• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V FUNGSI DAN MAKNA UNGKAPAN LARANGAN PADA MASYARAKAT PETANI TABANAN. masyarakat petani Tabanan khususnya merupakan ungkapan yang mengandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V FUNGSI DAN MAKNA UNGKAPAN LARANGAN PADA MASYARAKAT PETANI TABANAN. masyarakat petani Tabanan khususnya merupakan ungkapan yang mengandung"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

FUNGSI DAN MAKNA UNGKAPAN LARANGAN PADA MASYARAKAT PETANI TABANAN

5.1 Fungsi Ungkapan Larangan

Ungkapan larangan yang terdapat pada masyarakat Bali umumnya dan masyarakat petani Tabanan khususnya merupakan ungkapan yang mengandung makna sesuatu boleh dilakukan dan sesuatu tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa ungkapan larangan berfungsi sebagai alat kontrol bagi masyarakat khususnya masyarakat petani Tabanan dalam menjalani kehidupannya.

Ungkapan larangan ada disampaikan secara lisan ada juga secara tertulis. Sebagai sebuah tradisi, ungkapan larangan yang diturunkan dari generasi ke generasi masih diyakini oleh masyarakat akan memberikan efek atau akibat yang membahayakan apabila dilanggar. Oleh karena itu, ungkapan larangan ini tetap hidup dan dipertahankan walaupun akibatnya hanya berupa keyakinan yang tidak tertulis.

Fungsi yang disebutkan di atas merupakan fungsi secara umum ungkapan larangan, yakni sebagai alat kontrol dalam kehidupan masyarakat. Itu berarti bahwa di samping fungsi secara umum ada fungsi ungkapan larangan secara khusus. Fungsi khusus yang dimaksud adalah fungsi dari sudut pandang kebahasaan dalam rangka fungsi bahasa sebagai alat komunikasi.

(2)

Untuk mengetahui fungsi ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan digunakan teori fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Leech (1997). Menurut Leech (1997: 52--53) fungsi komunikatif bahasa dibagi menjadi lima, yaitu fungsi informasional, ekspresif, direktif, estetis, dan phatik.

Lebih lanjut Leech (1997: 53) menjelaskan bahwa pembagian fungsi bahasa menjadi lima seperti di atas bukanlah klasifikasi yang ideal. Artinya, dalam praktik berbahasa sangat dimungkinkan adanya penggabungan sejumlah fungsi bahasa yang berbeda-beda. Sepotong bahasa jarang yang murni informatif, murni ekspresif, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk mengetahui fungsi ungkapan larangan peran konteks pemakaiannya sangatlah penting. Konteks pemakaian inilah membantu menjelaskan fungsi ungkapan larangan dalam proses tindak tutur. Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan memiliki fungsi informasional dan direktif. Kedua fungsi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

5.1.1 Fungsi Informasional Ungkapan Larangan

Fungsi informasional adalah fungsi bahasa untuk menyampaikan informasi. Artinya, dalam fungsi ini penutur (Pn) memberikan suatu informasi kepada petutur (Pt) (Leech, 1997: 52). Fungsi informasional Leech ini apabila dibandingkan dengan fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Halliday dalam Leech (1993: 86) sejalan dengan fungsi idesional. Fungsi idesional adalah fungsi bahasa sebagai alat untuk menyampaikan dan menginterpretasi pengalaman dunia. Dengan demikian, baik pada fungsi informasional maupun fungsi idesional,

(3)

pengalaman nyata seorang penutur diinformasikan kepada petutur. Berikut disajikan data ungkapan larangan yang menyatakan fungsi informasional.

5-1 Pn : Mangku, tali telas, tiing ten wenten, idadane jagi mekarya. Sapunapi mangkin?

’Mangku, bagaimana ini? Tali habis dan tidak ada bambu, padahal masyarakat akan bergotong royong’.

Pt : Men, kenken?

’Terus, bagaimana?’

Pn : Mangkin Redite, ten dados nyepeg tiing

’Sekarang hari Minggu, tidak boleh menebang bambu’. Pt : Eh sajan!

’Eh betul!’ 5-2 Pn: Kenken Gung? ’Bagaimana Gung’

Pt: Ji, pidan nyidang makal uman tiange? ’Ayah, kapan bisa membajak sawah saya?’ Pn: Jani apa ne Gung?

’Sekarang hari apa Gung?’ Pt: Buda

’Rabu’

Pn: Buda, mani Respati, purnama pidan? ‘Rabu, besok Kamis, purnama kapan?’ Pt: Buin puan.

’Lagi dua hari’

Pn: Beh, neren sing dadi megae.

’Wah, beturut-turut tidak boleh bekerja’ Pt: Maksudne?

’Maksudnya’

Pn: Respati ajak Purnama sing dadi megaenang sampi. ’Kamis dan Purnama tidak boleh mempekerjakan sapi’ Pt: Men pidan megae?

‘Kalau begitu, kapan bekerja?’ Pn : Di Redite gen nah.

‘Hari Minggu saja, ya’

Percakapan (5-1) terjadi di sebuah pura yang akan mengadakan upacara piodalan. Pn yang merupakan seorang prajuru banjar ’pemimpin banjar’ menyampaikan informasi kepada Pt yang merupakan seorang pemangku ’sulinggih’ di pura itu. Informasinya adalah bahwa hari itu adalah hari Minggu

(4)

yang menurut kepercayaan masyarakatnya tidak boleh menebang bambu. Ungkapan larangan yang menunjukkan hal itu adalah Mangkin Redite, ten dados nyepeg tiing ’Sekarang hari Minggu, tidak boleh menebang bambu’. Sementara, saat itu tali sudah habis, bambu tidak ada, dan masyarakat akan bergotong royong. Informasi berupa fakta itulah yang disampaikan oleh Pn kepada Pt yang dianggap tahu mencarikan solusi. Dengan demikian, ungkapan larangan pada contoh (5-1) di atas dimasukkan ke dalam kategori fungsi informasional.

Fungsi informasional juga ditemukan pada ungkapan larangan yang terdapat pada percakapan (5-2). Percakapan ini terjadi di sawah antara dua petani, yang diawali dengan petani pertama yang selanjutnya disebut penutur (Pn) menanyakan sesuatu kepada petani kedua yang kemudian disebut petutur (Pt). Selanjutnya, Pt bertanya kepada Pn mengenai waktu sawahnya dibajak. Pn rupanya tidak ingat hari itu hari apa dan menanyakan kepada Pt yang dijawab bahwa hari itu adalah hari Rabu. Pn menanyakan hari dengan maksud agar tidak melanggar ungkapan larangan mempekerjakan sapi di sawah. Pn meyakini ada hari-hari tertentu yang tidak boleh melakukan pekerjaan di sawah dengan menggunakan sapi. Keyakinannya itu kemudian disampaikan dengan menyebutkan ungkapan larangan Respati ajak Purnama sing dadi megaenang sampi, yang berarti ’Hari Kamis dan Purnama tidak boleh mempekerjakan sapi di sawah’. Informasi tentang larangan mempekerjakan sapi pada hari Kamis dan Purnama itulah yang merupakan fakta yang disampaikan oleh Pn kepada Pt sehingga ungkapan larangan pada contoh (5-2) dikatakan menyatakan fungsi informasional.

(5)

Apabila diperhatikan secara saksama ungkapan larangan pada dua contoh di atas (5-1) dan (5-2), tidaklah semata-mata menyatakan fungsi informasional. Artinya, Pn tidak sekadar menyampaikan informasi kepada Pt. Sebenarnya, dengan informasi yang disampaikan Pn kepada Pt, Pt diharapkan melakukan sesuatu seperti yang diinginkan oleh Pn. Dengan kata lain fungsi ini disebut fungsi direktif.

Pada contoh (5-1), misalnya, Pt diharapkan memberikan jalan keluar oleh Pn untuk mengatasi permasalahan yang ada saat itu, yakni tali habis, bambu tidak ada, masyarakat akan bergotong royong, sedangkan hari itu adalah hari Minggu yang diyakini tidak boleh menebang bambu. Demikian juga yang terjadi pada contoh (5-2), yakni dengan memberi tahu bahwa hari Kamis dan Purnama merupakan larangan mempekerjakan sapi di sawah, Pt diharapkan tidak menuntut Pn untuk mempekerjakan sapi di sawah pada hari Kamis dan saat Purnama.

Dua contoh di atas, yaitu (5-1) dan (5-2) membuktikan kebenaran pernyataan Leech (1997: 53). Pernyataan yang dimaksud adalah dalam praktik berbahasa sangat dimungkinkan adanya penggabungan sejumlah fungsi bahasa yang berbeda-beda.

Apabila dilihat dari segi bahasa yang digunakan untuk menyampaikan ungkapan larangan, kedua contoh di atas, yakni (5-2) dan (5-2) merupakan ungkapan larangan lisan. Di samping disampaikan secara lisan, ungkapan larangan yang menyatakan fungsi informasional dan direktif sekaligus juga ditemukan pada ungkapan larangan tertulis. Data yang menyatakan hal itu adalah seperti berikut.

(6)

5-3 Saluwiring pamulan-mulan tan dados ngungkulin wiadin mayanin ke

pekarangan paumahan siosan tur ring ngawit mamula mangda madoh adepa agung (2,5 meter) saking wates. (ADAJ-Pawos 25).

