BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas
Definisi kecelakaan lalu lintas menurut Undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan no. 22 Tahun 2009 adalah ; “Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.” Penggolongan Kecelakaan Lalu Lintas menurut Pasal 229 UU No 22 Tahun 2009 yaitu:
1. Kecelakaan Lalu Lintas ringan yaitu kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang,
2. Kecelakaan Lalu Lintas sedang merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang,
3. Kecelakaan Lalu Lintas berat merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.
2.2. Keselamatan Lalu Lintas
Keselamatan lalu lintas yang berkelanjutan merupakan suatu pendekatan untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas tidak hanya saat ini saja tetapi juga di masa depan. Penanganan ini meliputi tindakan kombinasi, bersifat multidisiplin dan terintegrasi satu sama lain. Keselamatan berkelanjutan ini terdiri dari tiga hal utama,
, kendaraan dirancang melindungi pengguna jalan atau pengemudi, pengguna jalan mendapatkan pendidikan lalulintas yang cukup dan informasi yang memadai.
Infrastruktur jalan yang berkeselamatan mengandung prinsip sebagai berikut (Direktorat Jenderal Bina Marga, 2007 ):
1. Communication, self explaining dan self enforcing road yaitu jalan dirancang dengan tingkat keselamatan yang tinggi, mampu mengkomunikasikan marka, rambu dan lampu isyarat lalulintas kepada penguna jalan. Jalan yang berkesalamatan harus mampu berfungsi secara optimal walaupun tanpa bantuan penegak hukum. Prinsip ini menekankan pentingnya lingkungan jalan didesain dan dilengkapi dengan berbagai perlengkapan jalan yang selalu dapat diandalkan dan dipahami penggunanya.
2. Forgiving road yaitu kondisi jalan yang mampu mengurangi dampak atau tingkat fatalitas pengguna jalan ketika terjadi kecelakaan. Situasi dan kondisi berbahaya mungkin terjadi akibat kegagalan sistem manusia, namun dalam situasi ini lingkungan jalan masih dapat memberikan peluang untuk tidak cidera atau terenggut nyawanya ketika terjadi kecelakaan.
Gambar dibawah ini menjelaskan tentang begitu banyaknya sektor-sektor yang menunjang upaya untuk mengurangi keselamatan lalu lintas. Sektor-sektor tersebut terbentuk dari 5 prinsip pendekatan yaitu pendekatan secara teknik, pendidikan, penegakan hukum dan disiplin, penggalakan dan penggalangan serta pendekatan secara tanggap darurat.
Upaya pengurangan kecelakaan lalu lintas juga dilakukan oleh Kementrian Pekerjaan Umum dibawah Satuan Kerja Direktorat Bina Teknik, Kelompok Kerja Kegiatan Pembinaan Teknik Lingkungan dan Keselamatan Jalan, Ditjen Bina Marga dengan pendekatan secara teknik yaitu pada sektor seperti yang ditunjukan pada bagan gambar dibawah yang berwarna hijau :
1. Perencanaan dan desain keselamatan jalan, 2. Penanganan lokasi rawan kecelakaan.
Strategi peningkatan keselamatan jalan (Depkimpraswil, 2004) terdiri dari 2 kondisi, yaitu:
1. Pencegahan Kecelakaan lalulintas, pencegahan ini berorientasi kepada peningkatan keselamatan lalulintas melalui perbaikan desain geometri.
2. Pengurangan Kecelakaan Lalulintas, berorientasi kepada masalah penanganan yang bersifat eksisting.
Tabel 2.1. merupakan matrik yang meliputi tiga fase penanganan, yaitu penanganan sebelum tabrakan atau pencegahan tabrakan, penanganan ketika tabrakan, dan penanganan setelah tabrakan. Matriks penanganan ini sering disebut dengan matrik Haddon yang berisikan selain fase juga penaganan berkaitan dengan manusia, kendaraan dan jalan.
Tabel 2.1. Matrik Haddon
Fase Manusia Kendaraan Jalan dan Lingkungan
Sebelum
Tabrakan Pencegahan Tabrakan
Informasi Edukasi Enforcement Lampu, rem Perencanaan Jalan Batasan Kecepatan Fasilitas Pejalan kaki Tabrakan Pencegahan Luka Selama
Kecelakaan
Perlindungan diri (misal Helm)
Rancangan perlindungan tabrakan (air bag)
Perlindungan tabrakan sisi jalan (guard rail) Setelah
Tabrakan Keberlanjutan Hidup
Keahlian Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan Risiko kebakaran (desain tangki BBM) Fasilitas Pertolongan Kemacetan
Strategi dasar Penanganan Kecelakaan:
1. Single Site Action Plan yaitu Penanganan segmen tertentu,
2. Mass Action Plan yaitu Penanganan bersifat umum, misal menambal lubang jalan di beberapa lokasi,
3. Route Action Plan yaitu penanganan pada suatu rute jalan tertentu, 4. Area Action Plan yaitu Penanganan pada kawasan tertentu.
Pemilihan teknik penanganan dilakukan dengan:
1. Berpengaruh terhadap pengurangan kecelakaan maupun korban, 2. Tidak menimbulkan jenis kecelakaan yang lain,
3. Tidak mengakibatkan dampak terhadap kinerja jalan, seperti kemacetan.
2.3. Komponen Keselamatan Jalan
Lalu lintas terjadi karena adanya pergerakan dari alat-alat angkutan untuk memenuhi kebutuhan perpindahan manusia dan atau barang. Komponen yang mempengaruhi keselamatan jalan identik dengan unsur-unsur pembentuk lalu lintas yaitu pemakai jalan, kendaraan, jalan, dan lingkungan. Kecelakaan di jalan dapat timbul jika salah satu dari unsur tersebut tidak berperan sebagaimana mestinya. Interaksi komponen keselamatan jalan tersebut akan mempengaruhi tingkat kecelakaan di jalan.
Gambar 2.2. Interaksi Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu lintas(Dephub, 2008)
2.3.1. Komponen Manusia
Manusia dalam hal ini sebagai pengguna jalan merupakan salah satu komponen yang memberikan kontribusi besar terjadinya kecelakaan lalu lintas. Pengguna jalan adalah orang yang menggunakan jalan secara langsung dalam hal ini adalah pengemudi dan pejalan kaki.
Menurut analisis data statistik di Indonesia maupun di luar negeri, penyebab kecelakaan lalu lintas yang terbesar adalah faktor pengemudi. Mengemudi merupakan pekerjaan yang kompleks sehingga memerlukan pengetahuan dan kemampuan tertentu. Pada saat yang sama, pengemudi harus menghadapi kendaraan dengan berbagai peralatannya dan menerima pengaruh atau rangsangan dari keadaan sekelilingnya. Kelancaran dan keselamatan dalam berkendara tergantung pada kesiapan dan keterampilan pengemudi dalam menjalankan kendaraannya. Faktor manusia sebagai pengemudi kendaraan sangat
berperan penting dalam menjalankan kendaraan, dengan mempercepat, memperlambat, dan menghentikan kendaraaan. Hal ini merupakan penyebab utama timbulnya kecelakaan lalu lintas. Beberapa faktor pengemudi yang cenderung menjadi penyebab utama terjadinya kecelakaan lalu lintas antara lain adalah :
1. Pengemudi mabuk (drunk driver); adalah keadaan di mana pengemudi hilang kesadaran karena pengaruh obat-obatan, alkohol, atau narkotika yang dipergunakan pengemudi sebelum ataupun pada saat pengemudi mengemudikan kendaraannya.
2. Pengemudi mengantuk; adalah keadaan dimana pengemudi kurang istirahat (tidur).
3. Pengemudi kurang terampil (unskilled driver); yaitu keadaan dimana pengemudi kurang dapat memperkirakan kendaraannya, misalnya kemampuan untuk melakukan pengereman, kemampuan untuk menjaga jarak dengan kendaraan di depannya, dan lain-lain.
4. Pengemudi lelah (fatiqued or overly tired driver); adalah keadaan di mana pengemudi terbagi konsentrasinya karena kondisi fisik lelah.
5. Pengemudi tidak mempunyai jarak pandang yang cukup; adalah keadaan di mana pengemudi dengan jarak antara kendaraannya dengan kendaraan di depannya kurang dari jarak pandang henti yang disyaratkan.
