• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGUNG JAWAB DIREKSI DAN KOMISARIS DALAM HUKUM KORPORASI (Telaah UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TANGGUNG JAWAB DIREKSI DAN KOMISARIS DALAM HUKUM KORPORASI (Telaah UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGUNG JAWAB DIREKSI DAN KOMISARIS DALAM HUKUM KORPORASI

(Telaah UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas) Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun, SH, MH

Guru Besar Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana Abstract

Shareholder General Meeting (SGM), manajemen and commissioner are important organs in a limited liability company. SGM as a body who has power full, is supported by manajemen as a body who has authority to organized company activities for getting profits, and commissioner who has authority to control management’s policies. Both of them have to responsible to SGM According to The Act Number 40 Years 2007, the authority of management for organizing company is limited as long as, it doesn’t against to purpose and goal of the company. Both authorities are limited by law, as long as, they do not against company’s purpose and goal.

Key words : Management, commissioner, company, shareholder, purpose.

A. PENDAHULUAN

Sebagai artificial person (manusia semu), Perseroan tidak mungkin dapat bertindak sendiri. Perseroan tidak memiliki kehendak untuk menjalankan dirinya sendiri. Untuk itulah maka diperlukan orang-orang yang memiliki kehendak yang akan menjalankan Perseroan tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian Perseroan. Orang-orang yang akan menjalankan, mengelola dan mengurus Perseroan ini, dalam Undang-undang Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 2007) disebut dengan istilah organ Perseroan. Masing-masing organ Perseroan memiliki tugas dan wewenang yang berbeda-beda dalam melakukan pengelolaan dan pengurusan Perseroan.

Dewan Komisaris dan terutama Direksi merupakan organ Perseroan yang memegang peranan penting dalam menentukan maju atau mundurnya suatu perusahaan tertentu. Namun, tidak semua Direksi dan Komisaris yang terdapat didalam perusahaan menyadari akan tugas dan tanggungjawabnya tersebut, yang pada akhirnya menyebabkan perusahaan tidak dapat menjalankan operasinya sesuai dengan harapan, maksud dan tujuan didirikannya perusahaan tersebut.

Penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance yang meliputi transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kewajaran (fairness) dalam setiap korporasi merupakan tuntutan dalam rangka pengelolaan usaha secara profesional, transparan dan efisien, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian Organ. Di samping itu, dalam kaitannnya dengan tanggungjawab direksi dan komisaris, prinsip-prinsip good corporate governance diterapkan untuk menjamin bahwa dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan yang berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggungjawab sosial korporasi terhadap stake holders maupun kelestarian lingkungan di sekitar korporasi.

Secara yuridis, pentingnya kedudukan Direksi dan Dewan Komisaris tergambar dari tugas dan tanggungjawab yang melekat sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dimana Undang-undang ini merupakan pengganti dari UUPT Nomor 1 Tahun 1995 yang lebih memperjelas dan mempertegas tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris.

(2)

B. PEMBAHASAN 1. Tentang Korporasi

Sebelum membicarakan masalah tanggungjawab Direksi dan Komisaris dalam hukum korporasi sesuai dengan judul makalah ini, ada baiknya kita mengulas terlebih dahulu sedikit mengenai bentuk-bentuk korporasi, sebab seperti kita ketahui ada berbagai bentuk korporasi yang hidup dalam masyarakat, terutama dibidang perekonomian dan sosial yang hakekatnya membawa konsekuensi pada tanggungjawab pengurusan yang berbeda dalam hukum korporasi.

Pengertian Korporasi (Corporation) menurut Black Law diartikan sebagai suatu artificial person atau legal entity yang diartikan sebagai Badan Hukum yang sengaja dibuat berdasarkan hukum yang berlaku dan merupakan sebuah asosiasi yang didirikan perorangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagai Badan Hukum. Sebuah Badan hukum tidak menjadi mati sekalipun individu para pendiri maupun pemegang sahamnya meninggal dunia, badan hukum itu dapat terus berlangsung dan saham-saham yang dimiliki dapat dialihkan.

