik semangat kaum ulama untuk bersama-sama melakukan perlawanan terhadap rezim Syah. Pada bulan Juli 1962, 150 tokoh ulama terkemuka mengadakan pertemuan di Universitas al-Azhar, Cairo-Mesir, dan mengeluarkan fatwa yang berisi seruan agar kaum Muslim sedunia segera memulai jihad terhadap Syah karena kebijakan politiknya yang pro Israel. Di dalam negeri Iran sendiri, gerakan anti Syah semakin intensif dilakukan setelah Perdana Menteri Ali Amini mengumumkan program land reform-nya pada tahun 1962, dan diajukannya sebuah Rancangan Undang-undang (RUU) tentang pemilihan dewan lokal pada November 1962. Pada masa inilah, untuk pertama kalinya Ayatullah Khomeini tampil sebagai tokoh politik nasional terdepan yang menentang Syah.

Di samping isu RUU tentang pemilihan dewan lokal, gerakan oposisi yang dilakukan Ayatullah Khomeini terhadap Syah pada tahun

(5)

1963 juga berkaitan dengan isu-isu referendum nasional, serta sebuah RUU yang memberikan hak istimewa bagi penasehat dan personil militer Amerika di Iran. Pada Januari 1963, di Madrasah Faiziyeh, Qom, Ayatullah Khomeini memberikan khutbah yang mengecam pedas kebijakan politik Syah. Perlawanan Ayatullah Khomeini semakin intensif ketika Syah yang mengharapkan legitimasi bagi white revolution (revolusi putih)-nya, menyerukan suatu referendum nasional. Ayatullah Khomeini menyerukan kepada rakyat Iran untuk memboikot referendum tersebut dan menganjurkan agar selama bulan Ramadhan, para ulama melancarkan pemogokan dengan cara tidak datang ke masjid-masjid.

Dua orang Ayatullah besar lainnya di Qom, yakni Ayatullah Golpayagni dan Syari’atmadari, mendukung seruan Ayatullah Khomeini untuk memboikot referendum, kendatipun mereka kurang mendukung gagasan pemogokan para ulama. Munculnya Ayatullah Khomeini di pentas politik nasional yang begitu vokal mengeritik pemerintah, praktis dipandang oleh Syah sebagai bahaya besar yang dapat mengancam diri dan kekuasaannya. Karena sikapnya yang seperti itu, pada tanggal 25 Januari 1963, untuk pertama kalinya, Ayatullah Khomeini ditahan. Namun, penahanan itu sama sekali tidak membuatnya jera dalam mengecam penguasa.

Tidak lama kemudian Ayatullah Khomeini dibebaskan. Setelah dibebaskan dari penjara, Ayatullah Khomeini kembali melancarkan kritikan tajam terhadap rezim dan kebijakan politik Syah. Ayatullah Khomeini mengecam dominasi AS di Iran dan menganggapnya sebagai musuh Islam karena mendukung Israel. Pada tanggal 3 Juni 1963, Ayatullah Khomeini mendeklarasikan perang terhadap Syah. Keesokan harinya, sewaktu berlangsung peringatan ulang tahun syahidnya imam Husein, rezim Syah kembali menangkap Ayatullah Khomeini dengan tuduhan tanpa bukti, Ayatullah Khomeini menjalin kontak langsung dengan Gamal Abd al-Naser, presiden Mesir waktu itu, yang juga merupakan salah satu musuh Syah. Ketika berita ditangkapnya Ayatullah Khomeini sampai ke Teheran, prosesi peringatan ulang tahun syahidnya Imam Husein berubah menjadi suatu demonstrasi besar-besaran. Klimaksnya adalah terjadinya gerakan 5 juli 1963 di Teheran di mana kaum demonstran dalam jumlah yang sangat besar turun di jalan-jalan sambil membawa gambar-gambar Ayatullah Khomeini serta meneriakkan slogan-slogan anti Syah. Sejumlah demonstran mengenakan kain kafan sebagai pertanda kesiapan mereka untuk mati syahid. Selama terjadinya gerakan 5 Juli, Ayatullah Khomeini dinobatkan oleh para demonstran sebagai pemimpin spiritual mereka.

(6)

Pada bulan Agustus 1963, Ayatullah Khomeini dibebaskan. Akan tetapi, pada tanggal 5 November 1963, Ayatullah Khomeini kembali ditahan lantaran menyerukan kepada para pengikutnya untuk memboikot pemilu anggota parlemen yang dijadwalkan berlangsung pada bulan Oktober 1963. Enam pekan setelah ditahan, berkat keberhasilan kampanye pembebasan Ayatullah Khomeini yang dilancarkan sejumlah ulama, semisal Syari’atmadari, Najafi Mar’ashi, dan Montazeri, Ayatullah Khomeini dibebaskan dari penjara. Namun, ia tidak diperbolehkan kembali ke Qom, dan tetap berada dalam status tahanan rumah di Teheran hingga bulan Mei 1964.

Akibat pemboikotan yang diserukan Ayatullah Khomeini, pemilu 5 November 1963 hanya diikuti oleh mereka yang loyal pada Syah dan dimenangkan oleh kelompok progresif tengah yang dipimpin Hasan Ali Mansur. Hasan Ali Mansur yang kemudian diangkat sebagai Perdana Menteri, tidak mau meneruskan kebijakan pendahulunya, Perdana menteri Alam yang berkonfrontasi dengan kaum ulama. Guna memperbaiki hubungannya dengan kaum ulama, Hasan Ali Mansur mengizinkan Ayatullah Khomeini untuk kembali ke Qom. Pada waktu kembali ke Qom Ayatullah Khomeini muncul sebagai pemimpin agama yang paling populer di Iran.

Pada November 1964, untuk yang terakhir kalinya, Ayatullah Khomeini ditahan dan diasingkan ke Bursah, sebuah kota kecil di Turki. Ayatullah Khomeini diusir secara paksa dari negaranya, setelah dengan keras menentang RUU yang akan memberikan hak-hak istimewa bagi warga Amerika di Iran. RUU itu, menurut Ayatullah Khomeini yang merupakan ulama yang paling keras dan paling terus terang dalam menentang rezim Syah Reza Pahlevi, membuat anjing Amerika lebih berharga ketimbang bangsa Iran. Rezim Syah, menurut Ayatullah Khomeini, menempatkan bangsa Iran lebih rendah daripada anjing Amerika. Apabila seseorang memukul anjing Amerika, ia akan segera diusut. Akan tetapi, bila koki Amerika memukul Syah Iran atau tokoh yang sangat penting di Iran, maka tidak ada orang yang berhak melakukan protes.

Konon sebelum Ayatullah Khomeini diusir secara paksa, seorang utusan Syah mengiming-imingi akan memberikan hadiah sebesar 50 juta dollar AS kepada Ayatullah Khomeini jika ia bersedia meninggalkan Iran secara baik-baik dan menghentikan perlawanannya terhadap rezim Syah. Akan tetapi, Ayatullah Khomeini malah menjawab, saya akan berikan 100 juta dollar AS kepada Syah bila ia pergi dari Iran sekarang juga.

