• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang menggunakan sistem demokrasi dimana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang menggunakan sistem demokrasi dimana"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang menggunakan sistem demokrasi dimana rakyat memiliki peranan penting didalam urusan negara, atau demokrasi merupakan kekuasaan rakyat berbentuk pemerintahan dengan semua tingkatan rakyat ikut mengambil bagian dalam pemerintahan. Oleh karena itu, kekuasaan para pemimpin dan pejabat formal itu bukan muncul dari pribadinya, akan tetapi merupakan titipan rakyat atau merupakan kekuasaan yang dilimpahkan rakyat kepada pemimpin dan pribadi-pribadi penguasa. Rakyat membuat kontrak social lewat perwakilannya untuk mendelegasikan kekuasaannya kepada pemerintah yang dipilih. Maka akan ada aturan main yang berupa Undang-Undang Dasar, Undang- Undang, Peraturan Hukum dan sebagainya. Kemudian dibuat dan ditetapkan dengan maksud agar dengan sarana-sarana kekuasaan titipan yang dilaksanakan oleh pejabat atau penguasa itu benar-benar mulus lurus, benar dan jujur, demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dan tidak dimanipulasikan demi kepentingan pribadi para pemimpin dan pejabat untuk mengeruh keuntungan dan memperkaya diri.1

Pembuatan kontrak sosial tersebut dilakukan melalui pemilu (pemilihan umum) yakni sarana demokrasi yang daripadanya dapat ditentukan siapa yang berhak menduduki kursi di lembaga politik negara, legislatif dan eksekutif. Melalui pemilu rakyat memilih figur yang dapat dipercaya yang akan mengisi

1

(2)

jabatan legislatif dan jabatan eksekutif. Dalam pemilu, rakyat yang telah memenuhi persyaratan untuk memilih, secara bebas dan rahasia, menjatuhkan pilihannya pada figur yang dinilai sesuai dengan aspirasinya.2

Dalam rangka pembagian kekuasaan negara (secara vertikal) dibentuk daerah-daerah yang bersifat otonom dengan bentuk dan susunan pemerintahannya yang diatur dalam undang-undang. Sehingga pemerintah pusat menyelenggarakan pemerintahan nasional dan pemerintah daerah menyelenggarakan pemerintahan daerah, pembagian kekuasaan daerah itu disebut dengan desentralisasi yang dipahami sebagai penyerahan wewenang politik dan perundang-undangan untuk perencanaan, pengambilan keputusan dan manajemen pemerintah (pusat) kepada unit-unit sub nasional (daerah/wilayah) administrasi negara atau kepada kelompok-kelompok fungsional atau organisasi non-pemerintahan swasta.3 Dan Otonomi daerah merupakan bagian sistem politik yang diharapkan memberikan peluang bagi warga Negara untuk lebih mampu menyumbangkan daya kreativitasnya.4

Gagasan otonomi daerah melekat pada pelaksanaan UU No.32 Tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah yang sangat berkaitan dengan demokratisasi kehidupan politik dan pemerintahan baik tingkat lokal maupun ditingkat nasional. Agar demokrasi bisa terwujud maka daerah harus memiliki kewenangan yang luas dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. 5 Sehingga muncul konsep pembaruan kabupaten yang dirumuskan sebagai transformasi kabupaten yang hendak menegaskan bahwa pembaruan bermakna sebagai tidak lagi bekerja

2

Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia, 2007, h.173-174

3

Bambang Yudhoyono, Otonomi Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, h. 20

4

M.Arif Nasution, Nasionalisme dan Isu-Isu Lokal, Medan:USU Press, 2005, h. 63

5

(3)

dengan skema dan watak yang lama, melainkan telah bekerja dengan skema dan watak yang baru. Proses pembaruan haruslah dapat memberikan kepastian bahwa nasib rakyat akan berubah menjadi lebih baik lagi. Pembaruan kabupaten juga berarti “perombakan” menyeluruh yang dimulai dari paradigma seluruh elemen yang ada atau mengorganisir seluruh sumber daya yang ada agar mengabdi pada kepentingan masa rakyat.6 Didalam merealisasikan demokrasi ditingkat lokal dan implementasi Undang-Undang No.32 Tahun 2004 ini diperlukan adanya pembaruan daerah dalam hal ini adalah pemekaran Kabupaten Batubara.

Dengan adanya pemekaran, membuat daerah tersebut membutuhkan seorang kepala daerah yang bertugas memimpin birokrasi, menggerakkan jalannya roda pemerintahan yang meliputi menjadi perlindungan, pelayanan publik dan pembangunan,7 sehingga dilakukanlah pemilihan kepala daerah secara langsung sesuai dengan UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Peraturan Pemerintahan No.6 tahun 2005 mengenai tata cara pemilihan, pengesahan, dan pemberhentian kepala daerah, yang merupakan tonggak baru penegakkan kedaulatan rakyat daerah di Indonesia.

Pemilihan Kepala Daerah merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah baik Gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota. Actor utama sistem pemilihan kepala daerah adalah rakyat, parpol dan calon kepala daerah. Ketiga aktor tersebut terlibat langsung dalam kegiatan pemilihan kepala daerah. Kegiatan tersebut antara lain: pendaftaran pemilih, pendaftaran calon,

6

Ibid.,h. 13

7

Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Semarang: Pustaka Pelajar, 2005, h.203

(4)

penetapan calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, dan penetapan calon terpilih.

