• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI LINGKUNGAN RUMAH DAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONDISI LINGKUNGAN RUMAH DAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI INDONESIA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

121

Housing Environmental Condition and Acute Respiratory Infections among Children

Under Five Years in Indonesia

Zahra1, Okky Assetya P2

1Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat 2Fakultas Kesehatan Masyarakat, Institut Kesehatan Indonesia

Email: zahrasahab14@gmail.com

Diterima: 19 Juni 2017; Direvisi: 26 Oktober 2017; Disetujui: 17 Januari 2018

ABSTRACT

Afurther analysis of the 2013 Basic Health Research (Riskesdas) data on the incidence of Acute Respiratory Infection (ARI) of children under five years in Indonesia has been conducted. The unit of analysis is a children age 0-59 months, with a total sample of 75,212 children. The dependent variable is the incidence of ARI, whereas the independent variables are exposure to cigarette smoke in the house, the type of cooking fuel, and the condition of the house window. Analysis is done by region. The results showed the highest prevalence of ARI ounder children under-five in Java-Bali region (28.1%) and the smallest in Maluku region (16.6%). The most significant housing environmental condition factors associated with ARI occurrence based on per region analysis is exposure to secondhand smoke in the home (3 regions) compared to the condition of the window of risk (2 regions) and cooking fuel (1 region). The Java-Bali Region had the highest proportion of children under five who were exposed to all housing environmental condition factors, although the analysis of relationships in this region showed only statistically significant cigarette exposure factor (p = 0.001; OR = 1.14; 95% CI = 1, 05-1.23).The effort to prevent the occurrence of ARI of children under five years is minimizing the potential for air pollution exposure at home, such as not smoking inside the home, using the not risk type of fuel and routinely open the window every day.

Keywords: Acute respiratory infection, region, environmental risk factors ABSTRAK

Telah dilakukan analisis lanjut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 mengenai kejadian ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) atau acute respiratory infection/ARI pada balita di Indonesia. Unit analisis adalah balita usia 0-59 bulan, dengan jumlah sampel sebanyak 75.212 balita. Variabel dependen adalah kejadian ISPA, sedangkan variabel independen adalah kondisi lingkungan rumah meliputi asap rokok dalam rumah, jenis bahan bakar memasak, dan kondisi jendela rumah. Analisis dilakukan menurut regional. Hasil analisis menunjukan prevalensi ISPA pada balita terbesar terdapat di region Jawa-Bali (28,1%) dan terkecil di region Maluku (16,6%). Faktor kondisi lingkungan rumah yang paling banyak memiliki hubungan bermakna dengan kejadian ISPA berdasarkan analisis per region adalah asap rokok dalam rumah (3 region), dibanding kondisi jendela berisiko (2 region) dan bahan bakar masak (1 region). Region Jawa-Bali memiliki proporsi balita paling tinggi yang terpajan semua faktor kondisi lingkungan rumah, walaupun analisis hubungan pada region ini menunjukan hanya faktor pajanan asap rokok dalam rumah yang bermakna secara statistik(p=0,001; OR=1,14; 95% CI =1,05-1,23).Upaya pencegahan kejadian ISPA pada balita adalah dengan meminimalisir potensi pajanan pencemaran udara dalam rumah, seperti tidak merokok didalam rumah, menggunakan jenis bahan bakar yang tidak berisiko dan secara rutin membuka jendela rumah setiap hari.

Kata kunci: ISPA, region, kondisi lingkungan rumah PENDAHULUAN

Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) atau AcuteRespiratory Infectious Disease merupakan penyakit

saluran pernapasan yang sering dijumpai pada masyarakat, khususnya bayi dibawah usia lima tahun (balita). Penyakit-penyakit pernapasan pada balita menjadi penyebab

(2)

122

angka morbiditas dan mortalitas khususnya di negara miskin dan berkembang. ISPA merupakan salah satu penyebab kematian utama didunia dan penyebab turunnya kualitas hidup (disability adjusted life years atau DALY) khususnya terhadap balita(Mokdad A.H, 2017). Pada tahun 2008 insiden ISPA pada balita sebesar 0,29 episode per anak per tahun di negara berkembang dan 0,05 episode per anak per tahun di negara maju (Rudan, I, et al, 2008). Pada tahun 2010 insiden ISPA pada balita sebesar 0,22 episode per anak per tahun di negara berkembang dan negara miskin(Mokdad A.H, 2017). Kasus ISPA tahun 2008 terbanyak terjadi di India (43 juta), Cina (21 juta), Pakistan (10 juta) dan Indonesia (6 juta) (Rudan, I, et al, 2008). Penyakit ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di puskesmas (40-60%) dan rumah sakit (15-30%). Episode batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun (Kemenkes, 2011).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura)(Kemenkes, 2011). Penyakit pneumonia termasuk dalam ISPA karena merupakan salah satu infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Patogen yang paling sering menyebabkan ISPA adalah virus, atau infeksi gabungan dari virus dan bakteri seperti rhinovirus, virus influenza, dan respiratory syncytial

virus.

