• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Entisol. Entisol dicirikan oleh bahan mineral tanah yang belum membentuk horizon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Entisol. Entisol dicirikan oleh bahan mineral tanah yang belum membentuk horizon"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Sifat dan Ciri Tanah Entisol

Entisol dicirikan oleh bahan mineral tanah yang belum membentuk horizon pedogenik yang nyata, karena pelapukan baru diawali, atau hasil bahan induk yang sukar lapuk seperti pasir kuarsa, atau terbentuk dari batuan keras yang larutnya lambat seperti batu gamping, atau topografi sangat miring sehingga kecepatan erosi melebihi pembentukan horizon pedogenik, atau pencampuran horizon oleh pengolahan tanah atau hewan. Profil tanahnya tidak memperlihatkan translokasi bahan (Darmawijaya, 1990).

Entisol mempunyai kadar lempung dan bahan organik rendah, sehingga daya menahan airnya rendah, struktur remah sampai berbutir dan sangat sarang, hal ini menyebabkan tanah tersebut mudah melewatkan air dan air mudah hilang karena perkolasi (Jamilah, 2003).

Menurut Darmawijaya (1990) Tanah Entisol umumnya cukup mengandung unsur P dan K yang masih segar dan belum siap untuk diserap tanaman tetapi kekurangan unsur N.

Entisol mempunyai kejenuhan basa bervariasi, pH dari asam, netral sampai alkalin, KTK juga bervariasi baik untuk horizon A maupun C, mempunyai nisbah C/N < 20% dimana tanah yang mempunyai tekstur kasar berkadar bahan organik dan nitrogen lebih rendah dibandingkan tanah yang bertekstur lebih halus. Hal ini disebabkan oleh kadar air yang lebih rendah dan kemungkinan oksidasi yang lebih baik dalam tanah yang bertektur kasar juga penambahan alamiah dari sisa bahan organik kurang dari pada tanah bertekstur halus (Munir, 1996).

(2)

Sifat Kimia Tanah

pH Tanah

Nilai pH tanah dapat digunakan sebagai indikatator kesuburan kimiawi tanah, karena dapat mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah. pH optimum untuk ketersediaan unsur hara adalah sekitar 7,0, karena pada pH ini semua unsur makro tersedia secara maksimum sedangkan unsur hara mikro tidak maksimum sehingga kemungkinan terjadinya toksisitas unsur mikro tertekan (Hanafiah, 2005).

Menurut Hakim (2006), penggunaan bahan organik yang belum selesai melapuk juga akan menurunkan pH tanah untuk sementara. Apabila pelapukan telah selesai, maka bahan organik akan menaikan pH tanah kembali.

Penggunaan bahan organik (R-NH2)

R-NH2 + H2O 2 NH4 + CO3

2-2NH4 + 3O2 2HNO2 + 2H+ + 2H2O

2HNO2 + O2 2NO3- + 2H+

Ratio C/N

Nisbah C/N merupakan indikator yang menunjukkan tingkat dekomposisi dari bahan organik tanah. Apabila makin tinggi dekomposisinya maka makin kecil nisbah C/N-nya. Jika nisbah dari bahan organik segar yang dibenamkan kedalam tanah lebih besar dari 20, mikroorganisme yang terlibat didalam proses dekomposisi tersebut biasanya sulit memperoleh nitrogen yang memadai dari bahan organik itu sendiri (Indrianada, 1986).

(3)

Apabila nisbah C/N lebih kecil dari 20 menunjukkan terjadinya mineralisasi N, apabila lebih besar dari 30 maka terjadi immobilisasi N, jika

diantara 20 – 30 berarti mineralisasi seimbang dengan immobilisasi. (Hanafiah, 2005).

C-Organik

Bahan organik adalah jumlah total substansi yang mengandung karbon organik di dalam tanah, terdiri dari campuran residu tanaman dan hewan dalam berbagai tahap dekomposisi, tubuh mikroorganisme dan hewan kecil yang masih hidup maupun yang sudah mati (Schnitzer, 1991).

Sumber bahan organik dapat berasal dari kotoran hewan bahkan dari tanaman dan limbah, misalnya pupuk kandang dan limbah pertanaman, hijauan tanaman, rerumputan dan limbah agroindustri. Tanah yang dibenahi dengan bahan organik mempunyai struktur tanah yang baik dan tanah yang berkecukupan bahan organik mempunyai kemampuan mengikat air lebih banyak daripada tanah yang punya kandungan bahan organiknya rendah. Pada umumnya bahan organik mengandung unsur hara makro N, P, K dan hara mikro yang diperlukan tanaman (Murbandono, 2000).