’Setiap tanaman tidak boleh menaungi atau membahayakan halaman rumah orang lain dan saat menanam agar berjarak 2,5 meter dari perbatasan’ 5-4 Tan wenang ngangon utawi ngalumbar wewalungan suku pat ring paabianan utawi panegalan karma subak seosan. (ASAMS-Pawos 25-1) ’Tidak boleh menggembalakan atau melepas hewan berkaki empat di kebun atau di ladang orang lain’

Kedua ungkapan larangan di atas (5-3) dan (5-4) ditemukan pemakaiaannya dalam Awig-Awig yang merupakan sumber data tertulis penelitian ini. Contoh (5-3) ditemukan dalam Awig-Awig Desa Adat Jatiluwih, Kecamatan Penebel, sedangkan contoh (5-4) ditemukan dalam Awig-Awig Subak Abian Merta Sanjiwani, Banjar Saresidi, Desa Sembung Gede, Kecamatan Kerambitan.

Contoh (5-3) merupakan salah satu aturan yang terdapat pada Awig-Awig Desa Adat Jatiluwih, Kecamatan Penebel yang berupa ungkapan larangan. Aturan ini ditujukan kepada anggota masyarakat Desa Adat Jatiluwih. Inti informasi yang terkandung dalam ungkapan larangan itu adalah tanaman yang ditanam di pekarangan rumah tidak boleh melewati batas dan membahayakan pekarangan rumah orang lain serta harus berjarak dua setengah meter dari perbatasan. Dengan informasi itu, diharapkan anggota masyarakat Desa Adat Jatiluwih tidak melanggarnya karena pelanggaran itu ada sanksinya yang telah diatur berdasarkan kesepakatan masyarakatnya (pararem). Dengan demikian, ungkapan larangan itu menyatakan fungsi informasional dan fungsi direktif secara bersamaan. Maksudnya, ungkapan larangan itu digunakan untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat Desa Adat Jatiluwih sekaligus memengaruhi agar mereka mematuhi larangan tersebut.

(7)

Hal yang sama seperti pada contoh 3) juga ditemukan pada contoh (5-4). Artinya, contoh (5-4) juga merupakan ungkapan larangan yang menyatakan fungsi informasional dan fungsi direktif sekaligus. Dikatakan menyatakan fungsi informasional karena ungkapan larangan itu mengandung informasi berupa aturan yang ditujukan kepada anggota Subak Abian Merta Sanjiwani, Banjar Saresidi, Desa Sembung Gede, Kecamatan Kerambitan. Informasinya adalah berupa larangan menggembalakan atau melepas hewan piaraan berkaki empat pada ladang atau kebun orang lain. Dengan demikian, angota Subak Abian Merta Sanjiwani tidak melakukan atau tidak melanggar aturan yang dimaksud. Dalam hal ini, di samping menyampaikan informasi, ungkapan larangan itu juga berusaha memengaruhi anggota Subak Abian Merta Sanjiwani sehingga ungkapan larangan itu juga menyatakan fungsi direktif.

5.1.2 Fungi Direktif Ungkapan Larangan

Leech (1997: 52) menyatakan bahwa fungsi direktif bahasa adalah untuk memengaruhi perilaku atau sikap orang lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa fungsi kontrol sosial ini dalam hal pesannya lebih menekankan pada sisi penerima dan bukan pada penutur. Dengan kata lain, orientasi fungsi direktif lebih ditekankan ke arah petutur/pembaca. Contoh fungsi direktif adalah perintah dan permohonan.

Berdasarkan paparan di atas dapat dikatakan bahwa fungsi direktif ditemukan dalam ungkapan larangan. Hal ini disebabkan oleh ungkapan larangan pada prinsipnya dituturkan oleh seorang penutur yang ditujukan kepada petutur

(8)

dengan tujuan agar petutur tidak melakukan sesuatu. Untuk mewujudkan tujuannya penutur dapat menggunakan ungkapan larangan dalam bentuk imperatif atau perintah. Berdasarkan data, fungsi direktif ditemukan dalam ungkapan larangan berikut.

5-5 Pn: Nyen ngelah sisa nasi di piring ne? ‘Siapa mempunyai sisa nasi di piring ini?’ Pt: Tiang Ni!

’Saya Nek!’

Pn : Da biasa mecarikan, nyen mati siap selem.

’Jangan biasa menyisakan makanan, nanti ayam hitam bisa mati’ 5-6 KS: We kija to?

’Hai ke mana itu?’

Ptn: Kengken ne uka ja nyaupin, dadi?

’Bagaimana ini, maunya membersihkan rumput, boleh?’ KS: Sapunapi, Mangku dados?

’Bagimana, Mangku boleh?’

Mk: Dadi, kala da nandur ken melasah nyen.

’Boleh, asal jangan nanti menanam padi dan meratakan sawah’ KS: Jani sing dadi marengin nandur ken melasah. Ane lenan dadi. ’Sekarang tidak boleh ikut menanam padi dan meratakan sawah Yang lainnya boleh’

Ungkapan larangan yang terdapat pada tuturan (5-5) adalah Da biasa mecarikan, nyen mati siap selem ’jangan biasa menyisakan makanan setelah makan, nanti ayam hitam bisa mati’. Konteks pemakaiannya adalah pada sebuah keluarga dengan melibatkan seorang nenek sebagai penutur (Pn) dan cucunya sebagai petutur (Pt). Pn memengaruhi Pt agar tidak menjadikan kegiatan mecarikan ’menyisakan makanan setelah makan’ sebagai suatu kebiasaan. Dalam hal ini Pn menggunakan bentuk imperatif negatif da ’jangan’ pada ungkapan larangan itu sebagai perwujudan fungsi direktif bahasa.

(9)

Ungkapan larangan pada contoh (5-5) intinya menyatakan fungsi direktif, karena pada ungkapan larangan tersebut Pn berusaha memengaruhi Pt dengan cara memerintah. Akan tetapi, sebelum fungsi direktif itu dilakukan sebenarnya terdapat fungsi informasional. Artinya, sebelum Pn memengaruhi Pt, Pn menyampaikan informasi berupa fakta kepada Pt. Fakta yang diinformasikan oleh Pn kepada Pt adalah sisa nasi di piring yang disampaikan dengan cara bertanya. Setelah mendapatkan respon dari Pt, Pn memerintahkan Pt agar tidak membiasakan diri melakukan kegiatan menyisakan nasi setelah makan. Perintah itulah yang disampaikan dalam bentuk ungkapan larangan. Bahkan, untuk meyakinkan Pt bahwa kebiasaan itu tidak baik, Pn menggunakan majas metafora, yaitu menggunakan siap selem ’ayam hitam’ menjadi mati apabila perbuatan tersebut terus dilakukan.

Fungsi direktif ungkapan larangan juga ditemukan pada contoh tuturan (5-6). Konteks tuturan ini adalah di sebuah Pura Subak yang disebut Bedugul. Hari itu adalah Buda Cemeng Kelawu, yaitu hari yang diyakini sebagai hari baik untuk memulai menanam padi oleh masyarakat petani khususnya di Tabanan. Jadi, pada hari itu dilakukan upacara ngiwitin, yaitu upacara yang dilaksanakan untuk memulai menanam padi.

Pada masyarakat petani Tabanan, ngiwitin ’mulai menanam padi’ dilakukan pada satu areal sawah yang dimiliki oleh seorang petani. Sebelum ngiwitin dilakukan upacara yang dilaksanakan pada dua tempat. Pertama, upacara dilaksanakan di Pura Subak (Bedugul) dan kedua di sawah tempat ngiwitin itu sendiri.

(10)

Sehubungan dengan upacara ngiwitin ini, pada masyarakat petani Tabanan ada satu ungkapan larangan yang diyakini memberikan dampak negatif apabila dilanggar. Ungkapan larangan yang dimaksud adalah sing dadi marengin anak ngiwitin ’tidak boleh ikut (bersamaan) menanam padi saat seseorang melakukan upacara mulai menanam padi’. Bahkan, zaman dahulu saat hari ngiwitin semua aktivitas di sawah pada subak tersebut ditiadakan. Artinya, selain di sawah tempat ngiwitin, anggota subak tidak boleh melakukan aktivitas. Mereka harus ikut bersembahyang, baik di Pura Subak (Bedugul) maupun di sawah tempat ngiwitin berlangsung. Tujuannya adalah agar padi yang ditanam nanti memberikan hasil yang baik. Akan tetapi, saat ini larangan itu sudah dibijaksanai, dalam arti ada beberapa kegiatan yang boleh dilakukan dan ada yang sama sekali tidak boleh dilakukaan saat ngiwitin. Hal ini tercermin dalam tuturan (5-6) di atas.

Pada tuturan (5-6) seorang petani sebenarnya sudah mengetahui hari itu adalah hari ngiwitin pada subak tersebut. Oleh karena itu, dia pun sudah mengetahui larangan yang mesti ditaati pada hari itu. Akan tetapi, dia bertanya kepada Kelihan Subak ’pengurus subak’ barangkali boleh melakukan kegiatan nyaupin ’membersihkan rumput di sawah’. Kelihan Subak pun kemudian menanyakan hal itu kepada pemangku ’sulinggih’. Pemangku memberikan kebijakan bahwa nyaupin ’membersihkan rumput di sawah’ bisa dilakukan, tetapi saat itu tidak boleh nandur ’menanam padi’ dan melasah ’meratakan sawah’. Hal ini tercermin dalam ungkapan larangan Dadi, kala da nandur ken melasah nyen ’boleh, tetapi jangan menanam padi dan meratakan sawah’. Dengan ungkapan larangan itu, penutur (Pn) dalam hal ini pemangku ’sulinggih’ memerintahkan

(11)

kepada petutur (Pt), yakni seorang petani agar saat ngiwitin hari itu jangan melakukan aktivitas nandur ’menanam padi’ dan melasah ’meratakan sawah’. Jadi, ungkapan larangan pada contoh (5-6) di atas menyatakan fungsi direktif yang ditandai dengan pemakaian bentuk imperatif da ’jangan’.

