• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Trichosanthes sp. Siemonsma dan Piluek (1994), terdapat 4 spesies utama yaitu :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Botani Trichosanthes sp. Siemonsma dan Piluek (1994), terdapat 4 spesies utama yaitu :"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Trichosanthes sp.

Trichosanthes sp. termasuk famili tanaman Cucurbitaceae. Berdasarkan Siemonsma dan Piluek (1994), terdapat 4 spesies utama yaitu :

1. T. celebica Cogn., di Indonesia dikenal sebagai tawuruk atau amut tarnburuk. 2. Trichosanthes cucumerina L.(snake gourd) dengan sinonim T. anguina L. atau

T. cucumerina var anguina (L.) Haines. T. cucumerina dikenal di Indonesia sebagai paria belut atau paria ular.

3. T. ovigera, dikenal di Indonesia dengan nama areuj tiwuk (Sunda),

4. T. villosa, di kenal di Indonesia dengan nama areuj baduyut atau waluh leuweung (Sunda).

Taksonomi tanaman Trichosanthes sp. belum banyak diketahui, namun diperkirakan sekitar genus tersebut terdiri dari sekitar 40 spesies. Sekitar 15 spesies terdapat di Asia Tenggara. Sedangkan di Indonesia yang paling banyak ditanam adalah paria ular atau paria belut. Paria belut dibudidayakan biasanya hanya untuk komsurnsi sendiri atau pasar lokal.

Trichosanthes sp. ada yang bersifat tanaman setahun dan ada juga yang merupakan tanaman tahunan, monocious ataupun diocious, merupakan herba yang merambat atau memanjat. Bagian tanarnan yang dikomsumsi adalah buah yang masih muda ( per 100 g buah muda mengandung air 94 g, protein 0.6 g, lemak 0.3 g, karbohidrat 4 g, serat 0.8 g, Ca 26 mg, Fe 0.3 mg, P 20 mg, vitamin A 235 IU, vitamin B1 0.02 mg, B2 0.03 mg, niacin 0.3 mg dan vitamin C 12 mg).. Disamping itu, semua spesies menghasilkan glukosida elaterin, minyak biji dan pucinic acid (Siemonsma dan Piluek, 1994).

(2)

C

D

Gambar 1. Morfologi tanaman Trichosanthes cucumerina L. A. Bunga, B. Buah, C. Beberapa variasi wama buah (hijau terang, putih, hijau dengan garis-garis putih, putih dengan garis-garis hijau), D. Daun, bunga dan buah yang keluar dari ketiak daun.

(3)

Protein Aktif dalam Tanaman

Pengetahuan awal tentang protein dalam tanaman menyatakan bahwa protein memiliki fungsi terutama sebagai pembangun berbagai struktur atau organ tanaman atau sebagai storage protein yang tidak mempunyai aktivitas enzimatik. Storage protein disimpan dalam berbagai bentuk organ seperti daun batang dan akar (Heldt, 1997). Kelompok protein lainnya adalah protein yang mempunyai aktivitas enzimatik dan terlibat dalam berbagai reaksi kimia dalam metabolisme tanaman. Namun dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa protein berperan dalam mekanisme ketahanan tanaman terhadap patogen, diantaranya thionins, ribosome inactivating proteins, l p i d transfer proteins, 2S storage albumin, nonenzymatic chitin-binding protein, polygalacturonase, inhibitor proteins, defensins, dan PR- proteins (Yun et al. 1996).

Protein yang berkaitan dengan mekanisme ketahanan tanarnan terhadap patogen antara lain protein yang dihasilkan ketika tanaman mengalami infeksi patogen atau di sebut dengan Patogenesis Related (PR) Proteins (Bowles, 1990). PR-protein pada awalnya ditemukan dalam hpersensitive response yang diinduksi oleh tobacco mosaic virus (TMV) (Cheong et al, 1997).

PR-protein bersifat stabil pada pH rendah, resisten terhadap kerja protease, merupakan monomer dengan berat molekul rendah clan sebagian besar menunjukkan lokalisasi apoplastik. Berdasarkan ciri secara serologi, massa molekul, dan data sekuens, PR-proteins dikelompokkan ke dalam 5 famili utama yang berhubungan dengan respon terhadap cendawan, bakteri dan virus (Cheong et al. 1997). Salah satu dari PR-protein tersebut adalah PR-5 proteins yang

(4)

fungsinya belum sepenuhnya diketahui, narnun pada beberapa percobaan menunjukkan adanya aktivitas anticendawan dalam uji secara in vitro.

