• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Legalitas Peraturan Daerah Bermuatan Materi Keagamaan T1 312011807 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Legalitas Peraturan Daerah Bermuatan Materi Keagamaan T1 312011807 BAB II"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PEMBAHASAN

A.

Kerangka Teoritik

A.1.

Kualifikasi Perundang-Undangan yang Berkualitas

Dari bentuknya hukum terbagi atas dua yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis dan peraturan perundang-undangan adalah bagian dari hukum tertulis.32

Sebagai sumber hukum yang tertulis peraturan perundang-undangan memiliki kelebihan-kelebihan yaitu sebagai berikut:

1. Apa yang diatur mudah diketahui orang.

2. Setiap orang, kecuali yang tidak bisa membaca, mendapatkan jalan masuk yang sama ke dalam hukum.

3. Pengetahuan orang mengenai hukum senantiasa bisa di cocokkan kembali dengan yang telah dituliskan, sehingga mengurangi ketidakpastian. 4. Untuk keperluan pengembangan peraturan hukum atau

perundang-undangan, untuk membuat yang baru, maka hukum tertulis juga menyediakan banyak kemudahan.33

Menurut Satjipto Raharjo suatu peraturan perundang-undangan yang baik dan berkualitas memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

32 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (Cetakan Keenam 2006), PT Citra Aditya Bakti, 2006,

Hlm. 72

(2)

1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas. 2. Bersifat Universal, Ia diciptakan untuk menghadapi

peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkrit nya. Oleh karena itu tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.34

A.2.

Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan perundang-undangan, pembentukannya sangat berpengaruh pada apakah sebuah peraturan perundang-undangan dalam proses pembentukannya sudah sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

Menurut Maria Farida “Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.”35

Pendapat lain dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan adalah Burkhardt Krems, Burkhardt Krems menyebut asas-asas pembentukan peraturan perundang-undang negara dengan istilah Staatsliche Rechtssetzung, sehingga pembentukan peraturan perundang-undangan itu menyangkut:

1. Isi peraturan (Inhalt der Regelung);

2. Bentuk dan susunan peraturan (Form der Regelung);

3. Metoda pembentukan peraturan (Methode der Ausarbeitung der Regelung); dan

4. Prosedur dan proses pembentukan peraturan (Verfahren der Ausarbeitung der Regelung).36

34 Satjipto Raharjo, Op. Cit., Hlm. 83

35 Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi

Muatan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2007, Hlm. 252.

36 Ibid. Dikutip dari A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik

(3)

Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik menurut I.C van der Vlies, dimana I.C van der Vlies membagi asas-asas pembentukan negara yang baik kedalam dua kategori yaitu kedalam asas-asas formal dan asas-asas material.

Asas-asas formal meliputi:

1. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling); 2.asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan); 3.asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel); 4.asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid); 5.asas konsensus (het beginsel van consensus).

Asas-asas yang material meliputi:

1. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminologi en duidelijke systematiek);

2. asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid); 3. asas perlakuan yang sama dalam hukum (het

rechtsgelijkheidsbeginsel);

4. asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);

5. asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van de individuele rechtsbedeling).37

Menurut A. Hamid S. Attamimi bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut adalah:

a. Cita hukum Indonesia;

b. Asas Negara Berdasarkan Atas Hukum dan Atas Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi;

c. Asas-asas lainnya.38

Dari tiga rumusan tersebut maka asas-asas pembentukan peraturan perundang-undang Indonesia yang patut akan berpedoman pada:

(4)

a. Cita hukum Indonesia yang tidak lain melainkan Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Cita (Idee), yang berlaku sebagai “bintang pemandu”.

b. Norma Fundamental Negara yang juga tidak lain melainkan Pancasila (Sila-sila dalam hal tersebut berlaku sebagai Norma);

c. (1) Asas-asas Negara Berdasar Atas Hukum yang menempatkan Undang-Undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam kekuatan hukum (der Primat des Rechts);

(2) Asas-asas Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi yang menempatkan Undang-Undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.39

Asas-asas pembentukan peraturan yang patut yang selain rumusan di atas adalah sebagai berikut”

