• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS BERDASARKAN UU NO.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS BERDASARKAN UU NO."

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS BERDASARKAN

UU NO. 30 TAHUN 1999

A. Pengertian Pengertian Arbitrase dan Jenis-Jenis Arbitrase

Kata arbitrase berasal dari bahasa Latin yaitu "arbitrare" yang artinya kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut "kebijaksanaan". Dikaitkannya istilah arbitrase dengan kebijaksanaan seolah-olah memberi petunjuk bahwa majelis arbitrase tidak perlu memperhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup berdasarkan pada kebijaksanaan.15

Dalam penjelasan UU No. 30 tahun 1999 disebutkan bahwa jika arbiter diberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka peraturan perundang-undangan dapat dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal tertentu hukum memaksa (dwi ngende regels) harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi oleh arbiter. Jika arbiter tidak diberi kewenangan untuk menjatuhkan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka arbiter hanya dapat memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materil sebagaimana dilakukan oleh hakim.

Dalam memeriksa dan memutus suatu sengketa, arbiter atau majelis arbitrase selalu mendasarkan diri pada hukum. yaitu hukum yang telah dipilih oleh para pihak yang bersengketa (choise of law). Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa para arbiter apabila dikehendaki oleh para pihak, memutus atas dasar keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono).

15

(2)

Banyak para ahli mendefenisikan arbitrase dari sudut pandang yang berbeda. Ada yang mengartikan arbitrase sebagai peradilan swasta, pengadilan pengusaha, perwasitan dan lain-lain. Jika diperhatikan, esensi berbagai pendapat para penulis tersebut tidak berbeda secara signifikan, karena mengacu pada pilihan penyelesaian sengketa komersial berdasarkan kesepakatan.

Secara umum arbitrase adalah suatu proses dimana dua pihak atau lebih menyerahkan sengketa mereka kepada satu orang atau lebih yang imparsial (disebut arbiter) untuk memperoleh suatu putusan yang final dan mengikat. Dari pengertian itu terdapat tiga hal yang harus dipenuhi, yaitu :16

Menurut Soedikno Mertokusumo, arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luat pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter.

1. adanya suatu sengketa.

2. kesepakatan untuk menyerahkan ke pihak ketiga. 3. putusan final dan mengikat akan dijatuhkan.

17

Defenisi lainnya tentang arbitrase, adalah suatu tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara dua orang (atau lebih) maupun dua kelompok (atau lebih) kepada seseorang atau beberapa ahli yang disepakati bersama dengan tujuan memperoleh suatu keputusan final dan

Disini kata wasit digunakan sebagai pihak ketiga yang netral dalam memutus perselisihan.

16

Ibid, hal. 20.

17

Sudikmo Mertokusomo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999, hal. 144.

(3)

mengikat.18

Dari pengertian Pasal 1 angka 1 tersebut diketahui pula bahwa dasar dari arbitrase adalah perjanjian di antara para pihak sendiri, yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa apa yang telah di perjanjikan oleh para pihak mengikat mereka sebagai undang-undang.

Disini, arbiter disebut sebagai ahli, yang keputusannya final dan mengikat.

Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 disebutkan : "arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa". Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa sengketa yang dapat dibawa pada arbitrase adalah sengketa yang bersifat keperdataan. Para pihak telah menyepakati secara tertulis bahwa mereka, jika terjadi sengketa melalui arbitrase dan tidak berpekara di depan peradilan umum. Dengan demikian, yang dilakukan adalah untuk memutuskan pilihan forum, yaitu yurisdiksi di mana suatu sengketa akan diperiksa dan bukan pilihan hukum.

19

Penyelesaian sengketa melalui arbitase, baik arbitrase yang bersifat sementara (ad-hoc) maupun sebuah badan permanent (institusi) merupakan praktik yang sudah sangat lama dikenal dalam dunia perdagangan. Demikian pula, perbedaan referensi mengenai arbitrase ad-hoc sebagai lawan dari arbitrase institusi

18

Prayitna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa : Suatu Penganta, Fikahati Aneka, Jakarta, 2002, hal. 16.

19

Pasal 1338 KUHPerdata berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,… Dan perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan ‘itikad baik.

(4)

telah diterima menjadi bagian penting dalam kegiatan arbitrase nasional dan internasional.

Sebuah arbitrase ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang

sengaja dibentuk untuk tujuan berarbitrase, misalnya UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Aternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Dalam kaitan itu, jika para pihak telah mengacu pada UU No. 30 tahun 1999, maka ketentuan-ketentuan dalam undang-undang tersebut berlaku bagi penyelesaian sengketa mereka. Di samping itu, aturan tentang prosedur arbitrase ad-hoc dapat disusun oleh para pihak sendiri atau oleh majelis arbitrase, atau kombinasi diantara keduanya. Arbitrase ad-hoc bersifat sementara dan berakhir pada saat dijatuhkannya putusan atas sengketa tersebut.

Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Jadi, penggunaan arbitrase ad-hoc pun diperlukan dalam sebuah klausul arbitrase.

