• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN, INDEPENDENSI PERADILAN DAN PEJABAT NEGARA. bangsa Indonesia yang sarat dengan nilai filosofis.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN, INDEPENDENSI PERADILAN DAN PEJABAT NEGARA. bangsa Indonesia yang sarat dengan nilai filosofis."

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

27

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN, INDEPENDENSI PERADILAN DAN PEJABAT NEGARA

A. Kekuasaan Kehakiman

Pembahasan Kekuasaan kehakiman dalam dalam prinsip negara hukum Indonesia merujuk pada konsep yang prinsip-prinsipnya telah dituangkan dalam undang-undang 1945. undang-undang Dasar 1945 sebagai suatu konstitusi memiliki nilai historis baik dari aspek pergulatan pemikiran maupun perjuangan bangsa Indonesia yang sarat dengan nilai filosofis.

Sebagai suatu gagasan Konstitusi merupakan himpunan normatif yang mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat atau bangsa, baik menyangkut aspek sosial, ekonomi, budaya maupun politik dan lain sebagainya. Jalinan normatif tersebut dapat diakomodasi dari arus bawah dan elit politik suatu negara yang dimaksudkan sebagai pembatasan kekuasaan negara agar kekuasaan tersebut tidak sewenang-wenang.32

Istilah konstitusi secara terminologi sama dengan istilah undang-undang dasar.33 undang-undang dasar adalah terjemahan dari grondweet sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal. beberapa sarjana yang membahas secara mendalam mengenai konstitusi, seperti K.C Whear memberikan batasan pengertian konstitusi, yaitu:34

32 Zainal Arifin Hoesein, Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Setara Press, Malang, 2016,

Hal. 11

33 Sri Soemantri Martosoewignjo, Prrosedur dan Sistem Perubahan Knstitusi, Cet. IV, Bandung :

Alumni, 1987. Hal. 1

34 K.C Whear, Modern Constitutions, Third Impression (New York Toronto: Oxford University

(2)

28

“Used to Describe to dual system of government of a country, the Collection of Which is regulated of The government”

Menurut K.C whear dua hal penting dalam konstitusi yaitu menetapkan dan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara yang merupakan sistem. hal-hal yang ditetapkan dan diatur dalam konstitusi atau undang-undang dasar meliputi tiga hal pokok, yaitu:35

“The structure in the general terms, of the legislature, the executive, and the judiciary; the nature in broad outline of their mutual relations; and the nature of their relation to the Community it self”

C.F strong juga memberikan pengertian bahwa Konstitusi merupakan:36 “a Collection of principle according to which the powers of The government, The Rights of the governed, the relations between the two are adjusted”

Senada dengan C.F strong Jame Bryce menjelaskan Konstitusi merupakan:37 “a Frame of political Society, organized through and by law, that is to say one in wich law has established permanent institutions with recognized functions and definite rights”

Walaupun K.C Whear telah mengemukakan hal-hal pokok yang diatur oleh konstitusi, akan tetapi dilihat dari isinya, pada umumnya suatu konstitusi mempunyai kesamaan, yaitu senantiasa berisi tiga hal pokok:

a. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara;

35 Ibid, Hal. 11

36 C.F Strong Modern Political Constitutions-An Introduction to the Comparative Study of

their History and Existing Forms, 8th revised and enlarged edition, London: Sidgwick and Jackson Limited, 1972, Hal. 65 Dikutip kembali oleh Zainal Arifin Hoesein, Hal. 12

(3)

29 b. ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat

fundamental;

c. Adanya pembagian pembatas tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.38

Uraian diatas menunjukkan bahwa konstitusi pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan negara atau konstitusi inheren dengan negara. jika demikian, maka dapat dikatakan bahwa konstitusi yang memiliki arti membentuk pada dasarnya merupakan proses dan dasar dari pembentukan negara.

Pemahaman diatas memberikan acuan bahwa konstitusi memiliki fungsi membatasi kekuasaan negara, sehingga penyelenggaraan kekuasaan negara tidak sewenang-wenang. harapan dari fungsi ini adalah agar hak-hak warga negara dapat dilindungi Bahkan mereka diberikan peluang untuk berperan dan berpartisipasi dalam kehidupan bernegara, Serta adanya hubungan yang seimbang dalam mengembangkan hak dan kewajiban untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara. demikian pula dalam hal pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan, fungsi tersebut mengandung makna bahwa kekuasaan negara perlu dibagi sesuai dengan susunan dan bentuk Negara yang menjunjung tinggi aspek demokrasi.39

Pemahaman tentang rechtstaat secara historis telah berkembang di dunia barat sejak abad ke-17 sebagai akibat dari situasi sosial politik di Eropa yang didominasi oleh absolutisme, yakni kaum bangsawan dan gereja terhadap golongan cerdik pandai dan golongan kaya dengan menerapkan konsep etatisme.

38 Sri Soemantri Martosoewignjo, Op Cit. Hal. 51 39 Zainal Arifin Hoesein, Op Cit. Hal. 13

(4)

30 Secara konseptual, Immanuel kant merumuskan hukum sebagai negara Jaga malam dan selanjutnya dipahami sebagai konsep negara hukum liberal. Friedrich Julius stahl merumuskan konsep negara hukum yang ditandai oleh empat unsur, yaitu (1)pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, (2) negara didasarkan atas trias politika atau pemisahan kekuasaan dalam negara, (3)pemerintahan diselenggarakan berdasar undang-undang dan (4) adanya peradilan administrasi negara.

Pemikiran tentang negara hukum juga berkembang di negara-negara Anglo saxon dengan istilah rule of law yang dipelopori oleh A.V dicey. paham rule of Law ini memiliki tiga unsur, yaitu (1)supremasi hukum, (2)persamaan dihadapan hukum, dan (3)konstitusi didasarkan pada hak-hak asasi.

Demikian pula di negara-negara sosialis dikembangkan konsep negara hukum yang dirumuskan dalam socialist legality. Paham ini agak berbeda dengan paham rule of Law yang berkembang di negara-negara Anglo saxon dan Eropa kontinental karena dalam socialist legality, hukum ditempatkan di bawah sosialisme, sehingga hukum dipahami dan dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan sosialisme.

Dengan demikian dapat diringkas bahwa paham rechtstaat pada awalnya diartikan sebagai negara jaga malam, kemudian menjadi negara hukum formal yang memiliki empat unsur, selanjutnya berkembang menjadi negara hukum material dan saat ini rechtstaat berkembang menjadi negara kesejahteraan. dalam hubungannya dengan paham negara hukum di Indonesia dapat diikuti paham yang dikembangkan oleh Padmo Wahyono tentang negara hukum yang analisisnya

(5)

31 bertitik pangkal pada asas kekeluargaan yang telah tertuang dalam undang-undang 1945. pemahaman tersebut tercermin dalam penjelasan undang-undang 1945 yang berbunyi: “undang-undang dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya

memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara negara untuk menyelenggarakan kehidupan negara kesejahteraan sosial”.

Di dalam penjelasan tersebut, hukum dipahami sebagai Wahana untuk mencapai keadaan yang sejahtera dan bukan sekedar ketertiban. selanjutnya Padmo Wahyono berpendapat bahwa fungsi hukum dilihat dari cara pandang asas kekeluargaan, adalah (1) menegakkan demokrasi sesuai dengan rumusan tujuh pokok sistem pemerintahan negara dalam penjelasan undang-undang Dasar 1945, (2) wujudkan keadilan sosial sesuai dengan pasal 33 undang-undang Dasar 1945, dan (3) yang didasarkan pada ketuhanan yang maha esa dan adil dan beradab. fungsi hukum tersebut oleh padmo waahyono dinamakan fungsi pengayoman. Dalam hubungan ini rechtstaat atau negara hukum yang dianut oleh Indonesia bukanlah konsep negara hukum Eropa kontinental atau konsep rule of law Anglo Saxon, tetapi konsep negara hukum Pancasila yang memiliki 4 unsur: (1) Pancasila, (2) MPR (3) sistem konstitusi, (4) persamaan dihadapan hukum, dan (5) peradilan bebas.

Peradilan yang bebas sebagai salah satu unsur dari negara hukum Pancasila, menghendaki adanya sistem peradilan yang dapat melakukan fungsi sebagai lembaga penegakan hukum maupun fungsi penemuan hukum dalam rangka penegakan hak asasi manusia. kedua fungsi tersebut dapat berjalan jika lembaga

(6)

32 peradilan dapat bebas dalam menjalankan kekuasaannya dan terlepas dari indah dan terlepas dari intervensi kekuasaan negara lainnya. dalam hubungan ini dapat diikuti pendapat C.F strong40 bahwa pada hakekatnya sistem peradilan bertautan dengan sistem hukum yang dianut oleh kelompok negara-negara Anglo saxon dan Eropa kontinental.