PR-5 proteins tidak termasuk enzim tapi merupakan protein yang menunjukkan pengaruh anticendawan dengan merusak membran fungi. Protein ini dilaporkan telah berhasil diisolasi dari jagung yang disebut dengan zeamatin dan dari tembakau yang dikenal dengan osmotin. Osmotin mempunyai bobot molekul 24 kD terakurnulasi dalam vakuola selama adaptasi sel tembakau (Nicotiana tabacumi var. Wisconsin 38) terhadap cekaman osmotik. PR-protein juga telah berhasil dimurnikan dan dikarakterisasi

dari

daun waluh. Protein tersebut mempunyai bobot molekul 28 kD dan dapat menghambat pertumbuhan hifa Fusarium oxysporum dan Neurospora crassa dalam uji in vitro. (Cheong et al.

1997).

Marcus et al. (1997) melaporkan tentang antimicrobial peptide dari kulit biji Macademia integrijolia yang dinarnakan MiAMPl (Macademia Antimicrobial Peptide 1). Peptida tersebut mempunyai bobot molekul 8.1 kD dan menunjukkan aktivitas penghambatan pertumbuhan spora 7 cendawan patogen tanaman.

Terras et al. (1997) telah mengisolasi dua protein homolog yang kaya Cysteine dari biji lobak, yang dinamakan Raphanus sativus -antfungal protein 1 (Rs-AFP1) dan Rs-AFP2. Protein tersebut mempunyai bobot molekul 5-kD dan menunjukkan potensi aktivitas anticendawan dalam uji in vitro.

Balasaraswathi et al. (1998) melaporkan adanya protein antivirus dari akar Bougenvillia spectabilis yang aktif menghambat transmisi mekanik Tomato Spotted Wilt Virus (TSWV) dalam uji in vivo.

(5)

RIP'S (Ribosome In-activating Protein) merupakan jenis senyawa yang secara intensif diteliti pada beberapa jenis tanaman dari famili Cucurbitaceae, seperti paria (Momordica charantia L.), blustru (Lufla cyllindrica L. Roem.), dan Trichosanthes sp. RIP'S merupakan protein tanaman dengan aktivitas N- glycosidase pada rRNA dari ribosom mamalia, fungi, tanaman, dan bakteri yang secara irreversibel merusak sintesis protein dan diduga berfungsi sebagai defensive protein bagi tanaman penghasilnya (Stirpe et al. 1992). Hipotesis ini didukung oleh adanya aktivitas anticendawan in vitro dan peningkatan ketahanan terhadap cendawan pada tanaman tembakau transgenik yang mengekspresikan RIP biji barley (Logeman et al. 1992).

Perhatian terhadap RIP'S ini meningkat karena RIP'S berpotensial untuk digunakan dalam bidang pertanian, yaitu sebagai faktor antiviral dan atau anticendawan untuk proteksi tanaman. Kegunaan lain adalah untuk pengobatan, sebagai konjugat sitotoksik dengan antibodi monoclonal (irnrnunotoksin) (Toppi et al, 1996).

Vivanco et al. (1997) melaporkan tentang RIPS yang diisolasi dari tanaman Mirabilis sp. Mirabilis Antiviral Protein (MAP) merupakan RIP dengan rantai tunggal yang berhasil diisolasi dari akar dan daun Mirabilis jalapa. MAP menunjukkan penghambatan terhadap transmisi mekanik Tobacco Mosaic Virus pada sistem model tembakau. Mirabilis expansa dan Mirabilis mullflora juga telah diidentifikasi mengandung RIP yang mirip dengan MAP. Uji aktivitas total protein terlarut dari M expansa, M jalapa, dan M multlJlora terbukti dapat menghambat perturnbuhan cendawan Trichoderma vessei.

(6)

RIPS dari berbagai spesies tanaman Cucurbitaceae banyak dilaporkan berkaitan dengan potensinya untuk pengobatan penyakit-penyakit seperti tumor, kanker bahkan H I V . Minami et al. (1992) berhasil mengisolasi dua macam momordin (RIP's) dari biji Momordica charantia L. yang berpotensi untuk immunotoksin melawan sel-sel kanker, sel tumor dan virus AIDS.

RIP's berupa luffin a dan luffin b serta inhibitor sintesis protein PAP-S diisolasi dari biji Luffa cyllindrica L.Roem. Sedangkan Trichosanthn (TCN) merupakan senyawa yang paling intensif diteliti pada Trichosanthes sp, dan digunakan sebagai abortifasien dan perlakuan untuk tumor trophoblastic (Dong et al., 1994). Ng-TB et al. (1994) melaporkan bahwa trichosantin, a- dan

P-

mormorcharin, yang ditemukan pada biji Trichosanthes kirilowii dan akar Momordica charantia L. menunjukkan aktivitas abortifasien, immunosupresif dan aktivitas antitumor dalarn uji in vitro.

Protein lain yang berhubungan dengan TCN adalah Trichosanthes anti- HIV protein (TAP 29), yang diisolasi dari root tubers tanarnan Trichosanthes

kirilowii dan karasurin, dengan tingkat kesarnaan (homologi) sekuens kira-kira 98% dengan TCN, yang diisolasi

dan

biji Trichosanthes kirilowi (Dong et al.

