TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN
PENGGUNA PRODUK DENGAN PROMO BERHADIAH
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum UPN ‘Veteran’ Jawa Timur
Oleh :
WIMMAR SASONGKO
NPM. 0771010124
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
SURABAYA
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT serta Shalawat dan Salam kepada
junjungan besar Nabi Muhammad SAW, yang telah melimpahkan berkah, rahmat, dan
hidayah Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Disini peneliti mengambil
judul “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Pengguna Produk Dengan
Promo Berhadiah”..
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan sesuai kurikulum yang ada di
Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Disamping
itu dapat memberikan hal-hal yang berkaitan dengan disiplin ilmu sebelum mengadakan
penelitian dalam mengadakan penelitian guna penyusunan skripsi.
Dalam menyelesaikan Skripsi ini peneliti banyak memperoleh bantuan,
bimbingan, dan dorongan dari beberapa pihak. Pada kesempatan ini peneliti
mengucapkan banyak terima kasih yang tak terhingga kepada:
1.
Bapak Haryo Sulistiyantoro, S.H., M.M selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur dan selaku Dosen Pembimbing
Utama.
2.
Bapak Sutrisno, S.H., M.Hum selaku Wadek I Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3.
Bapak Drs.Ec.Gendut Sukarno.Ms. selaku Wadek II Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Jawa Timur.
telah membimbing dan mengarahkan peneliti dalam pembuatan Skripsi sehingga
peneliti dapat menyelesaikan Skripsi ini.
6.
Bapak Paidi Pawiro Rejo,SH,.MHum beserta staf LPKS, yang telah memberikan
kesempatan kepada peneliti untuk melakukan penelitian.
7.
Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.
8.
Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jawa Timur.
9.
Kedua orang tua tercinta dan seluruh saudara-saudara yang telah memberikan
dukungan moriil maupun materiil serta doa dan restunya selama ini.
10.
Ucapan terimakasih buat yang tersayang Winda Cathartica yang selalu memberikan
motivasi dan dukungan.
11.
Teman-teman seperjuangan Koko, Rendi, Yudha dan seluruh Mahasiswa/i Fakultas
Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Peneliti menyadari bahwa penyusunan Skripsi skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun peneliti harapkan
guna perbaikan dan penyempurnaan sehingga Skripsi skripsi ini dapat memberi manfaat
bagi semua pihak.
Surabaya, Januari 2011
HALAMAN JUDUL ...
i
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI...
ii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN REVISI SKRIPSI ...
iii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI...
iv
KATA PENGANTAR... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
ABSTRAK ... x
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 3
1.4. Manfaat Penelitian ... 3
1.5. Kajian Pustaka... 4
1.5.1. Pengertian Konsumen Secara Umum ... 4
1.5.2. Pengertian Pelaku Usaha Secara Umum... 11
1.5.3. Pengertian Tanggung Jawab Pelaku Usaha ... 14
1.5.4. Penyelesaian Sengketa Konsumen... 15
1.6 Metode Penelitian ... 24
1.6.1. Jenis penelitian... 24
1.6.4. Metode Analisa Data... 27
1.6.5. Sistematika Penulisan ... 28
BAB II TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP UPAYA
PENIPUAN DENGAN MENGGUNAKAN PROMO BERHADIAH ... 30
2.1. Bentuk Tanggung Jawab Pelaku Usaha... 30
2.2. Kategori Penipuan Dengan Menggunakan Promo Berhadiah ... 39
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DENGAN PELAKU
USAHA ... 43
3.1. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Litigasi... 43
3.2 Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Non Litigasi Dengan
Mekanisme Mediasi ... 46
BAB IV PENUTUP ... 65
4.1. Kesimpulan ... 65
4.2. Saran ... 66
Program Studi
: Strata 1 (S1)
Judul Skripsi
:
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN
PENGGUNA PODUK DENGAN PROMO BERHADIAH
ABSTRAKSI
Akhir-akhir ini masalah perlindungan konsumen mendapatkan sorotan tajam
masyarakat, hal ini disebabkan karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan dengan
pelaku usaha. Penelitian ini ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab
Pelaku Usaha terhadap upaya penipuan melalui promo berhadiah dan bagaimana
penyelesaian sengketa konsumen akibat penyalahgunaan promo berhadiah menggunakan
metode Yuridis Normatif yaitu Penelitian hukum yang dilakukan berdasarkan norma dan
kaidah dari peraturan perundangan. Sumber data diperoleh dari literatur-literatur,
perundang-undangan yang berlaku dan data dari Kantor Lembaga Perlindungan
Konsumen Surabaya. Analisis data menggunakan metode deskriptif analisis. Hasil
penelitian yang dapat di simpulkan adalah Analisis mengenai tanggung jawab Pelaku
Usaha terhadap upaya penipuan melalui promo berhadiah dan Analisa penyelesaian
sengketa konsumen akibat penyalahgunaan promo berhadiah.
atau diluar pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen akibat penyalahgunaan promo
berhadiah diselesaikan melalui jalur non litigasi dengan mekanisme melalui
LPKSurabaya. Hal ini dipilih oleh penggugat (konsumen) dikarenakan melalui jalur non
litigasi lebih banyak kelebihannya disbanding melalui litigasi. Melalui non litigasi lebih
murah dan efisien waktu, kerahasiaan juga tetap terjaga dengan baik serta kekuatan
semua pihak seimbang dan kekuatan hukumnya pun bersifat final dan mengikat. Hal ini
diatur dalam pasal 54 ayat 3 UUPK dengan cara didaftarkan ke BPSK, yang kemudian
dalam pasal 57 UUPK BPSK mendaftar ke Pengadilan Negeri untuk dilakukan eksekusi
terhadap hasil putusan yang dihasilkan dari mediasi tersebut.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Di era Globalisasi sekarang pemenuhan kebutuhan masyarakat sangat
lah banyak. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya pembelian produk-produk
yang sangat tinggi. Masyarakat sebagai konsumen diharapkan bisa lebih teliti
dalam membeli suatu produk. Dengan adanya Undang-undang tentang
perlindungan konsumen masyarakat yang sekaligus sebagai konsumen
mempunyai pelindung atau payung hukum yang bisa melindungi hak-haknya.
Dalam Undang–undang No 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen yang disingkat UUPK pada pasal (1) angka 1 berbunyi :
“Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”
Akhir-akhir ini masalah perlindungan konsumen mendapatkan sorotan
tajam masyarakat. Berbagai masalah yang berkaitan dengan kepentingan
konsumen menjadi polemik yang berkepanjangan, yang dalam penyelesaian
kasus sering menemui jalan buntu atau merugikan konsumen. Hal ini
disebabkan karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan dengan pelaku
usaha. Ketidaktahuan serta ketidakberdayaan konsumen dimanfaatkan oleh
sebagian pelaku usaha sebagai cara untuk mendapatkan keuntungan tanpa
memperhatikan konsumen.
Padahal salah satu hak konsumen adalah untuk mendapatkan produk
pelaku usaha, termasuk hadiah apabila pelaku usaha menawarkan hadiah bagi
konsumen yang membeli produknya. Yang menjadi persoalan adalah diantara
pelaku usaha sering terjadi persaingan tidak sehat. Pengusaha tertentu dalam
kondisi ini kerap berpikiran pendek dan melakukan hal-hal yang merugikan
konsumennya.