Menurut menurut paham sistem hukum Anglo Saxon, baik warga negara maupun para pejabat negara memiliki persamaan dihadapan hukum. konsekuensi lebih lanjut adalah dalam hal pembentukan hukum Hakim merupakan Central figure of legal Creation, yakni Hakim memiliki kebebasan, sehingga badan peradilan ditempatkan sebagai lembaga perlindungan terhadap hak-hak individual sebagai bagian dari hak asasi manusia. Sebaliknya, negara-negara yang menganut paham Preogrative states yang dikelompokkan dalam sistem hukum Eropa kontinental memandang bahwa hukum didasarkan pada prinsip kodifikasi dan kepastian.41

Hukum dalam pandangan ini diartikan sama dengan undang-undang. Disamping itu, sistem hukum negara negara Eropa kontinental berusaha melindungi pejabat-pejabat negara dalam menjalankan tugasnya. dalam sistem yang demikian ini, pejabat negara serta alat-alatnya memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada warga negara warga negara biasa. hal ini berarti para pejabat negara beserta alat-alatnya mendapatkan prerogratif dihadapan hukum.

40 C.F Strong, Op Cit. Hal. 66

(7)

33 Jika rumusan negara hukum Indonesia tidak menganut rumusan negara hukum Eropa kontinental maupun Anglo Saxon, tetapi rumusan negara hukum Pancasila, maka dengan sendirinya sistem peradilan Indonesia juga menurut paham negara hukum Pancasila. oleh karena itu, pembahasan kekuasaan kehakiman dalam perspektif negara hukum secara teoritis adalah kekuasaan kehakiman dalam perspektif negara hukum Pancasila yang dalam perwujudannya tidak terlepas dari sisi politik dan sosial budaya yang berkembang. hal itu berarti kekuasaan kehakiman yang bebas, memiliki relevansi dengan konfigurasi politik dan sosial budaya suatu negara.

Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu elemen dari rumus negara berdasar atas hukum, kekuasaan menurut Ibnu Khaldun42, diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.

Jika dihubungkan dengan negara, menjelaskan bahwa kekuasaan negara merupakan karena manusia tidak mungkin hidup dan tanpa berkumpul dan bekerja sama untuk menghasilkan makanan pokok dan kebutuhan primer mereka. hal itu berarti kekuasaan negara, dimaksudkan untuk melakukan berbagai kekuatan bagi kepentingan hidup bersama dalam suatu komunitas negara.43

42 Ibnu Khaldun, dalam A. Rahmad Zainuddin, Kekuasaan dan Negara Pemikiran Politik Ibnu

Khaldun, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), Hal. 103

(8)

34 Uraian mengenai kekuasaan pada aspek hukum dijelaskan oleh Aristoteles44 yang mengartikan bahwa kekuasaan harus di sumber hukum dan karena itu, hukum sebagai sumber kekuasaan bukan hanya memiliki kedaulatan dan kewibawaan yang tertinggi, melainkan juga harus menjadi dasar dan landasan kehidupan bernegara, baik yang memerintah maupun yang diperintah, sehingga kedua belah pihak sama-sama memiliki kedudukan hukum. pengertian kehakiman oleh Subekti45, diartikan sebagai segala sesuatu yang mengenai hukum dan peradilan justisi berarti kehakiman, Maka selanjutnya pemahaman mengenai pengertian kekuasaan kehakiman merujuk pada pasal 24 undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan, “dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”.46 penjelasan undang-undang Dasar 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan penegasan, “ kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam undang-undang harus ada jaminan terhadap kedudukan para hakim”.

Untuk mempertegas dan menjabarkan pengertian kekuasaan kehakiman dalam pasal 24 undang-undang Dasar 1945, maka pasal 1 undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang

44 Aristoteles, dalam J.H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles Seri Filsafat Politik No.2, Cetakan

kedua (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993) Hal. 54

45 Subekti dan Tjitrosoedibjo, Kamus Hukum, Cetakan Kedua, (Jakarta: Pradnya Paramita,

1972) Hal. 63

46 Pasal ini telah diubah dalam perubahan ketiga UUD 1945 menjadi dua ayat yaitu: (1)

Kekuasaan Kehakiman Merupakan Kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; (2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan-Badan Peradilan yang ada dibawahnya dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi

(9)

35 telah diubah dengan undang-undang nomor 48 tahun 2009 menyatakan bahwa, “ kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia”.

Penegasan di atas menunjukkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan salah satu kekuasaan negara dalam bidang penegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila yang bebas/merdeka dari campur tangan dari pihak extra Judicial. hal ini berarti kekuasaan kehakiman memiliki kesederajatan dengan lembaga tinggi negara lainnya sebagaimana diatur dalam konstitusi.47

Membicarakan kedudukan dan fungsi kekuasaan kehakiman tidak terlepas dari persoalan, Baik penegakan hukum maupun penemuan hukum, karena keduanya merupakan fungsi dari kekuasaan kehakiman. persoalan penegakan hukum merupakan konsekuensi dari prinsip-prinsip negara hukum, sehingga kekuasaan negara diciptakan, diatur, dan ditegakkan oleh suatu perangkat hukum. pandangan tersebut merupakan pembatasan dari suatu kekuasaan negara, sehingga terhindar dari kesenangunan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. kedudukan dan fungsi kekuasaan kehakiman merupakan dua hal yang memiliki keterkaitan satu dengan lainnya karena fungsi kekuasaan dapat dijalankan jika lembaga memiliki kedudukan tertentu dalam kekuasaan negara, sehingga Ia memiliki kewenangan dan dapat mengimplementasikan kewenangannya secara bertanggung jawab. kedudukan kekuasaan kehakiman juga akan berkaitan dengan

(10)

36 kekuasaan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang Dasar 1945 dan merupakan bagian dari susunan ketatanegaraan yang masing-masing memiliki kedudukan, susunan, tugas, dan wewenang sebagai lembaga negara.48 kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan negara berdampingan dengan kekuasaan negara lainnya. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah kekuasaan negara yang memegang kekuasaan kehakiman. Hal ini berarti undang-undang Dasar 1945 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman memiliki kedudukan sebagai kekuasaan negara.

Untuk memahami susunan ketatanegaraan sebagaimana diatur oleh undang-undang Dasar 1945, Moh. Koesno berpendapat, pertama, kekuasaan primer, yakni kedaulatan rakyat. apabila dilihat dari sisi hukum positif, kedaulatan merupakan sumber dari segala hak atau kekuasaan yang ada dalam tata hukum. kedua, kekuasaan subsidair, yakni Kekuasaan untuk melaksanakan kedaulatan. kekuasaan subsidair adalah kekuasaan yang integral, artinya yang meliputi semua jenis kekuasaan yang akan mewujudkan ketentuan-ketentuan hukum dasar yang termuat dalam cita hukum sebagaimana terdapat dalam Pembukaan undang-undang Dasar 1945. Dalam praktiknya kekuasaan subsidair ini dilimpahkan kepada suatu lembaga atau badan negara yang diatur sendiri oleh undang-undang Dasar 1945. ketiga, kekuasaan untuk melakukan kedaulatan itu oleh hukum dasar dirinci lagi ke dalam cabang-cabang kekuasaan untuk melakukan kedaulatan dengan tetap memperhatikan jalan dan cara-cara yang harus ditempuh untuk mewujudkan secara

48 Sri Soemantri Martosoewignjo, Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, dalam Sri

Soemantri Martosoewignjo dan Bintan R. Saragih, Ketatanegaraan Indonesia dalam kehidupa politik Indonesia-30 Tahun kembali UUD 1945. (Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1993) Hal. 37

(11)

37 nyata ketentuan-ketentuan hukum dasar sebagai isi atau kandungan rechtsidee Negara Republik Indonesia.49

Dalam kaitannya dengan cara atau prosedur untuk mewujudkan cita hukum tersebut undang-undang Dasar 1945 tidak menentukan secara limitatif. menurut Moh. Koesno hal itu dapat dilakukan melalui interpretasi terhadap beberapa ketentuan undang-undang Dasar 1945 dengan 2 pendekatan, yakni: pertama, dengan pendekatan politik melalui pemerintahan negara dan kedua, melalui pendekatan yuridis, kekuasaan kehakiman.50 diaturnya kekuasaan kehakiman dalam Bab tersendiri dalam undang-undang Dasar 1945 dapat ditafsirkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang mandiri dan tidak ada keharusan baginya untuk, baik diperintahkan maupun pemerintah, membantu ataupun mendampingi kekuasaan pemerintahan negara lainnya. ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman jelas berbeda dengan ketentuan yang mengatur tentang kekuasaan negara lainnya, seperti kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan eksaminatif, dan kekuasaan konsultatif. untuk cabang-cabang kekuasaan negara di luar kekuasaan kehakiman, UUD 1945, baik dalam pasal-pasalnya tidak secara eksplisit menegaskan Apakah kekuasaan kekuasaan tersebut merupakan kekuasaan yang merdeka, terlepas dari kekuasaan negara lainnya. Hal ini berarti kekuasaan kehakiman dalam undang-undang Dasar 1945 memiliki kedudukan sebagai kekuasaan negara yang otonom dan sederajat dengan kekuasaan

49 Moh. Kosnoe, Kedudukan dan fungsi Kekuasaan Kehakiman Menurut UUD 1945, Varia

Peradilan No. 129, Juni 1996 Hal 93-93

(12)

38 pemerintahan negara lainnya,kekuasaan kehakiman dapat melakukan fungsi, baik penegakan hukum maupun penemuan hukum.