Selama berada di pengasingan, Ayatullah Khomeini tidak pernah berhenti melancarkan kritik tajamnya terhadap gaya pemerintahan rezim

(7)

Syah. Selain itu, ia juga tetap melakukan kontak dengan negaranya melalui pemantauannya secara intensif terhadap siaran radio, yang kemudian didiskusikannya dengan putranya, Musthafa. Sementara dengan para mullah di Iran, ia juga tetap melakukan komunikasi dalam bentuk korespondensi secara reguler. Ayatullah Mutahhari dan Montazeri di Qom, serta Ayatullah Muhammad Ali Qazi Thabathaba’i di Tibriz, termasuk di antara yang sering menerima surat dari Ayatullah Khomeini.

Di samping itu, Ayatullah Khomeini juga sering menulis surat terbuka yang ditujukannya kepada penguasa Iran. Surat semacam itu biasanya oleh Musthafa dibuatkan ratusan kopinya dan dikirimkan kepada sejumlah Ayatullah serta para redaktur surat kabar di Iran. Pada tahun 1978, Ayatullah Khomeini diusir dari temapat pengasingannya, Najaf. Semula Ayatullah Khomeini bermaksud tinggal di salah satu negara Arab. Tetapi rupanya, Syah sudah mengontak kawan-kawannya sesama penguasa Arab supaya tidak memberikan visa kepada Ayatullah Khomeini, dengan harapan jika tidak tinggal di salah satu negara Arab, maka suara Ayatullah Khomeini tidak bakal didengar lagi oleh para pengikutnya di Iran. Syah lagi-lagi salah perhitungan. Dengan membiarkan Ayatullah Khomeini tinggal di salah satu negara Eropa, yakni Perancis, bukan saja membuat jaringan komunikasi Ayatullah Khomeini dengan para pengikutnya semakin efektif, tetapi popularitasnya pun semakin melejit akibat mendapat liputan luas media massa Barat. Utamanya jaringan BBC London, yang tidak henti-hentinya mengadakan wawancara dengan sang Imam dan menyebarluaskan agitasi politiknya.

Karena itu, tidak mengherankan bila salah seorang Iranolog, Jerrold D. Green, sampai pada kesimpulan bahwa media massa Barat sebenarnya ikut memberikan sumbangan yang berarti bagi keberhasilan Revolusi Iran. Pendapat Jerrold D. Green ini bisa saja salah, tetapi yang jelas, akses informasi dan komunikasi Ayatullah Khomeini selama kurang dari empat bulan berada di Paris berhasil melampaui akses informasi dan komunikasinya di Najaf di mana Ayatullah Khomeini tinggal lebih dari sepuluh tahun lamanya di kota itu. Sepanjang tahun 1978 saja menurut kepala unit anti subversi SAVAK, Parviz Sabeti, jumlah kaset yang berisi pidato dan seruan Ayatullah Khomeini yang masuk ke Iran lebih dari seratus ribu keping.6

Pada akhir bulan Ramadhan, tepatnya tanggal 4 September 1978, sekitar lima ratus ribu demonstran menuntut kembalinya Ayatullah Khomeini ke Iran. Selanjutnya pada tanggal 7 September 1978 jumlah

6Amir Taheri, The Spirit of Allah: Khomeini and The Islamic Revolution, (London:

(8)

demonstran yang memadati ibu kota Teheran bertambah dua kali lipat menjadi seratus ribu orang. Esok harinya, pemerintah memberlakukan keadaan darurat perang selam 6 bulan di Teheran dan sebelas kota lainnya. Di saat diberlakukannya keadaan darurat perang, di Jaleh (sebelah Timur Teheran) tentara menembaki kerumunan lima ribu pemuda yang sedikitnya mengakibatkan tewasnya sembilan puluh tujuh orang. Peristiwa tersebut kemudian dikenal sebagai peristiwa “Jum’at hitam” yang menjadi salah satu pemicu berkobarnya revolusi Islam Iran tahun 1979.

Revolusi Iran ditandai dengan terjadinya kerusuhan politik, demonstrasi-demonstrasi, dan pemogokkan di sana-sini yang dimaksudkan untuk melumpuhkan pemerintah yang sedang berkuasa. Malam hari tanggal 2 November 1978 terjadi lagi demonstrasi besar-besaran. Kali ini ribuan massa menyerbu kota Teheran. Bentrokan antara massa demonstran dengan satuan-satuan polisi dan tentara anti huru-hara pun tak bisa dielakkan lagi. Dalam bentrokkan tersebut tak kurang dari seribu orang tewas menjadi korban.

Di tengah situasi yang sangat gawat itu, Dr. Karim Sanjabi yang baru saja pulang dari Paris untuk menemui Ayatullah Khomeini ditangkap tentara penguasa karena dianggap telah menghasut rakyat. Karena gelombang kerusuhan dan demonstrasi terus meningkat tanpa dapat dibendung lagi, Perdana menteri Sharif Emani yang baru dua bulan menjabat terlihat putus asa lantaran gagal menggalang persatuan nasional guna mengakhiri kerusuhan politik di Iran. Teheran terus memanas dan Universitas Teheran pun berubah menjadi markas besarnya kaum demonstran. Bus-bus, dan berbagai jenis mobil, serta kendaraan lainnya mulai dibakari di jalan-jalan. Kemarahan rakyat sepertinya sudah tidak dapat dibendung lagi. Para aparatur pemerintah berikut pasukan anti huru-hara terus berusaha memblokade tempat-tempat strategis yang dianggap rawan amukan massa demonstran.

Tanggal 5 November 1978 demonstrasi yang berlangsung menjadi kian brutal. Kaum demonstran membakari toko-toko, dan tempat-tempat lain yang lolos dari penjagaan tentara dan polisi. Bahkan kantor Departemen Penerangan pun turut pula dibakar dan habis jadi abu dalam waktu singkat. Teheran jadi seperti lautan api. Massa yang luar biasa banyaknya itu terus mengamuk bagaikan naga raksasa yang menggeliat-geliat di tengah kota. Pasukan penjaga keamanan segera menembakkan senjatanya ke udara. Namun, massa demonstran bukannya menjadi takut, tapi malah semakin bertambah berani dan mengamuk semakin brutal. Akhirnya, tentara pemerintah pun menyerah lantaran tidak kuasa lagi membendung amukan massa yang terus saja bertambah jumlahnya.

(9)

Dalam situasi demikian, Syah Reza Pahlevi mulai mengimbau semua rakyat, baik tokoh agama, mahasiswa, dan lapisan masyarakat lainnya, supaya segera menghentikan tindakan kekerasannya demi memulihkan ketertiban yang selama ini sedemikian kacau. Dua hari kemudian, dari pengasingannya, Ayatullah Khomeini sebaliknya malah memberikan anjuran kepada rakyat Iran agar terus melakukan perlawanan guna menumbangkan pemerintah yang sedang berkuasa.

Awal Januari 1979 Syah dan keluarganya yang sudah semakin bertambah gerah akibat terus terjadinya demonstrasi dan pemogokkan pekerja, termasuk buruh minyak di Abadan, pusat penyulingan minyak terbesar di dunia, berangkat ke luar negeri, yakni ke Aswan, Mesir. Rakyat Iran menyambut gembira kepergian Syah, sang raja lalim yang sangat mereka benci. Selama Syah berada di luar negeri, pemerintahan dalam negeri dipegang oleh Dr. Shapur Bakhtiar. Keluarnya Syah dari Iran oleh Ayatullah Khomeini masih dianggap belum cukup. Ayatullah Khomeini menegaskan bahwa ia tidak akan mengubah sikapnya kepada pemerintahan Bakhtiar kendatipun Syah telah pergi. Karena itu, Ayatullah Khomeini kembali menyerukan pesan revolusinya dari Paris agar para pengikutnya terus melakukan pemogokkan dan aksi-aksi lainnya guna melumpuhkan pemerintah. Target utamanya adalah industri-industri minyak yang merupakan tulang punggung devisa negara. Selain itu, ia juga tak lupa memberikan ucapan selamat kepada rakyat Iran yang telah berhasil mengusir Syah.