Istilah korporasi dimasyarakat biasa disebut orang untuk menunjuk badan usaha (Commercial entity) yang berbadan hukum (Corporate body/rechtspersoon), walaupun dalam dunia usaha masih terdapat badan-badan usaha yang didirikan tidak berbadan hukum, seperti badan usaha berbentuk Maatschap atau Persekutuan Perdata, Firma dan CV/Commanditaire Vennootschap (vide pasal 1618-1652 KUH Perdata dan pasal 18-22 KUH Dagang), sementara itu badan usaha yang berbadan hukum selain Perseroan Terbatas (PT) yang sudah kita kenal, masih terdapat Badan Usaha lain yang berbentuk Badan hukum seperti Badan Usaha Koperasi dan Yayasan, serta Badan-Badan Usaha milik Negara (BUMN) yang berbentuk Pesero dan Perum (vide : UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; UU No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan sehagaimana diubah dengan UU No.28 Tahun 2004 dan UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN).

Perbedaan esensiel dari kedua badan usaha yang bukan berbadan hukum dan berbadan hukum tersebut selain dapat dibedakan pada dasar pendiriannya juga membawa konsekuensi tanggungjawab pengurusannya. Dasar pendirian badan usaha bukan Badan Hukum bersifat kemitraan suatu persetujuan, dimana dua orang atau lebih mengikatkan diri dalam sebuah persekutuan dengan memasukan sesuatu kedalam persekutuan tersebut untuk memperoleh manfaat atau keuntungan tanpa memerlukan pengesahan Negara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, demikian pula dalam tanggungjawab adalah tauggungjawab sekutu yang bersifat pribadi masing-masing atau secara bersama untuk keseluruhan. Berbeda dengan Badan Usaha berbentuk Badan Hukum, seperti Perseroan Terbatas (PT) misalnya, pada saat pendiriannya harus didasarkan pada peraturan perundangundangan yang mewajibkan pendirian tersebut dibuat secara notariel dan mendapatkan pengesahan dari Menkumdang & Ham (Pasal 7 ayat 1 UUPT), selain itu perbuatan hukum atas nama perseroan yang belum memperoleh status badan hukum yang menggambarkan adanya hubungan hukum antara Pendiri dan Direksi serta Komisaris maupun hubungan hukum dengan pihak ketiga juga diatur dalam UUPT. Hal ini dapat dijelaskan seperti ketentuan yang diatur dalam UUPT bahwa perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan komisaris Perseroan dan mereka semua bertanggung jawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut (Pasal 14 ayat I UUPT).

Untuk menyelaraskan pamaparan penulis dengan judul tersebut diatas, maka penulis memfokuskan pemaparannya pada tanggungjawab Direksi dan Komisaris pada Perseroan

(3)

Terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, selanjutnya disebut UUPT.

2. Kedudukan dan Tanggungjawab Direksi dan Komisaris dalam Korporasi.

Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam UUPT dengan jelas menyebutkan bahwa Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar (Pasal 1 ayat 5 UUPT) juga Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan Perseroan (Pasal I ayat 6 UUPT).

Dalam UUT Perkoperasian dan UU Yayasan, kedudukan dan tanggungjawab pengurusan Badan Hukum tersebut tidak disebut Direksi dan Komisaris melainkan Pengurus dan Pengawas yang pada hakekatnya menjalankan fungsi dan tugas yang sama. Dalain UU Perkoperasian disebutkan bahwa Pengurus merupakan pemegang kuasa Rapat Anggota dan bertugas mengelola Koperasi dan usahanya (Pasal 14 ayat 2 jo 30 ayat 1 huruf a UU No.25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian) dan bertanggungjawab atas segala kegiatan pengelolaan koperasi dan usahanya kepada Rapat Anggota atau Rapat Luar Biasa (Pasal 31 UU No.25 Tahun 1992). Dalam Penjelasan pasal 30 ayat (1) disebutkan : Dalam mengelola Koperasi Pengurus selaku kuasa Rapat Anggota melakukan kegiatan sematamata untuk kepentingan dan kemanfaatan Koperasi beserta anggoatanya sesuai dengan keputusan Rapat Anggota. Kedudukan Pengawas dalam perkoperasian adalah bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan dan pengelolaan Koperasi (Pasal 39 ayat 1 huruf a UU No.25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian).

Pengurus pada Yayasan adalah organ yayasan yang melaksanakan kepenguruan yayasan (Pasal 31 ayat 1 UU Yayasan) dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan untuk kepentingan dan tujuan yayasan serta berhak mewakili yayasan baik didalam maupun diluar pengadilan (Pasal 35 UU Yayasan). Sama halnya dengan Komisaris pada Perseroan, Pengawas adalah organ yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan (Pasal 40 ayat 1 UU Yayasan).