6. Pengemudi lengah (emotional or distracted driver); yaitu keadaan dimana pengemudi mengemudikan kendaraannya dalam keadaan terbagi konsentrasinya (perhatiannya) karena melamun, mengambil sesuatu,
menyalakan api rokok, menggunakan ponsel, melihat ke kanan–kekiri, ngobrol atau bercakap-cakap selama mengemudikan kendaraan dan sebagainya.
2.3.2. Komponen Kendaraan
Kendaraan merupakan sarana angkutan yang digunakan sebagai perantara untuk mencapai tujuan dengan cepat, selamat dan hemat, serta menunjang nilai aman dan nyaman. Dalam kaitannya dengan keselamatan umum, kendaraan yang digunakan di jalan raya seharusnya sudah mendapatkan sertifikasi layak jalan yang dikeluarkan oleh dinas terkait sebelum dioperasikan. Tingkat resiko terjadinya bahaya kecelakaan akibat ketidaklayakan kendaraan cukup tinggi, sehingga diperlukan ketegasan dari aparat penegak hukum untuk menindak pelanggaran akan hal tersebut. Kendaraan dapat menjadi faktor penyebab kecelakaan apabila tidak dapat dikendalikan sebagaimana mestinya yaitu sebagai akibat kondisi teknisnya yang tidak laik jalan ataupun penggunaan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Yang dimaksud dengan kondisi teknis yang tidak laik jalan misalnya seperti rem blong, mesin yang tiba-tiba mati, ban pecah, kemudi tidak berfungsi dengan baik, lampu mati, dll. Sedangkan penggunaan kendaraan yang tidak sesuai dengan ketentuan misalnya kendaraan yang dimuati secara berlebihan. Terdapat beberapa karakteristik kendaraan yang berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas antara lain:
- Ban; kondisi ban sangat berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas. Pengemudi harus memeriksa kondisi ban dan tekanan udara pada ban. Ban yang gundul serta tekanan ban yang berlebihan pada ban kendaraan dapat menyebabkan ban mudah pecah. Apabila ban mudah pecah, maka kendaraan
tersebut akan kehilangan keseimbangan sehingga kecelakaan lalu lintas dapat terjadi.
- Alat kendali kendaraan; yang termasuk alat-alat kendali kendaraan adalah rem, kopling, dan kemudi. Sebelum memasuki jalan tol, pengemudi harus memeriksa keadaan rem, kopling, dan kemudi. Kondisi rem dan kopling yang sudah tipis, atau minyak rem yang sudah habis, serta keadaan kemudi yang tidak seimbang dapat mengakibatkan kendaraan mudah selip. Pengemudipun dapat kehilangan keseimbangan dalam mengendarai kendaraan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.
- Lampu kendaraan; lampu kendaraan merupakan faktor yang sangat penting, terutama bila kendaraan dioperasikan malam hari. Lampu kendaraan sebagai alat penerangan berfungsi antara lain untuk :
1. Agar kendaraan dapat dikenali/didefinisikan oleh pengemudi,
2. Menyediakan penerangan di luar bagi pengemudi agar dapat melihat pemandangan di depan dan di sekitar kendaraan pada saat kendaraan melaju.
Semua lampu yang berada di kendaraan harus dipastikan berfungsi dengan baik. Bila lampu kendaraan tidak menyala, maka pengemudi tidak dapat melihat keadaan jalan dengan jelas atau kendaraannya tidak dapat dilihat oleh kendaraan lain. Keberadaan kendaraan yang berlawanan arah terkadang menggunakan lampu yang menyulitkan. Keadaan ini dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas.
kendaraan. Semakin besar dimensi kendaraan maka akan semakin lambat akselerasi yang dapat dilakukan sehingga kemungkinan terjadinya kecelakaan
semakin tinggi.
2.3.3. Komponen Jalan
Faktor jalan merupakan satu komponen dari sistem transportasi darat yang merupakan tempat kegiatan transportasi berlangsung. Kondisi jalan dapat menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi jalan yang dapat berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas adalah :
a. Faktor kondisi permukaan jalan.
Faktor kondisi permukaan jalan yang dapat menjadi faktor penyebab kecelakaan antara lain untuk hal-hal sebagai berikut :
- Kerusakan pada permukaan jalan, misalnya terdapat lubang yang tidak dikenali pengemudi.
- Konstruksi jalan yang tidak sempurna, misalnya posisi permukaan bahu jalan terlalu rendah dibandingkan dengan permukaan perkerasan jalan.
Kondisi permukaan perkerasan jalan dalam hal hubungan dengan permasalahan keselamatan dan kenyamanan sangat erat kaitannya dengan aspek kelicinan dan kecepatan. Dengan kata lain, kondisi yang demikian dari permukaan jalan dapat menambah tingkat resiko kecelakaan lalu lintas. Kelicinan dapat terjadi karena berkurangnya koefisien gesekan yang bisa ditimbulkan terutama oleh cuaca serta kotoran lumpur dan tumpahan minyak.
b. Faktor geometrik jalan.
Faktor geometrik yang dapat menjadi faktor penyebab kecelakaan yaitu geometrik jalan yang kurang sempurna, misalnya derajat kemiringan yang terlalu kecil atau terlalu besar pada tikungan, terlalu sempitnya pandangan bebas bagi pengemudi, dan lain sebagainya. Kondisi geometrik jalan merupakan ukuran dari suatu jalan beserta bagian-bagiannya yang disesuaikan dengan sifat-sifat lalu lintas. Pendekatan hubungan geometrik jalan dengan bagian-bagiannya terhadap masalah kecepatan dan keamanan meliputi lebar jalur, lebar bahu, alinyemen horisontal, alinyemen vertikal, dan jarak pandang.
Peranan dan fungsi jalan sangat dipengaruhi oleh keadaan dan kondisi tata guna lahan sisi jalan. Karakteristik prasarana jalan akan mempengaruhi intensitas dan kualitas kecelakaan lalu lintas, maka dalam pembangunan setiap jaringan jalan harus disesuaikan dengan pola tingkah laku dan kebiasaan pemakai jalan. Untuk memenuhi jalan yang sesuai dengan pola tingkah laku dan kebiasaan pemakai jalan, maka jalan harus dirancang, dilengkapi, dipelihara, serta dioperasikan secara terencana dan menggunakan pemenuhan kebutuhan informasi pemakai jalan dalam rangka mengantisipasi dan pengambilan keputusan.
2.3.4. Komponen Lingkungan
Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas. Diantaranya adalah kendaraan berhenti, penyeberang jalan, asap kendaraan, asap lingkungan, hewan, dan benda asing di jalan misalnya paku, batu besar, dan pecahan kaca. Kendaraan yang tidak berhenti pada tempat yang sudah disediakan dapat
menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Benda-benda asing juga dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas, misalnya: paku, batu, dan lain-lain. Benda-benda ini sangat membahayakan terutama bila benda tersebut berbentuk tajam atau mudah membocorkan ban. Bila suatu kendaraan bergerak dengan kecepatan tinggi dan mengenai paku yang ada di jalan, maka ban kendaraan tersebut akan meletus dengan tiba-tiba. Keadaan seperti ini biasanya tidak dapat dikendalikan oleh pengemudi.
Asap tebal yang terdapat di jalan, baik asap kendaraan maupun asap lingkungan (pembakaran sampah/rumput di pinggir jalan), juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas. Asap tebal dapat menghalangi pandangan pengemudi, sehingga tidak dapat melihat jalan maupun kendaraan lain yang berada di depannya. Lingkungan jalan yang kurang memadai mengakibatkan kenyamanan dari pengemudi menurun, sehingga kemampuan dalam mengendalikan kendaraan akan menurun pula. Lingkungan di sekitar jalan, misalnya daerah permukiman, peternakan, pembakaran ladang dan jerami dapat menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas, khususnya untuk jalan dengan kecelakaan kendaraan tinggi.
2.4. Lokasi Rawan Kecelakaan
2.4.1. Definisi Lokasi Rawan Kecelakaan
Dalam konteks ke-Indonesiaan para stakeholder lalu lintas jalan dan angkutan jalan belum menyepakati secara bulat pengertian istilah “blackspot” yang digunakan secara internasional dalam kajian dan kebijakan keselamatan jalan. Untuk kepentingan studi ini, maka beberapa pengertian yang dirumuskan oleh stakeholder lalu lintas jalan dan angkutan jalan akan diterjemahkan sebagai pengertian blackspot.