1994).

Akar urnbi (root tubers) dari Trichosanthes kirilowii var japonicum Kitam. dilaporkan mengandung protein dasar karasurin A dan karasurin B, yang menunjukkan aktivitas induksi aborsi, seperti yang ditunjukkan oleh trichosantin (Kondo et al. 1995).

(7)

Inisiasi Kultur Akar Transgenik

Kultur akar merupakan suatu bentuk kultur jaringan akar yang hidup dan berdiferensiasi secara terorganisir membentuk biomassa akar tanpa kehadiran tipe organ lain dari tanaman seperti batang, daun ataupun bunga. Terdapat dua tipe kultur akar yaitu kultur akar non transgenik dan kultur akar transgenik. Kultur akar non transgenik diperoleh dengan memotong ujung akar tanaman di lapangan lalu disterilkan maupun akar kecambah tanaman in vitro lalu ditanam dalam media kultur jaringan (Payne et al. 1992).

Kultur akar transgenik merupakan kultur akar yang dihasilkan dengan menginfeksi bagian tanaman seperti kotiledon, batang ataupun dam dengan Agrobacterium rhizogenes. Infeksi tanaman dengan Agrobacterium rhizogenes akan mengakibatkan ditransfernya T-DNA dari Ri (Root inducing) plasmid ke genom tanarnan yang menyebabkan induksi proliferasi akar transgenik yang juga disebut akar berambut (Payne et al. 1992).

Agrobacterium merupakan genus dari bakteri tanah gram negatif, dari kelompok famili Rhizobiaceae. Genus tersebut ada yang bersifat saprofit maupun parasit. Dua spesies yang paling terkenal sebagai patogen tanaman adalah A. tumefaciens clan A. rhizogenes. Kedua spesies tersebut dapat menginfeksi luka dari beberapa spesies tumbuhan dkotil dan monokotil, yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan berlebihan pada daerah infeksi (Cleene dan De Ley, 1976). Infeksi oleh A. tumefaciens menginduksi pertumbuhan sel-sel tumor (crown gall), sedangkan infeksi oleh A. rhizogenes menginduksi pertumbuhan massa akar adventif dengan rambut-rambut akar yang disebut sebagai akar transgenik atau akar berambut.

(8)

Proses terjadinya infeksi jaringan tanaman oleh Agrobacterium melibatkan 3 komponen genetik yaitu T-DNA yang merupakan materi genetik yang akan ditransfer ke sel tanaman, berbagai faktor virulensi (virulence factors = vir gene) yang ada pada Ti-Ri-plasmid, dan berbagai faktor virulensi yang ada pada kromosom. T-DNA merupakan mobile genetic element dimana dalam strukturnya tidak terdapat gen yang mengkode protein (enzim) yang diperlukan untuk terjadinya t m f w T-QNA (Zambryski et al. 1989).

Faktor virulensi yang esensial pada Ti-mi-plasmid antara lain adalah virA, virB, virD, dan virG dan faktor virulensi yang berperan sebagai enhancer yaitu virC dan VirE. Sedangkan faktor virulensi yang terdapat pada kromosom adalah lokus chvA dan chvB yang berkaitan dengan proses sintesis dan ekskresi P-1,2 glukan (sintesis dalam sel dan ekskresi keIuar sel bakterinya), lokus cel yang berfungsi dalam sintesis benang-benang selulosa, lokus pscA atau exoC yang berfungsi dalam proses sintesis siklik-glukan atau acidic sucinoglycan, dan lokus att yang berfungsi dalam proses sintesis protein yang berasosiasi dengan membran sel bagian luar (cell surface protein) (Zambryski et al. 1989).

Inisiasi proses transfer terjadi ketika tanaman yang luka melepaskan senyawa fenolik dengan berat molekul rendah seperti Acetosyringone (AS ) dan Hidroxy-acetosyringone(0H-AS). AS dan OH-AS berfungsi sebagai inducer spesifik untuk gen virulensi dari Agrobacterium. Agrobacterium aktif bergerak menuju ke sel tanaman yang terluka akibat adanya AS dan OH-AS (kemotaksis). AS dan OH-AS dideteksi oleh protein dari gen virA. Produk dari gen virA yang merupakan protein yang berasosiasi dengan membran sel bakteri (inner membran

(9)

protein) berfungsi sebagai sensor dan chemoreceptor untuk AS dan OH-AS (Zambryski et al. 1989).