Dengan adanya pemilihan kepala daerah diharapkan dapat menunjang tumbuhnya kekuatan-kekuatan baru yang pro demokrasi di daerah. Pemerintah di tingkat lokal akan semakin dekat dengan rakyat yang pada akhirnya akan menciptakan akuntabilitas yang tinggi dari rakyat untuk pemerintah daerah dan juga akan terciptanya respon yang baik dari rakyat. Rakyat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam politik baik dalam memilih atau dipilih. Setiap warga Negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan politik. Warga Negara berhak melakukan kegiatan secara bebas menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik.

Perilaku politik berkenaan dengan tujuan suatu masyarakat, kebijakan untuk mencapai suatu tujuan, serta sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat secara umum dan bukan tujuan orang perorangan. Perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik yang berkaitan dengan sikap politik. Yakni berkaitan dengan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut.8 Kegiatan politik itu dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sesuai dengan fungsi-fungsinya.

Pada pemilu 1999, studi tentang perilaku pemilih sudah ikut mewarnai pemilu pada saat itu, namun studi perilaku pemilih kurang mendapatkan ruang sama sekali. William Lidle dan Saiful Mujani menemukan dua kesimpulan dalam

8

(5)

memahami perilaku pemilih pada pemilu 1999,. Pertama, semakin memudarnya politik aliran ditingkat masa pemilih. Massa pemilih cenderung kurang memperdulikan aliran dari masing-masing partai politik. Kedua, ketokohan tetap menjadi variabel yang sangat penting dalam menarik dukungan massa pemilih. Para pemilih memilih partai bukan karena daya tarik terhadap partai dan programnya melainkan lebih karena ketertarikan terhadap tokoh yang ada dipartai tersebut.9

Berbeda dengan pemilu 2004, studi tentang perilaku pemilih semakin mendapat tempat dan mempunyai peran penting dalam merekam opini public, termasuk kecendrungan perilaku pemilih dan pemilu pada saat itu lebih menarik karena menempatkan rakyat sebagai hakim tertinggi dalam menentukan calon presiden dan wakil presiden secara langsung. Penelitian LSI menjelang pemilu legislative 2004 menjatuhkan pilihan politik berdasarkan pendekatan sosiologis (seperti aliran politik, pengaruh keluarga, teman, dll), psikologis (seperti kebiasaan memilih, ketokohan, dll), maupun rasional (berdasarkan kebiasaan dan program partai politik). Adapun hasil temuan survei tersebut seperti gambar grafik berikut,

9

Asep Ridwan. Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004 di Indonesia, Jurnal Demokrasi dan HAM, Jakarta: The Habibie Center, 2000, h.40

(6)

Mengapa ibu/bapak memilih partai tersebut? 23.8 22.1 21.4 9.1 4 3.5 3.3 3 8.8 1.3 0 5 10 15 20 25

sudah terbiasa memilih partai suka dengan program, visi dan misi suka dengan tokoh karena partai islam keluarga pemilih ikut orang lain yakin partai itu menang karena partai nasional alasan lainnya tidak tahu/tidak jawab

Sumber: Lembaga Survei Indonesia (LSI)

Berdasarkan temuan tersebut, ternyata unsur psikologis merupakan unsur yang paling dominan yang mendasari pemilih dalam menjatuhkan pilihan politiknya pada pemilu 2004. hal itu terlihat dengan mendominannya alasan kebiasaan (23,5%) yang melatarbelakangi pilihan politik para pemilih. Selain itu, alasan ketokohan mendapat 21,4% dan alasan karena adanya keyakinan partai itu akan menang sebesar 3,3%. Dengan demikian, jika ketiga alasan tersebut digabungkan maka akan terdapat 48,2% pemilih akan menjatuhkan pilihan politiknya berdasarkan unsur psikologis. Namun, ternyata alasan rasional cenderung menempati alasan kedua yang mendasari pemilih dalam menjatuhkan pilihan politiknya sebesar 21,1% pemilih yang telah memilih partai berdasarkan alasan kesukaannya terhadap visi, misi dan programnya. Sedangkan disisi lain, hanya sekitar 19,6% pemilih cenderung akan menjatuhkan politiknya berdasarkan

(7)

unsur sosiologis, yaitu gabungan dari 9,1% dari pemilih yang memilih partai islam, 4% karena ikut keluarga, 3,5% karena orang lain, dan 3% karena partai nasionalis.10

Pada Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur (Pilkada Jatim), Dua pasangan yang akan melanjutkan pertarungan di babak kedua adalah pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) dan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (KaJi). Mengacu hasil penghitungan sementara lembaga survei seperti Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI), perolehan suara kedua pasangan beda tipis,yakni pada kisaran 25-27%. Sementara untuk pasangan kandidat lain, yakni Sutjipto-Ridwan Hisjam (SR), Soenarjo-Ali Maschan Moesa (Salam), dan Achmadi-Suhartono (Achsan), perolehan suaranya diprediksi pada kisaran 20%,18%,dan 7%. Dua pasangan calon yang akan bertarung dalam putaran kedua bukanlah pasangan yang diusung oleh partai-partai besar, melainkan pertarungan calon dari PPP plus 11 parpol vs PAN, Partai Demokrat,dan PKS.

Para peserta pemilihan kepala daerah diusung dari partai besar di Jatim seperti Partai Kebangkitan Bangsa (Achsan), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (SR),dan Partai Golkar (Salam) terbukti gagal menaklukkan jago yang diusung gabungan partai gurem (KaJi) dan koalisi partai menengah (Karsa), dalam hal ini Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrat.

