• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka pada prinsipnya berisi penelitian yang relevan, selanjutnya melalui hal-hal tersebut dapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka pada prinsipnya berisi penelitian yang relevan, selanjutnya melalui hal-hal tersebut dapat"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka pada prinsipnya berisi penelitian yang relevan, selanjutnya melalui hal-hal tersebut dapat diketahui persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang akan dilaksanakan. Selain itu, melalui penelitian tersebut juga dapat memberikan masukan dan pertimbangan terhadap penelitian yang akan dilaksanakan. Atas dasar itu, selanjutnya adalah beberapa penelitian yang mendukung penelitian yang akan dilaksanakan.

Penelitian yang pertama berjudul “The Secret, The Sovereign, and the Lie: Reading Derrida’s Last Seminar”. Penelitian ini yang dilakukan oleh Charles Barbour dan diterbitkan di jurnal Societies pada tahun 2013, vol 3, pp 117-127, dengan nomor ISSN 2075-4698. Penelitian membahas tentang perbedaan antara kebohongan dan kedaulatan pada seminar akhir Derrida yang berjudul The Beast and the Sovereign. Fokus utama ada pada Lacan dan Celan di volume I yang ditulis Derrida dari buku Lecan.

Persamaan penelitian yang lakukan oleh Charles Barbour dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pendekatan dalam menganalisis objek penelitian yakni dekonstruksi. Sedangkan perbedaannya adalah objek penelitian yang digunakan Charles Barbour adalah makalah seminar terakhir Derrida yang membahas rahasia, kedaulatan, dan kebohongan dalam puisi. Sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan novel sebagai objek penelitiannya. Perbedaan lain antara penelitian Charles Barbour dengan penelitian yang akan dilakukan adalah tujuan dari penelitian yang akan dilakukan salah satunya adalah untuk menjelaskan dan mendeskripsikan relevansi nilai pendidikan karakter pada novel Tak Sempurna karya Fahd Djibran dan Bondan Prakoso & Fade2Black dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA).

Selanjutnya, penelitian kedua berjudul “Joyce the Deconstructionist: Finnegans Wake in Context”. Penelitian ini dilakukan oleh Zangouei, J. dan diterbitkan di jurnal Kata pada tahun 2012 vol. 14 no. 1 pp 31-35, dengan nomor ISSN 2302-6294. Penelitian yang dilakukan oleh Zangouei, J. Ini bertujuan untuk menggambarkan teori

(2)

dekonstruksi Derrida serta estetika dekonstruktif Joyce, dengan mengambil pendekatan diakronis teori dan kritik sastra untuk menganalisis novel Finnegans Wake karya Joyce. Hasil penelitian Zangouei, J. menunjukkan bahwa Finnegans Wake merupakan differance dan dekonstruksi Finnegans Wake terdapat pada pemakaian bahasanya dimana Joyce jarang puas dengan hanya dua makna saja. Jika Logosentrisme sebagai ide dasar di balik metafisika kehadiran memelihara ilusi di arti akhir adalah target Derrida. Demikian pula dengan Finnegans Wake, yang merupakan novel anti logosentrisme Joyce yang memungkinkan unrepresentable (unsignified) atau transendental.

Persamaan penelitian Zangouei, J. Dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pemakaian objek dan metode penelitian yang sama, yakni novel dan metode dekonstruksi dalam penelitian. Akan tetapi penelitian Zangouei, J. lebih mengarah kepada kritik sastra dan apresiasi karya sastra. Sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan lebih difokuskan pada apresiasi karya sastra menjelaskan dan mendeskripsikan relevansi nilai pendidikan karakter pada novel Tak Sempurna karya Fahd Djibran dan Bondan Prakoso & Fade2Black dengan pembelajaran bahasa dan sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA).

Kemudian penelitian yang ketiga berjudul “’Gorgeous Monstrosity’: Derrida’s Deconstruction As An Alternative Posmodernist Tool In Analysing Alasdair Gray’s Poor Things”. Penelitian ini dilakukan Joanna Malecka dan diterbitkan di jurnal Studia Humanistycze tahun 2009, vol. 7, pp. 147-157, ISSN 1732-2189. Penelitian ini adalah penelitian mengenai novel karya Alasdair Gray “The Poor Thing” yang dilakukan dengan metode intertekstual dan dekonstruktif sebagai alat alternatif postmodern dalam mengapresiasi dan menginterprestasikan novel “The Poor Thing” karya Alasdair Gray. Pada penelitiannya ini Alasdair Gray memusatkan pada tokoh utama novel yakni Bella. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Bella mewujudkan keprihatinan utama dari novel: pengaburan batas-batas antara konsep (seperti pusat/pinggiran; memori/kelupaan; hidup/mati), dan pertanyaan yang terus-menerus dari definisi mereka.

Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Alasdair Gray dengan penelitian yang akan dilakukan adalah objek penelitian, novel, dan alat yang digunakan untuk meneliti novel yaitu metode dekonstruksi. Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh

(3)

Alasdair Gray dengan penelitian yang akan dilakukan adalah bahwa penelitian Alasdair Gray mengarah kepada kritik sastra dan apresiasi terhadap karya sastra. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan mengarah pada apresiasi karya sastra dan menjelaskan serta mendeskripsikan relevansi nilai pendidikan karakter pada novel Tak Sempurna karya Fahd Djibran dan Bondan Prakoso & Fade2Black dengan pembelajaran bahasa dan sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA).

Bertemali dengan paragraf sebelumnya, penelitian keempat berjudul “(De)construction Of The Postmodern In A. S. Byatt’S Novel Possession”. Penelitian ini dilakukan oleh Reggina Rudaityte dan ditebitkan di jurnal Literatūra pada tahun 2007, vol 49, no 5, pp 116-122, dengan nomor ISSN 0258-0802. Sebagaimana judul penelitian ini, tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan dekonstruksi dari postmodern yang terdapat dalam novel Possesion karya A. S. Byatt yang diterbitkan pada tahun 1991. Novel ini dikategorikan sebagai metafiction historiographic, sebuah jenre yang memadukan pendekatan dari kedua fiksi sejarah dan metafiksi.

Dalam penelitian ini Reggina Rudaityte mendeskripsikan beberapa dekonstruksi postmodern yang terdapat pada novel Possesion karya A. S. Byatt yakni struktur dan plot novel. Struktur novel menggabungkan berbagai gaya, termasuk buku harian fiksi, surat dan puisi, dan menggunakan gaya dan perangkat lain untuk mengeksplorasi kekhawatiran postmodern dari otoritas narasi tekstual. Nama tokoh Roland dan Maud yang namanya berasal dari romantisme abad pertengahan dan penulisan kembali Victorian yang berjudul The Song of Roland and Lord Alfred Tennyson’s poem Maud. Pada plot novel, Reggina Rudaityte menyatakan bahwa penulis bermain dengan waktu, terus bergerak antara masa lalu dan masa kini. Dislokasi ini waktu menghancurkan ilusi realitas dan menyoroti metafiksional teks Byatt ini.

Persamaan penelitian Reggina Rudaityte dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama menggunakan novel sebagai objek penelitian dan teori dekonstruksi dalam mengapresiasi objek penelitian. Penelitian Reggina Rudaityte diarahkan pada kritik sastra dan tidak sama sekali menghubungkan objek penelitian dengan pembelajaran bahasa di sekolah. Sedangkan salah satu tujuan dari penelitian yang akan dilakukukan adalah menjelaskan dan mendeskripsikan relevansi nilai pendidikan

(4)

karakter pada novel Tak Sempurna karya Fahd Djibran dan Bondan Prakoso & Fade2Black dengan pembelajaran bahasa dan sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA).

Selanjutnya, penelitian kelima berjudul “Deconstructing Religion in Jeanette Winterson’s Oranges Are not the Only Fruit: A Metacritical Study”. Penelitian ini dilakukan oleh Zaydun Al-Shara dan diterbitkan Advances in Language and Literary Studies (ALLS) pada Febuary 2015, Vol 6, No 1, pp 238-244, dengan nomor ISSN 2203-4714. Pada penelitiannya ini Al-Ashara membaginya menjadi dua bagian argumen. Pertama, argumen yang mengulas penafsiran Winterson tentang teks-teks agama, baik Alkitab dan Alquran dengan cara mensimulasikan kritik dekonstruktif. Al-Shara menunjukkan bagaimana Winterson menggunakan narasi untuk mendekonstruksi keyakinan dan cerita agama untuk membuat kemungkinan-kemungkinan baru yang terinterpretasi sebagai pengganti dari refrensi agama. Kedua, Al-Ashara memfoskuskan argumennya pada narasi Winterson dan menariknya menggunakan teks-teks tersembunyi sebagai fungsi interpretatif dari mendekonstruksi teks-teks agama. Setelah menolak otoritas agama dan sejarah sebagai sumber terpercaya kebenaran agama, dia mengusulkan adanya kemungkinan penafsiran lain yang terlihat lebih realistis dan lebih pribadi.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah objek penelitian yang digunakan adalah novel dan kajian yang digunakan menganalisis objek kajian adalah dekonstruksi. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah bahwa salah satu tujuan utama dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah menjelaskan dan mendeskripsikan relevansi nilai pendidikan karakter pada novel Tak Sempurna karya Fahd Djibran dan Bondan Prakoso & Fade2Black dengan pembelajaran bahasa dan sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA).