1. asas tujuan yang jelas; 2. asas perlunya pengaturan;

3. asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat; 4. asas dapatnya dilaksanakan;

5. asas dapatnya dikenali;

6. asas perlakuan yang sama dalam hukum; 7. asas kepastian hukum;

8. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.40

Asas-asas di atas apabila dibagi menurut kategorinya yaitu asas yang formal dan asas yang material, A. Hamid S. Attamimi membagi asas-asas pembetukan peraturan perundang-undangan yang patut sebagai berikut:

a. Asas-asas formal, dengan perincian : (1) asas tujuan yang jelas;

(2) asas perlunya pengaturan; (3) asas organ/lembaga yang tepat; (4) asas dapatnya dilaksanakan; dan (5) asas dapatnya dikenali;

b. Asas-asas material, dengan perincian :

(1) asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan Norma Fundamental Negara;

(2) asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;

(3) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasar Atas Hukum; dan

39 Ibid., Hlm. 255

(5)

(4) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan berdasar Sistem Konstitusi.41

A.3.

Asas Legalitas

Tujuan utama dari keberadaan peraturan perundang-undangan adalah untuk menciptakan kepastian hukum,42 karena hukum yang tertulis akan membuat para subjek hukum mengerti betul hal-hal apa saja yang harus dilakukan dan atau tidak dilakukan, yang boleh dan atau tidak boleh, serta mana hak dan kewajibannya43 sehingga keberadaan peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting dalam sebuah negara hukum.44 Peraturan perundang-undangan ketika dikaitkan dengan hukum sebagai sebuah ideal ialah mencegah timbulnya kesewenang oleh penguasa terhadap warga negaranya, sehingga dalam konsep negara hukum pengertian tersebut kemudian dikaitkan dengan asas legalitas.45

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum dalam sistem kontinental.46 Asas ini dinamakan juga dengan kekuasaan undang-undang (de heerschappij van de wet)47 yang dalam konsep peraturan perundang-undangan sering di identik dengan asas supremasi hukum (government under law) dan asas pemerintahan melalui peraturan perundang-undangan (government by rules).48 Yang menyebabkan setiap penyelenggaraan

41 Ibid. Dikutip dari Ibid.

42 Titon Slamet Kurnia, Op. Cit., Hlm. 49 43 Ibid., Hlm. 49-50

44 Ibid. 45 Ibid.

46 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT. RajaGrafindo Persada,

Jakarta, 2013, Hlm. 90.

47 Ibid., Hlm. 91. Dikutip dari H.D van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdsukken van

Administratief Rech, (Utrecht: Uitgeverij Lemma BV., 1995), Hlm. 41.

48 Titon Slamet Kurnia, Op. Cit., Hlm. 51. Dikutip dari Andrew Altman, Arguing About

(6)

pemerintahan harus didasari oleh hukum dan ketika tidak ada peraturan perundang-undangan maka tidak ada kewenangan sebagai dasar bertindak bagi setiap badan atau pejabat negara dan pemerintah.4950

Teori yang mendasari asas legalitas dalam peraturan perundang-undangan adalah teori yang dipopulerkan oleh Hans Kelsen yaitu Stufentheorie yang menekankan bahwa setiap peraturan perundang-undangan adalah merupakan bagian keseluruhan dari sistem peraturan perundang-undangan itu sendiri atau hukum merupakan suatu sistem yang saling berhubungan dan mendukung satu sama lain51 dengan sistem berjenjang dan berlapis-lapis yang berarti bahwa norma yang lebih rendah harus berdasarkan dan bersumber pada norma yang lebih tinggi demikian seterusnya sampai berujung pada norma Dasar (Grundnorm).52

Stufentheorie ini kemudian dilengkapi oleh murid Hans Kelsen yang bernama Hans Nawiasky dalam teorinya die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen, Nawiasky menambahkan bahwa selain berlapis dan berjenjang, norma hukum juga berdasarkan kelompok-kelompoknya msing-massing yaitu terbagi atas empat. Kelompok pertama: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara), Kelompok kedutan: Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara), Kelompok ketiga: Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’), Kelompok