Profil Soekarwo memang sudah sangat dikenal. Soekarwo dianggap sebagai sosok yang merakyat dan birokrat profesional. Dalam posisinya sebagai

10

(8)

Sekretaris Daerah Provinsi Jatim, dia kerap mewakili Gubernur Jatim Imam Utomo melakukan kegiatan-kegiatan yang bersinggungan langsung dengan kebutuhan masyarakat seperti memberi bantuan ke sekolah-sekolah dan pondok pesantren. Profil Khofifah masih didukung dengan pengalamannya sebagai anggota kabinet, sebagai anggota DPR yang bersih dari isu korupsi serta figur yang meiliki kecerdasan dan pemahaman mendalam tentang berbagai persoalan.

Achmady yang diusung PKB ini hanya dikenal masyarakat Mojokerto. Namanya baru muncul menjelang momen pilgub. Karena itu, dengan teori apa pun akan sangat sulit mempromosikan Achmady, termasuk lewat iklan yang menampilkan Gus Dur. Begitu pula dengan Sutjipto. Di luar kepartaian, mantan Ketua DPW PDIP Jatim dan Sekjen DPP PDIP ini relatif tidak dikenal. Di internal partai pun ternyata popularitasnya dikalahkan Soekarwo yang berhasil memenangi Konferda PDIP untuk menentukan calon gubernur yang akan diserahkan ke DPP PDIP.

Dari kasus tersebut terlihat, faktor penting yang mepengaruhi pilihan para pemilih adalah figur para calon sendiri. Ini sekaligus menunjukkan bahwa popularitas dan profil kandidat kembali menjadi faktor determinan dalam pilkada langsung. Sebaliknya, sekuat-kuatnya mesin partai yang biasa menjadi tolok ukur hitam putih kekuatan tidak bisa dijadikan jaminan suksesnya kandidat.11

Dari kasus-kasus tersebut, apakah identifikasi kepartaian masih menjadi faktor utama perilaku pemilih masyarakat atau masyarakat menjatuhkan perilaku pemilih berdasarkan identifikasi calon kandidat atau figur, atau pilihan masyarakat itu

11

(9)

dipengaruhi oleh media massa. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diperlukan suatu penelitian yang lebih mendalam. Untuk itulah penelitian tentang perilaku pemilih ini dilakukan terutama pada daerah yang baru melakukan pemekaran daerah tepatnya di lingkungan IV kelurahan perkebunan sipare-pare yang masyarakatnya heterogen atau terdiri dari beberapa lapisan umur, pekerjaan yang dapat diharapkan dapat mewakili masyarakat kelurahan.

1.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka yang menjadi perumusan masalah pada penelitian ini adalah :

1. Bagaimana perilaku pemilih masyarakat di Lingkungan IV

Kelurahan Perkebunan Sipare-pare pada Pemilihan Kepala Daerah (Bupati)?

2. Faktor apa saja yang mempengaruhi Perilaku Pemilih

Masyarakat pada Pemilihan Kepala Daerah (Bupati) di Lingkungan IV Kelurahan Perkebunan Sipare-pare?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah:

1. Untuk melihat perilaku pemilih masyarakat di lingkungan IV kelurahan Perkebunan Sipare-pare pada Pemilihan Kepala Daerah (Bupati).

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya didalam Pemilihan Kepala Daerah (Bupati).

(10)

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Bagi intitusi, hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi referensi dibidang ilmu politik dan dapat memberikan informasi mengenai perilaku pemilih masyarakat,

2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai macam-macam perilaku pemilih pada saat kegiatan politik (Pemilihan Kepala Daerah (Bupati)),

3. Bagi Peneliti, sebagai penelitian dan memperluas khasanah dan pengetahuan dibidang ilmu politik, khususnya mengenai perilaku pemilih masyarakat dalam pemilihan kepala daerah (Bupati).

1.5. Kerangka Teori

1.5. 1. Pendekatan Dalam Memahami Model Perilaku Politik

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, setiap individu terkait dengan persoalan politik dalam arti yang luas. Masyarakat sebagai kumpulan individu yang memiliki harapan sekaligus tujuan yang hendak diwujudkan. Untuk mewujudkan harapan tersebut diperlukan adanya norma-norma atau kaidah-kaidah yang mengatur berbagai kegiatan bersama dalam rangka menempatkan dirinya ditengah-tengah masyarakat yang senantiasa ditegakkan.12 Dalam hal ini, norma tersebut mempersoalkan apa yang menjadi landasan wewenang politik atau apa yang menjadi dasar perbuatan dan pelaksanaan keputusan politik itu diberlakukan secara sah.13 Upaya untuk menegakkan norma tersebut

12

Sudijono Sastroatmodjo, Op.Cit., h.1

13

(11)

mengharuskan adanya lembaga pemerintah yang memiliki otoritas tertentu agar norma-norma yang ada dapat ditaati. Dengan demikian kegiatan individu dalam masyarakat terjadi sekurang-kurangnya karena ada kesempatan, norma-norma serta kekuatan untuk mengatur tertib masyarakat kearah pencapaian tujuan. Unsur-unsur ini merupakan kesatuan yang terkait dengan politik dan oleh karena itu, masyarakat yang ada didalamnya merupakan kelompok individu yang tidak dapat lepas dari persoalan politik.

Pada umumnya, politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan itu. Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan umum yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi dari sumber-sumber dan resources yang ada. Untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan itu perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan dipakai baik untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang digunakan dapat bersifat persuasi (menyakinkan) dan paksaan.

Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (privat goals). Politik juga menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan orang seorang (individu).14 Namun, sesuai dengan perkembangannya ilmu pengetahuan banyak dikalangan masyarakat mengartikan bahwa politik itu merupakan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan politik merupakan sebuah dunia dimana orang memberikan janji-janji yang tidak

14

(12)

akan dipenuhi serta obral kata-kata yang memang semula telah direncanakan untuk memberikan kesan yang tidak benar bagi para pendengar.15

Perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antar kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakkan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik.

