• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini mengkaji tentang marginalisasi politik pengawasan pemilu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini mengkaji tentang marginalisasi politik pengawasan pemilu"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian ini mengkaji tentang marginalisasi politik pengawasan pemilu dalam praktik politik penyelenggaraan pemilu di Kabupaten Banyumas. Pemilu yang diawasi oleh suatu lembaga pengawas pemilu, diharapkan dapat mendukung tegaknya hukum dan aturan main pemilu, sehingga terwujud pemilu yang jujur, adil dan demokratis. Adanya lembaga pengawas pemilu, maka segala bentuk tindak kecurangan dan pelanggaran terhadap aturan main pemilu dapat diproses, diselesaikan dan diberi sanksi hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Tegaknya hukum dan dipatuhinya aturan main pemilu oleh seluruh aktor politik yang terlibat dalam pemilu memberi kontribusi terhadap hasil pemilu yang lebih baik, bersih dan berkualitas. Para politisi calon wakil rakyat dan partai-partai politik sebagai peserta pemilu dan para penyelenggara pemilu (KPU dan Pengawas Pemilu) mempunyai tanggungjawab moral dan politik menjaga pemilu agar menjadi ajang perebutan kekuasaan secara konstitusional, demokratis, bersih, berkualitas dan bermartabat. Melalui pemilu yang bersih, berkualitas dan bermartabat itu akan menghasilkan wakil-wakil rakyat, politisi-politisi yang mempunyai integritas moral dan politik yang baik, dan mempunyai legitimasi politik dan moral yang kuat. Melalui wakil-wakil rakyat, politisi-politisi yang mempunyai integritas moral dan politik yang baik itu, maka diharapkan dapat

(2)

2 memberi kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat. Sehingga pemilu sebagai sarana politik demokrasi mempunyai nilai transformasi politik meningkatkan kesejahteraan rakyat menjadi satu agenda penting dalam penyelenggaraan pemilu yang bersih dan bermartabat.

Terwujudnya pemilu yang bersih dan bermartabat yaitu pemilu yang bebas, jujur, adil dan demokratis, sesungguhnya menjadi tuntutan politik rakyat secara nasional menghendaki adanya reformasi penyelenggaraan pemilu setelah runtuhnya rezim orde baru 1998. Rakyat menginginkan pemilu pada masa reformasi tidak hanya sekadar menjadi institusi politik konstitusional untuk memenuhi syarat formal demokrasi elektoral (prosedural) semata, sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya pada masa orde baru.

Pemilu pada masa orde baru hanya menjadi alat politik bagi para politisi kelompok berkuasa untuk meraih kekuasaan an-sich, tanpa mempedulikan etika politik dan moralitas politik yaitu diabaikanya hukum dan aturan main pemilu. Setelah reformasi, rakyat menginginkan pemilu sebagai sarana politik transformasi politik mewujudkan demokrasi secara substansial yang mempunyai dampak peningkatan kesejahteraan rakyat.

Para politisi yang terpilih sebagai wakil rakyat dan partai-partai politik yang berkuasa dari suatu proses politik pemilu yang berkualitas, bebas, jujur, adil dan demokratis akan menjadi wakil rakyat yang bersih dan bermartabat. Hal itu menjadi input politik, modal politik yang sangat baik untuk melakukan proses politik atau agenda politik berikutnya. Seperti lahirnya sikap dan tindakan para politisi wakil rakyat yang bersih, tidak korup dan mempunyai komitmen moral

(3)

3 dan politik terhadap agenda reformasi; pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, perbaikan nasib rakyat, peningkatan kesejahteraan rakyat dan agenda demokratisasi.

Input politik dan proses politik yang baik itu akan menghasilkan output politik atau produk politik yang baik pula. Wakil rakyat yang berkualitas baik sebagai hasil dari input dan proses politik pemilu yang baik, akan menghasilkan produk UU berwatak prorakyat, proreformasi, prodemokrasi, mendukung agenda konsolidasi demokrasi, efektif mengawasi pemerintah, sehingga terwujud pemerintahan yang bersih dan baik.

Output politik (politisi wakil-wakil rakyat) yang baik akan lahir dari suatu input dan proses politik pemilu yang baik dan berkualitas pula. Pemilu yang baik dan berkualitas adalah adanya penegakan hukum dan aturan main pemilu secara konsisten. Mewujudkan tegaknya hukum dan aturan main pemilu, maka di pandang perlu adanya lembaga pengawas pemilu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu untuk mengawal pemilu yang baik dan berkualitas.

Lembaga pengawas pemilu diharapkan menjadi instrumen politik penting mengawal pemilu yang bebas, jujur, adil dan demokratis, ditandai dengan tegaknya hukum dan aturan main pemilu. Pengawas pemilu dapat menjadi bagian penting dan strategis dalam peta politik penyelenggaraan pemilu, yaitu dengan melakukan tindakan tegas terhadap setiap bentuk pelanggaran pemilu di proses secara hukum, diselesaikan sesuai dengan aturan main pemilu.

Meski demikian, pengalaman lembaga pengawas pemilu selama orde baru dalam posisi marginal, tidak dalam posisi strategis. Lembaga pengawas pemilu

(4)

4 pada masa orde baru hanya menjadi alat politik kelompok berkuasa untuk membungkan sejumlah pelanggaran pemilu yang secara dominan dilakukan oleh eksponen politik kelompok berkuasa (Golkar, aparat birokrasi dan aparat keamanan). Lembaga pengawas pemilu sekaligus menjadi alat legitimasi politik pemerintah berkuasa untuk menyatakan bahwa pemilu telah dilaksanakan secara jujur dan adil. Lembaga pengawas pemilu secara sistematis dan struktural dalam posisi marginal, tidak strategis, sepanjang penyelenggaraan pemilu pada masa orde baru.