Di samping pada tuturan (5-5) dan (5-6) di atas, ungkapan larangan yang menyatakan fungsi direktif juga ditemukan pada data berikut.

5-7 Da luas ke pasih, yen odalan di Pura Segara. ‘Jangan melaut, ketika ada upacara di Pura Segara’

5-8 Tan wenang mekarya loloan toya pengutangan ke karang penyanding. (AKDAKA-Pawos 33-4)

’Tidak boleh membuat saluran pembuangan air ke pekarangan tetangga’ Ungkapan larangan (5-7) merupakan pararem ’aturan yang tidak tertulis’ yang ditemukan pemakaiannya pada masyarakat petani nelayan di Dusun Pasut, Desa Tibubiu, Kecamatan Kerambitan. Masyarakat petani nelayan di daerah itu meyakini bahwa ketika ada odalan ’upacara keagamaan’ di Pura Segara, yaitu pura yang ada di Pantai Pasut tidak berani melaut karena akan mendatangkan sengkala ’bahaya’. Keyakinan itu kemudian disampaikan dalam bentuk ungkapan larangan Da luas ke pasih, yen odalan di Pura Segara ’jangan melaut ketika ada upacara di Pura Segara’. Artinya, dengan penanda bentuk imperatif da ’jangan’, ungkapan larangan itu digunakan untuk memengaruhi masyarakat petani nelayan di daerah itu agar tidak melakukan kegiatan melaut ketika ada upacara keagamaan di Pura Segara. Dengan demikian, ungkapan larangan ini termasuk kategori menyatakan fungsi direktif karena digunakan untuk memengaruhi masyarakat petani nelayan dan faktanya mereka mematuhi larangan tersebut.

(12)

Contoh (5-8) adalah ungkapan larangan yang ditemukan dalam Awig-Awig Desa Adat Kesiut Arca, Desa Kesiut, Kecamatan Kerambitan. Sebagai bagian dari sebuah awig-awig, ungkapan larangan itu digunakan untuk mengatur anggota masyarakatnya. Artinya, ungkapan larangan Tan wenang mekarya loloan toya pengutangan ke karang penyanding ’tidak boleh membuat saluran pembuangan air ke pekarangan tetangga’ digunakan oleh Desa Adat Kesiut Arca untuk memengaruhi anggota masyarakatnya agar tidak membuat saluran pembuangan air ke pekarangan/tanah tetangga. Di samping menyebabkan lingkungan yang tidak baik, air pembuangan itu dapat ngeletehin ’mengotori secara spritual’ pekarangan/tanah tetangga. Karena digunakan untuk mengatur atau memengaruhi dalam hal ini anggota masyarakat Desa Adat Kesiut Arca, wacana larangan pada contoh (5-8) juga dikelompokkan ke dalam fungsi direktif.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan secara umum berfungsi sebagai alat kontrol dalam menjalani kehidupannya. Di samping fungsi umum tersebut ditinjau dari fungsi komunikatif bahasa ditemukan ungkapan larangan yang menyatakan fungsi informasional dan fungsi direktif.

5.2 Makna Ungkapan Larangan

Seperti telah diuraikan pada butir 2.3.4, untuk menganalisis makna ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan digunakan Teori Semiotik Sosial. Teori ini memandang semiotik sebagai kajian umum tentang tanda dan bahasa sebagai bagian dari semiotik (Halliday, 1979: 3--4; Riana, 2003: 9--10).

(13)

Sementara, kata sosial berkaitan dengan konsep sistem sosial dan konsep struktur sosial. Dengan demikian, ungkapan larangan yang disampaikan dengan bahasa Bali merupakan sebuah tanda dan masyarakat petani Tabanan yang menggunakan ungkapan larangan itu merupakan struktur sosial kemasyarakatan berdasarkan kelompok profesi, yakni petani.

Ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan dipakai untuk menyampaikan maksud-maksud yang ingin dicapai dalam berkomunikasi. Maksud-maksud tersebut ada yang tersurat dan ada yang tersirat. Oleh karena itu, ungkapan larangan sebagai pemakaian bahasa dapat dikatakan memiliki makna tersurat dan makna tersirat. Hal ini sejalan dengan pandangan semiotik sosial yang menyatakan bahasa diandaikan sebagai kata yang memiliki makna tersurat dan tersirat. Makna tersurat adalah makna bahasa yang dapat dilihat dalam kamus, sedangkan makna tersirat maksudnya adalah makna bahasa yang tidak terdapat dalam kamus, tetapi dapat ditelusuri dengan melihat konteksnya (Riana, 2003: 10). Menurut Chaer (2002: 62), makna tersirat disebut dengan istilah makna kontekstual, yaitu makna yang sangat bergantung pada konteks, baik konteks kalimat maupun konteks situasi.

Berdasarkan konsep makna yang telah diuraikan di atas, berikut disajikan berbagai makna ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan.

(14)

5.2.1 Ungkapan Larangan Bermakna Pendidikan dan Etika Sopan Santun Ada beberapa ungkapan larangan yang menyatakan makna pendidikan dan etika sopan santun. Ungkapan larangan yang dimaksud adalah ungkapan larangan memotong tiang, ungkapan larangan menduduki bantal, ungkapan larangan bermain tengah hari, dan ungkapan larangan mencari kutu di jalan. Berikut dijelaskan makna ungkapan larangan tersebut secara terperinci satu per satu.

1. Ungkapan Larangan Memotong Tiang

Ungkapan larangan nektek adegan ’memotong tiang’ biasanya dituturkan oleh orang tua kepada anak-anak. Berdasarkan lokasinya wacana larangan ini digunakan pada lingkup keluarga.

Pada masyarakat petani Tabanan ditemukan dua variasi bentuk ungkapan larangan nektek adegan. Kedua variasi bentuk itu adalah sebagai berikut.

5-9 a. Sing dadi nektek adegan, nyanan mati dagang uyahe. tidak boleh memotong tiang, nanti mati pedagang garam ’Tidak boleh memotong tiang, nanti meninggal pedagang garam’

b. Da nektek adegan, nyen mati dagang uyahe! jangan memotong tiang, nanti mati pedagang garam ’Jangan memotong tiang, nanti meninggal pedagang garam’

Ungkapan larangan (5-9a) berbentuk kalimat deklaratif, sedangkan ungkapan larangan (5-9b) berbentuk kalimat imperatif. Yang membedakan antara (5-9a) dan (5-9b) adalah penanda atau pemarkah ungkapan larangan yang digunakan. Pada kalimat (5-9a) pemarkah ungkapan larangan dinyatakan dengan verba bantu (modalitas) bentuk frasa ingkar atau kelompok kata ingkar sing dadi yang berarti ’tidak boleh’, sedangkan pada kalimat (5-9b) pemarkah ungkapan

(15)

larangan dinyatakan dengan verba bantu (modalitas) berupa kata imperatif da yang berarti ’jangan’.

Apabila dilihat dari jumlah klausanya, ungkapan larangan 9a) dan (5-9b) merupakan kalimat majemuk, karena masing-masing terdiri atas dua klausa. Ungkapan larangan (5-9a) terdiri dari klausa sing dadi nektek adegan ’tidak boleh memotong tiang’ dan nyanan mati dagang uyahe ’nanti pedagang garam meninggal’, sedangkan ungkapan larangan (5-9b) terdiri atas klausa da nektek adegan ’jangan memotong tiang’ dan nyen mati dagang uyah ’nanti pedagang garam meninggal’. Hubungan antarklausa yang membentuk wacana larangan di atas menunjukkan hubungan makna yang tidak logis. Artinya, kegiatan nektek adegan ’memotong tiang’ dan akibatnya yang ditimbulkan, yakni dagang uyah mati ’pedagang garam meninggal’ secara logika tidak masuk akal. Akan tetapi, penutur menggunakan tuturan seperti itu karena ada maksud yang ingin dicapai. Dengan kata lain, ungkapan larangan itu memiliki makna tersirat.

Konteks pemakaian ungkapan larangan di atas adalah dalam sebuah keluarga. Dengan ungkapan larangan di atas, penutur (orang tua) ingin memerintahkan lawan tuturnya (anak-anak) agar tidak melakukan kegiatan nektek ’memotong’ secara sembarangan karena itu bukan perbuatan yang baik. Lebih-lebih nektek adegan ’memotong tiang’ karena adegan ’tiang’ merupakan bagian yang vital sebuah rumah. Apabila adegan dipotong, di samping kelihatannya tidak baik juga bisa menyebabkan rumah roboh. Jadi, di balik ungkapan larangan nektek adegan terkandung makna pendidikan, yaitu mendidik seorang anak agar tidak bertingkah laku yang tidak baik yang dapat merugikan diri sendiri atau orang lain.

(16)

Hubungan antarklausa dalam wacana larangan (5-9a) dan (5-9b) adalah hubungan sebab akibat. Artinya, keadaan yang ditunjukkan pada klausa kedua merupakan akibat dari tindakan yang dilakukan pada klausa pertama. Walaupun hubungannya tidak logis, penutur menggunakannya dengan tujuan memberikan penekanan pengaruh psikologis kepada lawan tutur (anak-anak) sehingga tidak melakukan kegiatan nektek adegan ’memotong tiang’. Dalam hal ini penutur menggunakan majas metafora sebagai sasaran, yaitu dagang uyah ’pedagang garam’ karena uyah ’garam’ mempunyai fungsi yang sangat vital dalam masakan, sama vitalnya dengan fungsi adegan pada sebuah rumah. Bisa dibayangkan kalau suatu masakan tanpa garam, rasanya sangat tidak enak (hambar) walaupun sudah diisi bumbu yang lain.