Perilaku politik berkenaan dengan tujuan suatu masyarakat, kebijakan untuk mencapai suatu tujuan, serta sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat secara umum dan bukan tujuan orang perorangan. Perilaku politik dapat dijumpai dalam berbagai bentuk. Dalam suatu negara misalnya, ada pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah. Terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ada yang setuju dan ada yang kurang setuju yang sering melakukan kegiatan politik adalah pemerintah dan partai politik, karena fungsi mereka didalam bidang politik keluarga sebagai satu kelompok yang melakukan berbagai kegiatan. Termasuk didalamnya adalah kegiatan politik. Misalnya para anggota keluarga secara bersama memberikan dukungan pada organisasi politik tertentu, memberikan iuran, ikut berkampanye menghadapi pemilu.

Suatu perbuatan tertentu dapat dikatakan lebih dari satu jenis perilaku, apabila kegiatan tersebut mencakup beberapa aspek sekaligus, misalnya suatu perusahaan memperjuangkan bea masuk yang rendah atas barang-barang yang diimpor dari luar negri. Upaya tersebut dapat termasuk perilaku ekonomi dan

15

A.Rahman Zainuddin, Antara Politik dan Moral, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Jurnal Ilmu Politik 16, 1996, h.3

(13)

sekaligus perilaku politik yang merupakan perilaku ekonomi adalah tujuan yang ingin dicapai adalah peningkatan keuntungan dari kegiatan bisnis yang dilakukan. Dan yang merupakan perilaku politik adalah apa yang dilakukan perusahaan tersebut bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Perilaku politik tidaklah merupakan sesuatu yang berdiri sendiri tetapi mengandung keterkaitan dengan hal yang lain. Satu hal yang perlu dibahas adalah sikap politik. Walaupun antara sikap dan perilaku terdapat kaitan yang sangat erat, namun keduanya perlu dibedakan. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi baru merupakan kecendrungan. Dari sikap tertentu itu dapat diperkirakan tindakan apa yang akan dilakukan berkenaan dengan objek yang dimaksud. Munculnya sikap politik tertentu akan dapat diperkirakan perilaku politik apa yang akan muncul. Misalnya ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah, ini merupakan sikap politik dan dengan ketidaksetujuan atas kebijakan tersebut akan menimbulkan perilaku yang muncul adalah peninjauan pernyataan keberatan, protes ataupun unjuk rasa.16

1. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pengelompokan sosial ini misalnya berdasarkan umur (tua-muda), jenis kelamin (laki-laki dan perempuan),

16

(14)

agama dan semacamnya, dianggap mempunyai peranan cukup menentukan dalam pentuk perilaku pemilih. Untuk itu, pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal seperti keangggotaan seseorang didalam organisasi keagamaan, organisasi profesi, kelompok-kelompok okupasi dan sebagainya, maupun kelompok informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya. Ini merupakan sesuatu vital dalam memahami perilaku politik, karena kelompok-kelompok ini mempunyai peranan besar dalam bentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang.

Gerald pomper memperinci pengaruh pengelompokan sosial dalam kajian

voting behavior kedalam 2 variabel yaitu predisposisi (kecendrungan) social ekonomi pemilih dan keluarga pemilih. Apakah preferensi politik ayah atau ibu akan berpengaruh pada preferensi politik anak, sedangkan predisposisi social ekonomi berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas social, karakteristik demografis dan sebagainya.17

Hubungan antara agama dengan perilaku pemilih nampaknya sangat mempengaruhi dimana nilai-nilai agama selalu hadir didalam kehidupan privat

dan public dianggap berpengaruh terhadap kehidupan politik dan pribadi para pemilih. Dikalangan partai politik, agama dapat melahirkan dukungan politik dari pemilih atas dasar kesamaan teologis, ideologis, solidaritas dan emosional. Fenomena partai yang berbasis agama dianggap menjadi daya tarik kuat dalam preferensi politik.

Dalam literatur perilaku pemilih, aspek agama menjadi pengamatan yang penting. Pemilih cenderung untuk memilih partai agama tertentu yang sesuai

17

(15)

dengan aagama yang dianut. Di Indonesia faktor agama masih dianggap penting untuk sebahagian besar masyarakat. Misalnya seorang muslim cenderung untuk memilih partai yang berbasis islam dan sebaliknya seorang non-muslim cenderung untuk memilih partai non-muslim.18

Aspek geografis juga mempunyai hubungan dengan perilaku pemilih. Adanya rasa kedaerahan mempunyai dukungan seseorang terhadap partai. Dibeberapa negara, wilayah tertentu mempunyai loyalitas terhadap partai tertentu. Hal ini biasanya berkaitan dengan status ekonomi seseorang (faktor kelas) terutama dihampir semua negara industri. Namun penelitian yang dilakukan oleh Afan Gaffar menunjukkan bahwa pengaruh kelas dalam perilaku pemilih di Indonesia tidak begitu dominan. Tidak ada perbedaan kecenderungan perilaku politik antara mereka yang termasuk kategori orang kaya / orang miskin; antara yang memiliki tanah yang luas yang sedikit; antara yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang dengan buruh tani, dan sebagainya.19

2. Pendekatan psikologis

Psikologi adalah imu sifat, dimana fungsi-fungsi dan fenomena pikiran manusia dipelajari. Setiap tingkah laku dan aktivitas masyarakat dipwngaruhi oleh akal individu. Sedangkan ilmu politik mempelajari aspek tingkah laku masyarakat umum sehingga ilmu politik berhubungan sangat dekat dengan psikologi.20

Pendekatan ini muncul merupakan reaksi atas ketidakpuasan mereka terhadap pendekatan sosiologis. Secara metodologis, pendekatan sosiologis