Adanya AS dan OH-AS menyebabkan virG diaktifkan oleh virA protein yang terjadi melalui proses fosforilasi. VirG merupakan regulator untuk berbagai gen virulensi yang lain dan diaktifkannya virG menyebabkan dimulainya ekspresi berbagai gen virulensi. Setelah terjadi ekspresi berbagai gen virulensi, elemen T- DNA yang ada pada Ti-mi-plasmid mengalami perubahan dramatis yang diakhiri dengan tertransfernya elemen T-DNA ke dalam sel tanaman (Zambryski et al.,

1989).

T-DNA dari Agrobacterium tumefaciens mengandung oncogen yaitu iaaM yang mengkode enzim trqtopan,2-monooksigenase, iaaH yang mengkode enzim indol 3-asetamid hidrolisa, dan iptZ yang mengkode enzim isopentenil transferuse. Enzim-enzim tersebut berperan dalam mengkatalisis biosintesis hormon auxin dan sitokinin (Zambryski et al. 1989).

Akibat adanya iaaM dan iaaH, sel tanaman dapat mensintesis auksin melalui jalan yang baru yang semula tidak ada. Sehngga pada sel transgenik pembentukan auksin terjadi melalui dua jalan, yaitu melalui pathway yang ada pada tanaman danpathway baru alubat adanya produk dari iaaM dan iaaH. Akibat adanya pathway baru dalam biosintesis zat pengatur turnbuh (ZPT), maka produksi ZPT dalam sel menjadi tidak dibatasi lagi, terjadi proliferasi sel transgenik akibat meningkatnya ZPT internal, dan terjadi proliferasi sel normal disekitar sel transgenik akibat translokasi ZPT. Hasil akhirnya adalah berupa pembentukan jaringan tumor yang kemungkinan besar terdiri dari sel-sel

(10)

transgenik dan sel-sel bukan transgenik (Zambryski et al, 1989; Olsson dan Nilsson, 1997).

T-DNA dari Agrobacterium rhizogenes terdiri dari beberapa rol gene, yaitu rolA, roll3, rolC dan rolD. Roll3 diduga berperan meningkatkan pool auksin aktif dalam tanaman dengan hidrolisis konjugat IAA inaktif, mengatur sensitivitas sel terhadap IAA dan mendorong pembentukan meristem. RolC diduga berperan meningkatkan level sitokinin aktif melalui aktivitas P-glucosidase yang mampu melepaskan sitokinin aktif dari konjugatnya. Hasil akhir dari ekspresi berbagai rol gene pada T-DNA dari Ri-plasmid adalah dengan terbentuknya jaringan akar

adventif atau lazim disebut dengan akar berambut (Nilsson dan Olsson, 1997). Akar berambut hasil infeksi dengan A. rhizogenes dihasilkan dari proses pasca infeksi yang secara fundamental berbeda dari crown gall, hasil infeksi dari A. tumefaciens dan melibatkan set gen yang sama sekali berbeda. Perbedaan mendasar lainnya adalah bahwa crown gall disusun oleh sel-sel yang tidak berdiferensiasi dan turnbuh cepat serta mengandung sel-sel transgenik maupun nontransgenik. Sebaliknya, akar berambut hanya terdiri dari sel-sel transgenik dan dapat diregenerasikan menjadi tanarnan lengkap (Nilsson dan Olsson, 1997).

Akar Berambut dari Tanaman Cucurbitaceae

Beberapa spesies dari Cucurbitaceae dilaporkan menghasilkan akar berambut setelah dinfeksi dengan Agrobacterium rhizogenes, antara lain Cucurbita pepo L (Toppi et al. 1997). Akar berambut pada tanaman tersebut diperoleh dengan menginfeksi bagian hipokotil tanarnan, kotiledon yang masih berada pada tanaman atau kotiledon yang sudah dipisahkan dari tanaman induknya. Strain bakteri yang digunakan adalah A. rhizogenes strain NCPPB

(11)

1855. Semua bagian tanaman yang diinfeksi tersebut dapat membentuk akar berambut dalam waktu 7 hari setelah infeksi. Akar berambut yang dihasilkan dapat tumbuh dalam media tanpa zat pengatur tumbuh untuk jumlah sub kultur yang tidak terbatas.

Savary dan Flores (1994) telah mendapatkan akar berambut dari Trichosanthes kirilowii Maxim. var japonicum Kitam (TKMJK), T. bracteata Voigt, T. cucumeroides Maxim., dan T cucumerina var anguina (L.) Greb. untuk studi biosintesis Ribosome-Inactivating Protein (RIP) TCN dan protein lainnya pada akar yang berhubungan dengan ketahanan. Klon akar yang stabil dan tumbuh cepat dari masing-masing spesies tersebut, diperoleh dari hasil infeksi plantlet in vitro dengan Agrobacterium rhizogenes American Type Collection Culture (ATCC) strain 15834.