3. Tanggung-jawab Pengurusan Direksi Perseroan Terbatas

Dari petunjuk ketentuan Undang-undang Perseroan Terbatas (UUPT) dapat diungkapkan pada dasarnya pengurusan Direksi bersifat mandiri untuk atas nama dan bagi kepentingan perseroan. Pengurusan yang dimaksud tidak terbatas pada menjalankan kegiatan usaha untuk mencapai keberhasilan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan saja tetapi juga termasuk mengelola kekayaan perseroan.

Oleh karenanya Direksi dilengkapi kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh undang-undang terkait untuk kepentingan Persero sebagai Badan Hukum yang mempunyai eksistensi sebagai Subyek Hukum mandiri (persona standi in judicio) dan kewanangan Direksi Perseroan harus dilakukan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan, Anggaran Dasar dan Kebijakan yang ditetapkan RUPS sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Namun demikian kewenangan Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tidak dapat dibatasi oleh rumusan yang ditegaskan sebagai maksud dan tujuan Perseroan semata-mata, oleh karena ada hal-hal tertentu dimana Direksi perlu mengambil inisiatif sebagai kebijakan yang menurut kebiasaan dan kepatutan dapat disimpulkan untuk menunjang masud dan tujuan Perseroan yang perlu dilakukan demi kepentingan dan atau manfaat bagi Perseroan. Misalnya ketika sebuah Perusahaan yang

(4)

usaha primernya (main business) adalah Pertambangan Minyak dan Gas Bumi seperi Pertamina, Direksi memandang perlu membeli Kapal Tanker VLCC dan mengoperasikan untuk nenunjang mobilisasi angkutan produksinya, hal tersebut dilakukan sebagai kebijakan yang dapat dikatagorikan seabagai kegiatan “usaha sekunder” demi kepetingan Perseroan dan tidak dapat dikatakan sebagai penyimpangan maksud dan tujuan Perseroan. Hal yang demikian itu dilakukan masih dalam ruang lingkup kewanangan Direksi sejauh perbuatan hukum tersebut adalah demi kepentingan dan memberi manfaat bagi Perseroan. Terkait dengan kebijakan Direksi, pada lazimnya dalam Anggaran Dasar Perseroan dimungkinkan memuat ketentuan yang mengharuskan Direksi sebelum melakukan perbuatan hukum mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Komisaris (Pasal 114 ayat 2 UUPT). Namun demikian bukan berarti Direksi secara hirarki dibawah Komisaris sehingga meniadakan kemandirian Direksi untuk melakukan tugasnya.

Sungguhpun dalam pengurusan Direksi bersifat mandiri sepanjang demi kepentingan korporasi, bukan berarti kecakapan Direksi tersebut tanpa dibatasi terutama dalam pengelolaan kekayaan Perseroan. Dalam UUPT penibatasan kewenangan Direksi tersebut diatur antara lain dalam hal mengalihkan atau menjadikan jaminan utang lebih dari 50% jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih kekayaan Perseroan, wajib meminta persetujuan terlebih dahulu kepada RUPS dan keputusan RUPS tersebut sah apabila dihadiri oleh paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh paling sedikit ¼ bagian dari jumlah suara tersebut (Pasal 102 UUPT). Demikian pula dalam hal Direksi berkehendak mengajukan permohonan kepailitan kepada pengadilan agar Perseroan dinyatakan pailit harus berdasarkan keputusan RUPS (Pasal 104 ayat 1 UUPT).

Pada dasarnya eksistensi kelembagaan Direksi dalam UUPT adalah kolegial, (Pasal 98 ayat 2 UUPT) Kelembagaan Direksi yang bersifat kolegial ini dipertegas dengan kewajiban setiap anggota Direksi wajib beritikad baik dan penuh tanggungjawab dalam menjalankan tugas untuk kepentingan perseroan dan setiap anggota Direksi bertanggungjawab secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya dan dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawabuya dilakukan secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi (Pasal 29 ayat 1, 2, 3, 4 UUPT). Pertanggungjawaban Direksi secara kolegial atau sendirisendiri ini akan nampak lebih jelas dalam hal apabila terjadi kepailitan yang dikarenakan kesalahan atau kelalaian Direksi dimana kekayaan Perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggungjawab atas kerugian itu, termasuk terhadap anggota Direksi yang lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan juga turut serta dalam mempertanggungiawabkan kerugian tersebut, kecuali anggota Direksi tersebut dapat membuktikan bahwa kepailitan itu bukan karena kesalahan atau kelalaiannya (Pasal 104 ayat 2, 3, 4 UUPT). Pengutusan oleh setiap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya tersebut lazimnya dikenal sebagai “derivative action” (Fred B.G. Tumbuan, Mei 1996). Dalam kasus Derivative action pemegang saham dapat mengajukan gugatan untuk kepentingan Perseroan terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya telah merugikan perseroan (Pasal 97 ayat 6 UUPT).