18

Dikutip dari Sulhardi, Political Psycology Socialization, and culture,

http://pangerankatak.blogspot.com/2008/04/governing-intoduction-to-political, 28 April 2008

19

A.Rahman Zainuddin, Op.Cit., h.48-49

20

(16)

dianggap sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indicator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainga. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk memperjelaskan perilaku pemilih. Disini para pemilih menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari proses sosialisasi, artinya sikap seseorang merupakan refleksi dari kepribadian dan merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politiknya. Pendekatan psikologis menganggap sikap sebagai variabel utama dalam menjelaskan perilaku politik. Hal ini disebabkan oleh fungsi sikap itu sendiri, menurut Greenstein ada 3 yakni:

1. Sikap merupakan fungsi kepentingan, artinya penilaian terhadap objek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut.

2. Sikap merupakan fungsi penyesuaian diri, artinya seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang diseganinya atau kelompok panutan.

3. Sikap merupakan fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri, artinya sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan dan eksternalisasi diri.

Namun, sikap bukanlah sesuatu hal yang cepat terjadi, tetapi terbentuk melalui proses yang panjang, yakni mulai dari lahir sampai dewasa. Pada tahap pertama, informasi pembentukan sikap berkembag dari masa anak-anak. Pada fase ini, keluarga merupakan tempat proses belajar. Anak-anak belajar dari orang

(17)

tua menganggap isu politik dan sebagainya. Pada tahap kedua, adalah bagaimana sikap politik dibentuk pada saat dewasa ketika menghadapi situasi diluar keluarga.

Tahap ketiga, bagaimana sikap politik dibentuk oleh kelompok-kelompok acuan seperti pekerjaan, gereja, partai politik dan asosiasi lain.

Melalui proses sosialisasi ini individu dapat mengenali sistem politik yang kemudian menentukan sifat persepsi politiknya serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik di dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah. Sosialisasi bertujuan menungkatkan kualitas pemilih. Maka pendidikan politik disini berperan yang dapat dilakukan dengan berbagai cara.

3. Pendekatan Politis Rasional

Dua pendekatan terdahulu secara implisit atau eksplisit menempatkan pemilih pada waktu dan ruang kosong. Dimana pendekatan tersebut beranggapan bahwa perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat pada saat menjelang atau ketika berada dibalik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum kampanye dimulai. Karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga, pembelahan kultural, identifikasi partai melalui proses sosialisasi,pengalaman hidup, merupakan variabel yang secara sendiri-sendiri mempengaruhi perilaku politik seseorang. Ini berarti variabel lain menentukan atau ikut menentukan dalam mempengaruhi perilaku pemilih. Ada faktor situasional yang ikut mempengaruhi pilihan politik seseorang. Dengan begitu para pemilih bukan hanya pasif tetapi juga aktif, bukan hanya terbelenggu oleh karakteristik sosiologis tetapi bebas untuk bertindak. Faktor situasional ini bisa berupa isu-isu politik pada kandidat yang dicalonkan.

(18)

Perilaku pemilih tidak harus tetap atau sama, karena karakteristik sosiologis dan identifikasi partai dapat berubah-ubah sesuai waktu dan peristiwa-peristiwa politik tertentu. Dengan begitu, isu-isu politik menjadi pertimbangan yang penting dimana para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaian terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan. Artinya para pemilih (masyarakat) dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional.21

1.5. 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik

Dalam masyrakat yang pluralis budayanya tinggi, seringkali terdapat kegiatan yang bervariasi dan tidak mustahil terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya. Untuk memahami perilaku politik diperlukan tinjauan dari sudut pandang yang multidimensi. Hal itu berarti bahwa latar belakang dan faktor yang mendorong perilaku politik tidak bersifat determinan, tetapi bersifat memberikan pengaruh.22

Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik masyarakat, pertama, perlu dipahami dalam konteks latar belakang historis. Sikap dan perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh proses-proses dan peristiwa histories masa lalu. Hal ini disebabkan bahwa budaya politik tidak merupakan kenyataan yang statis dan tidak berkembang, tetapi justru sebaliknya merupakan sesuatu yang berubah dan berkembang sepanjang masa.23

Kedua, faktor kondisi geografis memberikan pengaruh dalam perilaku politik masyarakat sebagai kawasan geostrategis, Indonesia memiliki

21

Ibid., h. 50-52

22

Sudijono Sastroatmodjo, Op.Cit., h. 12

23

(19)

kemungkinan sebagai pusat perhatian dunia internasional. Wilayah geografis yang strategis merupakan pertimbangan strategis bagi dunia internasional untuk mengadakan kerja sama dan hubungan dalam berbagai kepentingan. Di pihak lain, faktor kemajemukan budaya dan etnis merupakan hal yang rawan bagi terciptanya desintegrasi. Oleh karena itulah kondisi geografis merupakan pertimbangan yang penting dan mempengaruhi perilaku politik seperti pembuatan peraturan, perencanaan kebijakan , pengambilan keputusan dan sebagainya. Kondisi ini juga mempengaruhi perbedaan tingkat partisipasi politik masyarakat kesenjangan pemerataan pembangunan, kesenjangan informasi, komunikasi dan teknologi mempengaruhi proses sosialisasi politik, pendidikan politik dan komunikasi politik masyarakat. Berdasarkan inilah aktor politik dituntut untuk mempertimbangkan kondisi dan pengambilan keputusan.