Penelitian keenam berjudul “Stephan’s Brave New World: A Deconstuctive Reading on James Joyce’s A Potrait of the Artist as a Young Man”. Penelitian ini dilakukan oleh Ruzbeh Babaee dan Ira Montashery dan diterbitkan oleh jurnal CSCanada Studi in Literature and Language vol. 3 no. 3, 2011, pp. 127-132. Penelitian yang dilakukan oleh Ruzbeh Babaee dan Ira Montashery ini bertujuan untuk mengeskplorasi dekonstruksi dari tokoh protagonis, Stephen Dedalus yang terdapat pada teks novel James Joyce’s A Potrait of the Artist as a Young Man. Dalam penelitian ini Ruzbeh Babaee dan Ira Montashery menemukan bahwa telah terjadi dekonstruksi

(5)

identitas dan makna dari tokoh protagonis, Stephen Dedalus. Mereka menyatakan bahwa Stephen seperti Nietzsche yang cenderung berbicara tentang "kematian Tuhan" untuk membuka jalan bagi eksplorasi makna dan identitas. Dia cenderung memberontak dan melampaui apa Lyotard menyebut "The grand narative".

Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Ruzbeh Babaee dan Ira Montashery dengan penelitian yang akan dilakukan adalah objek penelitian dan metode yang digunakan dalam penelitian, dekonstruksi. Penelitian Ruzbeh Babaee dan Ira Montashery murni mengarah pada kritik sastra dan apresiasi karya sastra. Sedangkan pada penelitan yang akan dilakukan mengarah pada apresiasi karya sastra dan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA). Penelitian yang akan dilakukan akan menjelaskan dan mendeskripsikan relevansi nilai pendidikan karakter pada novel Tak Sempurna karya Fahd Djibran dan Bondan Prakoso & Fade2Black dengan pembelajaran bahasa dan sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA).

Penelitian ketujuh berjudul ”Watching (through) the Watchmen: Representation and Deconstruction of the Controling Gaze in Neil Gaiman’s The Sandman”. Penelitian ini dilakukan oleh Daniele Croci dan diterbitkan di jurnal Università tahun 2014 no. 11, vol. 05, pp. 120-135, ISSN 2035-7680. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan representasi dan dekonstruksi komik karya Neil Gaiman “The Sandman”. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Daniele Croci dengan penelitian yang akan dilakukan adalah memakai teori dekonstruksi sebagai metode dalam menganalisis objek.

Perbedaan penelitian Daniele Croci dengan penelitian yang akan dilakukan adalah bahwa penelitian Daniele Croci mengarah pada kritik sastra dan apresiasi sastra terhadap komik. Sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan bertujuan untuk mengapresiasi novel dan menjelaskan serta mendeskripsikan relevansi nilai pendidikan karakter pada novel Tak Sempurna karya Fahd Djibran dan Bondan Prakoso & Fade2Black dengan pembelajaran bahasa dan sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA).

Penelitian kedelapan berjudul “Analisis Tokoh Pada Novel Tak Putus Dirundung Malang Karya Sutan Takdir Alisyahbana (Melalui Pendekatan Dekonstruksi)”. Penelitian ini dilakukan oleh Sitti Rachmi Masie. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dekonstruksi tokoh protagonis dan antagonis pada novel Tak Putus Dirundung Malang Karya Sutan Takdir Alisyahbana. Penelitian ini

(6)

diterbitkan di Jurnal INOVASI volume 7, Nomor 1, Maret 2010 dengan ISSN 1693-9034. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Sitti dengan penelitian yang akan dilakukan adalah objek penelitian (novel) dan kajian yang digunakan untuk menganalisis objek penelitian yakni dekonstruksi. Sedangkan perbedaannya adalah bahwa pada penelitian Sitti tidak mengaitkan dengan nilai pendidikan karakter dan relevansinya dengan pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA). Selain itu novel yang digunakan sebagai objek penelitian juga berbeda. Pada penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan novel karya Fahd Djibran & Bondan Prakoso Feat2Black yang berjudul Tak Sempurna.

Penelitian kesembilan berjudul “Unsur Dekonstruksi dan Nilai Pendidikan Novel Lembata Karya F. Rahardi”. Penelitian ini dilakukan oleh Yohanes Orong pada tahun 2011. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan unsur dekonstruksi dan nilai pendidikan dalam novel Lembata karya F. Rahardi. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Yohanes dengan penelitian yang akan dilakukan adalah objek penelitian (novel) dan kajian yang digunakan untuk menganalisis objek penelitian yakni dekonstruksi struktur novel dan gagasan (logika). Sedangkan perbedaannya adalah bahwa pada penelitian Yohanes tidak mengaitkan novel dengan relevansi pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA). Selain itu novel yang digunakan sebagai objek penelitian juga berbeda. Pada penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan novel karya Fahd Djibran & Bondan Prakoso Feat2Black yang berjudul Tak Sempurna.

Penelitian kesepuluh berjudul “Dekonstruksi Jacques Derrida Sebagai Strategi Pembacaan Teks Sastra”. Penelitian ini dilakukan oleh Marcelus Ungkang pada tahun 2013. Tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh Marcelus adalah mendeskripsikan dan menjelaskan: 1) genealogi dekonstruksi Derrida, 2) dekonsruksi sebagai teori sastra, 3) dekonstruksi sebagai strategi pembacaan teks sastra, dan 4) penerapan dekonstruksi dalam pembacaan teks sastra. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Marcelus dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama memilih dekonstruksi sebagai penelitian. Sedangkan perbedaan yang ada pada kedua penelitian ini adalah bahwa pada penelitian Marcelus lebih terkonsentrasi pada penggalian genealogi dan unsur dekonstruksi sebagai sebuah strategi pembacaan teks sastra dan penerapan pembacaan

(7)

dekonstruksi pada teks puisi dan cerpen. Lain hal dengan penelitian yang akan dilakukan, novel dijadikan sebagai objek penelitian untuk mendeskripsikan dan menjelaskan nilai pendidikan karakter dan relevasinya dengan pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA).

Selanjutnya penelitian kesebelas yang berjudul “Refleksi Ideologi Wanita Minangkabau dalam Novel Negeri Perempuan Karya Wisran Hadi”. Penelitian ini dilakukan oleh Yasnur Asri dan diterbitkan di jurnal Humaniora Volume 25 nomor 1 Februari 2013. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk ideologi wanita minangkabau yang terrefleksi dalam novel Negeri Perempuan karya Wisran Hadi. Penelitian ini berlandaskan teori-teori ideologi dan dekonstruksi. Persamaan penelitian Yasnur dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama menggunakan novel sebagai objek penelitian dan dekonstruksi sebagai kajian yang digunakan untuk meneliti. Sedangkan perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Yasnur dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian Yasnur mengarah kepada ideologi kehidupan wanita minangkabau yang terdapat pada novel Negeri Perempuan karya Wisran Hadi dan penelitian yang akan dilakukan lebih membahas kepada pendeskripsian dan penjelasan dekonstruksi novel Tak Sempurna Karya Fahd Djibran & Bondan Prakoso & Fade2Black serta nilai pendidikan karekter dan relevansinya dengan pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA).

Penelitian keduabelas berjudul “Dekonstruksi Wayang Dalam Novel Durga Umayi”. Penelitian ini dilakukan oleh Mashuri dan diterbitkan di jurnal Poetika Vol. 1 No. 1 Juli 2013. Tujuannya, menggali hal-ihwal di balik „teks‟ wayang dalam novel. Ternyata terdapat begitu banyak pembongkaran pada konstruksi wayang yang mapan, dan terbukti dengan adanya banyaknya „jejak‟ teks yang dibaca kembali dengan perspektif tak tunggal, kontradiksi tokoh, pengaburan fakta-fksi, serta pembalikan nilai-nilai dan oposisi biner lainnya. Konsepsi pengaburan dan pembalikan oposisi biner dalam novel ini diformulasikan menjadi semacam senyawa eksperimental sehingga terjadi „decentering’, peniadaaan pusat (pusat yang menyebar).

Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Mashuri dengan penelitian yang akan dilakukan adalah objek penelitian (novel) dan kajian yang digunakan untuk menganalisis objek penelitian yakni dekonstruksi. Sedangkan perbedaannya adalah

(8)

bahwa pada penelitian Mashuri tidak mengaitkan novel dengan relevansi pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA). Selain itu novel yang digunakan sebagai objek penelitian juga berbeda. Pada penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan novel karya Fahd Djibran & Bondan Prakoso Feat2Black yang berjudul Tak Sempurna.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang relevan pada penjelasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa dekonstruksi merupakan salah satu teori pembacaan kritis terhadap novel untuk menemukan bahwa teks-konsep memiliki sesuatu yang tidak sederhana, tak terbaca, beroposisi biner, dan berkontradiksi logis sehingga menghasilkan pemikiran yang lebih mungkin dari sebelumnya. Hal ini mendorong penulis untuk mengangkat pemakaian bahasa novel Tak Sempurna karya Fahd Djibran & Bondan Prakoso Feat2Black dengan menggunakan kajian dekonstruksionisme ditinjau dar nilai pendidikan karakter dan relevansinya dengan pembelajaran sastra Indonesia di SMA.