1. Definisi Daerah Rawan Kecelakaan (Black Spot) menurut Ditjen Bina Marga
Berdasarkan Pedoman Pd T-09-2004-B Penanganan lokasi rawan kecelakaan lalu lintas (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2004), suatu lokasi dinyatakan sebagai lokasi rawan kecelakaan lalulintas apabila memiliki beberapa kondisi. Kondisi-kondisi tersebut meliputi:
a. angka kecelakaan yang tinggi,
b. lokasi kejadian kecelakaan relatif menumpuk,
c. lokasi kecelakaan berupa persimpangan atau segmen ruas jalan sepanjang (100 – 300) m untuk jalan perkotaan dan ruas jalan sepanjang 1 km untuk jalan antar kota.
d. kecelakaan yang terjadi dalam ruang dan rentang waktu yang relatif sama e. memiliki penyebab kecelakaan dengan faktor yang spesifik.
Kemudian dipertegas lagi berdasarkan Instruksi Direktur Jenderal Bina Marga No. 02/IN/Db/2012 tentang Panduan Teknis Rekayasa Keselamatan Jalan istilah black spot
didefinisikan sebagai lokasi tempat paling banyak terjadi tabrakan fatal atau tabrakan dengan korban cedera terbanyak.
2. Definisi Daerah Rawan Kecelakaan (Black Spot) menurut Kementerian
Perhubungan
Berdasarkan Pedoman Operasi Accident Blackspots Investigation Unit/Unit Penelitian Kecelakaan (ABIU/UPK) (Dirjen Perhubungan Darat, 2007), mendefinisikan daerah rawan kecelakaan atas beberapa katagori berdasarkan kriteria sebagai berikut:
a. Blackspot adalah lokasi pada jaringan jalan (sebuah persimpangan, atau bentuk yang spesifik seperti jembatan, atau panjang jalan yang pendek, biasanya tidak lebih dari 0,3 km), di mana frekuensi kecelakaan atau jumlah kecelakaan lalu lintas dengan korban mati, atau kriteria kecelakaan lainnya, per tahun lebih besar daripada jumlah minimal yang ditentukan.
b. Blacklink adalah panjang jalan (lebih dari 0,3 km, tapi biasanya terbatas dalam satu bagian rute dengan karakteristik serupa yang panjangnya tidak lebih dari 20 km) yang mengalami tingkat kecelakaan, atau kematian, atau kecelakaan dengan kriteria lain per kilometer per tahun, atau per kilometer kendaraan yang lebih besar daripada jumlah minimal yang telah ditentukan.
c. Blackarea adalah wilayah di mana jaringan jalan (wilayah yang meliputi beberapa jalan raya atau jalan biasa, dengan penggunaan tanah yang seragam dan yang digunakan untuk strategi manajemen lalu lintas
berjangkauan luas. Di daerah perkotaan wilayah seluas 5 km persegi sampai 10 km persegi cukup sesuai) mengalami frekuensi kecelakaan, atau kematian, atau kriteria kecelakaan lain, per tahun yang lebih besar dari jumlah minimal yang ditentukan.
3. Definisi Daerah Rawan Kecelakaan (Black Spot) menurut Kepolisian
Republik Indonesia
Definisi Black Spot Menurut POLRI adalah
a. Panjang lokasi black spot 300-500 m atau sebuah simpang
b. Ditetapkan melalui angka ekivalen kecelakaan (AEK) dengan nilai kesepakatan tingkat keparahan kejadian kecelakaan dan realitas kondisi data yang diproses oleh kepolisian.
c. Nilai bobot adalah kecelakaan dengan MD=10, LB=5 dan LR=1 tanpa menghitung jumlah korban.
Tabel 2.2. Matrik Perbandingan Pengertian Lokasi Rawan Kecelakaan Sumber Kriteria Pedoman Pd T-09-2004-B Penanganan lokasi rawan kecelakaan lalu lintas (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2004), Pedoman Operasi Accident Blackspots Investigation Unit/Unit Penelitian Kecelakaan (ABIU/UPK) (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 2007), Instruksi Direktur Jenderal Bina Marga No. 02/IN/Db/2012 tentang Panduan Teknis Rekayasa Keselamatan Jalan Modul Penentuan dan Pengkajian Blackspot bagi Kepolisian Republik Indonesia Umum a. Angka kecelakaan yang tinggi, b. Lokasi kejadian kecelakaan relatif menumpuk, c. Kecelakaan yang terjadi dalam
frekuensi kecelakaan atau jumlah kecelakaan lalu lintas dengan korban mati, atau kriteria
kecelakaan lainnya, per tahun
Lokasi tempat paling banyak terjadi kecelakaan fatal atau tabrakan dengan korban cedera terbanyak a. Ditetapkan melalui angka ekivalen kecelakaan (AEK) dengan nilai kesepakatan tingkat keparahan kejadian kecelakaan dan realitas kondisi data
Sumber Kriteria Pedoman Pd T-09-2004-B Penanganan lokasi rawan kecelakaan lalu lintas (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2004), Pedoman Operasi Accident Blackspots Investigation Unit/Unit Penelitian Kecelakaan (ABIU/UPK) (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 2007), Instruksi Direktur Jenderal Bina Marga No. 02/IN/Db/2012 tentang Panduan Teknis Rekayasa Keselamatan Jalan Modul Penentuan dan Pengkajian Blackspot bagi Kepolisian Republik Indonesia
ruang dan rentang waktu yang relatif sama d. Memiliki penyebab kecelakaan dengan faktor yang spesifik. lebih besar daripada jumlah minimal yang ditentukan.
yang diproses oleh kepolisian.
c. Nilai bobot adalah kecelakaan dengan MD=10, LB=5 dan LR=1 tanpa
menghitung jumlah korban
Sumber Kriteria Pedoman Pd T-09-2004-B Penanganan lokasi rawan kecelakaan lalu lintas (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2004), Pedoman Operasi Accident Blackspots Investigation Unit/Unit Penelitian Kecelakaan (ABIU/UPK) (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 2007), Instruksi Direktur Jenderal Bina Marga No. 02/IN/Db/2012 tentang Panduan Teknis Rekayasa Keselamatan Jalan Modul Penentuan dan Pengkajian Blackspot bagi Kepolisian Republik Indonesia Blackspot; Lokasi Tunggal a. Lokasi kecelakaan berupa titik atau persimpangan jalan perkotaan: segmen ruas jalan sepanjang 200 m sampai 300 m jalan antar kota :
lokasi pada jaringan jalan seperti: a. Persimpangan, b. Bentuk yang spesifik seperti jembatan, c. Panjang jalan yang pendek yaitu
Tidak ada ketentuan
Panjang lokasi black spot 300-500 m atau sebuah simpang
Sumber Kriteria Pedoman Pd T-09-2004-B Penanganan lokasi rawan kecelakaan lalu lintas (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2004), Pedoman Operasi Accident Blackspots Investigation Unit/Unit Penelitian Kecelakaan (ABIU/UPK) (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 2007), Instruksi Direktur Jenderal Bina Marga No. 02/IN/Db/2012 tentang Panduan Teknis Rekayasa Keselamatan Jalan Modul Penentuan dan Pengkajian Blackspot bagi Kepolisian Republik Indonesia
segment ruas jalan sepanjang 1 km
tidak lebih dari 0,3 km
Blacklink; Segmen Ruas
lokasi merupakan ruas jalan atau segmen ruas jalan dengan panjang minimal 1 km.
Panjang jalan dalam satu bagian rute yang memiliki karakteristik serupa dengan panjang 0,3 km sampai 20 km. Tidak ada ketentuan
Sumber Kriteria Pedoman Pd T-09-2004-B Penanganan lokasi rawan kecelakaan lalu lintas (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2004), Pedoman Operasi Accident Blackspots Investigation Unit/Unit Penelitian Kecelakaan (ABIU/UPK) (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 2007), Instruksi Direktur Jenderal Bina Marga No. 02/IN/Db/2012 tentang Panduan Teknis Rekayasa Keselamatan Jalan Modul Penentuan dan Pengkajian Blackspot bagi Kepolisian Republik Indonesia Blackarea; Wilayah a. Wilayah yang meliputi beberapa jalan raya atau jalan biasa, dengan penggunaan tanah yang seragam dan yang digunakan untuk strategi manajemen
Tidak ada ketentuan
Sumber Kriteria Pedoman Pd T-09-2004-B Penanganan lokasi rawan kecelakaan lalu lintas (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2004), Pedoman Operasi Accident Blackspots Investigation Unit/Unit Penelitian Kecelakaan (ABIU/UPK) (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 2007), Instruksi Direktur Jenderal Bina Marga No. 02/IN/Db/2012 tentang Panduan Teknis Rekayasa Keselamatan Jalan Modul Penentuan dan Pengkajian Blackspot bagi Kepolisian Republik Indonesia lalulintas berjangkauan luas. b. Di daerah perkotaan dengan luas wilayah 5 km2 sampai 10 km2.