Ketiga, faktor budaya politik memiliki pengaruh dalam perilaku politik masyarakat. Budaya politik suatu bangsa merupakan distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu, mencapai serta memelihara stabilitas sistem politik. Berfungsinya budaya politik itu pada prinsipnya ditentukan oleh tingkat keserasian antara kebudayaan bangsa dan struktur politiknya. Kemajuan budaya Indonesia mempengaruhi budaya budi bangsa. Berbagai budaya daerah pada masyarakat Indonesia berimplikasi pada terciptanya sebuah bentuk perilaku politik dengan memahami budaya politik masyarakat yang dipandang penting untuk memahami perilaku politik. Sehingga dapat diketahui bagaimana dan mengapa mereka melakukan sesuatu, apa motivasi

(20)

dan bagaimana pola tingkah laku tersebut menyelaraskan diri dengan sistem politik yang berlaku.24

Keempat, perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh agama dan keyakinan. Agama telah memberikan nilai etika dan moral politik yang memberikan pengaruh bagi masyarakat dalam perilaku politiknya. Keyakinan dan agama merupakan pedoman dan acuan yang penuh dengan norma-norma dan kaidah yang dapat mendorong dan mengarahkan perilaku politik sesuai dengan agama dan keyakinannya proses politik dan partisipasi warga negara paling tidak dapat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pemahaman agama seseorang.25

Kepercayaan, ideologi dan mitos merupakan citra-citra kolektif dan ide yang bersifat elemen spiritual dan psikologis.26 Keyakinan mengacu kepada ideologi yaitu keyakinan yang lebih rasional dan ada yang bersifat irrasional atau mitos.27 Ideologi merupakan keyakinan yang dirasionalisir dan disistematisir, yang mencerminkan situasi masyarakat.28 Mitos merupakan keyakinan yang kurang jelas, kurang rasional dan yang kurang teliti yang bersifat fabel tentang alam, dunia, manusia dan masyarakat yang sudah diterima secara kuat. Pada abad 20, jurnalis perancis George Sorel mengembangkan suatu paham bahwa salah satu cara yang efektif untuk mempengaruhi suatu komunitas adalah memberikan citra-citra yang singkat dan tidak rumit tentang suatu masa depan yang fiktif yang mempolaisir emosi-emosinya dan bergerak menuju aksi.29

24 Ibid., h. 20-21 25 Ibid., h. 25 26

Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Jakarta: Rajawali Press, 1982, h.147

27 Ibid., h. 148 28 Ibid., h.150 29 Ibid., h.154

(21)

Kelima, pendidikan dan komunikasi juga mempengaruhi perilaku politik seseorang. Sistem politik yang cenderung sentralistis akan mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam mengatasi dan mengakomodasi berbagai kepentingan. Semakin tinggi pendidikan masyarakat maka semakin tinggi tingkat kesadaran politiknya, dan sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin rendah pula tingkat kesadaran politiknya. Komunikasi politik yang intens akan mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam kegiatan politiknya.

Keenam, faktor kepribadian seseorang juga mempengaruhi perilaku politik. Perilaku politik itu bergantung pada sifat struktur kepribadian yang dimilikinya, apakah tergolong dalam fungsi penyesuaian diri atau dalam basis fungsional eksternalisasi dan pertahanan diri.

Ketujuh, faktor lingkungan sosial politik. Faktor ini dapat mempengaruhi aktor politik secara langsung seperti keadaan keluarga, cuaca, keadaan ruang, ancaman, suasana kelompok dan kehadiran orang lain. Lingkungan social politik tersebut saling mempengaruhi dan berhubungan satu dengan yang lain dan bukannya sebagai faktor yang berdiri sendiri. Melalui proses, pengalaman, sosialisasi dan sebgainya terbentuklah sikap dan perilaku politik seseorang.30

Selain faktor-faktor tersebut, pendapat umum masyarakat di pransic menyatakan bahwa kesadaran politik memusatkan kepada ideologi dan bukan mitos rakyat dan ada lima faktor yang memainkan peranan penting untuk menentukan pilihan rakyat dan sikap rakyat, yaitu: 1). Standar hidup, kondisi gaji atau tidak didigaji, sense of social belonging, 2). Kelompok umur dan seks, 3). Tingkat pendidikan, 4). Agama, dan 5). Simpati terhadap partai politik. Tiga

30

(22)

faktor terakhir bersifat ideologis, partai-partai didasarkan pada ideologi politik, kurang atau lebih terikat kepada doktrin-doktrin politik dan tingkat pendidikan mempengaruhi kemungkinan saling pengertian.

Konsep kesadaran politik ini menunjukkan peranan ideologi. Setiap sikap politik yang khusus adalah jawaban serentak kepada situasi kongkrit yang bangkit di dalam masyarakat dan manifestasi dari visi keseluruhan tentang kekuasaan, hubungannya dengan warga secara individual dan konflik dimana kekuasaan merupakan kesadaran politik. Semakin tinggi kesadaran politik maka semakin besar pengaruhnya dan semakin kurang setiap sikap didiktekan oleh keadaan dari suatu situasi khusus. Kesadaran politik adalah produk dari sejumlah faktor pendidikan, lingkungan, pengalaman dan semacamnya.31

1.5. 3. Pemilihan Kepala Daerah 1. Perspektif Teoritis

David Easton, teoritisi politik pertama yang memperkenalkan pendekatan sistem dalam politik, menyatakan bahwa suatu sistem selalu memiliki sekurangnya tiga sifat, yakni terdiri dari banyak bagian, bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung dan mempunyai perbatasan yang memisahkannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-sistem lain.

