• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYIMPANAN BAKSO IKAN NILA MERAH DALAM KEMASAN ATMOSFIR TERMODIFIKASI PADA SUHU RUANG JUNIDE MASTUTY HUTAPEA C

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYIMPANAN BAKSO IKAN NILA MERAH DALAM KEMASAN ATMOSFIR TERMODIFIKASI PADA SUHU RUANG JUNIDE MASTUTY HUTAPEA C"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

PADA SUHU RUANG

JUNIDE MASTUTY HUTAPEA

C34050012

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(2)

JUNIDE MASTUTY HUTAPEA. C34050012. Penyimpanan Bakso Ikan Nila Merah dalam Kemasan Atmosfir Termodifikasi pada Suhu Ruang. Dibimbing Oleh BUSTAMI IBRAHIM dan DADI R SUKARSA

Konsumsi ikan tidak hanya terbatas pada ikan segar, tetapi juga produk-produk olahannya. Salah satu produk-produk olahan ikan yang sudah dikenal dan disukai oleh masyarakat adalah bakso ikan.Bakso ikan dapat didefinisikan sebagai produk makanan berbentuk bulatan yang diperoleh dari campuran daging ikan (kadar daging ikan tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diijinkan.

Bakso ikan, sebagaimana produk olahan ikan lainnya, merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan (highly perishable). Umumnya bakso ikan memiliki masa simpan maksimal satu hari (12-24 jam) pada suhu kamar. Kerusakan bakso ikan yang terjadi selama penyimpanan dapat diakibatkan oleh kadar air dan aktivitas air yang tinggi (aw > 9,0) serta adanya kontak dengan oksigen yang merupakan sumber energi bagi aktivitas-aktivitas reaksi biologis maupun kimiawi. Oleh karena itu diperlukan kemasan yang diminimalisir kandungan oksigen dalam kemasan.

Biasanya bakso ikan dikemas secara vakum untuk memperpanjang masa simpannya. Akan tetapi, bakteri aerobik maupun anaerobik masih dapat berkembang dikarenakan masih adanya sisa udara di dalam kemasan vakum tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu alternatif teknologi pengemasan yang dapat memperpanjang masa simpan bakso. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan sistem pengemasan atmosfer termodifikasi (modified

atmosphere packaging).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh pengemasan secara Modified Atmosphere Packaging (MAP) terhadap masa simpan bakso ikan nila merah selama penyimpanan suhu ruang dan memperoleh komposisi gas yang terbaik agar masa simpan bakso ikan nila merah pada suhu ruang menjadi lebih lama dari kontrol (12-24 jam).

Pengemasan bakso ikan nila merah dengan kemasan atmosfir termodifikasi pada suhu ruang memiliki masa simpan yang lebih lama dibandingkan dengan bakso ikan yang dikemas dalam udara biasa (kontrol), dimana masa simpan bakso ikan menjadi lebih dari 12-24 jam (kontrol). Hal ini menunjukkan bahwa penyimpanan dalam kemasan Modified Atmosphere

Packaging (MAP)dapat memperpanjang masa simpan bakso ikan lebih dari 50 %. Pada akhir penyimpanan (48 jam), nilai kualitas terbaik dan masih sesuai dengan ambang batas penerimaan terdapat pada bakso ikan yang dikemas dalam kemasan 80% CO2+20% N2. Hal ini dapat disimpulkan dari nilai organoleptiknya

masih berada diatas nilai 5 (ambang batas penerimaan), sedangkan nilai organoleptik perlakuan lainnya telah berada di bawah nilai 5. Hasil analisis nilai TVB, nilai TBA, nilai log bakteri aerob dan anaerob menunjukkan nilai yang lebih rendah serta penampakan visual (lendir) yang sangat sedikit dibandingkan dengan perlakuan lainnya sehingga bakso ikan masih layak untuk dikonsumsi.

(3)

PADA SUHU RUANG

 

 

 

 

Oleh

JUNIDE MASTUTY HUTAPEA C34050012

 

 

 

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

 

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(4)

NRP : C34050012

Menyetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr.Ir. Bustami Ibrahim, MSc) (Ir. Dadi R. Sukarsa)

NIP: 19611101 198703 1 002 NIP: 19460831 197402 1 001

Mengetahui: Ketua Departemen

(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil.) NIP: 19580511 198503 1 002

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Penyimpanan

Bakso Ikan Nila Merah dalam Kemasan Atmosfir Termodifikasi pada Suhu Ruang” adalah karya saya sendiri dibawah bimbingan Dr. Ir. Bustami Ibrahim,

MSc dan Ir. Dadi R. Sukarsa dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada pihak manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2010 Junide Mastuty Hutapea C34050012                  

(6)

Penulis dilahirkan pada tanggal 16 Juni 1987 di Tebing Tinggi, Sumatera Utara dari pasangan Bapak Jamangantar Hutapea dan Ibu Mastur Sirait. Penulis adalah anak kedua dari lima bersaudara. Pendidikan formal, dimulai tahun 1992 di TK Kutilang 1 Tebing Tinggi dan lulus pada tahun 1993. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan sekolah dasar di SDN No. 067267 Medan dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTPN 45 Medan dan lulus tahun 2002. Pendidikan menengah atas dilakukan pada tahun 2002 di SMAN 4 Medan dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB dan masuk dalam Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama masa studi penulis aktif dalam organisasi Himasilkan dan UKM PMK IPB serta dalam berbagai kepanitiaan. Penulis juga aktif menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah yaitu, mata kuliah Agama Kristen tahun ajaran 2006/2007 dan 2008/2009, mata kulaih Avertebrata Air tahun ajaran 2007/2008 dan 2008/2009, serta mata kuliah Teknologi Pengolahan Hasil Perairan tahun ajaran 2008/2009. Penulis melaksanakan praktek lapang selama satu bulan di PT Central Windu Sejati, Medan, Sumatera Utara dengan judul “Penerapan HACCP Produk Udang Beku Tempura Box Style di PT Central Windu Sejati”.

Sebagai syarat menjadi sarjana perikanan penulis melakukan penelitian dengan judul “Penyimpanan Bakso Ikan Nila Merah dalam Kemasan

(7)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan berkat-Nya sehingga laporan hasil penelitian ini dapat diselesaikan. Penulisan laporan ini dimaksudkan untuk memberikan hasil kegiatan penelitian sebagai tugas akhir untuk memperoleh kelulusan di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan November sampai Desember 2009 yang berjudul “Penyimpanan Bakso Ikan Nila Merah dalam Kemasan Atmosfir

Termodifikasi pada Suhu Ruang”.

Pada kesempatan ini, penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan laporan hasil penelitian diantaranya adalah: 1. Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim, MSc dan Ir. Dadi R. Sukarsa selaku dosen

pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran dalam penelitian dan proses penyusunan laporan hasil penelitian ini.

2. Ibu Ir. Anna C. Erungan selaku dosen penguji ysng telsh memberi nasihat dan saran dalam perbaikan laporan hasil penelitian ini.

3. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, M.S, M.Phil selaku ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb selaku komisi pendidikan Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

4. Bapak dan Ibu staf dosen pengajar di Departemen Teknologi Hasil Perairan, terimakasih banyak atas ilmu yang telah diberikan selama ini.

5. Ibu dan Bapak tercinta, kakak (Junika), adik-adikku (Nina, Apram, Mela) dan Opung, terimakasih telah memberikan doa, perhatian, kasih sayang, semangat, dan dukungan moral maupun material kepada penulis.

6. Ibu Ema, mas Zaky, mas Saipul, bu Ida, mbak Kiki dan mbak Lala selaku laboran yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.

7. Ibu Etang, pak Tatang, bang Mail, pak Ade, Umi’, dan seluruh staf departemen Teknologi Hasil Perairan yang telah banyak membantu.

(8)

satu persatu. Terimakasih telah memberikan bantuan, semangat, dukungan, rasa kebersamaan dan pertemanan kepada penulis.

9. Teman-teman terkasih di KPP UKM PMK IPB, terima kasih atas doa, kebersamaan dan dukungan semangatnya.

10. Sahat Maruli Simatupang dan Suwarno Wibiesono, terima kasih atas bantuan, dukungan semangat, kritik dan saran kepada penulis.

11. Dapot Tua Harianja terima kasih doa, perhatian, kasih sayang dan semangat kepada penulis.

12. Kelompok Kecilku di IPB (Kak Sonti, Chacha, Diana, Lisa, Dimas, Januar, Hermanto, Marco dan Tara) terima kasih atas dukungan semangat dan doa kepada penulis.