Pada studi ini maka definisi lokasi rawan kecelakaan yang akan digunakan sebagai acuan adalah Modul Penentuan dan Pengkajian Blackspot bagi Kepolisian
Republik Indonesia. Akan tetapi penggunaan Pedoman ini sebagai acuan pada studi ini tidak digunakan secara kaku, akan tetapi melihat kondisi dilapangan.
Untuk survei lapangan yang akan dilakukan, tetap mengacu pada pedoman Pd T-09-2004-B namun dengan batasan panjang survei sesuai dengan Modul Kepolisian.
2.4.2. Identifikasi Lokasi Rawan Kecelakaan
Identifikasi lokasi rawan kecelakaan lalu lintas pada dasarnya memberikan suatu persyaratan penentuan lokasi kecelakaan terburuk atau lokasi rawan kecelakaan yang memiliki prioritas tertinggi untuk mendapatkan penanganan. Secara umum persyaratan penentuan lokasi tersebut menyangkut tiga hal, yaitu:
1. Persyaratan data kecelakaan lalu lintas
2. Persyaratan angka ekivalen tingkat keparahan kecelakaan dalam sistem pembobotan untuk memeringkatkan lokasi-lokasi rawan kecelakaan
3. Persyaratan nilai total minimal yang ditetapkan sebagai batas bawah suatu lokasi ditetapkan sebagai lokasi rawan kecelakaan yang mendapat prioritas penanganan.
1. Persyaratan data kecelakaan lalu lintas
1. Data kecelakaan lalu lintas diperoleh dari kepolisian, yaitu data IRSMS yang diperoleh Korlantas Pusat, dan data Rekap Kecelakaan dari Polres yang dituju 2. Pedoman Pd T-09-2004-B Penanganan lokasi rawan kecelakaan lalu lintas
penggunaan data kecelakaan minimal 2 tahun berturut-turut dan sebaiknya adalah 3 tahun berturut-turut
3. Pedoman Operasi Accident Blackspots Investigation Unit/Unit Penelitian Kecelakaan (ABIU/UPK) (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 2007), mensyaratkan penggunaan data kecelakaan minimal 3 tahun berturut-turut 4. Instruksi Direktur Jenderal Bina Marga No. 02/IN/Db/2012 tentang Panduan
Teknis Rekayasa Keselamatan Jalan mensyaratkan penggunaan data kecelakaan minimal 3 tahun terakhir.
2. Persyaratan angka ekivalensi kecelakaan tingkat keparahan kecelakaan
(AEK)
1. Penetapan lokasi rawan kecelakaan lalu lintas dilakukan dengan metode pemeringkatan berdasarkan kepada tingkat keparahan kecelakaan di setiap lokasi.
2. Tingkat keparahan kecelakaan diukur melalui metode pembobotan tingkat keparahan kecelakaan yang dirumuskan sebagai angka ekivalensi tingkat keparahan kecelakaan
3. Instruksi Direktur Jenderal Bina Marga No. 02/IN/Db/2012 tentang Panduan Teknis Rekayasa Keselamatan Jalan, menetapkan 3 katagori tingkat keparahan kecelakaan dan angka ekivalensinya, yaitu:
a. tabrakan berakibat fatal / meninggal (F) : 10 b. tabrakan berakibat parah (P) : 5
Pendekatan ini tidak memandang jumlah korban yang terjadi dalam setiap kecelakannya, namun hanya berbasis pada jumlah kejadian kecelakaan.
Metode pemeringkatan menggunakan AEK ini seperti juga dipakai pada Modul Penentuan dan Pengkajian Blackspot bagi Kepolisian Republik Indonesia. Metode Polri ditetapkan melalui angka ekivalen kecelakaan (AEK) dengan nilai kesepakatan tingkat keparahan kejadian kecelakaan dan realitas kondisi data yang diproses oleh kepolisian.
Nilai bobot adalah kecelakaan tanpa menghitung jumlah korban a. Meninggal Dunia (MD) : 10
b. Luka Berat (LB) : 5 c. Luka Ringan (LR) : 1 Contoh penggunaan:
Berikut data kecelakaan lalu lintas di 4 lokasi serta pemeringkatannya berdasarkan nilaii AEK. Dalam pendekatan ini jumlah korban tidak diperhatikan, keparahan korban kecelakaan pada setiap peristiwa kecelakaan hanya akan menjadi kriteria pengkatagorian tingkat keparahan kecelakaan. Selanjutnya setiap peristiwa kecelakaan dikalikan dengan AEK nya dan kemudian di total untuk menjadi referensi penilaian peringkat.
Tabel 2.3. Contoh pemeringkatan lokasi rawan kecelakaan
NO LOKASI KECELAKAAN JUMLAH KEPARAHAN TINGKAT F X P X L X TOTAL AEK RANGKING
F P L 10 5 1 1 Jl. Atas 7 1 0 6 10 0 6 16 4 2 Jl. Bawah 8 3 3 2 30 15 2 47 1 3 Jl. Tengah 6 3 2 1 30 10 1 41 2 4 Jl. Samping 17 0 3 14 0 15 14 29 3
Keterangan data kecelakaan lalu lintas pada setiap lokasi adalah sebagai berikut : 1. Jl. Atas: total kecelakaan yang terjadi adalah 7 dengan rincian:
a. 1 kecelakaan dengan akibat 3 orang meninggal dunia ( F = 1); dan b. 6 kecelakaan dengan akibat 8 orang korban luka ringan (L = 6) 2. Jl. Bawah: total kecelakaan yang terjadi adalah 8 dengan rincian:
a. 3 kecelakaan dengan akibat 4 orang meninggal dunial, 1 orang luka parah, dan 2 orang luka ringan (F=3);
b. 3 kecelakaan dengan akibat 3 orang luka parah, 2 orang luka ringan (P=3); dan c. 2 kecelakaan dengan akibat 2 orang luka ringan (L=2)
3. Jl. Tengah: total kecelakaan yang terjadi adalah 6 dengan rincian:
a. 3 kecelakaan dengan akibat 3 orang meninggal dunia dan 3 orang luka ringan (F=3);
b. 2 kecelakaan dengan akibat 2 orang luka parah dan 4 orang luka ringan (P=2); dan
c. 1 kecelakaan dengan 3 orang korban luka ringan (L=1)
a. 3 kecelakaan dengan akibat 4 orang luka parah dan 1 orang luka ringan (P=3); dan
b. 14 kecelakaan dengan akibat 17 orang korban luka ringan (L=14)
d. Persyaratan nilai total minimal
Persyaratan nilai total minimal adalah nilai total AEK setiap lokasi kecelakan yang ditetapkan sebagai batas bawah (syarat minimal) suatu lokasi untuk dapat ditetapkan sebagai lokasi rawan kecelakaan (blackspot) yang memerlukan penanganan segera. Persyaratan nilai total minimal AEK yang mengacu pada metode Modul Kepolisian sudah disepakati oleh 3 Instansi yang terkait yaitu Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perhubungan, dan Kepolisian secara seragam oleh stakeholder terkait. Menurut Modul Kepolisian nilai indeks batas untuk menetapkan lokasi minimal adalah 30.