Paham yang dianut oleh Moh. Koesno dalam menafsirkan kekuasaan negara dan kaitannya dengan kekuasaan kehakiman, apabila dikaitkan dengan paham trias politika, maka dalam perspektif politik masalah kekuasaan bukan menganut paham Separation of power melainkan ajaran politik Duo politik menurut hukum adat.51 dalam menafsirkan ketentuan tentang kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Bab tersendiri pada undang-undang Dasar 1945 Moh. Koesno menyatakan bahwa:

“kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka. pemerintah oleh undang-undang Dasar 1945 dilarang untuk mempengaruhi kekuasaan itu. tentang kekuasaan pemerintahan negara harus jelas menyatakan kesanggupan untuk tidak mempengaruhi kekuasaan kehakiman di dalam wujud yang tertulis yaitu dalam bentuk undang-undang. isi undang-undang ialah ketentuan-ketentuan yang melarang lembaga-lembaga pemerintahan dalam segala bentuk dan cara bagaimanapun mempengaruhi bekerjanya kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh para hakim yaitu pelaksana kekuasaan kehakiman. di dalam berbagai tata hukum nasional dimana ketentuan undang-undang semacam itu ada. para hakim harus dibebaskan dari segala keadaan yang secara langsung atau tidak langsung memberikan tekanan baik lahir maupun batin dan dihindarkan dari campur tangan dan pengaruh baik dari atasannya sendiri, kekuasaan lain-lain yang berada diluar kekuasaan kehakiman serta dari lingkungan lain.”52

51Ibid, Hal. 96-97 52 Ibid, Hal. 98

(13)

39 Konsekuensi pendapat ini berkaitan dengan baik keadaan, bentuk maupun susunan kekuasaan kehakiman yang harus diatur oleh kekuasaan yang memiliki atau diberikan institusi pelaksana kekuasaan kehakiman. hal ini berarti kedudukan kekuasaan kehakiman sebagai salah satu kekuasaan negara yang berkedudukan sederajat dengan kekuasaan pemerintahan negara, sehingga organisatoris, dukungan finansial dan administrasi harus diatur tersendiri, sehingga lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman dapat menjelaskan fungsi kekuasaan kehakiman secara bebas/merdeka. pendapat Moh. Koesno tersebut menurut Purwoto ganda Subrototerlalu jauh karena masih memerlukan penjabaran lebih lanjut dalam suatu perundang-undangan. Walaupun demikian, pengaturan lebih lanjut mengenai kekuasaan kehakiman tidak boleh mengurangi dan membatasi eksistensi kekuasaan kehakiman yang merdeka dan berkedudukan sederajat dengan kekuasaan pemerintahan negara.53

Perkembangan pemikiran tentang kemandirian kekuasaan kehakiman maupun kekuasaan untuk menguji secara materiil terhadap produk undang-undang yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tidak berhenti. walaupun pada perumusan undang-undang nomor 14 tahun 1970 jika mengalami kekalahan politik karena tidak memiliki akses kekuasaan dalam menetapkan suatu undang-undang, tetapi perjuangan ikahi tidak surut. hal ini terbukti dengan disampaikannya memorandum ikahi tanggal 23 Oktober 1996 tentang perbaikan terhadap

53 Purwoto S. GandaSubrata, Beberapa Catatan Tentang Kedudukan dan Fungsi Kekuasaan

(14)

40 kedudukan kekuasaan kehakiman yang sesuai dengan undang-undang Dasar 1945 ( menurut tafsiran Orde Baru).54

Konsistensi perjuangan dan pemikiran ikahi sebagai kelompok pelaku atau praktisi hukum sejak Dekade 50-an, yakni pada masa pelaksanaan demokrasi liberal sampai saat ini ( masa Orde Baru sebagai era pemurnian Pancasila dan undang-undang Dasar 1945 secara konsekuen) merupakan keberanian dan tanggung jawab moral terhadap upaya cita-cita negara hukum dan oleh karena itu patut mendapat pujian. dalam rentang waktu yang cukup panjang dapat pula ditelaah secara seksama memorandum ikatan Hakim Indonesia (Ikahi). penilaian itu terdapat dalam pernyataan ikahi yang tercantum pada angka IV dengan judul menyatakan yakni; “ (A) dasar-dasar penyusunan dan pengaturan kekuasaan kehakiman c.q undang-undang nomor 14 tahun 1970 adalah masih dijiwai dan diilhami oleh semangat orde lamaserta kurang sesuai dengan Pancasila dan undang-undang Dasar 1945 serta semangat Orde Baru; (B) bahwa undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman adalah sebagian dari materi merupakan replika dari undang-undang nomor 19 tahun 1964 ciptaan orde lama yang kurang sesuai dengan Pancasila dan undang-undang Dasar 1945 serta semangat Orde Baru; ( C ) Korps Hakim dengan penuh harapan menyatakan kebulatan tekadnya untuk menghimbau lembaga tinggi negara dan MPR untuk meninjau dan mengatur kembali kedudukan dan fungsi kekuasaan kehakiman, sehingga negara hukum yang berdasarkan pada Pancasila dan undang-undang

(15)

41 Dasar 1945 yang diwarnai orde baru benar-benar dapat berjalan dengan sempurna di negara Republik Indonesia”.55

Jika pemahaman ini diikuti, maka sistem peradilan yang bebas sebagaimana yang dikehendaki oleh undang-undang Dasar 1945 dapat diasumsikan sebagai paham yang dianut dalam asas yuridisme legalistis yang idealistis yang menempatkan hukum sebagai supreme. persoalan lebih lanjut yang perlu dikaji ulang secara mendalam adalah faktor-faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah, faktor kualitas, profesionalisme Hakim, integritas Hakim dan budaya hukum masyarakat terutama kalangan penguasa. dalam hubungan itu, konfigurasi politik yang dapat mendukung suasana yang kondusif untuk terciptanya supremasi hukum dalam kehidupan negara adalah konfigurasi politik demokratis. kondisi ini memungkinkan munculnya partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, sehingga para penyelenggara negara tetap pada bingkai norma hukum.

Kedudukan kekuasaan kehakiman yang strategis tersebut tidak berdiri sendiri dan sangat tergantung terhadap fungsi yang diberikan dan dapat dijalankan oleh kekuasaan kehakiman sebagaimana mestinya dalam menjaga konstitusi, menegakkan hukum, dan menemukan hukum. sebelum membahas fungsi kekuasaan kehakiman terlebih dulu akan diuraikan arti istilah fungsi dan kekuasaan kehakiman. Kata fungsi berasal dari terjemahan kata function yang memiliki arti kegunaan, pekerjaan, peranan. menurut W.J.S. Poerwada rminta, fungsi diartikan

55 Memorandum Ikahi ini dimuat dalam Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XII No. 136

(16)

42 sebagai peran, yakni sesuatu yang menjadi bagian atau yang memegang pimpinan. fungsi dapat juga diartikan sebagai tugas dan dalam arti yuridis adalah seperangkat hak dan kewajiban dalam kesatuan lingkup persoalan tertentu. apabila fungsi diartikan sebagai tugas, maka tekanannya pada segi kewajiban, tetapi bilamana dipakai istilah kekuasaan, berarti menekankan pada segi hak yang menjadi salah satu unsur dari fungsi.56 dalam pada itu kekuasaan diartikan sebagai kesanggupan, kemampuan, wewenang. Menurut Ibnu Khaldun kekuasaan diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain yang sesuai dengan keinginan dari pelaku yang memiliki kekuasaan.57 menurut L.J Van Apeldorn, pembahasan masalah kekuasaan senantiasa akan berkaitan dengan hukum, Oleh karena hukum dan kekuasaan seperti dua sisi mata uang. Disamping itu, hukum dianggap mampu memaksa atau memiliki kekuasaan memaksa seseorang untuk tunduk kepada norma hukum. hal ini berarti, hukum memiliki kekuasaan untuk menciptakan tatanan tata tertib agar terjadi keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan.58

Lebih jauh, Van Apeldorn berpendapat bahwa hakikat kekuasaan adalah kesusilaan, artinya kekuasaan Susila merupakan suara hati nurani manusia. hal ini dikarenakan, bahwa kekuasaan Susila merupakan unsur utama dari hukum, yakni nilai-nilai yang diyakini masyarakat dan berdasarkan nilai-nilai tersebut kaidah-kaidah hukum dirumuskan untuk dijadikan pedoman atau landasan dalam