Pengaruh bahan organik terhadap tanah dan tanaman tergantung pada laju proses dekomposisinya. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi ini meliputi faktor bahan organik dan faktor tanah. Faktor bahan organik meliputi komposisi kimiawi, nisbah C/N, kadar lignin dan ukuran bahan, sedangkan faktor tanah meliputi temperatur, kelembaban, tekstur, struktur dan suplai oksigen, serta reaksi tanah, ketersediaan hara terutama N, P, K, dan S (Hanafiah, 2005).

(4)

Beberapa sifat baik dari peranan bahan organik terhadap kesuburan tanah antara lain : (1) mineralisasi bahan organik akan melepaskan unsur hara tanaman secara lengkap (N, P, K, Ca, Mg, S, dan unsur hara mikro lainnya) tetapi dalam jumlah yang relatif kecil, (2) meningkatkan daya menahan air, sehingga kemampuan tanah untuk menyediakan air menjadi lebih banyak, (3) memperbaiki kehidupan mikroorganisme tanah (Purnomo, 2006).

Unsur Hara N

Tanaman menyerap nitrogen terutama dalam bentuk NH4+ dan NO3-.

Ion-ion didalam tanah berasal dari pupuk-pupuk yang ditambahkan serta dekomposisi bahan organik. Jumlahnya tergantung dari jumlah pupuk yang diberikan dan kecepatan dekomposisi dari bahan-bahan organik tersebut. Jumlah yang dibebaskan dari bahan organik sangat ditentukan oleh keseimbangan antara faktor-faktor yang mempengaruhi mineralisasi dan immobilisasi serta kehilangan dari lapisan tanah (Hakim dkk, 1986).

Winarso (2005) menyatakan Kadar N anorganik pada tanah yang ditambahkan bahan organik lebih besar dibandingkan dengan tanah tanpa penambahan bahan organik menunjukan adanya proses atau reaksi mineralisasi atau adanya penambahan N anorganik hasil pelapukan bahan organik. Sebaliknya apabila tanah yang ditambah bahan organik terjadi penurunan N organik apabila dibandingkan dengan tanah tanpa penambahan bahan organik menunjukan terjadinya immobilisasi atau pengambilan N anorganik oleh mikroorganisme tanah.

Menurut Handayanto, dkk (1999) pelepasan N dari bahan organik

(5)

komunitas organisme perombak. Terhambatnya pelepasan N mungkin disebabkan oleh tingginya rasio C/N bahan organik dengan immobilisasi N mikrobia yang terikat. Saat immobilisasi, N tersedia yang ada sebelumnya di dalam tanah diambil mikroorganisme untuk mencukupi kebutuhannya, karena tidak tercukupi dari bahan organik yang dirombak sehingga keberadaan N tersedia tanah menjadi sangat sedikit/kurang bagi kebutuhan tanaman, yang akan menyebabkan tanaman kekurangan nitrogen.

Tanaman di lahan kering umumnya menyerap ion nitrat NO3- relatif lebih

besar jika dibandingkan dengan ion NH4+. Ada dugaan bahwa senyawa organik,

misalnya asam nukleat dan asam amino larut, dapat diserap langsung oleh tanaman. Tetapi, keberadaan kedua senyawa tersebut dalam tanah dianggap kecil jika dibandingkan dengan keperluan tanaman (Yuwono dan Rosmarkam, 2002).

Unsur Hara P

Tanah-tanah muda dengan curah hujan rendah biasanya mengandung P cukup tinggi, apabila dibandingkan dengan tanah-tanah yang telah mengalami pelapukan lanjut dan berkembang di daerah dengan curah hujan tinggi. Ketersedian P-organik dalam tanah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan P anorganik (Winarso, 2005).

Tanaman menyerap fosfor dalam bentuk ion ortofosfat primer (H2PO4-)

dan ion otofosfat sekunder (HPO42-). Fosfor yang diserap tanaman dalam bentuk

anorganik cepat berubah menjadi senyawa fosfat organik. Fosfor ini mudah bergerak antar jaringan tanaman dan kadar optimal fosfor dalam tumbuhan

vegetatif sekitar 0,3% - 0,5% dari berat kering tanaman. (Yuwono dan Rosmarkam, 2002).