Di samping itu, yang lebih dikenal dan sering digunakan adalah arbitrase institusi, yaitu suatu lembaga permanent yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase baik yang bersifat nasional, seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), maupun badan arbitrase internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber ofCommerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington, dan lain-lain.

(5)

Badan-badan arbitrase nasional dan internsional tersebut memiliki peraturan dan system arbitrase sendiri.

Jadi, dalam transaksi bisnis saat ini para pihak tidak dapat dengan bebas, misalnya memilih arbiter yang akan menangani sengketa, karena mereka terikat pada lembaga yang bersifat mengatur arbitrse tersebut, misalnya jika para pihak telah mencantumkan BANI di Indonesia sebagai badan arbitrase yang akan menangani sengketa maka ketentuan-ketentuan arbitrase BANI berlaku bagi mereka, baik ketentuan mengenai pemilihan arbiter, tata cara atau prosedur pelaksanaan arbitrase, biaya yang harus dibayar, dan lain-lain.

Pengertian arbitrase institusi diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 30 Tahun 1999, yaitu : "Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa".

Pengertian tersebut cukup membingungkan khususnya dari persfektif internasional karena bukan lembaga (badan) tersebut yang memberikan putusan sengketa tertentu, arbiter atau majelis arbitraselah (atas nama badan arbitrase) yang memutuskan sengketa para pihak.

Dalam Pasal 134 UU No. 30 Tahun 1999 disebutkan :

1. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan

menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasioanal berdasarkan kesepakatan para pihak.

(6)

2. Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan oleh para pihak.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya ketentuan-ketentuan dalam UU No. 30 Tahun 1999 tersebut tidak akan digunakan jika para pihak telah menentukan salah satu lembaga arbitrase yang ditunjuk akan mengenai sengketa mereka. Masing-masing lembaga arbitrase yang ditunjuk akan menangani sengketa sesuai dengan peraturan dan ketentuan acaranya. Dengan kata lain, undang-undang arbitrase nasional Indonesia hanya berfungsi jika para pihak tidak menunjuk sebuah lembaga arbitrase tertentu.

Dari rumusan di atas, terlihat bahwa penyelesaian sengketa melalui aritrase dapat dilakukan dengan memilih lembaga arbitrase dari berbagai badan arbitrase, baik nasional maupun internasional, selain ada kebebasan menentukan sendiri aturan-aturan dan acara berlaku bagi arbitrase.

Sehubungan dengan pengertian tentang kelembagaan arbitrase, secara luas telah disepakati bahwa suatu arbitrase diktegorikan internasional jika memenuhi salah satu (atau lebih) syarat sebagai beriku :20

a. keorganisasiannya, yaitu suatu organisaasi yang para anggotanya adalah negara-negara, sehingga bersifat internasional, misalnya Arbitrase ICSID yang berkedudukan di Washington merupakan arbitrase internasional kerena ia

dibentuk oleh Negara-negara pesera berdasarkan The Convention on

Settelement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States.

20

(7)

b. Proses beracaranya, yaitu tata cara atau prosedur persidangannya dilaksanakan menurut ketentuan atau peraturan, yang bebas dari system hukum negara di tempat keberadaan arbitrase tersebut, misalnya Arbitrase The Internasional Chamber of Commerce (ICC) yang berkedudukan di Paris adalah arbitrase internasional karena negara-negara anggotanya menyepakati ketentuan ICC terlepas dari system huku m Prancis.

c. Tempatnya, yaitu dalam kenyataannya apakah tempat arbitrase tersebut berhubungan dengan lebih dari satu yurisdiksi. atau apakah terdapat unsur yurisdiksi asing di dalamnya. Artinya mengingat tempatnya suatu arbitrase dianggap internasional, apabila :

1. Para pihak pada saat membuat perjanjian arbitrase mempunyai tempat usaha di negara-negara yang berlainan.

2. Tempat arbitrase yang ditentukan dalam perjanjian arbitrase letaknya di luar Negara tempat para pihak mempunyai usaha mereka.

a. para pihak yang terlibat dalam perjanjian arbitrase mempunyai tempat kegiatan bisnis di negara yang berbeda di negara yang berbeda, pada saat penandatanganan perjanjian ("....their place of business in different state”), atau

b. satu dari beberapa tempat berikut berada di Luar Negara dimana para pihak mempunyai tempat kegiatan bisnisnya, yaitu :

1) Tempat arbitrase jika ditentukan di dalam perjanjian arbitrase.

2) Setiap tempat dimana kewajiban terbesar dari hubungan komersial akan dilaksanakan, atau tempat dimana masalah yang disengketakan memiliki

(8)

hubungan terdekat (...."which the subject - matter of the dispute is most clo.sey connected') atau

c. para pihak secara tegas setuju bahwa ruang lingkup dari perjanjian arbitrase

berhubungan dengan lebih satu Negara (''.. ..relats to more than one

country21

Dari rumusan pengertian arbitrase yang diberikan UU No. 30 tahun 1999, dapat diketahui bahwa arbitrase lahir karena adanya perjanjian arbitrase. Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak ini berisikan perjanjian untuk

). Dalam kaitan dengan hal tersebut, jika salah satu pihak mempunyai lebih dari satu tempat usaha, maka tempat usaha yang dipakai adalah yang memiliki hubungan terdekat dengan perjanjian arbitase. Tetapi jika salah satu pihak tidak mempunyai tempat usaha, maka alamat ditujukan pada di mana ia biasanya tinggal.