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terdapat faktor risiko tertentu yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita, yaitu faktor kondisi lingkungan rumah dan faktor balita (seperti status gizi, pemberian ASI eksklusif, kelengkapan imunisasi, berat badan lahir rendah dan umur bayi).Kondisi lingkungan rumah yang dapat mempengaruhi kualitas udara dalam rumah dan memicu terjadinya ISPA, diantaranyaenvironmental tobacco smoke (ETS) atau pajanan asap rokok

didalam rumah, penggunaan bahan bakar memasak yang berisiko seperti kayu bakar,

batubara dan arang, dan buruknya sirkulasi udara didalam rumah.

Pajanan asap rokok dalam rumah merupakan faktor risiko penyakit pernapasan akut dan kronik pada anak, dan juga menurunkan fungsi paru pada awal kehidupan (Vanker, A. et al, 2017). Studi meta analisis dari tahun 1966 hingga 1995 menggunakan 13 hasil penelitian menunjukan bahwa balita yang memiliki orang tua perokok akan memiliki risiko terkena lower respiratory infections (LRI) 2 kali lebih besar dibanding balita yang tidak memiliki orang tua perokok(Lucila R.A, et al, 2016). Demikian juga hasil analisis terhadap tiga survei nasional di India tahun 1992, 1998 dan 2005 menunjukan adanya hubungan yang kuat antara penggunaan bahan bakar untuk memasak yang memiliki tingkat cemaran tinggi terhadap angka kesakitan acute lower respiratory infection (ALRI) atau penyakit pneumonia (yang ditandai dengan batuk dan kesulitan bernapas) pada anak-anak. Terdapat kesamaan angka odds ratio pada hubungan pajanan bahan bakar masak berisiko terhadap kejadian pneumonia tersebut pada tiga survey nasional tesebut, yaitu 1,48 (tahun 1992), 1,54 (tahun 1998) dan 1,53 (tahun 2005)(Patel, AB et al, 2013).Penelitian kasus kontrol yang dilakukan di negara berkembang menunjukan penggunaan bahan bakar selain elpiji untuk memasak berhubungan signifikan terhadap kejadian ALRI pada balita (Bhat, Y R et al, 2013). Tidak hanya terhadap balita, pajanan bahan bakar memasak yang high polluted juga berdampak signifikan terhadap penyakit pernapasan pada wanita dewasa (Sehgal, M et al, 2014). Keberadaan jendela dan perilaku rumah tangga dalam membuka jendela merupakan bagian dari parameter rumah sehat, yang dapat menjaga sirkulasi udara didalam rumah dan memiliki pengaruh penting terhadap adanya gangguan pernapasan pada balita.

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor kondisi lingkunganrumah dengan kejadian ISPA pada balita di Indonesia. Penyakit ISPA yang dimaksud dalam analisis ini adalah infeksi saluran pernapasan akut berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan, baik dokter,

(3)

123

perawat atau bidan, dengan gejala-gejala

seperti panas, batuk pilek dan radang tenggorokan, selama kurun waktu 1 bulan sebelum wawancara dilakukan.

BAHAN DAN CARA

Tulisan ini merupakan hasil analisis data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes, 2013).Disain penelitian yang digunakan adalah

cross-sectional dengan pendekatan kuantitatif.

Populasi dalam analisis ini adalah seluruh rumah tangga di Indonesia yang memiliki balita, sedangkan sampel adalah seluruh balita usia 0-59 bulan. Unit analisis adalah balita usia 0-59 bulan. Kriteria inklusi yang digunakan adalah sampel yang memiliki kelengkapan data dari keseluruhan variabel penelitian yang diteliti. Jumlah sampel yang memenuhi syarat inklusi sebanyak 75.212balita. Variabel dependen adalah kejadian ISPA, sedangkan variabel independen adalah pajanan asap rokok dalam rumah, jenis bahan bakar memasak, dan kondisi jendela rumah. Kejadian ISPA dikategorikan menjadi ISPA dan tidak ISPA. Balita disebut ISPA jika mengalami ISPA berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (menurut pengakuan ibu yangmendampingi wawancara). Balita disebut tidak ISPA jika tidak mengalami ISPA berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan. Pajanan asap rokok dalam rumah dikategorikan menjadi ada pajanan dan tidak ada pajanan. Disebut ada pajanan asap rokok dalam rumah jika balita tinggal didalam rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga (ART) dengan perilaku merokok dalam rumah, dan disebut tidak ada pajanan jika tidak ada ART yang merokok dalam rumah. Variabel jenis bahan bakar untuk memasak dikategorikan menjadi