(6)

Hanafiah (2005) menyatakan bahwa pada umumnya unsur P dalam bahan

organik adalah 1%, yang berarti dari 1 ton bahan organik tanah bernisbah C/N = 10 (matang) dapat dibebaskan 10 kg P setara (22 kg TSP). Jika tanah

mengandung 1% bahan organik, berarti terdapat 200 kg P-organik/ha, yang dimineralisasikan secara perlahan tergantung aktivitas jasad perombak bahan organik tanah yang memiliki dari penurunan nisbah C/N-nya.

Poerwidodo (1993) yang menyatakan kemasaman tanah mempengaruhi kelarutan spesies ion merajai yang dapat bereaksi dengan P-Larut, menambat atau menjerapnya, melenyapkannya dari larutan sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Pada tanah masam dengan pH 5,5 dirajai oleh kation Fe3+ dan Al3+ yang menjerap P-larutan.

Unsur Hara K

K di dalam tanah cukup besar tersedia jumlahnya mencapai 0,5-2,5 %, tetapi persentase K yang tersedia bagi tanaman selama musim pertumbuhan tanaman sangat rendah, yaitu kurang dari 2%. Pada tanah-tanah tropik kadar K tanah bisa sangat rendah karena bahan induknya miskin K, curah hujan tinggi, dan temperatur tinggi. Curah hujan dan temperatur mempercepat pelepasan dan pelapukan mineral dalam pencucian K (Winarso, 2005).

Berdasarkan ketersediaannya bagi tanaman, maka kalium dalam tanah dapat digolongkan ke dalam beberapa bentuk yaitu : 1. Bentuk relatif tidak tersedia, 2. Bentuk lambat tersedia, 3. Bentuk segera tersedia. Sebagian besar dari tanah – tanah mineral mempunyai kadar kalium tinggi, yang kadang – kadang dapat mencapai 40 – 60 ribu kg K2O/ha pada lapisan bajak (Sarief, 1993).

(7)

Buckman and Brady (1986) menyatakan Kalium berlawanan dengan

Fospor, kebanyakan tanah mineral mengandung jumlah total kalium yang besar, kecuali pada tanah yang bersifat pasiran.

Kapasitas Tukar Kation

Bahan organik tanah meskipun tergantung derajat humifikasinya mempunyai KTK paling besar dibandingkan koloid-koloid liat. Nilai KTK bahan organik tanah (BOT) bervariasi antara 200-3000 me/100g tanah, sedang nilai KTK liat hanya berkisar antara < 10 (liat oksida) samapai > 100 me/100g tanah (liat tipe 2:1), sehingga nilai KTK BOT dapat 2-10 kali KTK liat (Hanafiah, 2005).

Harjdowigeno (2003) menyatakan tanah dengan KTK tinggi mampu menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik dari pada tanah dengan KTK rendah. Tanah dengan KTK tinggi bila didominasi oleh kation basa, Ca, Mg, K,Na (kejenuhan basa tinggi) dapat meningkatkan kesuburan tanah tetapi bila di dominasi oleh kation asam, Al, H (kejenuhan basa rendah) dapat mengurangi kesuburan tanah. Kandungan bahan organik dan kadar liat yang tinggi pada tanah mempunyai KTK lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang kandungan bahan organiknya rendah dan tanah berpasir.

Hakim., dkk (1996) menyatakan pertukaran kation berubah dengan

berubahnya pH tanah. Pada pH rendah, hanya muatan permanen liat, dan sebahagian muatan koloid organik memegang ion yang dapat digantikan melalui pertukaran kation. Dengan demikian KTK relatif rendah. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan tempet pertukaran kation koloid organik dan beberapa fraksi liat, H dan mungkin hidroksi-Al terikat kuat, sehingga sukar dipertukarkan.

(8)

Peran Pupuk Kandang Sebagai Bahan Organik

Pupuk kandang pada umumnya bermanfaat sebagai bahan pembenah tanah, pada umumnya bahan ini mengandung N, P, dan K dalam jumlah yang rendah tetapi mengandung hara makro yang cukup sangat diperlukan dalam pertumbuhan tanaman. Sebagai bahan pembenah tanah pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisika, kimia, dan biologi tanah (Sutanto, 2002).

Winarso (2002) menyatakan bahwa tanah yang diberi penambahan pupuk kandang kadar amonium dan nitrat langsung bertambah cukup tinggi, akan tetapi setelah 8 minggu inkubasi tanpa penanaman terjadi penurunan kadar senyawa tersebut cukup drastis, khususnya amonium yaitu sekitar 87 hingga 95% dari semula. Amonium turun drastis karena berubah menjadi nitrat, selanjutnya nitrat menguap menjadi NH3 (Volatilisasi) dan N2O, NO, N2 (denitrifikasi).