Tanggal 9 Januari 1979, Syah membentuk suatu Dewan Perwalian untuk mengendalikan negara selama ia berada di luar negeri. Dengan demikian, Shapur Bakhtiar mendapat kesempatan untuk menenangkan kerusuhan-kerusuhan dan demonstrasi-demonstrasi yang selama ini terus berlangsung. Seminggu kemudian, demonstrasi dan kerusuhan kembali terjadi. Setelah terbentuknya Dewan Perwalian yang terdiri atas 9 orang yang diketuai oleh Sayyid Jalal al-Din al-Tehrani, Shapur Bakhtiar yang membawahi Dewan Perwalian tersebut, merasa yakin pemerintahannya tidak akan terguling. Pada tanggal 14 Januari 1979, atas perintah Imam Khomeini, berhasil dibentuk Dewan Revolusi Iran. Pada tanggal yang sama, dari Paris, Ayatullah Khomeini menyatakan bahwa pemerintahan Shapur segera akan tumbang setelah ia kembali ke Iran. Sebelum hal itu terjadi, ia mendesak agar para pejabat dan anggota parlemen segera mengundurkan diri dan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya kepada rakyat.

Kemudian dari Paris Ayatullah Khomeini menyiapkan pemerintahan sementara guna menyusun konstituante yang baru dan menganjurkan agar pemerintahan Shapur Bakhtiar segera menyingkir serta

(10)

mengancam negara-negara asing yang mencoba-coba melakukan intervensi untuk menghalang-halangi pembentukan negara baru yang digagasnya itu. Kepada kaum revolusioner Ayatullah Khomeini berpesan agar menjaga ketertiban umum guna menarik simpati pihak militer yang oleh Ayatullah Khomeini, diminta untuk bergabung dengan para penentang Syah. Pada tanggal 22 Januari 1979, Sayyid Tehrani menemui Ayatullah Khomeini di Paris guna menyampaikan keinginannya untuk segera meletakkan jabatannya sebagai ketua Dewan Perwalian Raja (regency

council) sekaligus menyatakan di hadapan Ayatullah Khomeini bahwa

dewan tersebut ilegal.

Pada tanggal 24 Januari 1979, Bakhtiar mengajukan tawaran agar Ayatullah Khomeini menunda kepulangannya ke Iran selama tiga pekan supaya pemerintahannya dapat melunakkan pihak militer untuk mendukung diadakannya pemilihan suatu majelis yang akan memutuskan apakah Iran akan tetap menjadi monarki ataukah republik Islam. Bakhtiar juga mengusulkan penggabungan dewan Perwalian Raja dengan Dewan Revolusi yang dibentuk Ayatullah Khomeini, atau pembagian kekuasaan di antara keduanya. Keesokan harinya, Ayatullah Khomeini setuju untuk menunda kepulangannya ke Iran. Pada hari di mana Ayatullah Khomeini dijadwalkan akan tiba, pihak militer menutup seluruh bandara di Teheran dan kota-kota besar lainnya.

Desas-desus bahwa Ayatullah Khomeini telah setuju mengadakan pembicaraan dengan Bakhtiar di Paris dengan tegas dibantah Ayatullah Khomeini, tepatnya ketika pada tanggal 29 Januari 1979 ia mengulang penegasannya bahwa pemerintahan yang ada sekarang tidak sah dan karena itu, ia tidak akan menemui Bakhtiar hingga sang perdana menteri ini meletakkan jabatannya. Bakhtiar menganggap tuntutan Ayatullah Khomeini supaya dirinya melepaskan jabatannya sebagai perdana menteri tidak dapat diterima. Kendatipun demikian, ia mengumumkan bahwa Ayatullah Khomeini bebas untuk kembali ke Iran.

Tanggal 28 Januari merupakan hari kepastian bagi Ayatullah Khomeini untuk kembali ke Iran. Akan tetapi, tentara Iran yang masih loyal kepada Syah dan pemerintahan Shapur menolak kedatangan Ayatullah Khomeini dan menyatakan bandar udara Teheran akan ditutup selama tiga hari. Rombongan Ayatullah Khomeini yang rencananya akan terdiri atas dua ratus personil tidak mempedulikan sikap penolakan pihak militer Iran atas kepulangan Ayatullah Khomeini ke Iran.

Akibat ditutupnya bandar udara Teheran, kembali meletus aksi-aksi demonstrasi yang sedikitnya menewaskan tiga puluh orang dan puluhan orang lainnya menderita luka-luka. Kerusuhan dan bentrokan terparah antara kaum demonstran dan aparat keamanan terjadi di dekat Universitas

(11)

Teheran. Rencana kepulangan Ayatullah Khomeini terpaksa ditunda selama dua hari karena lapangan terbang Teheran tetap diblokade dengan tank-tank tentara pemerintah. Namun demikian, pemerintah Iran terlihat mulai merasa bimbang, sebab para demonstran mengancam akan mengejar dan membunuh Shapur Bakhtiar, bila lapangan terbang tidak segera dibuka.

Sungguhpun demikian, kepulangan Ayatullah Khomeini tetap tertunda, sebab pesawat yang membawa Ayatullah Khomeini tidak mungkin mendarat di Iran, kendati dipaksakan sekalipun. Bentrokan-bentrokan antara kaum demonstran dengan aparat keamanan menjadi semakin keras. Utamanya setelah beberapa orang demonstran ternyata telah membekali diri dengan senjata api. Bila pemberontakan dan demonstrasi yang kerap kali terjadi tidak segera diselesaikan, tentu akan segera berkobar perang saudara di Iran. Akhirnya, setelah berada di pengasingan selama lima belas tahun, dan setelah dua kali mengalami penundaan, pada tanggal 1 Februari 1979, Ayatullah Khomeini kembali ke negaranya untuk memimpin langsung jalannya revolusi Islam Iran dengan tujuan untuk meruntuhkan monarki dan mendirikan Republik Islam.7

Lima hari setelah berada di Iran, Ayatullah Khomeini membentuk pemerintahan sementara Republik Islam Iran dan menunjuk Dr. Mehdi Bazargan, mantan pemimpin Front Nasional, sebagai perdana menterinya. Ayatullah Khomeini memperingatkan, siapa pun yang bertindak melawan pemerintahan sementara ini akan dianggap melawan Islam dan akan dihukum berat.

Sejak saat itu, Iran berada di persimpangan jalan antara bentuk kerajaan dan Republik Islam Iran. Setelah para pendukung Republik Islam berhasil menumbangkan kekuasaan Shapur Bakhtiar, perdana menteri terakhir yang ditunjuk Syah, pada 9 Februari 1979, berakhirlah kehidupan monarki Iran di bawah rezim Syah Reza Pahlevi. Kekuasaan pun beralih dari Syah Reza Pahlevi ke tangan Ayatullah Khomeini. Meskipun pemerintahan sementara telah terbentuk pada tanggal 5 Februari 1979, namun baru tanggal 11 Februari 1979 Ayatullah Khomeini menetapkannya sebagai hari kemenangan Republik Islam Iran dan sekaligus hari lahirnya Republik Islam Iran.