13. Uuk, Nanda, Holand, Wati, terima kasih atas bantuan dan dukungan semangatnya kepada penulis.

14. Semua kakak dan adik kelas THP 41, 43 dan 44 serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis melalui dukungan dan semangat yang telah diberikan.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan hasil penelitian ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala keterbukaan kritik dan saran sangat diharapkan guna perbaikan. Akhir kata semoga laporan hasil penelitian ini bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Bogor, Mei 2010

(9)

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix DAFTAR TABEL ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan ... 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakso Ikan ... 4 2.2 Pengemasan Produk ... 5 2.2.1 Pengemasan vakum ... 6

2.2.2 Pengemasan atmosfir termodifikasi ... 6

2.3 Gas dalam Modified Atmosphere Packaging (MAP) ... 8

2.3.1 Karbondioksida (CO2) ... 8

2.3.2 Nitrogen (N2) ... 8

2.3.3 Oksigen (O2) ... 9

2.4 Bahan Kemasan ... 9

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat ... 12

3.2 Alat dan Bahan ... 12

3.3 Metode Penelitian ... 13 3.4 Prosedur Analisis ... 14 3.4.1 Uji organoleptik ... 14 3.4.2 Analisis kimia... 15 3.4.2.1 Uji nilai pH ... 15 3.4.2.2 Analisis TVB ... 15 3.4.2.1 Analisis TBA ... 16

3.4.2.1 Analisis kadar proksimat ... 17

(a). Analisis kadar air ... 17

(b). Analisis kadar abu ... 17

(c). Analisis kadar protein ... 18

(d). Analisis kadar lemak ... 19

(e). Analisis kadar karbohidrat (by difference) ... 19

3.4.3 Analisis mikrobiologi ... 20

3.4.3.1 Analisis Total Plate Count (TPC) bakteri aerob ... 20

3.4.3.2 Analisis Total Plate Count (TPC) bakteri anaerob ... 20

3.5 Rancangan Percobaan ... 21

(10)

viii

4.1.1 Penampakan ... 24

4.1.2 Bau ... 25

4.1.3 Rasa ... 27

4.1.4 Tekstur ... 29

4.1.5 Pengamatan visual (lendir) ... 30

4.2 Karakteristik Kimia Bakso Ikan Nila Merah... ... 32

4.2.1 pH (derajat keasaman) ... 32

4.2.2 Total Volatile Bases (TVB) ... 34

4.2.3 Thio Barbituric Acid (TBA) ... 36

4.2.4 Kadar proksimat ... 38

4.3 Karakteristik Mikrobiologi Bakso Ikan Nila Merah ... 39

4.3.1 Total Plate Count (TPC) bakteri aerob ... 39

4.3.2 TotalPlate Count (TPC) bakteri anaerob ... 41

4.4 Hubungan Antar Parameter Kualitas Bakso Ikan yang Dikemas dalam Komposisi Gas 80% CO2 dan 20% N2 ... 43

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan . ... 46

5.2 Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(11)

ix

Nomor Halaman 1. Bakso ikan ... 4 2. Diagram alir proses pengemasan bakso ikan nila merah dengan

perlakuan komposisi gas yang berbeda pada penyimpanan suhu ruang ... 14 3. Hasil penilaian penampakan bakso ikan nila merah dalam kemasan

dengan komposisi gas yang berbeda selama penyimpanan ... 24 4. Hasil penilaian parameter bau bakso ikan nila merah dalam kemasan

dengan komposisi gas yang berbeda selama penyimpanan ... 26 5. Hasil penilaian parameter rasa bakso ikan nila merah dalam kemasan

dengan komposisi gas yang berbeda selama penyimpanan ... 28 6. Hasil penilaian parameter tekstur bakso ikan nila merah dalam

kemasan dengan komposisi gas yang berbeda selama penyimpanan ... 29 7. Nilai pH bakso ikan nila merah dalam kemasan dengan komposisi

gas yang berbeda selama penyimpanan ... 33 8. Nilai TVB bakso ikan nila merah dalam kemasan dengan komposisi

gas yang berbeda selama penyimpanan ... 34 9. Nilai TBA bakso ikan nila merah dalam kemasan dengan komposisi

gas yang berbeda selama penyimpanan ... 36 10. Nilai kadar proksimat bakso ikan nila merah awal dan akhir

penyimpanan ... 38 11. Nilai log pertumbuhan bakteri aerob bakso ikan nila merah dalam

kemasan dengan komposisi gas yang berbeda selama penyimpanan ... 40 12. Nilai log pertumbuhan bakteri anaerob bakso ikan nila merah dalam

kemasan dengan komposisi gas yang berbeda selama penyimpanan ... 42 13. Hubungan antar parameter kualitas bakso ikan nila merah yang

(12)

x

Nomor Halaman

1. Syarat mutu bakso ikan ... 5

2. Kelebihan dan kekurangan Modified Atmosphere Packaging ... 7

3. Permeabilitas plastik film kemasan ... 10

4. Perlakuan komposisi gas atmosfir pada bakso ikan nila merah ... 13

5. Hasil pengamatan visual bakso ikan nila merah dengan komosisi gas yang berbeda pada penyimpanan suhu ruang ... 31

(13)

xi

Nomor Halaman 1. Data nilai organoleptik terhadap penampakan produk bakso ikan

nila merah selama penyimpanan ... 52

2. Data nilai organoleptik terhadap bau produk bakso ikan nila merah selama penyimpanan ... 53

3. Data nilai organoleptik terhadap rasa produk bakso ikan nila merah selama penyimpanan ... 54

4. Data nilai organoleptik terhadap tekstur produk bakso ikan nila merah selama penyimpanan ... 55

5. Data nilai pH bakso ikan nila merah selama penyimpanan ... 56

6. Data nilai TBA bakso ikan nila merah selama penyimpanan ... 57

7. Data nilai TVB bakso ikan nila merah selama penyimpanan ... 58

8. Data nilai TPCdan log bakteri aerob bakso ikan nila merah selama penyimpanan ... 59

9. Data nilai TPCdan log bakteri anaerob bakso ikan nila merah selama penyimpanan ... 60

10. Data nilai kadar proksimat bakso ikan nila merah sebelum dan sesudah dikemas ... 61

11. Hasil Kruskal-Wallis penampakan bakso ikan nila merah dalam komposisi gas yang berbeda ... 61

12. Hasil Kruskal-Wallis penampakan bakso ikan nila merah dalam lama penyimpanan yang berbeda ... 61

13. Hasil Multiple Comparison penampakan bakso ikan nila merah dalam lama penyimpanan yang berbeda ... 61

14. Hasil Kruskal-Wallis bau bakso ikan nila merah dalam komposisi gas yang berbeda ... 62

15. Hasil Kruskal-Wallis bau bakso ikan nila merah dalam lama penyimpanan yang berbeda ... 62

16. Hasil Multiple Comparison bau bakso ikan nila merah dalam komposisi gas yang berbeda ... 62

(14)

xii

18. Hasil Kruskal-Wallis rasa bakso ikan nila merah dalam komposisi

gas yang berbeda ... 63 19. Hasil Kruskal-Wallis rasa bakso ikan nila merah dalam lama

penyimpanan yang berbeda ... 63 20. Hasil Multiple Comparison rasa bakso ikan nila merah dalam

komposisi gas yang berbeda ... 63 21. Hasil Multiple Comparison rasa bakso ikan nila merah dalam lama

penyimpanan yang berbeda ... 63 22. Hasil Kruskal-Wallis tekstur bakso ikan nila merah dalam komposisi

gas yang berbeda ... 64 23. Hasil Kruskal-Wallis tekstur bakso ikan nila merah dalam lama

penyimpanan yang berbeda ... 64 24. Hasil Multiple Comparison tekstur bakso ikan nila merah dalam

lama penyimpanan yang berbeda ... 64 25. Hasil analisis ragam nilai pH bakso ikan nila merah yang dikemas

dalam komposisi gas yang berbeda selama penyimpanan ... 64 26. Hasil analisis ragam nilai TVB bakso ikan nila merah yang dikemas

dalam komposisi gas yang berbeda selama penyimpanan ... 65 27. Hasil analisis ragam nilai TBA bakso ikan nila merah yang dikemas

dalam komposisi gas yang berbeda selama penyimpanan ... 65 28. Hasil uji lanjut Duncan nilai TBA bakso ikan nila merah yang

dikemas dalam komposisi gas yang berbeda ... 65 29. Hasil uji lanjut Duncan nilai TBA bakso ikan nila merah yang

dikemas dalam lama penyimpanan yang berbeda ... 66 30. Hasil analisis ragam nilai log bakteri aerob bakso ikan nila merah

yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama penyimpanan ... 66 31. Hasil analisis ragam nilai log bakteri anaerob bakso ikan nila merah

yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama penyimpanan ... 66 32. Hasil uji lanjut Duncan nilai log bakteri anaerob bakso ikan nila

(15)

xiii

34. Hasil uji lanjut Duncan nilai pH bakso ikan nila merah terhadap

interaksi antara komposisi gas dan lama penyimpanan ... 68 35. Hasil uji lanjut Duncan nilai log bakteri aerob bakso ikan nila merah

terhadap interaksi antara komposisi gas dan lama penyimpanan ... 69 36. Hasil uji lanjut Duncan nilai TVB bakso ikan nila merah terhadap

interaksi antara komposisi gas dan lama penyimpanan ... 70 37. Lembar penilaian sensori bakso ikan nila merah ... 71

(16)

1.1 Latar belakang

Ikan merupakan bahan pangan yang baik karena memiliki protein yang cukup tinggi. Daging ikan mengandung protein 16 %-20 %, lemak 2 %-22 %, karbohidrat 0,5 %-1,5 %, abu 2,5 %-4,5 %, vitamin A 50.000 IU/g, vitamin D 20-200.000 IU/g, kolesterol 70 mg/g, air 56,79 %, asam amino esensial 10 %, asam amino non esensial 10 % (Hernowo 2001). Konsumsi ikan tidak hanya terbatas pada ikan segar, tetapi juga produk-produk olahannya. Salah satu produk olahan ikan yang sudah dikenal dan disukai oleh masyarakat adalah bakso ikan.

Bakso ikan dapat didefinisikan sebagai produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ikan (kadar daging ikan tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diijinkan (BSN 1995). Produksi bakso di masyarakat tampak sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari jumlah produksi bakso ikan di Pelabuhan Ratu yang mengalami peningkatan yaitu menjadi 300-400 kg/hari pada tahun 2009 (Fadly 2010).