Ketentuan arbitrase internasional tersebut tidak mempengaruhi hukum Negara lain yang melarang sengketa tertentu untuk diserahkan pada arbitrase. Misalnya untuk Indonesia, sebagaimana telah disebutkan telah disebutkan di atas bahwa Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 menentukan ruang lingkup sengketa yang dapr ditangani oleh arbitrase, yaitu :"....hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa".

B. Perjanjian dan Bentuk Klausul Arbitrase

21

(9)

menyelesaikan suatu sengketa di bidang perdata di luar peradilan umum. Jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata yang menentukan adanya dua sumber perikatan, maka arbitrase ini merupakan perikatan yang dilahirkan dari perjanjian.

Lebih lanjut Pasal 1 angka 3 UU No. 30 Tahun 1999 mengartikan perjanjian arbitrase adalah kesepakatan berupa klausul arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa.

Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan, berupa22:

1. klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau

2. suatu perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa Dengan demikian, perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan secara tertulis dari para pihak untuk menyerahkan penyelesaian suatu sengketa atau perselisihan perdata kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc. Dalam kesepakatan tadi dapat dimuat pula pilihan hukum yang akan

Pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan umum ini harus secara tegas dicantumkan dalam perjanjian. Pada umunya, klausula atau perjanjian

digunakan untuk penyelesaian sengketa atau perselisihan para pihak tersebut. Perjanjian arbitrase ini dapat dicantumkan dalam perjanjian pokok atau pendahuluannya, atau dalam suatu perjanjian tersendiri setelah timbulnya sengketa atau perselisihan.

22

Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nsional, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 23.

(10)

arbitrase dibuat secara tertulis. Di Indonesia, sesuai dengan isi UU No. 30 Tahun 1999, mensyaratkan klausula dibuat secara tertulis oleh para pihak. Dengan adanya suatu perjanjian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri.

Selanjutnya dengan sendirinya Pengadian Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Untuk itu, Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang talah ditetapkan melalui arbitrase . Untuk itu, penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam UU No. 30 Tahun 1999.

Dengan demikian, perjanjian arbitrase memberikan kewenangan absolute kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapat di antara para pihak yang timbul atau mungkin timbul dari hubungan hukum tertentu, yang penyelesainnya disepakati dengan cara arbitrase. Pengadilan Negeri dengan sendirinya tidak berwenang untuk mengadili suatu sengketa yang sebelumnya disepakati oleh para pihak untuk diselesaikan melalui cara arbitrase.

Selanjutnya, karena perjanjian arbitrase dapat dibuat sebelum atau sesudah timbul sengketa oleh para pihak untuk diselesaikan melalui cara arbitrase tersebut dibedakan atas 2 (dua) bentuk klausul arbitrase, yaitu :

1. Klausul arbitrase yang berbentuk pactum de compromittendo.

2. Klausul arbitrase yang berbentuk acta compromise.

(11)

Dalam istilah “Pactum de Compromittend” secara harfiah berarti “akta kompromis”, tetapi dalam beberapa literatur Indonesia dibedakan antara keduanya. Perbedaanya semata-mata pada pemakaiannya saja.23

Karena pemilihan arbitrase sebelum terjadinya sengketa dilakukan dalam bentuk suatu perjanjian, maka ketentuan hukum perjanjian yang umum berlaku. Perjanjian arbitrase adalah perjanjian yang isinya tidak boleh melampaui atau bertentangan dengan perjanjian pokoknya dan tidak ada tanpa adanya perjanjian

Bentuk klausul pactum de compromittendo dibuat oleh para pihak sebelum terjadinya sengketa atau perselisihan secara nyata. Para pihak sebelumnya telah sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa atau perselisihannya yang mungkin akan terjadi dikemudian hari kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc. Klausul arbitrase seperti ini dapat dalam perjanjian pokok atau dalam suatu perjanjian tersendiri.

Pengaturan pokok klausula Pactum de Compromittendo ini dapat dijumpai

dalam Pasal 27 UU No. 30 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa : "para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase". Sebelumnya diatur dalam Pasal 615 ayat (3) Rv yang menentukan : "bahkan diperkenankan mengikat diri satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit. Juga dapat dijumpai dalam Pasal II ayat (2) Konvensi New York 1985 yang antara lain menentukan :”....the parties undertake to submit to arbitration all or any differences ... which may arise betwen them... “.

23

Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 117-118.

(12)

pokok24

a. Meninggalnya salah satu pihak.