56 Moh. Koesno, Op.cit Hal. 100

57 Miriam Budiardjo, Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan, dalam Miriam Budiardjo

(ed), Aneka Pemikiran Kuasan dan Wibawa, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984) Hal. 9

58 L.J Van Aperldon, Pengantar Ilmu Hukum, Cet, Ke Tujuh belas (Jakarta: Pradnya Paramita,

(17)

43 kehidupan bermasyarakat di lingkungan persekutuan hukum.59 .dengan demikian, kekuasaan adalah sesuatu yang bersifat universal, yang selalu melekat pada setiap manusia dan merupakan suatu wewenang tertentu agar dapat melakukan suatu tindakan atau perbuatan tertentu.60 kehakiman adalah segala sesuatu yang mengenai hukum dan peradilan Justice berarti kehakiman.61 dengan pendekatan pemahaman terhadap istilah tersebut di atas, Moh. Koesno mengartikan fungsi kekuasaan kehakiman sebagai seperangkat kegiatan berupa mengadili suatu perkara sengketa yang Individual konkrit. pemahaman ini apabila dilihat secara verbal memiliki kecenderungan bahwa fungsi kekuasaan kehakiman terbatas pada upaya menegakkan hukum positif atau undang-undang. Uraian Lain Moh. Koesno memberikan Penjelasan bahwa fungsi kekuasaan kehakiman bukan merupakan sekedar menegakkan undang-undang, melainkan sebagai satu-satunya kekuasaan yang menentukan hukum dalam kasus konkrit; dapat menetapkan keputusan dengan mengesampingkan undang-undang atau peraturan lainnya karena nilainya sebagai berlawanan dengan hukum. oleh karena itu, kekuasaan kehakiman bukan sekedar mempertahankan berlakunya undang-undang, tetapi tugasnya ialah mempertahankan dan mewujudkan hukum dasar. oleh karena itu, kekuasaan kehakiman hanya terikat pada hukum sebagaimana yang dimaksud oleh rechtsidee. dengan mengikuti pendapat Moh. Koseno dapat dirumuskan bahwa fungsi kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Justice dalam penegakan hukum dan

59 Ibid, Hal. 73

60 A. Rahman Zainudin, Kekuasaan dan Negara- Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, (Jakarta:

Gramedia, 1992) Hal. 135

61 Subekti dan Tjirosudibjo, Kamus Hukum, Cet, Kedua (Jakarta: Pradnya Paramita, 1972)

(18)

44 penemuan hukum. fungsi penegakan hukum merupakan upaya untuk menjadikan produk-produk hukum sebagai landasan dalam menyelesaikan suatu sengketa hukum, sehingga hukum positif memiliki kewibawaan dalam melindungi setiap kepentingan warga negara. Hakim dalam menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman terikat oleh hukum positif ini. di lain pihak, fungsi kekuasaan kehakiman adalah juga penemuan hukum, yaitu upaya untuk merumuskan hukum yang digali dari nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat atas suatu sengketa atau perkara bahwa hukum positif belum mengaturnya, sehingga masyarakat dapat memperoleh rasa keadilan dan implikasinya keputusan hakim tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum atau menjadi hukum baru.

Dengan memahami fungsi kekuasaan kehakiman sebagai badan yang melakukan upaya mewujudkan cita hukum yang terdapat dalam undang-undang Dasar 1945 dalam kasus-kasus konkrit yang dihadapkan kepadanya, kedudukan kekuasaan kehakiman harus bebas dari kekuasaan negara lainnya. Hal itu menjadi penting, karena dalam menjalankan kedua fungsi tersebut kekuasaan kehakiman harus terbebas dari intervensi kekuasaan lainnya, sehingga Lembaga ini dapat menjalankan fungsinya secara optimal untuk mengimplementasikan tujuan negara hukum. dalam pelaksanaan fungsi atau peran kekuasaan kehakiman terlebih dahulu akan dikemukakan gambaran mengenai persepsi para elit penguasa mengenai hukum dan apa yang menjadi peran hukum dalam orde baru. mengingat konfigurasi politik pemerintahan orde baru yang sangat memandang penting kedudukan kekuasaan eksekutif, maka hukum yang dominan berlaku adalah hukum positif yang diciptakan oleh lembaga yang memiliki kewenangan yakni pemerintah dan

(19)

45 DPR. pada dasarnya produk hukum yang dihasilkan tersebut memiliki ciri-ciri dominan sebagai berikut: (a) hukum negara sering menonjolkan fungsinya sebagai alat untuk melegitimasi bagi yang berkuasa; (b) proses pembuatan hukum sangat non-partisipatif,Arti hukum dibuat hanya oleh orang-orang tertentu yang mempunyai otoritas untuk membuat hukum; ( c ) karena bersifat non partisipatif, maka dalam banyak hal hukum akan tetap merupakan Hadiah atau pemaksaan dari atas dan rakyat diharapkan menjadi penerima yang pasif saja; (d) pengertian hukum hanya terbatas pada peraturan-peraturan tidak tertulis yang lazimnya hidup dan berkembang dalam masyarakat; keberadaannya sejauh peraturan tidak tertulis tersebut sejalan dengan aspirasi dan kepentingan hukum negara; (e) hukum bersifat Represif Karena tujuan pembuatan hukum lebih diarahkan pada terciptanya ketertiban, bukan keadilan.62

Dominasi negara tidak hanya tampak terlihat dalam proses pembentukan hukum nasional (law enforcement process), tetapi juga dalam proses pelaksanaannya (law enforcement process) dan hal ini tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan peran hukum dalam konteks kepentingan pemerintahan orde baru. mengingat masalah utama yang menjadi kepentingan atau prioritas pemerintah Orde Baru ialah Bagaimana memacu pertumbuhan ekonomi berikut stabilitas politik sebagai prasyarat bagi terlaksananya pembangunan ekonomi, maka pembangunan dan pelaksanaan hukum diarahkan untuk mendukung apa yang merupakan blue print pembangunan Orde Baru. pembangunan dan pelaksanaan

62 T. Mulya Lubis, Politik Hukum di Dunia Ketiga – Studi Kasus Indonesia, Prisma XI, Juli 1982,

(20)

46 hukum yang berfungsi untuk mendorong terciptanya stabilitas politik dan pembangunan ekonomi tersebut di Indonesia mendapat dukungan dari para ahli seperti Mochtar kusumaatmadja. dalam berbagai pandangannya, Mochtar kusumaatmadja sangat menekankan fungsi hukum sebagai sarana yang sengaja digunakan untuk tujuan tujuan yang dikehendaki.63 hal ini menunjukkan bahwa hukum dipandang sebagai alat atau instrumen dari pembangunan atau hukum dijadikan sebagai instrumen untuk mendukung segala aktivitas dan kebijaksanaan pemerintah, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum berfungsi sebagai legitimasi kekuasaan. pandangan instrumental mengenai hukum dapat pula ditemukan dalam rencana pembangunan lima tahun ( Repelita) Indonesia yang kedua (1973-1979) yang dalam hal pembangunan di bidang hukum, antara lain mengatakan sebagai berikut:

“pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditunjukkan ke arah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa Sekaligus berfungsi sebagai sarana menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan menyeluruh.”

Secara historis rumusan mengenai fungsi hukum itu ditegaskan kembali dalam Pelita III, yang antara lain, dalam paragraf pertamanya disebutkan bahwa

63 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan

(21)

47 tujuan dan program pembinaan hukum nasional penyusunan dan pemanfaatan perangkat perundang-undangan yang menunjang pembangunan di berbagai bidang dan menampung akibat pembangunan itu sendiri secara tertib dan dinamis. selanjutnya dalam paragraf ketiga disebutkan,

Baru yang secara spesifik diuraikan dalam tujuan ataupun dalam bentuk yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. ketiga, bentuk atau cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut ialah pemerintahan negara Republik Indonesia berbentuk republik dan negara Republik Indonesia adalah berkedaulatan rakyat dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. mengingat premis dasar yang dimiliki oleh pemerintah Orde Baru ialah terwujudnya masyarakat Indonesia Seperti yang dicita-citakan dalam bagian pembukaan undang-undang Dasar 1945 Melalui strategi pembangunan ekonomi yang menekankan pertumbuhan dan stabilitas politik, politik hukum yang berkaitan dengan dimensi pembangunan hukum maupun yang menyangkut pelaksanaan hukum berorientasi pada kepentingan kepentingan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. dalam melaksanakan strategi besar seperti itu politik hukum nasional sangat menekankan fungsi hukum sebagai instrumen rekayasa sosial (law as a tool of social enginering) demi tercapainya tujuan sosial dan politik. Salah satu ciri menonjol dari hukum yang berfungsi sebagai instrumen untuk melakukan rekayasa sosial dalam strategi pembangunan yang menekankan prinsip politik dan ekonomi tersebut ialah dominannya peran birokrasi negara dalam merumuskan

(22)