Bakso ikan, sebagaimana produk olahan ikan lainnya, merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan (highly perishable). Umumnya bakso ikan memiliki masa simpan maksimal satu hari (12-24 jam) pada suhu kamar. Hasil penelitian Risakotta (1986), menyatakan bahwa masa simpan bakso ikan pada suhu ruang hanya 12 jam. Sedangkan hasil penelitian Wulandari (2009), menyatakan bahwa bakso yang dikemas dalam plastik dan disimpan di suhu ruang menunjukkan kerusakan seperti timbulnya lendir dan bau busuk pada masa simpan 18 jam. Hal ini menjadi suatu permasalahan bagi industri bakso menengah yang umumnya memiliki target masa simpan bakso lebih dari 1 hari sehingga terkadang produsen menambahkan bahan pengawet.

Kerusakan bakso ikan yang terjadi selama penyimpanan dapat diakibatkan oleh kadar air dan aktivitas air yang tinggi (

a

w > 9,0) serta adanya kontak dengan

oksigen yang merupakan sumber energi bagi aktivitas-aktivitas reaksi biologis maupun kimiawi. Weber dan Laux (1992) dalam Baygar et al. (2008) menyatakan

(17)

bahwa selama penyimpanan, makanan mengalami perubahan seperti oksidasi dan pengaruh mikrobiologis karena adanya kontak dengan oksigen, tetapi jika makanan tidak kontak dengan oksigen selama penyimpanan, maka kualitas makanan dapat terjaga lebih lama. Oleh karena itu diperlukan kemasan yang diubah atmosfirnya selama penyimpanan.

Biasanya bakso ikan dikemas secara vakum untuk memperpanjang masa simpan bakso. Pengemasan vakum adalah pengemasan yang memindahkan semua udara dalam kemasan tanpa menggantinya dengan gas lain (Syarief et al.1989). Akan tetapi, bakteri aerobik maupun anaerobik masih dapat berkembang dikarenakan masih adanya sisa udara di dalam kemasan vakum tersebut (Dodds 1995). Hasil penelitian Sari (2005) menyatakan bahwa bakso yang dikemas secara vakum dan disimpan pada suhu ruang hanya memiliki masa simpan 1 hari saja. Hal ini menunjukkan bahwa kemasan vakum belum efektif memperpanjang masa simpan bakso pada penyimpanan suhu ruang. Oleh karena itu, diperlukan suatu alternatif teknologi pengemasan yang dapat memperpanjang masa simpan bakso. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan sistem pengemasan atmosfer termodifikasi (modified atmosphere packaging).

Pengemasan secara Modified Atmosphere Packaging (MAP) adalah suatu teknologi pengemasan yang memperpanjang umur simpan produk dengan menggantikan udara atau atmosfir yang ada di dalam kemasan dengan campuran gas yang relatif lebih murni atau steril dan terhitung rasio kandungannya (Sivertsvik et al. 2002). Pengemasan dengan metode ini menggunakan plastik flim yang memiliki permeabilitas tertentu terhadap laju permeabilitas oksigen, karbon dioksida, nitrogen dan uap air. Udara dalam kemasan dikeluarkan dan diganti dengan komposisi tertentu dari karbon dioksida dan oksigen tergantung komoditi yang akan disimpan (Fellow 1990).

Pengemasan atmosfer termodifikasi dengan kandungan gas karbondioksida dalam kemasannya dapat memperpanjang umur simpan dari produk dengan memperpanjang lag phase dari bakteri aerobik pembusuk (Statham 1984; Farber 1991 dalam Reddy et al. 1994). Dalam Reddy et al. (1994), pengemasan fillet ikan tilapia segar secara Modified Atmosphere Packaging (MAP) memperpanjang masa simpan dari 9 hari menjadi 30 hari. Sedangkan hasil

(18)

penelitian Fagar et al. (2006) menyatakan bahwa penerapan pengemasan Modified

Atmosphere Packaging (MAP) pada produk seafood memperpanjang masa

simpan produk dari 3-5 hari menjadi 5-8 hari. Hal ini menunjukkan bahwa

Modified Atmosphere Packaging (MAP) dapat memperpanjang masa simpan 50%

lebih lama.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mempelajari pengaruh pengemasan dengan system Modified

Atmosphere Packaging (MAP) terhadap bakso ikan nila merah untuk

memperpanjang masa simpan bakso ikan nila merah pada penyimpanan suhu ruang (30 0C ± 5 0C).

2. Memperoleh komposisi gas yang terbaik agar masa simpan bakso ikan nila merah pada penyimpanan suhu ruang (30 0C ± 5 0C) menjadi lebih lama dari masa simpan bakso kontrol (12-24 jam).

(19)

2.1 Bakso Ikan

Bakso ikan dapat didefinisikan sebagai produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ikan (kadar daging ikan tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diijinkan (BSN 1995). Bakso merupakan produk emulsi daging yang di dalamnya terdapat lemak dan air yang berfungsi sebagai fase diskontinyu dan fase kontinyu. Komponen daging yang berperan dalam produk bakso adalah protein yang bersifat larut garam, terutama aktin dan miosin (Kramlich et al. 1971).

Daging yang baik untuk membuat bakso adalah daging yang segar yang belum mengalami rigor mortis karena daya ikat air pada ikan segar lebih tinggi dibandingkan daging rigor mortis maupun pasca rigor (Pearson dan Tauber 1984). Bahan yang diperlukan untuk membuat bakso ikan yaitu bahan utama (daging ikan), dan bahan tambahan (bahan pengisi, es atau air es, dan bumbu-bumbu. Produk bakso ikan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bakso ikan

Sumber: Dokumentasi Junide (2009)

Kualitas mutu produk merupakan faktor pada komoditas yang menentukan tingkat penerimaan produk tersebut kepada konsumen. Salah satu syarat mutu bakso ikan adalah berbentuk halus, berukuran seragam, bersih dan cemerlang, tidak kusam dan warnanya putih merata tanpa warna asing lain sehingga dalam

(20)

pembuatan bakso ikan lebih banyak digunakan ikan-ikan berdaging putih, antara lain ikan kerapu, tenggiri, kakap dan layur. Daging ikan-ikan tersebut selain berwarna putih juga mengandung protein (aktin dan miosin) yang cukup tinggi sehingga tekstur bakso yang dihasilkan akan bagus (Wibowo 2006). Secara umum bakso sendiri terdiri dari air, protein, lemak, abu dan karbohidrat. Syarat mutu bakso ikan menurut SNI 01-3819-1995 (BSN 1995) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Syarat mutu bakso ikan.

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan:

1.1. Bau - Normal, khas ikan

1.2. Rasa - Gurih 1.3. Warna - Normal 1.4 Tekstur - Kenyal 2. Air % b/b Maks 80,0 3. Abu % b/b Maks 3,0 4. Protein % b/b Min 9,0 5. Lemak - Maks 1,0

6. Boraks - Tidak boleh ada

7. Bahan Tambahan Makanan Sesuai dengan SNI 01-0222-1995

8. Cemaran logam:

8.1. Timbal (Pb) mg/kg Maks 2,0

8.2. Tembaga (Cu) mg/kg Maks 20,0

8.3. Seng (Zn) mg/kg Maks 100,0

8.4. Timah (Sn) mg/kg Maks 40,0

8.5. Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,5

9. Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks 1,0

10. Cemaran mikroba:

10.1. Angka lempeng total Koloni/g Maks 1x107

10.2. Bakteri berbentuk koli APM/g Maks 4x102

10.3. Salmonella - Negatif

10.4. Staphylacoccus aureus Koloni/g Maks 5x102

10.5. Vibrio cholera - Negatif

Sumber: BSN (1995)

2.2 Pengemasan Produk

Pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan atau pengepakan. Pengemasan memegang peranan penting untuk produk pangan. Adanya wadah atau pembungkus dapat mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada di dalamnya, melindungi dari bahaya pencemaran dan gangguan fisik (gesekan, benturan, getaran). Pengemasan juga berfungsi untuk menempatkan suatu hasil pengolahan atau produk industri agar mempunyai bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan, dan distribusi.

(21)

Apabila dilihat dari segi bentuk kemasannya dapat juga digunakan sebagai alat promosi dan media informasi (Syarief dan Halid 1993).

Pengemasan, dalam perkembangannya tidak hanya sebagai wadah produk saja, tetapi dapat juga memperpanjang masa simpan produk dengan menggunakan teknologi pengemasan yang baik. Teknologi pengemasan ini digunakan untuk memperlambat kemunduran mutu produk sehingga masa simpan produk menjadi lebih lama. Teknologi pengemasan yang baik dapat melindungi dan mengawetkan produk, seperti melindungi dari sinar ultraviolet, panas,  kelembaban udara, oksigen, benturan, kontaminasi dari kotoran dan mikroba yang dapat merusak dan menurunkan mutu produk (Syarief et al.1989). Beberapa contoh dari teknologi pengemasan yang sering digunakan adalah pengemasan vakum dan pengemasan atmosfir termodifikasi.

2.2.1 Pengemasan vakum

Pengemasan vakum merupakan sistem pengemasan dengan gas hampa dengan mengeluarkan oksigen dari kemasan. Pengemasan vakum adalah pengemasan yang memindahkan semua udara dalam kemasan tanpa menggantinya dengan gas lain (Syarief et al.1989). Pengemasan vakum dibuat dengan memasukkan produk ke dalam plastik, diikuti dengan pemompaan udara keluar kemudian ditutup dan setelah itu direkatkan dengan panas (Jay 1996). Plastik yang digunakan adalah plastik yang permeabilitas oksigennya rendah dan tahan terhadap bahan yang dikemas (Sacharow dan Griffin 1980).

Pengemasan secara vakum dilakukan untuk mencegah terjadinya oksidasi yang dapat mendukung aktivitas mikroorganisme khususnya mikroorganisme aerobik, sehingga pengemasan vakum mempunyai umur simpan yang lebih baik dibandingkan pengemasan non vakum (Sacharow dan Griffin 1980). Kandungan udara yang rendah dalam kemasan vakum terbukti mampu menghambat pertumbuhan mikroba.