Apabila dikaitkan dengan budaya Bali pada umumnya dan masyarakat petani Tabanan khususnya yang dilandasi oleh ajaran agama Hindu, uyah ’garam’ berwarna putih dan warna putih merupakan lambang atau simbol Dewa Siwa. Di dalam simbol bangunan tempat pemujaan, Dewa Siwa selalu ditempatkan di tengah diapit oleh Dewa Brahma di Selatan dan Dewa Wisnu di sebelah Utara. Demikian pula dalam wujud warna, warna putih sebagai lambang Dewa Siwa senantiasa diapit oleh warna merah (Brahma) dan hitam (Wisnu). Di samping itu, dalam konsep agama Hindu khususnya tentang Pemujaan Dewata Nawasanga (konsep pemujaan Tuhan dalam penguasaan arah angin), Dewa Siwa posisinya di tengah (pusat) (Nala dan I G. K. Adia Wiratmadja, 2004: 88--94). Jadi, uyah ’garam’ berwarna putih dan adegan ’tiang’ sama-sama merupakan simbol inti (pusat) sesuatu. Adegan ’tiang’ adalah inti sebuah bangunan, sedangkan uyah

(17)

’garam’ adalah inti bumbu dalam masakan dan simbol Dewa Siwa yang merupakan pusat dari segala Dewa ’manifestasi Tuhan’.

2. Ungkapan Larangan Menduduki Bantal

Bentuk ungkapan larangan negakin galeng ’menduduki bantal’ mempunyai dua variasi, yang dibedakan oleh penanda larangannnya. Kedua variasi bentuk yang dimaksud adalah sebagai berikut.

5-10 a. Sing dadi negak di galenge, nyanan jite busul . tidak boleh duduk di bantal, nanti pantatnya bisul ‘Tidak boleh duduk di bantal, nanti bisul di pantat’ b. De negakin galeng, bisa busul jite.

jangan menduduki bantal, bisa bisul pantatnya ‘Jangan menduduki bantal, bisa bisul di pantat’

Seperti halnya ungkapan larangan nektek adegan, ungkapan larangan negakin galeng juga dituturkan oleh orang tua kepada anak-anak yang digunakan pada lingkup keluarga. Ungkapan larangan negakin galeng juga terdiri atas dua klausa yang menyatakan hubungan sebab akibat. Klausa kedua bisa busul jite ’bisa bisul pantatnya’ merupakan akibat dari perbuatan yang dinyatakan pada klausa pertama sing dadi negak di galenge ’tidak boleh duduk di bantal’ atau de negakin galeng ’jangan menduduki bantal’.

Apabila diperhatikan secara saksama, di balik ungkapan larangan negakin galeng ‘menduduki bantal’ terdapat makna tersirat yang ingin disampaikan oleh penutur (para orang tua) kepada petutur (anak). Makna tersirat itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

(18)

Galeng ’bantal’ bagi masyarakat petani Tabanan merupakan benda yang biasanya diletakkan di kepala sehingga harus disucikan dan diletakkan di luanan ’hulu’. Artinya, galeng ’bantal’ bagi masyarakat petani Tabanan merupakan simbol luanan ’hulu’. Berbeda dengan jit ’pantat’. Jit ’pantat’ merupakan simbol teben ’hilir’. Meletakkan galeng ’bantal’ di pantat atau menduduki bantal itu berarti mecampurkan antara konsep luanan ’hulu’ dan teben ’hilir’ sehingga menimbulkan leteh ’kotor secara spiritual’.

Dengan ungkapan larangan Sing dadi negak di galenge, nyanan jite busul atau De negakin galeng, bisa busul jite penutur (para orang tua) mengharapkan petutur (anak-anak) tidak mencampuradukkan antara luanan ’hulu’ dan teben ’hilir’ sehingga tidak menimbulkan leteh ’kotor secara spiritual’. Leteh ’kotor secara spiritual’ dalam ungkapan larangan ini disimbolkan dengan busul ’bisul’. Penggunaan kata busul ’bisul’ dalam larangan ini merupakan majas metafora karena tidak mengacu pada arti kata tersebut yang sebenarnya sebagai suatu penyakit, tetapi merupakan simbol leteh ’kotor secara spiritual’. Jadi, di balik ungkapan larangan negakin galeng ’menduduki bantal’ juga terkandung makna pendidikan etika sopan santun karena secara etika tidak baik menduduki bantal yang biasanya digunakan untuk tidur yang diletakkan di bagian kepala.

Makna pendidikan etika sopan santun juga ditemukan dalam ungkapan larangan berikut ini.

5-11 a. Da ngecuhin timpal, nyen kadengan awake. jangan meludahi teman, nanti tumbuh tahi lalat badannya ’Jangan meludahi teman, nanti tumbuh tahi lalat di badan’

(19)

b. Sing dadi ngecuhin timpal, nyen kadengan awake. tidak boleh meludahi teman, nanti tumbuh tahi lalat badannya ’Tidak boleh meludahi teman, nanti tumbuh tahi lalat di badan’ 5-12 a. Sing dadi nyambat adan anak tua, nyen bisa tulah. tidak boleh menyebut nama orang tua, nanti bisa terkutuk ’Tidak boleh menyebut nama orang tua, nanti bisa terkutuk’

b. Da nyambat adan anak tua, nyen bisa tulah. da menyebut nama orang tua, nanti bisa terkutuk ’Jangan menyebut nama orang tua, nanti bisa terkutuk’

5-13 a. Yen maken ngajeng de ngambelin piring, nyen teka memedine. kalau akan makan jangan memukul piring, nanti datang lelembut ’Kalau mau makan, jangan memukul piring, nanti lelembut datang’

b. Sing dadi ngambelin piring yen maken ngajeng, nyen teka memedine tidak boleh memukul piring kalau mau makan, nanti datang lelembut ’Tidak boleh memukul piring kalau mau makan, nanti lelembut datang’ 5-14 a. Yen ngajeng sing dadi mecarikan, nyen mati siap selem. kalau makan tidak boleh menyisakan makanan, nanti mati ayam hitam ’Kalau makan, tidak boleh menyisakan makanan, nanti ayam hitam mati’ b. Yen ngajeng da mecarikan, nyen mati siap selem. kalau makan jangan menyisakan makanan, nanti mati ayam hitam ’Kalau makan jangan menyisakan makanan, nanti ayam hitam mati’

Ngecuhin ’meludahi’ adalah perbuatan yang tidak baik karena ludah dianggap sesuatu yang kotor. Aktivitas saling kecuhin ’saling meludahi’ sering dilakukan oleh anak-anak ketika bermain dengan temannya. Karena perbuatan itu tidak baik, para orang tua kemudian menggunakan ungkapan larangan (5-13) sebagai sarana untuk menasihati anak-anak agar kegiatan itu tidak dilakukan. Untuk meyakinkan anak-anak, dalam ungkapan larangan ini dipilih kata kadengan ’tahi lalat’ akan muncul di badan kalau ngecuhin ’meludahi’ teman. Dipilih kata kadengan ’tahi lalat’ dalam ungkapan larangan ini karena kalau seseorang banyak tahi lalat di badan, tentu badan orang itu kelihatan tidak baik. Dengan demikian,

(20)

ungkapan larangan ini diharapkan dapat memengaruhi anak-anak agar tidak melakukan kegiatan ngecuhin ’meludahi’ teman. Intinya, ungkapan larangan ngecuhin timpal (5-11a) dan (5-11b) mengandung makna pendidikan etika sopan santun. Artinya, orang yang meludahi teman dianggap tidak tahu etika sopan santun.

Masyarakat petani Tabanan mempunyai keyakinan kalau menyebut nama orang tua secara sembarangan akan mendatangkan bahaya tulah ’terkutuk’. Keyakinan ini tercermin pada ungkapan larangan menyebut nama orang tua seperti pada contoh (5-12). Akan tetapi, ungkapan larangan ini tidak berarti bahwa sama sekali tidak boleh menyebut nama orang tua. Nama orang tua dalam suatu keadaan tertentu bisa disebutkan, misalnya dalam hal urusan administrasi di sekolah.

Seorang anak ketika berkomunikasi dengan orang tuanya tidak mungkin menyebut langsung nama mereka karena itu dianggap tidak sopan. Orang tua adalah orang yang patut dihormati sehingga bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi juga harus sopan termasuk tidak menyebut nama beliau. Dalam hal ini, ada beberapa kata yang digunakan untuk menggantikan nama orang tua dalam berkomunikasi. Kata-kata yang dimaksud adalah bapa atau aji yang berarti ’ayah’ dan meme atau biyang yang berarti ’ibu’. Itulah sebabnya, ungkapan larangan menyebut nama orang tua seperti pada contoh (5-12) dikatakan memiliki makna tersirat berupa pendidikan sopan santun.