bahan bakar berisiko dan bahan bakar tidak berisiko. Balita dikategorikan terpajan bahan bakar berisiko jika tinggal dirumah tangga yang menggunakan minyak tanah, arang/bricket/batok kelapa, atau kayu bakar untuk memasak, dan balita dikategorikan tidak terpajan bahan bakar berisiko jika tinggal dirumah tangga yang menggunakan gas elpiji atau listrik untuk memasak. Variabel kondisi jendela dikategorikan menjadi kondisi jendela berisiko dan tidak berisiko. Balita dikategorikan terpajan kondisi jendela berisiko jika tinggal dirumah tangga yang tidak memiliki jendela pada ruang tidur dan ruang keluarganya atau memiliki jendela namun jarang dibuka. Balita dikategorikan tidak terpajan kondisi jendela berisiko jika tinggal dirumah tangga yang memiliki jendela pada ruang tidur dan ruang keluarganya dan sering dibuka. Analisis dilakukan secara univariat dan bivariat berdasarkan region. Analisis univariat bertujuan untuk menggambarkan distribusi frekuensidari masing-masing variabel dan analisis bivariat dengan uji chi square bertujuan untuk melihat hubungan masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen. Analisis dilakukan secara nasional dan regional.

HASIL

Hasil analisis prevalensi ISPA pada balita menurut region di Indonesia dapat dilihat pada tabel 1. Proporsi balita terbesar terdapat di region Jawa-Bali (55,7%) dan terkecil di region Maluku (1,4%). Prevalensi ISPA pada balita terbesar terdapat di region Jawa-Bali (28,1%) dan terkecil di region Maluku (16,6%). Hanya di region Jawa-Bali yang memiliki prevalensi ISPA pada balita melebihi prevalensi ISPA nasional, yaitu sebesar 25,2%.

(4)

124

Tabel 1. Prevalensi kejadian ISPA pada balita menurut region di Indonesia

Region Balita Kejadian ISPA pada Balita

N % N % Sumatera 16.978 22,6 3.716 21,9 Jawa Bali 41.867 55,7 11.752 28,1 Nusa Tenggara 3.395 4,5 826 24,3 Kalimantan 4.622 6,1 1.015 22,0 Sulawesi 5.960 7,9 1.177 19,8 Maluku 1.068 1,4 177 16,6 Papua 1.323 1,8 320 24,2 Total 75.212 100 18.983 25,2

Tabel 2 berikut menyajikan proporsi balita yang tinggal di rumah dengan keterpajanan beberapa faktor lingkungan yang berhubungan dengan kejadian ISPA. Sebanyak 56% balita di Indonesia tinggal di rumah yang terpajan asap rokok dalam rumah, 33,8% balita di Indonesia tinggal di rumah yang terpajan bahan bakar masak berisiko, dan 51,3% balita di Indonesia tinggal di rumah yang terpajan kondisi jendela rumah berisiko. Analisis per region menunjukan, pada semua region, kecuali region Papua, lebih dari 50% balita di masing-masing region tersebut tinggal dirumah yang memiliki keterpajanan asap rokok dalam rumah. Pada region Maluku, meskipun proporsi balitanya paling kecil namun sebanyak 68% balita di region

Maluku terpajan asap rokok dalam rumah. Pada variabel jenis bahan bakar untuk memasak yang berisiko, hanya region Jawa-Bali yang memiliki proporsi balita dengan keterpajanan bahan bakar untuk memasak yang berisiko dibawah proporsi nasional. Pada region lainnya, khususnya Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua, lebih dari separuh balita pada masing-masing region tersebut tinggal dirumah yang terpajan bahan bakar masak berisiko. Pada variabel kondisi jendela rumah, hampir semua region memiliki proporsi balita yang terpajan kondisi jendela berisiko dibawah proporsi nasional. Hanya region Jawa Bali dan Nusa Tenggara yang memiliki proporsi balita yang terpajan kondisi jendela berisiko diatas proporsi nasional.

Tabel 2. Proporsi balita terpajan faktor kondisi lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita menurut region di Indonesia

Region Jumlah

Balita

Kondisi Lingkungan Rumah

Asap Rokok dalam Rumah Bahan Bakar Jendela

n % n % n % Sumatera 16.978 11.123 65,5 6.118 36,0 6.151 36,2 Jawa Bali 41.867 21.326 50,9 9.005 21,5 25.438 60,8 Nusa Tenggara 3.394 2.123 62,5 2.726 80,3 1.880 55,4 Kalimantan 4.621 2.507 54,2 2.024 43,8 1.443 31,2 Sulawesi 5.959 3.737 62,7 3.293 55,3 2752 46,2 Maluku 1.068 726 68,0 996 93,3 304 28,5 Papua 1.322 609 46,0 1.268 95,8 609 46,0 Total 75.212 42.151 56,0 25.431 33,8 38.577 51,3