2.2.2 Pengemasan atmosfir termodifikasi

Pengemasan atmosfer termodifikasi atau Modified Atmosphere Packaging (MAP) adalah perubahan atmosfer dalam kemasan yang berbeda dari komposisi udara yang dihirup oleh manusia. Prinsip dari MAP adalah menggantikan udara

(22)

dalam kemasan dengan komposisi gas yang diatur sesuai kebutuhan. Ketika komposisi gas dimasukkan dalam kemasan, tidak ada kontrol selanjutnya terhadap komposisi gas yang telah digunakan sehingga perubahan komposisi gas tidak dapat dicegah. Hal ini membedakan MAP dengan controlled atmosphere storage (CAS) dimana komposisi udara dikontrol atau dikendalikan setiap saat dalam penyimpanan (Sivertsvik et al. 2002).

Pengemasan secara MAP menawarkan banyak keuntungan, termasuk: (1) kemampuan untuk mengakses ke pasaran baru, (2) memperpanjang usia penyimpanan,(3) mengurangi bahan sisa, (4) meningkatkan kualitas penampilan dan wujud,(5) meningkatkan produktivitas, dan (6) mengurangi kebutuhan akan bahan-bahan pengawet buatan (Freshline 2008). Kelebihan MAP yang paling menonjol adalah mempunyai umur simpan yang lebih lama. Pada Tabel 2 disajikan beberapa kelebihan dan kekurangan MAP.

Tabel 2 Kelebihan dan kekurangan Modified Atmosphere Packaging (MAP).

Kelebihan Kekurangan

1) Memperpanjang umur simpan sampai sekitar 50-400% 2) Mengurangi kerugian ekonomi

karena umur simpan yang lebih panjang

3) Mengurangi biaya distribusi, jarak distribusi yang lebih jauh

4) Menghasilkan produk dengan kualitas tinggi

5) Pemisahan yang lebih mudah pada produk yang diiris

6) Bagian-bagian dapat dikontrol 7) Presentasi produk yang lebih

terimprovisasi-penampakan yang jelas dari produk karena kemasan yang transparan

8) Sedikit atau tidak membutuhkan bahan tambahan pangan kimia 9) Kemasan yang tertutup, penghalang

untuk rekontaminasi produk 10) Tidak berbau dan merupakan

kemasan yang praktis

1) Penambahan biaya

2) Membutuhkan pengontrolan suhu

3) Formulasi gas yang berbeda untuk setiap jenis produk 4) Menggunakan peralatan yang

spesial dan adanya latihan 5) Memerlukan keamanan pangan 6) Memperbesar volume kemasan-mempengaruhi biaya transport dan memperbesar tempat untuk

display

7) Kerugian apabila kemasan telah terbuka atau rusak

8) Penyerapan CO2 ke dalam

makanan dapat menyebabkan kemasan pecah.

(23)

Efektivitas MAP dalam memperpanjang umur simpan tergantung pada beberapa faktor, yaitu jenis makanan, kualitas dari bahan makanan (raw material), komposisi gas, suhu penyimpanan, higiene selama penanganan dan pengemasan, rasio antara volume gas dan produk, permeabilitas dari kemasan. Penyimpanan pada atmosfir temodifikasi biasanya dipadukan dengan penyimpanan suhu rendah. Penyimpanan pada suhu rendah merupakan salah satu cara untuk mempertahankan mutu (Martini 2005). Pada pengemasan atmosfir termodifikasi, gas yang digunakan umumnya adalah gas CO2, N2 dan O2. Setiap jenis gas yang

digunakan memiliki fungsinya masing-masing (Freshline 2008).

2.3 Gas dalam Modified Atmosphere Packaging (MAP)

Ada tiga gas utama yang yang digunakan pada MAP (modified atmosphere

packaging) yaitu oksigen (O2), nitrogen (N2) dan karbondioksida (CO2). Untuk

hampir semua jenis produk, kombinasi dari dua atau tiga jenis gas ini digunakan, dipilih berdasarkan kebutuhan dari spesifik produk (Sivertsvik et al. 2002).

2.3.1 Karbondioksida (CO2)

Karbondioksida (CO2) merupakan gas yang paling penting pada MAP,

karena sifat bakteriostatik dan fungistatiknya. Karbondioksida (CO2) menghambat

pertumbuhan banyak jenis dari bakteri perusak dan tingkat penghambatannya semakin tinggi sejalan dengan konsentrasi Karbondioksida (CO2) yang semakin

besar dalam kemasan (Sivertsvik et al. 2002).

Karbondioksida (CO2) berfungsi mempertahankan oxyomyoglobin (warna

merah) pada daging segar. Karbondioksida (CO2) menghambat aktivitas

mikroorganisme dengan 2 cara yaitu (a) larut dalam air dan minyak yang terkandung dalam makanan kemudian membentuk asam karbonat sehingga menurunkan pH, dan (b) mempunyai pengaruh negatif terhadap enzim dan aktivitas biokimia dalam sel, baik pada mikroorganisme maupun makanan.

2.3.2 Nitrogen (N2)

Nitrogen merupakan gas yang digunakan dalam MAP sebagai gas pengisi karena kelarutannya yang rendah. Nitrogen tidak larut dalam air dan lemak dan tidak terserap dalam produk. Nitrogen digunakan untuk menghilangkan kandungan udara bebas, khususnya gas oksigen (Freshline 2008). Tergantikannya

(24)

gas oksigen (O2) dalam kemasan yang produknya sensitif terhadap oksigen (O2)

dapat menunda ketengikan, sebagai alternatif kemasan vakum dan menghambat pertumbuhan bakteri aerobik (Sivertsvik et al. 2002).

Gas nitrogen (N2) pengaruhnya tidak berarti terhadap pertumbuhan bakteri

dan daya awet makanan dari daging (Fey & Regensterin 1982 dalam Norhayani 2003). Gas ini hanya berfungsi sebagai pengisi udara bagian dalam kemasan untuk mencapai kesetimbangan campuran gas (Cann 1988; Steck 1991 dalam Norhayani 2003).

2.3.3 Oksigen (O2)

Umur simpan dari produk yang mudah rusak seperti daging, telur, ikan, daging unggas, buah-buahan, sayur-sayuran dan makanan yang telah dimasak, dipengaruhi oleh adanya oksigen dan tiga faktor penting, yaitu : 1) reaksi dengan oksigen, 2) pertumbuhan mikroorganisme aerobik perusak, 3) serangan serangga. Setiap faktor atau kombinasi dari faktor mengarah pada penurunan mutu produk yang dilihat dari warna, rasa dan aroma (Smith et al. 1987 dalam Soccol 2003). Oksigen (O2) diperkenankan dalam pengemasan atmosfer dari beberapa

jenis produk untuk mengurangi resiko pertumbuhan bakteri patogen, tetapi saat ini proses ini telah diragukan (ACMSF 1992 dalam Sivertsvik et al. 2002). Seperti yang sudah diketahui bahwa pertumbuhan Clostridium botulinum pada makanan tidak tergantung pada total kandungan oksigen atau oksigen (O2) yang

dimasukkan sebagai bagian dari komposisi gas, maka pertumbuhan C. botulinum dapat dicegah.

Pada MAP, gas oksigen (O2) yang digunakan bermanfaat untuk menjaga

kesegaran dan warna alami (pada produk daging). Selain itu, untuk mempertahankan kemampuan respirasi (pada buah-buahan dan sayur-sayuran), juga mencegah pertumbuhan bakteri organik anaerobik (khususnya untuk produk ikan-ikanan dan beberapa sayur-sayuran) (Freshline 2008).

2.4 Bahan Kemasan

Bahan kemasan terdiri atas empat jenis yaitu: plastik, kertas (kayu dan turunannya), gelas dan logam. Penggunaan jenis kemasan tentunya disesuaikan dengan sifat-sifat alami dari bahan yang dikemas. Setiap jenis bahan pengemas

(25)

akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap produk yang dikemas. Secara umum kemasan yang digunakan dalam pengemasan atmosfir termodifikasi adalah plastik. Plastik yang digunakan memiliki enam karakteristik yang dapat dipertimbangkan untuk penyimpanan dengan atmosfir termodifikasi, yaitu:

a. Tahan terhadap kebocoran

b. Kemampuan untuk dilakukan penyegelan c. Memiliki sifat tidak berkabut (antifogging) d. Permeabilitas terhadap CO2

e. Permeabilitas terhadap O2

f. Dapat mentransmisikan uap air

Umumnya kemasan plastik terbuat dari empat polimer dasar yaitu

polyvinyl chloride (PVC), polyethylene terepthalate (PET), polypropylene (PP),

dan polyethylene (PE). Penyimpanan dengan atmosfer termodifikasi digunakan plastik flim dengan nilai permeabilitas yang berbeda-beda terhadap laju perembesan gas dan uap air (Tabel 3).

Tabel 3 Permeabilitas plastik film kemasan. Jenis plastik

film

Permeabilitas plastik terhadap gas a

CO2 H2 N2 O2

LDPE 2700 1950 180 500

MDPE 1000-2500 1950 85-315 250-535

HDPE 580 - 42 185

PP 500-800 1700 40-48 150-240

Sumber: Smoluk dan Sneiler (1985)

a. Hasil tes berdasarkan ASTM D-1434: cc-mil/100 sq.in-24hr-atm.at 25 0C

Nilai permeabiltas menunjukkan daya tembus suatu gas pada plastik. Semakin besar nilainya berarti semakin besar pula daya tembus gas tersebut terhadap plastik. Daya tembus gas yang besar pada suatu plastik menunjukkan bahwa plastik tersebut bukanlah barrier yang baik terhadap gas yang dimaksud. Daya tembus gas dan uap air berbanding terbalik dengan densitas plastik. Semakin besar densitas plastik, maka daya tembus gas dan uap air terhadap plastik tersebut semakin kecil (Buckle et al 1987).