Peralihan kekuasaan dari Syah Reza Pahlevi ke tangan Ayatullah Khomeini tidak hanya mengakibatkan terjadinya perubahan sistem pemerintahan, tapi juga perubahan-perubahan di berbagai bidang lainnya. Struktur politik Iran mengalami perubahan secara besar-besaran. Sistem

7 Jajak MD (ed.), Ayatullah, pp. 27-37, lihat pula Riza Sihbudi, Biografi Politik Imam Khomeini, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), pp. 61-77.

(12)

pemerintahan berubah dari monarki absolut di mana Syah berkuasa secara mutlak, menjadi sebuah republik yang berdasarkan pada ajaran Islam mazhab Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah atau Syi’ah Imam Dua Belas.

Bentuk Republik Islam secara resmi disetujui mayoritas (98,2 persen) rakyat Iran melalui referendum yang diadakan pada tanggal 1 April 1979, sedangkan Undang-undang Dasar Republik Islam Iran disetujui mayoritas (99,5 persen) rakyat Iran melalui Referendum yang diselenggarakan pada tanggal 3 Desember 1979. Sepuluh tahun setelah revolusi Islam dimulai dan setelah delapan tahun lamanya Iran berperang dengan Irak, akhirnya wafatlah Ayatullah Ruhullah Khomeini, sang Imam, sang pemimpin revolusi Islam Iran itu, pada tanggal 4 Juni 1989, setelah beberapa hari sebelumnya melakukan operasi atas dirinya yang menderita pendarahan di lambungnya.

B. Pemikiran Politik Imam Khomeini

Mengenai hubungan Islam dengan politik, Ayatullah Khomeini berkeyakinan bahwa Islam itu bersifat politis, kalau tidak, maka agama hanyalah omong kosong belaka. Nabi bahkan, tegas Khomeini, adalah juga seorang politikus (siyasiyyi).8 Menurut Khomeini, al-Qur’an memuat

seratus kali lebih banyak, ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial dari pada soal-soal ibadah. Dari lima puluh butir hadits, barangkali hanya ada tiga atau empat buah hadits saja yang membahas soal sembahyang atau kewajiban manusia terhadap Tuhan, sebagian kecil mengenai moralitas dan selebihnya selalu ada sangkut-pautnya dengan masyarakat, ekonomi, hukum, politik, dan negara. Karena itu, jangan sekali-kali mengatakan bahwa Islam hanya mengatur masalah yang menyangkut hubungan antara Tuhan dan makhluk-Nya.9

Pemisahan agama dan politik serta adanya tuntutan bahwa ulama tidak boleh ikut campur dalam masalah-masalah sosial politik, menurut Ayatullah Khomeini, merupakan sebagian dari propaganda imperialisme dan kolonialisme yang sengaja dijejalkan ke dalam otak kaum Muslim. Dengan begitu, diharapkan kaum Muslim tidak mau berjuang meraih kemerdekaan dan kebebasan.10 Kolonialisme ingin mencegah kaum

8 Ruhullah al-Khomeini, al-Hukumah al-Islamiyyah, (Aman: Dar ‘Ammar, 1980), p.

20.

9 Edward Mortimer, Islam dan Kekuasaan, (Bandung: Mizan, 1984), p. 309.

10 Shireen Hunter, “Islam in Power”, dalam The Politics of Islamic Revivalism, editor:

S. Hunter, (Bloomington: Indiana University Press, 1988), p. 278, lihat pula Michael Curtis (ed.), Religion and Politics in the Middle East, (Colorado: Westview Press, 1988), p. 150.

(13)

Muslim dari industrialisasi dan ingin meneruskan ketergantungan kaum Muslimin pada industri mereka.

Khomeini mengecam para ulama yang enggan melibatkan diri dalam masalah-masalah sosial politik. Mereka ini, oleh Ayatullah Khomeini, dinilai sebagai orang-orang yang menolak kewajiban dan misi yang didelegasikan pada mereka oleh para imam. Namun, yang lebih buruk, menurut Ayatullah Khomeini, adalah “para ulama istana” (ulama of the

court/akhund-ha-yi-darbari), yaitu mereka yang berdampingan dengan Syah

dan menerima jabatan di bawah rezim Syah. Para ulama seperti itu adalah musuh Islam.11

Ayatullah Khomeini mensinyalir, banyak ulama telah terbiasa berpikir bahwa Islam terlepas dari poltik dan bahwa seorang Muslim tidak boleh turut campur dalam masalah politik. Mereka, menurut Ayatullah Khomeini, telah memenjarakan diri dalam kerangkeng soal-soal agama.12

Ada dua buah buku utama yang dapat dirujuk berkenaan dengan pemikiran politik Imam Khomeini ini, yaitu “Kasyf al-Asrar (menyingkap rahasia) yang dipublikasikan untuk pertama kalinya pada tahun 1941, dan buku monumentalnya yang kedua setelah Kasyf al-Asrar adalah Hukumat-i

Islami atau al-Hukumah al Islamiyyah, yang terbit pada tahun 1969.

Jika kedua karyanya yang disebut terakhir diperbandingkan maka ada semacam evolusi dalam pemikran poltiknya. Dalam Kasyf al-Asrar, ia menganggap ulama cukup berperan sebagai “pengawas” lembaga-lembaga politik. Tapi dalam al-Hukumah al-Islamiyyah, ia secara tegas menyatakan bahwa para fuqaha atau alim ulama mempunyai hak dan kewajiban sebagai “penguasa” dalam negara Islam. Dalam sejarah Islam, empat Khalifah utama mengepalai lembaga eksekutif. Sebagai eksekutif, katanya, para khalifah dipilih untuk melaksanakan hukum yang sudah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.

Dalam al-Hukumah al-Islamiyyah, Ayatullah Khomeini juga sudah lebih mengelaborasikan tentang apa dan bagaimana seharusnya sebuah pemerintahan Islam. Pemerintahan Islam adalah sebuah pemerintahan yang tunduk pada hukum Islam yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya (al-Qur’an dan Hadits), bukan hukum yang dibuat rakyat atau para wakil mereka.13 Sebuah sistem pemerintahan yang mengamalkan hukum Tuhan,

yang mendapat pengawasan dari para ahli hukum Islam (faqih), akan mengungguli semua sistem pemerintahan yang tidak adil di dunia ini.

11 Moojan Momen, An Introduction to Shi’i Islam: The History and Doctrine of Twelver Shi’ism, (New Haven: tp., 1985), p. 196.

12 Imam Khomeini, Pesan Kepada Kaum Muslimin Sedunia, (Jakarta: tp., 1983), p. 8. 13 Mehdi Mozaffari, Authority in Islam: From Muhammad to Khomeini, (London: M.E.