Kasus penyalahgunaan promo berhadiah pernah terjadi pada awal bulan
April tahun 2009. Seorang konsumen bernama Ibu Isnaeni Insiyah asal
Surabaya mengirimkan surat pengaduan kepada Lembaga Perlindungan
Konsumen Surabaya (LPKS) bahwa dirinya dan suaminya telah menjadi
korban penipuan yang dilakukan oleh pelaku usaha “212” dengan
menggunakan promo undian berhadiah, yang dimana sebenarnya hanya
sebagai kedok untuk menipu konsumen guna mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya.
Berdasarkan kasus di atas, menunjukkan bahwa konsumen menjadi
sasaran para pelaku usaha demi mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha dikarenakan kesadaran
masyarakat yang sangat rendah serta tidak cakapnya masyarakat tentang
hukum.
Dengan melihat kenyataan tersebut di atas, maka dengan adanya
peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur hak-hak konsumen serta
memuat kewajiban maupun tanggung jawab pelaku usaha, konsumen memiliki
perlindungan hukum dengan tujuan untuk meningkatkan harkat kehidupan
merugikan konsumen, meningkatkan tanggung jawab pelaku usaha dan
mengembangkan dunia usaha yang sehat.
1.2. Perumusan Masalah
Sesuai dengan uraian latar belakang tersebut, maka permasalahan yang
akan dibahas adalah tentang Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap
Produk Dengan Promo Berhadiah adalah :
a. Bagaimana Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap upaya penipuan
melalui promo berhadiah?
b. Bagaimana penyelesaian sengketa konsumen akibat penyalahgunaan
promo berhadiah?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak di capai dalam penelitian ini adalah untuk :
a. Mengetahui Tanggung Jawab dari pelaku usaha terhadap produk dengan
promo berhadiah.
b. Mengetahui penyelesaian sengketa konsumen akibat penyalahgunaan
promo berhadiah.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang hendak di capai dalam penelitian ini adalah untuk :
a. Memberi gambaran secara jelas tentang tanggung jawab pelaku usaha
terhadap modus penipuan dengan menggunakan promo berhadiah.
b. Memberikan pengetahuan pada masyarakat tentang proses penyelesaian
1.5 Kajian Pustaka
1.5.1. Pengertian Konsumen Secara Umum
a. Pengertian Konsumen Berdasarkan Undang – undang
Pengertian konsumen menurut UU Nomor 08 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dalam pasaal 1 ayat (2) yakni :
‘Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri,keluarga,orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak
untuk diperdagangkan. Unsur-unsur definisi konsumen’.
1) Setiap Orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap
orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/jasa. Istilah
“orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya
orang individual yang lazim atau termasuk juga badan hukum.
Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk
“pelaku usaha” dalam pasal 1 anka (3),yang secara eksplisit
membedakan kedua pengertian individual diatas, dengan
menyebutkan kata-kata: “ Orang perseorangan atau badan
usaha”. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian
konsumen itu sebatas pada orang perseorangan. Namun,
konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan makna
2) Pemakai
Sesuai dengan bunyi penjelasan pasal 1 angka (2)
UUPK, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah
konsumen akhir. Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat
digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus
menunjukkan, barang dan/jasa yang dipakai tidak serta-merta
hasil transaksi jual beli, Artinya, sebagai konsumen tidak
selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar
uang untuk memperoleh barang dan/jasa itu. Dengan kata lain,
dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha
tidak perlu harus kontraktual.
3) Barang dan/atau jasa
Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai
pengganti terminology tersebut digunakan kata produk. Saat
ini “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa. Semula kata
produk hanya mengacu pada pengertian barang. Dalam dunia
perbankan, misalnya istilah produk dipakai juga untuk
menamakan jens-jenis layanan perbankan.
UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik
berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak
bergerak. Baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat
dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai,
menjelaskan perbedaan istilah-istilah “dipakai,dipergunakan,
atau dimanfaatkan”.
Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan
yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian
“disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus
ditawar kepada masyarakat. Artinya,harus lebih dari satu
orang, jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus
(tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam pengertian
tersebut.
4) Yang Tersedia dalam Masyarakat
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada
masyarakat sudah harus tersedia di pasaran (lihat bunyi Pasal 9
ayat (1) huruf e UUPK). Dalam perdagangan yang makin
komplek dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh
masyarakat konsumen. Misalnya, Perusahaan pengembang
perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dulu
sebelum bangunannya jadi. Bahkan, untuk jenis-jenis transaksi
konsumen tertentu, keberadaan barang yang diperjual belikan
bukan sesuatu yang diutamakan.
5) Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang lain ,
Makhluk Hidup Lain
Transaksi konsumen ditujukan untuk diri sendiri,
diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas
pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar
ditujukan untuk diri sendiri,keluarga, tetapi juga barang
dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain ( diluar diri
sedndiri dan keluarga), bahkan utuk makluk hidup lain seperti
hewan dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan setiap
tindakan manusia adalah bagian dari kepentingannya.
Oleh sebab itu, Penguraian unsur itu tidak menambah
makna apa-apa karena pada dasarnya tindakan memakai suatu
barang dan/atau jasa (terlepas ditujukan untuk siapa dan
makhluk hidup lain), juga tidak terlepas dari kepentingan
pribadi. Seseorang yang membeli makanan untuk kucing
peliharaannya, misalnya, berkaitan dengan kepentingan
pribadi orang itu untuk memiliki kucing yang sehat.
6) Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk Diperdagangkan
Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas,
yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai
dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai Negara.
Secara teoretis hal demikian terasa cukup baik untuk
mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun
dalam kenyataan, sulit menetapkan batasan-batasan seperti
itu.1
1
b. Pengertian Konsumen Menurut Pendapat Pakar
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata
consumer (inggris Amerika), atau consument/konsument(Belanda).
Pengertian dari consumer atau konsument itu tergantung dalam
posisi mana ia beda. Secara harafiah arti kata consumer adalah
(lawan dari produsen)setiap orang yang menggunakan barang.
Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk
konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus
Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai
pemakai atau konsumen.
Di Indonesia telah banyak diselenggarakan studi, baik yang
bersifat akademis, maupun untuk tujuan mempersiapkan dasar-dasar
penerbitan suatu peraturan perundang-undangan tentang
perlindungan konsumen. Dalam naskah-naskah akademik dan/atau
berbagai naskah pembahasan rancangan peraturan
perundang-undangan, cukup banyak dibahas dan dibicarakan tentang berbagai
peristilahan yang termasuk dalam lingkup perlindungan konsumen.
Dari naskah-naskah akademik itu yang patut mendapat perhatian,
antara lain:
1) Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman
(BPHN),menyusun batasan tentang konsumen akhir,yaitu
pemakaian akhir dari barang,digunakan untuk keperluan diri
2) Batasan konsumen dari Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia: Pemakaian barang atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat bagi kepentingan diri sendiri,keluarga atau orang
lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
3) Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia ( FH-UI ) bekerja sama dengan
Departemen Perdagangan RI, berbunyi :
Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang
mendapatkan barang untuk diperdagangkan.