. Dengan hapusnya atau berakhirnya perjajian pokok, tidak menyebabkan hapus atau berakhir pula perjanjian atau klausula arbitrasenya. Perkecualian ini ditegaskan dalam Pasal 10 UU No. 30 Tahun 1999. Pasal tersebut menegaskan suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan :

b. Bangkrutnya salah satu pihak. c. Novasi (pembaruan utang)

d. Insolvensi (keadaan tidak mampu membayar) salah satu pihak.

e. Pewarisan.

f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok.

g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan kepada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian atbitrase tersebut.

h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

2. Klausula arbitrase yang berbentuk acta compromise.

Bentuk klausula arbitrase lainnya adalah acta compromise. Akta kompromis dibuat setelah sengketa atau perselisihan terjadi sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian pokok. Dalam perjanjian pokok, para pihak belum mencantumkan klausula arbitrase, baru setelah sengketa atau perselisihan terjadi, para pihak sepakat untuk memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Untuk itu dibuatlah perjanjian baru tersendiri dan terpisah dari perjanjian pokok, yang berisikan atau arbitrase ad-hoc.

24

(13)

Dalam Pasal 9 UU No. 30 Tahun 1999 diatur persyaratan pembuatan akta kompromis tersebut, dengan ancaman batal demi hukum jika tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan tersebut. Adapun persyaratan pembuatan akta kompromis dimaksud, adalah sebagai berikut25

a. Pemilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase oleh para pihak dilakukan setelah sengketa terjadi.

:

b. Persetujuan tertulis cara dan pranata penyelesaian sengketa tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis, tidak boleh dengan persetujuan secara lisan. c. Perjanjian tertulis tadi harus ditandatangani oleh para pihak. Jika para pihak

tidak dapat menandatangani, perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.

d. Isi perjanjian tertulis atau akta kompromis harus memuat : 1. Masalah yang bersengketaan,

2. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak

3. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter 4. Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan 5. Nama lengkap sekretaris

6. Jangka waktu penyelesaian sengketa

7. Pernyataan persediaan dari pihak yang bersangkutan untuk menanggung

segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Sebelumnya, ketentuan mengenai akta kompromis ini dapat dijumpai dalam pasal 618 Rv yang menentukan bahwa persetujuan arbitrase tersebut harus dibuat

(14)

dihadapan notaris. Persetujuan arbitrase dalam akta kompromis tersebut sekurang-kurangnya memuat pokok masalah yang menjadi sengketa, nama dan kedudukan para pihak, dan juga nama-nama dan kedudukan para arbiter yang ditunjuk, serta jumlah arbiter yang selalu harus dalam jumlah ganjil. Apaibla persyaratan sebagai mana dimaksud dalam pasal 618 Rv tersebut tidak dipenuhi, maka persyaratan arbitrase yang dibuat oleh para pihak diancam dengan kebatalan secara hukum.

Untuk mencegah diterapkannya prosedur litigasi tentang makna dari klausula-klausula arbitrase dan untuk menghindari kejutan-kejutan yang tidak menyenangkan kemudian bilamana arbitrase dilangsungkan, para pihak harus menyusun klausula-klausula arbitrase dengan cermat. Setidaknya, klausula arbitrase harus memuat komitmen yang jelas terhadap arbitrase serta pernyataan tentang sengketa apa yang diselesaikan secara arbitrase. Secara umum, klausula-klausula arbitrase mencakup26

a. Komitmen/kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase. :

b. Ruang lingkup arbitrase.

c. Apakah arbitrase akan berbentuk arbitrase institusional atau ad-hoc. Apabila

memilih bentuk ad-hoc, maka klausula tersebut harus merinci metode

penunjukan arbiter atau majelis arbitrase. d. Aturan prosedural yang berlaku.

e. Tempat dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase.

f. Pilihan terhadap hukum substansif yang berlaku dalam arbitrase. g. Klausula-klausula stabilitasi dan hak kekebalan (imunitas) jika relevan.

26

Gary Goodpaster, Felix Oentoeng, Soebagio dan Fatimah Jatim, Arbitrase di Indonesia : Beberapa Contoh Kasus dan Pelaksanaan dalam Perak.tek, Dalam Arbitrase Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hal. 25.

(15)

Sebagai suatu perjanjian, maka pembuatan perjanjian atau klausula arbitrase juga tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum perjanjian pada umumnya sebagaimana tersebut dalam Buku III KUHPerdata.

C. Keunggualan dan Kelemahan Arbitrase

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dinilai menguntungkan karena beberapa alasan sebagai berikut 27

1. Kecepatan dalam proses :

Suatu persetujuan arbitrase harus menetapkan jangka waktu, yaitu berapa lama perselisihan atau sengketa uang diajukan pada arbitrase harus diputuskan. Apabila para pihak tidak menentukan jangka waktu tertentu, jangka waktu penyelesaian dipilih oleh aturan-aturan arbitrase setempat yang dipilih. Meskipun ada negara yang peraturan perundang-undanganya memberi kesempatan banding terhadap keputusan arbitrase, dalam prakteknya kemungkinan banding ini dihapuskan melalui perjanjian. Tujuannya adalah untuk mempercepat proses penyelesaian sengketa.

Dalam pasal 53 UU No. 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase tidak dapat dilakukan perlawanan atau upaya hukum apapun. Sedangkan dalam pasal 60 secara tegas disebutkan : ”Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak”.