Berdasarkan Tabel 3, kemasan yang mempunyai permeabilitas paling rendah terhadap CO2 adalah Polypropilene (PP), sehingga kemasan ini paling baik

(26)

barrier yang baik terhadap perembesan CO2 keluar dari kemasan. Polipropilen

adalah polimer dari propilen dan termasuk jenis plastik olefin dengan rumus : (CH2-CH(CH3))n. Sifat-sifat dan penggunaannya sangat mirip dengan polietilen

(Julianti dan Nurminah 2006), yaitu:

a. Ringan (densitas 0.9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk film, tapi tidak transparan dalam bentuk kemasan kaku.

b. Lebih kuat dari PE. Pada suhu rendah akan rapuh, dalam bentuk murninya mudah pecah pada suhu -30 oC sehingga perlu ditambahkan PE atau bahan lain untuk memperbaiki ketahanan terhadap benturan. Tidak dapat digunakan untuk kemasan beku.

c. Lebih kaku dari PE dan tidak mudah sobek sehingga mudah dalam penanganan dan distribusi.

d. Daya tembus (permeabilitasnya) terhadap uap air rendah, permeabilitas terhadap gas sedang, dan tidak baik untuk bahan pangan yang mudah rusak oleh oksigen.

e. Tahan terhadap suhu tinggi sampai dengan 150 oC, sehingga dapat dipakai untuk mensterilkan bahan pangan.

f. Mempunyai titik lebur yang tinggi, sehingga sulit untuk dibentuk menjadi kantung dengan sifat kelim panas yang baik.

g. Polipropilen juga tahan lemak, asam kuat dan basa, sehingga baik untuk kemasan minyak dan sari buah. Pada suhu kamar tidak terpengaruh oleh pelarut kecuali oleh HCl.

(27)

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November hingga Desember 2009 di Laboratorium Teknologi Penanganan dan Pengolahan Hasil Pertanian, Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Laboratorium Industri, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan nila merah antara lain meja preparasi, pisau, panci, timbangan digital, kompor, food processor,

grinder, penggorengan, pan dan sendok. Alat-alat yang digunakan untuk analisis

adalah timbangan analitik, cawan porselen, oven, desikator, tanur, tabung reaksi, gelas erlenmeyer, tabung Kjeldahl, labu lemak, labu pemisah, pemanas, destikator, spektrofotometer, buret, pipet volumetrik, bulb, pipet tetes, cawan petri, cawan Conway, bunsen, beaker glass dan peralatan gelas lainnya serta peralatan uji organoleptik. Peralatan untuk pengemasan yang digunakan adalah mesin pengemasan vakum, Continuous Gas Analyzer (mengukur komposisi gas CO2 dan N2), dan Flowmeter (mengukur debit CO2 dan N2).

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan nila merah adalah daging ikan nila merah, tepung tapioka, garam, gula, bawang merah, bawang putih, lada. karagenan, dan air es. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis proksimat meliputi akuades, HCl, NaOH, campuran selen, H2SO4 dan

pelarut heksana, analisis TPC meliputi larutan garam 0,85 % steril, nutrient agar, analisis TVB meliputi H3BO3, K2CO3, trichloroacetic acid (TCA) 7 %, HCl 0,01

N serta analisis TBA yang meliputi pereaksi TBA (Tiobarbithuric acid). Bahan yang digunakan dalam pengemasan adalah yaitu flim kemasan plastik polipropilen (PP), dan gas yang digunakan adalah gas CO2 dan N2.

(28)

3.3 Metode Penelitian

Bakso ikannila merah yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Industri Teknologi Hasil Perairan. Bakso ikan nila merah dikemas dalam kemasan atmosfir termodifikasi dengan komposisi gas yang berbeda-beda dan disimpan pada suhu ruang. Komposisi gas yang digunakan mengacu pada Smoluk dan Sneiler (1985) yang menganjurkan komposisi gas minimal untuk produk olahan perikanan adalah 30% CO2 dan 70% N2. Kemudian pada penelitian

ini dilakukan pengujian pada konsentrasi gas CO2 rendah, sedang dan tinggi.

Perlakuan komposisi gas atmosfir yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perlakuan komposisi gas atmosfir pada bakso ikan

Produk Perlakuan (komposisi gas) Kontrol

Bakso ikan P1 (Vakum) P2 (30% CO2 +70% N2) P3 (50% CO2 +50% N2) P4 (80%CO2 +20% N2) Udara biasa

Bakso ikan dikemas dengan kemasan plastik polipropilen (PP) dengan ketebalan 0,8 mm. Selanjutnya bakso ikan dikemas secara vakum atau dimasukkan komposisi gas yang telah ditentukan dan selanjutkan di sealing. Setelah itu disimpan pada suhu ruang dan selanjutnya dilakukan pengamatan secara organoleptik serta pengujian. Pengamatan dilakukan pada jam ke-0, jam ke-12, jam ke-24, jam-36 dan jam ke-48. Diagram alir proses pengemasan bakso ikan dapat dilihat pada Gambar 2.

Bakso ikan

Pemasukan komposisi gas CO2 dan N2

Penyimpanan (suhu ruang ) Pengemasan dalam plastik (PP)

sealing

P1 : vakum

P2 : 30% CO2 + 70% N2 P3 : 50% CO2 + 50% N2 P4: 80% CO2 + 20% N2

(29)

Pengamatan dan analisis (jam ke-0, 12,24, 36 dan 48)

Gambar 2. Diagram alir proses pengemasan bakso ikan nila merah dengan perlakuan komposisi gas yang berbeda pada penyimpanan suhu ruang.

3.4 Prosedur Analisis

Sampel bakso ikan setelah dikemas akan dianalisis dengan uji organoleptik, analisis kimia yang meliputi uji nilai pH, analisis TVB, analisis TBA dan analisis proksimat, dan analisis mikrobiologi dengan metode Total Plate

Count (TPC).

3.4.1 Uji organoleptik (Rahayu 1998)

Uji organoleptik dengan menggunakan metode scoring atau skor mutu berfungsi untuk menilai suatu sifat organoleptik yang spesifik. Pada uji ini diberikan penilaian terhadap mutu sensorik dalam suatu jenjang mutu. Tujuan uji ini adalah pemberian suatu nilai atau skor tertentu terhadap karakteristik mutu yang meliputi penilaian terhadap penampakan, bau/aroma, rasa, dan tekstur bakso ikan. Skala angka dan spesifikasi dari setiap karakteristik mutu produk sudah dicantumkan dalam score sheet organoleptik. Lembar penilaian (score sheet) bakso ikan yang digunakan berasal dari BSN 2006 dan dapat dilihat pada Lampiran 27.

Metode analisis dengan uji organoleptik menggunakan skala angka 1 (satu) sebagai nilai terendah dan angka 9 (sembilan) untuk nilai tertinggi. Batas penolakan untuk produk ini adalah 5 (lima) artinya bila produk perikanan yang diuji memperoleh nilai yang sama atau lebih kecil dari lima maka produk tersebut dinyatakan tidak lulus standard dan tidak bisa memperoleh Sertifikat Mutu Ekspor. Skala angka ini ditujukan dengan spesifikasi masing-masing produk yang dapat memberikan pengertian pada panelis. Panelis pada uji organoleptik ini berjumlah 10 orang terlatih dan tidak berganti-ganti selama uji organoleptik

(30)

dilaksanankan. Panelis terlebih dahulu dilatih sebelum uji organoleptik dilaksanakan untuk mengetahui mutu bakso ikan yang terbaik.

3.4.2 Analisis kimia

Analisis yang dilakukan pada penelitian adalah uji terhadap nilai pH, analisis TVB, analisis TBA (Tiobarbithuric acid), dan analisis proksimat bakso ikan.

3.4.2.1 Uji nilai pH (Apriyantono et al. 1989)

Analisis derajat keasaman (pH) ditentukan dengan menggunakan alat pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi terlebih dahulu. Alat pH meter dinyalakan dan dibiarkan stabil, kemudian elektroda dibilas dengan larutan buffer atau akuades. Jika menggunakan akuades, elektroda dikeringkan dengan kertas tisu. Elektroda dicelupkan ke dalam larutan buffer dan didiamkan beberapa saat hingga diperoleh pembacaan yang stabil. Angka pH meter disesuaikan dengan pH buffer, yaitu buffer pH 4 dan buffer pH 7. Sampel sebanyak 10 gram (bakso ikan) dihancurkan dan dihomogenkan dengan 90 ml air destilata, lalu dibiarkan ±15 menit untuk diukur pH-nya.

3.4.2.2 Uji total volatile base (TVB) (Apriyantono et al. 1989)

Uji TVB bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawa-senyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip dari analisis TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (amin, mono-, di-, dan trimetilamin). Senyawa tersebut kemudian diikat oleh asam borat dan kemudian dititrasi dengan larutan HCl.