Pengawas pemilu dalam posisi strategis atau marginal dalam struktur politik penyelenggaraan pemilu, sangat ditentukan oleh bentuk desain politik penyelenggaraan pemilu yang ada. Desain politik penyelenggaraan pemilu akan menempatkan posisi dan peran lembaga pengawas pemilu. Sementara itu desain politik penyelenggaraan pemilu merupakan hasil dari suatu proses politik pemerintah bersama para politisi dari partai-partai politik yang berkuasa di DPR menyusun desain politik penyelenggaraan pemilu tersebut.

Lembaga pengawas pemilu pertama kali dibentuk pada pemilu 1982, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksana (Panwaslak) Pemilu. Panwaslak Pemilu dibentuk atas desakan politik PPP dan PDI yang merasa dirugikan oleh praktek pemilu awal orde baru 1971 penuh dengan tindak kecurangan, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Selajutnya keberadaan Panwaslak Pemilu dipermanenkan dalam setiap penyelenggaraan pemilu-pemilu orde baru. Panwaslak Pemilu dalam struktur politik penyelenggaraan pemilu 1982 hingga pemilu terakhir orde baru 1997 dalam posisi marginal. Panwaslak Pemilu tidak

(5)

5 mempunyai posisi dan peran yang strategis. Bahkan, Panwaslak Pemilu mengalami politisasi, menjadi alat legitimasi politik pemerintah untuk mendukung memenangkan Golkar.

Lembaga pengawas pemilu pada masa reformasi kembali muncul dan dilembagakan dalam struktur politik penyelenggaraan pemilu 1999, 2004, 2009. Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) terus mengalami perubahan bentuk struktur kelembagan, fungsi dan kewenangan, serta mekanisme pengawasan dan penanganan pelanggaran pemilu. Perubahan-perubahan tersebut menunjukan kemajuan jika dibandingkan dengan posisi dan peran Panwaslak Pemilu pada masa orde baru. Segala macam bentuk perubahan kelembagaan pengawasan pemilu pada masa reformasi tersebut ada dalam desain politik penyelenggaraan pemilu yang disusun oleh pemerintah bersama-sama DPR. Desain politik penyelenggaraan pemilu tersebut berisi tentang segala macam aturan yang mengatur tentang teknis penyelenggaraan pemilu dan mengatur penyelenggara pemilu (KPU dan Pengawas Pemilu).

Posisi Panwaslu dalam struktur politik penyelenggaraan pemilu pada masa reformasi dalam bayang-bayang tarikan kepentingan politik para politisi partai-partai politik berkuasa di DPR yang sangat berkepentingan terhadap pemilu sebagai arena politik memperebutkan kekuasaan untuk terpilih, duduk sebagai wakil rakyat. DPR dalam menyusun desain (struktur) politik penyelenggaraan pemilu sangat mungkin dan terbuka melakukan marginalisasi kembali terhadap lembaga pengawas pemilu sebagaimana terjadi pada masa orde baru.

(6)

6 UU Nomor 12 Tahun 2003 mengatur tentang Panwaslu 2004, mengalami perubahan kemajuan jika dibandingkan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Panwaslu 1999. Demikian pula UU No 22 Tahun 2007 mengatur tentang Panwaslu 2009, juga mengalami beberapa perubahan kemajuan. Tetapi berdasarkan laporan dan hasil kajian terhadap praktek pengawasan dan penanganan pelanggaran pemilu legislatif 2004 dan 2009, ditemukan banyak pelanggaran pemilu yang tidak dapat diselesaikan dengan baik. Sebab Panwaslu sebagaimana diatur dalam UU tersebut dalam posisi lemah, baik dalam struktur kelembagaan, tugas dan wewenang, serta mekanisme penanganan pelanggaran pemilu.

Di tengah persaingan politik yang semakin keras antar politisi partai-partai politik peserta pemilu dalam memperebutkan suara rakyat untuk meraih kekuasaan, Panwaslu 2004 dan 2009 justru dalam posisi lemah, marginal. Lemahnya posisi Panwaslu ini dapat dilihat dari laporan dan hasil kajian pengawasan pemilu yang dilakukan oleh Panwaslu 2004, Bawaslu 2009, Panwaslu Kabupaten Banyumas 2004 dan 2009, serta JPPR (2005), IFES (2005), Heru Cahyono (2004), Harining Mardjuki (2006), Didik Supriyanto (2007) dan Hidayat Nur Sardini (2009).

Panwaslu menghadapi berbagai kendala dalam upaya penegakan hukum dan aturan main pemilu. Panwaslu sering dikatakan hanya sebagai “tukang pos” pelanggaran pemilu, karena hanya berperan meneruskan temuan dan laporan pelanggaran pemilu kepada KPU atau aparat Kepolisian. Panwaslu sering dikatakan “panitia was-was melulu”, karena tidak berdaya menangani berbagai

(7)

7 tindak pelanggaran pemilu. Para calon wakil rakyat dan partai politik peserta pemilu dengan mudah mengabaikan kewenangan Panwaslu. Demikian pula, KPU sebagai petugas penyelenggara pemilu sebagian anggota KPU memandang Panwaslu sebagai lembaga yang berada di bawah KPU, sehingga keputusan Panwaslu dengan ringan diabaikan oleh KPU. Hal-hal tersebut dapat menjadi potensi sangat rawan terjadinya konflik antara Panwaslu dengan peserta pemilu di satu sisi dan konflik antara Panwaslu dengan KPU di sisi yang lain.

Berdasarkan hasil kajian dari berbagai sumber tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa posisi dan peran Panwaslu pada masa reformasi masih terbatas hanya menjadi pelengkap-penderita dalam praktek demokrasi elektoral, procedural tersebut. Panwaslu tidak dapat melakukan pengawasan secara efektif dan maksimal, diantaranya karena aturan main pemilu dalam desain politik penyelenggaraan pemilu tidak memberi ruang bagi pengawas pemilu untuk menindak tegas segala macam bentuk pelanggaran pemilu, utamanya dilakukan oleh para politisi calon anggota wakil rakyat. Padahal Panwaslu dengan segala keterbatasan dan kelemahan yang dimilikinya, dihadapkan pada berbagai kasus tindak pelanggaran pemilu yang semakin kompleks, seiring dengan makin kerasnya persaingan politik antar aktor politik, politisi calon wakil rakyat memperebutkan suara untuk menjadi pemenang dalam arena pemilu.

