• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangun Item Tes Diagnostik Untuk Mengungkap Miskonsepsi Siswa Pada Materi Bentuk Aljabar 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Membangun Item Tes Diagnostik Untuk Mengungkap Miskonsepsi Siswa Pada Materi Bentuk Aljabar 1"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Membangun Item Tes Diagnostik Untuk Mengungkap Miskonsepsi Siswa

Pada Materi Bentuk Aljabar

1

Sunismi, Mustangin, dan Kusaeri

Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Islam Malang

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mengonstruk atau membangun item tes diagnostik bentuk pilihan ganda pada materi bentuk aljabar. Materi ini dipilih dengan pertimbangan banyak anak yang berada di awal kelas VII SMP mengalami kesulitan dan miskonsepsi ketika mempelajarinya. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pengembangan, dengan tahapan: mengidentifikasi kompetensi dasar (KD) dan merumuskan indikator, menyusun learning

continuum, menyusun hierarki materi, mengonstruk soal, uji empirik dan validasi ahli. Subjek

coba penelitian ini adalah siswa SMP kelas VII di Malang Raya. Hasil penelitian menunjukkan kesimpulan sebagai berikut. Pertama, secara hierarkial materi aljabar di SMP memiliki ketergantungan langsung dengan materi aritmetika di SD sebagai materi prasyarat. Penguasaan siswa terhadap materi prasyarat untuk aljabar mutlak diperlukan, karena kegagalan menguasai materi prasyarat mengakibatkan kegagalan siswa dalam menyelesaikan masalah-masalah aljabar. Dalam penelitian ini dihasilkan Learning Continuum yang menggambarkan proses penguasaan materi atau kompetensi yang umumnya harus dilalui siswa. Learning Continuum dijadikan sarana untuk melihat materi apa yang telah dikuasai dan materi apa yang belum dikuasai siswa. Dengan demikian, learning continuum sangat membantu dalam memotret penguasaan siswa pada materi tertentu dengan menggunakan tes diagnostik.

Kedua, dalam penelitian ini dihasilkan instrumen tes diagnostik yang dapat menyediakan informasi miskonsepsi siswa SMP dalam Aljabar. Instrumen tes diagnostik ini akan digunakan sebagai dasar pengembangan software Computerized Based Test (CBT) pada tahap berikutnya. Adapun langkah-langkah operasional pengembangan instrumen tes diagnostik sebagaimana dimaksud meliputi: mengidentifikasi kompetensi dasar (KD) dan merumuskan indikator, menyusun learning continuum, menyusun hierarki materi, mengonstruk soal, uji empirik dan validasi ahli.

Kata kunci: Tes diagnostik, miskonsepsi dan bentuk aljabar.

1

Artikel ini diangkat dari penelitian tahun pertama Hibah Bersaing yang berjudul:”Pengembangan Software Computerized Based Testing (CBT) untuk Menyediakan Informasi Diagnostik Miskonsepsi Siswa SMP dalam Aljabar.” Dibiayai oleh Kopertis Wilayah VII Jawa Timur, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun Anggaran 2012 melalui Surat Perjanjian Penelitian Hibah Penelitian Nomor: 0032/SP2H/PP/K7/II/2012 Tanggal 09 Pebruari 2012.

(2)

PENDAHULUAN

Dalam bidang pendidikan, guru perlu membuat sejumlah keputusan terkait siswa. Keputusan itu di antaranya: apakah seorang siswa harus mengulang suatu materi, naik kelas, lulus ataukah tidak. Tentu saja bukan pekerjaan mudah untuk membuat keputusan tersebut. Diperlukan berbagai pertimbangan yang matang agar diperoleh keputusan yang benar dan tepat sehingga tidak merugikan siswa (Kusaeri dan Suprananto, 2012:2).

Untuk membuat keputusan yang

benar dan tepat, setiap keputusan

memerlukan informasi. Secara spesifik, guru harus mengetahui informasi apa yang diperlukan, dari mana informasi tersebut

didapat, dan bagaimana menggunakan

informasi tersebut secara efektif dalam

pembelajaran. Thorndike (2005:218)

menyebutkan bahwa informasi tersebut didapat melalui penilaian.