Preparasi sampel dilakukan dengan cara menimbang 15 g sampel (bakso ikan), kemudian ditambahkan 45 ml TCA 7 % dan dihomogenkan selama 1 menit. Hasil homogenisasi kemudian disaring sehingga diperoleh filtrat yang berwarna jernih. Setelah penyiapan sampel maka dilakukan uji TVB dengan cara memasukkan 1 ml H3BO3 ke dalam inner chamber cawan conway dan tutup

cawan diletakkan dengan posisi hampir menutupi cawan. Filtrat dimasukkan ke dalam outer chamber disebelah kiri. Kemudian 1 ml larutan K2CO3 jenuh

ditambahkan ke dalam outer chamber sebelah kanan sehingga filtrat dan K2CO3

tidak tercampur. Sebelum cawan ditutup pinggir cawan diolesi vaselin agar proses penutupan sempurna, lalu digerakkan memutar sehingga kedua cairan di outer

(31)

chamber tercampur. Disamping itu dikerjakan blanko dengan prosedur yang sama

tetapi filtrat diganti dengan TCA 7 %. Kedua cawan Conway tersebut diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 0C. Setelah diinkubasi, larutan asam borat dalam

inner chamber cawan conway yang berisi blanko dititrasi dengan larutan HCl 0,01

N dan cawan digoyang-goyang sampai larutan asam borat berubah warna menjadi merah muda. Selanjutnya cawan conway yang berisi sampel juga dititrasi dengan larutan yang sama dengan blanko. Kadar TVB dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

%N (mg n/100g) = (j – i) x N HCl x x x 14 mg N/100 g Keterangan :

j : titrasi sampel (ml) fp : faktor pengenceran

i : titrasi blanko (ml) N : normalitas HCl

3.4.2.3 Analisis TBA (Tiobarbithuric acid) (Apriyantono et al. 1989)

Penentuan bilangan TBA menggunakan metode Tarladgis. Sampel sebanyak 10 gram dimasukkan ke dalam wearing blender dan ditambahkan 50 ml akuades lalu dihancurkan. Sampel yang telah dihancurkan dipindahkan ke dalam labu destilasi sambil dicuci 47,5 ml akuades. Selanjutnya, ditambahkan ± 2,5 ml HCl 4 M (atau hingga pH menjadi 1,5)kemudian didestilasi selama 10 menit hingga diperoleh cairan destilat yang bening. Destilat yang diperoleh diaduk hingga homogen dan dipipet ke dalam tabung reaksi tertutup sebanyak 5 ml, kemudian 5 ml pereaksi TBA ditambahkan ke dalam tabung dan divorteks hingga homogen. Selanjutnya larutan sampel dipanaskan dalam air mendidih selama 35 menit, kemudian didinginkan dengan air mengalir selama 10 menit.

Larutan blanko dibuat dengan menggunakan 5 ml akuades dan 5 ml pereaksi dengan cara yang sama seperti penetapan sampel. Larutan blanko digunakan sebagai titik nol dalam pengukuran absorbansi. Larutan sampel kemudian diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang 528 nm. Bilangan TBA didefinisikan sebagai mg malonaldehid per kg.

(32)

Perhitungan bilangan TBA dalam sampel dilakukan melalui persamaan: Bilangan TBA =

Keterangan:

TBA = Thiobarbiturid Acid (mg manoladehid per kg sampel) A528 = nilai absorbansi pada 528 nm

3.4.2.4 Analisis proksimat

Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia yang ada pada suatu bahan. Analisis proksimat meliputi: analisis kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat (by difference).

(a). Analisis kadar air (Takeuchi 1988)

Prinsip dari analisis kadar air yaitu untuk mengetahui kandungan atau jumlah kadar air yang terdapat pada suatu bahan.

Tahap pertama yang dilakukan pada analisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 100 0C selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 30 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang (A). Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan, kemudian cawan dan bakso ikan seberat 2 gram ditimbang (B) setelah terlebih dahulu dipotong kecil-kecil. Selanjutnya cawan tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105-110 0C selama 4 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang (C).

Perhitungan kadar air pada bakso ikan adalah: % Kadar air = x 100 %

Keterangan :

A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan dengan bakso ikan (gram)

C = Berat cawan dengan bakso ikan setelah dikeringkan (gram)

(b). Analisis kadar abu (Takeuchi 1988)

Prinsip dari analisis kadar abu yaitu untuk mengetahui jumlah abu yang terdapat pada suatu bahan terkait dengan mineral dari bahan yang dianalisis.

Cawan abu porselen dipanaskan dalam oven pada suhu 105-110 0C selama 1 jam. Cawan abu porselen tersebut didinginkan selama 30 menit dan ditimbang (A). Bakso ikan sebanyak 1-2 gram yang telah dipotong kecil-kecil dimasukkan ke dalam cawan abu porselen (B). Cawan tersebut dimasukkan ke dalam tanur

(33)

pada suhu 600 0C sampai menjadi abu yang berwarna putih. Setelah itu, cawan abu porselin didinginkan selama 30 menit dalam desikator dan kemudian ditimbang beratnya (C).

Perhitungan kadar abu pada bakso ikan: % Kadar abu = x 100 %

Keterangan :

A = Berat cawan abu porselen kosong (gram)

B = Berat cawan abu porselen dengan bakso ikan (gram)

C = Berat cawan abu porselen dengan bakso ikan setelah dikeringkan (gram).

(c). Analisis kadar protein (Takeuchi 1988)

Prinsip dari analisis protein, yaitu untuk mengetahui kandungan protein kasar ( crude protein ) pada suatu bahan. Analisis yang dilakukan menggunakan analisis protein semi mikro Kjedahl. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein semi mikro Kjedahl terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.

(1). Tahap destruksi

Bakso ikan ditimbang seberat 0,5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjeltec. Kemudian dimasukkan 1 g katalis (K2SO4+CuSO4.5H2O) dengan

rasio 9:1 ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4. Tabung yang

berisi larutan tersebut dipanaskan selama 3-4 jam sampai larutan dalam labu berwarna hijau bening. Kemudian larutan diencerkan hingga volume menjadi 100 ml.

(2). Tahap destilasi

Destilasi dilakukan untuk membebaskan kembali NH3 yang berasal dari

proses destruksi. Sebanyak 5 ml larutan sampel dimasukkan ke dalam tabung destilasi, kemudian ditambahkan 10 ml NaOH 30% melalui corong dan ditutup. Selanjutnya dipanaskan dengan uap labu destilasi selama10 menit setelah tetesan pertama. Hasil destilasi akan ditampung di dalam Erlenmeyer yang berisi 10 ml H2SO4 0,05 N yang ditambahkan methyl red.

(3). Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan NaOH 0,05 N sampai warna larutan pada erlenmeyer berubah warna menjadi hijau bening (warna awal).

(34)

Perhitungan kadar protein pada bakso ikan: %Kadar Protein =

Keterangan:

Vb = volume hasil titrasi blanko (ml) Vs = volume hasil titrasi sampel (ml) S = bobot sampel (gram)

FN = faktor Nitrogen (faktor koreksi) FP = faktor pengenceran

* = setiap ml 0,05 NaOH ekivalen dengan 0,0007 gram Nitrogen

(d). Analisis kadar lemak (Takeuchi 1988)

Analisis kadar lemak yang dilakukan menggunakan metode Folch. Labu lemak dioven terlebih dahulu pada suhu 105-110 0C selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (W2).

Bakso ikan seberat 2 gram (W1) dimasukkan ke dalam mortar dan

ditambahkan larutan kloroform/methanol sebanyak 10 ml, selanjutnya dihaluskan hingga halus. Setelah halus, ditambahkan 30 ml kloroform/methanol kemudian diaduk selama 5 menit hingga homogen. Sampel kemudian disaring dengan kertas saring ke dalam labu pemisah yang telah diberi larutan MgCl 0,03 M 10 ml, kemudian dikocok selama 1 menit. Selanjutnya labu pemisah ditutup dan didiamkan selama semalam. Setelah itu, lapisan bawah yang terbentuk pada labu pemisah dimasukkan ke dalam lemak kemudian dievaporasi sampai kering. Selanjutnya labu lemak ditimbang (W3).

Perhitungan kadar lemak pada bakso ikan % Kadar Lemak = x 100 % Keterangan : W1 = Berat sampel bakso ikan (gram)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)

(e). Kadar karbohidrat (by difference)

Kadar karbohidrat (by difference) ditentukan dari hasil pengurangan 100% dengan kadar air, abu, lemak dan protein, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Kadar karbohidrat dihitung dengan menggunakan rumus :

(35)

3.4.3 Analisis mikrobiologi (Total Plate Count )(Fardiaz 1987)

Prinsip kerja analisis Total Plate Count (TPC) adalah perhitungan jumlah bakteri yang ada di bakso ikan dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Pada penelitian ini dilakukan analisis TPC bakteri aerob dan bakteri anaerob.

3.4.3.1 Analisis Total Plate Count (TPC) bakteri aerob

Pembuatan larutan contoh dilakukan dengan mencampurkan 10 g bakso ikan yang telah dihancurkan, dimasukkan ke dalam botol yang berisi 90 ml larutan garam 0,85 % steril, kemudian dikocok sampai larutan homogen. Campuran larutan contoh tersebut diambil 1 ml dan dimasukkan kedalam botol berisi 9 ml larutan garam 0,85 % steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, setelah itu dikocok agar homogen. Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian, biasanya sampai pengenceran 10-5.

Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan contoh dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril. Media agar (Nutrient Agar) dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 10 ml dan digoyangkan sampai permukaan agar merata (metode tuang), kemudian didiamkan beberapa saat hingga dingin dan mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan kedalam inkubator pada suhu 30 0C selama 48 jam dengan posisi cawan petri yang dibalik. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni yang ada di dalam cawan petri tersebut. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri 30-300 koloni.