Tabel 3 berikut menyajikan proporsi balita yang tinggal di rumah dengan keterpajanan beberapa faktor lingkungan rumahdan menderita ISPA. Sebanyak 25,9 % balita di Indonesia yang terpajan asap rokok

dalam rumah, menderita ISPA, 24,4 % balita di Indonesia yang terpajan bahan bakar untuk memasak yang berisiko, menderita ISPA, dan 26,0 % balita di Indonesia yang terpajan kondisi jendela yang berisiko, menderita

(5)

125

ISPA. Analisis per region pada variabel

keterpajanan asap rokok dalam rumah menunjukan, region Jawa-Bali memiliki proporsi balita yang menderita ISPA paling tinggi dibanding region lainnya dan melebihi proporsi nasional, sebaliknya region Maluku menjadi region dengan proporsi balita terkecil menderita ISPA. Pada variabel jenis bahan bakar untuk memasak yang berisiko,

hanya region Jawa-Bali dan Nusa Tenggara yang memiliki proporsi balita yang menderita ISPA paling tinggi dibanding region lainnya dan melebihi proporsi nasional. Pada variabel kondisi jendela yang berisiko, hanya region Jawa-Bali yang memiliki proporsi balita yang menderita ISPA paling tinggi dibanding region lainnya dan melebihi proporsi nasional.

Tabel 3. Proporsi balita terpajan faktor kondisi lingkungan rumah yang menderita ISPA menurut region di Indonesia

Region

Kondisi Lingkungan Rumah

Asap Rokok dalam Rumah Bahan Bakar Jendela

N n % N n % N n % Sumatera 11.123 2.524 22,7 6.118 1.454 23,8 6.151 1.368 22,2 Jawa Bali 21.326 6.255 29,3 9.005 2.530 28,1 25.438 7.210 28,3 Nusa Tenggara 2.123 541 25,5 2.726 682 25,0 1.880 414 22,1 Kalimantan 2.507 571 22,8 2.024 452 22,3 1.443 317 22,0 Sulawesi 3.737 748 20,0 3.293 628 19,1 2752 533 19,4 Maluku 726 116 16,0 996 161 16,2 304 48 15,9 Papua 609 157 25,7 1.268 305 24,1 609 127 21,0 Total 42.152 10.912 25,9 25.431 6.214 24,4 38.577 10.019 26,0 Tabel 4 berikut menyajikan

hubungan kejadian ISPA pada balita dengan beberapa faktor kondisi lingkungan rumah menurut region di Indonesia. Analisis statistik hubungan kejadian ISPA pada balita di Indonesia terhadap faktor pajanan asap rokok dalam rumah, bahan bakar memasak yang berisiko dan kondisi jendela rumah yang berisiko menunjukan hubungan yang bermakna (p<0,05), namun dengan nilai odds

ratio (OR) yang sangat kecil (0,94 - 1,08).

Analisis statistik secara region menunjukan tidak semua region memiliki hubungan bermakna antara kejadian ISPA dengan masing-masing faktor lingkungan rumah. Region Kalimantan, Sulawesi dan Maluku tidak memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan semua faktor lingkungan rumah.

Tabel 4. Hubungan kejadian ISPA pada balita dengan faktorkondisi lingkungan rumah menurut region di Indonesia

Region

Kondisi Lingkungan Rumah

Asap Rokok dalam Rumah Bahan Bakar Jendela

P-value OR 95% CI P-value OR 95% CI P-value OR 95% CI Sumatera 0,003 1,15 1,05-1,26 0,001 1,19 1,07-1,31 0,517 1,03 0,94-1,14 Jawa Bali 0,001 1,14 1,05-1,23 0,964 1,00 0,91-1,10 0,414 1,03 0,95-1,12 Nusa Tenggara 0,044 1,19 1,00-1,40 0,135 1,22 0,94-1,58 0,001 0,76 0,64-0,89 Kalimantan 0,186 1,11 0,95-!,30 0,669 1,04 0,88-1,23 0,978 1,00 0,85-1,19 Sulawesi 0,516 1,04 0,92-1,19 0,239 0,91 0,77-1,07 0,515 0,95 0,83-1,10 Maluku 0,327 0,87 0,67-1,14 0,199 0,69 0,39-1,22 0,641 0,93 0,69-1,25 Papua 0,173 1,17 0,93-1,48 0,594 0,88 0,55-1,41 0,012 0,72 0,56-0,93 Total 0,003 1,08 1,03-1,14 0,024 0,94 0,89-0,99 0,005 1,08 1,02-1,14

(6)