(14)

Islam dan pemerintahan Islam adalah fenomena Illahi, yang penerapannya menjamin kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat kelak.14

Karena itu, mendirikan negara Islam, merupakan sesuatu yang mungkin dan penting, dan sejak sekarang sampai akhir masa nanti sangatlah diperlukan seorang imam yang dapat melaksanakan hukum-hukum Islam. Sebab suatu tatanan soail politik akan hancur bila telah memiliki hukum Tuhan, tetapi masih mencari hukum lain dari negeri asing, dan berupaya untuk melaksanakan hukum buatan manusia yang lahir dari gagasan yang sempit dan menyesatkan.15

Imam Khomeini melihat bahwa Islam merupakan agama yang memiliki seperangkat hukum yang harus dilaksanakan. Karena itu, umat Islam harus mampu mendirikan ikatan sosial dalam kehidupannya. Ikatan sosial yang dimaksud harus berbentuk sebuah negara. Mendirikan negara itu, tegas Khomeini menjadi bagian penting untuk dilakukan mengingat beberapa pertimbangan sebagai berikut: Pertama, agar dapat mendatangkan kebaikan bagi manusia, menurut Khomeini, maka undang-undang Islam memerlukan al-sulthah al-tanfidziyyah (executive power), atau kekuasaan pelaksana. Karena itu, mendirikan sebuah negara yang di dalamnya ada kekuasaan eksekutif yang bertugas menjalankan hukum Allah dan Rasul-Nya, menjadi wajib untuk dilakukan.

Kedua, perintah untuk menaati Allah, menaati Rasul, dan ulil amri, juga menyiratkan perlunya dibentuk suatu asosiasi politik atau negara. Sebab tanpa negara tentu tidak akan pernah ada penguasa negara. Ketiga, kewajiban menjalankan hukum Islam, tegas Khomeini, adalah juga menyiratkan perlunya mendirikan suatu negara, sebab hukum Islam yang pelaksanaannya memerlukan intervensi kekuasaan negara, tidak akan pernah berlaku efektif tanpa ada negara dan perangkat pendukungnya. Karena hukum Islam itu tak terbatas ruang dan waktu, maka kewajiban untuk menegakkan syari’at Islam juga berlaku sepanjang zaman. Karena itu, mendirikan suatu lembaga pemerintahan adalah juga kewajiban yang berlaku sepanjang zaman. Argumentasinya jelas karena tanpa hal tersebut tentu dalam masyarakat akan mudah muncul kerusakan sosial, intelektual, dan moral, serta akan menyebabkan bersimaharajalelanya kemungkaran. Keempat, kewajiban untuk mendirikan asosiasi politik juga terlihat dari perlunya umat Islam mempertahankan integritas teritorial Islam.16

Dari penjelasan di atas, jelas sekali terlihat bahwa eksistensi sebuah institusi politik yang di dalamnya terdapat seorang pemimpin yang ditaati rakyatnya itu amat diperlukan, sebab secara natural, manusia itu cenderung

14Wasiat Imam Khomeini, (Jakarta: Kedubes R.I. Iran, 1989), p. 12. 15 Riza Sihbudi, Biografi Politik, pp. 132-133.

(15)

jahat, tamak, egois, berbahaya, dan suka merampas hak orang lain. Tanpa pemimpin dan tanpa hukum yang mengatur manusia, maka suasana kehidupan tidak akan pernah aman. Kendati demikian, Khomeini secara tegas menolak pemerintahan yang diktator. Karena itu, dalam Kasyf

al-Asrar, Khomeini sebenarnya menggugat pemerintahan Syah yang

dinilainya sekular, sentralistik, dan diktator. Dalam suatu negara, di samping penguasa harus memperhatikan hak-hak setiap warganya, sebaliknya setiap warga negara juga punya sejumlah kewajiban yang harus ditunaikannya. Salah satunya adalah mereka wajib untuk menaati undang-undang yang telah ditetapkan negara.

Dari deskripsi di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dalam pemikiran Imam Khomeini, antara Islam dan politik, atau antara agama dan negara itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Ia ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama, yang tak mungkin dipisahkan antara yang satu dari yang lainnya.

Negara Islam yang berdasarkan syari’at itu, tegas Khomeini, harus mengambil bentuk republik yang demokratis. Badan yudikatif harus dipisah dari badan eksekutif, tapi badan eksekutif tidak punya otoritas untuk membuat undang-undang, sebab telah ada dalam al-Qur’an. Tuhan adalah satu-satunya pembuat undang-undang.17

Penting untuk dicatat bahwa pemerintahan republik demokratis yang diinginkan Islam, tegas Khomeini, sangat berbeda dengan demokrasi Barat. Demokrasi yang ingin diwujudkan, lanjut Khomeini, bukan demokrasi di mana rakyat punya hak mutlak untuk mengatur segala-galanya. Tapi, dibatasi oleh aturan yang terdapat dalam konstitusi. Negara Islam, lanjut Khomeini, adalah negara hukum yang konstitusional. Namun, perlu untuk segera digarisbawahi, bahwa pengertian hukum di sini berbeda dengan yang dikenal selama ini. Pengertian “konstitusional” yang dimaksud adalah pemerintahan Islam yang diatur oleh hukum Tuhan, bukan hukum yang disesuaikan dengan kehendak mayoritas. Jadi, Tuhanlah pemegang parlemen, dan parlemen dibutuhkan guna menyusun program untuk berbagai kementerian berdasarkan ajaran Islam dan menentukan bentuk pelayanan pemerintahan di seluruh negeri.18 Dengan kata lain, negara republik Islam itu bukan hanya bersifat demokratis, tetapi harus benar-benar Islami. Fungsi utama negara itu, menurut Khomeini amat simpel, yakni untuk mengimplementasikan hukum syari’at, menjamin

17 G.H. Jansen, Islam Militan, (Bandung: Pustaka, 1983), p. 258, lihat pula Ruhullah

al-Khomeini, Kasyf al-Asrar, Muhammad Khatib (ed), (‘Aman: Dar al-‘Amar li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1987), p. 123.

18 Ayatullah Ruhullah Khomeini, Beberapa Pandangan tentang Pemerintahan Islam,

(16)

terciptanya keseimbangan kesejahteraan sosial, dan yang terpenting dari itu semua, adalah membatasi kecenderungan jahat yang ada pada diri manusia, utamanya kecenderungan untuk melakukan perampasan hak orang lain.19

Menurut Ayatullah Khomeini hanya ada satu Islam yang benar, yakni yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. Beliau membawa Islam yang revolusioner. Karena itu, Islam yang benar adalah Islam yang revolusioner. Seorang Muslim, tegas Ayatullah Khomeini, harus revolusioner, dan jika tidak demikian, ia bukanlah seorang Muslim. Kendatipun demikian, Ayatullah Khomeini menolak tegas jika Islam disamakan dengan marxisme. Istilah Islam Marxis, semisal yang digunakan oleh kelompok oposisi Iran, Majid Khalq, menurut Ayatullah Khomeini, merupakan suatu absurditas atau kemustahilan. Ayatullah Khomeini mengakui ada idiom yang agak mirip antara Islam dan Marxisme. Misalnya, Ayatullah Khomeini mengutip nasihat yang diberikan Imam Ali kepada dua orang putranya, Hasan dan Husein, yang berbunyi sebagai berikut, “Jadilah musuh kaum penindas dan pembela kaum tertindas

(mustadh’afin)”. Sungguh pun demikian, Ayatullah Khomeini menentang

ideologi Marxisme yang menurutnya akan menusuk dari belakang bila berhasil berkuasa serta akan mendirikan sebuah rezim diktator yang sangat bertentangan dengan Islam. Ayatullah Khomeini tidak hanya menolak sistem kediktatoran sosialis, tapi juga menolak sistem monarki. Imam Husein, menurut Ayatullah Khomeini, memberontak dan menjadi martir

(syahid) lantaran mencegah berdirinya monarki dan pewarisan tahta secara

turun-temurun.20

Revolusi, menurut Ayatullah Khomeini merupakan sesuatu yang sangat urgen dilakukan. Urgensinya terletak pada fungsinya sebagai sarana yang sangat efektif untuk memperjuangkan terbentuknya pemerintahan yang mendukung pemberlakuan syari’at Islam. Selain itu, Revolusi juga penting dilakukan guna menggantikan hukum thagut (iblis) yang diberlakukan oleh para penguasa yang phobi terhadap Islam, semisal Fir’aun dan lain-lain pemerintahan yang bercorak fir’aunisme. Segala bentuk peraturan yang mengabaikan Syari’at Islam, tegas Ayatullah Khomeini, termasuk dalam kategori syirk (mempersekutukan Tuhan).