Thorndike (2005:222) mengklasi

fikasikan penilaian dalam dua bentuk: penilaian informal dan formal. Penilaian informal mencakup aktivitas guru dalam bertanya, mengamati siswa ketika mereka

mengerjakan tugas, meminta siswa

membaca dengan keras atau verbalisasi pekerjaan siswa melalui problem-problem matematika. Penilaian informal berguna bagi siswa dalam memahami materi-materi yang disajikan. Dengan demikian, penilaian ini membantu guru dalam membuat keputusan di dalam pembelajaran, seperti mengetahui apakah siswa siap dikenalkan dengan materi baru atau belum. Penilaian informal juga memberikan umpan balik (feedback) kepada guru secepatnya berkaitan dengan metode

pembelajaran yang digunakan. Teknik

penilaian yang memandu pengajaran seperti ini merujuk kepada penilaian formatif.

Sementara itu, keputusan-keputusan

penting seperti pemberian nilai dan

penempatan siswa didasarkan pada jenis penilaian formal dan dinamakan dengan penilaian sumatif. Teknik penilaian sumatif, biasanya dalam bentuk tes dan digunakan

setelah pembelajaran berakhir untuk

menyimpulkan tentang apa yang telah

dipelajari siswa. Guru menggunakan tes untuk menemukan konsep mana yang secara efektif dapat diterima anak dan membantu

mereka mengidentifikasi kebutuhan

pembelajaran sesuai dengan kemampuan masing-masing (Fei Ye, 2005:21).

Tes merupakan alat ukur berbentuk satu set pertanyaan untuk mengukur sampel tingkah laku dari peserta tes (Kusaeri dan Suprananto, 2012:5). Dengan demikian, dari tes diharapkan dapat diperoleh informasi yang sangat bermakna untuk membimbing siswa dalam belajar (Robert & Gierl, 2010:25). Dalam kaitan ini, tes diagnostik merupakan pilihan yang tepat.

Tes diagnostik merupakan tes yang didesain untuk mendapatkan informasi yang spesifik dari jawaban siswa, sehingga dapat

diidentifikasi kelemahan atau

ketidakkonsistenan pola pikirnya (Kusaeri, 2012:54). Oleh karena itu, hasil tes dapat digunakan sebagai dasar memberikan tindak lanjut berupa perlakuan yang tepat dan sesuai dengan kelemahan yang dimiliki siswa.

Mehrens & Lehmann (1984:410)

berpendapat bahwa tes diagnostik harus dapat memberikan gambaran akurat tentang kesulitan yang dimiliki siswa berdasarkan informasi kesalahan yang dibuatnya. Tes

diagnostik digunakan untuk menilai

pemahaman konsep siswa terhadap konsep-konsep kunci (key concepts) pada topik tertentu, dan secara khusus untuk konsep-konsep yang cenderung dipahami secara salah (Zeilik, 1998). Berdasarkan pendapat di atas, maka tes diagnostik berfokus pada topik terbatas dan spesifik, ditujukan untuk

mengidentifikasi kelemahan atau

ketidakkonsistenan pola pikir siswa serta

dapat digunakan untuk mengungkap

kesalahan konsep (miskonsepsi) yang terjadi. Ada beberapa cara yang lazim digunakan untuk membangun tes diagnostik

sehingga dapat digunakan untuk

mengungkap miskonsepsi siswa, misalnya dengan melakukan analisis pola jawaban (Ketterline & Yovanoff, 2009:3). Analisis pola jawaban dibuat berdasarkan pada jawaban siswa dari sekumpulan tes. Hal ini akan memberikan informasi penting tentang

(3)

penguasaan siswa terhadap materi yang dipelajarinya. Analisis pola jawaban siswa merupakan suatu proses mereview jawaban

siswa guna mengidentifikasi pola

ketidakpahamannya. Analisis jawaban siswa

berfokus pada kelemahan-kelemahan

jawaban siswa dan membantu guru

mengklasifikasikan kesalahan-kesalahan

tersebut. Analisis pola jawaban dapat

digunakan untuk menyelaraskan

pembelajaran sehingga dapat berfungsi membetulkan kesalahan pemahaman siswa.