Pemilu demokratis hanya mungkin terjadi, apabila adanya sistem pemilu dan sistem penyelenggaraan pemilu yang demokratis, dipatuhinya aturan main pemilu dan penegakan hukum pemilu yang kuat dan efektif. Oleh sebab itu penting adanya pengawasan terhadap proses penyelenggaraan pemilu. Tanpa

(8)

8 adanya suatu pengawasan pemilu, maka pemilu akan menjadi arena persaingan antar politisi partai-partai politik untuk meraih kekuasaan secara tidak bertanggungjawab, tidak sehat, tidak fair (jujur dan adil) dan tidak bermartabat. Sehingga akan lahir kekuasaan yang tidak bersih, korup dan tidak memiliki tanggungjawab moral dan politik kepada rakyat yang memilihnya.

Pemilu 2004, 2009 yang diselenggarakan dalam suasana politik yang bebas dan terbuka sebagai kelanjutan dari tuntutan reformasi demokratis, seharusnya dapat dilaksanakan lebih baik dan berkualitas dari pada pemilu pada masa transisi politik demokratik (1999) dan pemilu-pemilu sebelumnya pada masa orde baru di bawah rezim birokratik otoritarian. Pemilu 2004, 2009 seharusnya menjadi momentum politik untuk melakukan pelembagaan pemilu yang baik, berkualitas dan sebagai sarana pelembagaan demokrasi secara substansial.

Berdasarkan laporan kerja Panwaslu Kabupaten Banyumas pemilu legislatif 2004 dan 2009 masih ditemukan adanya pelanggaran-pelanggaran pemilu yang tidak dapat diselesaikan dengan baik dan tuntas hingga mendapat sanksi pidana dan administrasi. Ada kesan politik sangat kuat, terjadi pengabaian terhadap aturan main pemilu dan ketidakpatuhan aktor-aktor politik (politisi dan penyelenggara pemilu) yang melakukan tindak pelanggaran pemilu terhadap tindakan tegas Panwaslu, sehingga lemahnya penegakan hukum pemilu. Hal itu sebagai akibat dari adanya marginalisasi terhadap Panwaslu untuk melakukan pengawasan dan penanganan pelanggaran pemilu sacara efektif dan maksimal.

(9)

9 Penelitian ini berupaya mengetahui mengapa terjadi marginalisasi politik pengawasan pemilu dan bagaimana bentuk marginalisasi politik pengawasan pemilu dalam praktek politik penyelenggaraan pemilu, serta menguak tabir politik dibalik marginalisasi politik pengawasan pemilu. Siapa yang diuntungkan dari praktek marginalisasi politik pengawasan pemilu dalam penyelenggara pemilu ini. Peran marginal Panwaslu ini terkait dengan bentuk struktur politik penyelenggaraan pemilu, desain politik penelenggaraan pemilu dan peran aktor-aktor politik (agency) sebagai pelaku politik yang terlibat dalam pelaksanaan pemilu. Dengan membuka tabir politik ini, maka akan terkuak selubung kepentingan politik dibalik marginalisasi politik pengawasan pemilu. Desain politik penyelenggaraan pemilu merupakan produk politik para politisi dan partai-partai politik yang berkuasa di DPR.

B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini fokus dengan kasus terjadinya marginalisasi politik pengawasan pemilu di Kabupaten Banyumas. Marginalisasi pengawas pemilu ini terkait dengan bentuk desain (struktur) politik penyelenggaraan pemilu.

Desain politik penyelenggaraan pemilu mempengaruhi tindakan aktor-aktor politik (agency) yaitu para politisi calon wakil rakyat, partai politik peserta pemilu dan para anggota KPU sebagai petugas penyelenggara pemilu, terhadap kewenangan dan keputusan Panwaslu. Panwaslu dalam menjalankan tugas pengawasan pemilu secara terus menerus dalam posisi ketegangan politik dengan para aktor politik yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu yaitu para politisi,

(10)

10 partai politik peserta pemilu dan para aktor penyelenggara pemilu (anggota KPU), sehingga terbuka konflik antara Panwaslu dengan peserta pemilu dan KPU. Terkait dengan hal tersebut, maka rumusan pertanyaan dalam penelitian ini adalah mengapa terjadi praktek marginalisasi politik pengawasan pemilu di Kabupaten Banyumas.

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui peran marginal Panwaslu dalam desain (struktur) politik penyelenggaraan pemilu di Kabupaten Banyumas.

2. Mengetahui peran marginal Panwaslu dalam praktek pengawasan dan penanganan pelanggaran pemilu, serta dinamika antar aktor politik (agency) dan terjadinya konflik antar aktor dalam penyelenggaraan pemilu di Kabupaten Banyumas.

3. Mengetahui kepentingan politik di balik marginalisasi Panwaslu dalam desain (struktur) politik penyelenggaraan pemilu.

D. Kerangka Teori

Penelitian ini membutuhkan kerangka teori untuk membantu memberikan panduan teoretik, sehingga tercapai apa yang menjadi tujuan dari penelitian ini. Kerangka teori ini akan di bagi dalam beberapa bagian, agar dapat mengawal fokus penelitian dan tujuan penelitian ini. Pembagian kerangka teori ini meliputi: 1) desain (struktur) politik penyelenggaraan pemilu; 2) dinamika antar aktor dalam struktur politik penyelenggaraan pemilu; dan 3) kerangka berpikir: dinamika aktor dan struktur dalam dimensi strukturasi Giddens.