2. Pemeriksaan ahli di bidangnya

27

(16)

Untuk memeriksa dan memutus perkara melalui arbitrase, para pihak diberi kesempatan untuk memilih ahli yang dimiliki pengetahuan yang mendalam dan sangat menguasai hal-hal yang disengketaan. Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan yang diberikan dan putusan yang dijatuhkan dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya. Hal itu dimungkinakan karena selain ahli hukum, dalam badan arbitrase juga terdapat ahli-ahli dalam berbagai bidang, misalnya ahli perbankan, ahli leasing, ahli pemborong, ahli pengangkutan darat, laut dan udara dan lain-lain.

Sebagaimana diketahui, dalam pemeriksa persidangan di pengadilan ada kemungkinan hakim tidak menguasai sutau perkara yang sifatnya sangat teknis. Hal ini disebabkan sebagian besar hakim di pengadilan memiliki latar belakang yang

sama, yaitu bersifat umum (general knowledge) dan sulit bagi mereka untuk

memahami hal-hal teknis yang rumit. 3. Sifat Konfidensialitas

Sidang arbitrase salalu dilakukan dalam ruangan tertutup, dalam arti tidak terbuka untuk umum, dan keputusan yang diucapkan dalam sidang tertutup hampir tidak pernah dipublikasikan. Dengan demikian, penyelesaian melalui arbitase

diharapkan dapat menjaga kerahasian para pihak yang bersengketa28

Berbeda dari arbitrase, proses pemeriksaan dan putusan pengadilan harus dilakukan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Proses yang bersifat

. Dalam Pasa127

UU No. 30 Tahun 1999 disebutkan. bahwa : “semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup”.

28

(17)

terbuka dapat merugikan para pihak yang bersengketa karena rahasia mereka yang seharusnya tertutup rapat diketahui oleh umum.

Sebagai perbandingan dapat dilihat Penjelasan UU No. 30. Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibanding lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain, adalah : a. Kerahasian sengketa para pihak dijamin.

b. keterlambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan administraif dapat dihindari.

c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai

pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil.

d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya

serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.

e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

Penjelasan UU No. 30 Tahun 1999 menegaskan bahwa pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat dari pada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase dibandingkan dengan pengadilan adalah sifat kerahasiaannya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun demikian, penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, tertutama untuk kontrak bisnis yang bersifat internasional.

(18)

Oleh karena itu, berdasarkan efektifitas penggunaan arbitrase, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian melalui arbitrase selalu didasarkan pada asumsi-asumsi, sebagai berikut29

1. Lebih cepat, karena putusannya bersifat final dan mengikat, sehingga

menghemat waktu, Maya dan tenaga. :

2. Dilakukan okeh para ahli di bidangnya, karena arbitrase menyediakan para pakar dalam bidang tertentu yang menguasai personal yang disengketakan, sehingga hasilnya (putusan arbitrase) dapat lebih dipertanggungjawabkan.

3. Kerahasiaan terjamin karena proses pemeriksaan dan putusannya tidak

terbuka untuk umum, sehingga kegiatan usaha tidak terpengaruh.

Dengan beberapa alasan tersebut, arbitrase lebih disukai dan dinilai lebih efektif daripada penyelesaian sengketa di pengadilan. Namun demikian, selain beberapa keuntungan atas pilihan penggunaan arbitrase tersebut, arbitrase memiliki beberapa kelemahan yang dapat membuat arbitrase kehilangan baik daya guna (efektifitas) maupun hasil guna (efisiensinya)

Selanjutnya beberapa faktor yang merupakan kelemahan arbitrase, adalah sebagai berikut :

a. Hanya untuk para pihak bonafide

Arbitrase hanya bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang bonafide

atau jujur dan dapat dipercaya. Para pihak yang bonafide adalah mereka yang memiliki kredibilitas dan intergritas artinya patuh terhadap kesepakatan, pihak yang dikalahkan harus secara sukarela melaksanakan putusan arbitase. Sebaliknya, jika ia

29

Gatot Soemartono, Analisa Yuridis Keefektifan Penggunaan Arbitrase Internasional (UNCITRAL) Melawan Pertamina, Lembaga Penelitian dan Publikasi Ilmiah Universitas Tarumanegara, Jakarta, 2003, hal. 5.

(19)

selalu mencari-cari peluang untuk menolak melaksanakan putusan arbitrase, hal tersebut justru akan memakan lebih banyak biaya, bahkan lama daripada proses di pengadilan, misalnya pengusaha dikalahkan tidak setuju dengan suatu putusan

arbitrase, maka ia dapat melakukan berbagai cara untuk mendapatkan stay of

exucution (penundaan pelaksanaan putusan) dengan membawa perkaranya ke pengadilan.

Demikian pula tidak jarang ditemui dalam taktik bahwa para pihak, walaupun mereka telah memuat klausul arbitrase dalam perjanjian bisnisnya, tetap saja mereka telah memuat klausul arbitrase dalam perjanjian, cukup banyak pengadilan negeri yang menerima gugatan perkara tersebut. Di dalam Pasal 11 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 disebutkan, bahwa : "pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase".

b. Ketergantungan mutlak pada arbiter

Putusan arbitrase selalu tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan putusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadailan para pihak. Meskipun arbitrase memiliki keahlian teknis yang tinggi, bukanlah hal yang mudah bagi majelis arbitrase untuk memuaskan dan memenuhi kehendak para pihak yang bersengketa. Para pihak yang kalah akan mengatakan bahwa putusan arbiter tidak adil, demikian pula sebaliknya (pihak yang menang akan mengatakan putusan tersebut adil). Ketergantungan terhadap para arbiter merupakan suatu kelemahan karena substansi perkara dalam arbitrase tidak dapat diuji kembali (melalui proses banding), mengingat putusan arbitrase bersifat final dan mengikat.

