• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama khususnya di Indonesia. Kondisi balita kurang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama khususnya di Indonesia. Kondisi balita kurang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permasalahan gizi pada balita hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama khususnya di Indonesia. Kondisi balita kurang gizi yang terdiri dari balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk merupakan penyebab utama tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada anak balita di negara berkembang termasuk di Indonesia (WHO, 2016). Gizi pada balita menjadi penting karena pada periode tersebut akan terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat yang kemudian akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia di masa mendatang (Pudjiaji, 2003).

Angka kejadian balita dengan kurang gizi di Indonesia terjadi secara masif dengan wilayah sebaran yang hampir merata. Pada tahun 2013, secara nasional prevalensi kurang gizi pada anak balita sebesar 19,6%, yang berarti masalah kurang gizi di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati prevalensi tinggi (Riskesdas, 2013). Angka prevalensi tersebut terdiri dari 5,7% gizi buruk dan 13,9% gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4%) dan tahun 2010 (17,9%), angka tersebut terlihat meningkat. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4% tahun 2007, 4,9% pada tahun 2010, dan 5,7% pada tahun 2013 sedangkan prevalensi gizi kurang, naik sebesar 0,9% dari tahun 2007 ke tahun 2013.

Berdasarkan acuan target MDGs 2015, terdapat tiga provinsi yang memiliki prevalensi kurang gizi sudah mencapai sasaran salah satunya Provinsi

(2)

Bali. Meskipun demikian, prevalensi balita gizi kurang di Provinsi Bali dalam tiga tahun terakhir ditemukan masih memiliki kecenderungan untuk meningkat. Menurut data Riskesdas (2007), di Provinsi Bali terdapat 11,4% balita kekurangan gizi yang terdiri dari 8,2% balita berstatus gizi kurang dan 3,2% balita berstatus gizi buruk. Angka tersebut sempat menurun 0,4% pada tahun 2010 dimana prevalensi kurang gizi sebesar 11,0% (Riskesdas, 2010). Angka tersebut kembali meningkat pada tahun 2013 dengan prevalensi kurang gizi sebesar 13,2% yang terdiri dari gizi kurang 10,2% dan gizi buruk 3%.

Dilihat dari distribusinya, kasus kurang gizi menyebar secara merata di seluruh daerah di Provinsi Bali. Kota Denpasar sebagai ibu kota Provinsi Bali yang merupakan wilayah yang telah berkembang pesat pun tidak luput dari kasus balita kurang gizi. Menurut data profil kesehatan Kota Denpasar, pada tahun 2013 terdapat 118 balita (0,8%) memiliki BB/U di bawah garis merah sehingga dikategorikan sebagai kekurangan gizi. Angka kasus tersebut sempat menurun di tahun 2014 yaitu sebanyak 32 balita (0,1%), namun kembali meningkat pada tahun 2015 mencapai 67 (0,27%) kasus balita dengan berat badan di bawah garis merah pada Kartu Menuju Sehat (KMS). Kasus balita kurang gizi tersebut menjadi hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus, mengingat prevalensinya yang masih fluktuatif dan adanya kemungkinan kasus yang under-reported sehingga menyebabkan perbedaan jumlah kasus kurang gizi yang sebenarnya ada di masyarakat.

Menanggapi permasalahan gizi tersebut, Kementrian Kesehatan melakukan upaya penanggulangan salah satunya dengan program Pemberian

(3)

Makanan Tambahan Pemulihan (PMT Pemulihan) bagi seluruh balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk. PMT Pemulihan merupakan program yang bertujuan untuk meningkatkan status gizi anak serta untuk mencukupi kebutuhan zat gizi anak agar tercapainya status gizi dan kondisi yang baik sesuai dengan umur anak tersebut (Kemenkes RI, 2011).

Dalam pelaksanaannya di Kota Denpasar, bahan makanan yang diberikan bagi balita kurang gizi berupa bahan makanan buatan pabrik seperti susu dan biskuit yang kandungan gizinya telah disesuaikan dengan angka kebutuhan gizi sehari bagi balita. Hal ini dilakukan mengingat dari aspek kepraktisan pendataan, penyiapan, distribusi, evaluasi dan lebih terjangkau (Dinas Kesehatan Kota Denpasar, 2011). Program tersebut bersifat top-down yang merupakan program pusat dan dilaksanakan oleh seluruh pemerintah daerah termasuk oleh Dinas Kesehatan Kota Denpasar sebagai penanggung jawab daerah dan Puskesmas sebagai penanggung jawab lapangan. Pelaksanaan program PMT Pemulihan yang bersifat top-down tersebut memiliki kelemahan yaitu terabaikannya hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat, karena penetapan program langsung dari pusat tanpa mengkaji apa yang sebenarnya diperlukan oleh masyarakat (Khomsan et al., 2007).