(11)

11 1. Desain (struktur) politik penyelenggaraan pemilu

Pemilu sebagai mekanisme politik konstitusional dalam praktek demokrasi prosedural, dilaksanakan dalam suatu bingkai desain politik penyelenggaraan pemilu yang berisi tentang aturan-aturan main pemilu, meliputi sistem pemilu, bentuk lembaga penyelenggara pemilu, mekanisme pengawasan dan penanganan pelanggaran pemilu atau penegakan hukum pemilu. Sehingga desain politik itu merupakan suatu wujud dari struktur politik penyelenggaraan pemilu, dimana adanya aturan main dan sumber daya yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan secara rutin, terus menerus.

Desain politik penyelenggaraan pemilu disusun oleh pemerintah bersama-sama dengan para politisi partai-partai politik yang berkuasa di DPR, berupa peraturan perundang-undangan (UU) tentang pemilu dan penyelenggara pemilu. Dengan demikian, desain politik tersebut sebagai landasan hukum (konstitusional) untuk penyelenggaraan pemilu merupakan suatu produk hukum dari suatu proses politik. Oleh karena itu, desain politik penyelenggaraan pemilu sebagai produk hukum sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik dalam struktur kekuasaan politik (pemerintah dan DPR) yang tengah berlangsung. Hukum menjadi cerminan dari kehendak kekuasaan. Hukum sangat dipengaruhi oleh politik. Terkait dengan politik dan hukum, Moh Mahfud MD menyatakan, bahwa dalam hubungan tolak tarik antara politik dan hukum, maka hukum sangat dipengaruhi oleh politik, karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum. (Moh. Mahfud MD, 2011: 20)

(12)

12 Desain politik penyelenggaraan pemilu sebagai produk hukum dari DPR, maka sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik pemerintah dan para politisi partai-partai politik yang berkuasa di DPR. Seperti halnya dalam desain politik penyelenggaraan pemilu orde baru 1982-1997, lembaga pengawas pemilu (Panwaslak Pemilu) masuk dalam struktur politik penyelenggaraan. Namun, Panwaslak Pemilu dalam struktur politik penyelenggaraan pemilu orde baru dalam posisi marginal, lemah, tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menindak pelanggaran-pelanggaran pemilu yang secara dominan dilakukan oleh Golkar, aparat birokrasi, aparat keamanan dan para petugas pemilu. Demikian pula, Panwaslu dalam struktur politik penyelenggaraan pemilu pada masa reformasi meski telah mengalami beberapa perubahan, tetapi masih terus dalam bayang-bayang kepentingan para politisi partai-partai politik yang berkuasa di DPR.

Rutinisasi dan pelembagaan lembaga pengawasa pemilu dalam struktur politik penyelenggaraan pemilu pada masa reformasi (1999, 2004, 2009) mempunyai posisi yang lemah, marginal, seperti halnya dalam struktur politik penyelenggaraan pemilu pada masa orde baru. Lembaga pengawas pemilu pada masa orde baru dalam posisi marginal, dibawah kendali dan pengaruh kepentingan politik pemerintah yang berkuasa, menjadi alat legitimasi politik untuk mendukung memenangkan Golkar.

Lembaga pengawas pemilu pada masa reformasi dalam posisi marginal dan menjadi ajang cuci tangan politik para politisi partai-partai politik berkuasa sebagai peserta pemilu, yaitu melepas tanggugjawab moral dan politik mengawal

(13)

13 dan mengawasi pemilu sehingga berjalan demokratis, jujur dan adil sebagaimana menjadi bagian dari cita-cita gerakan reformasi. Panwaslu diperlakukan sebagai alat untuk melakukan eksternalisasi pengawasan pemilu oleh para politisi partai-partai politik berkuasa, sekaligus sebagai upaya untuk menghindar dari adanya resiko-resiko politik dari penyelenggaraan pemilu. Resiko politik dalam pemilu itu, seperti kemungkinan terjadinya gangguan keamanan, kekacauan atau tindak kekerasan akibat adanya suatu tindak pelanggaran pemilu, ketidakpuasan terhadap penanganan pelanggaran pemilu dan ketidakpuasan terhadap hasil pemilu yang diwarnai dengan penuh kecurangan tanpa suatu penyelesaian yang memuaskan.

Para politisi partai-partai politik berkuasa sebagai peserta pemilu tersebut mengambil aksi untung politik dari penyelenggaraan pemilu sebagai ajang untuk memperebutkan jabatan politik dirinya, tetapi mereka melepas tanggungjawab moral dan politik atas kemungkinan terjadinya resiko politik politik dan keamanan dalam penyelenggaraan pemilu. Disinilah desain (struktur) politik penyelenggaraan pemilu tidak bersifat netral dan bebas dari kepentingan politik para politisi partai-partai politik yang berkuasa di DPR, sekaligus menjadi aktor politik sebagai pelaku politik (agency) dalam pemilu yang berperan sebagai peserta pemilu. Desain politik penyelenggaraan pemilu, dimana menempatkan lembaga pengawas pemilu sebagai salah satu aparat penyelenggara pemilu, dengan demikian syarat dengan kepentingan politik para aktor politik yang menyusunnya, yaitu para politisi partai-partai politik berkuasa di DPR yang akan terlibat dalam penyelenggaraan pemilu menjadi peserta pemilu.

(14)

14 2. Dinamika aktor (agency) dalam struktur politik penyelenggaraan pemilu

Dalam teori strukturasi Anthony Giddens (2009; 2010), ada dinamika antara aktor (agency) sebagai pelaku dan struktur (structure) meliputi aturan main dan sumber daya. Struktur politik penyelenggaraan pemilu yang tersusun dalam suatu desain politik penyelenggaraan pemilu, memuat aturan main pemilu meliputi, sistem pemilu, badan penyelenggara pemilu, mekanisme pengawasan dan penanganan pelanggaran pemilu atau penegakan hukum pemilu. Desain politik itu sebagai acuan hukum pemilu, tersusun dalam bentuk peraturan perundangan-undangan tentang pemilu dan penyelenggara pemilu, sebagai produk politik dari para politisi partai-partai politik berkuasa di DPR.