(20)

Dahulu seorang wanita berdasarkan isi Pasal 617 ayat (2) Rv dilarang untuk menjadi seorang arbiter atau wasit, tetapi kini wanita tidak dilarang untuk menjadi seorang arbiter, asalkan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12 UU No. 30 Tahun 1999 yang mengatur precedence tersebut dapat menimbulkan putusan-putusan yang saling berlawanan atas penyelesaian sengketa berupa di masa yang akan datang (hal itu mengurangi kepastian hukum dan bertentangan dengan asas

similia similibus, yaitu perkara serupa diputuskan sama).

d. Masalah putusan arbitrase asing

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional memiliki hambatan sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusannya. Kesulitan itu menjadi masalah yang sangat penting karena biasanya di Negara pihak yang kalah terdapat harta yang harus dieksekusi, dimana perlu dipastikan hukum yang akan diberlakukan dalam proses eksekusi tersebut. Oleh karena itu, berhasil tidaknya penyelesaian sengketa berkaitan erat dengan dapat tidaknya putusan arbitrase tersebut dilaksanakan di negara dari pihak yang dikalahkan.

D. Tata Cara Pengangkatan Arbiter

Pada perinsipnya siapa saja dapat menjadi arbiter asal mempunyai keahlian yang diharapkan untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi. Seorang arbiter bias seorang ahli hukum, bisa juga seorang yang ahli bidang tertentu.30

Dahulu seorang wanita berdasarkan isi Pasal 617 ayat (2) Rv dilarang untuk menjadi

(21)

seorang arbiter atau wasit, tetapi kini wanita tidak dilarang untuk menjadi seorang arbiter, asalkan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12 UU No. 30 Tahun 1999 yang mengatur persyaratan arbiter. Orang yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat :

a. cakap melakukan tindakan hukum

b. berumur paling rendah 35 tahun

c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan

drajat ke dua dengan salah satu pihak bersengketa.

d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan

arbitrase.

e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.

Seorang hakim, jaksa, bisa seorang saja yang merupakan arbiter tunggal, atau bisa beberapa orang yang merupakan majelis arbiter yang akan bertugas menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Sistem arbiter ini dapat rumusan pengertian arbiter yang disebutkan dalam pasal 1 angka 7 UU No. 30 tahun 1999. Dalam pasal itu

dikatakan, arbiter adalah “seorang atau lebih : yang dipipih para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh pengadilan negeri atau lembaga arbiter, untuk memberikan putusan mengenai sengketa terntu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Dari rumusan ini terdapat dietahui pula bahwa pengangkatan arbiter dilakukan oleh para pihak atau meminta bantuan pengadilan negeri atau lembaga arbitrase untuk menunjuk arbiternya jika para pihak tidak dapat mencapai kata sepakat mengenai pemilihan arbiternya.

(22)

Sweet dan Maxwell dalam bukunya International Arbitration Law Review

mengemukakan dalam menentukan berapa orangkah yang sebaiknya menjadi arbiter dalam satu kasus, apakah tiga orang ataukah cukup satu orang, beberapa faktor di bawah ini patut dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut sebagai berikut31

a. jumlah yang dipersengketakan.

:

b. Kompeksitas klaim.

c. Nasionalitas dari para pihak

d. Kebiasaan dagang yang relevan atau bisnis atau profesi yang terlibat dalam sengketa.

e. Ketersediaan arbiter yang layak.

f. Tingkat urgensi dari kasus yang bersangkutan

Selanjutnya beberapa cara pengangkatan arbiter yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999, adalah :

1. Penunjukan oleh para pihak

Cara pertama, pengangkatan arbiter melakukan berdasarkan penunjuk para pihak, baik itu melalui akta de compromittendo maupun melalui akta compromise.

Dalam perjanjian arbitrasenya, selain memuat ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pengangkatan arbiter, para pihak juga dapat menyepakati penunjukan arbiter beserta dengan sistemnya yang akan bertugas untuk menyelesaikan sengaketa para pihak dari perbedaan pendapat mengenai penunjukan arbiter maupun mengenai jumlah arbiter. Dengan cara lain, proses pengangkatan arbiter dan pembentukan

31

(23)

majelis arbiter akan lebih mulus, sehingga fungsi dan kewenangan pemeriksaan dan penyelesaian persengketaa, mungkin akan lebih cepat diselesaikan.32

Kelemahan cara ini bahwa para pihak sudah tidak kooperatif lagi, karena sengketa sudah terjadi, sehingga kesepakatan kehendak dalam memilih arbiter sudah sulit dicapai.