Hasil penelitian Savary dan Flores (1994) juga menyatakan bahwa masing- masing spesies menghasilkan pola protein yang berbeda dalam media kultur. Hasil analisis protein menunjukkan adanya protein intraseluler (dalam jaringan akar) dan ekstraselluler (terakumulasi dalam media cair) dari kultur akar T. kirilowii var japonicum. Kelompok I11 Chitinases merupakan protein utarna yang ditemukan

dan biosintesis TCN berasosiasi dengan pertumbuhan akar sekunder.

Kondo et al. (1995) melaporkan hasil induksi akar berambut pada Trichosanthes kirilowii var. japonicum. Akar berambut tersebut menghasilkan asam brionolik (3P-hydroxy D:C -Jiedoolan -8-en-29 oic acid) dalam jumlah yang cukup tinggi mencapai sekitar 2,8% dari berat kering akar. Asam brionolik menunjukkan pengaruh penghambatan terhadap perturnbuhan sel B16 (sel melanoma tikus) dm sel BeWo (sel choriocarcinoma manusia).

(12)

Akar berambut dari Lufla cyllindrica ( L . ) Roem dihasilkan oleh di Toppi et al. (1 996) melalui infeksi plantlet in vitro dengan Agrobacterium rhizogenes strain 1855. Kira-kira 80% dari plantlet yang diinfeksi membentuk akar berambut dalam waktu 4 minggu setelah inokulasi bakteri. Akar berambut turnbuh optimal dalam media B5 Gamborg tanpa penambahan zat pengatur tumbuh dan cahaya penuh. Pada kondisi tersebut, kultur akar berambut menunjukkan kurva pertumbuhan sigrnoid dan aktivitas penghambatan translasi oleh ekstrak kasar protein meningkat secara progresif dan mencapai maksimal pada selama awal fase pertumbuhan stasioner.

Kultur Akar Berambut untuk Produksi Metabolit Sekunder Kultur akar berarnbut banyak digunakan untuk produksi berbagai macam senyawa metabolit sekunder, terutama kelompok alkaloid seperti akar berambut pada Atropa belladona, Duboiisia myoporides, Hyoscyamus niger, Datura stramonium, Datura candida dan Scopolia japonica untuk menghasilkan alkaloid tropane. Akar berambut dari tanaman Catharanthus roseus menghasilkan kelompok senyawa indole alkaloid seperti ajmalicine, cathenamine, iminium cathenamine dan serpentine. Akar berambut dari pada Panax gingseng digunakan untuk memproduksi saponine, Nicotiana rustica untuk produksi nicotine, Nicotiana hesperis untuk menghasilkan anabasine dan lain sebagainya (Hoekstra,

1993).

Keuntungan penggunaan akar berambut untuk menghasilkan metabolit sekunder terutama adalah pertumbuhannya yang cepat dalarn media kultur tanpa penambahan zat pengatur tumbuh dan sifat genetik yang stabil. Kultur akar berambut secara stabil mengekspresikan lintasan biosintetik spesifik akar dan

(13)

telah digunakan secara luas dalam studi biosintesis berbagai metabolit seperti alkaloid, flavonoid, poliasetilen, dan sesquiterpen.

Akar tanaman secara spesifik juga mensintesis dan mengakumulasikan makromolekul seperti protein cadangan dan protein yang berhubungan dengan sifat ketahanan (Maeshima, et al., 1985; Bowles et al., 1990) seperti enzim glucanohydralase, chitinase, dan P-1,3 glucanase (Neale et al., 1990). Kultur akar berambut juga sangat berguna untuk mempelajari berbagai protein pada akar yang berhubungan dengan ketahanan tanarnan.

Produksi Biomassa dan Senyawa Target dalam Kultur Akar Berambut

Produksi senyawa target dalam kultur jaringan tanarnan secara in vitro dipengaruhi oleh faktor genetik tanaman, faktor dalam kultur (seperti media, zat pengatur turnbuh, vitamin, asam amino, dan lain-lain). Sedangkan faktor dari lingkungan luar kultur meliputi cahaya, suhu, dan kelembaban.

Disamping pengaruh faktor genetik dan lingkungan dalam dan luar kultw, tingkat diferensiasi sel juga mempengaruhi keberhasilan produksi metabolit sekunder. Hal ini berhubungan dengan ekspresi lintasan biosintesis dari suatu senyawa yang kadang-kadang hanya terjadi pada tingkat perkembangan sel atau jaringan tertentu. Seperti pada tanaman Catharanthus roseus yang menghasilkan vincristine dan vinblastine. dihasilkan lebih banyak pada daun hasil kultur jaringan dibanding pada kalus. Pada Poligonum tinchtorium Ait, senyawa anticendawan (antifungal compound) dihasilkan dalam jumlah besar pada akar berambut, drbandingkan dengan yang dihasilkan oleh kalus (Ernawati, 1992).