49 Ibid., Hlm. 51.

50 Kebalikan dari Asas Legalitas adalah Asas Diskresi. Lihat Krishna D. Darumurti,

Kekuasaan Diskresi Pemerintah: Kajian Mengenai Konsep, Dasar Pengujian, dan Sarana Kontrol, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, Hlm. 1-10

51

Titon Slamet Kurnia, Op.Cit., Hlm. 55

52 Maria Farida Indrati S., Op.Cit., Hlm. 41. Dikutip dari Hans Kelsen, General Theory

(7)

keempat: Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan otonom).53

Dalam teorinya Hans Kelsen dan Hans Nawiasky di atas ketika digabungkan akan berbunyi bahwa hukum merupakan sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang sekaligus berkelompok kelompok, dimana setiap norma yang berlaku harus memiliki sumber dan dasar dari norma lain yang lebih tinggi, begitu seterusnya dirunut sampai berpangkal pada norma tunggal54 yang paling tinggi yaitu Konstitusi.55 Karena Sebuah norma dapat dikatakan sah hanya jika norma tersebut menurut materi muatannya dapat dirunut sampai ke pada norma dasar.56 Demikian peraturan perundang-undangan sebagai sebuah sistem harus dipertahankan berdasarkan konsep hirarki aturan hukum.57 Sehingga asas legalitas dalam peraturan perundang-undangan yaitu Lex Superior Derodat Lex Inferiori.

Ada dua legalitas yang harus dipenuhi dalam sebuah peraturan perundang-undangan yaitu legalitas formal dan legalitas material. Sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen bahwa “sebuah norma dapat dikatakan sah sebagai norma hukum

hanya karena norma tersebut dicapai dengan cara tertentu – diciptakan menurut aturan tertentu, dikeluarkan atau ditetapkan menurut sebuah metode spesifik. (formil)” dan dengan materi muatan yang sesuai dengan tingkatan dan kelompoknya berdasarkan pada aturan yang lebih tinggi dan dapat dirunut sampai ke norma dasar (materiil). 58

53

Maria Farida Indrati S., Op.Cit., Hlm. 45. Dikutip dari Hans Nawiasky, Allgemeine Rechtslehre als System der rechtslichen Grundbegriffe, Einsideln/Zurich/Koln: Benziger, Cet. 2 1948, Hlm. 31 dst.

54 Hans Kelsen, Op.Cit., Hlm. 94.

55 Maria Farida Indrati S., Op.Cit., Hlm. 57. 56 Hans Kelsen, Op.Cit., Hlm. 95, 105. 57 Titon Slamet Kurnia, Op.Cit., Hlm. 55.

58 Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum (Introduction to the Problem of Legal Theory),

(8)

A.2.1.

Legalitas Formil

Dalam pembahasan mengenai legalitas formal yaitu berbicara seputar kaidah yang menentukan rangkaian aktivitas dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi tata cara mulai dari Input – proses – Output, karena salah satu aspek penting dari hukum perundang-undangan adalah pengaturan mengenai tata cara atau proses pembentukan perundang-undangan, baik tingkat pusat maupun daerah.59

Proses yang pertama dalam tahapan pembentukan peraturan daerah adalah tahapan pembentukan atau perencanaan. Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari dua lembaga yaitu lembaga legislatif, yang di tingkat daerah adalah DPRD dan lembaga eksekutif daerah yaitu gubernur atau bupati/walikota dan rancangan peraturan tersebut harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.60 Dalam proses pembentukan peraturan daerah, masyarakat harus dilibatkan baik itu secara langsung maupun tidak langsung, masyarakat berhak memberikan masukan baik itu lisan maupun tertulis dalam menyiapkan rancangan peraturan daerah.61

Proses perencanaan atau pembentukan adalah proses penuangan harapan atau keinginan dari masyarakat, dan terutama dari para Juris atau ahli hukum, maka dari itu agar sebuah peraturan daerah dapat memenuhi aspirasi masyarakat, dalam

59 Soehino, Hukum Tata Negara Hukum Perundang-Undangan: Perkembangan

Pengaturan Mengenai Tata Cara Pembentukan Perundang-Undangan Baik Tingkat Pusat Maupun Tingkat Daerah, BPFE – Yogyakarta, Yogyakarta, Edisi Kedua, Cetakan Pertama 2012, 2012, Hlm. 2.