B. Kajian Teori 1. Hakikat Dekonstruksionisme a. Pengertian Dekonstruksi

Rohman (2014: 1) menyatakan bahwa kata dekonstruksi berasal dari susunan de+konstruksi kata konstruksi berarti „susunan‟. Awalan de- berarti „sebuah penurunan. Jadi pengertian dekonstruksi secara umum adalah penghancuran konstruksi. Konstruksi yang dihancurkan tentulah konstruksi pemikiran masa lampau. Konstruksi sendiri bisa dimengerti sebagai sebuah model, susunan, atau sistem tertentu yang terdapat dalam sebuah pemikiran. Konstruksi dikatakan sebagai sebuah model karena setiap pemikiran menghubungkan satu pernyataan dengan pernyataan lain di dalam kaitan logika yang khusus.

Jacques Derrida (dalam Rohman, 2014: 9) yang merupakan pemula gerakan dekonstruksi menyatakan pendapatnya mengenai dekonstruksi yakni:

Deconstruction must neither reframe nor dream of the pure and simple absence of the frame. These two apparently contradictory gestures, systematically inseparable, are the very functions of what is being deconstructed here. Artinya: Dekonstruksi bukan membingkai lagi atau bermimpi tentang ketidakhadiran

(9)

yang murni dan sederhana atas sebuah bingkai. Dua hal yang tampak bertentangan itu (murni dan sederhana) tidak terpisahkan dan berada pada wilayah dekonstruksi.

Jonathan Culler dalam bukunya yang berjudul On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism dijelaskan bahwa “Dekonstruksi sebagai bentuk kebebasan penuh dalam penafsiran”. Jonathan Culler lebih menitikberatkan pada praktik pembacaan dekonstruksi berdasarkan tradisi pragmatisme Amerika. Setidaknya sebagaimana diterapkan dalam Kritik Baru. Jika Kritik Baru memiliki tradisi positif, maka dekonstruksi sebagaimana dikenalkan Culler memiliki tradisi spekulatif (Rohman, 2014: 19).

Junus (dalam Rohman, 2014: 20) menyatakan bahwa pos-strukturalisme dan/atau dekonstruksi sebenarnya berhubungan rapat dengan strukturalisme, bahkan mungkin dianggap „melanjutkan‟. Pendekatan itu beranggapan teks sebagai pusat segalanya. Namun begitu, memang ada bedanya dengan strukturalisme. Ada strukturalisme yang mementingkan pola. Dan dekonstruksi menolaknya. Strukturalisme punya kecenderungan untuk menemukan satu arti, dengan menghilangkan (kemungkinan) arti lain, sebuah penyederhanaan, maka dekonstruksi bertolak dari pemikiran yang berbeda. Dekonstruksi percaya kepada berbagai-bagai kemungkinan arti, malah mungkin bertentangan, dan ini tidak mungkin disederhanakan. Malah hakikat berbagai kemungkinan arti ini menjadi ciri utama penelitian mereka.

Selanjutnya Sugiharto (dalam Rohman, 2014: 21) menjelaskan bahwa pembacaan dekonstruktif atau teks-teks filosofis adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya bukanlah pertama-tama inkonsistensi logisnya argumen-argumen lemahnya atau premis-premisnya yang tidak meyakinkan, melainkan unsur-unsur yang menjadikan sebuah teks itu filosofis. Sejalan dengan pendapat Bambang Sugiharto, dalam bukunya yang berjudul Filsafat Bahasa, Kaelan M.S. menjelaskan tentang arti dekonstruksi bahwa di bidang sastra, dekonstruksi ini sebagai suatu metode untuk memahami suatu teks.

Nurhayati (2012: 65) menyatakan bahwa inti teori dekonstruksi adalah cara membaca yang dimulai dengan penelusuran secara hierarki kemudian diteruskan dengan membalikkannya, dan akhirnya menolak pernyataan hierarki.

(10)

Sehandi (2014: 116) menjelaskan bahwa istilah dekonstruksi adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut cara membaca sebuah teks (sastra maupun filsafat) berdasarkan pada pandangan Jacques Derrida. Pandangan Derrida ini menentang klaim pandangan strukturalisme yang menganggap sebuah teks mengandung makna yang sah dalam struktur yang utuh di dalam sistem bahasa tertentu.

Abrams (dalam Rokhmansyah, 2014: 124; Nurgiyantoro, 2009: 59) mengungkapkan bahwa dekonstruksi pada hakikatnya merupakan cara membaca teks yang menumbangkan anggapan bahwa teks itu memiliki landasan, dalam sistem bahasa yang berlaku untuk menegaskan struktur, keutuhan, dan makna yang telah menentu. Teori ini menolak anggapan bahwa bahasa telah memiliki makna yang pasti, tertentu, dan konstan sebagaimana halnya pandangan strukturalisme klasik.

Faruk (edt. Jabrohim, 2014: 230) menyatakan bahwa dekonstruksionisme merupakan penolakan terhadap logosentrisme. Ia memusatkan perhatiannya pada usaha yang terus menerus untuk menghancurkan dan meniadakan pemusatan (decentering).

Dari pendapat-pendapat ahli dan pakar pada paragraf sebelumnya dapat disintesiskan bahwa dekonstruksi adalah salah satu kritik atas logosentrisme yang berpandangan bahwa teks-konsep memiliki sesuatu yang tidak sederhana, tak terbaca, beroposisi biner, dan berkontradiksi logis sehingga menghasilkan pemikiran yang lebih mungkin dari sebelumnya. Implementasi dari dekonstruksi sendiri adalah dengan membaca teks oleh karena itu dekonstruksi disebut sebagai metode membaca teks.

b. Sejarah Paham Dekonstruksi

Paham dekonstruksi mula-mula dikembangkan oleh seorang filosof Perancis, Jacques Derrida, dan kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh seperti Paul de Man, J. Hillis Miller, dan bahkan juga Levy-Strauss. Namun, sebenarnya tokoh-tokoh tersebut tidak mempunyai pandangan yang tunggal juga dalam praktik mendekati karya sastra, walau tentu saja juga mempunyai unsur-unsur kesamaan.

Pembicaraan tentang dekonstruksi tidak dapat dipisahkan dari kontribusi pemikiran filsuf Jacques Derrida. Setidaknya konsep dekonstruksi itu sendiri identik dengan Derrida. Jacques Derrida adalah seorang filsuf keturunan Yahudi. Ia lahir di El-Biar, salah satu wilayah di Aljazair yang agak terpencil, pada 15 Juli

(11)

1930. Pada 1949, Derrida pindah, menetap sampai akhirnya meninggal di Prancis.

Dekonstruksi yang dipergunakan Jacques Derrida, tidak lain merupakan karya-karya tulis yang berargumentasi filosofis. Gagasan Derrida ini kemudian banyak digunakan oleh kritikus Sastra, terutama di Amerika. Konsep Derrida ini menggambarkan metode membaca teks yang memperlihatkan adanya konflik dalam interpretasi „makna‟ teks tersebut; selanjutnya metode ini bukan hanya digunakan untuk menginterpretasi teks, tetapi juga dipergunakan dalam memberikan tafsiran terhadap konsep-konsep atau gagasan-gagasan metabahasa.

Dekonstruksi menurut Derrida adalah metode membaca teks secara teliti, sehingga premis-premis yang melandasinya dapat digunakan untuk meruntuhkan argumentasi yang disusun atas premis tersebut. Derrida mengkaitkan metode dekonstruksi dengan kritik terhadap metaphysics of presence yang menjadi asumsi dasar bagi filosof tradisional dan membangun kritik atas epistemologi modern.

c. Karakteristik Pendekatan Dekonstruksi dalam Studi Novel

Konsep “tidak ada yang di luar teks” merupakan unsur kunci untuk memahami karakteristik pendekatan dekonstruksi dalam studi sastra. Bagi kaum dekonstruksionis, teks itu memiliki makna yang tidak terbatas. Berbeda dengan kaum modernis yang melihat teks secara terstruktur, pemahaman teks dalam rana kajian dekonstruksi tidak selalu berurutan dan konsisten. Tetapi bisa dibolak-balikkan. Endaswara (2011, 169) menulis “Misalkan, sebuah tema besar bahwa kejahatan akan terkalahkan dengan kebaikan oleh paham dekonstruksi tak selalu dibenarkan. Di era sekarang, sastra boleh saja membalik tema besar itu.”

Endaswara mencatat sebuah teks dalam pandangan dekonstruksi akan selalu menghadirkan banyak makna, sehingga teks tersebut bisa sangat kompleks. Jaringan-jaringan makna dalam teks juga bisa rumit yang memungkinkan pembaca melakukan varian spekulasi atas makna. Makna tidak tunggal, melainkan bersifat plural, makna bukan mati, tetapi hidup dan selalu berkembang. Karena itu, dekonstruksi membiarkan teks itu hidup dan menantang segala kemungkinan. Kajian dekonstruksi sastra akan selalu mencurigai dan tidak percaya pada arti bahasa. Kalau dalam kajian struktural lebih mengandalkan bahasa teks, dan dengan itu selalu ada kemungkinan untuk

(12)

menemui jalan buntu, karena tidak setiap bahasa dapat dikembalikan ke kenyataan. Kajian dekonstruksi mengandung hasrat untuk membawa bahasa itu keluar dari struktur dan mencoba menghubungkannya dengan teks-teks dan bahkan konteks lain.