Bentuk tes yang dikonstruk untuk menganalisis pola jawaban siswa dapat berupa tes uraian atau pertanyaan terbuka (open-ended) dan bentuk pilihan ganda (multiple choice). Menurut Kato (2009:16), bentuk pilihan ganda lebih tepat digunakan dalam konteks ini bila tes tersebut digunakan dalam skala yang lebih luas. Memang bentuk pilihan ganda umumnya hanya mampu mengukur tingkat kognitif rendah, karena biasanya dalam mengkonstruk item pilihan ganda kurang mempertimbangkan aspek alasan anak ketika mereka memilih jawaban yang salah atau pengecoh (Briggs et al., 2006:34). Penggunaan item pilihan ganda juga mendapatkan banyak kritik karena tidak mampu mengukur proses penalaran anak dan bahkan memfasilitasi mereka melakukan terkaan dalam menjawab.

Namun, bentuk item pilihan ganda memiliki potensi membuka proses berpikir tingkat tinggi dan dapat memberikan informasi pola pikir anak bila item itu

dikonstruk secara hati-hati (Osterlind,

1998:163). Oleh karena itu, setiap pengecoh pada item pilihan ganda perlu dibuat berbeda. Dengan demikian, pengecoh yang dibuat dapat memberikan informasi dan kesimpulan tentang apa yang dikuasai dan belum dikuasai anak. Ciofalo & Wylie (2006) menyatakan bahwa pengecoh pada item pilihan ganda seharusnya tidak hanya memberikan informasi tentang pemahaman anak yang kurang pada suatu materi tertentu. Namun, pengecoh juga harus mampu memberikan informasi khusus tentang apa yang tidak dipahami anak atau miskonsepsi yang mungkin mereka lakukan. Jadi,

pengecoh harus dibuat dengan mengacu pada kesalahan yang umumnya dilakukan anak. Berdasarkan paparan di atas, maka tepat bila bentuk item pilihan ganda digunakan untuk merekam kecenderungan pola jawaban anak.

Oleh karena itu, penelitian ini

mengembangkan tes diagnostik bentuk

pilihan ganda yang dapat digunakan

menganalisis pola pikir atau miskonsepsi anak untuk materi bentuk aljabar. Pemilihan materi bentuk aljabar didasarkan pada pertimbangan bahwa materi bentuk aljabar merupakan materi pertama yang dipelajari anak ketika memasuki kelas VII SMP. Namun, kenyataannya ketika mempelajari materi ini, banyak anak mengalami kesulitan

dan miskonsepsi. Krismanto (2008:2)

berpendapat bahwa materi bentuk aljabar yang diawali dengan pengenalan variabel merupakan bagian yang sulit dan sangat perlu dipahami anak. Booth (1984:22) mendapatkan kenyataan bahwa kesulitan tersebut berakar dari cara pandang anak terhadap variabel berupa huruf. Anak seringkali rancu di mana huruf yang

merepresentasikan bilangan dipandang

sebagai huruf yang merepresentasikan objek

atau benda. Selain itu, anak sering

memandang huruf sebagai representasi satu macam bilangan.

Padahal kemampuan anak memahami, menyusun dan selanjutnya merelasikan bentuk aljabar sehingga tersusun menjadi kalimat atau model matematika merupakan prasyarat anak agar mampu menyelesaikan masalah verbal baik yang menyangkut persamaan, pertidaksamaan, fungsi dan

pengembangannya (Krismanto, 2008:2).

Oleh karena itu, penguasaan akan materi bentuk aljabar tersebut perlu mendapatkan perhatian atau penanganan serius sebelum masuk ke materi persamaan, pertidaksamaan dan fungsi serta materi-materi dalam aljabar pada jenjang berikutnya yang lebih tinggi. Artinya, miskonsepsi pada materi bentuk aljabar tentu akan sangat berdampak pada penguasaan tiga materi yang disebutkan terakhir.