Desain politik penyelenggaraan pemilu itu menjadi panduan hukum politik bagi para aktor politik (agency) sebagai pelaku politikyang terlibat dalam pemilu, yaitu politisi partai-partai politik sebagai peserta pemilu, penyelenggara pemilu, masyarakat pemilih, dan aparat penegak hukum. Struktur politik penyelenggaraan pemilu itu akan mempengaruhi para aktor politik (agency) yang terlibat dalam pemilu tersebut dalam mengambil sikap dan tindakan politik terkait dengan pelaksanaan aturan main pemilu.

Diantara agency atau pelaku politik utama dalam pemilu adalah para politisi partai politik sebagai peserta pemilu. Setelah para politisi partai-partai politik peserta pemilu tersebut terpilih duduk sebagai wakil rakyat dan bekuasa di DPR, selanjutnya mereka berperan sebagai agency yang menciptakan struktur politik penyelenggaraan pemilu. Sehingga ada hubungan saling mempengaruhi antara hadirnya struktur dan tindakan agency dalam politik

(15)

15 penyelenggaraan pemilu terkait dengan praktek pengawasan dan penanganan pelanggaran pemilu oleh Panwaslu, dimana sebagian besar para aktor politisi (agency) sebagai peserta pemilu akan menjadi salah satu obyek pengawasan pemilu Panwaslu.

Posisi Panwaslu berada dalam pusaran ketegangan politik antara struktur politik penyelenggaraan pemilu yang menuntut tegaknya hukum dan aturan main pemilu, dan agency politik atau aktor-aktor politik yang berkepentingan terhadap pemilu, melakukan berbagai cara untuk meraih kekuasaan, sehingga berpotensi melakukan pelanggaran terhadap hukum pemilu, aturan main pemilu. Di satu sisi struktur politik penyelenggaraan pemilu menempatkan Panwaslu sebagai lembaga yang mempunyai peran penting mengawasi dan menangani tindak kecurangan, pelanggaran pemilu. Di sisi lain, para politisi partai-partai politik peserta pemilu sebagai obyek pengawasan Panwaslu, dalam perjuangan meraih kekuasaan di tengah persaingan politik yang semakin keras, sangat terbuka melakukan tindak pelanggaran pemilu.

Sementara itu, KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu juga menjadi obyek pengawasan Panwaslu dituntut oleh konstitusi untuk bersikap independen, profesional dan nonpartisan, menghadapi “godaan politik” dan “tarikan politik” dari para politisi partai-partai politik peserta pemilu yang ingin lolos, bebas dari jerat pelanggaran pemilu tindaklanjut dari laporan Panwaslu. KPU dapat terjebak atau dijebak untuk bersikap partisan, tidak netral, memihak salah satu pesera pemilu, melanggar aturan main pemilu, kode etik penyelenggara pemilu ketika

(16)

16 menangani suatu tindaklanjut pelanggaran administrasi pemilu dari temuan dan laporan Panwaslu.

Sistem pemilu legislatif paska orde baru terus mengalami perubahan menuju pemilu yang demokratis, secara kualitatif meningkatkan nilai legitimasi perwakilan politik yang lebih baik. Perubahan tersebut diantaranya berkaitan dengan ketentuan penetapan calon anggota DPR, DPRD terpilih menjadi ruang politik bagi setiap aktor politik, para politisi calon wakil rakyat bersaing memperoleh dukungan politik suara rakyat terbanyak dalam satu partai dan dalam suatu daerah pemilihan.

Pemilu legislatif 2004 menganut sistem proporsional dengan daftar calon terbuka sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No 12 Tahun 2003. Calon anggota DPR, DPRD terpilih ditentukan berdasarkan perolehan suara calon wakil rakyat yang menembus angka sejumlah BPP (bilangan pembagi pemilih) tiap daerah pemilihan yang ditetapkan oleh KPU. Jumlah angka BPP tiap daerah pemilihan tidak sama, bergantung jumlah pemilih yang ada di daerah pemilihan tersebut. Semakin banyak jumlah pemilih maka semakin besar jumlah angka BPP. Sebaliknya, semakin sedikit jumlah pemilih maka semakin kecil jumlah angka BPP dalam suatu wilayah daerah pemilihan tersebut. Apabila tidak ada calon wakil rakyat yang memperoleh suara sejumlah BPP, maka penetapan calon anggota DPR, DPRD terpilih berdasarkan nomor urut calon yang diatur dalam pasal 107 ayat 2 UU No 12 Tahun 2003.

Ketentuan penetapan calon anggota DPR, DPRD terpilih berdasarkan sejumlah angka BPP dalam pemilu 2004 merupakan sebuah kemajuan apabila

(17)

17 dibandingkan dengan ketentuan penetapan calon anggota DPR, DPRD terpilih pada pemilu 1999. Sesuai UU No 3 Tahun 1999 penetapan calon anggota DPR, DPRD terpilih berdasarkan nomor urut calon dalam sistem proprosional tertutup. Perubahan dalam penentuan calon anggota DPR, DPRD terpilih ini membuka ruang politik bagi para politisi calon wakil rakyat bersaing bebas untuk meraih suara rakyat sebanyak-banyaknya hingga menembus angka sejumlah BPP. Berdasarkan ketentuan KPU, jumlah angka BPP sendiri sangat tinggi, sehingga pada kenyataannya hanya sedikit calon wakil rakyat yang terplih karena memperoleh suara menembus angka BPP. Tingginya angka BPP dan ketentuan apabila tidak ada calon wakil rakyat yang memperoleh angka sesuai dengan BPP, maka penentuan calon wakil rakyat terpilih dikembalikan kepada nomor urut calon, hal itu sesungguhnya membuka ruang persaingan semu antar calon wakil rakyat.