126

PEMBAHASAN

Prevalensi kejadian ISPA pada balita secara nasional berdasarkan hasil analisis ini sebesar 25,2%. Dalam laporan Riskesdas 2013 disebutkan period prevalence ISPA pada balita sebesar 25%, lebih tinggi dibanding period prevalence ISPA balita hasil Riskesdas 2007(Kemenkes 2007; Kemenkes 2013). Menurut region, kisaran prevalensi kejadian ISPA pada balita antara 16,5% (Maluku) hingga28,1% (Jawa-Bali). Angka prevalensi ISPA balita di region Jawa-Bali paling besar dibanding region lainnya, didukung oleh proporsi balitanya yang paling besar, yaitu 55,7% dari seluruh balita di Indonesia. Angka prevalensi ISPA balita di Maluku paling kecil dibanding region lainnya, juga didukung oleh proporsi balitanya yang paling kecil, yaitu sebesar 1,4% dari seluruh balita di Indonesia (Tabel 1). Tidak ada data dan informasi yang dapat mendukung hal ini, namun dapat diperkirakan semakin banyak jumlah balita pada suatu wilayah maka kemungkinan kejadian ISPA pada balita di wilayah itu akan semakin besar.

Proporsi balita di Indonesia yang tinggal di rumah dengan keterpajanan asap rokok dalam rumah sebesar 56%. Menurut region, kisaran proporsi balita dengan keterpajanan asap rokok dalam rumah antara 46% (Papua) dan 68% (Maluku). Hampir semua region, kecuali Papua, memiliki proporsi balita lebih dari separuhnya yang tinggal di rumah dengan keterpajanan asap rokok dalam rumah (Tabel 2). Jika dilihat jumlah perokok aktif saat wawancara berlangsung, proporsi perokok aktif tiap propinsi di Indonesia tidak memiliki varian yang besar (16-27%) (Kemenkes, 2013).

Proporsi balita di Indonesia yang tinggal di rumah dengan keterpajanan bahan bakar untuk memasak yang berisiko sebesar 33,8%. Menurut region, kisaran proporsi balita tersebut antara 21,5 % (Jawa-Bali) dan 95,8 % (Papua). Hampir semua region, khususnya Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua, memiliki proporsi balita sangat banyak yang tinggal dirumah dengan keterpajanan bahan bakar memasak yang berisiko (Tabel 2). Proporsi rumah tangga yang menggunakan bahan bakar memasak yang tidak aman (minyak tanah, arang dan

kayu bakar) hasil Riskesdas 2013 sebesar 35,9%, tidak jauh berbeda pada hasil analisis ini. Jika dilihat proporsi indeks kepemilikan yang menggambarkan status ekonomi penduduk hasil Riskesdas 2013, proporsi kuintil indeks kepemilikan terbawah didominasi region Papua, Maluku, Nusa Tenggara dan Sulawesi(Kemenkes, 2013). Tidak mengherankan jika pada keempat region tersebut, masih banyak yang menggunakan bahan bakar memasak yang lebih murah seperti kayu bakar dan minyak tanah, namun lebih berbahaya bagi kesehatan.

Proporsi balita di Indonesia yang tinggal di rumah dengan keterpajanan kondisi jendela berisiko sebesar 51,3 %. Menurut region, kisaran proporsi balita tersebut antara 28,5 % (Maluku) dan 60,8 % (Jawa-Bali). Hanya region Jawa-Bali dan Nusa Tenggara yang memiliki proporsi balita dengan keterpajanan kondisi jendela berisiko diatas angka nasional (Tabel 2).

Proporsi balita di Indonesia yang menderita ISPA dan terpajan asap rokok dalam rumah sebesar 25,9%, tidak jauh berbeda dengan balita di Indonesia yang terpajan bahan bakar memasak yang berisiko (24,4%) dan terpajan kondisi jendela berisiko (26%). Analisis per region menunjukan, proporsi balita paling banyak yang menderita ISPA dengan ketiga keterpajanan faktor risiko lingkungan tersebut adalah region Jawa-Bali, dan proporsi balita paling sedikit yang menderita ISPA dengan ketiga keterpajanan faktor lingkungan rumah tersebut adalah region Maluku (Tabel 3). Hal ini menunjukan permasalahan terbesar ada di region Jawa-Bali. Intervensi yang harus dilakukan untuk menurunkan angka kejadian ISPA berdasarkan ketiga faktor lingkungan rumah lebih difokuskan pada region Jawa-Bali. Lain halnya dengan region Nusa Tenggara dan Papua, proporsi balita yang menderita ISPA dan terpajan asap rokok atau terpajan bahan bakar memasak berisiko, lebih tinggi dibanding balita penderita ISPA yang terpajan kondisi jendela berisiko. Hal ini menunjukan arah intervensi program pengendalian penyakit ISPA di region Nusa Tenggara dan Papua lebih difokuskan pada intervensi pajanan asap rokok dalam rumah dan bahan bakar memasak.