2.5. Penanganan Lokasi Rawan Kecelakaan
Penanganan lokasi rawan kecelakaan sangat bergantung pada akurasi data kecelakaan. Karenanya data yang digunakan untuk upaya penanganan ini harus bersumber pada instansi resmi. Penanganan pada lokasi kecelakaan harus dapat mengurangi angka dan korban kecelakaan semaksimal mungkin, sedangkan solusi penanganan kecelakaan dipilih berdasarkan pertimbangan tingkat pengurangan kecelakaan dan pertimbangan ekonomis. Upaya penanganan yang ditujukan meningkatkan kondisi keselamatan pada lokasi kecelakaan lalulintas dapat dilakukan melalui rekayasa jalan, rekayasa lalulintas dan manajemen lalulintas. Keselamatan jalan raya sendiri merupakan upaya mengurangi kecelakaan lalulintas dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab kecelakaan, yaitu
prasarana transportasi atau jalan raya dengan kelengkapannya, faktor lingkungan, sarana transportasi atau kendaraan, manusia sebagai pengguna jalan, dan peraturan yang mengatur lalulintas kendaraan.
2.5.1. Analisis Karakteristik Data Kecelakaan Lalu lintas
Analisis data dilakukan dengan pendekatan 5W + 1H, yaitu Why (penyebab kecelakaan), What (tipe tabrakan), Where (lokasi kecelakaan), Who (pengguna jalan yang terlibat), When (waktu kejadian), dan How (tipe pergerakan kendaraan).
1. Why: Faktor Penyebab Kecelakaan
Faktor penyebab kecelakaan (Why) dimaksudkan untuk menemukan faktor
dominan penyebab suatu kecelakaan. Faktor ini, antara lain adalah terbatasnya jarak pandang pengemudi yang mengakibatkan pengemudi kendaran mengalami kesulitan untuk mendahului atau menghentikan kendaraan, pelanggaran terhadap rambu lalulintas seperti melebihi batas kecepatan yang diperkenankan, kurang konsentrasi akibat terlalu lelah dalam perjalanan, parkir di tempat yang salah, kurangnya penerangan yang berakibat jarak pandang pengemudi terbatas, kurang antisipasi terhadap kondisi lalulintas seperti mendahului pada jarak yang tidak aman, dan tidak memberi tanda kepada kendaraan lain ketika akan berbelok. Analisis tipe tabrakan (What) bertujuan untuk menemukenali tipe tabrakan yang dominan disuatu lokasi kecelakaan. Tipe tabrakan yang akan ditemukenali, antara lain, adalah menabrak orang (pejalan kaki), tabrak depan-depan, tabrak depan-belakang, tabrak depan-samping, tabrak
samping-samping, tabrak belakang-belakang, tabrak benda tetap di badan jalan, dan kecelakaan sendiri atau lepas kendali.
Menabrak pejalan kaki, dalam hal ini dapat berupa pejalan kaki yang menyeberang jalan atapun pejalan kaki yang berjalan dipinggir jalan, keadaan ini dimungkinkan jika jalan tersebut tidak dilengkapi dengan tempat perlindungan bagi pejalan kaki seperti trotoar ataupun median jalan. Tabrak depan-depan adalah tabrakan bagian depan kendaraan dengan bagian depan kendaraan, tabrakan ini dikarenakan, antara lain kurangnya jarak aman ketika mendahului. Tabrak depan-belakang adalah tabrakan antara bagian depan kendaraan dengan bagian belakang kendaraan yang ada di depannya, tabrakan ini terjadi karena jarak pandangan henti kendaraan yang tidak mencukupi. Tabrak depan-samping adalah tabrakan antara bagian depan kendaraan dengan bagian samping kendaraan lain, tabrakan ini sering terjadi di persimpangan antara gerak kendaraan lurus dan gerak kendaraan berbelok dari arah berseberangan. Tabrak samping-samping adalah tabrakan antara bagian samping kendaraan yang satu dengan bagian samping kendaraan yang lain. Tabrak samping-samping sering terjadi pada daerah jalinan (weaving). Tabrak belakang-belakang, yaitu tabrak antara bagian belakang kendaraan dengan bagian belakang kendaraan yang lain. Tabrakan ini terjadi ketika pengemudi kendaraan kurang antisipasi ketika memundurkan kendaraan. Tabrak benda tetap di badan jalan, hal ini terjadi ketika kendaraan menabrak obyek yang bersifat tetap di badan jalan seperti median. Tabrak benda tetap di badan jalan dapat terjadi di malam hari karena tidak adanya lampu penerangan jalan. Kecelakaan sendiri, yaitu kecelakaan yang dikarenakan kendaraan lepas kendali, misalnya karena kendaraan selip.
Berdasarkan formulir data kecelakaan dengan Sistem 3-L, beberapa faktor-dominan penyebab kecelakaan adalah:
a. Terbatasnya jarak pandang pengemudi, b. Pelanggaran terhadap rambu lalu lintas,
c. Kecepatan tinggi seperti melebihi batas kecepatan yang diperkenankan, d. Kurang antisipasi terhadap kondisi lalu lintas seperti mendahului tidak aman, e. Kurang konsentrasi,
f. Parkir di tempat yang salah, g. Kurangnya penerangan,
h. Tidak memberi tanda kepada kendaraan lain, dsb.
2. Where: Lokasi Kejadian
Lokasi kecelakaan (Where) atau yang dikenal dengan tempat kejadian perkara
(TKP) mengacu kepada lingkungan lokasi kecelakaan, seperti lingkungan permukiman, lingkungan perkantoran atau sekolah, lingkungan tempat perbelanjaan, dan lingkungan pedesaan. Karakteristik dari masing-masing lingkungan tersebut berbeda, seperti lingkungan sekolah akan terdapat banyak kendaraan antar jemput yang menaik turunkan anak sekolah, atau anak sekolah yang berjalan menyeberang jalan, sehingga penanganannya akan berbeda dengan lingkungan jalan luar kota (rural) atau pedesaan.
3. Who: Keterlibatan Pengguna Jalan
Keterlibatan pengguna jalan (Who) dalam kecelakaan dikelompokkan sesuai
dengan tipe pengguna jalan. Tipe pengguna jalan dapat dibagi menjadi tipe kendaraan dan pejalan kaki. Tipe kendaraan, antara lain, mobil penumpang umum, mobil angkutan barang, bus, sepeda motor, dan kendaraan tak bermotor. Pejalan kaki terdiri dari pejalan kaki yang menyeberang jalan atau pejalan kaki yang berjalan di sisi jalan.
4. When: Waktu Kejadian Kecelakaan
Waktu kejadian kecelakaan (When) dapat ditinjau dari kondisi penerangan di TKP atau jam kejadian kecelakaan. Kondisi penerangan dapat dikelompokkan seperti malam gelap atau tidak ada penerangan, malam ada penerangan, siang terang, siang gelap (hujan, berkabut, asap), dan subuh atau senja. Sedangkan jam kejadian kecelakaan menunjukkan jam berapa ketika terjadinya kecelakaan.
5. How: Kejadian Kecelakaan
Suatu kecelakaan lalulintas, pada dasarnya didahului oleh suatu manuver
pergerakan tertentu (How). Tipikal manuver pergerakan kendaraan yang menyebabkan kecelakaan meliputi gerak lurus, memotong atau menyiap kendaraan lain, berbelok, berputar arah, berhenti mendadak, keluar masuk tempat parkir, dan bergerak terlalu lambat.
2.5.2. Pemilihan Teknik Penanganan
1) Pemilihan teknik penanganan lokasi rawan kecelakaan terutama didasarkan atas pertimbangan efektifitas. Selain itu, suatu penanganan yang diusulkan perlu memperhitungkan ekonomis tidaknya penanganan tersebut untuk diterapkan. Karena itu, suatu teknik penanganan dapat diusulkan apabila : a. dapat dipastikan teknik tersebut memiliki pengaruh signifikan dalam
mengurangi kecelakaan dan fatalitas kecelakaan;
b. sedapat mungkin tidak mengakibatkan timbulnya tipe kecelakaan lain; c. tidak mengakibatkan dampak terhadap kinerja jalan, seperti kemacetan. 2) Berkaitan dengan prinsip tersebut, maka :
a. teknik penanganan dipilih berdasarkan tingkat pengurangan kecelakaan yang optimal dari faktor-faktor penyebab kecelakaan yang teridentifikasi; b. pemilihan teknik penanganan sangat bergantung kepada tipe kecelakaan
dan penyebabnya yang dinilai lebih mendominasi tipe lainnya;
c. desain penanganan yang disiapkan merupakan suatu paket penanganan yang terdiri atas beberapa paket penanganan dan biasanya dipersiapkan lebih dari satu alternatif paket penanganan;
d. suatu paket penanganan yang optimal merupakan serangkaian teknik penanganan yang terintegrasi satu sama lain yang dapat menghasilkan tingkat pengurangan kecelakaan yang lebih maksimal.