Pemilu legislatif 2009 menganut sistem proporsional terbuka, mengalami perubahan sistem pemilu lebih progresif jika dibandingkan dengan pemilu legislatif 2004. Penetapan calon anggota DPR, DPRD terpilih sebagaimana diatur dalam pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU No 10 Tahun 2008, adalah berdasarkan suara calon anggota DPR, DPRD yang memperoleh angka 30% suara dari BPP yang telah ditentukan. Apabila tidak ada calon yang memperoleh 30% suara BPP, maka penetapan calon anggota DPR, DPRD terpilih berdasarkan daftar nomor urut calon. Ketentuan suara 30% dari angka BPP merupakan sebuah kemajuan jika dibandingkan dengan ketentuan suara 100% angka BPP dalam pemilu 2004. Namun dengan tetap mengembalikan penentuan

(18)

18 akhir calon anggota DPR, DPRD terpilih kepada nomor urut calon apabila tidak ada calon yang memperoleh suara 30% angka BPP adalah sebuah pengingkaran terhadap suara rakyat terbanyak.

Sejalan dengan semangat menyelamatkan suara rakyat terbanyak dan terbukanya persaingan politik yang semakin tinggi antar politisi dalam memperebutkan kursi DPR, DPRD, maka ketentuan pasal tersebut dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang mengatur bahwa penetapan calon anggota DPR, DPRD terpilih berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak.

Putusan MK tersebut mendorong terwujudnya sistem proporsional terbuka penuh dan menjamin kedaulatan suara rakyat secara utuh dan adil. Perubahan progresif dalam sistem pemilu legislatif 2009 tersebut membuka ruang politik semakin terbuka luas para aktor, politisi peserta pemilu untuk terpilih sebagai wakil rakyat dengan memperoleh suara terbanyak. Hal itu sekaligus mendorong meningkatnya persaingan politik secara terbuka antar aktor politik calon wakil rakyat memperebutkan suara rakyat untuk meraih suara terbanyak. Meningkatnya persaingan politik tersebut berpotensi memicu konflik antar calon wakil rakyat dalam satu partai politik maupun konflik antar calon wakil rakyat dengan partai politik lainnya.

Meningkatnya persaingan politik antar aktor politisi calon wakil rakyat pada pemilu legislatif 2004 dan pemilu legislatif 2009 berpotensi terjadinya tindak pelanggaran pemilu, berupa politik uang atau tindak pelanggaran lainnya. Sementara itu di tengah persaingan politik antar aktor politik peserta pemilu,

(19)

19 anggota KPU sebagai aktor petugas penyelenggara pemilu dituntut bersikap netral, independen, non-partisan. Tidak menutup kemungkinan para anggota KPU menghadapi “godaan politik”, tarikan kepentingan politik para aktor, politisi yang terjerat dalam pelanggaran administrasi pemilu berusaha mempengaruhi KPU untuk menyelematkan posisinya. Anggota KPU sebagai aktor penyelenggara pemilu dapat saja bertindak tidak netral, terjebak ke dalam tindakan memihak yang menguntungkan salah satu aktor politik peserta pemilu. Tindakan anggota KPU tersebut sehingga dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.

Panwaslu berada dalam posisi ketegangan politik antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu untuk menindak setiap bentuk pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh kedua aktor tersebut. Hal ini berpotensi mengundang kerawanan konflik antara Panwaslu dengan para aktor politik peserta pemilu dan KPU sebagai aktor penyelenggara pemilu.

3. Kerangka berpikir: dinamika aktor dan struktur dalam dimensi strukturasi Giddens

Penelitian ini menggunakan pendekatan institusionalisme baru (David E Apter, 1988) yaitu menjelaskan adanya dinamika struktur kelembagaan dengan aktor yang terlibat dalam struktur kelembagaan penyelenggara pemilu. Adanya hubungan saling mempengaruhi antara struktur kelembagaan yang memuat aturan-aturan dan prosedur bekerjanya suatu struktur kelembagaan. Teori strukturasi Anthony Giddens (2009; 2010) membantu menjelaskan tentang adanya hubungan antara struktur meliputi aturan-aturan dan sumber daya dengan

(20)

aktor-20 aktor (agency) sebagai pelaku yang terlibat dalam pemaknaan dan pelaksanaan aturan main dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemilu tersebut.

Desain politik penyelenggaraan pemilu merupakan suatu bentuk struktur politik penyelenggaraan pemilu. Desain (struktur) politik penyelenggaraan pemilu itu memuat aturan main pemilu, sistem pemilu, badan penyelenggara pemilu, penegakan hukum pemilu, mekanisme pengawasan dan penanganan pelanggaran pemilu. Desain politik penyelenggaraan pemilu termaktub dalam peraturan perundangan-undangan, UU pemilu dan UU penyelenggara pemilu. Struktur politik pemilu sebagaimana ada dalam kedua UU tersebut, merupakan sebuah produk politik dari para aktor politisi partai-partai politik yang berkuasa di DPR.

Desain (struktur) politik penyelenggaraan pemilu itu menjadi panduan politik bagi para aktor politik (agency) sebagai pelaku politikyang terlibat dalam kegiatan pemilu, yaitu para politisi partai-partai politik peserta pemilu, penyelenggara pemilu, masyarakat pemilih, dan aparat penegak hukum. Struktur politik penyelenggaraan pemilu itu akan mempengaruhi para aktor politik (agency) yang terlibat dalam pemilu dalam mengambil sikap dan tindakan politik terkait dengan pelaksanaan aturan main pemilu.Diantara agency yang mempunyai peran penting sebagai pelaku politik utama dalam pemilu adalah para politisi partai-partai politik peserta pemilu.