(14)

Beberapa strategi dapat dilakukan untuk memperbaiki produktivitas biomassa maupun senyawa target dari kultur akar berambut. Diantaranya melalui shining dan seleksi sel atau klon yang mempunyai kapasitas produksi tinggi, optimasi media pertumbuhan, induksi senyawa target dengan penambahan elisitor, dan rekayasa metabolik (Verpoorte et al. 1999).

Manipulasi media kultur telah dilaporkan pada kultur akar berambut dari beberapa tanaman. Faktor-faktor yang dimanipulasi antara lain meliputi jenis dan konsentrasi sukrosa, konsentrasi dan komposisi ion-ion dari unsur makro (nitrogen, fosfat

dm

kaliurn), pH media, asam amino dan senyawa organik lainnya serta zat pengatur tumbuh.

Payne et al. (1987) melaporkan pengaruh sukrosa, glukosa, fosfat dan nitrat terhadap produksi biomassa dan kandungan hyoscyamine pada akar berambut Datura stramonium. Konsentrasi sukrosa dan glukosa yang diuji adalah I, 2, 3, 5, 7 dan lo%, fosfat 0.1, 0.5, 1.0, 5.0, 10.0, 20.0, 50.0 rnM dan nitrat 10, 20,30,60, dam 120 mM dengan kontrol media B5. Kultur akar berambut dengan perlakuan tersebut diukur biomassa dan kandungan hyoscyamine-nya pada umur 28 hari.

Payne et al. (1987) menunjukkan bahwa akar berambut Datura stramonium tidak tumbuh pada media yang mengandung glukosa sebagai sumber karbon tunggal. Pada media yang mengandung sukrosa pertumbuhan lebih cepat, dan konsentrasi sukrosa yang paling optimum untuk pertumbuhan biomassa dan produksi hyoscyamine adalah 5% (wlv).

Cooke dan Webb (1997) melaporkan bahwa glukosa optimal untuk pertumbuhan dan kultur akar berambut dari Lotus corniculatus adalah 3%. Pada

(15)

sukrosa 0.5%, 6%, dan 9%, pertumbuhan cenderung menurun. Pada sukrosa 0.5%, akar berambut hanya membentuk sedikit percabangan lateral, lebih tebal dan memanjang dibandingkan pada sukrosa 3%.

Wielanek dan Urbanek (1999) melaporkan hasil penelitian mengenai pengaruh asam amino L-cystein

clan

Phenylalanin (0.1, 0.3, 0.6, dan 0.9 rnM),

methyljasmonate (MeJA 2,5, dan 10 pM), Peptonfrom Casein (PC 100,200, dan 400 mgll) dan terhadap pertumbuhan dan produksi glucotropaeline serta aktivitas myrosinase pada akar berambut tanaman Tropaelum majus (nastirtium).

L-cystein terlihat menghambat produksi biomassa Tropaleum majus, dimana pada kultur yang berumur 6 dan 9 hari biomassa yang diperoleh dengan perlakuan L-cystein hanya 35% dari yang dihasilkan pada media kontrol Gamborg B5. Pertumbuhan biomassa pada kultur yang mengandung PC atau MeJA sama dengan yang diperoleh pada kontrol. Sedangkan Phenylalanin tidak menghambat pertumbuhan biomassa sampai kultur berumur 6 hari, namun pada umur kultur 9 hari menyebabkan terjadinya penurunan biomassa sebesar 40% dibanding kontrol. Pengaruh L-cystein, Phenylalanin, MeJA dan PC terhadap kandungan glucotropaeoline dari akar berambut Tropaleum majus menunjukkan bahwa

senyawa-senyawa tersebut dapat meningkatkan kandungan glucotropaeline sekitar 40% -70 % di atas kontrol pada kultur berumur 6 hari. Berdasarkan berat kering perlakuan L-cystein menghasilkan glucotropaeoline 150% lebih tinggi dibandingkan kontrol, sedangkan pada perlakuan PC, Phe atau MeJA kira-kira 30- 50% di atas kontrol. Sementara itu, perlakuan MeJA menyebabkan peningkatan aktivitas myrosinase bersamaan dengan meningkatnya kandungan

(16)

glucotropaeoline, mencapai 120%

-

150% diatas kontrol. Pada perlakuan L- Cystein, Phenylalanin atau PC, aktivitas myrosinase tidak begitu dipengaruhi.

Pangaruh zat pengatur tumbuh eksogen terhadap pertumbuhan akar berambut jarang di teliti. Kemungkinan ini karena penambahan penambahan zat pengatur turnbuh eksogen, misalnya auksin dapat menyebabkan terbentuknya kalus, yang selanjutnya akan membentuk suspensi sel (Ernawati, 1992).