(4)

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian

pengembangan, yakni untuk

mengem-bangkan item tes diagnostik. Item tes diagnostik dikembangkan melalui enam tahapan, yakni mengidentifikasi kompetensi dasar (KD) dan merumuskan indikator, menyusun learning continuum, menyusun hierarki materi, mengonstruk soal, uji empirik dan validasi ahli.

Uji empirik terhadap item tes diagnotik yang dikembangkan, dilakukan pada siswa kelas VII SMP di 6 sekolah, yaitu 2 sekolah di Kota Malang, 1 sekolah di Kota Batu dan 6 sekolah di Kabupaten Malang. Dalam uji empirik ini, masing-masing sekolah diambil 2 kelas yang dipilih secara acak. Pemilihan subyek ini didasarkan pada aspek keterwakilan dan ketercukupan data yang diperlukan untuk menyusun perangkat

tes diagnostik. Tes diagnostik yang

diujicobakan berbentuk uraian, dengan

maksud dapat digali secara leluasa

kecenderungan pola pikir anak. Hasil uji

empirik selanjutnya dianalisis,

dikelompokkan dan dipilah guna melihat kecenderungan miskonsepsi yang dilakukan anak. Dalam penelitian ini, hasil uji empirik sangat penting karena akan menjadi dasar dalam penyusunan pengecoh.

Dilakukannya penyusunan pengecoh karena tes diagnostik yang dibangun dalam bentuk pilihan ganda. Pengecoh yang disusun pada masing-masing item, sebanyak 3 pengecoh. Dengan demikian, item tes diagnostik yang dibangun dalam penelitian ini berbentuk pilihan ganda dengan 4 pilihan jawab (option), 1 kunci jawab dan 3 pengecoh.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Mengidentifikasi KD dan

Merumuskan Indikator

Tahapan ini dimulai dengan mengaji Standar Isi (SI) mata pelajaran matematika

SMP Edisi 2006 (Depdiknas, 2006).

Identifikasi dilakukan pada semua

kompetensi aritmetika di kelas VI dan aljabar di kelas VII. Hasil identifikasi itu digunakan untuk menyusun buram (draft) KD beserta indikatornya, sehingga berhasil dirumuskan

134 indikator. Ke-134 indikator itu

diturunkan dari 2 standar kompetensi (SK) aritmetika kelas VI dan 4 SK aljabar kelas VII.

Buram KD beserta indikator yang

telah tersusun, selanjutnya dilakukan

penelaahan melalui teknik Delphi. Teknik ini digunakan ketika buram KD beserta indikator yang telah ditulis peneliti dikirim pada para

guru. Mereka diminta mencermati,

mengoreksi, atau melengkapi buram yang telah ada berdasarkan perspektif praktik keseharian dan pengalaman mereka. Cara ini juga dimaksudkan untuk mengakomodasi pendapat guru berdasarkan pengalaman masing-masing selama mereka di lapangan.

Kegiatan dengan teknik Delphi

melibatkan 2 (dua) orang guru matematika SMP di Malang Raya. Kedua guru yang dilibatkan adalah Drs. Siwoyo guru SMPN Dau dan Yuliati, S.Pd guru SMPN3 Batu. Kedua guru itu dipilih dengan pertimbangan senioritas dan pengalaman dalam MGMP

serta berbagai forum pendidikan dan

pelatihan yang diikuti. Dari teknik ini , dijaring beberapa saran penting terkait

perbaikan rumusan indikator. Setelah

dilakukan pemilahan, saran-saran itu dapat diklasifikasi menjadi 3 katagori, yaitu: (1) Penambahan indikator untuk mendukung

ketercapaian kompetensi dasar; (2)

Pengurangan indikator yang tidak relevan dengan pencapaian kompetensi dasar; dan (3) Keruntutan urutan indikator sesuai dengan karakteristik materi dan siswa. Dengan demikian, setelah teknik Delphi banyak indikator menjadi 136 dari semula 134.