3.4.3.2 Analisis Total Plate Count (TPC) bakteri anaerob

Pada prinsipnya, metode kerja TPC bakteri anaerob sama seperti metode kerja TPC aerob. Penghitungan jumlah bakteri anaerob pada penelitian ini menggunakan metode overlay yaitu dengan cara melapisi cawan petri dengan media NA (Nutrient Agar) sebanyak 2 lapis sehingga didapatkan asumsi bahwa kondisi pertumbuhan pada sampel adalah anaerob karena bagian atas dan bagian bawah cawan petri tertutup oleh media NA.

Pembuatan larutan contoh dilakukan dengan mencampurkan 10 g bakso ikan yang telah dihancurkan, dimasukkan ke dalam botol yang berisi 90 ml larutan

(36)

garam 0,85 % steril, kemudian dikocok sampai larutan homogen. Campuran larutan contoh tersebut diambil 1 ml dan dimasukkan kedalam botol berisi 9 ml larutan garam 0,85 % steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, setelah itu dikocok agar homogen. Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian, biasanya sampai pengenceran 10-5. Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan contoh dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril.

Media agar (NA) dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 10 ml dan digoyangkan sampai permukaan agar merata (metode tuang), kemudian didiamkan beberapa saat hingga dingin dan mengeras. Setelah media agar (NA) lapisan pertama mengeras, ditambahkan kembali 10 ml media agar (NA) sebagai lapisan kedua dan dibiarkan mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan kedalam inkubator pada suhu 30 0C selama 48 jam dengan posisi cawan petri yang dibalik. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni yang ada di dalam cawan petri tersebut. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri 30-300 koloni.

 

3.5 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian adalah rancangan acak lengkap dengan percobaan dua faktor dengan dua kali ulangan. Faktor yang pertama (A) adalah komposisi gas yang dimasukkan ke dalam kemasan plastik bakso ikan, terdiri dari 5 taraf, yaitu udara biasa (sebagai kontrol), udara biasa, vakum, 30% CO2 + 70% N2; 50% CO2+ 50% N2; 80% CO2 + 20%N2.Faktor yang

kedua (B) adalah masa simpan yang terdiri dari jam ke-0 (M0), ke-12 (M1), ke-24 (M2), ke-36 (M3), dan ke-48 (M4).

Model rancangan acak lengkap atau RAL dengan percobaan dua faktor adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie 1991) :

(37)

Keterangan :

Yijk = faktor pengamatan pada faktor ke-A taraf ke-i, faktor ke- B taraf ke-j dan

ulangan ke-k.

µ = rataan umum populasi

Ai = pengaruh dari faktor A taraf ke-i

Bj = pengaruh dari faktor B taraf ke-j

ABij = pengaruh interaksi dari faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j

Eijk = pengaruh acak yang menyebar normal (0, σ2).

Apabila hasil analisis ragam yang diperoleh menunjukkan adanya interaksi berbeda nyata maka dilakukan analisis lanjutan untuk mengetahui perlakuan mana yang paling berpengaruh pada percobaan. Jika interaksi tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata tetapi ada pengaruh yang nyata pada faktor pertama (A) maupun faktor kedua (B), selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan.

Rumus dari uji lanjut Duncan adalah:

Rp = q (∑p;dbs;α)

Keterangan :

Rp = Nilai kritikal untuk perlakuan yang dibandingkan

q = Perlakuan

dbs = Derajat bebas

Kts = Jumlah kuadrat tengah

r = Ulangan

Analisis data nonparametrik yang dilakukan untuk pengujian organoleptik dengan skala mutu menggunakan uji Kruskal Wallis yang dilanjutkan dengan uji lanjut Multiple Comparison untuk melihat perbedaan dan hubungan antar perlakuan. Panelis yang digunakan tergolong dalam panelis terlatih untuk memberikan penilaian mengenai tingkat kesukaan dan ketidaksukaan terhadap produk yaitu 10 orang.

(38)

Keterangan :

n = jumlah data

Ni = banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i

Ri = jumlah rangking dalam perlakuan ke-i

t = banyaknya pengamatan yang seri dalam kelompok

H’ = H terkoreksi

Uji Multiple Comparison

Keterangan :

Ri = rata-rata rangking perlakuan ke-i

Rj = rata-rata perlakuan ke-j

n = jumlah total data

(39)

4.1 Karakteristik Organoleptik Bakso Ikan Nila Merah

Uji organoleptik mutu sensorik yang dilakukan terhadap bakso ikan nila merah yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama penyimpanan meliputi penampakan, bau, rasa, tekstur dan pengamatan visual (lendir).

4.1.1 Penampakan

Penampakan merupakan keadaan keseluruhan yang dilihat secara visual melalui indera penglihatan yang meliputi bentuk dan warna yang dapat menyebabkan ketertarikan panelis terhadap suatu produk. Dalam menilai produk komoditi pangan, cara yang masih dipakai adalah dengan menggunakan indera penglihatan. Hasil uji organoleptik terhadap parameter penampakan bakso ikan nila merah dalam kemasan dengan komposisi gas yang berbeda selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 3.

80%CO2 + 20% N2 50%CO2+ 50% N2

30%CO2+ 70% N2

Udara Biasa Vakum 

Keterangan: Huruf a adalah hasil uji lanjut terhadap komposisi gas yang berbeda. Huruf m-n adalah hasil uji lanjut terhadap lama penyimpanan. Huruf yang sama menunjukkan tidak adanya beda nyata.

Gambar 3 Hasil penilaian parameter penampakan bakso ikan nila merah dalam kemasan dengan komposisi gas yang berbeda selama penyimpanan.

(40)

Secara umum nilai rata-rata uji terhadap penampakan bakso ikan nila merah cenderung mengalami penurunan selama penyimpanan. Parameter penampakan bakso ikan nila merah dengan konsentrasi gas yang berbeda-beda dan lama penyimpanan memiliki nilai rata-rata yang berkisar antara 5,2 sampai dengan 8,0. Nilai rata-rata bakso ikan nila merah pada awal penyimpanan (jam 0) adalah sama yaitu 8,0 dan merupakan nilai kenampakan tertinggi. Hal ini dikarenakan pengujian dimulai sebelum produk mengalami penyimpanan. Pada skor 8-9, bakso ikan nila merah memiliki spesifikasi penampakan yang bulat beraturan, seragam, tidak berongga hingga sedikit berongga dan warna putih susu sampai putih krem. Nilai rata-rata penampakan bakso ikan nila merah terendah terdapat pada penyimpanan dengan udara biasa (kontrol) selama penyimpanan 48 jam yaitu 5,2. Hal ini dapat disebabkan karena bakso ikan nila merah telah mengalami kemunduran mutu. Pada akhir penyimpanan, nilai parameter penampakan bakso ikan nila merah yang dikemas dalam 80% CO2+20% N2

memiliki nilai tertinggi yaitu 6,5.

Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 11a) menunjukkan komposisi gas yang berbeda tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap penampakan bakso ikan nila merah. Sedangkan lama penyimpanan (Lampiran 11b) menunjukkan adanya pengaruh yang nyata terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap penampakan bakso ikan nila merah. Produk atau bahan makanan yang mengalami penyimpanan mengakibatkan penurunan mutu, baik dari segi fisik maupun kimiawinya (Ketaren 1986). Berdasarkan uji lanjut Multiple Comparison (Lampiran 11c) diketahui bahwa penampakan bakso ikan nila merah yang dikemas pada lama penyimpanan jam ke-0 dan jam ke-12 berbeda nyata dengan lama simpan jam ke-24, jam ke-36 dan jam ke-48.

4.1.2 Bau (aroma)

Bau atau aroma dalam banyak hal menentukan enak atau tidaknya makanan, bahkan aroma atau bau-bauan lebih kompleks daripada cicip atau rasa, dan kepekaan indera pembauan lebih tinggi daripada indera pencicipan. Industri pangan bahkan menganggap sangat penting terhadap uji aroma karena dapat dengan cepat memberikan hasil apakah produk disukai atau tidak (Soekarto 1985).

(41)

Hasil uji organoleptik terhadap parameter aroma bakso ikan nila merah yang dikemas dalam komposisi gas yang berbeda selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 4.

80%CO2 + 20% N2 50%CO2+ 50% N2

30%CO2+ 70% N2

Udara Biasa Vakum 

Keterangan: Huruf a-c adalah hasil uji lanjut terhadap komposisi gas yang berbeda. Huruf m-q adalah hasil uji lanjut terhadap lama penyimpanan. Huruf yang sama menunjukkan tidak adanya beda nyata.

Gambar 4 Hasil penilaian parameter bau bakso ikan nila merah dalam kemasan dengan komposisi gas yang berbeda selama penyimpanan.

Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap parameter aroma bakso ikan yang dikemas berkisar antara 2,2 sampai dengan 9,0. Nilai aroma tertinggi dari bakso ikan yang diuji dicapai oleh bakso ikan nila merah pada awal penyimpanan yaitu 9,0. Sedangkan nilai terendah dicapai oleh bakso ikan yang kemas dalam udara biasa selama penyimpanan 48 jam yaitu 2,2. Pada akhir penyimpanan, nilai parameter aroma bakso ikan nila merah yang masih layak (diatas 5) adalah bakso ikan nila merah yang dikemas dalam 80% CO2+20% N2.

Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa komposisi gas yang berbeda (Lampiran 12a) dan lama penyimpanan (Lampiran 12b) berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis dalam menilai aroma bakso ikan nila merah. Berdasarkan uji lanjut Multiple comparisons (Lampiran 12c) terhadap komposisi gas menunjukkan bahwa aroma bakso ikan nila merah yang dikemas dalam udara biasa berbeda nyata dengan bakso yang dikemas vakum, gas 30% CO2+70% N2, gas 50% CO2+50% N2 dan gas 80% CO2+20% N2. Sedangkan

(42)

dengan bakso ikan nila merah yang dikemas dalam gas 80% CO2+20% N2 tetapi

tidak menunjukkan berbeda nyata dengan bakso yang dikemas dalam gas 30% CO2+70% N2 dan gas 50% CO2+50% N2.