Argumentasinya jelas, karena para penguasa yang menjalankan hukum thagut yang bernuansa syirk itu, hanya akan mendatangkan

19 Khomeini, Kasyf al-Asrar, pp. 181-182, lihat pula Ruhullah al-Khomeini, Velayat-e Faqih: Hukumat-Velayat-e Islami (The Jurit’s Guardianship: Islamic Government), (Tehran: tp., 1978), pp. 32, 34, dan 46.

20Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke-20, (Bandung: Pustaka, 1988), p. 301.

(17)

kerusakkan. Karena itu, umat Islam wajib untuk memberantasnya. Bila pada suatu ketika pemerintahan Islam tidak dapat diterapkan, maka pada saat itu, wajib hukumnya bagi segenap umat Islam, di belahan bumi mana pun mereka berada, untuk melakukan revolusi guna mewujudkan kejayaan Islam.21

Pemikiran politik paling penting yang dikemukakan Ayatullah Khomeini adalah soal wilayat al-faqih atau kekuasaan ilmuwan agama.22

Dalam perspektif Ayatullah Khomeini tentang wilayat al-faqih perlu kiranya digarisbawahi enam hal penting sebagai berikut: Pertama, wilayat al-faqih

berarti otoritas kepemimpinan yang diberikan oleh Allah s.w.t. kepada

faqih (ulama) untuk memimpin umat Islam dalam segala bidang, termasuk

dalam bidang politik. Kedua, Faqih berarti seorang ulama yang menguasai segala seluk-beluk agama Islam yang diajarkan Nabi Muhammad s.a.w. Ketiga, faqih itu bukanlah seorang Nabi, tetapi ia merupakan washshi, yakni seorang yang ditunjuk dan mendapat mandat langsung dari Allah s.w.t. untuk memimpin umat Islam selama imam Mahdi yang dinanti

(imam Mahdi al-Muntazhar) masih ghaib atau masih belum muncul kembali

di tengah-tengah kehidupan kaum Syi’ah.

Keempat, posisi faqih adalah sebagai hujjatullah, yakni sebagai wakil Allah di muka bumi ini yang bertugas membimbing umat Syi’ah dalam menghadapi berbagai persoalan di bumi fana ini. Dalam posisinya sebagai

hujjatullah, seorang faqih mempunyai kekuasaan yang absolut. Karena itu,

segala titahnya wajib dipatuhi. Bila ada seseorang yang sengaja membangkang atau tidak patuh kepada titahnya, maka ia bedosa dan akan menanggung siksa Allah s.w.t. di akhirat nanti.

Kelima, untuk dapat menjadi pemimpin umat, seorang faqih harus memenuhi syarat-syarat umum dan syarat-syarat khusus. Syarat-syarat umum yang dimaksud adalah sebagai berikut, baligh (dewasa), berakal (tidak cacat mental), dan mampu memimpin. Syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi seorang faqih adalah sebagai berikut: memiliki wawasan keilmuan yang luas tentang syari’at Islam dan dapat berlaku adil. Dalam versi lain dijelaskan ada delapan syarat yang harus dipenuhi seorang faqih, yakni : (1) mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum Islam, (2) harus adil, dalam arti memiliki iman dan akhlak yang tertinggi, (3) dapat dipercaya dan berbudi luhur, (4) jenius, (5) memiliki kemampuan administratif, (6) bebas dari segala pengaruh asing, (7) mampu mempertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan, dan integritas teritorial tanah Islam, dan (8) hidup sederhana.23

21Ruhullah al-Khomeini, al-Hukumah, pp. 30-31.

22Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI press, 1990), p. 215. 23Lafraie, Ideology, pp. 175-176.

(18)

Keenam, bila telah melakukan pelanggaran, semisal melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tuntunan syari’at, maka seorang faqih dapat dijatuhkan atau dapat dicopot dari jabatannya, sebab saat itu, ia telah kehilangan amanah. Landasan konsep wilayat al-faqih Ayatullah Khomeini ada dua macam, yakni pertama doktrin imamah Syi’ah yang menyatakan selama ghaibnya Imam Mahdi, maka seorang faqih yang adil harus tampil menggantikan posisinya untuk memimpin kaum Syi’ah,. Kedua, dalil-dalil naqli berupa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Muhammad s.a.w.

Dalil naqli berupa ayat al-Qur’an yang dimaksud itu, antara lain, adalah firman Allah s.w.t. pada ayat 59 surat al-Nisa yang berbunyi sebagai berikut:

ﱠﻥﹺﺇ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻢﹸﻛﺮﻣﹾﺄﻳ

ﹾﻥﹶﺃ

ﺍﻭﺩﺆﺗ

ﺕﺎﻧﺎﻣﻷﺍ

ﻰﹶﻟﹺﺇ

ﺎﻬﻠﻫﹶﺃ

”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”. (Q.S.4: al-Nisa: 58).

Yang dimaksud al-amanat pada ayat di atas, menurut Ayatullah Khomeini adalah imamah atau otoritas kepemimpinan, sedangkan yang dimaksud dengan ahliha (yang berhak menerimanya) adalah Amir al-Mu’minin Ali Ibn Abi Thalib. Berdasarkan interpretasi senada ini, maka menurut Imam Khomeini, Imam Ali punya kewajiban untuk melimpahkan otoritas kepemimpinan sepeninggalnya kepada para imam Syi’ah berikutnya, dan para imam Syi’ah pun wajib pula melimpahkannya kepada imam-imam penggantinya, termasuk juga kepada wakil imam, yakni faqih atau ulama yang adil.