(7)

127

Analisis hubungan pada tabel 4

menunjukan ketiga variabel lingkungan tersebut diatas memiliki hubungan yang signifikan secara statistik terhadap kejadian ISPA pada balita di Indonesia, meskipun dengan nilai odds ratio yang kurang bermakna. Balita di Indonesia yang terpajan asap rokok dalam rumah akan memiliki peluang 1,08 kali lebih tinggi menderita ISPA dibanding balita di Indonesia yang tidak terpajan asap rokok dalam rumah. Sama halnya dengan balita di Indonesia yang terpajan kondisi jendela berisiko, juga berpeluang 1,08 kali lebih tinggi menderita ISPA dibanding balita di Indonesia yang tidak terpajan kondisi jendela berisiko. Analisis per region menunjukan tidak semua variabel pada masing-masing region bermakna secara statistik terhadap kejadian ISPA pada balita. Jumlah region yang memiliki hubungan bermakna secara statistik terhadap variabel pajanan asap rokok dalam rumah lebih banyak (3 region) dibanding variabel pajanan bahan bakar masak berisiko (1 region) dan variabel kondisi jendela berisiko (2 region).

Pada region Jawa-Bali, meskipun proporsi kejadian ISPA balita berdasarkan ketiga faktor kondisi lingkungan rumah paling tinggi dibanding region lainnya, namun hubungan yang bermakna secara statistik hanya ditunjukan oleh variabel pajanan asap rokok dalam rumah (nilai p=0,001, OR=1,14; 95% CI 1,05-1,23). Pada region Jawa-Bali, peluang balita yang terpajan asap rokok dalam rumah untuk menderita ISPA sebesar 1,14 kali lebih tinggi dibanding balita yang tidak terpajan asap rokok dalam rumah. Variabel penggunaan bahan bakar memasak yang berisiko dan kondisi jendela berisiko tidak menunjukan hubungan yang bermakna secara statistik. Dapat disimpulkan, arah intervensi program pengendalian penyakit ISPA pada balita yang dapat disarankan pada semua propinsi dalam region Jawa-Bali, fokus pada pajanan asap rokok dalam rumah.

Pada region Sumatera, terdapat dua variabel lingkungan yang memiliki hubungan bermakna secara statistik dengan kejadian ISPA pada balita yaitu pajanan asap rokok dalam rumah (p=0,003; OR=.1,15; 95% CI=1,05-1,26) dan bahan bakar masak yang

berisiko (p=0,001; OR=1,19; 95% CI=1,07-1,31).Balita di region Sumatera yang terpajan asap rokok dalam rumah berpeluang menderita ISPA1,15 kali lebih tinggi dibanding balita yang tidak terpajan asap rokok dalam rumah. Tidak jauh berbeda pada variabel jenis bahan bakar memasak yang berisiko, balita di region Sumatera yang terpajan bahan bakar memasak yang berisiko berpeluang menderita ISPA 1,19 kali lebih tinggi dibanding balita yang tidak terpajan bahan bakar memasak yang berisiko. Dapat disimpulkan, arah intervensi program pengendalian penyakit ISPA pada balita di region Sumatera, yang dapat disarankan pada semua propinsi dalam region ini, fokus pada pajanan asap rokok dalam rumah dan bahan bakar masak.

Pada region Nusa Tenggara, terdapat dua variabel lingkungan yang memiliki hubungan bermakna secara statistik dengan kejadian ISPA pada balita yaitu pajanan asap rokok dalam rumah (p=0,044; OR=.1,19; 95% CI=1,00-1,40) dan kondisi jendela berisiko (p=0,001; OR=0,76; 95% CI=0,64-0,89).Balita di region Nusa Tenggara yang terpajan asap rokok dalam rumah berpeluang menderita ISPA 1,19 kali lebih tinggi dibanding balita yang tidak terpajan asap rokok dalam rumah. Namun, pada variabel kondisi jendela yang berisiko, balita di region Nusa Tenggara yang terpajan kondisi jendela berisiko berpeluang menderita ISPA 0,76 kali lebih rendah dibanding balita yang tidak terpajan kondisi jendela berisiko. Dapat disimpulkan, arah intervensi program pengendalian penyakit ISPA pada balita di region Nusa Tenggara, yang dapat disarankan pada semua propinsi dalam region ini, fokus pada pajanan asap rokok dalam rumah.

Pada region Kalimantan, Sulawesi dan Maluku, tidak ada variabel lingkungan yang memiliki hubungan bermakna secara statistik dengan kejadian ISPA pada balita. Pada region Papua, hanya variabel kondisi jendela berisiko yang memiliki hubungan bermakna secara statistik dengan kejadian ISPA pada balita, namun memiliki hubungan yang terbalik.