Uji lanjut terhadap lama penyimpanan (Lampiran 12d) menunjukkan bahwa aroma bakso ikan nila merah pada jam 0 berbeda nyata dengan jam ke-12, 24, 36 dan 48. Begitu pula pada waktu terakhir penyimpanan (jam ke-48) berbeda nyata dengan jam ke-0, 12, 24, dan 36. Pada jam ke-24 bakso ikan nila merah yang dikemas dalam udara biasa mempunyai bau agak amis dan tengik, dimana penerimaan terhadap produk sudah tidak layak lagi. Bakso ikan nila merah yang dikemas dalam gas 80% CO2+20% N2 sampai 48 jam memiliki bau

yang masih dapat diterima oleh panelis.

Bau makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan tersebut. Pada umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai ramuan atau campuran empat bau utama yaitu harum, asam, tengik, dan hangus. Produksi senyawa-senyawa aroma sangat ditentukan oleh komposisi bakteri yang terlibat dalam senyawa tersebut (Winarno 1997). Banyak diantara mikroba menghasilkan enzim yang dapat memecahkan protein dalam bahan pangan berlemak, sehingga menghasilkan bau dan rasa tidak enak, misalnya persenyawaan indole, skatole, hydrogen sulfit, metilamin dan ammonia (Ketaren 1986). Bakteri yang dapat menghasilkan enzim untuk memecah protein disebut bakteri proteolitik (Fardiaz 1992). Selain itu bau dan ketengikan disebabkan oleh autooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak pangan (Winarno 1997).

4.1.3 Rasa

Rasa adalah faktor yang sangat penting dalam menentukan keputusan akhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan. Walaupun parameter penilaian baik, tetapi rasanya tidak disukai atau tidak enak maka produk akan ditolak oleh konsumen (Winarno 1997). Nilai rata-rata penilaian panelis terhadap rasa bakso ikan nila merah yang dikemas dalam konsentrasi gas yang berbeda selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 5.

(43)

Keterangan: Huruf a-c adalah hasil uji lanjut terhadap komposisi gas yang berbeda. Huruf m-p adalah hasil uji lanjut terhadap lama penyimpanan. Huruf yang sama menunjukkan tidak adanya beda nyata.

Gambar 5 Hasil penilaian parameter rasa bakso ikan nila merah dalam komposisi gas yang berbeda selama penyimpanan.

Nilai rata-rata tingkat penerimaan panelis terhadap rasa bakso ikan nila merah berkisar antara 1,2 sampai dengan 8,0. Nilai tersebut mengalami penurunan selama penyimpanan sampai akhir masa simpan yaitu 48 jam. Nilai rata-rata organoleptik bakso ikan nila merah tertinggi pada jam ke-0, yakni pada perlakuan pengemasan dalam udara biasa (kontrol) sebesar 8,0. Bakso ikan nila merah yang dikemas dalam gas 80% CO2+20% N2 memiliki nilai rata-rata organoleptik yang

tertinggi hingga penyimpanan selama 48 jam. Produk atau bahan makanan yang mengalami penyimpanan mengakibatkan penurunan mutu, baik dari segi fisik maupun kimiawinya. Penurunan nilai organoleptik rasa bakso ikan nila merah diduga karena aktivitas mikroba yang menghasilkan metabolit sekunder dan peranan enzim yang menghasilkan bau yang tidak enak sehingga dapat mempengaruhi penilaian panelis (Ketaren 1986).

Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap rasa bakso ikan nila merah menunjukkan bahwa komposisi gas yang berbeda (Lampiran 13a) dan lama penyimpanan (Lampiran 13b) memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap penerimaan panelis. Berdasarkan uji lanjut (Lampiran 13c) terhadap rasa bakso ikan nila merah, didapatkan bahwa bakso ikan nila merah yang dikemas dalam udara biasa berbeda nyata dengan gas 50% CO2+50% N2 dan 80% CO2+20% N2, tetapi tidak

80%CO2 + 20% N  2

(44)

berbeda nyata dengan bakso ikan yang dikemas vakum dan gas 30% CO2+70%

N2. Sedangkan bakso ikan nila merah yang dikemas gas 80% CO2+20% N2

berbeda nyata dengan gas 30% CO2+70% N2 dan vakum, tetapi tidak beda nyata

dengan gas 50% CO2+50% N2. Pada uji lanjut (Lampiran 13d) terhadap lama

penyimpanan didapatkan bahwa lama penyimpanan jam ke-0 berbeda nyata dengan bakso ikan nila merah yang dikemas selama 24 jam, 36 jam dan 48 jam, tetapi tidak berbeda nyata dengan bakso yang disimpan selama 12 jam.

4.1.4. Tekstur

Tekstur merupakan salah satu parameter penilaian organoleptik yang juga dipertimbangkan oleh konsumen pada saat memilih makanan. Kandungan protein, lemak, air, pengeringan dan aktivitas pergerakan air merupakan faktor yang mempengaruhi tekstur (Purnomo 1995). Nilai rata-rata tingkat penerimaan panelis terhadap tekstur bakso ikan nila merah berkisar antara 3,1 hingga 8,8 dengan spesifikasi produk lembek hingga padat, kompak, dan kenyal. Nilai rata-rata tertinggi terdapat pada awal penyimpanan (jam ke-0) dengan nilai 8,8. Pada Gambar 6 dapat dilihat perubahan nilai rata-rata organoleptik tekstur bakso ikan nila merah dalam komposisi gas selama penyimpanan.

Keterangan: Huruf a adalah hasil uji lanjut terhadap komposisi gas yang berbeda. Huruf m-o adalah hasil uji lanjut terhadap lama penyimpanan. Huruf yang sama menunjukkan tidak adanya beda nyata.

Gambar 6 Hasil penilaian parameter tekstur bakso ikan nila merah dalam komposisi gas yang berbeda selama penyimpanan.

80%CO2 + 20% N2

(45)

Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 14a) menunjukkan konsentrasi gas yang berbeda tidak memiliki pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur bakso ikan nila merah. Sedangkan lama penyimpanan (Lampiran 14b) menunjukkan adanya pengaruh yang nyata terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur bakso ikan nila merah.

Berdasarkan uji lanjut Multiple Comparison (Lampiran 14c) diketahui bahwa tekstur bakso ikan nila merah yang dikemas pada lama penyimpanan jam ke-0 dan jam ke-12 berbeda nyata dengan lama simpan jam ke-24, jam ke-36 dan jam ke-48. Sedangkan bakso yang dikemas selama 24 jam berbeda nyata dengan bakso ikan nila merah yang dikemas selama 48 jam tetapi tidak berbeda nyata dengan jam ke-36.

Pada akhir penyimpanan, nilai parameter tekstur bakso ikan nila merah yang dikemas dalam 80% CO2+20% N2 memiliki nilai tertinggi yaitu 6,5. Selama

penyimpanan, perubahan tekstur pada bahan pangan dapat terjadi karena adanya perubahan kandungan air, suhu dan aktivitas mikrobiologi yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas bahan pangan (Purnomo 1995).

4.1.5 Pengamatan visual (lendir)

Pada umumnya penyimpanan bakso di industri dan pedagang bakso keliling dilakukan pada suhu kamar/ruamg dan tanpa perlakuan khusus seperti pendinginan dan pembekuan. Salah satu tanda kerusakan bakso yaitu terdapatnya lendir pada permukaan bakso yang menandakan pertumbuhan bakteri dan biasanya diikuti dengan timbulnya bau asam. Hasil pengamatan visual (lendir) bakso ikan nila merah dengan perlakuan komposisi gas yang berbeda pada penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Tabel 5.

Gambar

Tabel 1  Syarat mutu bakso ikan.
Tabel 2  Kelebihan dan kekurangan Modified Atmosphere Packaging (MAP).
Tabel 4. Perlakuan komposisi gas atmosfir pada bakso ikan
Gambar 3  Hasil penilaian parameter penampakan bakso ikan nila merah dalam  kemasan dengan komposisi gas yang berbeda selama penyimpanan
+7

Referensi

Dokumen terkait

4.7.3 Pengaruh Kombinasi Jenis Bahan Pengemas dan Lama Penyimpanan terhadap Nilai Uji Organoleptik Warna Cabai Merah Segar Kemasan Dari daftar analisis sidik ragam pada Lampiran

“Pengaruh Jenis Kemasan dan Kondisi Penyimpanan terhadap Kadar Fenol, Sifat Fisikokimia, Mikrobiologis, dan Organoleptik Minuman Beras Kencur dari Beras Merah (Oryza

Berdasarkan Gambar 3, penilaian panelis terhadap uji sensori menunjukkan bahwa parameter penampakan , tekstur dan aroma bakso ikan perlakuan A2B2 memiliki nilai rata-rata

Berdasarkan hasil dari analisis variansi dapat dijelaskan bahwa bakso ikan patin yang diberi pewarna alami selama penyimpanan pada suhu dingin memberi pengaruh

Berdasarkan data nilai sensori dapat diketahui bahwa pada awal sebelum penyimpanan bakso ikan lele dumbo dengan perlakuan konsentrasi asap cair yang berbeda

Hasil analisis nilai TBA abon ikan sidat dengan penggunaan kemasan berbeda selama penyimpanan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peningkatan nilai

(2004) mengenai pengaruh aplikasi iradiasi sinar gamma dan penyimpanan pada suhu dingin terhadap mutu bakso ikan patin menunjukkan bahwa iradiasi sinar gamma dengan