60 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,

2009, Hlm. 37.

(9)

proses pembentukannya harus diawali dengan Naskah Akademik, agar aspirasi masyarakat dapat diakomodir.62

Naskah Akademik sangat penting keberadaannya dalam proses pembentukan peraturan undangan untuk menghasilkan sebuah peraturan perundang-undangan yang responsif, egaliter, futuristik dan berkualitas. Sehingga harus diawali dengan riset secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisikan latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan perundang-undangan. Melalui Naskah Akademik output dari sebuah Raperda akan lebih berkualitas dan dapat disebut sebagai good legislation (peraturan perundang-undangan tang baik).63

Tahap berikutnya adalah tahapan pembahasan, pembahasan rancangan peraturan daerah dilakukan oleh dua lembaga pembentuknya yaitu gubernur atau bupati/walikota, pembahasan tersebut dilakukan melalui tingkat-tingkat pembahasan yaitu rapat komisi, rapat pansus, rapat alat kelengkapan DPRD dan rapat paripurna.64

Rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan gubernur atau bupati/walikota disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan gubernur atau bupati/walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan daerah.65 Kemudian pemerintah daerah wajib menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam lembaran daerah.66

62 I Gede Pantja Astawa dan Na’a Suprin, Dinamika Hukum dan Ilmu

perundang-Undangan Di Indonesia, Alumni, Bandung, 2008. Hlm. 108.

63 Ibid., Hlm. 109-110. 64 Ibid., Hlm. 115. 65 Ibid., Hlm. 116.

(10)

A.2.2.

Legalitas Materiil

Legalitas materiil dalam kaitannya dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu sebagai pedoman yang mengatur mengenai substansi atau materi muatan peraturan perundang-undangan.

Peraturan daerah dibentuk dan dilaksanakan untuk mengatur dan mengurus otonomi daerah dan tugas pembantuan dimana kewenangannya diperoleh dari pemerintahan yang tingkatannya lebih tinggi, selain itu juga otonomi dan tugas pembantuan juga merupakan manifestasi dari pemencaran kekuasaan, maka substansi dari peraturan daerah pada hakikatnya merupakan pelaksanaan norma hukum dari jenis peraturan perundang-undangan dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah.67

Peraturan daerah yang merupakan pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan materi muatannya tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, sebaliknya peraturan daerah harus bermateri muatan berupa penjabaran dari norma yang lebih tinggi. Sehingga materi muatan peraturan daerah baik itu di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota materi muatannya adalah sebagai berikut.

Perda Provinsi, materi muatannya adalah:

1) Kewenangan yang diperoleh dalam bidang otonomi yang berisikan kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota, kewenangan di bidang

67 B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting & Desain Naskah Akademik,

(11)

pemerintahan tertentu, dan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota.

2) Berdasarkan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan di atasnya, termasuk tugas pembantuan.

3) Untuk menampung dan mengekspresikan kondisi khusus daerah yang lintas kabupaten/kota.68

Untuk perda di tingkat kabupaten/kota, yang menjadi materi dan muatannya adalah sebagai berikut.

1) Kewenangan yang diperoleh untuk melaksanakan otonomi daerah yang berisikan wajib dan kewenangan pilihan.

2) Berdasarkan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan di atasnya, termasuk tugas pembantuan.

3) Untuk menampung mengekspresikan kondisi khusus di daerah.69

Menurut Bagir Manan materi dan muatan sebuah peraturan daerah juga sebagai berikut.

1) Sistem rumah tangga daerah. Dalam sistem rumah tangga formal, segala urusan pada dasarnya dapat diatur oleh daerah sepanjang belum diatur atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pada sistem rumah tangga materiil, hanya urusan yang ditetapkan sebagai urusan rumah tangga daerah yang dapat diatur dengan perda.

2) Ditentukan secara tegas dalam UU Pemerintahan Daerah seperti APBD, Pajak dan Retribusi.