Barthes (dalam Endaswara, 2011: 170) mengemukakan tahapan penelitian dekonstruksi sebagai berikut.

a. Mendasarkan semua unsur (struktur) yang terdapat pada teks dan meletakkan semua unsur tersebut pada kedudukan yang sama. Setiap unsur dipahami secara terpisah. Dengan demikian, tidak satu unsur pun yang dianggap tidak penting atau tidak mempunyai peranan.

b. Unsur-unsur yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur yang lainnya dalam upaya untuk mengetahui apakah unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan, baik jaringan antara semua unsur atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain.

Endaswara menjelaskan bahwa berdasarkan dua tahapan di atas, jelas terlihat bahwa teks sastra dipahami tidak hanya lewat struktur, melainkan melalui kode-kode lain di luar teks. Dalam hal ini, membaca karya sastra adalah kegiatan yang paradoksal. Maksudnya, pembaca boleh menciptakan kembali dunia ciptaan, dunia rekaan, dan menjadikannya sesuatu yang akhirnya mudah dikenal. Hal yang aneh, menyimpang, dan mengejutkan dalam teks dinaturalisasikan dan dikembangkan ke dalam dunia yang mudah dikenal.

Berdasarkan penjalasan pada paragraf sebelumnya dapat disintesiskan bahwa karakteristik pendekatan dekonstruksi dalam studi novel dapat diketahui melalui banyak cara diantaranya; membolak-balik tema karya sastra, menaturalisasikan dan mengembangkan hal yang aneh, menyimpang, dan mengejutkan ke dalam dunia yang mudah dikenal.

d. Penerapan Pendekatan Dekonstruksi dalam Kajian Novel

Apabila dekonstruksi diterapkan dalam studi sastra, maka catatan Culler (1983: 155) berikut mesti disertakan dalam kegiatan kajian. Pertama, dekonstruksi bukanlah teori. Artinya, dekonstruksi tidak menawarkan teori yang lebih baik mengenai kebenaran, tetapi bekerja dalam dan sekitar kerangka diskursif yang

(13)

sudah ada. Dekonstruksi tidak menawarkan dasar baru. Kedua, dekonstruksionisme merupakan paham filsafat yang menyeluruh mengenai aktivitas interpretasi, bukan paham yang khusus mengenai sastra, meskipun di dalamnya teori sastra memerankan peranan penting, karena (a) teori sastra bersifat komprehensif sehingga memungkinkannya melahirkan teori yang luar biasa, (b) teori sastra melakukan eksplorasi ke batas-batas pemahaman sehingga mengundang dan memprovokasikan diskusi-diskusi teoretik tentang pertanyaan-pertanyaan yang paling general mengenai rasionalitas, refleksi diri, dan signifikansi, dan (c) para teoretisi sastra secara khusus reseptif terhadap perkembangan teoretik yang baru dalam lapangan-lapangan lain karena mereka kurang punya komitmen disipliner yang khusus seperti yang dimiliki para pekerja di bidang-bidang itu (Faruk, 2014).

Menurut Culler dekonstruksi tidak dapat dilepaskan dari konstruksi yang sebelumnya, khususnya strukturalisme. Hal yang paling esensial dalam melakukan dekonstruksi adalah pembalikan terhadap hierarki, terhadap sistem oposisional yang sudah ada. Selanjutnya, dekonstruksi harus melakukan pembalikan terhadap oposisi-oposisi yang sudah klasik. Mendekonstruksi suatu wacana adalah menunjukkan bagaimana wacana itu merusakkan filsafat yang dinyatakannya sendiri, merusakkan oposisi-oposisi hierarkis dengan mengidentifikasikan di dalam teks operasi-operasi retorik yang memproduk dasar argumen yang diandaikan, konsep kunci atau premisnya.

Sebenarnya, penerapan teori dekonstruksi terhadap kesusastraan Indonesia telah dilakukan oleh beberapa ahli, diantaranya oleh Umar Junus (Basis, 1992: Maret nomor 4). Junus menggunakan teori dekonstruksi walaupun tidak menyebutkan secara eksplisit dekonstruksi Derrida atau Paul de Man dalam mengkaji novel Durga Umayi, karya Mangunwijaya. Alasannya, menurut Junus, karena dalam membahas Durga Umayi ia tidak mempergunakan bentuk-bentuk kebahasaan itu sebagai sesuatu yang substrantif (sebagai dasar pemaknaan), tetapi sebagai kesadaran penulis untuk menentang para penulis atau penguasa yang lain.

Menurut Junus, di dalam Durga Umayi, Mangunwijaya sengaja mempergunakan bahasa yang dimain-mainkan untuk memberi alternatif atas dominannya bahasa baku dalam novel Indonesia, misalnya pembalikan kata (merdeka-kadamer, sabda-dabas, dan manis-sinam), kalimat-kalimat yang panjang (yang terpanjang 770 kata, terpendek

(14)

100 kata), dan kalimat yang tidak bersubjek. Wujud ini merupakan pemberontakan penulis terhadap penguasa yang membakukan tata bahasa (Basis, 1992: Juni nomor 6).

Berdasarkan paparan para ahli pada paragraf sebelumnya dapat diketahui bahwa penerapan pendekatan dekonstruksi dalam kajian novel dapat dilakukan melalui beberapa cara diantaranya untuk diterapkan dalam menganalisis pemakaian bahasa novel, tema novel, struktur novel, dan gagasan-gagasan novel.

e. Beberapa Dekonstruksi dalam Kajian Novel

Pada karya sastra, khususnya novel, dekontruksi dapat dilihat setidaknya dari 3 hal. Pertama, dekonstruksi pemakaian bahasa novel. Kedua, dekosntruksi struktur novel (tema, alur, tokoh, setting, amanat). Ketiga, dekonstruksi gagasan (logika). Berikut ini akan dijelaskan mengenai beberapa dekonstruksi yang terdapat dalam kajian novel.

1) Dekonstruksi Pemakaian Bahasa Novel

Dekonstruksi pemakaian bahasa pada karya sastra, novel, biasanya dapat dilihat dari bagaimana pengarang menggunakan bahasa pada novelnya. Atau bagaimana kandungan bahasa yang terdapat pada novel. Waluyo (2011: 39, 58, 71) memaparkan mengenai ciri-ciri kebahasaan pada prosa di tiap periodesasi sastra. Waluyo menjelaskan bahwa roman-roman periode Balai Pustaka banyak mengandung bahasa klise dalam penggambaran kecantikan gadis-gadis dan keindahan alam. Sedangkan pada periode Pujangga Baru bahasa klise sudah mulai ditinggalkan dan berganti pada bahasa yang lebih komunikatif dan singkat serta adanya penggunaan kata-kata asing dari bahasa Belanda (dan sedikit Inggris). Pada angkatan 45 bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia modern yang kadang-kadang diselingi bahasa Belanda dan dialek kedaerahan. Banyak karya-karya bergaya bahasa sinesme dan ironi, terutama yang menggambarkan kepincangan-kepincangan dalam peperangan karena adanya pahlawan-pahlawan palsu. Selain itu, bahasanya padat dan ekspresif.

Jadi, untuk mengetahui dekonstruksi pemakaian bahasa dalam penelitian ini kita harus melakukan analisis terhadap novel untuk menemukan bahasa manakah yang paling dominan yang terdapat dalam novel Tak Sempurna. Apabila pemakaian bahasa yang telah disampaikan oleh Waluyo pada penjelasan sebelumnya lebih dominan maka dekonstruksi

(15)

pemekaian bahasa tidak terjadi dalam novel Tak Sempurna. Apabila sebaliknya, maka dekonstruksi pemakaian bahasa telah terjadi dalam novel Tak Sempurna.

Kajian dekonstruksi pemakaian bahasa sebenarnya telah diterapkan oleh Umar Junus (Basis, April-Juni, 1992). Junus menggunakan teori dekonstruksi walaupun tidak menyebutkan secara eksplisit dekonstruksi Derrida atau Paul de Man dalam mengkaji novel Durga Umayi, karya Mangunwijaya. Alasannya, menurut Junus, karena dalam membahas Durga Umayi ia tidak mempergunakan bentuk-bentuk kebahasaan itu sebagai sesuatu yang substrantif (sebagai dasar pemaknaan), tetapi sebagai kesadaran penulis untuk menentang para penulis atau penguasa yang lain.

Menurut Junus, di dalam Durga Umayi, Mangunwijaya sengaja mempergunakan bahasa yang dimain-mainkan untuk memberi alternatif atas dominannya bahasa baku dalam novel Indonesia, misalnya pembalikan kata (merdeka-kadamer, sabda-dabas, dan manis-sinam), kalimat-kalimat yang panjang (yang terpanjang 770 kata, terpendek 100 kata), dan kalimat yang tidak bersubjek. Wujud ini merupakan pemberontakan penulis terhadap penguasa yang membakukan tata bahasa. (Ratih, 2007).