2.5.3. Pendekatan Penanganan Lokasi Rawan Kecelakaan
Berdasarkan Pedoman Pd T-09-2004-B Penanganan Lokasi Rawan Kecelakaan Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah tahun 2004 penyebab kecelakaan lalu lintas dan usulan penanganannya dijelaskan sebagai berikut.
Dari analisis kecelakaan lalulintas terdapat beberapa penyebab kecelakaan, yaitu: a. Selip atau licin,
Penyebab kendaraan selip diakibatkan oleh kekasaran permukaan jalan yang kurang, sehingga menyebabkan jalan menjadi licin. Untuk mencegahnya kekasaran permukaan jalan harus ditingkatkan, dengan perbaikan tekstur misalnya melalui pengaspalan ulang atau pembuatan perkerasan beton bertekstur. Selain itu adanya delineasi jalan yang lebih baik dapat membantu pengemudi mengenali alinyemen jalan dan mencegah terjadinya selip.
b. Tabrakan dengan rintangan pinggir jalan,
Tabrakan dengan rintangan pinggir jalan dapat terjadi khususnya pada daerah timbunan yang cukup tinggi atau pada oprit jembatan. Untuk mencegahnya diperlukan pemasangan guadrail atau pagar keselamatan agar kendaraan tidak keluar dari badan jalan.
c. Konflik pejalan kaki dengan kendaraan,
Konflik dengan pejalan kaki sering diakibatkan tidak adanya fasilitas untuk pejalan kaki. Untuk mencegah konflik tersebut diperlukan pemisahan jalur pejalan kaki dengan jalur kendaraan. Fasilitas jembatan penyeberangan, trotoar, dan refuge, merupakan salah satu bentuk dari pemisahan pejalan kaki dengan kendaraan.
d. Kehilangan kontrol,
Salah satu penyebab kendaraan kehilangan kontrol adalah karena kendaraan berjalan dengan kecepatan tinggi. Untuk mengurangi resiko kecelakaan akibat kehilangan kontrol kendaraan saat berkecepatan tinggi, dilakukan:
1. Dengan pemasangan pengontrol kecepatan, misalnya pembuatan pita penggaduh, untuk memaksa kendaraan mengurangi kecepatan, dan pemasangan rambu pembatas kecepatan.
2. Dengan pemarkaan jalan, delineasi yang baik, pemasangan guadrail, yang terlihat jelas oleh pengemudi untuk membantu pengemudi mengenali medan dan alinyemen jalan
Dengan adanya kelengkapan jalan tersebut maka pengemudi kendaraan dapat menjalankan kendaraan dengan lebih hati-hati.
a. Malam hari (gelap),
Ketidakmampuan pengguna jalan untuk melihat informasi keadaan lingkungan jalan dengan jelas dapat menyebabkan terjadinya kcelakaan. Hal ini sering terjadi khususnya pada malam hari. Untuk menghindari kecelakaan lalulintas yang diakibatkan kondisi lingkungan yang gelap maka diperlukan pemasangan penerangan jalan, rambu, melengkapi marka jalan dengan paku reflektor, dan pemakaian bahan marka jalan yang memantulkan cahaya.
b. Jarak pandang di ruas dan di tikungan yang buruk, dan
Tikungan atau ruas jalan dengan jarak pandang yang buruk dapat menyebabkan kecelakaan karena pengemudi kendaraan tidak dapat melihat adanya obyek atau halangan yang terletak didepannya. Untuk mencegahnya diperlukan perbaikan
alinyemen jalan, perbaikan ruang bebas samping pada tikungan, perambuan, dan pemarkaan jalan..
c. Perilaku pengemudi kendaraan dalam penggunaan lajur jalan yang tidak baik.
Perilaku mengemudi yang sering berpindah lajur, sangat beresiko menimbulkan kecelakaan. Terutama saat pegemudi melaju dengan kecepatan tinggi dan berusaha menyiap kendaraan tanpa memperhatikan jarak aman dan jarak pandangan. Untuk mencegah hal tersebut dapat dibuat pemasangan median dan pemarkaan jalan. Selain itu tindakan penegakan hukum merupakan salah satu cara agar perilaku pengemudi dapat menjadi lebih tertib
Penyebab dan usulan penanganan lokasi rawan kecelakaan lalulintas secara umum dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Usulan Penanganan Secara Umum
No. Penyebab Kecelakaan Usulan Penanganan 1 Selip atau licin Perbaikan tekstur permukaan jalan
Delineasi yang lebih baik 2 Tabrakan dengan atau
rintangan pinggir jalan
Pagar (guardrail)
Pagar keselamatan (safety fences) 3 Konflik pejalan kaki
dengan kendaraan
Pemisahan pejalan kaki dengan kendaraan Fasilitas penyeberangan untuk pejalan kaki Fasilitas perlindungan pejalan kaki
4 Kehilangan kontrol
Marka jalan Delineasi
Pengendalian kecepatan Pagar (guardrail) 5 Malam hari (gelap)
Rambu-rambu yang memantulkan cahaya Delineasi
Marka jalan Penerangan jalan
6 Jarak pandang buruk Perbaikan alinyemen jalan Perbaikan garis pandang
7 Jarak pandang buruk pada tikungan
Perbaikan alinyemen jalan
Perbaikan ruang bebas samping (pembersihan tanaman, dsb)
Perambuan
Kanalisasi atau marka jalan 8 Tingkah mengemudi/disiplin lajur laku
buruk
Marka jalan Median
Penegakan hukum Sumber: Depkimpraswil, 2004
Titik rawan kecelakaan lalulintas dapat terjadi di ruas jalan atau di persimpangan jalan. Pemisahan lokasi ruas dan persimpangan jalan dilakukan karena terdapat perbedaan penyebab dan tindakan penanganannya. Kecelakaan di persimpangan jalan antar kota terutama disebabkan pergerakan kendaraan yang membelok, mendahului, dan adanya
akses dari jalan minor ke jalan tersebut. Bahaya pergerakan kendaraan membelok, mendahului dan akses dari jalan minor dapat diantisipasi dengan adanya larangan ataupun informasi yang jelas terhadap pergerakan tersebut. Selain itu tersedianya lajur perlambatan dan percepatan juga dapat menghindari konflik antara kendaraan menerus dan yang berputar. Penyebab kecelakaan dan usulan penanganan kecelakaan lalulintas untuk persimpangan jalan antar kota diperlihatkan pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Usulan Penanganan untuk ruas jalan perkotaan
No. Penyebab Kecelakaan Usulan Penanganan
1 Kendaraan Parkir Kontrol Perpakiran Pengadaan Tempat Parkir
2 Kecepatan Tinggi
Pengaturan batas kecepatan melalui rambu batas kecepatan
Pengurangan Kecepatan pada lokasi – lokasi yang ramai dengan pejalan kaki
Alat Pengendalian kecepatan ( pita pengaduh /rumble strep,rumble area,road hump)
Penerapan alat pengontrol kecepatan ( kamera ) Penegakan hukum
Sumber: Depkimpraswil, 2004
Pada ruas jalan luar kota, penyebab utama kecelakaan adalah a. Kendaraan yang mendahului kendaraan lain,
Pergerakan kendaraan mendahului dimungkinkan karena adanya kendaraan yang bergerak lebih lambat sehingga mengganggu pergerakan kendaraan yang berada di belakangnya. Kurangnya antisipasi pengemudi kendaraan ketika kendaraannya mendahului kendaraan lain dapat dicegah dengan pemarkaan dan perambuan yang jelas
b. Pengembangan daerah sisi jalan,
Pengembangan kawasan sekitar jalan antar kota juga sering menjadi kendala karena menyebabkan tingginya hambatan samping. Jika pengembangan sisi jalan pada jalan perkotaan akan menyebabkan penurunan kecepatan. Namun pada jalan luar kota dengan kecepatan tinggi, pengembangan sisi jalan juga akan berpotensi menimbulkan kecelakaan akibat adanya tabrakan kendaraan, dengan orang ataupun kendaraan yang parkir di sisi jalan
c. Konflik antara kendaraan dengan pejalan kaki.