Peraturan perundang-undangan Negara lain, memberikan
berbagai perbandingan. Umumnya dibedakan antara
konsumen dan konsumen akhir. Dalam merumuskannya, ada
yang secara tegas mendefinisikan dalam ketentuan umum
perundang-undangan tertentu, ada pula yang termuat dalam
pasal tertentu bersama-sama dengan pengaturan sesuatu
bentuk hubungan hukum
c. Klasifikasi Konsumen
Di dalam kepustakaan ekonomi juga dikenal konsumen dan
konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat
akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adaalha
proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam
undang-undang ini adalah konsumen akhir.2
c. Hak dan kewajiban Konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah
hak dan kewajiban. Menurut pasal 4 UU Perlindungan Konsumen,
hak konsumen adalah:
1. Hak atas kenyamanan,keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar,jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5. Hak untuk untuk mendapatkan advokasi,perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif ;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan / atau penggantian, apabila barang dan / atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya ; 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.3
Menurut UU Perlindungan Konsumen pasal 5, kewajiban konsumen
adalah:
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.4
2
Ahmadi Miru, “Hukum Perlindungan Konsumen” Raja Grafindo Persada, Jakarta ,2004. Hal 4 3
e. Perlindungan Hukum bagi Konsumen
Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberikan perlindungan kepada konsumen ditemukan
dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku antara
lain5 :
1) Undang-undang dasar 1945
2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata
3) Undang-undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
4) Kitab Undang-undang Hukum Dagang
5) Dan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berhubungan
dengan perlindungan konsumen.
1.5.2. Pengertian Umum Pelaku Usaha
a. Pengertian Menurut Undang-undang
Dalam Undang-undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen pada pasal 1 angka 3 menjelaskan
pengertian Pelaku Usaha, yakni :
‘Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedududkan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendira maupun bersama-sanma melalui perjanjian menyelenggrakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”
4
Ibid, hal.7
5
Pengertian Pelaku Usaha yang dimaksudkan dlam
undang-undang ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi,
importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.
b. Pengertian Menurut Para Pakar
Meurut CelinaTri Siwi Kristiyanti pengertian Pelaku Usaha
dibagi menjadi 3 yaitu6 :
1) Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang- barang
manufaktur mereka ini bertanggung jawab atas segala kerugian
yang timbul dari barang yang mereka edarkan kemasyarakat,
termasuk bila kerugian timbul akibat cacatnya barang yang
merupakan komponen dalam proses produksinya
2) Produsen bahan mentah atau komponen suatu produk
3) Siapa saja,yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun
tanda-tanda lain pada produk menampakkan dirinya sebagai
produsen dari suatu barang.
c. Klasifikasi Pelaku Usaha
Para ahli ekonomi ( Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia )
yang mengatakan bahwa pelaku usaha itu terdiri dari 3 kelompok
besar yaitu:
1) Kelompok penyedia dana atau biasa disebut investor. Investor
disini untuk memenuhi kebutuhan pelaku usaha atau orang
perorangan (konsumen) contoh: Bank, koperasi atau lembaga
penyedia dana lainnya.
6
2) Kelompok pembuat barang (produsen) seperti pabrik atau
industry rumah tangga
3) Kelompok pengedar barang, seperti warung, PKL, toko dll.
d. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Menurut UU Perlindungan Konsumen pasal 6 hak pelaku
usaha adalah:
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Menurut UU Perlindungan Konsumen pasal 7, kewajiban
pelaku usaha adalah:
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,perbaikan dan pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriinatif;
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
e. Asas Hukum Perlindungan Konsumen
1) Asas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan
pada asas yang diyakini memberikan arahan dan
implementasinya di tingkatan praktis. Berdasarkan UU
Perlindungan Konsumen Pasal 2, ada 5 (lima) asas
perlindungan konsumen yaitu:
a. Asas Manfaat b. Asas Keadilan c. Asas Keseimbangan
d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen e. Asas Kepastian Hukum
Perlindungan konsumen sendiri bertujuan untuk:
a) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri;
b)Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang
dan/atau jasa;
c) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalm memilih,
menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
1.5.3. Pengertian Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Pengertian Tanggung jawab produk (Pelaku Usaha) adalah
tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke
dalam peredaran, yang menimbulkan/ menyebabkan kerugian karena
Di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen terdapat 3 (tiga) pasal yang menggambarkan
sistem tanggung jawab produk dalam hukum perlindungan konsumen
di Indonesia, yaitu ketentuan Pasal 19 Undang-undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan tanggung jawab
produsen sebagai berikut:
a. Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/ atau kerugian konsumen akibat mengkomsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau secara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/ atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
d. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasrkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan. (50 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.”
1.5.4, Penyelesaian Sengketa Konsumen a. Penyelesaian Sengketa Konsumen
Dalam Undang-undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen dalam pasal 23 mengatakan bahwa
apabila pelaku usaha pabrikan dan/atau pelaku usaha distributor
menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak
memenuhi ganti rugi atau tuntutan konsumen, maka konsumen
diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha, dan menyelesaikan
konsumen, atau dengan cara mengajukan gugatan kepada badan
peradilan ditempat kedudukan konsumen.7
Disini terlihat bahwa undang-undang tentang Perlindungan
Konsumen memberikan alternative penyelesaian melalui badan
diluar system peradilan yang disebut dengan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK), Selain melalui pengadilan negeri
yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan konsumen.
Undang-Undang No.8 tahun 1999 membagi penyelesaian
sengketa konsumen menjadi 2 bagian, yaitu :
1) Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan
a) Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak sendiri.
b) Penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang,
yaitu melalui BPSK dengan menggunakan mekanisme
melalui konsiliasi,mediasi atau arbitrase.
c) Penyelesaian sengketa melalui LPKSM dengan
menggunakan mekanisme mediasi.
2) Penyelesaian sengketa konsumen melalui proses litigasi.
Masalah penyelesaian sengketa dalam undang-undang
tentang perlindungan Konsumen diatur dalam bab X yang terdiri
dari Empat pasal, yang dimulai dari pasal 45 sampai dengan 48.8
7
Gunawan Widjaja Ahmad Yani, Hukum Perlindungan Konsumen , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2001,hal 72
8
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acra
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui BPSK
bukanlah suatu keharusan untuk ditempuh konsumen sebelum pada
akhirnya sengketa tersebut diselesaikan melalui lembaga peradilan.
Walaupun demikian, hasil putusan BPSK memiliki suatu daya
hukum yang cukup untuk memberikan shock terapy bagi pelaku
usaha yang nakal, karena putusan tersebut dapat dijadikan bukti
permulaan bagi penyidik. Ini berarti penyelesaian sengketa melalui
BPSK, tidak menghilangkan tanggungjawab pidana menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen,
membedakan jenis gugatan yang dapat diajukan ke BPSK
berdasarkan persona standi in judicio. Rumusan pasal 46 ayat (1)
yang menyatakan bahwa setiap gugatan atas pelanggaran pelaku
usaha dapat dilakukan oleh :
a) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang
bersangkutan.
b) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinga yang
sama.
c) Lembaga Perlindungan Konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat yaitu berbentk badan hukum atau yayasan ,
yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas
tujuan bahwa didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan
d) Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau
jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan
kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit
Hal ini hanya merupakan aturan umum. Karena itu, dalam
ketentuan pasal 46 ayat (2) ditentukan lebih lanjut bahwa gugatan
yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat, atau pemerintah, sebagaimana
dimaksut pada huruf B, huruf C, dan huruf D diatas, hanya dapat
diajukann kepada peradilan umum.
b. Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak yang bersengketa.
Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah
penyelesaian yang dimaksud oleh kedua belah pihak yang
bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui
pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen, dan tidak
bertentangan dengan undang-undang tentang Perlindungan
Konsumen ini.9
Penyelasaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud
pada pasal 43 Ayat (2) UUPK, tidak menutup kemungkinan
dilakukannya penyelesaian secara damai oleh para pihak yang
bersengketa, yaitu pelaku usaha dan konsumen, tanpa melalui
pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen, dan
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang perlindungan
9
konsumen. Bahkan dalam penjelasan pasal tersebut dikemikakan
bahwa pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan
penyelesaian damai oleh kedua pihak yang bersengketa. Dari
penjelasan Pasal 45 Ayat (2) UUPK dapat diketahui bahwa UUPK
menghendaki agar penyelesaian damai, merupakan upaya hukum
yang justru terlebih dahulu diusahakan oleh para pihak yang
bersengketa, sebelum para pihak memilih untuk menyelesaikan
sengketa mereka melalui BPSK atau badan peradilan.10
c. Penyelesaian sengketa oleh atau melalui BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)
Pemerintah membentuk suatu badan baru, yaitu Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen atau disingkat BPSK, untuk
penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan. Dengan
adanya BPSK maka penyelesaian sengketa konsumen dapat
dilakukan secara ceapat, Mudah,dan murah. Cepat karena
undang-undang menentukan dalam tenggang waktu 21 hari kerja,BPKS
wajib memberikan putusannya. Mudah karena prosedur
atministratif dan proses pengambilan putusan yang sangat
sederhana. Murah terletak pada biaya perkara yang terjangkau.11
10
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum
Acra Serta Kendala Implementasinya,Kencana,2008 Ibid hal 99
11
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum
Dalam menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen
BPSK membentuk majelis, dengan jumlah anggota yang harus
berjumlah ganjil, yaitu terdiri dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang
yang mewakili semua unsur dan dibantu oleh seorang panitera.
Menurut ketentuan pasal 54 ayat (4), ketentuan teknis dari
pelaksanaan tugas majelis BPSK yang akan menangani dan
menyelesaikan sengketa konsumen akan diatur tersendiri oleh
menteri perindustrian dan perdagangan. Yang jelas BPSK
diwajibkan untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang
diserahkan kepadanya dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari
terhitung sejak gugatan diterima oleh BPSK.
Lembaga penyelesaian diluar pengadilan, yang
dilaksanakan melalui badan penyelesaian sengketa konsumen
(BPSK) ini memang di khususkan bagi konsumen perorangan yang
memiliki perselisihan dengan pelaku usaha.12
d. Penyelesaian sengketa melalui LPKSM dengan menggunakan
mekanisme mediasi
Menurut Pasal 1 butir 9 UUPK, Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) adalah lembaga non
pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang
mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat yang memenuhi syarat. Yang dimaksud dengan
12
memenuhi syarat, antara lain, terdaftar dan diakui serta bergerak
dibidang perlindungan konsumen.
Pasal 44 Ayat (4) UUPK ditegaskan tugas Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, maka dalam pasal 2
menentukan bahwa : Ayat (1) Pemerintah mengakui LPKSM yang
memenuhi syarat, yakni terdaftar pada Pemerintahan
Kabupaten/kota dan bergerak di bidang perlindungan konsumen
sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya.
Tugas LPKSM meliputi kegiatan :
1) Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan
kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen
dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;
2) Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
3) Bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen;
4) Membantu konsumen dalam memperjuangkan
haknya,termasuk menerima keluhan atau pengaduan
konsumen;
5) Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat
e. Penyelesaian Melalui Litigasi
Dalam pasal 54 ayat (3) Undang-undang tentang
perlindungan konsumen dikatakan bahwa putusan yang dijatuhkan
majelis (BPSK) bersifat final dan mengikat. Walaupun demikian,
para pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut dapat mengajukan
keberatan kepada pengadilan negeri untuk diputus. Terdapat putusan
pengadilan negeri ini, meskipun dikatakan bahwa undang-undang
tentang perlindungan konsumen hanya memberikan hak kepada
pihak yang tidah merasa puas atas putusan tersebut untuk
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun dengan mengingat
akan relatifitas dari “tidak merasa puas” , peluang untuk
mengajukan kasasi sebenarnya terbuka bagi setiap pihak dalam
setiap perkara. Selain itu, Undang-undang tentang perlindungan
konsumen juga telah memberikan jangka waktu yang pasti bagi
penyelesaian perselisihan konsumen yang timbul,yakni 21 (dua
puluh satu) hari untuk proses pada tingkat pengadilan negeri, dan 30
(tiga puluh) hari untuk diselesaikan oleh Mahkamah Agung, dengan
“jeda” masing-masing 14 (empat belas) hari untuk mengajukan
keberatan ke pengadilan negeri maupun kasasi ke Mahkamah
Agung”.
Pengajuan gegatan secara perdata diselesaiakan menurut
instrument hukum perdata / Litigasi di Peradilan Umum Dengan
memperhatikan pasal 48 UUPK, penyelesaian sengketa konsumen
umum yang berlaku. Jadi dengan demikian, proses penyelesaian
sengketa melalui pengadilan negeri, dilakukan seperti halnya
mengajukan gugatan sengketa perdata biasa, dengan mengajukan
tuntutan ganti kerugian baik berdasarkan perbuatan melawan
hukum, gugatan ingkar janji/wanprestasi atau kelalaian dari pelaku
usaha/produsen yang menimbulkan cedera, kematian atau kerugian
bagi konsumen.
Dengan berlakunya UUPK, ketentuan pasal 23 jo. Pasal 45
UUPK ini merupakan lex specialis terhadap HIR/RBg, sesuai
dengan adagum “lex specialis derogant lex generalis”, yang berarti
ketentuan khusus menyimpangkan ketentuan umum, maka
ketentuan pasal 23 jo. Pasal 45 UUPK adalah ketentuan acara yang
harus diterapkan dalam rangka pengajuan gogatan oleh konsumen
kepada pelaku usaha.Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut,
dapat diajukan banding dan kemudian kasasi, sebagaimana perkara
perdata biasa.
Gugatan pelanggaran pelaku usaha terhadap hak-hak
konsumen melalui peradilan negeri, dengan menggunakan
instrument hukum acar perdata (konvensional), dilakukan oleh
seorang konsumen atau lebih atau ahli warisnya. Pasal 46 Ayat (1)
butir a UUPK ini, tidak menegasikan instrument hukum
tersebut,betapa pun lemahnya instrument hukum itu ditinjau dari
perdata konvensional dikenal siapa yang mendalilkan, ia yang harus
membuktikan.