Kotoran sapi merupakan limbah ternak yang dapat diproses menjadi pupuk kandang. Bahan organik dalam kotoran sapi dapat didekomposisi oleh bakteri indigen menjadi senyawa anorganik yang dapat diserap langsung oleh tanaman. Pembuatan pupuk kandang matang dapat dilakukan dengan cara dekomposisi Anaerob dan Aerob dari kotoran sapi. Kedua proses dekomposisi tersebut menghasilkan pupuk yang berbeda kualitasnya (Sudiarso, 2003).

Salundik dan Simamora, (2006) menyatakan bahwa dalam keadaan segar

pupuk kandang berasal dari kotoran sapi mengandung unsur hara sebagai berikut: N=0,40%, P2 05=0,20%, dan K2O=0,1% dan air 85% sedangkan dalam keadaan

(9)

92% dimana kandungan C/N yang lebih rendah dibandingkan C/N tanaman. Pupuk kandang sapi memiliki perbandingan C/N=15,8%.

Pupuk organik yang menyediakan sebagian besar nitrogen dan belerang serta setengah fosfor yang diberikan akan diserap oleh tanaman, juga dapat membentuk gabungan dengan unsur hara makro yang mencegah pencucian unsur hara. Penggunaan pupuk organik meningkatkan kandungan tanah akan karbon organik, dan kalsium ditukar seingga kenikan pH nyata (Sanchez, 1995)

Pelapukan dan perombakan pupuk kandang akan mengakibatkan persenyawaan nitrogen yang terdapat dalam bahan organik, seperti polipeptida dan asam amino menjadi amonia, sulfat, phosfat, asam arang dan air (Sarief, 1985).

Ada beberapa alasan mengapa bahan organik seperti kotoran sapi perlu dikomposkan sebelum dimanfaatkan sebagai pupuk, antara lain:

1. Kotoran sapi tidak selalu tersedia pada saat diperlukan, sehingga pembuatan kompos merupakan cara penyimpanan bahan organik sebelum digunakan sebagai pupuk

2. Struktur bahan organik segar sangat kasar dan daya ikatnya terhadap air kecil, sehingga bila langsung dibenamkan akan mengakibatkan tanah menjadi sangat remah

3. Bila tanah mengandung cukup udara dan air, penguraian bahan organik berlangsung cepat sehingga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman

4. penguraian bahan segar hanya sedikit sekali memasok humus dan unsur hara ke dalam tanah.

(10)

Pengomposan Aerob dan Anaerob

Pengomposan atau dekomposisi merupakan peruraian dan pemantapan bahan-bahan organik secara biologis dalam temperatur termofilik (temperatur yang tinggi) dengan hasil akhir bahan yang cukup bagus untuk digunakan ke tanah tanpa merugikan lingkungan. Temperatur termofilik terjadi karena kelembapan dan suasana aerasi yang tertentu. Setelah temperatur tercapai, mikroorganisme dapat aktif menguraikan bahan organik (Indriani, 2007).

Pengomposan kotoran sapi adalah suatu proses di mana kotoran sapi umumnya diolah menjadi pupuk kandang, dengan proses biologi oleh mikro organisme secara terpisah atau bersama-sama dalam menguraikan bahan organik menjadi bahan semacam humus (Praptopo, 2006)

Sutanto (2002) menyatakan: selama proses pengomposan berlangsung, perubahan secara kualitatif dan kuantitatif terjadi, pada tahap awal akibat perubahan lingkungan beberapa spesies flora menjadi aktif dan berkembang dalam waktu yang relatif singkat dan kemudian hilang untuk memberikan kesempatan pada jenis lain untuk berkembang.

Untuk memperoleh manfaat yang lebih besar dari kompos, dapat diperkaya dengan fosfat untuk meningkatkan kemangkusan penggunaan fospat oleh tanaman. Sumber penambah posfat yang dapat dimanfaatkan adalah batuan pospat yang mempunyai kandungan posfat rendah (<11% P) dan tepung tulang yang mengandung 9%-11% P (Sutanto, 2002).