48 kebijakan umum Termasuk dalam menyusun peraturan hukum dan perundang-undangan, sedangkan peran institusi institusi di luar birokrasi negara sangat kecil. pada era ini produk hukum dan peraturan perundang-undangan secara menyeluruh diabdikan sepenuhnya untuk kepentingan kepentingan negara seperti kepentingan untuk mengendalikan konflik dan melakukan kontrol terhadap masyarakat, dan memperkuat institusi negara dan seluruh bangunan suprastruktur serta aparatur birokrasi negara; memfasilitasi rekayasa politik Dan ekonomi ke arah seperti yang dikehendaki kebijakan resmi di negara; dan untuk menjaga nilai-nilai kesatuan dan persatuan bangsa.64

B. INDEPENDENSI PERADILAN

Pembahasan tentang asas kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka tidak terlepas dari ajaran Charles Louis De Secondat Montesquieu mengenai tujuan dan perlunya pemisahan kekuasaan lembaga negara, yaitu untuk menjamin adanya dan terlaksananya kebebasan politik anggota masyarakat negara.65 Montesquieu membagi kekuasaan negara menjadi 3 Kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, yudikatif. berada dalam fungsi dan tugas yang berbeda-beda dan ketiganya berdiri sendiri tanpa adanya intervensi satu sama lainnya. Meskipun demikian, ketika kekuasaan ini saling mengawasi, sehingga tidak melakukan tindakan sewenang-wenang, eksekutif menjalankannya dan yudikatif mengawasi dan melaksanakan peradilan terhadap pelanggaran undang-undang.

64 Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan

Hukum Indonesia, 1988) Hal. 36-37

65 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung, Pusat Penerbitan

(23)

49 Salah satu ukuran Adanya lembaga peradilan itu tidak lain adalah dimilikinya kekuasaan yudikatif yang seimbang dengan kekuasaan legislatif dan eksekutif. pada kondisi seperti itu lembaga peradilan sebagai bagian dan komponen kekuasaan yudikatif dan mengawasi sekaligus membatasi kekuasaan legislatif dan eksekutif. sejalan dengan itu, seperti disebutkan oleh S. Tasrif, bahwa ajaran Montesquieu yang disebut trias politika bertujuan agar masing-masing kekuasaan tidak bertindak sewenang-wenang. karena kekuasaan di sini diawasi oleh kekuasaan yang lain. supaya kekuasaan itu tidak digunakan secara sewenang-wenang, Maka menurut pembagiannya, kekuasaan yang satu membendung kekuasaan yang lain.66 Montesquieu percaya bahwa jalan untuk melestarikan dan mempertahankan kebebasan adalah dengan kekuasaan melawan kekuasaan.

Banyak negara yang menggunakan Ajaran Montesquieu ini, di antara negara yang menggunakan konsep trias politika itu adalah Amerika Serikat, fungsi legislatif dilakukan oleh kongres (Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat), Eksekutif oleh presiden dan Yudikatif oleh Mahkamah Agung. badan-badan ini saling mengawasi. sementara untuk Indonesia tidak sepenuhnya menggunakan ajaran trias politika dalam arti pemisahan, menurut para pakar hukum tata negara, Indonesia sebenarnya lebih cenderung menganut paham pembagian kekuasaan.

Secara empirik, di Indonesia kekuasaan legislatif bukan satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan membuat undang-undang, tetapi kewenangan ini pula dimiliki oleh presiden ( eksekutif) sebagaimana dapat dilihat dalam pasal 5 ayat 1

66 S.Tasrif, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman, Penerbit Yayasan Lembaga Bantuan Hukum

(24)

50 undang Dasar 1945 yang menyatakan, “ presiden membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. meskipun bunyi pasal ini telah diubah melalui Perubahan pertama yang disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999, yakni “ Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada dewan perwakilan rakyat”, namun perubahan ini belum sepenuhnya dapat dipraktikkan, sehingga sama sekali belum menghapuskan kewenangan presiden dibidang perundang-undangan.

Indonesia adalah tidak mutlak menganut paham pemisahan kekuasaan, melainkan yang menekankan pada pembagian fungsi dan bukan pada organ, namun kemandirian lembaga peradilan tetap dipertahankan, artinya lembaga peradilan dengan kekuasaan sendiri tetap sebagai lembaga yang berdiri sendiri terpisah dengan kekuasaan lainnya. pemisahan kekuasaan ke dalam badan-badan negara atau pemerintahan seperti itulah akan dapat menjamin kebebasan, tanpa pemisahan itu tidak akan ada kebebasan.

Kekuasaan lembaga peradilan yang independen merupakan pilar dari negara hukum. kekuasaan lembaga peradilan yang independen dimaksudkan untuk tidak adanya campur tangan lembaga-lembaga di luar peradilan, kekuasaan eksekutif dan yudikatif, terhadap pelaksanaan fungsi peradilan. Namun demikian, koridor hukum berupa pengaturan undang-undang bagi pelaksanaan fungsi peradilan perlu dilakukan agar dapat dicegah pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan yang tidak terbatas.

Cerminan pembatasan pelaksanaan fungsi dan peradilan terlihat pada pengaturan kompetensi peradilan dan wilayah yurisdiksi peradilan, yang dilakukan

(25)

51 untuk kepentingan perlindungan hak-hak terdakwa atau para pencari keadilan. dalam konteks pembatasan tersebut di atas, A.V Dicey kemudian menyatakan bahwa lembaga peradilan tidak memiliki posisi independen yang sempurna.67

Paradigma negara hukum modern menurut satjipto Rahardjo adalah negara hukum modern yang rasional harus membagi-bagi dan memilih inilah tugasnya secara rasional pula,sehingga timbul pembagian kerja rasional. rasionalisasi tersebut menghasilkan pembagian ke dalam berbagai tugas dan peran khusus, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.68

Alexis De tocqueville memberikan 3 ciri bagi pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan yang independen:

Pertama, kekuasaan lembaga peradilan di semua negara merupakan pelaksanaan fungsi peradilan, dimana lembaga peradilan Hanya bekerja kalau ada pelanggaran hukum atau hak warga negara tanpa ada satu kekuasaan lainnya dapat melakukan intervensi.

Kedua, fungsi lembaga peradilan hanya berlangsung kalau ada kasus pelanggaran hukum yang khusus. Hakim bahkan dikatakan masih dalam koridor pelaksanaan tugasnya, Jika ia dalam memutuskan suatu perkara menolak menerapkan prinsip yang berlaku umum, namun jika Hakim menolak menaati prinsip-prinsip yang berlaku umum di mana Dia tidak dalam kondisi memeriksa suatu perkara, maka ia dapat dihukum atas dasar pelanggaran tersebut.

67 Ahmad Mujahidin, Op.Cit Hal. 52

68 Satjipto Rahardjo, Positivisme dalam Ilmu Hukum, Program Doktor Ilmu Hukum

(26)

52

Ketiga, kekuasaan lembaga peradilan hanya berfungsi jika diperlukan dalam hal adanya sengketa yang diatur dalam hukum. pada hakikatnya nya, pelaksanaan fungsi lembaga peradilan senantiasa Berujung pada lahirnya suatu putusan. karena itu, jika suatu putusan berujung pada suatu kejahatan keji, maka pelakunya dapat dihukum. demikian juga halnya, jika Hakim memutuskan adanya pelanggaran, maka ia dapat memutuskan hukuman denda bagi pelakunya.

Independensi lembaga peradilan bukanlah sesuatu yang otomatis terjadi begitu saja, karena kekuasaan kekuasaan di luar lembaga peradilan memiliki potensi Mencampuri pelaksanaan fungsi lembaga peradilan. hal itu bisa dilihat pada pemerintahan di Perancis sebelum Revolusi Perancis 1789, dimana peradilan merupakan bagian dari kekuasaan absolut.

Secara akademik munculnya kekhawatiran dan kesan semacam itu karena berbagai faktor sangatlah berasalan.

1. UU No. 14 tahun 1970 masih mengukuhkan dualisme kekuasaan kehakiman rezim politik demokrasi terpimpin.

2. Sebagai pegawai departemen kedudukan atau status para hakim sebagai pegawai negeri sipil yang tentu saja tunduk pada peraturanperaturan tentang Pegawai Negeri Sipil.

3. Munculnya suatu lembaga yang pada awalnya hanya merupakan forum dialog antara MA, Depkeh, Kejaksaan dan Kepolisian.

4. Adanya penegasan dalam Undang-Undang tersebut bahwa presiden sebagai kepala negara.

(27)

53 5. Tampaknya pengendalian terhadap kekuasaan kehakiman oleh

kekuasaan pemerintah.

Gigantisme kekuasaan Orde Baru di bawah Demokrasi Pancasila membuat peran pengadilan tidak lebih dari pelayan eksekutif untuk kepentingan mempertahankan dan mengokohkan status quo kekuasaan Orde Baru.69

Menurut Sebastian Pompe, selama 40 tahun periode kekuasaan Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila itu, “pemerintah tidak pernah sekali pun kalah dalam persidangan di MA.70” Pada era reformasi yang menerapkan sistem politik demokratis, independensi pengadilan mulai relatif terjaga karena antar-cabang-kekuasaan berlaku prinsip checks and balances sehingga tidak ada satu lembaga tinggi negara lebih dominan daripada lembaga tinggi negara lain.