1.6 Metode Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif atau
penelitian hukum doktiner,juga disebut sebagai penelitian perpustakaan
atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktriner, karena
penelitian ini dilakukan atau ditunjukan hanya pada peraturan-peraturan
yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Penelitian ini dapat
juga dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian
lapangan).13
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif
yaitu untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia,
keadaan atau gejala lainnya. Metode deskriptif ini di maksudkan untuk
memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data
seteliti mungkin tentang obyek yang di teliti. Dalam hal ini untuk
mendeskripsikan penyelesaian sengketa konsumen akibat
penyalahgunaan produk dengan promo berhadiah
1.6.2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini yaitu menggunakan data
sekunder adalah Data dari penelitian kepustakaan dimana dalam data
sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, sebagai berikut :
13
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat
berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada
kaitannya dengan permasalahan, yang dibahas terdiri dari :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
4) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK
5) Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2001 Tentang LPKSM
(Lemabaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat)
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya
menjelaskan bahan hukum primer, dimana bahan hukum sekunder
berupa buku literatur, hasil karya sarjana terdiri dari :
1) Ahmadi Miru, “Hukum Perlindungan Konsumen” Raja
Grafindo Persada, Jakarta ,2004
2) Celina Tri. S.K, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar
Grafika, Jakarta, 2008.
3) Hukum Perlindungan Konsumen karya Gunawan Widjaja
Ahmad Yani, sinar grafika, Jakarta 2008
4) Dr.Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa
Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acra Serta Kendala
5) Bambang Waluyo.”Penelitian Hukum Dalam Praktek”,Sinar
Grafika,Jakarta,2004
6) Alternatif Penyelesaian Sengketa karya Gunawan Widjaja,
sinar grafika, Jakarta 2008
7) Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Pedoman
Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan cara Konsiliasi
8) Kansil. ChristineST Kansil, Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 08 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Jakarta,Pradnya Paramita,1999
9) Prof. Dr. Erman Rajagukguk,SH.LLM,et al, Hukum
Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung , 2000
10) Az. Nasution, , Konsumen dan Hukum , Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta 1995.
11) Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung,
Penerbit Citra Aditya Bakti, 2000
12) Ari Purwadi,Jurnal Yustika, Fakultas Hukum Universitas
Surabaya,Surabaya, 2001
13) Echols, John.M, Hassan Sadily,Kamus Inggris Indonesia,
Gramedia, Jakarta,1990
14) Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta,
2005
15) Ahmadi Miru,Hukum Perikatan, Rajawali Pers, Jakarta, 2008
16) Marhainis Abdulhay, Hukum Perdata, Keluarga UPN Veteran,
c. Bahan hukum tersier adalah merupakan bahan hukum sebagai
perangkap dari kedua bahan hukum sebelumnya terdiri dari :
1) Kamus Hukum
2) Kamus bahasa Indonesia Balai Pustaka.
1.6.3. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data
Untuk mendapatkan bahan hukum yang diperlukan dalam
penulisan skripsi ini diperoleh dengan cara melakukan studi
kepustakaan, perolehan bahan hukum melalui penelitian kepustakaan
dikumpulkan dengan cara mencari dan mempelajari serta memahami
buku-buku ilmiah yang memuat pendapat beberapa sarjana.
Selain itu, peraturan perundang-undangan yang erat kaitannya
dengan pembahasan skripsi ini juga dikumpulkan, bahan hukum yang
telah berhasil dikumpulkan tersebut selanjutnya akan dilakukan
penyuntingan bahan hukum, pengklasifikasian bahan hukum yang
relevan dan penguraian secara sistematis.
1.6.4.. Metode Analisis Data
Pengolahan data menggunakan metode diskriptif analisis
artinya data yang diperoleh berdasarkan kenyataan yang ada di
Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya kemudian dikaitkan
dengan penerapan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dibahas, dianalisa, kemudian ditarik kesimpulan yang akhirnya
1.6.5. Sistematika Penulisan
Skripsi ini nantinya disusun dalam empat bab. Tiap-tiap bab
dibagi beberapa subbab yang saling mendukung. Bab-bab yang tersusun
tersebut nantinya merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan
antara yang satu dengan yang lain.
Bab I, Pendahuluan Didalamnya terdiri dari empat belas sub
bab yaitu sub bab pertama menguraikan tentang latar belakang masalah,
kemudian sub bab kedua menguraikan tentang perumusan masalah.
Selanjutnya di sub bab ketiga disajikan tujuan dan sub bab keempat
mengenai manfaat penelitian sebagai harapan yang ingin dicapai
melalui penelitian ini. Pada bagian sub bab kelima mengenai kajian
pustaka yang merupakan landasan dari penulisan skripsi. Kemudian
diuraikan beberapa konsep definisi yang berkaitan dengan judul
penelitian. Selanjutnya sub bab keenam diuraikan tentang jenis
penelitian yang merupakan salah satu syarat dalam setiap penelitian.
Pada bagian sub bab ketujuh mengenai sumber data, sub bab kedelapan
mengenai metode pengumpulan data dan pengolahan data, pada sub bab
kesembilan mengenai metode penulisan data, pada sub bab kesepuluh
mengenai lokasi penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Pada sub bab
ke sebelas mengenai waktu penelitian dari awal sampai akhir, pada sub
bab ke dua belas mengenai jadwal penelitian, sedangkan pada bab
ketiga belas mengenai rincian pembayaran. Pada sub bab ke empat
Bab II, menguraikan tentang tanggung jawab pelaku usaha
tentang upaya penipuan dengan menggunakan promo berhadiah melalui
produk yang dikeluarkan pelaku usaha. Pada bab ini terdapat dua sub
bab yang mendukung dan memperjelas bab ini. Pada sub bab pertama
menjelaskan tentang bentuk tanggung jawab Pelaku Usaha. Sedangkan
pada sub bab kedua menjelaskan tentang kategori penipuan promo
berhadiah
Bab III, Menguraikan tentang penyelesian sengketa konsumen
akibat penyalahgunaan produk dengan promo berhadiah sampai akhir.
Pada bab ini terdapat dua sub bab yang mendukung dan memperjelas
bab ini. Pada sub bab pertama menjelaskan penyelesaian sengketa
melalui Litigasi. Sedangkan Pada sub bab kedua menjelaskan tentang
penyelesaian sengketa konsumen melalui Non Litigasi dengan
mekanisme Mediasi.
Bab IV, berdasarkan uraian-uraian dalam bab II dan bab III
diatas tentang jawaban dari rumusan masalah yang dijadikan obyek
penulisan, selanjutnya di Bab IV merupakan Bab penutup yang terdiri
dari dua sub bab yaitu sub bab pertama mengenai kesimpulan dan sub
BAB II
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP UPAYA PENIPUAN DENGAN MENGGUNAKAN PROMO BERHADIAH
Tanggung Jawab pelaku usaha yang dimana telah diatur dalam UUPK
mewajibkan setiap pelaku usaha yang secara sengaja membuat keadaan yang
akibatnya merugikan konsumen haruslah melakukan ganti rugi sesuai kerugian yang
ditimbulkan. Bentuk dari tanggung jawab tersebut diatur dalam pasal 19 UUPK yang
dimana pelaku usaha diwajibkan bertanggung jawab atas kerusakan, pencemaran dan
atas kerugian konsumen. Oleh karena itu setiap pelaku usaha yang dengan sengaja
melakukan perbuatan yang berakibat adanya kerugian bagi konsumen akan
berhadapan dengan hukum yang berlaku.