2. Merumuskan Learning Continuum

Learning continuum merupakan

gambaran proses penguasaan materi atau kompetensi yang umumnya harus dilalui oleh siswa. Learning continuum dijadikan sarana untuk melihat materi apa yang telah dikuasai dan materi apa yang belum dikuasai siswa.

(5)

Dengan demikian, learning continuum sangat membantu dalam memotret penguasaan siswa pada materi tertentu.

Dasar perumusan learning continuum pada penelitian ini adalah indikator-indikator kompetensi yang telah disepakati dan dihasilkan dari kegiatan Delphi.

Indikator-indikator kompetensi itu selanjutnya

diurutkan dari yang paling sederhana ke kompleks. Artinya, kompetensi yang menjadi

prasyarat untuk menguasai kompetensi

lainnya, diletakkan pada urutan awal atau diberi nomor urut kecil. Sebaliknya indikator

kompetensi yang kompleks karena

memerlukan prasyarat berbagai kompetensi lain diberi nomor urut lebih besar. Dengan

demikian, tersusun hierarki indikator

kompetensi sebagai learning continuum yang menunjukkan urutan penguasaan yang harus dilalui oleh siswa.

Hasil kegiatan Delphi menunjukkan bahwa ada dua level kelas, yakni kelas VI SD dan kelas VII SMP di mana rumusan indikator kompetensinya dijadikan sebagai dasar menyusun learning continuum. Oleh karena itu, indikator-indikator kompetensi yang berasal dari KD kelas VI, diberi nomor urut kecil dimulai dari 1 sampai dengan nomor 127. Nomor urut 127 merupakan indikator kompetensi yang berasal dari KD untuk level kelas VII SMP.

Untuk memastikan bahwa rumusan

learning continuum runtut dan tidak adanya

tumpang tindih, maka dilakukan penelaahan kembali oleh peneliti. Selanjutnya, rumusan

learning continuum yang telah dikoreksi

peneliti, dikirim kembali kepada dua orang

guru yang terlibat dalam kegiatan

sebelumnya.

3. Menyusun Hierarki Materi

Kegiatan penyusunan urutan

(hierarki) materi, diawali dengan pemetaan terhadap sejumlah kompetensi pada learning

continuum. Pemetaan difokuskan pada

kompetensi-kompetensi yang memiliki

potensi diukur oleh soal. Pada masing-masing kompetensi yang hendak diukur, diidentifikasi sejumlah kompetensi yang

harus dikuasainya terlebih dahulu.

Kompetensi yang harus dikuasai merupakan kompetensi atau kemampuan prasyarat.

Dari langkah ini, dibuat hubungan antar materi satu dengan lainnya dan materi tertentu dengan kompetensi yang hendak

diukur. Dengan demikian, tersusunlah

hierarki materi. Hierarki ini menunjukkan prasyarat ketergantungan langsung antar materi yang teridentifikasi. Sebagai contoh, jika materi A1 merupakan prasyarat untuk

materi A2 dan A3, maka siswa diasumsikan

tidak akan menguasai materi A2 dan A3

sebelum materi A1 dikuasai. Dengan kata

lain, agar materi A2 dan A3 dapat dikuasai

dengan baik, maka siswa perlu menguasai terlebih dahulu materi A1.

Berdasarkan pada learning continum yang telah dirumuskan sebelumnya dapat diilustrasikan bahwa, agar anak memiliki kompetensi menyederhanakan bentuk aljabar

yang memiliki suku-suku sejenis

(kompetensi nomor urut 52 pada learning

continuum) maka mereka harus menguasai

terlebih dahulu beberapa kompetensi: Sifat distributif perkalian terhadap pengurangan (6); Hasil kali bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat negatif (9); Operasi hitung campuran pada bilangan bulat (10); Suku-suku sejenis pada bentuk aljabar (49); dan Operasi hitung: tambah, kurang, kali, dan bagi pada bentuk aljabar (51). Nomor yang terdapat dalam tanda kurung menunjukkan urutan kompetensi tersebut pada learning

continuum. Dengan demikian, hierarki materi

yang dapat disusun berdasarkan ke-5 kompetensi prasyarat dapat dibuat diagram seperti tampak pada Gambar 1.