Ungkapan larangan (5-13) dan (5-14) keduanya berkaitan dengan larangan saat makan. Pada contoh (5-13) disebutkan kalau akan makan, dilarang memukul

(21)

piring, sedangkan pada contoh (5-14) apabila makan, tidak boleh menyisakan makanan. Kedua ungkapan larangan ini disampaikan oleh orang tua (penutur) kepada anak-anak (petutur). Hal ini didasari kenyataan apabila seorang anak akan makan, sering usil memukul-mukul piring yang akan digunakan sebagai tempat makan. Demikian juga ketika anak-anak makan sering nasinya tidak dihabiskan sehingga masih ada sisa yang disebut carikan ’sisa makanan’

Memukul piring ketika akan makan dan menyisakan makanan adalah perbuatan yang tidak baik karena dianggap tidak bisa mensyukuri rezeki (makanan) yang telah diberikan kepada kita. Memukul piring saat akan makan menyiratkan makna bahwa orang itu tidak bisa konsentrasi dalam melakukan pekerjaan sehingga hasilnya tidak baik. Secara logika, aktivitas makan tidak cepat dilakukan karena asyik memukul-mukul piring. Tentu hal ini akan membutuhkan waktu makan yang lama. Di samping menyatakan makna orang tidak bisa konsentrasi, memukul piring saat akan makan juga menyiratkan makna pemborosan. Hal ini terkait dengan dipilihnya kata memedi ’lelembut’ yang akan datang kalau piring dipukul saat akan makan. Bunyi piring yang dipukul diyakini bisa mendatangkan memedi ’lelembut’ sehingga kalau mereka datang dan ikut makan makanan yang ada, bisa menimbulkan pemborosan. Terlepas dari simbol-simbol yang digunakan dalam ungkapan larangan itu, memukul piring saat akan makan mencerminkan ketidaksopanan saat makan. Jadi, ungkapan larangan memukul piring saat akan makan juga memiliki makna pendidikan etika sopan santun khususnya dalam hal makan.

(22)

Ungkapan larangan mecarikan ’menyisakan makanan’ saat makan mengisyarakatkan makna pendidikan etika sopan santun saat makan. Saat akan makan, makanan yang diambil harus bisa ditakar/diukur agar tidak berlebihan. Menyisakan makanan karena berlebihan saat mengambil mencirikan perilaku hidup yang boros karena makanan terbuang sia-sia. Di samping itu, mecarikan saat makan juga mencerminkan makna perilaku yang tidak bisa mensyukuri rezeki (makanan) yang telah diberikan oleh Tuhan.

Anak-anak memang dalam kehidupannya belum mampu berperilaku seperti orang dewasa, termasuk dalam hal mengambil makanan. Mereka belum bisa menakar makanan yang pas sehingga sering makanan yang diambil melebihi kapasitas perutnya dan menimbulkan carikan ’makanan sisa’. Untuk mendidik mereka agar tidak sering mecarikan ’menyisakan makanan’, para orang tua menggunakan ungkapan larangan mecarikan seperti pada (5-14) di atas.

Dalam ungkapan larangan (5-14) digunakan majas metafora dengan mengambil siap selem ’ayam hitam’ sebagai pembanding dengan tujuan memberikan efek psikologis kepada anak-anak. Dengan mengatakan ayam hitam akan mati kalau menyisakan makanan saat makan, anak-anak bisa mengubah perilaku tidak baik itu.

Dalam ungkapan larangan ini digunakan metafora ayam hitam bukan ayam putih atau ayam merah. Penggunaan ayam hitam sebagai metafora dalam ungkapan larangan di atas, ternyata mengandung nilai filosofi yang sangat mendalam. Warna hitam pada ajaran agama Hindu merupakan simbol Dewa Wisnu yang merupakan manifestasi Tuhan sebagai pemelihara alam semesta.

(23)

Melalui Dewi Sri sebagai sakti Dewa Wisnu, Tuhan menganugerahkan padi kepada manusia agar dapat hidup. Oleh karena itu, padi pada masyarakat petani Tabanan dikatakan sebagai simbol Dewi Sri atau Dewa Kemakmuran (Nala dan I G. K. Adia Wiratmadja, 2004: 93). Padi diolah menghasilkan beras, yang merupakan makanan pokok masyarakat petani khususnya di Tabanan. Jadi, penggunaan majas metafora siap selem ’ayam hitam’ dalam ungkapan larangan di atas merupakan simbol dari Dewa Wisnu sebagai Dewa pemelihara alam semesta. Menyia-nyiakan nasi dengan cara mecarikan pada saat makan diartikan sebagai suatu tindakan yang mencerminkan tidak bisa berterima kasih kepada Dewa Wisnu yang merupakan manifestasi Tuhan sebagai pemelihara.

3. Ungkapan Larangan Bermain Tengah Hari

Kali tepet berasal dari kata kali atau kala yang berarti ’waktu’ dan tepet berarti ’tengah hari’ (Sutjaja, 2006). Dengan demikian, kali tepat berarti waktu tengah hari, yaitu waktu yang menunjukkan pertemuan antara batas akhir pagi dan awal sore, kira-kira pukul 12.00 WITA. Saat kali tepet biasanya orang-orang beristirahat sejenak dari pekerjaannya dan bekerja lagi setelah pukul 13.00 WITA. Situasi ini juga terjadi pada masyarakat petani Tabanan. Namun, saat kali tepet ini anak-anak sering masih bermain bersama teman-temannya, tanpa memperhatikan waktu. Agar anak-anak tidak bermain saat kali tepet, para orang tua menasihati anak-anak dengan ungkapan larangan yang berbentuk sebagai berikut.

(24)

5-15 a. Sing dadi melali kali tepet, pelaibang memedi nyen. tidak boleh bermain waktu tengah hari, dilarikan lelembut nanti ’Tidak boleh bermain waktu tengah hari, nanti dilarikan lelembut’

b. Da melali kali tepet, nyen plaibang memedi. jangan bermain tengah hari, nanti dilarikan lelembut ’Jangan bermain tengah hari, nanti dilarikan lelembut’

Ungkapan larangan melali kali tepet mempunyai dua variasi bentuk seperti yang terdapat pada (5-15a) dan (5-15b). Dari bentuk itu diketahui makna tersurat ungkapan larangan tersebut yaitu ’tidak boleh bermain saat tengah hari karena bisa dilarikan lelembut’. Namun, secara logika makna itu tidak dapat diterima karena antara melali kali tepet ’bermain tengah hari’ dan pelaiban memedi ’dilarikan lelembut’ tidak ada hubungan. Itu artinya, penutur yang menuturkan ungkapan larangan tersebut mempunyai maksud tersirat di baliknya.

Seperti disebutkan di atas, kali tepet berarti saat tengah hari. Waktu tengah hari merupakan saat yang baik untuk beristirahat sehingga nantinya dapat bekerja lagi dengan baik. Di samping itu, kali tepet diyakini oleh masyarakat petani Tabanan sebagai waktu keluarnya makhluk halus seperti memedi ’lelembut’. Oleh karena itu, para orang tua melarang anak-anak bermain saat kali tepet.

Anak-anak sering bermain tanpa memperhatikan waktu sehingga penutur (para orang tua) menggunakan ungkapan larangan melali kali tepet ini untuk manakut-nakuti anak-anak agar mau beristirahat saat itu. Sebenarnya, tujuan utama tidaklah menakut-nakuti, tetapi memberikan nasihat secara tersirat. Penggunaan majas metafora memedi ’lelembut’ hanyalah sebagai simbol makhluk halus yang menyeramkan, yang diyakini keluar saat-saat tertentu seperti kali tepat ’tengah hari’. Pada masyarakat petani Tabanan, memedi ’lelembut’ diilustrasikan

(25)

seperti anak-anak yang berbadan pendek dan berambut keriting kemerah-merahan serta suka mengganggu anak-anak. Jadi, di balik wacana larangan melali kali tepet tersirat makna nasihat agar anak-anak mau istirahat saat tengah hari.

4. Ungkapan Larangan Mencari Kutu di Jalan

Mekutu ’mencari kutu’ umumnya adalah aktivitas para ibu di desa terutama saat-saat senggang atau saat istirahat. Kegiatan ini bertujuan untuk menghilangkan kutu yang ada di kepala seseorang. Saat mekutu, keadaan rambut orang yang dicari kutunya adalah megambahan ’terurai’. Oleh karena itu, sebaiknya kegiatan ini tidak dilakukan pada sembarang tempat apalagi di jalan. Jelas ini merupakan kegiatan yang kurang sopan. Untuk itulah kemudian digunakan ungkapan larangan mekutu di jalan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan sebenarnya ungkapan larangan mekutu di jalan bertujuan memberitahukan masyarakat agar tidak melakukan kegiatan mencari kutu di sembarangan tempat. Dengan kata lain, ungkapan larangan ini digunakan menasihati orang lain dan orang yang dinasihati tidak tersinggung. Jadi, ungkapan larangan mekutu di jalan memiliki makna nasihat tentang etika kesopanan. Wujud ungkapan larangan mekutu di jalan selengkapnya adalah sebagai berikut.

5-16 a. Da makutu di jalan, nyen kalah bebotohe. jangan mencari kutu di jalan, nanti kalah penjudinya ’Jangan mencari kutu di jalan, nanti penjudinya kalah’

Makna nasihat etika kesopanan dalam ungkapan larangan di atas merupakan makna tersirat. Maksudnya, penutur menasihati petutur secara tidak langsung.

(26)

Penutur menggunakan majas metafora, yaitu dengan memilih kata bebotoh ’penjudi’. Secara logika memang tidak masuk akal menghubungkan mekutu ’mencari kutu’ dengan bebotoh kalah ’penjudi kalah’. Akan tetapi, apabila dicermati lebih mendalam berdasarkan tujuan yang ingin dicapai oleh seseorang yang mencari kutu dan seorang penjudi, hal ini memiliki korelasi. Mencari kutu tujuannya adalah menghilangkan kutu dari kepala, sedangkan penjudi tujuannya mencari hasil yang berupa kemenangan. Jadi, ada dua tujuan yang bertolak melakang, yaitu satu menghilangkan dan yang lainnya mencari.

Penjudi yang mau berangkat ke arena judi dan bertemu dengan orang mencari kutu, akan mengindarinya dan mencari jalan alternatif. Hal ini diyakini, apabila penjudi itu meneruskan perjalanan dan melintas di depan orang mencari kutu akan mendapatkan kekalahan di arena judi.