2.1. Bentuk Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Pelaku usaha yang melakukan melakukan penipuan menggunakan
undian dengan promo berhadiah dapat dikategorikan sebagai perbuatan
melawan hukum (PMH). Pasal 1365 KUHPerdata yakni :
‘Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada
seseorang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan
kerugian itu; mengganti kerugian tersebut’.
Dalam Pasal 1365 KUHPerdata untuk dapat menuntut ganti kerugian,
maka kerugian tersebut harus merupakan akibat dari perbuatan melanggar
hukum. Hal ini berarti bahwa untuk menuntut ganti kerugian harus dipenuhi
a Ada perbuatan melanggar hukum.
Khusus untuk perbuatan melawan hukum diatur dalam bab III ,
buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang. “Perikatan yang
lahir demi undang-undang”, dari pasal 1365 sampai dengan 1380. Menurut
ketentuan Pasal 1353 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perbuatan
melawan hukum melahirkan perikatan antara pihak yang melakukan
perbuatan melawan hukum dan pihak terhadap siapa perbuatan yang
melawan hukum tersebut dilakukan. Jadi, perikatan lahir disaat perbuatan
yang melawan hukum tersebut dilakukan.14
b Ada kerugian
Untuk menentukan besarnya ganti rugi yang harus dibayar, pada
dasarnya harus berpegangan pada asas bahwa ganti kerugian harus dibayar
sedapat mungkin harus membuat pihak yang rugi harus dikembalikan pada
kedudukan semula seandainya tidak terjadi kerugian atau dengan kata lain
ganti kerugian menempatkan sejauh mungkin orang yang dirugikan dalam
kedudukan yang seharusnya andaikata perjanjian dilaksanakan secara baik
atau tidak terjadi perbuatan melanggar hukum. Dengan demikian ganti
kerugian harus diberikan sesuai dengan kerugian yang sesungguhnya tanpa
memperhatikan unsur-unsur yang tidak terkait langsung dengan kerugian
itu, seperti kemampuan/kekayaan pihak yang bersangkutan.15
14
Gunawan Widjaja, “Hukum Tentang Perlindungan Konsumen”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,2001 hal 63
15
c Ada hubungan kausalitas (sebab akibat) antara perbuatan melanggar
hukum dengan kerugian
Bahwa adanya hubungan kausalitas atau sebab akibat merupakan
akibat yang disebabkan oleh adanya faktor yang secara yuridis relevan
yakni yang dapat menimbulkan akibat hukum.16
d Ada kesalahan.
Berdasarkan pasal 1365 BW , salah satu syarat untuk membebani
tergugat dengan tanggung gugat berdasarkan perbuatan melanggar hukum
adalah adanya kesalahan. Kesalahan ini memiliki 3 unsur, yaitu17 :
1) Perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan
2) Perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya
a) Dalam arti objektif : sebagai manusia normal dapat menduga
akibatnya.
b) Dalam arti subjektif : sebagai seorang ahli dapat menduga
akibatnya.
3) Dapat dipertanggung jawabkan ( pelaku usaha cakap )
Dari uraian diatas yang dimaksud dengan kesalahan yang
disesalkan merupakan suatu perbuatan yang dimana seharusnya perbuatan
tersebut tidak terjadi karena perbutan tersebut semata-mata tidak ada
niatan atau keinginan dari pelaku, bisa dikatakan perbuatan ini merupakan
sebuah kelalaian dari pelaku.
16
Ibid hlm, 140 17
Perbuatan yang dapat diduga akibatnya merupakan perbuatan yang
akibatanya dapat langsung ditebak atau diduga karena perbuatan tersebut
berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari bahkan orang normal
pun langsung dapat menduganya serta ada perbuatan yang hanya bisa
diduga oleh para ahli saja karena mereka lebih menguasai dibidang
tersebut, misalnya perbuatan yang berakibatkan pada kehatan manusia
yang bisa menduga adalah hanya ahli kesehatan saja.
Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan yang dapat
dipertanggung jawabkan adalah perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar
dan pelaku mengerti akan akibat hukum dari perbuatan tersebut yakni
sebuah hukuman atau sanksi. Hukuman atau sanksi diatur dalam Pasal
60-63 UUPK yaitu berupa :
a. Sanksi Administratif
b. Sanksi Pidana
Dalam Pasal 60 ayat (2) Sanksi Admistratif berupa ganti rugi
paling bnyak sebesar Rp 200.000.000,00. Sanksi Administratif ini
dikenakan karena adanya kerugian yang ditimbulkan pelaku usaha.
Sedangkan Sanksi Pidana ditujukan pada perbuatan pelaku usaha.
Sanksi ini dapat dikenakan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya,
menurut Pasal 62 UUPK sanksi pidana dapat berupa penjara paling lama
lima tahun atau denda paling banyak dua milyar rupiah
Dari uraian diatas sanksi atau hukuman yang dapat dipakai sebagai
alternatif pertama untuk pelaku usaha yang melanggar hak-hak konsumen
admistrasi, karena isi dari sanksi ini lebih menjamin untuk mengembalikan
keadaan konsumen yang telah dirugikan oleh pelaku usaha. Serta sanksi
ini dinilai cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa konsumen
khususnya sengketa tentang penipuan dengan menggunakan promo
berhadiah.
Oleh karena itu pelaku usaha yang melakukan penipuan dengan
menggunakan promo berhadiah dikenakan tanggung jawab seperti yang
diatur dalam Pasal 19 ayat 1 dan ayat 2 Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen Nomor 08 Tahun 1999. Sebagai konsekuensi
hukum dari pelarangan yang diberikan oleh UUPK, dan sifat perdata dari
hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen, maka demi hukum,
setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan
konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut
untuk meminta pertanggung jawaban dari pelaku usaha yang
merugikannya, serta untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang
dididerita oleh konsumen tersebut.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha diatur dalam pasal 19 ayat 1 dan
ayat 2 UUPK yaitu :
1. Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/ atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Memperhatikan substansi pasal 19 ayat 1 dapat diketahui bahwa
tanggung jawab pelaku usaha, meliputi:
a. Tanggung jawab ganti rugi atas kerusakan
b. Tanggung jawab ganti rugi atas pencemaran
c. Tanggung jawab ganti rugi atas kerugian konsumen
Dalam hal ini pelaku usaha dapat dibebani tanggung jawab ganti
rugi atas kerugian konsumen. Dasar yang dapat dipakai untuk membuat
pelaku usaha diwajibkan memberikan bentuk tanggung jawab ganti rugi
atas kerugian konsumen dikarenakan dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen dijelaskan tentang hak-hak konsumen dalam Pasal 4 UUPK
yang berupa : Hak atas informasi yang benar,jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/jasa; Hak untuk diperlakukan atau
dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Hak untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya. Hak-hak ini lah yang harus diperhatikan dan
dipenuhi oleh pelaku usaha sehingga tidak boleh dilanggar. Oleh karena
itu apabila pelaku usaha yang melakukan perbuatan melawan hukum
dengan cara penipuan yang berkedok adanya undian dengan promo
berhadiah wajib melakukan suatu tanggung jawab terhadap konsumen
karena hal ini jelas-jelas diatur dalam Undang-undang Nomor 08 Tahun
Berdasarkan uraian diatas, maka adanya produk barang dan atau
jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggung jawaban
pelaku usaha. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi
segala kerugian yang dialami konsumen.18 Memperhatikan substansi
ketentuan pasal 19 ayat 2 tersebut sesungguhnya memiliki kelemahan yang
sifatnya merugikan konsumen, terutama dalam hal konsumen menderita
suatu penyakit. Melalui pasal tersebut konsumen hanya mendapatkan
salah satu bentuk penggantian kerugian yaitu ganti kerugian atas harga
barang atau hanya berupa perawatan kesehatan, padahal konsumen telah
menderita kerugian bukan hanya kerugian atas harga barang tetapi juga
kerugian yang timbul dari biaya perawatan kesehatan.