Program PMT Pemulihan dengan menggunakan makanan tambahan buatan pabrik sudah dilaksanakan sejak tahun 2011 di Kota Denpasar, akan tetapi angka prevalensi kurang gizi hingga kini masih saja fluktuatif. Berdasarkan rekapitulasi data yang didapatkan di Dinas Kesehatan Kota Denpasar, dari 29 balita gizi buruk yang mendapatkan PMT Pemulihan selama 3 bulan yang dimulai

(4)

pada Oktober 2015 hingga Desember 2015, tidak terdapat balita yang status gizi nya meningkat, sedangkan pada balita gizi kurang, dari 111 balita yang mengalami gizi kurang, hanya 8 balita yang status gizinya meningkat setelah mendapat bantuan PMT Pemulihan. Hal tersebut menujukkan sangat sedikit perbaikan gizi, dimana seharusnya seluruh balita yang menjadi sasaran pemberian PMT Pemulihan mengalami peningkatan berat badan dengan kriteria ada kenaikan berat badan sekitar 50g/kgBB/minggu selama 2 minggu berturut-turut (Kemenkes RI, 2011). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Arumsari (2013), dari hasil evaluasi pemberian PMT di Kabupaten Jember terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan tidak tercapainya target perbaikan gizi pada program pemberian PMT Pemulihan, antara lain adalah penerimaan masyarakat sasaran terhadap program PMT Pemulihan dan praktik pemberian PMT Pemulihan yang tidak tepat di tingkat rumah tangga. Penelitian lebih lanjut mengenai penerimaan maupun praktik pemberian PMT Pemulihan di rumah tangga belum pernah dilakukan di Indonesia.

Berdasarkan komunikasi personal pada tanggal 16 September 2016 yang dilakukan kepada pemegang program gizi di Dinas Kesehatan Kota Denpasar mengenai beberapa kendala di lapangan terkait pemberian PMT Pemulihan, didapatkan informasi bahwa terdapat beberapa pengasuh balita yang merespon negatif dan melakukan praktik pemberian PMT yang tidak sesuai prosedur yang seharusnya. Ada yang sekedar menandatangani formulir telah menerima paket PMT, ada pula yang mengatakan kualitas makanan yang diberikan tidak cocok atau tidak sesuai dengan keinginan orang tua balita. Misalnya ibu dari kelas non

(5)

warga miskin menginginkan anaknya tidak diberi susu Dancow melainkan Vitalac, atau susu dengan merek yang lebih mahal sesuai dengan yang dikonsumsi anak. Selain aspek penerimaan, aspek praktik pemberian PMT Pemulihan di tingkat rumah tangga juga menjadi hal penting. Penelitian yang dilakukan oleh Cohuet et al. (2012) di Nigeria, menemukan bahwa sering terjadi kesalahan persepsi yang menyebabkan kesalahan dalam memberikan PMT Pemulihan yaitu sebagian besar pengasuh balita menganggap PMT Pemulihan bukan sebagai makanan tambahan tetapi sebagai makanan pokok. Selain itu dalam praktik pemberiannya, pengasuh balita tidak hanya memberikan makanan tambahan pada anaknya yang memiliki status gizi kurang tetapi juga pada anaknya yang lain yang tidak membutuhkan, bahkan jika balita tidak menyukai makanan yang diberikan, maka pengasuh cenderung melakukan penjualan/penukaran PMT Pemulihan dengan bahan makanan lainnya (Cohuet et. al., 2012). Jika pemberian PMT Pemulihan tidak tepat sasaran dan tidak sesuai prosedur maka akan mengurangi efektivitas PMT Pemulihan untuk perbaikan gizi balita (Wang et al., 2014).