Dari hasil telaah praktisi, diperoleh

masukan bahwa untuk menguasai

kompetensi tersebut diperlukan materi

prasyarat tambahan, yaitu: menentukan hasil penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian pada bilangan bulat dan pada bilangan pecahan. Memperhatikan hasil telaah tersebut, maka dilakukan perubahan hierarki dengan memperluas ketergantungan langsung dari suatu kompetensi terhadap kompetensi prasyaratnya. Perubahan hierarki berdasarkan masukan praktisi tersebut dapat dililihat pada Gambar 2.

(6)

Gambar 1: Contoh Hierarki Materi

Gambar 2: Contoh Hierarki Materi yang

Direvisi

4. Mengonstruk Soal

Kegiatan membangun soal dilakukan melalui dua tahapan: tim peneliti secara bersama-sama menulis soal dan hasilnya dikirim kepada dua orang guru SMP yang telah terlibat sejak awal. Soal yang dikonstruk berbentuk uraian. Pada saat tim

peneliti melakukan penulisan soal,

sebelumnya telah disiapkan kartu soal. Adanya kartu soal ini diharapkan dapat mengurangi variasi pemahaman anggota tim peneliti dan memberi batasan yang lebih konkret terhadap apa saja yang harus ditulis. Selain itu, dengan diberikannya kartu soal diharapkan dapat memenuhi unsur validitas

ditinjau dari segi ketercukupan

(appropriateness), kebermaknaan

(meaningfulness) dan kegunaan (usefulness).

Aspek ketercukupan diharapkan

terpenuhi dengan cara menyusun paling sedikit satu soal untuk masing-masing indikator yang telah ditetapkan. Dukungan terhadap prinsip kebermaknaan ditinjau dari sisi penerapannya, yakni penguasaan suatu kompetensi tertentu yang lebih rendah, dapat diterapkan pada kompetensi lain yang lebih kompleks. Aspek kegunaan dilihat dari

keberfungsian masing-masing soal untuk tujuan diagnostik, yakni kemampuan masing-masing soal dalam memberikan informasi khusus tentang apa yang tidak dipahami oleh anak atau salah konsepsi yang mungkin mereka miliki.

Penelaahan soal oleh guru

dimaksudkan untuk menghindari adanya soal yang kurang tepat diujikan untuk anak kelas VII SMP. Pengalaman para guru berhadapan langsung dengan anak, diharapkan mampu

meminimalisir soal-soal seperti yang

diuraikan di atas. Aspek keterbacaan juga menjadi perhatian dalam penelaahan ini, karena menyusun soal dengan bahasa yang cocok untuk anak SMP juga tidak mudah. Walaupun tim peneliti semuanya memiliki kapasitas dan jenjang pendidikan minimal magister, namun sangat mungkin bahasa yang digunakan dalam menulis soal sangat sulit dipahami anak.

5. Uji Empirik

Kegiatan uji empirik diawali dengan penetapan SMP sebagai lokasi uji coba.

Pemilihan SMP diharapkan dapat

mencerminkan variasi yang ada pada siswa dan guru. Variasi pada siswa diharapkan mencakup siswa kelompok pandai, sedang dan kurang pandai. Sementara itu, variasi dari aspek guru mencakup kelas uji empirik diharapkan diajar oleh guru yang berbeda-beda. Dengan adanya variasi tersebut, diharapkan pola pikir dan kecenderungan miskonsepsi anak juga variatif. Selain itu, miskonsepsi yang terjadi bukan dipengaruhi oleh kesalahan guru pada saat menjelesaikan materi tertentu.