(12)

3) Urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebuh tinggi tingkatannya.70

A.4.

Kewenangan Daerah Otonom

Urgensi dibentuknya sebuah peraturan daerah ialah dalam rangka otonomi daerah, karena yang paling esensi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersifat otonom, ialah pemberian kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah otonom atau kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat disertai dengan pemberian hak dan kewajiban,71 dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.72

Berkenaan dengan otonomi daerah sehingga penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dilaksanakan dengan asa-asas yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Asas desentralisasi, asas desentralisasi inilah yang merupakan hakikat keberadaan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah, desentralisasi merupakan sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut pola hubungan antara pemerintahan nasional dan pemerintahan lokal73 berupa penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan

70 Ibid, Hlm. 105-106, dikutip dari Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-Undangan

Indonesia, IndHill.Co, Jakarta, 1992, Hlm. 61-62.

71 Siswanto Sunarno, Op.Cit.,, Hlm. 4. 72 Ibid, Hlm. 6.

73 Syaukani, HR., et.al, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar,

(13)

Republik Indonesia. Asas ini dapat ditanggapi sebagai hubungan hukum keperdataan, yakni penyerahan sebagian hak dari pemilik yaitu pemerintah hak kepada penerima sebagian hak yaitu pemerintah daerah, dengan objek hak tertentu, berupa kewenangan memerintah dalam bentuk mengatur urusan pemerintahan namun masih dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemberian hak tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada pemerintah melalui menteri dalam negeri dan DPRD yang merupakan representatif dari rakyat daerah.74

Menurut Hans Kelsen berkaitan dengan pengertian negara bahwa negara merupakan tatanan norma hukum (legal norm order). Oleh sebab itu pengertian desentralisasi menyangkut berlakunya sistem tatanan norma hukum dalam suatu negara. Di dalam negara ada kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah untuk seluruh wilayah negara yang sering disebut kaidah sentral (central norm) dan ada pula kaidah-kaidah hukum yang berlaku sah dalam bagian-bagian wilayah yang berbeda yang disebut desentral atau kaidah lokal (decentral or local norm). Jadi apabila kita membicarakan tatanan hukum yang desentralistik, maka hal ini akan dikaitkan dengan lingkungan tempat berlakunya suatu tatanan hukum yang berlaku secara sah tersebut.75

Asas dekonsentrasi, adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur, sebagai wakil pemerintah kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Pelimpahan wewenang yang sebenarnya kewenangan itu ada di tangan pemerintah pusat, yakni menyangkut penerapan strategi kebijakan dan pencapaian program kegiatannya, diberikan kepada gubernur atau instansi vertikal

74 Siswanto Sunarno, Op.Cit., Hlm. 7.

75 B. Hestu Cipto Handoyo, Op.Cit., Hlm. 118. Dikutip dari B. Hestu Handoyo, Hukum

(14)

di daerah sesuai arahan kebijaksanaan umum dari pemerintah pusat dengan sumber pembiayaan dari pemerintah pusat.76

Asas tugas pembantuan, adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa; dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau desa; serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Tugas yang diberikan dari instansi atas kepada instansi bawahan yang ada di daerah sesuai arah kebijakan umum yang ditetapkan oleh instansi yang memberikan penugasan, dan wajib dipertanggungjawabkan tugasnya itu kepada instansi yang memberi penugasan.77

Dari asas-asas pemerintahan sebagaimana dipaparkan di atas terutama asas desentralisasi, maka yang kemudian menjadi tugas dari pemerintah daerah adalah. Yang pertama adalah dalam bidang legislasi yakni atas prakarsa sendiri membuat peraturan daerah dan peraturan kepala daerah yang meliputi peraturan daerah provinsi, peraturan daerah kabupaten/kota, peraturan kepala daerah meliputi peraturan gubernur dan/atau peraturan bupati/walikota.78

Yang kedua adalah dalam hal perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab, dalam rangka pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.79

76 Siswanto Sunarno, Op.Cit., Hlm. 7-8. 77 Ibid., Hlm. 8.

(15)