Berdasarkan paparan pada paragraf sebelumnya dapat diketahui bahwa dekonstruksi pemakaian bahasa dapat dilihat dari dominansi bahasa yang digunakan dalam novel. Selain itu, dekonstruksi pemakaian bahasa dalam novel juga dapat diketahui melalui struktur penulisan bahasa novel, apakah sesuai dengan penulisan bahasa pada novel konvensional ataukah mencoba keluar dari ketentuan penulisan bahasa baku.

2) Dekonstruksi Struktur Novel

Dekonstruksi struktur novel dapat meliputi dekonstruksi tema, alur, tokoh, setting, dan amanat. Salah satu ciri dekonstruksi pada struktur novel adalah bahwa struktur novel tersebut tidak mengacu pada novel-novel konvensional. Melainkan terdapat hal-hal yang baru, lain daripada novel konvensional kebanyakan. Sebagai contoh dekonstruksi struktur novel dapat kita ketahui dari penelitian yang dilakukan oleh Reggina Rudaityte. Dalam penelitiannya, Reggina Rudaityte mengungkapkan bahwa terdapat beberapa dekonstruksi postmodern pada novel Possesion karya A. S. Byatt yakni struktur dan plot novel. Struktur novel menggabungkan berbagai gaya, termasuk buku harian fiksi, surat dan puisi, dan menggunakan gaya dan perangkat lain untuk mengeksplorasi

(16)

kekhawatiran postmodern dari otoritas narasi tekstual. Nama tokoh Roland dan Maud berasal dari romantisme abad pertengahan dan penulisan kembali Victorian yang berjudul The Song of Roland and Lord Alfred Tennyson’s poem Maud. Pada plot novel, Reggina Rudaityte menyatakan bahwa penulis bermain dengan waktu, terus bergerak antara masa lalu dan masa kini. Dislokasi waktu tersebut menghancurkan ilusi realitas dan menyoroti metafiksional teks Byatt ini. Berdasarkan paparan tersebut dapat diketahui bahwa dekonstruksi struktur novel dapat dilihat dari unsur intrinsik pada novel.

Nurgiyantoro (2009: 61) mengemukakan bahwa dekonstruksi tokoh pada analisis karya sastra (novel) dapat diketahui dengan cara misalnya: seorang tokoh cerita yang tidak penting berhubung hanya sebagai tokoh periferal, tokoh (kelompok) pinggiran saja, setelah didekonstruksi ia menjadi tokoh yang penting, yang memiliki fungsi (dan makna) yang menonjol sehingga tak dapat ditinggalkan begitu saja dalam memaknai karya itu.

Lebih lanjut lagi Nurgiyantoro (2009: 63-65) memberikan contoh kasus dalam novel Belenggu dan novel Siti Nurbaya. Dalam novel Belenggu Tati adalah tokoh pinggiran, tokoh periferal, tokoh yang hanya muncul sebentar kemudian tenggelam selama-lamanya. Dengan kata lain Tati merupakan tokoh yang tidak dipentingkan. Ia tidak hadir secara fisik, melainkan hanya dimunculkan lewat perenungan Tini setelah berada di tengah arus konflik dalam kehidupan rumah tangganya. Tokoh Tati digambarkan sebagai tokoh wanita yang tegas dan kuat dalam bersikap, berprinsip, dan berpendirian, yang justru lebih tegas dan kuat daripada Tini sendiri. Demi perjuangan untuk kaumnya, Tati memilih tidak kawin dengan sadar bekerja agar dapat hidup mandiri dan tidak tergantung pada pria (suami). Ia menegaskan (atau tepatnya: mempropagandai kepada Tini) bahwa kini telah ada pilihan lain bagi kaum wanita selain hidup berumah tanga dengan pria, yaitu hidup mandiri tanpa kawin. Dengan memilih cara hidup yang tanpa kawin itu, wanita akan menjadi bebas untuk bertindak apa saja sesuai dengan kemauannya dan tidak lagi tergantung pada kaum pria.

Dalam hal berpendirian, pada kenyataannya Tini tidak sekuat Tati karena ia belum berani hidup mandiri. Ia masih mau menikah dengan Tono, yang diakui atau tidak, merupakan penyangga nafkahnya selama ini. ia masih menggantungkan hidupnya dari pria. Dalam situasi kehidupan keluarga penuh konflik, yang antara lain disebabkan

(17)

masih kuatnya pendirian feminisme Tini, kata-kata Tati kembali terngiang-ngiang di telinganya. Ia merasakan kebenaran akan kata-kata Tati. Hal itu berarti keputusan Tini untuk memilih cerai dengan Tono–sebuah keputusan yang melambangkan kemenangan sikap hidup kefeminisannya dalam banyak hal dipengaruhi, didorong, dan dipicu oleh sikap dan pendirian Tati. Tati, dengan demikian, walau hanya sebagai tokoh pinggiran yang dianggap kurang penting, sebagai tokoh marginal, ternyata mempunyai andil yang besar, atau paling tidak cukup memiliki peran dalam pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Tini, yang dapat dipandang sebagai simbolisme kemenangan perjuangan kaum wanita itu. Dengan kata lain, setelah didekonstruksi, Tati dalam novel Belenggu tersebiut merupakan tokoh yang penting.

Selanjutnya, Ahmad Maulana dan Alimah, dalam novel Siti Nurbaya itu, hanya merupakan tokoh pinggiran yang umumnya dianggap kurang penting. Namun, jika dipahami betul pesan-pesan penting yang ingin disampaikan lewat novel itu, akan terlihat bahwa kedua tokoh itu sebenarnya amat berperan. Dalam perbincangannya dengan Siti Nurbaya, Ahmad Maulana inilah yang mengungkapkan kejelekan-kejelekan perkawinan poligami yang sebenarnya lebih banyak menyengsarakan wanita dan anak-anaknya. Sikap dan pandangan hidup Nurbaya, sebenarnya, banyak dipengaruhi oleh sikap dan pandangan hidup kedua tokoh tersebut.

Untuk mengetahui dekonstruksi lain pada tokoh juga dapat diketahui dari penelitian yang dilakukan oleh Ruzbeh Babaee dan Ira Montashery. Penelitian yang dilakukan oleh Ruzbeh Babaee dan Ira Montashery ini bertujuan untuk mengeskplorasi dekonstruksi dari tokoh protagonis, Stephen Dedalus yang terdapat pada teks novel James Joyce’s A Potrait of the Artist as a Young Man. Dalam penelitian ini Ruzbeh Babaee dan Ira Montashery menemukan bahwa telah terjadi dekonstruksi identitas dan makna dari tokoh protagonis, Stephen Dedalus. Mereka menyatakan bahwa Stephen seperti Nietzsche yang cenderung berbicara tentang "kematian Tuhan" untuk membuka jalan bagi eksplorasi makna dan identitas. Dia cenderung memberontak dan melampaui apa Lyotard menyebut "The grand narative".

(18)

3) Dekonstruksi Gagasan (logika) Novel

Dekonstruksi gagasan (logika) adalah dekonstruksi yang menjungkirbalikkan gagasan (logika) yang selama ini dianggap benar oleh masyarakat pada umumnya. Salah satu contoh dekonstruksi logika dalam analisis karya sastra terdapat pada penelitian Orong (2011) terhadap novel Lembata karya F. Rahardi. Orong menemukan adanya unsur dekonstruksi mengenai konsep tentang yang suci dalam Gereja Katolik. Bahwa tempat suci, seperti Loudres tidak steril terhadap kemungkinan orang melakukan dosa. Di Loudres, tokoh Luciola sukses mendobrak kebakuan konsep orang Katolik tentang kesuciannya sebagai tempat ziarah. Melalui tokoh Romo Pedro, F. Rahardi mendekosntruksi penggunaan hosti dan anggur dalam perayaan ekaristi dan digantikan dengan jagung titi dan moke. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan tradisi liturgi Gereja Katolik.

Selain pada penelitian Orong, dekonstruksi gagasan-gagasan (logika) juga dapat ketetahui dari penelitian Zaydun Al-Shara. Pada penelitiannya ini Al-Ashara membaginya menjadi dua bagian argumen. Pertama, argumen yang mengulas penafsiran Winterson tentang teks-teks agama, baik Alkitab dan Alquran dengan cara mensimulasikan kritik dekonstruktif. Al-Shara menunjukkan bagaimana Winterson menggunakan narasi untuk mendekonstruksi keyakinan dan cerita agama untuk membuat kemungkinan-kemungkinan baru yang terinterpretasi sebagai pengganti dari refrensi agama. Kedua, Al-Ashara memfoskuskan argumennya pada narasi Winterson dan menariknya menggunakan teks-teks tersembunyi sebagai fungsi interpretatif dari mendekonstruksi teks-teks-teks-teks agama. Setelah menolak otoritas agama dan sejarah sebagai sumber terpercaya kebenaran agama, dia mengusulkan adanya kemungkinan penafsiran lain yang terlihat lebih realistis dan lebih pribadi.