Pajanan asap rokok dalam rumah (environmental tobacco smoke atau

secondhand tobacco smoke) dalam beberapa

(8)

128

pencemaran udara dalam ruangan yang menyebabkan gangguan pada saluran pernapasan, khususnya pada kelompok rentan balita. Bayi/balita yang tinggal dirumah dengan pajanan asap rokok dalam rumah berpeluang menderita pneumonia 8,88 kali (Nurjazuli dan Sugihartono, 2012)atau 2,7 kali lebih besar(Yuwono, T.A, 2008)dibanding bayi yang tinggal dirumah tanpa asap rokok.Balita memiliki risiko yang lebih besar dibanding orang dewasa karena ukuran paru-parunya yang lebih kecil dan sistem kekebalan tubuhnya yang belum sempurna. Kandungan zat toksin dalam asap rokok yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru, mempengaruhi syaraf dan peredaran darah, bahkan dapat bersifat karsinogen dan mampu memicu kanker paru, menjadikan asap rokok sangat berbahaya bagi kesehatan pernapasan, khususnya balita. Balita sebagai perokok pasif mendapatkan efek buruk asap rokok lebih banyak daripada perokok aktif, karena asap yang keluar dari ujung rokok (bagian yang terbakar) yang disebut dengan sidestream smoke/asap

samping, memiliki kadar toksin yang berlipat-lipat lebih tinggi dibanding asap yang dihisap oleh perokok (asap utama).Pajanan penggunaan bahan bakar yang berisiko pada ruangan dengan sirkulasi udara yang buruk, menyebabkan pencemaran udara dalam rumah yang berkontribusi terhadap 3,5 kematian global pada tahun 2010 dan menyumbang sekitar 4,5% sebagai penyebab penyakit (burden of diseases) dunia(Lim S.S.et al, 2012; Smith K.R et al, 2014). Selain faktor lingkungan, faktor kesehatan balita yang diukur dengan status gizi, kelengkapan imunisasi, pemberian ASI eksklusif dan pemberian suplemen besi, juga berpengaruh terhadap kejadian ISPA balita(Roth D.E et al, 2008). Meningkatkan status gizi baik pada anak-anak maupun pada ibu hamil, memberikan vaksin yang lebih lengkap seperti Haemophilus influenza type b (Hib) dapat menurunkan angka kejadian ISPA di banyak negara(Williams DJ and Shah, 2012).

Pada region tertentu, meskipun tingkat pajanan faktor lingkungan rumah tingginamun analisis hubungan antara pajanan dan outcome menunjukan tidak bermakna secara statistik. Hal ini tidak berarti bahwa faktor kondisi lingkungan

rumah tersebut tidak berisiko terhadap kejadian ISPA pada balita di region tersebut. Misalnya pada region Kalimantan, Sulawesi dan Maluku, dari ketiga faktor lingkungan rumah yang dianalisis, tidak ada satupun variabel memiliki hubungan yang bermakna secara statistik. Namun tidak berarti kondisi pencemaran udara dalam rumah akibat asap rokok dalam rumah dan penggunaan bahan bakar masak yang berisiko, serta kondisi jendela yang dapat menyebabkan sirkulasi udara dalam rumah menjadi tidak baik, tidak menjadi faktor risiko kejadian ISPA pada balita. Penelitian epidemiologi dengan disain penelitian yang lebih tepat, seperti disain kasus-kontrol, menyimpulkan adanya hubungan antara faktor risiko lingkungan terhadap kejadian ISPA pada balita(Bhat, Y R, 2012).Temuan dalam analisis ini disebabkan karena kekurangan atau limitasi penelitian dengan disain cross-sectional yang hanya mengandalkan pengakuan responden dalam mendefinisikan kejadian penyakit.

Analisis situasi pengendalian ISPA di Indonesia menurut Kementerian Kesehatan yang tertera dalam panduan pedoman pengendalian ISPA tahun 2011 menyebutkan pengendalian ISPA yang utama adalah pada pengendalian pneumonia balita. Kondisi pencemaran udara dalam ruangan menjadi salah satu faktor risiko yang berkontribusi terhadap insiden pneumonia balita. Selain pneumonia, penyakit influenza dan penyakit ISPA lainnya yang berpotensi wabah seperti flu burung, juga menjadi perhatian dalam pedoman pengendalian ISPA. Faktor kondisi lingkungan dalam rumah seperti asap dari bahan bakar masak akibat penggunaan kayu bakar, batubara atau arang, dan ditambah buruknya sirkulasi udara didalam rumah, menyebabkan risiko terjadinya ISPA. Kejadian alam khusus seperti kebakaran hutan, dapat menimbulkan peningkatan kejadian ISPA(Kemenkes, 2011).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Asap rokok dalam rumah menjadi faktor kondisi lingkungan rumah yang paling berpotensi menyebabkan kejadian ISPA pada balita. Analisis kejadian ISPA per region atau per wilayah sangat perlu dilakukan untuk

(9)

129

mengetahui distribusi kejadian, faktor

penyebab dan kekuatan hubungan antara pajanan dan outcome, dalam skala yang lebih kecil. Informasi ini dapat memberikan arahan kebijakan pengendalian ISPA yang lebih tepat.