Pada Pasal 19 UUPK sebenarnya mengatur pertanggungjawaban
pelaku usaha pabrik dan/atau distributor pada umumnya, untuk
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian
konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan, dengan ketentuan bahwa ganti rugi tersebut dapat
dilakukan dalam bentuk Pengambilan uang atau penggantian barang
dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan
dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ganti rugi harus telah diberikan dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal transaksi.
18
Jika kita kembali kepada asas umum dalam hukum perdata, dapat
dikatakan bahwa siapapun yang tindakannya merugikan pihak lain, wajib
memberikan ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian tersebut.
Secara umum, tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang di alami oleh
konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa kerugian
materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan yang
telah di sebutkan, yang secara garis besarnya hanya ada dua kategori, yaitu
tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti
kerugian yang berdasarkan perbuatan melanggar hukum.19
a. Tuntutan berdasarkan wanprestasi
Dalam penerapan ketentuan yang berada dalam lingkungan
hukum privat tersebut, terdapat perbedaan esensial antara tuntutan ganti
kerugian yang di dasarkan pada wanprestasi dengan tuntutan ganti
kerugian yang di dasarkan pada perbuatan melanggar hukum. Apabila
tuntutan kerugian di dasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu
tergugat dengan penggugat (produsen dengan konsumen) terikat suatu
perjanjian. Dengan demikian pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam
perjanjian) yang di rugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan
alasan wanprestasi.
Pada tindakan yang ini sudah terdapat hubungan hukum antara
pihak, dimana salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut telah
melakukan suatu perbuatan yang merugikan pihak lain, dengan cara
tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang harus ia lakukan
19
berdasarkan kesepakatan yang telah mereka capai. Tindakan yang
merugikan ini memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk
meminta pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat, beserta
penggantian atas segala biaya, bunga, dan kerugian yang telah
dideritanya.20
Dalam tanggung gugat berdasarkan adanya wanprestasi,
kewajiban untuk membayar ganti kerugian tidak lain daripada akibat
penerapan klausula dalam perjanjian, yang merupakan ketentuan hukum
yang oleh kedua pihak secara sukarela tunduk berdasarkan
perjanjiannya. Dengan demikian, bukan undang-undang yang
menentukan apakah harus dibayar ganti kerugian atau berapa besar
ganti kerugian yang harus dibayar, melainkan kedua belah pihak yang
menentukan syarat-syaratnya serta besarnya ganti kerugian yang harus
dibayar, dan apa yang telah diperjanjikan tersebut, mengikat sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Disamping ketentuan yang terdapat dalam perjanjian yang
dibuat oleh para pihak, ketentuan tentang ganti kerugian yang
bersumber dari hukum pelengkap juga harus mendapat perhatian,
seperti ketentuan tentang wan prestasi dan cacat tersembunyi serta
ketentuan lainnya. Ketentuan-ketentuan ini melengkapi ketentuan yang
telah disepakati oleh kedua belah pihak, dan ketentuan ini hanya dapat
dikesampingkan jika para pihak menjanjikan lain.
20
b. Tuntutan berdasarkan perbuatan melanggar hukum
Berbeda dengan ganti kerugian yang di dasarkan pada perikatan
yang lahir dari perjanjian (karena terjadinya wanprestasi), tuntutan ganti
kerugian yang di dasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak perlu
di dahului dengan perjanjian antra produsen dengan konsumen,
sehingga tuntutan ganti kerugian dapat di lakukan oleh setiap pihak
yang dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian
antara produsen dengan konsumen. Dengan demikian, pihak ketiga pun
dapat menuntut ganti kerugian.21
2.2. Kategori Penipuan Dengan Menggunakan Promo Berhadiah
Penipuan yang menggunakan undian dengan promo berhadiah diatur
dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen (atau disingkat UUPK) Pasal
10 yaitu :
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai :
a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa b. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa
c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan e. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa
Dalam Pasal 10 ini menjelaskan tentang larangan prilaku pelaku usaha
yang dimana tujuan dari pasal ini mengupayakan adanya perdagangan yang
tertib dan iklim usaha yang sehat guna memastikan produk yang diperjual
belikan dalam masyarajat dilakukan dengan cara tidak melanggar hukum.
21
Dalam hal ini subjeknya adalah pelaku usaha, karena menunjukan
orang yang melakukan pebuatan ini. Yang dimaksud menawarkan adalah
dengan berbagai cara bisa dengan cara mendatangi konsumen secara langsung
ataupan melalui media yang lain. Sedangkan yang dimaksud membuat
pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan yaitu membuat keadaan atau
pernyataan dimana merupakan suatu kebohongan yang dilakukan untuk
memperoleh suatu keuntungan. Maksud dari pernyataan tersebut berisi tentang
: tarif atau harga, yang dimaksud dari tarif atau harga itu sendiri adalah
standart harga yang seharusnya dijual oleh pelaku usaha dengan tidak
menaikan harga yang berlebihan atau sewajarnya. Kegunaan, yang dimaksud
dari kegunaan tersebut yaitu pelaku usaha dalam menawarkan harus
menjelaskan dengan benar tentang kegunaan dari barang yang ditawarkan dan
tidak boleh membuat pernyataan yang tidak benar atas kegunaan dari barang
dan/atau jasa tersebut. Yang dimaksud dengan kondisi, tanggungan, jaminan
dan hak ganti rugi adalah pelaku usaha harus menjelaskan tentang kondisi
suatu barang yang ditawarkan dengan sebenar-benarnya serta tanggungan yang
dipikul oleh konsumen kalau memakainya, dan pelaku usaha harus
memberikan suatu jaminan yang benar atas semua akibat yang ditimbulkan dari
barang yang ditawarkan serta pelaku usah harus menjelaskan tentang bentuk
ganti rugi atas pemakaian barang dan/atau jasa tersebut. Yang dimaksud dalam
huruf d tentang tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang
ditawarkan adalah dimana pelaku usaha yang menawarkan produknya dengan
cara mengadakan suatu promo yang berisi tentang adanya potongan harga atau
yang disampaikan pelaku usaha dalam menawarkan sebelumnya. Sedangkan
yang dimaksud dengan bahaya penggunaan barang dan/atau jasa yaitu pelaku
usaha dalam penyampaiannya atau penjelasannya harus memberikan informasi
yang sebenar-benarnya akan bahaya yang ditimbulakna akibat penggunaan
barang dan/atau jasa tersebut.