2. Hakikat Novel a. Pengertian Novel

Novel berasal dari bahasa latin novellus yang kemudian diturunkan menjadi novies, yang berarti baru. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi (fiction) yang muncul belakangan dibandingkan dengan cerita pendek (short story) dan roman. Novel termasuk fiksi (fiction) karena novel

(19)

merupakan hasil khayalan atau sesuatu yang sebenarnya tidak ada (Waluyo, 2011: 36). Nurhayati (2012: 29) mengemukakan bahwa novel merupakan pengungkapan dari fragmen kehidupan manusia (dalam jangka yang lebih panjang). Konflik-konflik yang terjadi di dalam novel akhirnya menyebabkan perubahan jalan hidup antar pelaku.

Sementara itu, menurut Tarigan (1995: 165), jika ditinjau dari segi jumlah kata, biasanya novel mengandung kata-kata yang berkisar antara 35.000 buah sampai tidak terbatas. Novel yang paling pendek itu harus terdiri minimal 100 halaman dan rata-rata waktu yang dipergunakan untuk membaca novel minimal 2 jam. Nurgiyantoro (2009: 4), menyebutkan bahwa novel sebagai karya fiksi menawarkan sebuah dunia. Dunia yang berisi model kehidupan yang ideal. Dunia imajinatif yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja bersifat imajinatif. Dalam novel karya fiksi dibangun oleh beberapa unsur pembentukannya mulai dari penokohan, alur, tema, amanat, serta bahasa. Jadi, dari segala unsur pembangun novel terjadi keterjalinan unsur intrinsiknya.

Berdasarkan pada beberapa definisi di atas, maka dapat disintesiskan bahwa novel adalah salah satu wujud cerita rekaan yang isinya lebih panjang daripada cerpen namun lebih pendek daripada roman, di dalamnya menceritakan kehidupan tokoh hero dengan segala problematika kehidupan yang kompleks, sehingga mengalihkan jalan nasib tokoh ke dunia kemungkinan yang bersifat imajinatif.

b. Jenis-jenis Novel

Menurut Nurgiyantoro (2009: 16) novel terdiri atas dua jenis, yaitu novel populer dan novel serius. Berikut pernyataannya: novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Novel jenis ini menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Sebab, jika demikian halnya, novel populer akan menjadi berat, dan berubah menjadi novel serius, dan boleh jadi akan ditinggalkan oleh pembacanya.

(20)

Oleh karena itu, novel populer pada umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Ia, biasanya, cepat dilupakan orang, apalagi dengan munculnya novel-novel baru yang lebih populer pada masa sesudahnya.

Selanjutnya, Nurgiyantoro (2009: 20) juga menjabarkan bahwa novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara pengucapan yang baru pula. Singkatnya, unsur kebaruan diutamakan. Tentang bagaimana suatu bahan diolah dengan cara yang khas, adalah hal yang penting dalam teks kesastraan. Justru karena adanya unsur pembaharuan itu yang sebenarnya merupakan tarik-menarik antara pemertahanan dan penolakan konvensi teks kesastraan menjadi mengesankan. Oleh karena itu, dalam novel serius tidak akan terjadi sesuatu yang bersifat stereotip, atau paling tidak pengarang berusaha untuk menghindarinya. Jika sampai hal itu terjadi, biasanya, ia dianggap sebagai sesuatu yang mengurangi kadar literer karya yang bersangkutan, sebagai suatu cela. Novel serius mengambil realitas kehidupan ini sebagai model, kemudian menciptakan sebuah “dunia baru” lewat penampilan cerita dan tokoh-tokoh dalam situasi yang khusus.

Berdasarkan dua jenis novel tersebut, dapat ditarik suatu simpulan bahwa novel serius memiliki bobot literer yang tinggi dibandingkan novel populer. Hal tersebut karena novel literer berani mengangkat permasalahan besar dibandingkan novel populer yang bersifat artifisial. Contoh novel populer memiliki tema cinta, detektif, horor dan lain sebagainya yang dikemas secara ringan dan santai yang sudah umum terjadi dan biasa ditemui pada kehidupan sehari-hari, sedangkan novel serius lebih berani menyuarakan pemberontakan secara tegas terhadap suatu tatanan yang ada. Contoh novel serius bertemakan gender, politik, adat, agama, dengan segala problematika yang serius.

c. Struktur Novel

Struktur novel dibentuk oleh unsur-unsur berikut: 1) Tema

Setiap prosa fiksi mengandung gagasan pokok yang lazim disebut tema. Tema adalah gagasan pokok dalam cerita fiksi. Tema cerita mungkin dapat diketahui

(21)

oleh pembaca melalui judul atau petunjuk setelah judul, namun yang banyak ialah melalui proses pembacaan karya sastra yang mungkin perlu dilakukan beberapa kali, karena belum cukup dilakukan dengan sekali baca (Waluyo, 2011: 7). Tema merupakan inti atau ide dasar sebuah cerita. Berdasarkan ide dasar itulah kemudian cerita dibangun oleh pengarangnya dengan memanfaatkan unsur-unsur intrinsik seperti plot, penokohan, dan latar. Tema merupakan pangkal otak pengarang dalam menceritakan dunia rekaan yang diciptakannya (Kosasih, 2008: 223). Tema cerita dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu: (1) tema yang bersifat fisik; (2) tema organik; (3) tema sosial; (4) tema egoik (reaksi pribadi); dan (5) tema divine (Ketuhanan). Tema yang bersifat fisik menyangkut inti cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia, misalnya tentang cinta, perjuangan mencari nafkah, hubungan perdagangan, dan sebagainya. Tema yang bersifat organik atau moral, menyangkut soal hubungan antara manusia, misalnya penipuan, masalah keluarga, problem politik, ekonomi, adat, tatacara, dan sebagainya. Tema yang bersifat sosial berkaitan dengan problem kemasyarakatan. Tema egoik atau reaksi individual, berkaitan dengan protes pribadi kepada ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan, dan pertentangan individu. Tema divine (Ketuhanan) menyangkut renungan yang bersifat religius hubungan manusia dengan Sang Khalik (Waluyo, 2011: 8).

2) Alur

Menurut Kosasih (2008: 225-226) Alur (plot) merupakan sebagian dari unsur intrinsik suatu karya sastra. Alur merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab akibat. Pola pengembangan cerita suatu cerpen atau novel tidaklah seragam. Jalan cerita suatu novel kadang-kadang berbelit-belit dan penuh kejutan, juga kadang sederhana. Hanya saja bagaimana pun sederhana alur suatu novel tidak akan sesederhana jalan cerita dalam cerpen. Novel akan memiliki jalan cerita yang lebih panjang. Hal ini karena tema cerita yang dikisahkannya lebih kompleks dengan persoalan para tokohnya yang juga lebih rumit. Berdasarkan pengembangannya, terdapat tiga macam alur, yaitu alur maju, alur mundur, dan alur campuran.

Secara umum jalan cerita terbagi ke dalam bagian-bagian berikut: (a) Pengenalan situasi cerita (exposition); dalam bagian ini, pengarang memperkenalkan

(22)

para tokoh, menata adegan dan hubungan antartokoh. (b) Pengungkapan peristiwa (complication); dalam bagian ini disajikan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai masalah, pertentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokoh-nya. (c) Menuju pada adanya konflik (rising action); terjadi peningkatan perhatian kegembiraan, kehebohan, ataupun keterlibatan berbagai situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh. (d) Puncak konflik (turning point); bagian ini disebut pula sebagai klimaks. Inilah bagian cerita yang paling besar dan mendebarkan. Pada bagian ini pula, ditentukannya perubahan nasib beberapa tokohnya, misalnya apakah dia berhasil menyelesaikan masalahnya atau gagal. (e) Penyelesaian (ending); sebagai akhir cerita, pada bagian ini berisi penjelasan tentang nasib-nasib yang dialami tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak itu. Namun ada pula, novel yang penyelesaian akhir ceritanya itu diserahkan kepada imaji pembaca. Jadi, akhir ceritanya itu dibiarkan menggantung, tanpa ada penyelesaian.

Konflik merupakan inti dari sebuah alur. Konflik dapat diartikan sebagai suatu pertentangan. Bentuk-bentuk pertentangan itu, sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sangat bermacam-macam. Misalnya: pertentangan manusia dengan dirinya sendiri (konflik batin); pertentangan manusia dengan sesamanya; pertentangan manusia dengan lingkungannya, baik itu lingkungan ekonomi, politik, sosial, dan budaya; dan pertentangan manusia dengan Tuhan dan keyakinannya.

3) Latar

Latar (setting) merupakan salah satu unsur intrinsik karya sastra. Terliput dalam latar, adalah keadaan tempat, waktu, dan budaya. Tempat dan waktu yang dirujuk dalam sebuah cerita bisa merupakan sesuatu yang faktual atau bisa pula yang imajiner (Kosasih, 2008: 227). Jadi, latar adalah tempat, waktu, dan budaya yang terdapat di dalam karya sastra.

4) Tokoh dan perwatakan

Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?”, atau “Ada berapa orang jumlah pelaku novel itu?”, dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh

(23)

pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi-karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Seperti dikatakan oleh Jones (1968), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2007: 165). Tokoh dan perwatakan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena setiap tokoh memiliki watak, sementara watak pasti melekat dalam diri tokoh. Perwatakan bisa dilihat dari aktivitas tokoh dalam menjalani kehidupan, khususnya dalam menghadapi konflik yang dimunculkan.