Di samping seperti pada 5-16a, wacana larangan mekutu di jalan juga disampaikan dengan variasi sebagai berikut.

5-16 b. Sing dadi makutu di jalan, nyen kalah bebotohe. tidak boleh mencari kutu di jalan, nanti kalah penjudinya ’Tidak boleh mencari kutu di jalan, nanti penjudinya kalah’

5.2.2 Ungkapan Larangan Bermakna Keharmonisan

Ada beberapa ungkapan larangan yang menyatakan keharmonisan. Keharmonisan di sini maksudnya keharmonisan hubungan antara suami dan istri dalam sebuah keluarga. Ungkapan larangan yang menyatakan makna keharmonisan dapat disimak berikut ini.

(27)

1. Ungkapan Larangan Suami Bercukur Saat Istri Hamil

Ungkapan larangan megunting ’bercukur’ yang dimaksudkan di sini adalah ungkapan larangan bercukur bagi seorang suami saat istrinya sedang hamil. Bentuk wacana larangan ini adalah sebagai berikut.

5-17 a. Yen kurenan beling sing dadi magunting, apang panake rahayu. kalau istri hamil tidak boleh bercukur, supaya anak selamat ’Kalau istri sedang hamil, tidak boleh bercukur supaya anak selamat’

b. Da magunting yen ngelah kurenan beling, nyen panake sing rahayu. jangan bercukur kalau punya istri hamil, nanti anak tidak selamat ’Jangan bercukur kalau punya istri hamil, nanti anak tidak selamat’ Adanya dua variasi bentuk seperti (5-17a) dan (5-17b) tidak memengaruhi makna keseluruhan ungkapan larangan tersebut. Berdasarkan bentuknya, dapat diketahui makna tersurat ungkapan larangan tersebut, yaitu ’seorang suami yang mempunyai istri sedang hamil dilarang bercukur karena menyebabkan anak yang ada dalam kandungan tidak selamat’. Makna tersurat seperti itu sebenarnya tidak bisa diterima oleh akal sehat karena antara bercukur dan keselamatan bayi dalam kandungan tidak ada hubungan. Akan tetapi, di balik ungkapan larangan itu ada makna tersirat yang ingin disampaikan oleh penutur kepada petuturnya.

Secara logika memang tidak ada hubungan antara suami bercukur dan keselamatan bayi dalam kandungan istri. Akan tetapi, hubungan ini dapat dijelaskan secara psikologis. Maksudnya, seorang istri tidak menyangsikan suaminya akan berpaling kepada wanita lain atau serong dengan wanita lain karena penampilan yang awut-awutan dengan rambut panjang. Dalam kondisi seperti ini sang istri merasa tenang/tidak was-was sehingga secara psikologis memengaruhi kesehatan bayinya dalam kandungan. Sebaliknya, kalau rambut

(28)

suami dicukur, penampilannya kelihatan rapi dan tampan. Kondisi ini menyebabkan sang istri khawatir suaminya berpaling kepada wanita lain, sementara sang istri secara fisik merasa dirinya saat hamil tidak menarik lagi. Kondisi psikologis yang tidak baik ini, juga berpengaruh terhadap kandungannya sehingga dikhawatirkan memengaruhi keselamatan sang bayi. Secara psikologis ungkapan larangan suami bercukur dan keselamatan bayi dalam kandungan sang istri mempunyai hubungan. Dengan demikian, ungkapan larangan suami bercukur saat istri hamil memiliki makna tersirat menjaga keharmonisan hubungan suami istri.

2. Ungkapan Larangan Istri Berselingkuh ketika Suami Melaut

Ungkapan larangan istri berselingkuh ketika suami melaut, sampai saat ini diyakini oleh para nelayan di Tabanan. Hal ini disebabkan apabila ungkapan larangan itu dilanggar, akan membahayakan sang suami ketika melaut. Bentuk ungkapan larangan ini adalah sebagai berikut.

5-18 Yen kurenan luas ke pasih, somah sing dadi mamitra, . kalau suami pergi ke laut, istri tidak boleh berselingkuh, nyen sengkala

nanti kena bencana

’Kalau suami melaut, istri tidak boleh selingkuh, nanti kena bencana’

Suami mendapat bencana saat melaut kalau istrinya berselingkuh. Sepintas pernyataan itu memang tidak masuk akal. Artinya, antara klausa suami mendapat bencana saat melaut dan klausa istrinya berselingkuh tidak menunjukkan korelasi yang logis. Akan tetapi, setelah dicermati lebih mendalam hubungan kedua klausa di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.

(29)

Seorang nelayan mencari ikan di laut untuk menghidupi keluarganya. Ikan yang didapat bisa dijual dan uangnya digunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari anggota keluarganya. Dengan demikian, ketika seorang suami melaut sang istri harus mendukungnya. Misalnya, ikut menyiapkan segala perlengkapan yang diperlukan dan jangan lupa mendoakan sehingga sang suami dapat tenang menjalani aktivitasnya di laut. Hal ini sangat diperlukan karena risiko yang dihadapi nelayan di laut sangat besar seperti ombak yang besar dan mungkin serangan ikan yang besar. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan konsentrasi dan ketenangan pikiran.

Hubungan suami istri pada umumnya tidak hanya ditunjukkan oleh hubungan secara fisik, tetapi juga secara batin atau psikologis. Oleh karena itu, apabila terjadi sesuatu terhadap salah satu pasangan, akan menimbulkan suatu tanda atau firasat pada pasangannya. Demikian halnya, ketika suami melaut dan istrinya memitra ’berselingkuh’ tentu akan memberikan firasat yang tidak baik kepadanya. Kondisi inilah yang memengaruhi pikiran sang suami sehingga tidak konsentrasi lagi di laut. Apabila nelayan bekerja di laut tidak konsentrasi, tentu bisa membahayakan dirinya. Jadi, secara tidak langsung istri memitra ’berselingkuh’ dapat membahayakan suami ketika melaut.

5.2.3 Ungkapan Larangan Bermakna Mistis

Ada beberapa ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan yang menyatakan makna mistis. Ungkapan larangan yang dimaksud adalah seperti berikut ini.

(30)

1. Ungkapan Larangan Berdiri di Pintu

Bentuk ungkapan larangan majujuk di obag-obag ’berdiri di pintu’ adalah sebagai berikut.

5-19 Sing dadi majujuk di obag-obag, nyanan sengkala tidak boleh berdiri di pintu, nanti berbahaya ‘Tidak boleh berdiri di pintu, nanti berbahaya’

Konteks pemakaian ungkapan larangan di atas adalah di dalam keluarga, yaitu penutur melarang petutur untuk berdiri di pintu karena bisa membahayakan dirinya. Makna yang dimaksud oleh ungkapan larangan ini sebenarnya lebih ditekankan pada akibat berdiri di pintu, yakni dapat membahayakan yang bersangkutan. Membahayakan yang dimaksud di sini dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pintu adalah bagian dari suatu bangunan yang digunakan sebagai jalan untuk keluar dan masuk bangunan tersebut. Sebagai tempat keluar dan masuk, posisi pintu berada di perbatasan antara ruang di luar bangunan dan di dalam bangunan. Jadi, posisi pintu merupakan simbol untuk menyatakan tempat yang tidak jelas antara di dalam dan di luar. Apabila ada seseorang berdiri di pintu, itu berarti orang itu posisinya tidak jelas dalam arti tidak di dalam juga tidak di luar.

Berdasarkan keyakinan masyarakat petani Tabanan, posisi seseorang seperti ini mudah digunakan sebagai sarana yang berhubungan dengan mistis. Masyarakat petani Tabanan menyebut dengan istilah pesilih yang berarti badan seseorang yang berdiri di pintu bisa dimasuki roh jahat sehingga membahayakan diri orang itu. Di samping itu, ungkapan larangan berdiri di pintu menyiratkan makna kebimbangan atau tidak tetap pendirian. Orang yang bimbang dan tidak

(31)

tetap pendirian akan mudah dipengaruhi oleh pikiran-pikiran yang bersifat negatif sehingga membahayakan dirinya. Oleh karena itu, hindarilah berdiri di pintu apalagi saat sandi kala yang merupakan waktu pertemuan antara sore dan malam hari.

2. Ungkapan Larangan Bersandar di Tiang (Rumah)

Di samping ungkapan larangan (5-19) ada ungkapan larangan lain yang berkaitan dengan pesilih. Ungkapan larangan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

5-20 Sing dadi nyeleleg di adegan sambilan masedakep, tidak boleh bersandar di tiang rumah sambil menyilangkan tangan di dada, nyanan kapesilih.

nanti kemasukan roh jahat

’Tidak boleh bersandar di tiang rumah sambil menyilangkan tangan di dada, nanti kemasukan roh jahat’

Ungkapan larangan dalam contoh (5-20) mengisyaratkan makna bahwa orang pada posisi bersandar di tiang rumah dan menyilangkan tangan di dada diyakini mudah kapesilih ’dimasuki roh jahat’. Dengan demikian, ungkapan larangan (5-19) dan (5-20) mengandung makna yang berkaitan dengan masalah mistis.

3. Ungkapan Larangan Menginapkan Lubang untuk Mengubur Mayat

Bentuk ungkapan larangan menginapkan lubang yang akan digunakan untuk mengubur mayat adalah sebagai berikut.