Penegakan hukum, alat pengendali kecepatan, dan pemisahan antara pejalan kaki dengan kendaraan bermotor merupakan salah satu solusi agar tidak terjadi konflik antara pengguna jalan
Tabel 2.6 memberikan rincian penanganan lokasi rawan kecelakaan di jalan antar kota.
Tabel 2.6. Usulan Penanganan untuk ruas jalan perkotaan dan persimpangan
No. Penyebab Kecelakaan Usulan Penanganan
1 Pergerakan Membelok
Penjaluran / kanalisasi
Lampu-lampu isyarat lalu lintas
Larangan membelok menggunakan rambu
Bundaran
2 Mendahului Kanalisasi / lajur mendahului Marka jalan
Rambu untuk mendahului
3
Konflik Pejalan Kaki/Kendaraan
Tempat perlindungan pejalan kaki Fasilitas penyeberangan jalan sebidang Fasilitas penyeberangan jalan tidak
sebidang
Pagar pengaman Rambu pejalan kaki
4 Jarak Pandang yang buruk
pada persimpangan
Meningkatkan jarak pandang melalui perbaikan
ruang bebas samping
Menghilangkan penghalang/rintangan yang
mengganggu penglihatan pengemudi (tanaman,
dsb).
Menghilangkan aktivitas (berjualan, dsb) dari ROW jalan
Memasang rambu STOP pada jalan minor.
4 Jarak Pandang Buruk Karena
kendaraan Parkir
Mengatur perparkiran
Menghilangkan aktivitas parkir pada ROW jalan
5 Malam Hari /Gelap
Meningkatkan penerangan (lampu jalan)
Rambu yang memantulkan cahaya Marka yang memantulkan cahaya Delineasi
Depkimpraswil telah melakukan penelitian (Before and After Study) tentang penanganan lokasi rawan kecelakaan lalulintas. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa telah terjadi penurunan tingkat kecelakaan lalulintas dengan diterapkannya upaya penanganan tersebut.
Pergerakan lalulintas antar kota sangat dipengaruhi kondisi geometrik jalan yang dilalui. Kelandaian jalan ≥ 5 % menerus dan melebihi panjang kritis meyebabkan sering direncanakan lajur pendakian. Lajur pendakian berfungsi menampung kendaraan yang lebih lambat agar supaya kendaraan lain dapat mendahului. Lajur pendakian biasanya diterapkan pada jalan arteri dan jalan kolektor dengan lalulintas harian rata-rata (LHR) ≥ 30.000 smp/hari. Dengan lajur pendakian, lajur mendahului, dan pelebaran jalan maka akan lebih mempermudah pergerakan kendaraan sehingga dapat mengurangi tingkat kecelakaan lalulintas. Pemisah tengah (median) berfungsi memisahkan kendaraan dari arah yang berlawanan. Median ini sering dipasang pada jalan 4 lajur 2 arah, untuk menghindari tabrakan antar depan kendaraan. Demikian juga pagar pengaman dimaksudkan untuk mengurangi kecelakaan kendaraan yang keluar kesisi jalan. Pengurangan kecepatan kendaraan akan berdampak pada pengurangan besar tumbukan, sehingga tingkat fatalitas korban juga akan berubah. Pengurangan kecepatan 1/2 kali dari kecepatan semula akan memberikan pengaruh berupa pengurangan korban meninggal sebesar 1/16 kalinya. Penanganan dan tingkat pengurangan kecelakaan lalulintas pada jalan antar kota ditunjukkan pada Tabel 2.7.
Tabel.2.7. Teknik Penanganan dan Tingkat Pengurangan Kecelakaan Pada Jalan Antar Kota
No. Usulan Penanganan Tingkat Pengurangan Ulasan
I
Ruas Jalan
1 Kanalisasi/Pelajuran
dengan Marka 7 sampai 46%
Beberapa lokasi yang diterapkan di Bandung mencapai pengurangan sampai 71%
2
Median 12 sampai 35% untuk total kecelakaan Kasus Bandung mencapai 89% 3
Jalur Pejalan Kaki 30% sampai 50% Pengaruh terhadap pejalan kaki 4 Perlintasan Pejalan
Kaki Bervariasi Pengaruh bervariasi
5
Perlintasan Pejalan Kaki yang berlampu isyarat dan perlintasan sepeda
30% luka-luka Untuk jalan-jalan lebar dengan volume lalu lintas tinggi > 13.000 AADT 6 Penerangan 8% sampai 12% 20% s/d 0% 30%
Untuk total kecelakaan Kecelakaan karena kasus gelap
Karena silau 7 Kanalisasi/Pelajuran
dengan Marka 7 s/d – 46%
Beberapa lokasi yang diterapkan di Bandung mencapai pengurangan sampai 71%
II
PERSIMPANGAN
1 Persimpangan 3 kaki dari pada 4 kaki 40% -
2 Bundaran 50% -
3 Persimpangan T lawan Persimpangan Y 15% sampai 50% -
4 Kanalisasi 10% sampai 50%
Pengurangan lebih tinggi mengenai persimpangan 4 kaki pada jalan luar kota ( rural )
No. Usulan Penanganan Tingkat Pengurangan Ulasan
( give – way ) dan rambu STOP
6 Marka 20% sampai 50% -
Sumber: Depkimpraswil, 2004
2.6. Contoh Upaya Penanganan Keselamatan Jalan
2.6.1. Geometrik
a. Ruas Jalan Lurus
Masalah kecelakaan pada ruas jalan yang lurus disebabkan oleh perilaku pengemudi yang berkecepatan tinggi dan sering menyalip keluar lajur. Selain itu juga akibat kelengahan pengemudi yang kehilangan konsentrasi.
Pemasangan Separator atau Median
Untuk mecegah kecelakaan akibat perilaku pengemudi pengemudi yang berperilaku berbahaya, misalnya dengan pemasangan median atau separator, untuk mencegah pegemudi sering menyalip keluar dari jalur.
Median dengan Guardrail
Untuk mencegah cross-median crashes pada jalan raya yang didesain dengan kecepatan tinggi, sering ditambah fitur pagar keselamatan (guard rail) untuk mencegah kendaraan selip memotong median rendah.
Delineator dengan penggaduh
Untuk mencegah kecelakaan akibat pengemudi yang kehilangan konsentrasi akibat citra jalan yang lurus, dilakukan dengan memasang penggaduh ber scotch lite pada marka tepi dan marka tengah.
Clearzone
Untuk mencegah fatalitas kecelakaan akibat selip keluar dari jalur, diperlukan ruang bebas di sisi tepi jalan dengan lebar sesuai dengan kecepatan rencana jalan tersebut. Ruang bebas ini disebut clearzone.
b. Penanganan Pada Tikungan
Tikungan adalah bagian dari jalan yang cukup rawan. Salah satu tipe kecelakaan yang sering terjadi pada tikungan adalah kendaraan keluar dari badan jalan. Untuk mengurangi kecelakaan dengan tipe tersebut, upaya yang dilakukan untuk meningkatkan keselamatan adalah:
1. Perlebaran Pada Tikungan atau Perkerasan Bahu
Pelebaran pada tikungan dimaksudkan untuk mempertahankan konsistensi geometrik jalan agar kondisi operasional lalu lintas di tikungan sama dengan dibagian lurus. Dengan kata lain untuk menjaga agar roda kendaraan tetap berada pada perkerasan
2. Pemasangan Guardrail
Pagar keselamatan digunakan untuk meningkatkan keselamatan di dalam area bebas ketika hazard sisi jalan tidak dapat dihilangkan.
3. Pemasangan delineator pada tikungan
Pemasangan delineator dengan scotch lite untuk menuntun pengemudi saat memasuki tikungan.
c. Persimpangan
1. Pelambat Kecepatan lalu lintas di persimpangan
Pelambatan lalu lintas adalah upaya yang dilakukan untuk keselamatan pengguna jalan dengan menurunkan kecepatan secara fisik serta menarik perhatian pemakai jalan. Pemasangan pita penggaduh ( rumble strip ) merupakan salah satu upaya menurunkan kecepatan kendaraan.
2. Pemasangan Lampu APILL
Lampu APILL dipasang pada simpang-simpang sebidang dengan kecepatan rencana yang tinggi untuk mencegah terjadinya kecelakaan akibat tabrakan samping.