Pertanggungjawaban secara kolegial oleh anggota Direksi selain dalam kasus kepailitan seperti tersebut diatas, dapat pula kits jumpai dalam hal :

1. Tanggung jawab secara tanggung renteng atas semua kerugian yang diderita pemegang saham yang beritikad baik (Pasal 37 ayat 3 UUPT)

(5)

2. Pengajuan laporan keuangan yang ternyata tidak benar dan atau menyesatkan, anggota Direksi dan Komisaris bertanggungjawab secara tanggung renteng terhadap pihak pihak yang dirugikan (Pasal 69 ayat 3 UUPT)

Selain tanggungjawab tersebut diatas, Pentegang Saham yang memiliki paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah atau biasa disebut sebagai pemegang saham minoritas, dapat mengajukan gugatan kepengadilan terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan (Pasal 97 ayat 6 UUPT).

Salah satu bentuk pertanggungjawaban pengurusan Direksi yang paripurna menurut pendapat penulis adalah tanggungjawab Direksi yang sekali setahun wajib membuat laporan tahunan yang diajukan kepada RUPS tentang neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan laba rugi serta laporan mengenai semua keadaan jalannya Perseroan serta hasil-hasil yang dicapai dan lain-lain permasalahan yang dihadapi Perseroan (Pasal 66 ayat 1, 2 UUPT).

Kebenaran atas laporan tahunan ini merupakan tanggungjawab penuh Direksi dan Komisaris, maka persetujuan dan pengesahan Laporan Tahunan tersebut oleh RUTS membebaskan Direksi dari tanggungjawab pengurusan perseroan sepanjang yang di!aporkan tersebut mendapat persetujuan RUPS yang disebut ecquit et de charge (Pasal 69 UUPT).

Pengertian sifat kolegial Direksi bukan berarti bahwa dalam kelembagaan Direksi tidak boleh diadakan peinbagian tugas diantara anggota Direksi. Dalam UUPT disebutkan adanya peraturan tentang pembagian tugas dan wewenang setiap anggota Direksi yang ditetapkan berdasarkan ketentuan RUPS (Pasal 92 ayat 5 UUPT) serta besar dan jenis pengadilan Direksi ditetapkau oleh RUPS (Pasal 96 UUPT). Juga dalam Anggaran Dasar dapat menentukan pembatasan wewenang. anggota Direksi (Pasal 98 ayat 3 UUPT). Dengan demikian pernbagian tugas dan wewenang tersebut merupakan “tata kelola” internal organisasi Perseroan yang mengikat kedalam dan tidak meninggalkan pihak ketiga sehingga dalam hubungan dengan perseroan tersebut pihak ketiga tidak perlu ruang lingkup kewenangan anggota direksi yang bersangkutan sesuai anggaran anggaran dasar Perseroan tersebut. Namun setiap anggota Direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi bila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya (Pasal 97 ayat 1-3 UUPT).

4. Tugas dan Tanggungjawab Direksi Mewakili Perseroan

Sebagaimana telah dijelaskan dalam UUPT bahwa Direksi adalah organ perseroan yang bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun diluar pengadilan. Pengertian mewakili Perseroan ini oleh UUPT disebutkan pada dasarnya setiap anggota Direksi berwenang mewakili Perseroan kecuali oleh Anggaran Dasar Perseroan menentukan adanya pembatasan wewenang anggota Direksi (Pasal 98 UUPT).