5-21 Kapastika tan dados nginepang bangbang yening pacang mendem Dipastikan tidak boleh menginapkan lubang kalau akan mengubur sawa. (ADABTK-Pawos18-1a)

(32)

mayat

’Dipastikan tidak boleh menginapkan lubang kalau akan mengubur mayat’ Bangbang ’lubang’ yang akan digunakan untuk mengubur mayat seseorang yang meninggal tidak boleh diinapkan karena diyakini berkaitan dengan mistis. Hal ini tentu saja bisa berdampak negatif, baik bagi mayat yang dikubur maupun pihak keluarganya. Oleh karena itu, bangbang ’lubang’ ini biasanya dibuat sesaat sebelum upacara penguburan dilaksanakan.

Ungkapan larangan menginapkan lubang sebelum mengubur mayat secara logika mengisyaratkan makna lubang itu dikhawatirkan longsor. Logikanya, apabila di malam hari turun hujan, lubang akan berisi air dan bisa longsor. Kondisi ini tentu akan merepotkan masyarakat untuk menggali kembali lubang tersebut.

Ada beberapa variasi bentuk ungkapan larangan di atas yang ditemukan pada masyarakat petani Tabanan. Variasi bentuk tersebut dapat dilihat pada contoh berikut.

5-22 Sapasira ugi jagi mamendem sawa, nenten kadadosang nginepang siapa saja akan mengubur mayat, tidak dibolehkan menginapkan bangbang. (ADAJ-Pawos 72).

lubang

’Siapa saja yang akan mengubur mayat, tidak dibolehkan menginapkan lubang’

5-23 Yan mendem sawa, kapastika tan dados nginepang bangbang. kalau mengubur mayat, dipastikan tidak boleh menginapkan lubang (AKDAKA-Pawos 16-1a)

(33)

5.2.4 Ungkapan Larangan Bermakna Menyayangi Sesama Makhluk Hidup

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia harus bisa saling menyayangi sesasa makhluk hidup. Hal ini disebabkan semua makhluk hidup diciptakan oleh Tuhan Yang Mahaesa untuk bisa hidup berdampingan dan saling menolong. Terkait dengan hal itu, ada beberapa ungkapan larangan yang menyatakan makna agar manusia bisa hidup saling menyayangi sesasama makhluk hidup. Ungkapan larangan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1. Wacana Larangan Memukul Anjing Saat Upacara Yadna

Di masyarakat petani Tabanan ada keyakinan ketika melaksanakan upacara agama atau yadna tidak boleh memukul anjing. Apabila larangan ini dilanggar, diyakini upacara yang dilaksanakan akan boros. Artinya, upacara itu menghabiskan banyak harta tanpa arah yang jelas. Di samping itu, juga diyakini kalau memukul anjing saat melaksanakan upacara agama, anjing akan datang bertambah banyak sehingga dapat menimbulkan kegaduhan.

Keyakinan di atas didasari oleh sebuah cerita yang menceritakan seekor anjing yang bernama Sang Seremayo yang merupakan putra seorang Bidadari. Suatu saat Sang Seremayo minta izin kepada ibunya untuk bermain ke Istana Raja yang bernama Jana Mejaya yang saat itu sedang melaksanakan upacara agama. Sang Seremayo diizinkan dengan catatan agar tidak nakal.

Tiba di istana Sang Seremayo menonton orang yang sedang memasak. Keberadaan Sang Seremeyo yang menonton ini diketahui oleh tukang masak.

(34)

Tukang masak memukul anjing itu, padahal dia tidak bersalah. Sang Seremayo tidak terima diperlakukan seperti itu, kemudian ia mengadu kepada ibunya. Ibunya datang ke istana menanyai Sang Raja. Anaknya dipukul oleh tukang masak padahal tidak bersalah. Sang ibu mengutuk upacara yang dilakukan Sang Raja supaya boros dan dianggap leteh ’kotor’. Oleh karena itulah, masyarakat petani Tabanan masih meyakini hal ini sehingga ketika melaksanakan upacara agama dilarang memukul anjing. Bentuk larangannya adalah sebagai berikut. 5-24 Sedek meyadnya sing dadi ngelempag cicing. ketika melaksanakan upacara agama tidak boleh memukul anjing,

nyen koos yadnyane nanti boros upacaranya

’Ketika melaksanakan upacara agama tidak boleh memukul anjing, nanti upacaranya boros’

Di samping itu, ungkapan larangan memukul anjing saat upacara agama sebenarnya juga menyiratkan makna agar kita dalam hidup ini saling menyayangi antarsesama termasuk menyayangi binatang. Menurut teologi Hindu, binatang diciptakan oleh Ida sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Mahaesa, menjadi ”teman” manusia di dunia ini (Udayana, 2008: 104). Memukul anjing berarti menyakiti binatang. Apabila anjing dipukul, ia akan menggigit dan sebaliknya kalau disayang, ia akan menjaga manusia. Di samping itu, menurut Wiana (2002: 193) anjing dalam upacara yadna agama Hindu merupakan simbol kesetiaan. Hal ini disebabkan anjing mengamalkan Bhakti Tyaga, yaitu kesetiaan yang tulus tanpa pamrih. Anjing mempunyai sifat jelek dan sifat baik. Sifat baik anjing adalah setia sehingga anjing khususnya yang berwarna Bang Bungkem dijadikan salah satu binatang sebagai sarana Caru Manca Sanak untuk menuntun kesetiaan manuasia pada Dharma. Dengan demikian, saat melaksanakan upacara agama /

(35)

yadna, anjing jangan disakiti, sebaliknya diberi makan sehingga tidak menimbulkan kegaduhan.

2. Ungkapan Larangan Membajak dengan Sapi pada Hari Kamis

Dalam membajak atau mengolah tanah, petani Tabanan ada yang menggunakan traktor dan ada pula yang masih menggunakan sapi atau kerbau. Petani menggunakan sapi terutama pada petak sawah yang kecil/sempit dan pematangnya curam. Di samping itu, memang masih ada petani yang fanatik untuk membajak atau mengolah tanah dengan bantuan sapi karena diyakini memberikan hasil yang lebih baik daripada menggunakan traktor.

Pada masyarakat petani Tabanan ada ungkapan larangan mempekerjakan sapi pada hari Kamis yang sampai sekarang masih digunakan. Hal ini terlihat dalam percakapan berikut, yang mengandung ungkapan larangan tersebut.

5-25 Pn: Kenken Gung? ’Bagaimana Gung’

Pt: Ji, pidan nyidang makal uman tiange? ’Ayah, kapan bisa membajak sawah saya?’

Pn: Jani apa ne Gung? ’Sekarang hari apa Gung?’ Pt: Buda

’Rabu’

Pn: Buda, mani Respati, purnama pidan? ‘Rabu, besok Kamis, purnama kapan?’

Pt: Buin puan. ’Lagi dua hari’

Pn: Beh, neren sing dadi megae.

’Wah, berturut-turut tidak boleh bekerja’ Pt: Maksudne?

’Maksudnya’

Pn: Respati ajak Purnama sing dadi megaenang sampi. ’Kamis dan Purnama tidak boleh mempekerjakan sapi’

(36)

Pt: Men pidan megae?

‘Kalau begitu, kapan bekerja?’ Pn : Di Redite gen nah.

‘Hari Minggu saja, ya’

Dalam percakapan di atas, ungkapan larangan membajak sawah dengan sapi pada hari Kamis tercermin dalam kalimat Respati ajak Purnama sing dadi megaenang sampi ’Hari Kamis dan hari Purnama tidak boleh mempekerjakan sapi’. Ungkapan larangan ini diwarisi oleh masyarakat petani Tabanan dari generasi pendahulunya secara lisan. Pada umumnya para petani tidak tahu makna ungkapan larangan itu karena mereka menerima dari pendahulunya memang seperti itu. Artinya, tidak ada penjelasan tentang makna ungkapan larangan itu. Walaupun demikian, mereka tidak berani melanggarnya. Mereka sangat yakin apabila ungkapan larangan itu dilanggar, sapi akan mengalami cedera atau membahayakan, seperti kaki sapi patah, sapi menjadi rengas ’liar’, sapi melarikan bajak sampai hancur, bahkan ada sapi sampai mati.

Secara logika memang tidak masuk akal. Namun, hal itu bisa dijelaskan dengan menggunakan wariga ’ilmu astronomi’ sebagai petunjuknya. Menurut Arwati (2007: 15), sesuai dengan pengider-ideran ’penjuru mata angin’ bahwa hari Kamis letaknya di Tenggara dengan jumlah urip 8, Dewanya Mahesora/Maheswara, sama dengan jumlah urip di madia/tengah, yaitu 8, yang merupakan sthananya Dewa Siwa. Kendaraan Beliau adalah lembu/sapi. Oleh karena itu, petani tidak mau membajak/mempekerjakan sapi pada hari Kamis. Mempekerjakan sapi pada hari Kamis dianggap memada-mada atau menyamai Ida Bhatara Siwa yang menggunakan sapi sebagai kendaraannya. Di samping itu, munculnya ungkapan larangan ini juga didasari oleh adanya mitos yang

(37)

menyebutkan bahwa pada hari itu (Kamis) para Dewa yang menguasai sapi tengah bersidang di Gunung Agung (Udayana, 2008: 62). Apabila pada hari itu (Kamis) sapi dipekerjakan, masyarakat petani Tabanan yakin akan mendapatkan bahaya.

Apabila dicermati petunjuk wariga dan mitos di atas, ada terkandung makna agar sapi tidak dipekerjakan terus-menerus. Sapi seperti halnya manusia juga membutuhkan istirahat untuk memulihkan tenaganya. Sapi perlu dipelihara (disejahterakan) dengan memberi pakan yang cukup, dipekerjakan secara teratur (tidak terus menerus) sehingga produktivitasnya maksimal. Di balik ungkapan larangan itu tersirat pesan-pesan mulia yang terkait dengan keteraturan, pemilahan, menyejahterakan, dan produktivitas (Udayana, 2008: 63-64). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kita perlu saling menyayangi sesama makhluk hidup termasuk sapi. Sapi perlu dipelihara dengan baik, tidak dipekerjakan secara terus-menerus (teratur) sehingga produktivitasnya tinggi (sapi yang sehat pasti kuat untuk membajak).