Setelah para politisi partai-partai politik peserta pemilu itu terpilih sebagai wakil rakyat dan bekuasa di DPR, selanjutnya berperan sebagai agency politik yang menciptakan struktur politik penyelenggaraan pemilu, termasuk didalamnya bagaimana menempatkan pengawas pemilu dalam struktur politik

(21)

21 penyelenggaraan pemilu. Sehingga ada hubungan saling mempengaruhi antara hadirnya struktur dan tindakan agency dalam praktik politik penyelenggaraan pemilu terkait dengan praktik pengawasan dan penanganan pelanggaran pemilu oleh Panwaslu yang sebagian besar pelanggaran pemilu tersebut dilakukan oleh para aktor politik politisi partai-partai yang bertarung dalam pemilu.

Posisi Panwaslu berada dalam pusaran ketegangan politik antara struktur politik penyelenggaraan pemilu yang menuntut tegaknya hukum dan aturan main pemilu, dan agency politik yaitu para aktor politik yang berkepentingan terhadap pemilu, melakukan berbagai cara untuk meraih kekuasaan, sehingga berpotensi melakukan pelanggaran terhadap hukum pemilu, aturan main pemilu. Di satu sisi struktur politik penyelenggaraan pemilu menempatkan Panwaslu sebagai lembaga yang mempunyai peran penting, mengawasi dan menangani tindak kecurangan, pelanggaran pemilu. Namun di sisi lain, para politisi partai-partai politik peserta pemilu sebagai obyek pengawasan Panwaslu, dalam perjuangan meraih kekuasaan di tengah persaingan politik yang semakin keras, sangat terbuka melakukan tindak pelanggaran pemilu.

Dalam struktur politik penyelenggaraan pemilu tersebut Panwaslu sendiri tidak memiliki seperangkat kewenangan yang dapat memastikan tegaknya hukum, aturan main pemilu. Sehingga para aktor politik politisi peserta pemilu dapat lolos dari jerat hukum pemilu. Pada saat yang sama, para aktor politisi peserta pemilu tersebut dengan berbagai cara dapat menghindar dari jerat hukum penanganan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh Panwaslu. Hal ini menjadi potensi terjadinya duplikasi tindak pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh para aktor

(22)

22 politisi dimana Panwaslu tidak dapat berbuat efektif melakukan penanganan terhadap tindak pelanggaran pemilu tersebut.

Sementara itu, KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu dituntut oleh konstitusi untuk bersikap independen, profesional dan nonpartisan. Posisi KPU yang sangat strategis itu menghadapi “godaan” dan “tarikan” kepentingan politik, intervensi politik oleh para aktor politik politisi dan partai-partai politik peserta pemilu. Anggota KPU sebagai aktor penyelenggara pemilu dapat terjebak atau dijebak untuk bersikap partisan, tidak netral, memihak salah satu pesera pemilu, sehingga melanggar aturan main pemilu dan melanggar kode etik penyelenggara pemilu. Pada saat itulah setiap langkah anggota KPU menjadi bagian dari obyek pengawasan oleh Panwaslu.

Panwaslu dalam menjalankan tugasnya juga terkait dengan aktor yang lain yaitu aparat penegak hukum, utamanya dalam penanganan tindak pelanggaran pidana pemilu. Antara Panwaslu dengan aparat penegak hukum dapat saja terjadi ketegangan politik dan hukum, karena terjadinya penafsiran hukum yang berbeda antara keduanya dalam menangani suatu tindak pelanggaran pidana pemilu. Bagi para aktor politik politisi peserta pemilu sangat mungkin melakukan intervensi kepada para aktor aparat penegak hukum untuk “membebaskan” dirinya bebas dari jerat pidana pemilu yang ditemukan dan dilaporkan oleh Panwaslu.

(23)

23 Struktur Politik Penyelenggaraan Pemilu

E. Kegunaan penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan teori dan metodologi ilmu-ilmu sosial terutama ilmu polititik. Selain itu, hasil dari penelitian ini juga dapat memberi manfaat bagi perbaikan penyelenggaraan pemilu yang lebih baik, berkualitas, bersih dan bermartabat, yaitu pemilu yang bebas, jujur, adil dan demokratis dapat mendukung agenda konsolidasi demokrasi dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

F. Metode Penelitian 1. Metodologi Peneitian

1.1. Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berjenis studi kasus, bersifat deskriptif-naratif. Menurut Robert K. Yin (1996) studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas antara fenomena dan konteks tidak tampak jelas, dan menggunakan berbagai sumber untuk membantu memahaminya. Metode ini juga mengajak kita lebih dalam dan meyeluruh

Panwaslu KPU Penegak Hukum Peserta Pemilu: Politisi, Parpol

(24)

24 memahami perilaku individu (aktor-aktor politik) dan unit-unit institusi sosial politik (Panwaslu, KPU, Partai Politik) dan berbagai bentuk unit lainnya (aparat penegak hukum). Studi kasus merupakan strategi yang tepat untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana” dan “Mengapa” dalam penelitian ini.

1.2. Obyek Penelitian dan Kebutuhan data

Lokasi dalam penelitian ini adalah di Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Dalam penyelenggaraan pemilu legislatif 2004 dan pemilu legislatif 2009 di Kabupaten Banyumas terjadi dinamika politik penyelenggaraan pemilu yang menarik untuk diteliti, seperti halnya persoalan penyelenggaraan pemilu secara nasional. Obyek kajian penelitian ini adalah Panwaslu yang mengalami marginalisasi politik dalam menjalankan tugas dan wewenang mengawasi pemilu dan menindaklanjuti setiap temuan dan laporan tindak pelanggaran pemilu. Kebutuhan data dalam penelitian ini terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Panwaslu yang berkaitan dengan aktor-aktor politik lainnya yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu yaitu KPU Banyumas dan para politisi peserta pemilu, serta aparat penegak hukum di Kabupaten Banyumas.

1.3. Jenis Data Penelitian dan Sumber data

Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu informasi dari aktor-aktor yang terlibat dalam kasus ini di lokasi penelitian (anggota Panwaslu dan KPU Kabupaten Banyumas), dan data

(25)

25 skunder bersumber dari Laporan Panwaslu dan KPU Banyumas, Peraturan perundang-undangan pemilu, Peraturan KPU dan laporan media massa terkait beberapa kasus yang menjadi fokus dalam penelitian ini, serta beberapa sumber tulisan ilmiah terkait.