Dalam UUD 1945, pengaturan kekuasaan kehakiman ditempatkan pada Bab IX berjudul Kekuasaan Kehakiman dan terdiri dari dua pasal, yaitu Pasal 24 yang memiliki dua ayat dan Pasal 25. Pasal 24 Ayat (1) mengatur bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”. Selanjutnya, Pasal 24 Ayat (2) mengatur bahwa “Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.” Sementara itu, pengaturan mengenai rekrutmen dan pemberhentian hakim diatur dalam Pasal 25 yang menyebutkan bahwa “Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.”

69 Sebastian Pompe, Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, terjemahan Noor Cholis

(Jakarta: LeIP, 2012), hlm. 666

(28)

54 Jaminan kemerdekaan kehakiman terdapat pada Penjelasan UUD 1945 atas Pasal 24 dan Pasal 25 yang berbunyi, “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.”71

Demikian, sebenarnya, UUD 1945 telah menyebutkan jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Konstruksi jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu dilekatkan pada jaminan kemerdekaan individu hakim yang kedudukannya harus diadakan jaminan dalam UU. Pada masa berlakunya UUD 1945, Penjelasan UUD 1945 merupakan satu-kesatuan dengan Batang Tubuh UUD 1945.

Sehubungan dengan itu, peraturan perundang-undangan yang mengatur kekuasaan kehakiman harus menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Namun, sebagaimana dibahas pada alineaalinea berikutnya, peraturan perundang-undangan tentang kekuasaan kehakiman pada masa Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto justru menafikan jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang terdapat dalam Penjelasan UUD 1945. Pada masa itu, belum ada lembaga negara berwenang melakukan judicial review atau constitutional review UU yang bertentangan dengan UUD 1945. Akibatnya, penafikan kemerdekaan kekuasaan kehakiman oleh UU tidak disebut inkonstitusional dan dapat dibatalkan.

Selama masa berlakunya Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 praperubahan, baik pada masa Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, yang terjadi adalah besarnya dominasi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan yudikatif. Kekuasaan

(29)

55 Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto yang otoriter mempengaruhi dan mencederai independensi kekuasaan kehakiman. Pengaruh sistem politik otoriter kedua presiden itu mendominasi ke berbagai aspek kekuasaan kehakiman, mulai

dari proses peradilan hingga pengaturan finansial, organisasi, dan adminstrasi kekuasaan kehakiman.72

Tergerusnya independensi kekuasaan kehakiman dimulai ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar atas pembubaran Dewan Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945. Pasca dekrit itu, kekuasaan mengalami personalisasi hampir sepenuhnya berada dalam genggaman Presiden Soekarno yang disebut periode Demokrasi Terpimpin.

Presiden Soekarno mulai terang-terangan mengintervensi kekuasaan kehakiman. Presiden memerintahkan para hakim mengganti pakaian dinas resmi toga hitam mereka yang dinilai kurang revolusioner dengan seragam model militer, seperti yang digunakan oleh jaksa beserta atribut kepangkatan yang dinilai lebih tampak revolusioner.73 Intervensi Presiden Soekarno terhadap kekuasaan kehakiman juga dilakukan dengan cara menyertakan Ketua MA Wirjono Prodjodikoro dalam anggota Kabinet dengan status Menteri pada 1960.74 Kebebasan peradilan menjadi hilang sejak pengangkatan itu.

Intervensi Presiden Soekarno terhadap kekuasaan kehakiman diperkuat melalui Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No.19/1964).Intervensi itu dijustifikasi melalui

72 Bunga Rampai “Problematika Hakim Dalam Ranah Hukum, Pengadilan, dan Masyarakat

di Indonesia: Studi Sosio-Legal”

73 Sebastian Pompe, op.cit., hlm. 94. 74 Sebastian Pompe, op.cit., hlm. 86 & 93.

(30)

56 retorika politik revolusioner atas nama kepentingan nasional dan kepentingan revolusi yang tengah terancam. Alhasil, Presiden Soekarno memposisikan kekuasaan kehakiman di bawah kendali kekuasaan eksekutif.75 Menurut Daniel Lev, upaya Presiden Soekarno melakukan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman merupakan ekspresi kegusarannya terhadap beberapa hakim yang menolak didikte dan adanya dukungan tidak sepenuh hati dari kalangan ahli hukum dan advokat.76 Melalui ketentuan Pasal 19 UU No. 19/1964, Demokrasi Terpimpin membungkam para hakim. Presiden memiliki justifikasi mengintervensi setiap proses peradilan demi kelangsungan revolusi dan kepentingan nasional.77

Penguatan intervensi Presiden Soekarno terhadap independensi kekuasaan kehakiman dilakukan dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Agama Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung (UU No. 13 Tahun 1965). Intervensi itu secara eksplisit mengubur asas pemisahan kekuasaan dan mengakhiri independensi peradilan demi berpihak pada Pancasila dan Manipol/Usdek (Manifesto Politik/Undang-Undang ’45, sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia) yang merupakan ajaran dari Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Presiden Soekarno. Dengan demikian, para hakim dijadikan sebagai “alat revolusi” semata.78 Akibatnya, fungsi peradilan tidak lagi menjadi peradilan yang bebas dari pengaruh

75 Bunga Rampai “Problematika Hakim Dalam Ranah Hukum, Pengadilan, dan Masyarakat

di Indonesia: Studi Sosio-Legal”

76 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan (Jakarta:

LP3ES, 1990), hlm. 391—392.

77 Daniel Lev, ibid., hlm. 392.

(31)

57 pihak mana pun, melainkan menjelma menjadi peradilan terpimpin sesuai dengan garis politik dan ideologi pemerintah.

Suksesi kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto sempat memberi harapan terwujud kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri. Pada masa awal tampilnya kekuasaan Orde Baru, Presiden Soeharto menjanjikan mengembalikan supremasi hukum dan independensi kekuasaan kehakiman.79 Sejalan dengan itu Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) juga gencar memperjuangkan independensi kekuasan kehakiman. IKAHI menolak keterlibatan Departemen Kehakiman dalam pengaturan urusan keuangan dan pengawasan peradilan.80

Namun, setelah tahun 1967 dan memasuki dekade 1970-an, janji itu diingkari oleh penguasa Orde Baru. Pemerintah mulai campur tangan terhadap hakim. Melalui dinas rahasia Operasi Khusus (Opsus), pemerintah mengkooptasi IKAHI agar mau menerima Rancangan Undang-Undang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang memberi ruang keterlibatan pemerintah (Departemen Kehakiman) dalam kekuasaan kehakiman.81 Presiden Soeharto tetap melanjutkan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman sebagaimana telah dilakukan oleh Presiden Soekarno.

Pada awal kekuasaannya, tepatnya pada 1969, Presiden Soeharto mencabut UU No. 19/1964 warisan Presiden Soekarno dan menggantinya dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14/1970). Meskipun demikian, kekuasaan kehakiman masih belum lepas

79 Sebastian Pompe, op.cit., hlm. 120—121. 80 Daniel Lev, op.cit., hlm. 397.

(32)

58 sepenuhnya dari belenggu kekuasaan eksekutif. Undang-undang baru itu memang telah memenuhi tuntutan para ahli hukum, hakim, dan advokat agar pemerintahan Orde Baru mencabut Pasal 19 UU No. 19/1964 yang menindas kemandirian kekuasaan kehakiman. Namun, soal kondisi-kondisi yang diperlukan untuk tegaknya kemandirian kekuasaan kehakiman, ternyata ditafsirkan berbedabeda. Itu menjadi pangkal perdebatan krusial mengenai kemandirian kekuasaan kehakiman antara pemerintah dan kalangan hakim serta advokat. Pemerintah bersikeras ingin Kementerian Kehakiman terlibat dalam urusan kekuasaan kehakiman, sedangkan kalangan hakim yang tergabung dalam IKAHI menghendaki kekuasaan kehakiman lepas dari pengaruh Kementerian Kehakiman.82

Pemberlakuan UU No. 14/1970 menunjukkan penafsiran kemandirian kekuasaan kehakiman oleh UU itu adalah penafsiran versi pemerintah, yaitu memberi ruang keterlibatan pemerintah dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Akibatnya, independensi kehakiman tidak dapat dilaksanakan secara utuh karena pemerintah melalui Departemen Kehakiman berwenang mengatur administrasi, organisasi, dan keuangan lembaga peradilan.83 Itulah yang kemudian disebut sebagai periode manajemen peradilan “dua atap”, yaitu MA dan Departemen Kehakiman. Ketentuan Pasal 11 UU No. 14/1970 mengakibatkan muncul “dualisme” pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Pada satu sisi, aspek teknis peradilan menjadi kewenangan MA. Pada sisi lain, aspek organisasi, administratif, dan finansial peradilan merupakan kewenangan Departemen Kehakiman.