Uji empirik dilakukan di 6 SMP,

yaitu SMPN 20 Kota Malang, SMP Wahid Hasyim Kota Malang, SMPN 3 Kota Batu, SMPN 1 Dau Kabupaten Malang, SMPN 4 Singosari Kabupaten Malang dan SMP An Nur Bululawang Kabupaten Malang, dengan melibatkan 389 siswa. Uji empirik dilakukan

dengan tujuan untuk mendapatkan

kecenderungan pola pikir dan miskonsepsi

anak. Kecenderungan pola pikir dan

miskonsepsi anak, selanjutnya dirangkum dalam bentuk pengecoh. Hasil uji empirik

(7)

yang telah dilakukan dirangkum dan disajikan dalam bentuk perangkat soal yang sudah dilengkapi dengan option kunci dan

option pengecah.

6. Validasi Ahli

Setelah semua perangkat penelitian (rumusan SK, KD dan indikator, rumusan

learning continuum, hierarki materi beserta

soal) berhasil disusun, selanjutnya dilakukan validasi ahli. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan agar mendapatkan saran tentang kesesuaian indikator dengan KD, urutan indikator (dari sederhana ke kompleks), urutan pada learning continuum, dan hierarki materi. Hal lain yang diperhatikan dalam kegiatan penelaahan ini di antaranya: kesesuaian soal dengan indikator, kesesuaian

pilihan jawaban dengan atribut serta

efektivitas dan daya tarik pengecoh masing-masing soal. Jadi, validasi tidak semata-mata fokus pada item tes yang berhasil dikonstruk.

Hasil validasi ahli dalam bentuk saran tertulis, dan saran itu di antaranya sebagai berikut. Pertama, untuk bilangan bulat dan pecahan perlu penambahan indikator 1.3, yaitu: Menggunakan sifat-sifat operasi hitung

bilangan bulat dan pecahan dalam

pemecahan masalah; Kedua, perlu

penambahan indikator pada pecahan, yaitu: Melakukan operasi hitung dari bentuk pecahan biasa ke bentuk pecahan persen dan permil; Ketiga, terdapat rumusan indikator yang tidak runtut, yaitu: Menjelaskan pengertian suku-suku sejenis pada bentuk aljabar; Keempat, terdapat indikator yang tidak perlu, yaitu: Memfaktorkan suatu bilangan pada Kompetensi Dasar 4.1; dan Kelima, perlu penambahan indikator pada Kompetensi Dasar 4.4, yaitu: Membaca diagram Venn yang disajikan.

SIMPULAN

Berdasarkan pada rumusan masalah,

tujuan dan prosedur pengembangan

sebagaimana tersebut pada bagian

sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, secara hierarkial materi

aljabar di SMP memiliki ketergantungan langsung dengan materi aritmetika di SD sebagai materi prasyarat. Penguasaan siswa terhadap materi prasyarat untuk aljabar mutlak diperlukan, karena kegagalan siswa menguasai materi prasyarat mengakibatkan kegagalan di dalam menyelesaikan masalah-masalah aljabar. Dalam penelitian ini

dihasilkan Learning Continuum yang

menggambarkan proses penguasaan materi atau kompetensi yang umumnya harus dilalui siswa. Learning Continuum dijadikan sarana untuk melihat materi apa yang telah dikuasai dan materi apa yang belum dikuasai siswa. Dengan demikian, learning continuum sangat membantu dalam memotret penguasaan

siswa pada materi tertentu dengan

menggunakan tes diagnostik.

Kedua, dalam penelitian ini dihasilkan

instrumen tes diagnostik yang dapat

menyediakan informasi miskonsepsi siswa SMP dalam Aljabar. Instrumen tes diagnostik

ini akan digunakan sebagai dasar

pengembangan software Computerized Based

Test (CBT) pada tahap berikutnya. Adapun

langkah-langkah operasional pengembangan

instrumen tes diagnostik sebagaimana

dimaksud meliputi: mengidentifikasi

kompetensi dasar (KD) dan merumuskan indikator, menyusun learning continuum, menyusun hierarki materi, mengonstruk soal, uji empirik dan validasi ahli.