Pada bab ini penulis memberikan contoh kasus penipuan dengan
menggunakan promo berhadiah yang dimana biasa dikategorikan masuk dalam
penipuan dikarenakan mengandung unsur-unsur dari penipuan tersebut, Kasus
ini terjadi pada hari kamis, 9 April 2099 sekitar jam 18.00WIB di Royal Plaza
Surabaya, saat itu ibu Isnaeni sekeluarga selaku konsumen didatangi karyawan
dari toko Two One Two yang bergerak dibidang produk-produk elektronik,
karyawan yang bernama Amanda tersebut menawarkan sebuah souvenir gratis
yang didapat dengan cuma-cuma setelah itu karyawan tersebut menyuruh ibu
Isnaeni untuk mengikuti undian berhadiah dengan hadiah yang lebih besar nilai
harganya dengan caramengambil kupon berhadiah dan menyerahkan KTP serta
kartu kredit yang kemudian karyawan tersebut menyodorkan kertas untuk
ditandatangani serta kupon berhadiah dan ternyata kupon tersebut bertuliskan
Home Teater dengan harga Rp 2.117.150 ,00 dan para karyawan yang lainnya
pun ikut memberi selamat kepada konsumen karena telah mendapatkan hadiah
tersebut, tanpa disadari kartu kredit ibu Isnaeni sudah digesek oleh karyawan
toko tersebut, karyawan lainnya pun memberikan barang-barang elektronik
tersebut beserta print out dengan jumlah Rp 2.117.150,00 setelah menerima
barang-barang tersebut konsumen baru sadar kalau mereka telah diperdaya
bermerek dan harganya dipasaran lebih murah dari harga tersebut, kemudian
konsumen menolak barang–barang tersebut dan meminta uangnya kembali
tapi pihak Two One Two bersikeras kalau transaksi tersebut tidak dapat
dibatalkan setelah konsumen dan pelaku usaha ini saling adu mulut, pihak
konsumen mengingkan penukaran barang tersebut dengan barang elektronik
lain yaitu sebuah Laptop yang harganya sama seperti Home Teater menurut
brosur dari toko tersebut akan tetapi karyawan Two One Two hanya
menberikan janji dan membuat surat perjanjian yang berisikan penukaran
barang elektronik dan karyawan tersebut akan menghubungi konsumen
secepatnya akan tetapi setelah lima hari tidak ada kepastian dari pihak Two
One Two serta kalau dihubungi pun sulit.
Dari uraian contoh kasus diatas Two One Two selaku pelaku usaha
telah melakukan penipuan yang berkedok promo berhadiah yang dimana
perbuatan tersebut melanggar Pasal 10 UUPK, ada pun unsur-unsur penipuan
yang dilakukan oleh pelaku usaha menurut Pasal 10 UUPK yaitu :
a. Pelaku usaha (Two One Two) melanggar ketentuan Pasal 10 huruf A
dimana pelaku usaha menaikan tarif atau harga yang sebenarnya dimana
harga tersebut jauh lebih tinggi dari harga dipasaran, yang akibatnya
merugikan pihak konsumen.
b. Pelaku usaha dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 10 huruf d
dengan melakukan penipuan atas pernyataan yang tidak benar akan
adanya hadiah yang menarik yang ternyata adalah sebagai cara dari pelaku
usaha untuk menipu konsumen dan akibat dari perbuatan pelaku usaha
BAB III
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DENGAN PELAKU USAHA
Menurut Pasal 45 ayat (2) UUPK membagi penyelesaian sengketa
konsumen menjadi 2 bagian, yaitu :
a. Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan
b. Penyelesaian sengketa konsumen melalui proses litigasi
3.1. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Litigasi
Pada dasarnya penyelesaian sengketa konsumen akibat
penyalahgunaan produk dengan promo berhadiah melalui jalur pengadilan atau
jalur Litigasi sama dengan penyelesaian sengketa perdata pada umumnya, hal
yang membedakannya adalah dalam hal pembuktian dimana dalam
penyelesaian sengketa konsumen akibat penyalahgunaan produk dengan promo
berhadiah pembuktian hanya dengan menunjukan semua bukti – bukti transaksi
yang ada dalam kejadian tersebut tanpa harus ada saksi yang harus menguatkan
bukti tersebut, sedangkan dalam sengketa perdata pada umumnya diharuskan
mendatangkan saksi – saksi untuk memperkuat bukti – bukti tersebut.
Ketentuan mengenai pembuktian selain dapat ditemukan dalam
hukum acara yang berlaku (HIR dan RBg), juga dapat ditemukan dalam buku
IV kitab undang-undang hukum perdata. Berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam pasal 163 HIR dan pasal 1865 kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dapat dikatakan bahwa setiap pihak mendalilkan adanya sesuatu hak, (yang
dalam hal ini, konsumen sebagai pihak yang dirugikan) maka pihak konsumen,
a. Konsumen secara aktual telah mengalami kerugian
b. Konsumen juga harus membuktikan bahwa kerugian tersebut terjadi
sebagai akibat dari penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian barang dan
atau jasa tertentu, yang tidak layak
c. Bahwa ketidak layakan penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian dari
barang dan atau jasa tersebut merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha
tertentu
d. Konsumen tidak “berkonstribusi” baik secara langsung maupun tidak
langsung atas kerugian yang dideritanya tersebut.
Dalam dua pasal yang mengatur beban pembuktian pidana dan perdata
atas kesalahan pelaku usaha dalam UUPK, yaitu dalam Pasal 22 dan Pasal 28,
kewajiban pembuktian tersebut dibalikkan menjadi beban dan tanggung jawab
dari pelaku usaha sepenuhnya. Dalam hal yang demikian, selama pelaku usaha
tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan
kesalahan yang terletak pada pihaknya, maka demi hukum pelaku usaha
bertanggung jawab dan wajib mengganti kerugian yang diderita konsumen
tersebut.
Pembuktian ini merupakan hal terpenting untuk menentukan siapa
yang harus bertanggung jawab dan membuktikan bahwa adanya bukti dari
perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen.
Dalam kasus yang penulis angkat, barang bukti yang membuat dasar dari aduan
konsumen yaitu berupa : kwitansi pembayaran dari pelaku usaha (Two One
Two), slip pengambilan uang dari bank Permata, surat perjanjian penukaran
dijadikan dasar gugatan atas tindakan pelaku usaha yang telah melakukan
perbuatan yang merugikan konsumen serta sebagai bukti yang akurat dengan
membuktikan akan fungsi dan akibat dari bukti-bukti tersebut, oleh karena itu
konsumen harus bisa menujukan bukti-bukti yang kuat untuk membuktikan
bahwa pelaku usaha (Two One Two) benar-benar salah dan merugikan
konsumen (ibu Isnaeni), ada pun tindakan atau perbuatan yang telah dilakukan
Two One Two yaitu :
a. Two One Two selaku Pelaku us