82 Daniel Lev, op.cit., hlm. 396—397.

83 A. Muhammad Asrun, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto

(33)

59 Ketentuan Pasal 11 UU No. 14/1970 memberi legitimasi intervensi lembaga eksekutif terhadap urusan internal peradilan.

Dualisme pelaksanaan kekuasaan kehakiman antara MA dan Departemen Kehakiman tidak hanya menghilangkan independensi peradilan, tetapi juga muncul loyalitas terbelah di kalangan hakim. Namun, hakim cenderung lebih loyal kepada Departemen Kehakiman dibanding MA. Hal itu disebabkan Departemen Kehakiman lebih menentukan nasib para hakim, khususnya dalam urusan mutasi dan promosi karier hakim.

Selanjutnya, kebijakan itu cenderung membuat para hakim umumnya tidak berdaya menolak atau melawan pengaruh kekuasaan lembaga eksekutif terhadap pelaksanaan fungsi peradilan terkait dengan substansi perkara yang sedang dalam proses persidangan atau perkara yang hendak diputus oleh hakim. Itulah alasan munculnya putusan-putusan hakim yang berpihak pada kekuasaan lembaga eksekutif, terutama putusan-putusan dalam perkara pidana politik, tata usaha negara, dan perdata yang bersinggungan dengan kepentingan kekuasaan.

Dengan adanya manajemen kekuasaan kehakiman dua atap, pemerintah melalui Departemen Kehakiman leluasa mengintervensi urusan internal kekuasaan kehakiman, mulai dari rekrutmen, penempatan, mutasi, promosi, dan remunerasi hakim. Intervensi itu menjadi instrumen kontrol efektif terhadap para hakim dan menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar hakim.

Di bawah manajemen kekuasaan kehakiman dua atap, rekrutmen hakim cenderung tertutup dan tidak bebas dari unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme

(34)

60 (KKN).84 Penempatan, mutasi, dan promosi hakim juga cenderung sama. Bahkan, unsur politis tak jarang menyertai mutasi dan promosi hakim. Dari 1970 hingga 1998, mutasi hakim oleh Departemen Kehakiman menjadi instrumen politik lembaga eksekutif. Para hakim yang jujur, berani, dan tidak memihak dimutasikan ke wilayah kerja yang sebetulnya lebih merupakan demosi daripada promosi jenjang karier. Lebih daripada itu, hakim-hakim bersangkutan ada yang mendapat “sanksi” pembatasan memeriksa kasus. Mereka hanya diberi kasus kecil yang biasanya untuk ditangani oleh hakim pemula. Hakimhakim seperti itu dijauhkan dari kasus-kasus yang bersinggungan dengan kepentingan penguasa.85

Sementara dalam hal remunerasi hakim, pengaturan sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah. Remunerasi hakim belum sebanding dengan beban tanggung jawab hakim, sehingga mereka rentan terdorong mencari tambahan penghasilan baik secara legal ataupun ilegal.

Pemerintahan Soeharto terus memantapkan kontrolnya terhadap lembaga yudikatif melalui pemberlakuan UndangUndang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU No. 14/1985) dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum (UU No. 2/1986). Pasal 5 UU No. 2/1986 secara eksplisit memberi kewenangan pada Menteri Kehakiman melakukan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan dan kewenangan pembinaan teknis pengadilan pada MA. Bahkan, Pasal 13 UU No. 2/1986 memberi kewenangan pada

84 Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Gadjah

Mada, Laporan Akhir Penelitian, Rekruitment dan Karir di Bidang Peradilan, 2003, hlm. 20-21

(35)

61 Menteri Kehakiman melakukan pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim sebagai pegawai negeri.

Hal itu semakin mempertegas dualisme pelaksanaan kekuasaan kehakiman dan sekaligus dominasi lembaga eksekutif terhadap lembaga yudikatif. Dualisme pelaksanaan kekuasaan kehakiman juga tampak pada rumusan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU No. 5/1986), Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU No. 7/1989), dan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU No. 31/1997).

UU No. 2/1986 memberi status hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sehingga harus tunduk pada Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (UU No. 8/1974). Dampaknya, hakim yang berstatus PNS wajib bergabung dalam anggota Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) dan memiliki monoloyalitas terhadap pemerintah. Dalam praktiknya, monoloyalitas itu diartikan sebagai monoloyalitas terhadap Golongan Karya (Golkar) yang merupakan organisasi sosial politik pendukung pemerintah.86

Di bawah manajemen kehakiman dua atap, berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (4) UU No. 14/1970 dan Pasal 32 UU No. 14/1985, MA memegang kewenangan di bidang teknis yudisial. MA berwenang melakukan pengawasan atas peradilan dan tingkah laku hakim pada semua lingkungan dan tingkatan peradilan.

(36)

62 Dalam melakukan pengawasan itu, MA dapat meminta keterangan hal-hal teknis peradilan, memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dinilai perlu.87

Selanjutnya, Pasal 53 UU No. 2/1986 juga mengatur kewenangan pengawasan oleh Ketua Pengadilan dan Ketua Pengadilan Tinggi. Ketua Pengadilan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim, panitera, sekretaris, dan juru sita di daerah hukumnya. Ketua Pengadilan Tinggi melakukan pengawasan jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Negeri di daerah hukumnya. Namun, UU No. 14/1985 dan UU No. 2/1986 juga mengatur bahwa pengawasan oleh MA, Ketua Pengadilan Tinggi, dan Ketua Pengadilan tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Ketentuan tersebut menunjukan pengawasan terhadap hakim dilakukan oleh sesama hakim. Meskipun ada ketentuan yang mengatur pengawasan hakim tidak boleh mengurangi kebebasan hakim, dalam praktiknya, sistem pengawasan internal terhadap hakim seperti itu mudah menjadi alat kontrol oleh hakim pimpinan terhadap hakim nonpimpinan. Desain sistem pengawasan internal demikian memungkinkan tercederainya kebebasan hakim. Jika itu dikaitkan dengan kuatnya cengkeraman kekuasaan eksekutif terhadap lembaga yudisial, sistem pengawasan internal itu menjadi instrumen perpanjangan tangan kontrol oleh eksekutif melalui hakim pimpinan terhadap kebebasan para hakim nonpimpinan.

Selain itu, sistem pengawasan internal terhadap hakim agung, hakim, dan aparat pengadilan yang dilakukan oleh MA terbukti kurang efektif. Hal itu

87 Bunga Rampai “Problematika Hakim Dalam Ranah Hukum, Pengadilan, dan Masyarakat di

(37)

63 disebabkan sangat minim transparansi dan akuntabilitas, ada semangat korps, dijalankan setengah hati, kurang melibatkan partisipasi masyarakat, dan bersifat terlalu birokratis.88

Potret kekuasaan kehakiman tersebut berakibat munculnya krisis kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir untuk menegakkan keadilan. Itulah sebabnya muncul aspirasi dan desakan melakukan pembaharuan dunia peradilan Indonesia dari sebagian kalangan ahli hukum, praktisi hukum, dan kaum intelektual. Namun, mereka tidak memiliki daya mempengaruhi atau menekan kekuasaan otoriter Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto. Kemudian, semakin disadari dan diyakini bahwa prospek pembaharuan peradilan harus terlebih dahulu diawali oleh perubahan dari sistem politik otoriter menjadi sistem politik demokratis. Perubahan sistem politik itu mensyaratkan suksesi aktor rezim otoriter ke aktor rezim demokratis.

Peradilan yang tidak independen sangat berbahaya, karena proses peradilan secara mudah akan di manipulasi untuk mencegah lembaga peradilan mempertanyakan legalitas tindakan-tindakan illegal atau tidak sewenang-wenang oleh para pelaksana kekuasaan negara.

Apabila ada kekuasaan lembaga peradilan yang independen, maka diyakini lembaga peradilan akan menjadi suatu mekanisme yang sangat kuat untuk mempertahankan konstitusi dan keadilan. uraian tersebut tampak adanya korelasi antara fungsi lembaga peradilan dan proses demokratisasi, dimana pembentukan

88 A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan (Jakarta: ELSAM, 2004), hlm.

(38)

64 dan jaminan independensi kekuasaan lembaga peradilan seharusnya diciptakan secara aktif oleh para sarjana hukum dan para politisi sebagai keharusan, terutama bagi negara-negara yang sedang dalam tahap proses demokratisasi.

Independensi lembaga peradilan dapat diuji melalui dua hal, yaitu ketidakberpihakan dan keterputusan relasi dengan para aktor politik. ketidakberpihakan Hakim terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan keputusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara. ketidakberpihakan Hakim memang bukan sesuatu yang mudah dideteksi, di mana hal itu hanya dapat dilacak dari perilakunya selama menjadi Hakim vis-a-vis keterkaitannya dengan pihak berperkara dalam konteks hubungan sosial ataupun hubungan politik.89

Ketidakberpihakan proses peradilan hanya dapat dilakukan, jika Hakim dapat melepaskan dari konflik kepentingan atau faktor pertemanan dengan pihak yang berperkara. karenanya, Hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan Jika dia melihat adanya potensi ketidakberpihakan. dalam hukum Indonesia, mengundurkan diri kalau dirinya memiliki hubungan dengan salah satu pihak yang berperkara atau diperiksa di muka pengadilan.