Dalam mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan Direksi hendaknya tetap memperhatikan apa yang dilakukan tidak keluar dari lingkup maksud dan tujuan perseroan, sebab apabila perbuatan hukum yang; dilakukan Direksi keluar dari lingkup maksud dan tujuan Persero, perbuatan mana dapat dikatagorikan sebagai perbuatan ultra vires yang tidak mengikat Perseroan, hal tersebut sesuai dengan pengertian ultra vires adalah tindakan yang melebihi wewenangnya. Dalam praktek perbuatan ultra vires yang dilakukan anggota Direksi terhadap pihak ketiga bisa saja dibatalkan karena hukum tetapi tidak menutup kemungkinan bisa juga tetapmengikat Perseroan sepanjang perbuatan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan berdasarkan hukum, oleh karenanya anggota Direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi terhadap Perseroan atas perbuatan ultra vires bila yang dilakukan tersebut menimbulkan kerugian

(6)

Perseroan. Namun demikian perbuatan ultra vires bisa juga membebaskan tanggungjawab anggota Direksi apabila perbuatan yang dilakukan tersebut mendapat persetujuan RUPS, dengan mengingat RUPS adalah organ Perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Perseroan atau sekalipun tidak mendapat persctujuan secara nyata-nyata oleh RUPS tetapi secara diam- diam terdapat kesan adanya persetujuan karena tidak ditentang atau disalahkan oleh pihak - pihak yang boleh dipandang sebagai “apparent authority” atau pejabat yang dikenal dan yang dianggap memiliki wewenang, seperti Komisaris misalnya, dimana dalam Anggaran Dasar dapat menetapkan pemberian wewenang kepada Komisaris untuk memberi persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu (Pasal 114 ayat 2 UUPT).

Persetujuan atas suatu perbuatan ultra vires bisa juga dilakukan melalui ratifikasi yaitu sebuah pengesahan kemudian sebagaimana dimungkinkan menurut pasal 1656 KUHPerdata

“Segala perbuatan, untuk mana para pengurusnya tidak berkuasa melakukannya, hanyalah mengikat perkumpulan sekedar perkumpulan itu sungguh-sungguh telah mendapat manfaat karenanya atau sekedar perbuatan perbuatan itu terkemudian telah disetujui secara sah”.

Sebagaimana diketahui dalam UUPT disebutkan bahwa setiap anggota Direksi berwenang mewakili Perseroan kecuali oleh Anggaran Dasar Perseroan menentukan adanya pembatasan wewenang anggota Direksi, namun demikian UUPT sebaliknya juga menetapkan adanya larangan anggota Direksi untuk mewakili Perseroan dalam hal terjadi perkara didepan pengadilan antara Perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan atau apabila terdapat pertentangan kepentingan antara anggota Direksi yang bersangkutan dengan kepentingan Perseroan (Pasal 99 ayat 1 UUPT), Jika terjadi kasus pertentangan seperti tersebut diatas, sementara dalam Anggaran Dasar tidak mengatur perwakilan perseroan. maka RUPS dapat mengangkat seorang atau lebih pemegang saham untuk mewakili perseroan (Pasal 99 ayat 2 UUPT).

5. Kedudukan dan Tanggungjawab Komisaris

Sebagaimana ditentukan dalam UUPT bahwa setiap Perseroan harus memiliki Komisaris yang wewenang dan kewajibannya ditetapkan dalam Anggaran Dasar, bahkan pada Perseroan yang bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat atau Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan hutang atau Perseroan Terbuka, oleh karena memang karena menyangkut kepentingan diperlukan pengawasan yang lebih besar masyarakat, ditentukan wajib memiliki paling sedikit 2 (dua) orang Komisaris, sehingga mereka merupakan sebuah majelis atau lazimnya banyak juga yang menyebut “Dewan Komisaris” (Pasal 108 UUPT). Perseroan selain memiliki Dewan Komisaris juga wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah (Pasal 109 UUPT).

Komisaris adalah organ perseroan yang tugasnya melakukan pengawasan serta memberikan nasihat kepada Direksi. dalam menjalankan perseroan. Berbeda dengan kedudukan dan kacakapan setiap anggota Direksi berwenang mewakili Perseroan kecuali oleh Anggaran Dasar Perseroan menentukan adanya pembatasan wewenang anggota Direksi, pada Komisaris bila terdapat lebih dari 1 (satu) orang Komisaris, maka sebagai majelis, Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri untuk mewakili Perseroan (Vide penjelasan Pasal 108 ayat 4 UUPT).