Saran

Disarankan kepada pemerintah propinsi pada masing-masing region untuk melakukan upaya pencegahan kejadian ISPA pada balita dengan meminimalisir potensi pajanan pencemaran udara dalam rumah yang dipicu oleh kondisi lingkungan rumah dan perilaku penghuninya, seperti tidak merokok didalam rumah, menggunakan jenis bahan bakar yang tidak berisiko dan secara rutin membuka jendela rumah setiap hari guna menjaga kualitas udara dalam rumah lebih baik.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan khususnya pada laboratorium manajemen data, juga kepada ibu Dra Athena, MSi atas masukan kepustakaan dan kepada bapak Dr. Miko Hananto, SKM, MKes atas masukan manajemen data.

DAFTAR PUSTAKA

Bhat, Y R, et al, 2012. Association of indoor air pollution with acute lower respiratory tract infections in children under 5 years of age.

Paediatrics and International Child Health,

32(3).

Kemenkes, 2011. Pedoman Pengendalian Infeksi

Saluran Pernafasan Akut. Direktorat

Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan, Kemenkes RI.

Kemenkes, 2007. Riset Kesehatan Dasar 2007.

Balitbangkes.

Kemenkes, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013.

Balitbangkes.

Lim SS., et al, 2012. A comparative risk assessment of burden of disease and injury attributable to 67 risk factors and risk factor clusters in 21 regions, 1990-2010: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2010.

Lancet., 380, pp.2224–2260.

Lucila, R., 2016. Lower respiratory track infection in children younger tha five years of age and adverse pregnancy outcomes related to household air pollution in Bariloche (Argentina) and Temuco (Chile). HHS Public

Access. PMC Desember.

Mokdad, A.., 2017. Burden of lower respiratory infections in the Eastern Mediterranean Region between 1990 and 2015 : findings from the Global Burden of Disease 2015 study. Int J Public Health.

Nurjazuli dan Sugihartono, 2012. Analisis faktor risiko kejadian pneumonia pada balita di wilayah kerja puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam.

Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia,

11(1).

Patel, A.., 2013. Childhood illness in households using biomassfuels in India: secondary data analysis of nationally representative national family health surveys. International Journal

of Occupational and Environmental Health,

19(1).

Roth, D.E. et al, 2008. Acute Lower Respiratory Infections in Childhood: Opportunities for Reducing the Global Burden through Nutritutional Interventions. Bulletin of the

World Health Organization, 86, pp.356–364.

Rudan, I, et al, 2008. Epidemiology and etiology childhood pneumonia. Bulletin World Health

Organization, 86, pp.408–416.

Sehgal, M, et al, 2014. Disease burden due to biomass cooking-fuel-related household air pollution among women in India. Global Health

Action, 7(1).

Smith KR et al., 2014. Millions dead: how do we know and what does it mean? Methods used in the comparative risk assessment of household air pollution. Annual review of public health, 35, pp.185–206.

Vanker, A., et al, 2017. The association between environmental tobacco smoke exposure and childhood respiratorydisease: a review.

Expert Review of Respiratory Medicine,

11(8).

Williams DJ, S.S., 2012. Community-acquaired pneumonia in the conjugate vaccine era. J

Pediatr Infect Dis Soc, 1, pp.314–328.

Yuwono, T.A., 2008. Faktor-faktor lingkunga fisik rumah yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak balita di wilayah kerja

puskesmas Kawunganten, Kabupaten

Gambar

Tabel  2.  Proporsi  balita  terpajan  faktor  kondisi  lingkungan  rumah  yang  berhubungan  dengan  kejadian ISPA pada balita menurut region di Indonesia
Tabel 3. Proporsi balita terpajan faktor kondisi lingkungan rumah yang menderita ISPA menurut  region di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan ini akan terjadi pada tubuh baik secara fisik

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana pengaruh dan seberapa besar pengaruh modal sosial dan beberapa variabel lainya diantaranya : modal, tingkat

Karakteristik dari pendekatan penjualan berorientasi konsumen yang dipraktekkan oleh beberapaperusahaan adalah menjalin hubungan baik dengan konsumen,

Arahan peraturan zonasi untuk Zona L2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81. ayat (2) huruf a

Refleksi dilakukan pada akhir tiap siklus dan berdasarkan refleksi inilah dapat diketahui apakah tindakan yang diberikan sudah sesuai dengan harapan peneliti serta

Pokja ULP Pengadaan pada Satker Direktorat Advokasi dan KIE akan melaksanakan Pelelangan Sederhana/Umum dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan pengadaan Jasa

Suresh dan Shashikala (2011) dalam penelitiannya tentang pengaruh persepsi akan resiko terhadap pembelian secara online pada konsumen di India, mengatakan bahwa konsumen

Indonesia's Domestic Car Sales Seen Rising to 1.1M Units in 2018 Trump Tuduh Demokrat Coba Lakukan Government Shutdown.. Indonesia