Pemutusan relasi dengan dunia politik penting bagi seorang Hakim agar dia tidak menjadi alat untuk merealisasikan tujuan-tujuan politik atau mencegah pelaksanaan keputusan politik.

Dalam prakteknya lingkup permasalahan independensi peradilan ini hampir selalu berkutat dalam dikotomi miskin atau kayanya si justitia belen (pencari

(39)

65 keadilan) dan/atau rakyat (jelata) atau penguasa (berkedudukan)-nya si justitia belen (pencari keadilan), serta beberapa variabel lainnya semisal nepotisme kekeluargaan dan nepotisme kelembagaan/institusional. Dari pola pemetaan sedemikian, maka sejatinya terdapat 3 (tiga) faktor yang menentukan eksistensialitas independensi peradilan di maksud, yaitu pertama, integritas (mentalitas dan kapabilitas) pengadil (hakim); kemudian kedua, aspek infrastruktur penyokong komponen pengadil di maksud; dan ketiga, jaminan ketersediaan sistem (kekuasaan yudikatif) yang steril dari segala bentuk intervensi kekuasaan negara lainnya (kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif).

Montesquieu melihat independensi peradilan dalam konteks bahwa peradilan tidak lain merupakan mulut undang-undang, hingga putusan hakim merupakan suatu putusan hukum, bukan dipandang sebagai putusan politik. namun demikian, menurut satjipto Rahardjo para fungsionalis dan strukturalis harus tidak berhenti pada penerapan hukum yang dibatasi oleh hukum positif, melainkan harus melihat juga dalam konteks sosial yang lebih besar, sebab hukum merupakan bagian integral dari sistem masyarakat.90

Max weber Melihat ketidakberpihakan sebagai nilai anutan utama bagi pejabat-pejabat publik. birokrasi menurut Weber, ditandai dengan semangat formalistik yang impersonal atau sine ira et studio. seorang birokrat dalam menjalankan tugasnya diasumsikan bertindak tanpa afeksi atau sikap berlebihan. dengan kata lain pelaksanaan birokrasi dilakukan tanpa

90 Satjipto Rahardjo, Teori Keteraturan Hukum, Catatan-Catatan Kuliah Program Doktor Ilmu

(40)

66 pertimbangan pribadi. karena itu, kaitan dengan pelaksanaan tugas peradilan, seorang Hakim harus melepaskan dirinya dari pertimbangan pribadi atau kepentingan kolegial atau asosiasi partai politik.

Promosi Hakim dapat menjadi tolak ukur Seberapa jauh ingin menjadi kekuasaan lembaga peradilan berlaku merupakan nilai yang dianut secara universal, karena pada tingkat teknis menunjukkan maupun promosi Hakim membuka celah bagi intervensi cabang-cabang kekuasaan kehakiman.

Penulis memandang penting mengkaji implementasi konsep independensi kekuasaan lembaga peradilan di negeri Belanda, karena di negara itu dikenal praktik Apa yang dinamakan Indonesia sebagai “dualisme kekuasaan kehakiman”. ini dimaksudkan bahwa bebas dari intervensi kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif, kelompok penekan sosial dan politik, dan para pihak.

Negeri Belanda, aspek administrasi kekuasaan lembaga peradilan dilaksanakan oleh Kementerian kehakiman, sedang Mahkamah Agung memegang aspek teknis pelaksanaan peradilan. keterlibatan Menteri Kehakiman terutama berkaitan dengan pengisian posisi Hakim yang lowong, Pengangkatan Hakim bermasa kerja tertentu dan pegawai pengadilan. pegawai pengadilan tersebut bekerja berdasarkan ketentuan yang dikeluarkan oleh menteri kehakiman. pegawai pengadilan tersebut bertanggung jawab untuk tugas tugas administrasi peradilan dan membuat catatan sidang. sekalipun ada keterlibatan pemerintah dalam hal administrasi peradilan, independensi peradilan dijamin dalam konstitusi dan dilaksanakan secara konsisten. Meskipun demikian upaya membebaskan pemerintah dari mengelola urusan administrasi tetap dilakukan, yakni dibentuk

(41)

67 badan khusus yang dinamakan “raad voor de rechtspraak” yaitu badan semacam Komisi Yudisial di Indonesia. Jadi urusan administrasi tidak ditangani oleh lembaga peradilan ( seperti di Indonesia).

Komisi Yudisial Belanda adalah sebuah badan independen yang bertanggung jawab atas aspek-aspek administrasi, keuangan, dan organisasi pengadilan termasuk menilai kinerja Hakim. untuk sementara, komisi ini hanya mengelola Urusan ke organisasian, keadministrasian, dan keuangan pengadilan tingkat pertama dan banding, Mahkamah Agung tetap mengelola sendiri hal-hal yang berkaitan dengan organisasi, administrasi, dan keuangannya.91 sistem Belanda ini dikembangkan dengan dua tujuan; pertama, melepaskan hubungan ke organisasian, administrasi, dan keuangan pengadilan dengan pemerintah. kedua, pengalihan itu tidak boleh memberati pengadilan di luar urusan-urusan atau fungsi peradilan.

Konsistensi terhadap jaminan independensi kekuasaan lembaga peradilan dapat terjadi karena adanya pengaturan secara jelas melalui undang-undang mulai dari organisasi pengadilan sampai dengan masalah gaji hakim. jaminan terhadap kekuasaan lembaga peradilan yang independen ditopang oleh The Judiciary Act ( undang-undang kekuasaan kehakiman). independensi para Hakim tersebut dapat dilihat dari adanya jaminan yang diberikan undang-undang bahwa para hakim memiliki kebebasan untuk bertindak dalam beragam aspek yang berkaitan dengan pekerjaan mereka, termasuk cara mereka mengelola keragaman tersebut.

Pelaksanaan konsep independensi kekuasaan lembaga peradilan berikutnya adalah negara India, karena negara India sekalipun dapat digolongkan sebagai

(42)

68 negara berkembang seperti halnya Indonesia, menjalankan kekuasaan lembaga peradilan yang independen. independensi kekuasaan lembaga peradilan dapat dilihat mulai dari proses Pengangkatan para Hakim sampai kepada pelaksanaan tugas peradilan.

Konstitusi India 1973 memberi jaminan terhadap independensi kekuasaan lembaga peradilan sebagai upaya perlindungan terhadap hak-hak warga negara dan pengawasan atas lembaga-lembaga negara agar pelaksanaan tugas mereka tetap dalam koridor kewenangan masing-masing.

Sebagai bagian dari pelaksanaan independensi kekuasaan lembaga peradilan, Pengangkatan Hakim Agung dan hakim tinggi hanya dapat dilakukan presiden setelah berkonsultasi dengan Ketua Mahkamah Agung.92

Sebagai bagian dari upaya perlindungan terhadap hak-hak dasar warga negara, maka kekuasaan untuk melakukan uji materil terhadap undang-undang, kebijakan dan tindakan pemerintah dilaksanakan oleh pengadilan tinggi. pelaksanaan hak uji materiil ini dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap pembatasan pelaksanaan hak hak warga negara yang dilakukan baik oleh parlemen ataupun eksekutif. pelaksanaan fungsi hak uji materiil tersebut tercatat sebagai suatu yang luar biasa, karena tindakan tersebut mencakup kegiatan kegiatan pemerintahan pada segenap lapisan pemerintahan dan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan. sifat luar biasa dari pelaksanaan hak uji materiil itu juga terlihat dari kewenangan pengadilan untuk menguji Apakah produk legislatif masih berada dalam tataran kekuasaannya atau telah melanggar

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Hydrogenated dimer reaction product from 1-decene and 1-dodecene Tidak

Ketua Rayon 13, Ketua

Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi kebangkrutan pada perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-2015 dengan

Untuk mengambil sampel pada penelitian ini digunakan metode purposive sampling, yaitu sampel yang diambil oleh peneliti merupakan data yang telah dinilai oleh

Dari beberapa jurnal atau penelitian terdahulu yang saya baca, seperti halnya penelitihan yang dilakukan Dedy Gunawan yang berjudul “Pengaruh Pengembangan

Ramli Eksekutif membutuhkan suatu perangkat lunak yang membantu perhitungan Harga Pokok Produksi dan mengestimasi aktivitas-aktivitasnya sehingga menghasilkan cost

(Diakses pada tanggal 6 Agustus). Departemen Agama RI. Al- Qur‟an dan Terjemahannya. Pengendalian Kualitas Statistik. Irvan, “Pengendalian Mutu Produk Dengan Metode