Hingga saat ini belum ada penelitian di Indonesia khususnya di Kota Denpasar yang menilai penerimaan program PMT Pemulihan serta praktik pemberian PMT di tingkat rumah tangga. Penelitian mengenai penerimaan dan praktik pemberian makanan tambahan cukup banyak dilakukan di luar negeri (Ahmed, et al., 2014; Cohuet, et al., 2012; Becket et al., 2016; Mridha et al., 2012; Wang et al., 2014; Brockdorf et al., 2015), namun terdapat beberapa perbedaan dengan konteks negara berkembang khususnya Indonesia baik dari jenis makanan tambahan yang diberikan, budaya makan pada masyarakat di

(6)

tempat penelitian serta kondisi sosioekonomi dan geografisnya. Padahal, sangat penting untuk mengetahui penerimaan dan praktik pengasuh balita dalam pemberian PMT Pemulihan sehingga akan memberikan manfaat potensial dalam program suplementasi gizi dan meningkatkan pemahaman mengenai aspek-aspek tersebut guna pengembangan intervensi selanjutnya. Mengingat pula bahwa di Indonesia program PMT Pemulihan bersifat top-down dan seringkali tidak melihat apakah program tersebut benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih mendalam dari sudut pandang masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang teah dijelaskan sebelumnya, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimana penerimaan pengasuh balita terhadap PMT Pemulihan bagi balita gizi kurang dan gizi buruk di Kota Denpasar?

1.2.2 Bagaimana praktik pemberian PMT Pemulihan oleh pengasuh balita gizi kurang dan gizi buruk di Kota Denpasar ?

1.2.3 Bagaimana gambaran pola pemberian makanan pokok oleh pengasuh kepada balita gizi kurang dan gizi buruk di Kota Denpasar?

1.2.4 Faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakangi penerimaan dan praktik pemberian makanan tambahan pemulihan bagi balita gizi kurang dan gizi buruk di Kota Denpasar?

(7)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui secara mendalam penerimaan dan praktik dalam Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan oleh pengasuh balita gizi kurang dan gizi buruk di Kota Denpasar.

1.3.2 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui secara mendalam mengenai mengenai hal-hal berikut. 1. Makna penerimaan PMT Pemulihan oleh pengasuh balita gizi kurang

dan gizi buruk di Kota Denpasar.

2. Tipologi praktik Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan pada tingkat rumah tangga bagi balita gizi kurang dan gizi buruk di Kota Denpasar.

3. Gambaran pola pemberian makanan pokok oleh pengasuh kepada balita gizi kurang dan gizi buruk di Kota Denpasar

4. Faktor yang melatarbelakangi penerimaan dan praktik Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan bagi balita gizi kurang dan gizi buruk di Kota Denpasar.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis penelitian adalah menjadi masukan dalam upaya pengembangan dan penerapan Ilmu Kesehatan Masyarakat bidang manajemen program gizi kesehatan masyarakat.

1.4.2 Manfaat praktis penelitian adalah dapat bermanfaat bagi pemegang kebijakan pada bidang manajemen program kesehatan serta gizi kesehatan

(8)

masyarakat khususnya dalam melakukan intervensi terhadap hal-hal yang dipandang perlu untuk perbaikan program penanggulangan kasus balita gizi kurang dan gizi buruk di masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ini Selasa tanggal Duapuluhdua bulan Agustus tahun Dua Ribu Tujuh Belas, Panitia Pengadaan Jasa Konsultan yang ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan

• Beberapa efek ini diakibatkan oleh peningkatan stimulasi postsinap reseptor 5-HT akibat peningkatan konsentrasi obat atau akibat stimulasi reseptor yang sama namun regio

Sesuai dengan penjelasan yang telah penulis kemukakan di atas, dalam menulis skripsi ini, akan membahas mengenai permasalahan dengan judul skripsi:

Berdasarkan analisis dan pembahasan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut Mekanisme tata kelola perusahaan dalam hal ini kepemilikan

Dengan demikian, hasil penelitian tidak berhasil membuktikan bahwa variabel independen komposisi dewan komisaris independen merupakan variabel yang relevan untuk

Penelitian dengan judul “ Perbandingan Kinerja Naive Bayes dan Support Vector Machine untuk Prediksi Herregistrasi “ bertujuan untuk mengetahui perbandingan kinerja naive bayes

Didapatkan hasil bahwa algoritme MCTS terbukti efektif untuk digunakan dalam permainan turn-based RPG, dimana dari 5 skenario komposisi team yang berbeda-beda