2.6.2. Hazard
a. Pagar pembatas yang berkeselamatan (Low TensionCable Guard Rail)
Pagar pembatas selain melindungi kendaraan dari hazzard tepi jalan, juga dapat menimbulkan cedera kepada pengemudi. Pagar pembatas sebaiknya hanya dipasang jika tabrakan ke pagar menghasilkan risiko cedera lebih ringan bagi pengemudi dibandingkan risiko tabrakan dengan hazard yang seharusnya dilindungi.
Untuk mengurangi resiko cedera pengemudi akibat tabrakan dengan pagar pembatas, sebaiknya pagar pembatas yang digunakan adalah tipe Cable Guard Rail.
b. Delineator yang berkeselamatan
Delineator meskipun berfungsi untuk menuntun pengemudi, dapat berpotensi hazzard. Terutama delineator tradisional yang terbuat dari beton bercat hitam dan putih. Untuk mencegah fatalitas akibat delineator, maka sebaiknya delineator yang dipakai terbuat dari bahan yang lentur, misalnya plastik.
2.6.3. Saluran Drainase
Saluran drainase terbuka dapat menimbulkan hazard karena dapat menyebabkan kendaraan yang selip masuk ke dalam parit. Beberapa tipe penanganan adalah untuk mengurangi hazard adalah :
1. Pembuatan penampang saluran yang aman
Desain penampang saluran yang berkeselamatan harus mampu menghentikan kendaraan yang selip. Bentuk penampang yang baik adalah persegi panjang, trapesium tegak dengan sisi tegak berada pada sebelah luar, atau trapesium sama kaki, namun dengan sisi miring yang curam pada sisi sebelah luar.
Fungsi dari sisi curam ini untuk mencegah kendaraan terlempar keluar dari saluran (jumping off)
Gambar 2.3. Desain Penampang Saluran Persegi Panjang
Gambar 2.4. Desain Penampang Saluran Trapesium Siku-Siku
2. Penutupan Saluran Drainase
Saluran Drainase ditutup agar tidak menimbulkan hazard bagi pengemudi. Penutupan bisa dilakukan dengan pemasangan plat-plat beton ataupun penutup kisi-kisi baja. Jika lebar clearzone tidak terpenuhi dapat dikombinasikan dengan pemasangan guard rail.
Untuk saluran drainase di dalam kota, penutupan saluran drainase dengan penutup beton yang berfungsi sebagai trotoar, dapat mencegah pejalan kaki berjalan pada badan jalan, sehingga dapat mencegah konflik dengan pejalan kaki
3. Penggeseran saluran drainase ke luar Clearzone
Selain dengan menutup saluran drainase, untuk jalan luar kota dapat dilakukan dengan menggeser saluran ke luar clearzone.
Saluran Drainase Clear Zone Bahu Saluran Drainase Clear Zone Bahu
4. Fasilitas Pejalan Kaki
Upaya meningkatkan keselamatan pejalan kaki dapat dilakukan dengan menghindari konflik antara pejalan kaki dengan kendaraan bermotor. Upaya menghindari hal tersebut dapat dilakukan dengan menyediakan fasilitas pejalan kaki seperti trotoar dan jembatan penyeberangan
1. Pembuatan Trotoar
Pembuatan trotoar dapat menghindarkan konfik antara pejalan kaki dengan kendaraan bermotor, sehingga menurunkan resiko kecelakaan
2. Pembuatan Jembatan Penyeberangan
Jembatan penyeberangan dapat mencegah tabrakan antara kendaraan bermotor dengan penyeberang jalan.
3. Refuge
Refuge berfungsi sebagia tempat perhentian sementara bagi pejalan kaki yang menyeberang melalui zebra cross.
2.7. Pengurangan kecelakaan akibat penanganan
Untuk mengetahui persentase kemungkinan pengurangan kecelakaan akibat tindakan pencegahan diperlukan Tabel Reduksi Kecelakaan. Beberapa Negara sudah mempunyai Tabel tersebut, diantaranya Australia yang dapat kita jadikan sebagai rujukan. Setelah mengetahui biaya kecelakaan, kalikan kemungkinan reduksi tabrakan dengan biaya kecelakaan sehingga diperoleh kemungkinan manfaat (Rp B) dari tindakan penanganan. Dari rekomendasi teknis penanganan dapat diperkirakan kemungkinan biaya (Rp C) dari pekerjaan/proyek penanganan blackspot.
Tabel 2.8. Faktor Reduksi Kecelakaan (Manual Rekayasa Keselamatan Jalan, 2012)
Penanganan Faktor Reduksi Tabrakan Usia Penanganan PERSIMPANGAN Bundaran Baru 85% 20
Modifikasi pada bundaran (defleski pada jalur pendekat) 55% 20
APILL baru 45% 20
Mengubah simpang APILL ke bundaran 30% 20
Dua simpang T berdekatan untuk volume rendah 70% 20
Memindahkan persimpangan Y 85% 20
Membuat pulau lalu-lintas/ median di kawasan
perkotaaan 20% 20
Membuat pulau lalu-lintas/ median di kawasan pedesaan
bervolume rendah 45% 20
Pengecetan marka garis untuk menjelaskan pengaturan
simpang 10% 5
Memperbaiki jarak pandang (hilangkan/ relokasi obyek
yang menghalangi) 50% 20
Meningkatkan perambuan 30% 15
Pita penggaduh pada pendekat 30% 5
Penanganan
Faktor Reduksi Tabrakan
Usia Penanganan
Menempatkan rambu-rambu yang diperlukan 30% 15
Mengubah menjadi rambu berhenti 5% 15
PEKERJAAN PERKERASAN
Rekonstruksi jalan 25% 20
Membuat jalur ganda setempat 30% 20
Memasang peninggian median 30% 20
Menambahkan garis median 20% 20
Melebarkan perkerasan jalan 10% 20
Membangun jalur menyiap 25% 20
Menambah lajur 10% 20
Melebarkan jalan untuk lajur berbelok ke kanan 50% 20 Melebarkan jalan untuk lajur berbelok ke kiri 15% 20
Pelebaran lajur – 0,3 m 5% 20
Pelebaran jalan -0,6 m 12% 20
Pelebaran bahu tanpa ikatan tepi -0,3 m 3% 20
Pelebaran bahu tanpa ikatan tepi -0,6 m 7% 20
Pelebaran bahu tanpa ikatan tepi -1,0 m 10% 20
Penanganan
Faktor Reduksi Tabrakan
Usia Penanganan
Pelebaran bahu dengan ikatan jalan-0,6 m 8% 20
Pelebaran bahu dengan ikatan jalan-1,0 m 12% 20
DELINEASI
Patok pengarah reflektif 30% 20
Rambu dini jalan berkelok secara statik 20% 15
Rambu dini jalan berkelok secara dinamis 75% 15
Memasang rambu chevron – normal 35% 15
Memasang rambu chevron – elektronik 50% 15
Pengecatan garis tengah 30% 5
Pengecatan garis tengah “tactile” 40% 5
Pengecatan garis tepi jalan 25% 5
Pengecatan garis tepi jalan “tactile” 35% 5
Deretan barikade 30% 5
Marka timbul dengan bahan reflektif 20% 5
Catatan :
Faktor reduksi adalah prosentase pengurangan tabrakan yang diharapkan dari suatu jenis penanganan. jika lebih dari satu penanganan yang diusulkan, gunakan nilai faktor terbesar untuk perhitungan.
Informasi dari Kementerian Perhubungan usia penanganan rambu selama lima tahun dan marka selama dua tahun
Tabel diatas menjelaskan faktor reduksi dalam kaitan dengan infrastruktur jalan dalam pengertian reduksi / pengurangan kecelakaan lalu lintas yang dihasilkan hanya berdasarkan penanganan infrastruktur. Dengan demikian pengurangan kecelakaan lalu lintas akibat faktor manusia dan kendaraan tidak diperhitungkan. Usia penanganan adalah usia manfaat dari penanganan yang dilakukan, usia manfaat tersebut berbeda beda. Sebagai contoh pada Tabel diatas untuk rekonstruksi jalan, usia penanganannya adalah dua puluh tahun artinya manfaat rekonstruksi jalan tersebut diperkirakan hanya selama 20 tahun. Untuk usia penanganan rambu dan marka berdasarkan informasi dari Kementerian Perhubungan untuk rambu selama lima tahun sedangkan untuk marka selama dua tahun.