Sebagai suatu sistem, sistem pemilihan kepala daerah mempunyai bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder atau sub-sub sistem. Bagian tersebut adalah Electoral Regulation, Electoral Process, dan Electoral Law Enforcement. Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pemilihan

31

(23)

kepala daerah yang berlaku bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih dalam menjalankan peran dan fungsi masing-masing. Electoral process adalah seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pemilihan kepala daerah yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik bersifat legal maupun teknikal. Electoral law enforcement adalah penegakan hukum terhadap aturan-aturan pemilihan kepala daerah baik politisi, administrasi atau pidana. Ketiga bagian ini dapat menjadi pedoman untuk melaksanakan proses pemilihan kepala daerah.

Sebagai suatu sistem, pemilihan kepala daerah memiliki ciri-ciri yakni bertujuan memilih kepala daerah, setiap komponen yang terlibat dan kegiatan mempunyai batas, terbuka, tersusun dari berbagai kegiatan yang merupakan subsistem, masing-masing kegiatan saling terkait dan tergantung dalam suatu rangkaian utuh, memiliki mekanisme control, dan mempunyai kemampuan mengatur dan meyesuaikan diri.

2. Perspektif Praktis

Kepala daerah adalah jabatan politik dan jabatan publik yang bertugas memimpin birokrasi menggerakkan jalannya roda pemerintahan yang berfungsi sebagai perlindungan, pelayanan publik, dan pembangunan. Istilah jabatan publik mengandung arti bahwa kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat, berdampak kepada rakyat, dan dirasakan oleh rakyat. Oleh karena itu, kepala daerah harus dipilih oleh rakyat dan wajib mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat. Jabatan politik bermakna bahwa mekanisme rekrutmen kepala daerah dilakukan

(24)

dengan mekanisme politik yaitu, melalui pemilihan yang melibatkan elemen politik, yaitu rakyat dan partai politik.

Pemilihan kepala daerah merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, ataupun Walikota/Wakil Walikota. Aktor utama sistem pemilihan kepala daerah adalah rakyat, partai politik dan calon kepala daerah. 32

1.5. 4. Rekrutmen Politik

Sistem rekrutmen politik memiliki keragaman yang tiada batas. Salah satu metode tertua yang digunakan untuk memperkokoh kedudukan pemimpin-pemimpin politik adalah dengan penyortiran atau penarikan undian yang digunakan pada zaman yunani kuno. Yakni suatu metode yang dibuat untuk mencegah dominasi jabatan dari posisi yang berkuasa oleh kelompok individu tertentu dengan cara bergiliran atau rotasi. Misalnya sistem “pilih kasih” Amerika Serikat yang pada hakikatnya menggunakan sistem pengrekrutan bergilir sedangkan sejumlah negara lain mempunyai ketentuan konstitusional yang dibuat untuk menjamin kadar rotasi personil eksekutif. Metode pengrekrutan lain adalah perebutan kekuasaan dengan jalan menggunakan jalan mengancam atau kekerasan. Penggulingan dengan kekerasan suatu rezim politik, yang mengakibatkan penggantian para pemegang jabatan politik akan tetapi perubahan dalam personil birokrasi biasanya hasil lebih lambat terutama bila berlangsung dalam masyarakat yang kompleks dan sangat maju.

32

(25)

Selain cara pengrekrutan yang biasanya diasosiasikan dengan perubahan-perubahan personil yang ekstensif, terdapat juga cara lain yang lebih sering diasosiasikan dengan pengrekrutan yang berkesinambungan dari tipe personil yang sama. Salah satu alat adalah menggunakan cara Patronage yaitu suatu sistem penyuapan dan sistem korupsi rumit untuk mempengaruhi pelaksanaan kekuasaan politik melalui berbagai taraf pengontrolan terhadap hasil-hasil dari pemilihan umum, dan merupakan dukungan dalam parlemen yang berlangsung diantara pemilihan umum. Pengrekrutan digunakan sebagai alat yang mampu memunculkan pemimpin-pemimpin alamiah, artinya pemimpin yang dapat mewakili tipe pemimpin yang dapat timbul dalam sisten politik tertentu.33

Suatu pemilihan dapat dinyatakan sebagai sarana untuk memilih antara dua alternatif atau lebih, dengan jalan pemberian suara yakni berkenaan dengan siapa yagn dipilih, oleh siapa dan bagaimana cara memilihnya. Dengan demikian pemilihan dapat digunakan untuk memilih para anggota badan legislatif, eksekutif ataupun presiden. Beberapa pemilihan dapat dilukiskan sebagai tidak langsung, yaitu para pemilih memberikan suaranya untuk satu kelompok individu yang kemudian merupakan satu badan pemilih presiden dan wakil presiden (electoral college), yang seterusnya memimpin pemilihan kedua untuk menentukan siapa yang akan memgang jabatan yang dipertaruhkan. Pada pemilihan langsung, para pemegang jabatan oleh para pemilih, walaupun pilihan para pemilih dibatasi oleh kualifikasi hukum yang diterapkan bagi pemegang jabatan politik, dan oleh

33

Michael Rush dan Philip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003, h.185-187

(26)

metode-metode dengan mana partai politik melakukan seleksi terhadap para calon kandidat mereka.34

Kualifikasi hukum bagi para pemegang jabatan ternyata hanya menuntut, bahwa mereka itu harus orang dewasa, warga negara dari negara yang bersangkutan, waras dan sebagainya. Hak pilih dibatasi pada orang dewasa yang merupakan dasar paling umum bagi pemberian suara pemilih, akan tetapi hal ini biasanya dibatasi oleh faktor kewarganegaraan, kesehatan jiwa dan catatan kejahatan. Dalam beberapa sistem politik, pembatasan seperti itu dilakukan lebih luas dan mencakup kriteria lain, seperti melek huruf, syarat pemukiman dan lainnya. Dimasa lampau, beberapa batasan kelompok pemilih hanya merupakan bagian dari kaum minoritas dari rakyat.