DAFTAR PUSTAKA

Booth, L. R. (1984). Algebra: Children’s

Strategies and Error. Report of the Strategies and Errors in Secondary Mathematics Project. Berkshire: The

NFER-NELSON Publishing

Company.

Briggs, D. C., Alonzo, A. C., Schwab, C., &

Wilson, M. (2006). Diagnostic

Assessment with Ordered Multiple-choice Items. Educational Assess

(8)

Ciofalo, J. F., & Wylie, E. C. (2006). Using Diagnostic Classroom Assessment: One Question at a Time. Teachers

College Record, January 10, 2006.

Diakses dari http://www.tcrecord.org/ PrintContent.asp?ContentID=12285 tanggal 6 Janu-ari 2012.

Depdiknas. 2006. Standar Isi Mata Pelajaran

Matematika SMP. Jakarta: Depdiknas

Fei Ye. (2005). Diagnostic Assessment of

Urban Middle School Student

Learning of Pre-algebra Patterns.

Disertasi Doktor, tidak diterbitkan,

The Ohio State University,

Columbus.

Kato, K. (2009). Improving Efficiency of

Cognitive Diagnosis by Using Diagnostic Item and Adaptive Testing. Disertasi Doktor, tidak diterbitkan, The University of Minne sota, St. Paul.

Ketterline-Geller, L. R & Yovanoff, P. (2009). Diagnostik Assessements in Mathematics to Support Instructional

Decision Making. Practical

Assessment, Research & Evaluation,

14 (16), 2-11.

Krismanto, A. (2008). Pembelajaran Aljabar

Kelas VII SMP/MTs. Yogyakarta:

Pusat Pengembangan dan Pember

dayaan Pendidik dan Tenaga

Kependidikan Matematika.

Kusaeri (2012). Pengembangan Tes

Diagnostik dengan Menggunakan Model DINA untuk Mendapatkan Informasi Salah Konsepsi dalam Aljabar. Disertasi Doktor, tidak

diterbitkan, Universitas Negeri

Yogyakarta, Yogyakarta.

Kusaeri & Suprananto (2012). Pengukuran

dan Penilaian Pendidikan.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Mehrens,W.A. & Lehman, I.J. (1984).

Measurement and Evaluation: In

Education and Psichology.

NewbYork: Holt, Rinehart and

Winston.

Osterlind, S. J. (1998). Constructing Test

Items: Multiple-choice, Constructed-response, and Other Formats (2nd

ed.). Boston, MA: Kluwer Academic Publishers.

Robert, M.R. & Gierl, M.J. (2010).

Developing Score Reports for

Cognitive Diagnostic Assessment.

Educational Measurement: Issue and Practice, 29, 25-38.

Thorndike, R.M. (2005). Measurement and

Evaluation in Psychology and Education. New Jersey: Pearson

education, Inc.

Zeilik, M. (1998). Conceptual Diagnostic Tests. Diambil pada tangal 2 Juni 2011 dari www.flaguide.org/extra/ download/cat/diagnostik/diagnostik.p df.

Referensi

Dokumen terkait

… Bimbingan karir (BK) sebagai sarana pemenuhan kebutuhan perkembangan individu yang harus dilihat sebagai bagian integral dari program pendidikan yang diintegrasikan dalam

siswa yang terintegrasi dalam program bimbingan konseling kepada seluruh siwa. SMK

Apakah kadar Amoniak dan COD yang terdapat dari beberapa air limbah pabrik karet. kering sudah memenuhi standar baku mutu yang dikeluarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah dan dalam rangka menindaklanjuti Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 903/2 429/Sj Perihal Pedoman

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Pendidikan. © Lisa Nuryuliani 2016 Universitas

[r]

Tegangan sisa tekan dari dry shot peening akan menyebabkan Almen test strip melengkung ke arah sisi yang mengalami dry shot peening yang akan diukur dengan almen gage

Selama aktifitas fisik yang lama, seseorang dengan level kebugaran kardiorespiratori yang tinggi dapat menghantarkan energi yang dibutuhkan dalam aktifitas fisik ke sel otot