Di samping ayat di atas, Imam Khomeini juga menndukung teori wilayat al-faqihnya dengan beberapa buah hadits Nabi Muhammad s.a.w. Beberapa buah hadits Nabi Muhammad s.a.w. yang dimaksud, antara lain, adalah sebagai berikut. Pertama, Sabda Nabi Muhamamd s.a.w.:

ﻝﺎﻗ

ﲑﻣﺍ

ﲔﻨﻣﺆﳌﺍ

ﻲﻠﻋ

ﻝﺎﻗ

ﻝﻮﺳﺭ

ﷲﺍ

ﻰﻠﺻ

ﷲﺍ

ﻪﻴﻠﻋ

ﻢﻠﺳﻭ

:

ﻢﻬﻠﻟﺍ

ﻢﺣﺭﺍ

ﻲﺋﺎﻔﻠﺧ

ﺙﻼﺛ

ﺕﺍﺮﻣ

ﻞﻴﻗ

ﻝﻮﺳﺭﺎﻳ

ﷲﺍ

ﻦﻣ

ﻚﺋﺎﻔﻠﺧ

؟

ﻝﺎﻗ

ﻦﻳﺬﻟﺍ

ﻥﻮﺗﺎﻳ

ﻦﻣ

ﻱﺪﻌﺑ

ﻥﻭﻭﺮﻳ

ﻰﺜﻳﺪﺣ

ﱵﻨﺳﻭ

ﻤﻠﻌﻴﻓ

ﺎﻮ

ﺱﺎﻨﻟﺍ

ﻦﻣ

ﻱﺪﻌﺑ

24

“Amir al-Mu’minin (Ali Ibn Abi Thalib) berkata, Rasul Allah s.a.w. berdoa, “Ya, Allah berilah rahmat kepada para khalifahku.” (Beliau mengulang doa itu sebanyak) tiga kali. Lalu Nabi ditanya, ya, Rasul Allah, siapakah para khalifahmu itu? Nabi menjawab, “Mereka itu adalah orang-orang yang meriwayatkan hadits dan sunnahku dan mengajarkannya kepada umat sepeninggalku”.

(19)

Yang dimaksud dengan khulafa’i pada hadits tersebut, menurut Imam Khomeini, adalah para fuqaha yang adil dan istiqamah (teguh pendirian) yang punya otoritas untuk memimpin umat Islam selama ghaibnya Imam Mahdi. Karena itu, Nabi Muhammad s.a.w. berkenan mendoakan mereka supaya selalu mendapatkan rahmat Allah s.w.t.

Kedua, sabda Nabi Muhammad s.a.w.:

ﻦﻋ

ﻲﻠﻋ

ﻦﺑ

ﺓﺰﲪ

ﺖﻌﲰ

ﺎﺑﺍ

ﻦﺴﳊﺍ

ﻰﺳﻮﻣ

ﻦﺑ

ﺮﻔﻌﺟ

ﺎﻤﻬﻴﻠﻋ

ﻡﻼﺴﻟﺍ

ﻝﻮﻘﻳ

:

ﺍﺫﺇ

ﺕﺎﻣ

ﻦﻣﺆﳌﺍ

ﺖﻜﺑ

ﻪﻴﻠﻋ

ﺔﻜﺋﻼﳌﺍ

ﻉﺎﻘﺑﻭ

ﺽﺭﻷﺍ

ﱴﻟﺍ

ﺪﺒﻌﻳ

ﷲﺍ

ﺎﻬﻴﻠﻋ

ﺏﺍﻮﺑﺍﻭ

ﺀﺎﻤﺴﻟﺍ

ﱴﻟﺍ

ﻥﺎﻛ

ﺪﻌﺼﻳ

ﻪﻟﺎﻤﻋﺄﺑﺎﻬﻴﻓ

ﻢﻠﺛﻭ

ﻡﻼﺳﻹﺍ

ﺔﻤﻠﺛ

ﺎﻫﺪﺸﻳ

ﺀﻲﺷ

ﻥﻷ

ﲔﻨﻣﺆﳌﺍ

ﺀﺎﻬﻘﻔﻟﺍ

ﻥﻮﺼﺣ

ﻡﻼﺳﻹﺍ

ﻦﺼﺤﻛ

ﺭﻮﺳ

ﺔﻨﻳﺪﳌﺍ

25

“Dari Ali Ibn Abi Hamzah (berkata), saya mendengar Abu Hasan Musa Ibn Ja’far r.a. berkata, “Apabila seorang (faqih) yang beriman meninggal dunia, maka menangislah para Malaikat, tanah yang di atasnya orang-orang beribadah kepada Allah s.w.t., dan pintu-pintu langit yang dilalui amalnya. (Setelah itu), Islam juga mengalami keretakan yang tak dapat ditambal kembali dengan apa pun, sebab kaum Mu’minin yang faqih itu merupakan benteng Islam yang fungsinya sama seperti sebuah benteng yang memagari sebuah kota”.

Pada awal hadits tersebut, menurut Imam Khomeini, ada sebuah kata yang dibuang, yakni al-faqih. Hal ini dapat diketahui dari riwayat lain yang tercantum dalam kitab al-Kafi. Dalam kitab ini tercantum redaksi lengkap awal hadits tersebut yang berbunyi, “idza mata al-faqih al-mu’min”.

Berdasarkan hadits tersebut Imam Khomeini menyimpulkan, para fuqaha memiliki kewajiban untuk menjaga akidah, hukum, dan tatanan masyarakat Islam. Menjaga Islam itu, lanjut Imam Khomeini, sama wajibnya dengan melaksanakan ibadah shalat dan puasa. Karena itu, para fuqaha yang merupakan pengganti Nabi Muhammad s.a.w., berkewajiban untuk melindungi agama Islam, meskipun untuk itu ia harus menebusnya dengan nyawa, sebagaimana pernah dicontohkan Imam Ali dan Imam Husein, yang sama-sama rela mengorbankan nyawanya demi tegaknya agama Islam.

Ketiga, sabda Nabi Muhammad s.a.w.:

ﻦﻋ

ﰉﺍ

ﺪﺒﻋ

ﷲﺍ

ﻪﻴﻠﻋ

ﻡﻼﺴﻟﺍ

ﻝﺎﻗ

:

ﻝﺎﻗ

ﻝﻮﺳﺭ

ﷲﺍ

ﻰﻠﺻ

ﷲﺍ

ﻪﻴﻠﻋ

ﻢﻠﺳﻭ

:

ﺀﺎﻬﻘﻔﻟﺍ

ﺀﺎﻨﻣﺍ

ﻝﻮﺳﺮﻟﺍ

ﺎﻣ

ﺍﻮﻠﺧﺪﻳ

ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ

ﻞﻴﻗ

:

ﻝﻮﺳﺭﺎﻳ

ﷲﺍ

ﺎﻣﻭ

ﺍﻮﻠﺧﺩ

؟ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ

ﻝﺎﻗ

ﻉﺎﺒﺗﺇ

ﻥﺎﻄﻠﺴﻟﺍ

ﺍﺫﺈﻓ

ﺍﻮﻠﻌﻓ

ﻚﻟﺫ

ﻢﻫﻭﺭﺬﺣﺎﻓ

ﻰﻠﻋ

ﻢﻜﻨﻳﺩ

26

25 Ruhullah al-Khomeini, al-Hukumah, p. 60. 26Ibid., p. 60.

(20)

“Dari Abu Abdillah r.a. berkata, Nabi Muhammad s.a.w. bersabda, “Para fuqaha itu adalah orang-orang kepercayaan Nabi selama mereka tidak terlibat dengan masalah duniawi. Nabi ditanya, ya, Rasul Allah, apa yang menjadi indikator bahwa mereka telah terlibat dengan masalah duniawi? Nabi menjawab, “(Indikatornya adalah) mereka telah menjadi kaki tangan penguasa. Bila mereka telah melakukan hal itu, maka berhati-hatilah terhadap mereka demi menjaga keselamaatan agamamu”.