5) Sudut Pandang atau Point of View

Sudut pandang atau point of view adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita. Posisi pengarang ini terdiri atas dua macam berikut ini: pertama, berperan langsung sebagai orang pertama, sebagai tokoh yang terlihat dalam cerita yang bersangkutan; kedua, hanya sebagai orang ketiga yang berperan sebagai pengamat (Kosasih, 2008: 229). Sudut pandang orang pertama biasanya ditandai dengan kata aku, saya, daku, dan sebagainya. Sudut pandang orang ketiga ditandai dengan kata dia, ia, mereka, atau nama orang.

6) Amanat

Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didagtis yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya. Untuk menemukan amanat dalam suatu karya sastra tidak cukup dengan membaca dua atau tiga paragraf, melainkan harus menghabiskannya sampai tuntas. Amanat bisa didapat baik secara tersirat maupun tersurat.

7) Gaya Bahasa

Dalam cerita, penggunaan bahasa berfungsi untuk menciptakan suatu nada atau suasana persuasif serta merumuskan dialog yang mampu memperlihatkan hubungan dan interaksi antara sesama tokoh. Kemampuan sang penulis mempergunakan bahasa secara cermat dapat menjelmakan suatu suasana yang berterus terang atau satiris, simpatik atau menjengkelkan, objektif atau emosional. Bahasa dapat menimbulkan suasana yang tepat guna bagi adegan yang seram, adegan cinta, ataupun peperangan, keputusan, maupun harapan (Kosasih, 2008:

(24)

230-231).

Berdasarkan pada beberapa definisi di atas, maka dapat disintesiskan bahwa novel sebagai karya fiksi dibangun oleh suatu struktur, yaitu: tema, alur, latar, penokohan, sudut pandang atau point of view, amanat, dan gaya bahasa.

3. Hakikat Nilai Pendidikan Karakter a. Pengertian Nilai Pendidikan Karakter

Lickona (dalam Wibowo, 2013: 12-13) berpendapat bahwa pendidikan karakter mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Menurut Kemendiknas (dalam Wibowo, 2013: 13) pendidikan karakter adalah pendidikan yang menanamkan dan mengembangkan karakter-karakter luhur kepada peserta didik, sehingga mereka memiliki karakter luhur itu, menerapkan dan mempraktikkan dalam kehidupannya, entah dalam keluarga, sebagai anggota masyarakat, dan warga negara. Pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan karakter yang baik (good character) berlandaskan kebajikan-kebajikan inti (core virtues) yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat. Pendididkan karakter menurut Ki Hajar Dewantara adalah Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Semi (1993: 20) mengungkapkan bahwa nilai didik dalam karya sastra memang banyak diharapkan dapat memberi solusi atas sebagian masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Sastra merupakan alat penting bagi pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca pada kenyataan dan menolong mengambil suatu keputusan apabila menghadapi masalah.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan oleh para ahli dapat disintesiskan bahwa nilai pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang baik sehingga digunakan untuk menumbuhkan karakter-karakter yang luhur kepada peserta didik untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai pendidikan karakter dapat ditangkap manusia melalui berbagai hal diantaranya melalui pemahaman dan penikmatan sebuah karya sastra.

(25)

b. Macam-macam Nilai Pendidikan Karakter

Ki hajar Dewantara Menyatakan pendidikan tidak hanya bertujuan membentuk perserta didik untuk pandai, pintar, berpengetahuan, dan cerdas. Tetapi juga berorientasi untuk membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur, berpribadi, dan besusila. Berdasarkan tujuan pendidikan tersebut dapat diketahui bahwa sejak dulu nilai pendidikan telah ditanamkan oleh Ki Hajar Dewantara.

Selanjutnya, Hidayatullah (2010: 85) juga menguraikan butir-butir dari karakter yang terdapat di dalam kehidupan. Butir-butir karakter tersebu meliputi adil, amanah, pengampunan, antisipatif, arif, baik sangka, kebajikan, keberanian, bijaksana, cekatan, cerdas, cerdik, cermat, pendayaguna, demokratis, dermawan, dinamis, disiplin, efisien, empan papan, empati, fair play, gigih, gotong royong, hemat, hormat, kehormatan, ikhlas, inisiatif, inovatif, kejujuran, pengendalian diri, kooperatif, kreatif, kukuh hati, lugas, mandiri, kemurahan hati, pakewuh, peduli, penuh perhatian, produktif, rajin, ramah, sabar, saleh, santun, setia, sopan, susila, ketaatan, tabah, tangguh, tanggap, tanggung jawab, bertakwa, tegar, tegas, tekad atau komitmen, tekun, tertib, ketertiban, tahu berterima kasih, trengginas, ketulusan, tepat waktu, toleran, ulet, dan berwawasan jauh ke depan.

Kemendiknas (dalam Wibowo, 2012: 43-44), nilai-nilai luhur sebagai pondasi karakter bangsa yang dimiliki oleh setiap suku di Indonesia ini, diantaranya sebagai berikut:

1) Religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2) Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3) Toleransi adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

4) Disiplin adalah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

5) Kerja Keras adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas

(26)

dengan sebaik-baiknya.

6) Kreatif adalah berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7) Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8) Demokratis adalah cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

9) Rasa Ingin Tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

10) Semangat Kebangsaan adalah cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

11) Cinta Tanah Air adalah cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

12) Menghargai Prestasi adalah sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.

13) Bersahabat/Komunikatif adalah tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

14) Cinta Damai adalah sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

15) Gemar Membaca adalah kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

16) Peduli Lingkungan adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya- upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17) Peduli Sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

(27)

dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa nilai-nilai pendidikan karakter yang akan dianalisis dalam novel yaitu: 1) kesetiakawanan; 2) tanggung jawab; 3) keberanian; 4) empati; 5) gigih; 6) rajin; 7) sabar; 8) santun; 9) tabah; 10) tangguh; 11) tahu berterimakasih; 12) mandiri; 13) bersahabat/komunikatif.

4. Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA (Sekolah Menengah Atas) Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan empat kemampuan berbahasa siswa, yakni: kemampuan menyimak, kemampuan membaca, kemampuan berbicara, dan kemampuan menulis. Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa Indonesia mempuanyai peran penting dalam perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta didik. Abidin (2013: 213) menjelaskan pada hakikatnya pembelajaran bahasa Indonesia memperkenalkan kepada siswa nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra dan mengajak siswa ikut menghayati pengalaman-pengalaman yang disajikan. Pembelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan sastra bertujuan untuk mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai afektif, nilai keagamaan, dan nilai sosial sendiri-sendiri atau gabungan dari keseluruhan itu, sebagaimana tercermin dalam karya sastra. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mengapresiasi karya sastra.

Karya sastra adalah sebuah objek estetis, yang mampu membangkitkan pengalaman estetis (Wellek dan Warren, 1989: 321). Sastra merupakan sesuatu yang dinamis yang memuat apa saja yang dialami, dirasakan, dan dipikirkan, oleh manusia dalam kehidupannya (Sangidu, 2004: 10). Sastra juga erat kaitannya dengan ciri-ciri khusus bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Membaca sastra kita dapat memahami kebudayaan kelompok atau bangsa lain. Sastra bagi kehidupan manusia adalah bersifat kerohanian atau kebatinan. Ismawati (2013: 70) menyatakan bahwa sastra berfungsi untuk menanam, memupuk, dan mengembangkan sesuatu yang bersifat kejiwaan seperti perasaan, sifat sosial, keagamaan, kejujuran, percaya diri, tanggung jawab, kasih sayang. Hal tersebut akan membentuk karakter utama yang dibentuk melalui pembelajaran.

(28)

Sastra bukan hanya berfungsi sebagai agen pendidikan, membentuk pribadi keinsanan seseorang, tetapi juga memupuk kehalusan adab dan budi kepada individu serta masyarakat agar menjadi masyarakat yang berperadaban (Firmansyah dalam Wibowo, 2013: 20). Sastra melalui imajinasinya, mampu membimbing peserta didik pada keluasan berpikir, bertindak, berkarya dan sebagainya. Sastra dalam pendidikan berperan mengembangkan aspek kognitif, afektif, psikomotorik, mengembangkan kepribadian dan mengembangkan pribadi sosial. Sastra sebagai suatu yang dipelajari atau sebagai pengalaman kemanusiaan yang dapat disumbangkan untuk renungan dan penilaian

Sastra dapat melatih keterampilan berbahasa, sastra dapat menambah pengetahuan tentang pengalaman hidup manusia, membantu mengembangkan pribadi, pembentuk watak, memberi kepuasan, kenyamanan, dan meluaskan dimensi kehidupan. Sastra diakui sebagai salah satu alat untuk menyampaikan pengajaran (pendidikan) yang berguna dan menyenangkan. Pembelajaran sastra atau pembelajaran apresiasi sastra adalah serangkaian aktivitas yang dilakukan siswa untuk menemukan makna dan pengetahuan yang terkandung dalam karya sastra. Pembelajaran sastra diorientasikan agar siswa memperoleh pengetahuan sastra dan pengalaman sastra. Melalui pengetahuan dan pengalaman tersebut, siswa akan mempunyai wawasan luas tentang fenomena hidup dan kehidupan manusia.