Hasil penelitian Cooke dan Webb (1997) pa& akar berambut tanaman Lotus corniculatus yang ditambahkan 2,4D 0.1, 1 dan 10 p M menunjukkan bahwa semua konsentrasi 2,4D tersebut menghambat pertumbuhan akar berambut dibandingkan kontrol tanpa 2,4D. Pada 2,4D 0.1 pM, akar utarna dan cabang lateral menjadi lebih tebal dan bantut dibandingkan dengan akar berambut yang ditanam dalam media tanpa 2,4D.

Faktor lingkungan seperti cahaya dan suhu juga dapat dimanipulasi untuk meningkatkan produktivitas kultur akar berambut. Beberapa kondisi cahaya dan suhu pada penelitian kultur akar berambut antara lain menggunakan kondisi gelap dan suhu 22°C pada kultur akar berambut Tropaleum majus (Wielanek dan Urbanek, 1999), gelap dengan suhu 23-25°C pada akar berambut Datura stramonium L. (Sikuli dan Demeyer, 1997), 16 jam terang, 8 jam gelap dengan suhu 26°C pada akar berambut Datura stramonium (Payne et al., 1987), dan cahaya (ca. 65 rnE m-2s-1) dan suhu 25°C pada akar berambut Luia cylindrica (L.) Roem. (Toppi et al. 1996).

Cooke dan Webb (1997) bahwa perturnbuhan akar berambut Lotus corniculatus relatif sama pada kondisi gelap dan terang. Suhu optimal untuk pertumbuhan adalah 25°C. Pada suhu 15" C pertumbuhan akar berarnbut lebih

(17)

rendah, mempunyai panjang yang sama dengan kontrol, namun dengan percabangan lateral yang lebih sedikit dan pendek-pendek. Sedangkan pada suhu 35"C, perturnbuhan sangat tertekan serta akar berarnbut mengalami penebalan dan

darkening.

Daftar Pustaka

Balasaraswathi R, Sadasivam S, Ward M, Walker JM. 1998. An antiviral protein from Bougenvillia spectabilis roots; purification and characterization. Phytochemistry 47: 156 1

-

1565.

Bowles DJ. 1990. Defense-related protein in higherplants. Annu Rev Biochem. 59:873-907.

Cheong NE et al. 1997. Purification and characterization of an antifungal PR-5 protein fiom pumpkin leaves. Moll Cells 7:2 14-2 19.

Cooke DE, Webb KJ. 1997. Stability of CaMV 35s-gus gene expression in (Bird's foot trefoil) hairy root cultures under different growth conditions. Plant Cell, Tissue and Organ Cult 47 : 163-168.

Cleene MD, Ley JD. 1976. The host range of crown gall. pot Rev 42:389-466.

Dong TX, Ng TB, Yeung HW, Wong RNSm. 1994. Isolation and characterization of a novel ribosome-activating protein, P-kirilowin, fi-om the seed of Trichosanthes kirilowii. Biochem Biophys Res Com 199; 1 :.

Ernawati A, 1992. Produksi senyawa-senyawa metabolit sekunder dengan kultur jaringan tanaman Di dalarn: Wattimena GA, editor. Bioteknolog!

Tanaman. Departemen Penddidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. hlm 169-2 16.

Fu TJ. 1999. Plant cell and tissue culture for food ingredient production. Di dalam: Fu TJ, Singh G, Curtis WR, editor. Plant Cell and Tissue Culture for the Production of Food Ingredients. Kluwer AcademicPlenurn Publishers. New York, Boston, Dordrecht, London, Moscow.

Girbes T et al. 1993. Ebulin 1, a nontoxin novel

type

2 ribosome-inactivating protein from Sambucus ebulus L. Leaves. J Biol Chem 268;24: 18195-

(18)

Heldt HW. 1997. Plant Biochemistry and Molecular Biology. Oxford University Press. p 3 10

Hoekstra SS. 1993. Accumulation of indole alkaloids in plant-organ cell cultures. Proefscrift. 127p.

Kondo T, Inoue M, Mizukarni H, Ogihara Y. 1995. Cytotoxic activity of bryonolic acid isolated from transformed hairy roots of Trichosanthes kirilowii var. japonica. Biol Pharm Bull 18 ;5: 726-729

Logeman J, Jach G, Tommerup H, Mundy J, Schell J. 1992. Expression of barley ribosome-inactivating protein leads to increased fungal protection in transgenic tobacco plants. BioITechnology 10:305-308 .

Maeshima M, Sasaki T, Asahi T. 1985. Characterization of major protein in sweet potato tuberous root. Phytochemistry 24: 1899-1 902.

Marcus JP, Goulter KC, Green JL, Harrison SJ, Manners JM. 1997. Purification, characterization and cDNA cloning of an antimicrobial peptide from Macademia integrfolia. Eur J Biochem 244:743-749

Minami Y, Nakahara Y, Funatsu G. 1992. Isolation and characterization of two momordins, Ribosome In-activatig Protein from seed of bitter gourd (Momordica charantia). Biosci Biotech Biochem 56;9: 1470-1477.