Hadits di atas, menurut Imam Khomeini, berisi penjelasan bahwa di samping berkewajiban mengajarkan syari’at Islam, para fuqaha juga punya tugas lain yang sangat penting, yakni menetapkan peraturan yang adil dan mengimplementasikan syari’at Islam dalam kehidupan nyata. Tugas ini sama dengan tugas utama yang diembankan Allah s.w.t. kepada para rasul-Nya, yakni menegakkan keadilan dan mengatur kehidupan sesuai dengan syari’at Islam. Hal ini relevan denagn firman Allah s.w.t. yang berbunyi sebagai berikut:

ﺪﹶﻘﹶﻟ

ﺎﻨﹾﻠﺳﺭﹶﺃ

ﺎﻨﹶﻠﺳﺭ

ﺕﺎﻨﻴﺒﹾﻟﺎﹺﺑ

ﺎﻨﹾﻟﺰﻧﹶﺃﻭ

ﻢﻬﻌﻣ

ﺏﺎﺘﻜﹾﻟﺍ

ﹶﻥﺍﺰﻴﻤﹾﻟﺍﻭ

ﻡﻮﹸﻘﻴﻟ

ﺱﺎﻨﻟﺍ

ﻂﺴﻘﹾﻟﺎﹺﺑ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan..."

(Q.S. 57: al-Hadid:25).

Tugas untuk menegakkan keadilan sebagaimana disebutkan pada ayat tersebut, menurut Imam Khomeini, tidak mungkin dapat terlaksana dengan baik tanpa intervensi kekuasaan negara yang dipimpin Nabi, para imam, dan atau para fuqaha yang adil. Dalam mengemban tugas menegakkan keadilan, para fuqaha tidak boleh berorientasi pada perolehan materi duniawi. Bila telah berambisi mendapatkan materi duniawai, sudah dapat dipastikan mereka tidak mungkin dapat menerapkan syari’at Islam dengan baik dan tak layak lagi disebut sebagai pengemban amanat Nabi.

C. Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran politik Imam Khomeini kurang dapat menghargai prinsip persamaan sebagaimana diajarkan Islam, sebab ia sebagaimana tokoh Syi’ah yang lain, kurang dapat menerima kehadiran pemimpin di luar ahl al-bait atau keturunan Nabi Muhammad s.a.w. Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam yang sangat menekankan prinsip persamaan. Kemuliaan seseorang bukan diukur dari nasab atau keturunannya, tetapi karena kualitas ketakwaannya kepada Allah s.w.t. (Q.S.49: al-Hujurat: 13). Kedua, kriteria faqih yang diusulkannya terlalu ideal sehingga sangat sulit dipenuhi. Hal ini terbukti di Iran setelah wafatnya Ayatullah Khomeini.

(21)

Pemilihan Ayatullah Ali Khamenei sebagai pengganti Ayatullah Khomeini diakui berjalan mulus, tapi banyak kalangan berpendapat, kelas Ayatullah Ali Khamenei masih jauh di bawah tokoh yang digantikannya itu. Ketiga konsep wilayah al-faqih yang dikembangkan Imam Khomeini telah memberikan peran yang terlalu dominan kepada ulama dalam soal politik yang dapat berimplikasi pada munculnya gaya kepemimpinan yang absolut, sehingga kekuasaan mereka sulit dikontrol, dan tingkat partisipasi politik rakyat menjadi sangat rendah. Padahal, dalam sistem politik demokrasitis, kontrol terhadap kekuasaan dan partisipasi politik rakyat merupakan dua unsur yang tidak boleh diabaikan. Terlepas dari kekurangan tersebut, pemikiran politik Imam Khomeini, utamanya mengenai konsep wilayat al-faqihnya, dapat dijadikan instrumen pendukung yang sangat efektif bagi umat Islam untuk menguasai percaturan politik yang memungkinkan diterapkan.

(22)

Daftar Pustaka

Abrahamian, Ervand, Khomeinism, New York: I.B. Tauris and Co.Ltd. Publisher, 1993.

Curtis, Michael (ed.), Religion and Politics in the Middle East, Colorado: Westview Press, 1988.

Enayat, Hamid, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam

Modern Menghadapi Abad ke-20, Bandung: Pustaka, 1988.

Hunter, Shireen “Islam in Power”, dalam The Politics of Islamic Revivalism,

editor: S. Hunter , Bloomington: Indiana University Press, 1988. Jansen, G.H., Islam Militan, Bandung: Pustaka, 1983.

Khomeini, Ruhullah, al-Hukumah al-Islamiyyah, Aman: Dar ‘Ammar, 1980. _______, Kasyf al-Asrar, Muhammad Khatib (ed), ‘Aman: Dar al-‘Amar li

al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1987.

_______, Velayat-e Faqih: Hukumat-e Islami (The Jurit’s Guardianship: Islamic

Government), Tehran: tp., 1978.

Lafraie, Ideology of Revolution: A Normatif Study of The Islamic Revolution in Iran, disertasi doktor Ilmu Politik, University of Hawaii, 1986.

MD, Jajak (ed.), Ayatullah Khomeini dalam Kontroversi, Jakarta: Metro Pos, 1989.

Momen, Moojan, An Introduction to Shi’i Islam: The History and Doctrine of

Twelver Shi’ism, New Haven: tp., 1985.

Mortimer, Edward, Islam dan Kekuasaan, Bandung: Mizan, 1984.

Mozaffari, Mehdi, Authority in Islam: From Muhammad to Khomeini, London: M.E. Sharpe, 1987.

Najafiyan, Sayyid, “Imam Khumayni: Life and Works”, dalam al-Tawhid, Mei-Juli 1990.

Pasandindeh, Ayatullah, “The Life of the Leader of Revolution”, dalam

Iran Times, 17 Maret-19 Mei 1989.

Rahnema, Ali (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan, 1996. Sihbudi, Riza, Biografi Politik Imam Khomeini, Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 1996.

Sjadzali, Munawir Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1990.

Taheri, Amir, The Spirit of Allah: Khomeini and The Islamic Revolution, London: Hutchinson, 1985.

Referensi

Dokumen terkait

Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun memiliki persamaan pemikiran etika politik sepakat bahwa seseorang pemimpin sebagai pemecah permasalahan warga negaranya, mendirikan negara

Penelitian ini membahas tentang menghukum anak dalam perspektif pendidikan Islam (telaah perbandingan pemikiran Imam al-Ghazali dengan Ibnu Sina). Penelitian ini

Demikian juga meski orientasi pemikiran politik Ibnu Taimiyah terlihat berdasarkan pada agama dan akhlak, seperti dapat diperhatikan pada agama dan akhlak, seperti

politik, sedangkan Bungkarno di Indonesia memisahkan antara agama dan negara secara “lunak”, dalam arti proses politik demokratis dapat membuka corak Islam pada

Pemikiran politik Arkoun tentang negara Madinah yang dibangun Nabi pada awal Islam adalah negara yang ideal sesuai zaman pada waktu itu dan tidak relevan untuk

Pemikiran politik Arkoun tentang negara Madinah yang dibangun Nabi pada awal Islam adalah negara yang ideal sesuai zaman pada waktu itu dan tidak relevan untuk

Berdasarkan uraian pengertian di atas, maka penelitian ini merupakan sebuah studi perbandingan terhadap pemikiran kalam dua aliran teologi besar dalam sejarah pemikiran Islam yakni

Revolusi Islam merupakan fase baru dalam kehidupan beberapa negara di Timur Tengah, dengan adanya gerakan Politik dari Ayatullah Khomeini dan Baqir al-Shadr telah membawa