Seandainya para pihak belum menentukan cara penunjukan arbiter, sebelum maupun sesudah sengketa terjadi, para pihak masih diberikan kesempatan untuk memilih arbiter secara langsung. Cara seperti ini, disimpulkan dari bunyi Pasal 13 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan : "dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter, ketua pengadilan negeri untuk menunjuk arbiternya.

33

Kewenangan hakim atau ketua pengadilan negeri untuk menunjuk arbiter atau membentuk majelis arbiter tersebut berdasarkan permohonan para pihak atau salah 2). Penunjukan oleh hakim

Cara lain pengangkatan arbiter adalah dengan meminta bantuan hakim atau ketua pengadilan negeri untuk menunjuk arbiter atau majelis arbitrase, jika para pihak tidak mencapai kesepakatan dalam penunjukan arbiter. Cara pengangkatan arbiter dengan penunjukan oleh hakim atau katua pengadilan negari ini diatur dalam Pasal 15 ayat (4) UU No. 30 Tahun 1999. Dengan adanya cara ini, maka praktik akan terjadi jalan buntu (deadlock) dapat dihindari apabila para pihak didalam syarat arbitrase mengatur secara baik dan seksama tentang cara yang harus ditempuh dalam pengangkatan arbiter.

32

M. Yahya Harahap, Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta, 1999, hal. 160.

33

Munir Fuady, op.cit, hal. 73.

(24)

satu pihak dengan menjelaskan kegagalan para pihak dalam mencapai kesepakatan mengenai pemilihan/penunjukan arbiter. Penjelasan ini dibutuhkan oleh hakim sebagai dasar untuk mengintervensi soal penunjukan arbiter yang merupakan kewenangan para pihak. Pengadilan negeri hanya akan berwenang mengintervensi penunjukan arbiter para pihak terbukti gagal memilih/menunjuk arbiternya.

3). Penunjukan oleh Lembaga Arbitrase

Sering juga ketentuan arbitrase di lembaga arbitrase tertentu menentukan jika para pihak tidak berhasi memilih arbiternya atau jika arbiter ketiga tidak berhasil dipilih, maka ketua atau pejabat lain dari lembaga arbitrase tertentu yang akan memilihnya. Kemungkinan lain jika para pihak dari semua dalam kontrak ataupun jika seteah terjadinya sengketa meminta lembaga arbitrase untuk menyusun suatu atbitrase majelis atau unutk menunujuk arbitrase tunggal.

Sweet dan Maxwell selanjutnya mengemukankan, maka dalam memilih arbiternya sebaiknya beberapa hal berikut ini akan menjadi pertimbangan, yaitu34

1. Sifat dan hakikat dari sengketa.

:

2. Ketersediaan dari arbiter. 3. Identitas dari para pihak. 4. Independensi dari arbiter.

5. Syarat pengangkatan dalam kontak arbitrase. 6. Saran-saran yang diberikan oleh para pihak.

34

(25)

Selanjutnya mengenai hukum acara arbitrase, pada prinsipnya undang-undang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan sendiri acara dan proses arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan sengketa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 31 UU No. 30 Tahun 1999, bahwa para pihak bebas untuk menentukan acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan sengketa. Pilihan acara dan proses pemeriksaan tersebut harus dinyatakan secara “tegas” dan “tertulis” dalam suatu perjanjian (arbitrase), dengan syarat sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999.

Dalam hal arbitrasenya berbentuk arbitrase ad-hoe, jika para pihak tidak menentukan sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan dan arbiter atau majelis arbiter ad-hoc telah berbentuk, maka semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis arbtrase ad-hoc tersebut, akan diperiksa dan diputus menurut ketetntuan yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999. Ini berarti sepanjang para pihak tidak menentukan lain, maka acara dan proses arbitrase yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999.

Penyelesaian sengketa dapat pula deselesaikan melalui arbitrase institusional, di samping melalui arbitrase ad-hoc. Sehubungan dengan hal itu, Pasal 34 UU No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional dan internasional berdasarkan kesepakatan para pihak. Jika penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase ini yang dipilih, maka proses penyelesaian sengketa akan dilakukan menurut paraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang dipilih oleh para pihak, kecuali oleh para pihak ditetapkan lain. Ini berarti undang-undang memberi kebebasan kepada para pihak lain untuk memilih paraturan dan acara yang akan

(26)

digunakan dalam penyelesaian sengketa meraka, tanpa harus menggunakan peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang dipilih.

Dalam hal tertentu, pemeriksaan sengketa melalui arbitrase juga masih menggunakan ketentuan dalam hukum acara perdata (yang berlaku), kecuali diatur secara khusus dalam UU No. 30 Tahun 1999 menentukan, pemeriksaan saksi dan saksi ahli di hadapan arbiter atau majelis arbitrase diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur tata cara berperkara di muka pengadilan perdata. Sumbernya ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan kolonial maupun nasional.

E. Badan Arbitrase Nasional Indonesia

Sejarah dibentuknya Badan Arbitrase Nasional (BANI) dimulai dengan pembicaraan tentang perlunya "peradilan swasta" sebagi lambaga penyelesaian sengketa komersial yang bersifat otonom dan independen. Ahirnya, pada tanggal 3 Desember 1977, Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia membentuk Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai kembaga yang secara khusus memberikan penyelesaian secara adil dan cepat dalam sengketa perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional.