(11)

Pengomposan Aerob

Pengomposan Aerobik berjalan dengan kondisi terbuka. Dalam hal ini, udara bebas bersentuhan langsung dengan bahan kompos. Pengontrolan terhadap kadar air, suhu, pH, kelembapan, ukuran bahan, volume tumpukan bahan, dan pemilihan bahan perlu dilakukan secara intensif untuk mempertahankan proses pengomposan agar stabil sehingga diperoleh proses pengomposan yang, optimal kualitas maupun kecepatannya (Yuwono, 2007).

Dalam proses ini, kurang dari 2/3 unsur karbon (C) menguap menjadi CO2

dan sisanya 1/3 bagian bereaksi dengan nitrogen dalam sel hidup. Selama proses pengomposan Aerob tidak timbul bau busuk. Selama proses pengomposan berlangsung akan terjadi reaksi esotermik sehingga timbul panas akibat pelepasan energi. Kenaikan temperatur dalam timbunan bahan organik menghasilkan temperatur yang menguntungkan mikroorganisme termofilik. Akan tetapi, apabila temperatur melampaui 650C-700C, kegiatan mikroorganisme akan menurun kerena kematian organisme akibat panas yang tinggi (Sutanto, 2002).

Pengomposan Anerob

Pengomposan Anaerobik terjadi tanpa bantuan udara oksigen sedikit pun. Dengan demikian, dalam pembuatannya selalu membutuhkan bangunan khusus yang tertutup rapat. Sebenarnya pembuatan kompos Anaerobik ini tidak jauh berbeda dengan pembuatan biogas atau pembuatan septic tank. Hasil pengomposan Anaerobik berupa CH4, H2S, H2, CO2, as. Asetat, as. Butirat, as.

Laktat, Etanol, Metanol dan hasil sampingan berupa lumpur. Lumpur inilah yang akan dijadikan sebagai pupuk kompos (Yuwono, 2007).

(12)

Peruraian bahan organik akan terjadi pada kondisi Anaerob (kelangkaan oksigen). Pertama kali, bakteri fakultatif penghasil asam menguraikan

bahan organik menjadi asam lemak, aldehida, dll.kemudian kelompok lain mengubah as. lemak menjadi metana, amoniak, CO2, dan hidrogen. Dengan

demikian oksigen juga diperlukan untuk proses dekomposisi Anaerob tetapi sumber senyawa kimia yang tidak terlarut oleh oksigen. Pada kondisi ini kalori yang dilepaskan hanya 26 kcal/mole glukosa yang dilepaskan sedangkan pada kondisi Aerob energi yang dilepaskan sebesar 484 -674 kcal/mole glukosa (Sutanto, 2002).

Proses pengomposan Anaerob dapat dipercepat dengan penambahan Efective Microorganisms (EM4). Karena dengan metode ini bau yang dihasilkan dapat hilang bila proses yang dilakukan berlangsung dengan baik (Indriani, 2007)

Berikut adalah perbedaan pengomposan secara Aerobik dan Anaerobik:

Deskripsi Aerobik Anaerobik

Bahan organik untuk kompos Pemilihan dilakukan secara intensif. Bahan-bahan organik yang mengandung protein hewani dan bahan mengandung penyakit sebaiknya diseleksi

Hampir semua bahan organik dapat dikomposkan dan aman digunakan

Rasio C/N 25:1 hingga 30:1 Semakin tinggi C/N ratio

semakin cepat perombakan bahan organik dan buangannya akan mempunyai N yang tinggi.

Kadar air (Rh) bahan 40-50% 50% ke atas

Suhu optimal 45-65oC 55-60oC

pH 6-8 6,7-7,2

Ukuran bahan Berupa potongan kecil

1-7,5 cm Lebih baik lumat seperti bubur

Aerasi 0,6-1,8 m3 udara/hari/kg

bahan (proses termofilik) Tidak memerlukan aerase karena tempat tertutup

Kontrol patogen Dilakukan pada suhu

60-70oC selama 4 hari pertama Tidak perlu dikontrol karena patogen akan mati setelah 3-12 bulan

(13)

Hasil akhir protein Amonia, as. Amino, H2S. CO2, H2, alkohol, as. Organik, fenol

Amonia, nitrit, nitrat, H2S, H2SO4, alkohol, as. Organik, CO2, H, H2O, CH4.