Sebagai lembaga pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi, Komisaris tidak memiliki fungsi pengurusan, hubungannya dengan Direksi tidak merupakan hubungan hierarkis antara atasan dan bawahan, sekalipun dalam UUPT memberikan wewenang kepada Komisaris untuk (Pasal 117 dan 118 UUPT)

(7)

a. Memberikan persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu.

b. Berdasarkan Anggaran Dasar atau keputusan RUPS Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu. Dalam keadaan dimana Komisaris melakukan tindakan pengurusan berdasarkan Anggaran Dasar atau keputusan RUPS dalam keadaan dan waktu tertentu tersebut, berlaku semua ketentuan dan tanggungjawab sebagaimana berlaku atas Direksi kepada Perseroan, termasuk akibat hukum yang ditimbulkan terhadap pihak ketiga..

c. Atas nama RUPS melakukan penetapan pembatasan tugas dan wewenang setiap anggota Direksi serta besaran dan jenis penghasilan Direksi yang ditetapkan RUPS berdasarkan Anggaran Dasar (Pasal 96 UUPT).

d. Memberhentikan untuk sementara anggota Direksi karena alasan tertentu (Pasal 106 ayat I UUPT).

C. KESIMPULAN

Sama halnya dengan Direksi sebagai organ Perseroan memiliki wewenang, kewajiban dan tanggungjawab, demikian pula Komisaris sebagi organ Perseroan selain memiliki wewenang sebagaimana tersebut diatas juga tanggungjawab. Dalam UUPT ditegaskan Kornisaris wajib dengan ititad baik dan penuh tanggungjawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan, sehubungan dengan tanggungjawab itu, Perseroan dapat mengajukan gugatan terhadap Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan (Pasal 114 UUPT). Dengan demikian dapat disimpulkan tanggungjawab Komisaris yang diatur dalam UUPT lebih ditekankan pada tanggungjawan kedalam terhadap Perseroan (internal liability), sementara tanggungjawab keluar terhadap pihak ketiga (external liabeility) adalah tanggungjawab Komisaris bersama Direksi secara tanggung renteng jika dalam dokumen laporan perhitungan tahunan yang ditanda-tangani anggota Direksi dan Komisaris (Pasal 66-67 ayat I UUPT) ternyata tidak benar dan atau menyesatkan terhadap pihak yang dirugikan (Pasal 69 ayat 3 UUPT). Tidak menutup kemungkinan anggota Direksi maupun Komisaris dapat digugat ke pengadilan bila ternyata melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pihak lain sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1365 KUHPerdata.

D. DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Cet.ke 3 Revisi, PT.Citra Adiya Bakti, Bandung, 2006.

Black’s Law Dictionary, six edition, Centennial edition (1891-1991)

Fred B.G.Tumbuan, Tanggung Jawab Direksi dan Kotnisaris serta Kedudukan RUPS Perseroan Terbatas Menurut UU No.1 Tahun 1995, Makalah tak terpublikasi, Jakarta, Mei 1996.

Gunawan Wijaya, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Seri Hukum Bisnia, PT.Raja Garindo, Jakarta, 2004.

I .G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, Mega Poin, Bekasi, 2006.

I Nyoman Tjager dkk Corporate Covernance, Tantangan dan Kesempatan Bagi Komunitas Bisnis Indonesia, PT Prenhallindo, Jakarta, 2003.

(8)

Philip Lipton and Abraham Herzberg, Understanding Company Law. The Law Book Company Limited, 1992.

Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Cet kedua, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Referensi

Dokumen terkait

Selain karena faktor klasifikasi ketunarunguan sang anak, tingkat penguasaan kosakata anak juga dipengaruhi oleh karakteristik dan lingkungan sosial yang akhirnya

Dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa pemberdayaan yang dilakukan oleh kelompok Maju Pemuda Makmur sudah terlaksana dengan baik dan salah satu diantara pemberdayaan

Berdasarkan uji t pada selang kepercayaan 95% diperoleh pola pertumbuhan Ikan selar kuning adalah allometrik negatif yakni laju pertumbuhan panjang lebih cepat dengan

Tujuan obyektif yang ingin dicapai dalam tugas akhir ini adalah merancang dan membuat sebuah aplikasi RFID sebagai penunjang sistem keamanan parkir berbasis

Both self-esteem and self-confidence can translate to positive human relations because if a person feels good about himself or herself, it is more likely he or she will be

Hasil penelitian dalam uji path menunjukkan bahwa karakteristik biografis tidak berpengaruh terhadap kinerja karyawan melalui motivasi; dan kepemimpinan berpengaruh

Nilai Sig. Shapir o-Wilk Nilai Sig. Test Ket Nilai Asymp. Shapir o-Wilk Nilai Sig. Test Ket Nilai Asymp.. Nilai Rata-rata Posttest Kelas Eksperimen dan Kelas