Saat ini BANI telah memiliki cabang di Surabaya, Denpasar, Bandung, Medan dan Pontianak. Dalam rangka turut mengupayakan penegakan hukum di Indonesia, BANI menyelenggarakan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi di berbagai sektor perdagangan, industri dan keuangan melalui arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya.

(27)

Bidang-bidang yang ditandatangani BANI meliputi korporasi, asuransi, lembaga keuangan, perpabrikan, hak asas kekayaan intelektual, lisensi, franchising,

konstruksi, pelayaran (maritim), lingkungan hidup dan lain-lain yang berasal dari sumber hukum private.

BANI bertindak secara otonom dan independen dalam penegakan hukum dan keahlian, dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

1. menyediakan jasa jasa bagi penyeleggaran penyelesaian sengketa melalui

arbitase dengan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya seperti negoisasi, mediasi, konsilasi, dan pemberian pendapat

2. menyelenggarakan pengkajian dan riset serta

program-program pelatihan/pendidikan mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

Apabila para pihak dalam suatu perjanjian atau transaksi bisnis secara tertulis sepakat membawa sengketa yang., timbul sehubungan dengan perjanjian atau transaksi bisnis yang bersangkutan ke arbitrase BANI atau menggunakan peraturan prosedur BANI, maka sengketa tersebut diselesaikan di bawah penyelenggaran BANI berdasarkan peraturan tersebut. Di samping itu, perlu diperhatikan ketentuan-ketentuan khusus yang disepakati secara tertulis oleh para pihak, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang bersifat memaksa dan kebijaksanaan BANI. Penyelesaian sengketa secara damai melalui arbitrase di BANI dilandasi itikad baik para pihak dengan berlandaskan tats cara kooperatif dan non konfrontatif.

Dengan menunjuk BANI dan/atau memilih peraturan prosedur BANI untuk penyelesaian sengketa, para pihak dalam perjanjian atau sengketa tersebut dianggap

(28)

sepakat untuk meniadakan proses pemeriksaan perkara melalui pengadilan negeri sehubungan dengan perjanjian atau sengketa tersebut, dan akan melaksanakan setiap putusan yang diambil oleh majelis arbitrase berdasarkan pertauaran prosedur BANI.

Prosedur arbitrase dimulai dengan pendaftaran dan penyampaian permohonan arbitrase oleh pihak yang memulai proses arbitrase (pemohon) pada sekretariat BANI. Permohonan arbitrase harus disertai pembayaran biaya pendaftaran dan biaya administrase sesuai dengan ketentuan BANI. Biaya admistrasi meliputi biaya admistrasi sekretariat, biaya pemeriksaan perkara, dan biaya arbiter serta biaya sekretariat majelis.

Pemeriksaan perkara arbitrase tidak akan dimulai sebelum biaya admistrasi dilunasi oleh para pihak sesuai ketentuan BANI. Badan Pengurus BANI harus mendaftarkan permohonan tersebut un ene apakah perjanjian arbitrase atau klausula arbitrase dalam kontrak telah cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk memeriksa sengketa tersebut.

Apabila Badan Pengurus BANI menentukan bahwa BANI berwenang memeriksa, setelah permohonan tersebut didaftarkan, harus ditunjuk seorang atau lebih sekretaris majelis untuk mambantu pekerjaan administrasi perkara arbitrase.

Referensi

Dokumen terkait

Analisa risiko tumpahan minyak di pesisir terdampak di wilayah studi menggunakan kombinasi dari 5 faktor penentu dalam perumusan nilai risiko yang efektif yaitu

Apakah muslihat British memperkenalkan Malayan Union di Tanah Melayu pada tahun 1946?. A Mengurangkan kemasukan

Dengan mengamati gambar yang menunjukkan contoh sila pertama Pancasila di sekolah yang disajikan pada grup WhatsApp/Zoom/Google Meet , siswa dapat menunjukkan

Sebaran melintang suhu (Gambar 3a dan 4a) menunjukkan perairan dekat pantai (stasiun 4 dan 5) dan perairan selat (stasiun 2 dan 3) mempunyai sebaran suhu lebih

ataupun tanpa direncanakan. Peran yang direncanakan misalnya peran dalam kegiatan yang terprogram.yaitu peran sebagai penerima tamu dalam suatu acara tertentu. Sedangkan peran

Buku berjudul Bahaya dan Pencegahan DBD yang ditulis oleh Edi Warsidi menguraikan tentang, apakah nyamuk penyebab demam berdarah, bagaimana seseorang terjangkit

Tujuan dari penelitian skripsi ini untuk membantu memberikan pengetahuan dan referensi kepada guru maupun calon guru agar dapat melaksanakan pembelajaran yang bermakna dengan

Kriteria suatu jenis tumbuhan dapat dolongkan sebagai hiperakumulator adalah : (1) Tahan terhadap unsur logam dalam konsentrasi tinggi pada jaringan akar dan tajuk; (2) Tingkat