Pembelajaran bahasa Indonesia khususnya di SMA diarahkan pada aktivitas moral yang lebih tinggi. Pembelajaran bahasa dan sastra disajikan secara seimbang. Bahan dapat dikaitkan dengan tema pembelajaran, dapat pula tidak dikaitkan dengan tema pembelajaran misalnya sastra dapat sekaligus dipakai sebagai bahan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa Indonesia mengenai sastra merupakan bentuk implementasi dari pendidikan karakter.

Berdasarkan Kurikulum, pembelajaran sastra di sekolah dicantumkan dengan tujuan agar siswa memiliki dasar tentang apresiasi sastra. Oleh karena itu pembalajaran sastra bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresiasi karya sastra dan mewajibkan peserta didik untuk membaca sendiri karya-karya terpilih. Pembelajaran sastra dimaknai sebagai membelajarkan dan memberikan kesempatan

(29)

kepada siswa untuk memperoleh berbagai pengalaman hidup, pengetahuan, kesadaran, dan hiburan yang menyenangkan melalui teks sastra.

Novel merupakan salah satu teks sastra yang banyak mengandung pengalaman yang bernilai pendidikan yang positif. Selain itu, novel merupakan sebuah hiburan bagi siswa karena di dalam isi novel terdapat cerita yang menarik dan mempunyai keterkaitan antarunsur dan dapat membantu siswa dalam menentukan unsur-unsur tersebut. Novel dapat dijadikan sebagai bahan materi ajar pembelajaran bahasa Indonesia. Novel seperti halnya bentuk prosa cerita yang lain, sering memiliki struktur kompleks yang berperan untuk memahami sebuah karya sastra.

Membaca novel merupakan bagian paling penting yang harus dilakukan untuk mencari nilai yang disuguhkan pengarang pada setiap tokoh. Kebulatan penokohan yang disajikan oleh pengarang membuat siswa harus lebih kritis untuk menemukan setiap nilai yang dibawa oleh tokoh. Nilai-nilai luhur yang melekat pada tokoh tidaklah berdiri sendiri. Nilai luhur harus disokong dengan nilai yang buruk. Intervensi pada nilai-nilai buruk yang terdapat di masyarakat maupun di novel hanya akan mengaburkan tujuan hidup yang hakiki.

Pada sisi ini dekonstruksi bermain dan menggugat pemikiran strukturaslisme. Dekonstruksi meyakini bahwa tidak ada kebenaran mutlak, begitu juga dengan nilai-nilai yang dibawa oleh tiap tokoh dalam novel. Dekonstruksi bisa mengarahkan siswa untuk lebih berpikir kritis ketika mengapresiasi novel. Siapakah tokoh protagonis?, siapakah tokoh antagonis?, benarkah setiap tokoh antagonis selalu mencerminkan nilai-nilai yang buruk dan sebaliknya?. Ketika pertanyaan-pertanyaan semacam itu muncul dari dalam kepala siswa bukahkah dekonstruksi telah memiliki posisi sebagai teori yang dapat digunakan sebagai pendalaman materi dalam mengapresiasi novel. Maka dari itu hubungan antara mengapresiasi novel dengan berpikir kritis sangatlah erat kaitannya.

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa novel dapat dijadikan sebagai bahan ajar dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Melalui Silabus, siswa dituntut untuk memahami sastra secara baik. Melalui novel, siswa dapat menanamkan nilai-nilai kebaikan yang berasal dalam diri tokoh. Sedangkan untuk dapat mengapresiasi novel secara baik siswa dapat membaca novel dengan menggunakan metode pembacaan kritis yakni metode dekonstruksi. Melalui metode pembacaan

(30)

dekonstruksi siswa akan menunda setiap kemutlakan-kemutlakan yang masih bisa dipertanyakan.

5. Fahd Djibran

Fahd Djibran adalah nama pena dari Fahd Pahdepie. Ia Lahir di Cianjur, 22 Agustus 1986 umur 28 tahun. Penulis yang dikenal dengan karya-karya kreatifnya serta pemikiran-pemikiran segarnya tentang hal-hal di seputar kehidupan sehari-hari. Beberapa bukunya yang telah diterbitkan antara lain A Cat in My Eyes (2008), Curhat Setan (2009), Yang Galau Yang Meracau: Curhat (Tuan) Setan (2011), dua buah novel Rahim: Sebuah Dongeng Kehidupan dan Menatap Punggung Muhammad (2010), serta sebuah karya kolaborasi bersama Bondan Prakoso & Fade2Black dalam bentuk fiksi-musikal, Hidup Berawal Dari Mimpi (2011), dan Tak Sempurna (2013).

Fahd dikenal sebagai penulis kreatif yang memperkenalkan metode creative writhink (menjadi nominator dalam Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa Bidang Kreatif Tahun 2009 yang diselenggarakan Dirjen Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional RI). Di samping itu, ia juga meraih beberapa penghargaan bergengsi dalam bidang penulisan dan pemikiran, antara lain: UNICEF Young Writer Award, DAR!Mizan Unlimited Creativity Award 2006 Sebagai Penulis Terbaik, Juara I MTQ Tingkat Nasional Bidang Karya Tulis Al-Quran, penghargaan Ahmad Wahib Award 2010 dari Yayasan Wakaf Paramadina dan Hivos Foundation, dan lainnya.

Pada tahun 2011, ia mewakili Indonesia dalam program Pertukaran Tokoh Muda Muslim Indonesia-Australia yang diselenggarakan Australia-Indonesia Institute, University of Melbourne, dan Islamic Council of Victoria, Australia. Di samping menulis, Fahd juga kerap diundang sebagai pembicara atau narasumber dalam berbagai seminar dan diskusi ilmiah baik di level nasional maupun internasional. Saat ini ia juga merupakan peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Pada tahun 2012-2013 ia terpilih menjadi salah satu dewan juri dalam sayembara dan penghargaan Ahmad Wahib Award yang dilaksanakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina dan Hivos Foundation. Tahun 2013, bersama Denny J.A. ia mendirikan dan membuat situs perpustakaan publik pertama di Indonesia bernama inspirasi.co dan mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI) sebagai Situs

(31)

Perpustakaan Publik Pertama di Indonesia.

Berikut akan dijabarkan karya tulis, prestasi dan penghargaan, dan revolvere project yang dihasilkan dan digarap oleh Fahd Djibran:

a. Buku

No. Tahun Judul

1. 2004 Kucing

2. 2005 Being Superstar 3. 2006 Revolusi Sekolah

4. 2006 Shalawat Cinta Kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW

5. 2007 Insomnia | Amnesia: Catatan Mahasiswa Insomnia Bagi Bangsa yang Amnesia

6. 2008 Writing is Amazing

7. 2008 A Cat in My Eyes: Karena Bertanya Tak Membuatmu Berdosa 8. 2009 Curhat Setan: Karena Berdosa Membuatmu Selalu Bertanya 9. 2009 Qum!

10. 2010 Rahim: Sebuah Dongeng Kehidupan 11. 2010 Menatap Punggung Muhammad

12. 2011 Yang Galau Yang Meracau: Curhat (Tuan) Setan

13. 2011 Hidup Berawal Dari Mimpi (Bersama Bondan Prakoso & Fade2Black)

14. 2013 Tak Sempurna (Bersama Bondan Prakoso & Fade2Black)

b. Antologi

No. Tahun Judul

1. 2006 Selalu Ada Rindu: Antologi Sastra Senja Penyair Cianjur 2. 2007 Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Umat

Gambar

Gambar 2.1  Kerangka Berpikir  Novel Tak Sempurna

Referensi

Dokumen terkait

Untuk tujuan ini, baik Fakultas maupun Sekolah menyediakan sumber daya akademik maupuan sumber daya pendukung akademik (laboratorium, studio, perpustakaan), bukan

Semoga buku ini memberi manfaat yang besar bagi para mahasiswa, sejarawan dan pemerhati yang sedang mendalami sejarah bangsa Cina, terutama periode Klasik.. Konsep

Puji syukur senantiasa penulis ucapkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tiada hentinya mencurahkan rahmat dan hidayah- Nya, sehingga dengan segala

Regulasi • Belum adanya national policy yang terintegrasi di sektor logistik, regulasi dan kebijakan masih bersifat parsial dan sektoral dan law enforcement lemah.. Kelembagaan

Pengaduan terhadap Ahli Pialang Asuransi dan Reasuransi sebagai Teradu yang dianggap melanggar Kode Etik harus disampaikan secara tertulis disertai dengan

(2006), “Analisis faktor psikologis konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian roti merek Citarasa di Surabaya”, skripsi S1 di jurusan Manajemen Perhotelan, Universitas

· Lepaskan selalu daya listrik AC dengan mencabut kabel daya dari colokan daya sebelum menginstal atau melepaskan motherboard atau komponen perangkat keras lainnya.. ·

Plastik şekil değiştirme tekrar kristalleşme sıcaklığının üstünde bir sıcaklıkta yapılırsa, işleme "sıcak plastik şekil değiştirme" adı verilir.