1.4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian studi kasus ini menggunakan beberapa metode pengumpulan data sebagai berikut :

1.4.1. Studi Literatur

Studi literatur ini dilakukan sebagai tahapan yang sangat penting dalam penelitian kualitatif, untuk memperoleh pengetahuan dasar “mengapa obyek yang akan diteliti menjadi penting”. Studi literatur atau contex review dapat membantu peneliti menjadi pembatas masalah yang akan di teliti (Neuman 1997; dalam Lien dan Widyawati). Studi literatur ini membantu peneliti dalam penentuan desain penelitian. Melalui studi literatur ini dapat dirumuskan topik dan tujuan penelitian, menentukan kerangka berfikir dan rancangan penelitian, sekaligus sebagai informasi sumber data dalam penelitian ini.

1.4.2. Teknik Wawancara

Teknik wawancara ini dilakukan dengan menyampaikan sejumlah pertanyaan yang telah disiapkan kepada nara sumber sebagai responden yang telah ditentukan yang dianggap kompeten, menjadi fokus dalam penelitian ini. Hasil wawancara dijadikan

(26)

26 sebagai bahan mentah (Horison, 2007;105). Melalui wawancara dengan para aktor Panwaslu dan KPU Banyumas akan diperoleh informasi, data terkait dengan fokus kajian dalam penelitian ini. 1.4.3. Teknik Dokumentasi

Teknik dokumentasi ini untuk memperoleh informasi tentang dinamika politik penyelenggaraan pemilu di Kabupaten Banyumas, yaitu dari peraturan perundang-undangan Pemilu, Peraturan KPU, Keputusan Panswaslu dan KPU, Laporan Akhir Panwaslu dan KPU, berita media massa serta dokumen lain yang di perlukan dan relevan dalam penelitian ini.

1.5. Tahap Pengumpulan dan Pengolahan Data

Pengumpulan dan pengelolaan data dalam penelitian ini dilakukan melalui dua tahap. Pertama, tahap pra penelitian yaitu melakukan seleksi, pemilahan terhadap data-data yang dianggap relevan dapat mendukung menyusun fokus, topik, tujuan penelitian dan rumusan masalah dalam penelitian ini. Kedua, setelah melalui pemilahan data-data yang relevan, selanjutnya secara operasional data-data itu diolah sebagai sumber data yang dapat digunakan untuk menyusun argumentasi dalam penelitian ini.

1.6. Teknik Analisis Data

Sesuai dengan kaidah penelitian kualitatif, teknik analisa data ini dilakukan melalui data yang telah terkumpul selanjutnya diklasifikasi, dikategorikan (direduksi), kemudian data-data itu disajikan dalam bentuk

(27)

27 narasi, teks untuk diberi analisa, diinterpretasi dan akhirnya menjadi bahan suatu kesimpulan yang dilakukan secara cermat, melalui verifikasi ulang, penyesuaian hasil temuan lapangan yaitu analisa data hasil wawancara dari responden terkait praktek penyelenggaraan pemilu di Kabupaten Banyumas. Data yang diperoleh dari hasil wawancara, studi dokumentasi dan pengamatan itu dipadukan untuk dianalisis ditafsiri untuk memperjelas fakta empiris, selanjutnya ditarik suatu kesimpulan. 1.7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Kesahihan hasil penelitian ini dapat diuji melalui teknik pemeriksaan keabsahan data yaitu dengan memeriksa ulang data. Dalam teknik pemeriksaan keabsahan data ini, penulis menggunakan teknik triangulasi.

2. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan, berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, kerangka berpikir dan metode penelitian. Bab II Desain Politik dan Praktik Pengawasan Pemilu, meliputi analisa tentang sejarah politik lembaga pengawas pemilu; desain politik pengawasan pemilu pada masa reformasi; dan praktik pengawasan pemilu di Kabupaten Banyumas. BAB III Marginalisasi Politik Pengawasan Pemilu 2004 dan 2009 di Kabupaten Banyumas; meliputi, pembiaran pelanggaran administrasi pemilu; politisi bebas dari jerat pidana pemilu; sengketa pemilu, sengketa Panwaslu-KPU; dan pelanggaran kode etik: KPU kebal pengawasan pemilu. Bab IV Politik Lempar Batu Sembunyi Tangan; akan menganalisa tentang,

(28)

28 politik eksternalisasi pengawasan pemilu; kepentingan politik di balik marginalisasi politik pegawas pemilu; dan praktik politik lempar bantu sembunyi tangan. Bab V Penutup, yaitu kesimpulan dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

Alur pengujian pada game space shooter ini adalah mencari dua tipe player yang dapat mewakili player pemula dan player handal untuk mencoba game yang telah dibuat

Dari sejumlah reptil yang ditemukan paling banyak jenisnya adalah bangsa ular sebanyak 19 jenis diwakili oleh suku-suku Typlophidae (ljenis), Colubridae (15 jenis), Elapidae (2

Setelah dihasilkan LKS berbasis pendekatan saintifik yang menggunakan model discovery learning pada materi Penurunan tekanan uap dan kenaikan titik didih larutan yang telah

[r]

Transaksi perdagangan luar negeri yang lebih dikenal dengan istilah ekspor impor pada hakikatnya adalah suatu transaksi yang sederhana dan tidak lebih dari membeli dan

Sumber : output SPSS yang diolah oleh penulis, 2012.d. Test distribution

dilakukan memerlukan biaya yang cukup besar, maka pengeluaran tersebut diperlakukan sebagai pengeluaran modal dan harus dikapitalisasi dengan menghapuskan harga perolehan

berdasarkan pendekatan terhadap kinerja pasar yang ada di Malaysia dan penelitian dari Tan et al (2007) yang meneliti mengenai pengaruh intellectual capital yang