Pembatasan hak pilih akan mempunyai pengaruh kiranya mempunyai pengaruh yang penting pada tingkah-laku voting terhadap pribadi yang akan dipilih untuk menduduki jabatan politik. Khusunya pada kejadian yang berlaku dimanan pembatasan diterapkan terhadap bagian tertentu dari rakyat yang mungkin tidak terwakili,ini merupakan faktor penting dalam usaha membatasi perwakilan kelas pekerja dan perwakilan bangsa negro. Selanjutnya perluasan seksional hak pilih dapat dihubungkan dengan polarisasi berikutnya dari tingkah laku pemilih, dimana partai itu timbul untuk mewakili bagian dari rakyat.35

34

Ibid., h. 192-193

35

(27)

1.6. Metodologi Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif meliputi pengumpulan data melalui daftar pertanyaan (kuesioner). Tipe yang paling umum dari penelitian ini adalah penilaian sikap atau pendapat individu, organisasi, keadaan, ataupun prosedur yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan dalam survey, wawancara, ataupun observasi.36

1.6.2. Lokasi Penelitian

Lokasi pada penelitian ini adalah Lingkungan IV Kelurahan Perkebunan Sipare-pare Kabupaten BatuBara.

1.6.3. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditetapkan kesimpulannya. Populasi mempunyai lambang (N).37 Dalam hal ini populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah masyarakat yang telah memiliki hak suara didalam pemilihan kepala daerah pada Lingkungan IV Kelurahan Perk.Sipare-pare yaitu berjumlah 612 orang.

36

Mudrajad Kuncoro, Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi, Jakarta: Erlangga, 2003, h.8

37

(28)

2. Sampel

Sampel adalah sebahagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, maka peneliti tidak mungkin untuk meneliti semua yang ada dipopulasi sehingga dalam hal ini dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Untuk itu sampel diambil dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili).38

Dikarenakan populasi yang bersifat heterogen atau tidak homogen, maka pada teknik penarikan sampel menggunakan Teknik Proportionate Stratified Random Sampling yakni populasi yang mempunyai anggota atau unsur yang tidak homogen dan berstrata secara proporsional.

Beberapa peneliti menyatakan bahwa besarnya sampel tidak boleh kurang dari 10%,39 disebabkan jumlah populasi cukup besar yaitu 612 orang maka adapun rumus yang digunakan untuk menentukan dan pengambilan sampel adalah rumus yang dikemukakan oleh Taro Yamane,

N n = N. d2 + 1 Keterangan: n = Jumlah Sampel N = Jumlah Populasi

d = Presisi, ditetapkan 10% dengan derajat kepercayaan 90%

38

Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian, Bandung: CV Alfabeta, 2006, h. 56

39

(29)

Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah: 612 n = 612 x (10%)2 + 1 612 n = 7,12 n = 85, 9 atau 86 orang

1.6.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, data yang diperlukan oleh peneliti adalah:

1. Dengan menggunakan data primer yakni melalui penyebaran angket atau kuesioner dan wawancara dengan pedoman daftar pertanyaan terstruktur yang ditujukan kepada masing-masing responden.

2. Dengan menggunakan data sekunder yakni melakukan studi pustaka atau dokumen dari Kantor Kelurahan Sipare-pare.

1.6.5. Teknik Analisa Data

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tujuan memberi gambaran mengenai situasi atau kondisi yang terjadi dengan menggunakan analisa kualitatif.. Data-data yang telah dikumpul, baik data sekunder maupun data yang diperoleh dari lapangan yang akan diekspolari secara mendalam, selanjutnya akan menghasilkan suatu kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.

(30)

1.7. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini menggambarkan susunan dan dijabarkan tetapi rencana penulisan atau bentuk fisik hasil penelitian.40 Sehingga dapat mempermudah isi dan skripsi ini, maka penulis membagi ke dalam 4 (empat) bab. Untuk itu disusun sistematika sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini membahas mengenai gambaran secara umum kelurahan perkebunan sipare-pare seperti letak geografis, batas wilayah, dan mengenai demografis.

BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

Bab ini memuat penyajian data dan analisa data yang diperoleh dari kuesioner yang telah diberikan kepada responden. Data tersebut disajikan dan dianalisa sesuai dengan karakteristik responden dan faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi politik masyarakat.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran yang terkait dengan penelitian.

40

Referensi

Dokumen terkait

Versi CBCL untuk anak usia 4 sampai 16 tahun dengan penilaian yang terdiri dari internalisasi yang merupakan penilaian terhadap masalah emosional dan eksternalisasi

Ada tiga asumsi yang bisa menjelaskan penurunan suara Demokrat, yaitu, disharmoni dan konflik internal yang memicu migrasi kader ke partai lain, tidak adanya inovasi dan

Rendahnya tingkat pengorbanan masyarakat untuk memberikan kontribusinya berbanding terbalik dengan jumlah timbunan sampah, karenanya perlu dicari cara dan metoda yang tepat

(5) Fungsi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan kegiatan yang mempunyai tingkat kerahasiaan

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana

Maka dari itu penelitian ini perlu dilakukan untuk mengkaji lebih lanjut terkait pengaruh langsung antara persepsi usefulness of platform blended learning dan

Rataan persentase motilitas, viabilitas, abnormalitas, konsentrasi, total spermatozoa motil, integritas membran dan status kapasitasi (belum kapasitasi, kapasitasi dan reaksi

Grafik pada Gambar 3 di atas menjelaskan bahwa dari hasil pengguna parkir yang akan mengubah perilaku parkir jika diterapkan sistem parkir progresif pada badan jalan (