Hasil akhir karbohidrat CO2, H2, alkohol, as. Lemak Alkohol, as. Lemak, CO2, H2O

Hasil akhir lemak/lipid Asam lemak, CO2, H2,

alkohol

As. Lemak, gliserol, alkohol, CO2, H2O

Lamanya proses 40-55 hari 10-80 hari (3-6 bulan)

Pengisisan bahan baku pada saat proses komposting berlangsung

Tidak dapat dilakukan karena dapat menganggu proses pengomposan

Penambahan bahan baku dalam bak fermentasi dapat dilakukan sewaktu-waktu

(Indriani, 2007)

Pertanian Organik

Pertanian yang mirip dengan kelangsungan kehidupan hutan disebut pertanian organik karena kesuburan tanaman berasal dari bahan organik secara alamiah. Pengertian lain, pertanian organik adalah sistem pertanian yang tidak mempergunakan bahan kimia, tetapi menggunakan bahan organik. Bahan kimia tersebut dapat berupa pupuk, pestisida, hormon pertumbuhan dan lain sebagainya (Hutapea, 2007).

Fisiologi yang melandasi pertanian organik adalah mengembangkan prinsip memberi makanan untuk tanaman (feeding the soil that feeds the plants), dan bukan memberi makanan langsung pada tanaman. Strategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman, kompos, dan pupuk kandang menjadi biomassa tanah yang selanjutnya setelah mengalami proses mineralisasi akan menjadi hara dalam larutan tanah. Dengan kata lain, unsur hara di daur ulang melalui satu atau

lebih tahapan bentuk senyawa organik belum diserap tanaman. (Sutanto, 2002).

(14)

Syarat Tumbuh Tanaman Sawi

Sawi dapat di tanam di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Akan tetapi, umumnya sawi diusahakan orang di dataran rendah, yaitu di pekarangan, di ladang, atau di sawah, jarang diusahakan di daerah pegunungan. Sawi termasuk tanaman sayuran yang tahan terhadap hujan. Sehingga ia dapat ditanam di sepanjang tahun, asalkan pada saat musim kemarau disediakan air yang cukup untuk penyiraman. Keadaan tanah yang dikehendaki adalah tanah gembur, banyak mengandung humus, dan drainase baik dengan derajat keasaman (pH) 6-7 (Kariada dan Sukadana, 2000).

Kandungan air tanah yang baik untuk budidaya tanaman sawi adalah pada kandungan air tersedia, yaitu pF antara 2,5-4. Dengan demikian lahan tanaman sawi memerlukan pengairan yang cukup baik (irigasi maupun drainase). Sawi tidak dapat hidup dengan baik pada tanah yang berlebihan air atau tergenang. Umumnya sawi tumbuh baik di daerah dataran pada ketinggian 1000-2000 m dpl (www.sasamba.or.id/agribisnis/sayur/petsai.rtf)

Sawi menginginkan tanah yang gembur dan kaya bahan organik. Selain itu tanah harus memiliki drainase yang baik dengan pH 6-7. Sawi dapat ditanam di dataran rendah dan dataran tinggi. Namun, lebih banyak diusahakan di dataran rendah. Sawi juga bisa ditanam pada saat musim kemarau asalkan airnya cukup tersedia untuk penyiraman (Nazaruddin, 1999).

Referensi

Dokumen terkait

Adapun pengaruh bahan organik terhadap sifat-sifat tanah dan akibatnya juga terhadap pertumbuhan tanaman adalah: sebagai granulator, yaitu memperbaiki struktur tanah, sumber

yang sangat penting pada proses humifikasi, mineralisasi bahan organik tanah,.. sehingga menjadi unsur-unsur hara yang tersedia untuk

Pengembangan kedelai pada lahan kering masam akan dihadapkan kepada kondisi tanah yang kurang subur karena rendah pH (4,3-5,5), kandungan Al tinggi, kandungan bahan

Unsur hara makro seperti fosfor dan kalium yang sering kahat, reaksi tanah masam hingga sangat masam, serta kejenuhan aluminium yang tinggi merupakan sifat-sifat Ultisol

(1985) berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah bahan organik dalam tanah adalah sifat dan jumlah bahan organik yang dikembalikan, kelembaban tanah,

Unsur N, P, K, Ca, Mg, S, dan unsur mikro yang dihasilkan dari proses mineralisasi bahan organik (Romaskam dan Yuwono, 2002) merupakan elemen esensial yang

Bahan organik merupakan bahan penting dalam menciptakan kesuburan tanah, baik secara fisika, kimia, dan biologi tanah. Bahan organik adalah bahan pemantap agregat tanah yang

MEKANISME VERMIKOMPOS Mengandung berbagai unsur hara Sumber nutrisi mikroba Jumlah spesies dan individu mikroba banyak Aktivitas tinggi Mineralisasi bahan organik