5.2.5 Ungkapan Larangan Bermakna Pelestarian dan Kebersihan Lingkungan

Manusia selalu hidup dan menyatu dengan lingkungannya. Lingkungan sangat penting artinya bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, manusia harus mampu melestarikan dan menjaga kebersihannya. Para leluhur atau tetua kita telah mengatur hal itu dengan menciptakan ungkapan larangan yang berhubungan dengan pelestarian dan kebersihan lingkungan. Lingkungan di sini tidak hanya berupa lingkungan fisik di alam nyata atau sekala, tetapi juga lingkungan

(38)

non-fisik/niskala ’maya’. Di bawah ini dijelaskan beberapa ungkapan larangan yang menyatakan makna pelestarian dan kebersihan lingkungan.

1. Ungkapan Larangan Menebang Bambu pada Hari Minggu

Ungkapan larangan menebang bambu pada hari Minggu mempunyai variasi bentuk sebagai berikut.

5-26 a. Da nektek tiing di Redite, bisa mati punyan tiinge. jangan menebang bambu di hari Minggu, bisa mati pohon bambunya ‘Jangan menebang bambu pada hari Minggu, bisa mati pohon bambunya’

b. Sing dadi nyepeg tiing di Redite, nyen mati tiinge. tidak boleh menebang bambu di hari Minggu, nanti mati bambunya ‘Tidak boleh menebang bambu pada hari Minggu, nanti bambunya mati’ Dalam kehidupan masyarakat petani Tabanan, bambu merupakan tanaman yang memberikan banyak manfaat. Di samping dapat digunakan sebagai petaku ‘penjaga tanah’ dari longsor, bambu juga bisa menghasilkan berbagai barang kerajinan. Besarnya manfaat bambu menyebabkan para petani memeliharanya agar tetap tumbuh dengan baik. Dalam pemeliharaan bambu, para petani menyakini ungkapan larangan menebang bambu pada hari Minggu. Apabila dilanggar, menyebabkan bambu tumbuhnya tidak baik (mured) atau bambunya bisa mati. Keyakinan itu tetap dipelihara dan dilaksanakan sampai sekarang, terbukti adanya tuturan seperti pada percakapan berikut ini.

5-27 Pn : Mangku, tali telas, tiing ten wenten, idadane jagi mekarya. Sapunapi mangkin?

’Mangku, bagaimana ini? Tali habis dan tidak ada bambu masyarakat akan bergotong royong’.

Pt : Men, kenken?

’Terus, bagaimana?’

Pn : Mangkin Redite, ten dados nyepeg tiing

(39)

Pt : Eh sajan! ’Eh betul!’

Dalam percakapan di atas penutur menyampaikan ungkapan larangan menebang bambu pada hari Minggu dalam bentuk kalimat Mangkin Redite, ten dados nyepeg tiing ’Sekarang hari Minggu, tidak boleh menebang bambu’. Secara tersurat ungkapan larangan tersebut menyatakan bahwa pada hari Minggu tidak boleh menebang bambu. Masyarakat petani Tabanan meyakini apabila pohon bambu ditebang pada hari Minggu, pertumbuhannya tidak baik, bahkan bisa mati.

Ungkapan larangan menebang bambu pada hari Minggu didasari oleh padewasan ’hari baik’ menanam pohon sebagaimana tercantum dalam wariga. Menurut Ardhana (2005: 112) hari baik untuk menanam tumbuhan berbuku/beruas adalah hari Minggu. Salah satu contoh tumbuhan berbuku/beruas adalah bambu. Jadi, hari Minggu merupakan hari kelahiran tumbuhan berbuku/beruas termasuk bambu. Oleh karena itu, kalau menebang bambu untuk suatu keperluan, sebaiknya jangan pada hari Minggu yang merupakan simbol hari kelahirannya. Di balik wacana di atas terkandung makna bahwa tidak boleh sembarangan menebang pohon-pohonan atau tumbuhan karena seperti halnya manusia tumbuhan juga diyakini mempunyai hari kelahiran. Di samping itu, ungkapan larangan di atas juga mengisyaratkan makna agar tidak sembarangan menebang bambu demi menjaga kelestarian lingkungan. Bambu biasanya ditanam pada lahan yang miring yang sekaligus difungsikan untuk menahan tanah dari bahaya longsor. Apabila pohon bambu ditebang sembarangan, tentu berakibat tidak baik. Pertumbuhan pohon bambu tidak baik dan tidak lagi bisa berfungsi

(40)

sebagai penahan tanah dari ancaman longsor. Dengan kata lain, ungkapan larangan di atas mengandung makna pelestarian lingkungan.

2. Ungkapan Larangan Membakar Jerami sebelum Panen Selesai

Ungkapan larangan membakar jerami sebelum panen selesai, bentuknya sebagai berikut.

5-28 Sing dadi nunjel somi satonden padine telah keanyi. tidak boleh membakar jerami sebelum padi habis dipanen ‘Tidak boleh membakar jerami sebelum padi habis dipanen’

Membakar jerami merupakan salah satu kegiatan petani apabila panen telah usai. Akan tetapi, karena alasan tertentu padi dalam satu petak belum bisa dipanen dalam waktu yang bersamaan. Ini sering terjadi walaupun waktu tanamnya sama, belum tentu semua padi tumbuhnya merata. Kondisi inilah menyebabkan panen tidak bisa dilakukan sekaligus. Sebagian padi sudah dipanen berarti ada jerami yang mestinya sudah bisa dibakar. Sementara pada bagian petak yang lain masih ada padi yang belum siap dipanen. Apabila dalam satu petak terjadi kondisi seperti ini, petani meyakini tidak boleh membakar jerami karena padi yang belum dipanen hasilnya akan tidak baik.

Membakar jerami tentu akan memberikan efek panas yang luar biasa bagi tanaman yang ada di sekelilingnya. Tanaman yang kena imbas panas dari membakar jerami tentu akan menjadi layu, bahkan tidak menutup kemungkinan bisa menjadi mati sehingga tidak memberikan hasil. Demikian juga kalau dalam satu petak sawah masih ada padi yang belum dipanen sementara di petak sebelahnya petani membakar jerami, efek panas tersebut berimbas pada padi yang

(41)

belum dipanen. Padi bisa layu dan tentunya bulir-bulir padi menjadi tidak baik sehingga akan memengaruhi hasil panen menjadi tidak baik. Jadi, di balik ungkapan larangan membakar jerami sebelum panen selesai secara tersirat terkandung makna perlunya menjaga keseimbangan lingkungan di sawah agar memberikan hasil yang baik.

3. Ungkapan Larangan Membuang Sampah ke Halaman Orang Lain dan ke Jalan

Ungkapan larangan membuang sampah ke halaman orang lain dan ke jalan ditemukan dalam Awig-Awig Desa Adat Jatiluwih, Kecamatan Penebel. Bentuk wacana larangan tersebut adalah sebagai berikut.

5-29 Tan wenang ngentungang lulu ke pekarangan anak lian tidak diizinkan membuang sampah ke halaman orang lain kalih ke margi. (ADAJ-Pawos 32-d).

dan ke jalan

’Tidak diizinkan membuang sampah ke halaman orang lain dan ke jalan’ Ungkapan larangan di atas (5-29) mengisyaratkan makna tidak boleh membuang sampah di sembarangan tempat. Sampah sering diartikan sebagai sesuatu yang tidak berguna atau simbol kotoran. Oleh karena itu, sampah harus dibuang pada tempatnya. Sampah tidak dibuang sembarangan seperti ke jalan yang merupakan fasilitas umum, apalagi ke halaman orang lain.

Sampah umumnya berasal dari bermacam-macam sumber, seperti daun-daun pohon yang sudah kering yang tumbuh di halaman rumah, sisa memasak di dapur, dan sisa melakukan aktivitas saat upacara. Apabila sampah itu tidak

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Jenning (1971, dalam Blomm 197), topografi karst didefinisikan sebagai lahan dengan relief dan pola penyaluran yang aneh, berkembang pada batuan yang

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan mengenai implementasi program Reuse, Reduce, Recycle (3R) dalam pengelolaan sampah di bank sampah pelita

Bagaimana deskripsi unsur intrinsik yang berupa aspek bunyi, aspek sintaksis, aspek semantik dalam lirik lagu “La Vie En Rose dan L’Hymne à L’Amour” karya Édith

Memvalidasi kinerja dan anggaran program yang menjadi tanggung jawab unit Eselon I berkenaan dengan total pagu anggaran, sumber dana dan sasaran kinerja (jenis barang/jasa dan

Pemahaman mengenai stabilitas kimia dari mineral magnetik (dalam proses authigenesis) merupakan hal yang sangat penting untuk dapat menerangkan proses geokimia sedimen

kepada saya beberapa waktu yang lalu.. Selain romantisme masa lalu, dalam hal pemekaran, jujur saya katakan bahwa wilayah Imekko memiliki modalitas lainnya, seperti Modalitas

Ketika Semua Telah Terlena Oleh Arak Dan Musik, Pang Tong Berbicara Kepada Fa Zheng, "Karena Tuan Kita Tidak Mau Mengikuti Rencana Kita, Kita Lebih Baik

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa serta didorong keinginan luhur untuk mewujudkan martabat, wibawa dan kehormatan profesi perawat gigi maka Perawat Gigi yang bergabung dalam wadah