Neale AD et al. 1990. Chitinase, P-1,3-glucanase, osmotin, and extensin are expressed in tobacco explants during flower formation. Plant Cell 2 : 673- 684.

Ng TB, Liu-Wk, Tsao Sw, Yeung HW. 1994. Effect of trichosanthin and momorcharin on isolated rat hepatocytes. J Ethnopharm 43;2:81-87.

Nilsson 0, Olsson 0. 1997. Getting to the root: The role of the Agrobacterium rhizogenes rol genes in the formation of hairy roots. Physiol Plant 100:463-473

Payne J, Hamill JD, Robins RJ, Rhodes JC. 1987. Production of hyoscyamine by hairy root cultures of Datura stramonium. Planta medica 53:474-478. Payne GF, Bring V, Prince CL, Shuler ML. 1992. Plant Cell and Tissue Culture

in Liquid Systems. New York: John Wiley and Sons.Bab 8, Root Cultures; hlm 227-277.

Savary BJ, Flores HE. 1994. Biosynthesis of defense-related protein in transformed root cultures of Trichosanthes kirilowii Maxim. Var. japonicum (Kitam). Plant Physiol 106: 1 195- 1204.

(19)

Siemonsma JS, Piluek K. editor. 1994. Vegetables. Plant resources of South East Asia. Ed ke-8. Bogor.

Sikuli NN, Demeyer K. 1997. Influence of ion composition of medium on alkaloid production by "hairy roots" of Datura stramonium. Plant Cell Tissue Organ Cult 47:26 1-267.

Terras FRG et al. 1995. Small cysteine-rich antifungal proteins fiom radish: their role in host defense. The Plant Cell 7: 573-588.

Toppi LS de, Gorini P, Properzi G, Barbieri L, Spano L. 1996. Production of ribosome in-activating protein from hairy-root cultures of Lufa cyllindrica (L.) Roem. Plant Cell Reports 1 5 : 9 10-9 13.

Toppy LS di, Pecchioni N, Durantee M. 1997. Cucurbita pep0 L. can be transformed by Agrobacterium rhizogenes. Plant Cell. Tissue Organ Cult 51:89-93.

Vivanco

JM,

Weitzel D, Flores HE. 1997. Characterization of a major storage root protein isolated from the andean root crop Mirabilis expansa. Di dalam: Flores HE, Lynch JP, Eissenstat D. Radical biology: Advances and Perspectives on the Function of Plant Roots. Proceedings 1 l& Annual Penn State Symposium in Plant Physiology. Arnarican Society of Plant Physiologists, Rockville, Maryland U.S.A.

Verpoorte R, Heijden R van der, Hoopen HJG ten, Memelink J. 1999. Novel approaches to improve plant secondary metabolite production. Di dalam: Fu TJ, Singh G, Curtis WR, editor. Plant Cell and Tissue Culture for the Production of Food Ingredients. New York: Kluwer AcademicRlenum Publishers. Hlm 85-100.

Wielanek M, Urbanek H. 1999. Glucotropaelin and myrosinase production in hairy root cultures of Tropaeolum majus. Plant Cell Tissue Organ Cult 57 : 39-45.

Yun DJ et 01. 1996. Novel osmotically induced antifungal chitinases and bacterial expression of an active recombinant isoform. Plant Physiol 11 1:1219-

1225.

Zambryski P, Tempe J, Schell J. 1989. Transfer and function of T-DNA genes from Agrobacterium Ti and Ri plasmids in plants. Cell 56: 193-20 1.

Gambar

Gambar  1.  Morfologi  tanaman  Trichosanthes  cucumerina  L.  A.  Bunga,  B. Buah, C

Referensi

Dokumen terkait

bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 39 Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, perlu mengatur

koXavaaya namaÁ naarayaNaaya namaÁ maaQavaaya namaÁ gaaoivandaya namaÁ ivaYNavao namaÁ maQausaUdnaaya namaÁ i~ivaËmaaya namaÁ vaamanaaya namaÁ EaIQaraya namaÁ

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa 26% variasi abnormal return pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2012-2014 disebabkan oleh

Sementara itu, jika demi memenuhi asas proporsionalitas kesaksian pengadilan memutuskan untuk memberi waktu yang luas pada Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan seluruh saksi

BTS (Base Transceiver Station) menangani interface radio ke mobile station (Handphone) yang digunakan oleh pelanggan BTS adalah merupakan perangkat radio yang terdiri atas

Koordinasi ini dapat dilakukan oleh seorang Manajer Pelayanan Pasien (MPP)/Case Manager. Alur pasien menuju dan penempatannya di unit gawat darurat berpotensi membuat

Untuk menggapai komunikasi dakwah yang baik dalam suatu media radio, tidak jauh adalah dengan mengatur suatu penempatan program yang baik juga, bahkan strategi

[r]