Yang ketiga adalah perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang merupakan rancangan keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.80

Untuk menjalankan tiga tugas di atas, daerah menjalankannya dengan otonomi yang seluas luasnya, kecuali urusan pemerintahan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.81 Sehingga, berdasarkan asas otonomi daerah tersebut melahirkan wewenang disertai hak dan tanggung jawab daerah dalam mengurus rumah tangga sendiri, dan dalam wilayah hukumnya setiap daerah memerlukan pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan guna melegalkan setiap kebijakan pelaksanaan otonomi daerah, mengingat prinsip bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechstaat).82 Dengan kata lain Peraturan daerah yang merupakan pilar utama yang memayungi realisasi otonomi daerah.83

Walaupun peraturan daerah merupakan peraturan yang lahir dalam rangka otonomi daerah dan berlaku dalam satu wilayah hukum sebuah daerah otonom namun peraturan daerah tetap saja bagian dari Perundang-undangan secara keseluruhan, ada dua arti penting dari perundang-undangan, pertama, berarti tata cara atau proses pembentukan peraturan-peraturan negara dari jenis yang tertinggi yaitu undang-undang sampai dengan yang terendah, yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi dari kekuasaan perundang-undangan. Kedua, berarti keseluruhan

80 Ibid.

81 Ibid., Hlm. 10

82 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik:

Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, Hlm. 24.

(16)

produk peraturan-peraturan negara tersebut.84 Jadi peraturan daerah bukan produk hukum yang terpisah dalam sistem perundang-undangan Indonesia namun harus dipandang sebagai bagian dari sistem perundang-undangan itu sendiri.

Ada dua kewenangan dalam pembentukan peraturan daerah yaitu atribusi kewenangan dan delegasi kewenangan. Atribusi kewenangan adalah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau undang-undang kepada suatu lembaga negara atau pemerintah, sedangkan delegasi kewenangan adalah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik dinyatakan secara tegas maupun tidak.85 Kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan apabila dialihkan harus melalui atribusi atau delegasi yang tegas dan jelas.86

Organ yang bertugas membentuk peraturan perundang-undangan pada prinsip nya ada dua yaitu legislatif dan eksekutif, ketika yang akan dibentuk Peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah yang merupakan decentral or local norm tentunya harus di bentuk oleh organ pemerintahan dalam daerahnya tersebut, maka dari itu lembaga legislatif tingkat daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan lembaga eksekutifnya yaitu gubernur dan bupati/walikota. Dua organ inilah yang merupakan pemerintah daerah dan kewenangan membentuk peraturan daerah oleh pemerintah daerah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan

84 Soehino, Hukum Tata Negara Hukum Perundang-Undangan: Perkembangan

Pengaturan Mengenai Tata Cara Pembentukan Perundang-Undangan Baik Tingkat Pusat Maupun Tingkat Daerah, BPFE – Yogyakarta, Yogyakarta, Edisi Kedua, Cetakan Pertama 2012, Hlm. 1, Dikutip dari A. Hammid S. Sattamimi, Hukum Tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Negara), Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991, Hlm. 6.

(17)

Gubernur atau Bupati/Walikota adalah diperoleh secara atribusi melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.87

A.5.

Keagamaan

A.5.1.

Injil

Injil (bahasa Yunani: euangelion - Kabar Baik) adalah istilah yang digunakan untuk menyebut keempat kitab pertama dalam Alkitab Perjanjian Baru. Keempat kitab tersebut, Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, dan Injil Yohanes, disebut Kabar Baik, karena orang Kristen percaya bahwa narasi keempat Injil yang berpuncak pada kematian dan kebangkitan Yesus tersebut merupakan kisah penyelamatan Allah kepada umat manusia yang berdosa, supaya manusia dapat kembali mengenal Allah yang sesungguhnya dan dapat masuk ke surga..

Istilah "Injil" berasal dari bahasa Arab ʾInǧīl, yang diturunkan dari bahasa Yunani (euangelion) yang berarti "Kabar Baik" atau "Berita Kesukaan", yang merujuk pada 1 Peter 1:25 (BIS, TL, & Yunani). Injil dalam bahasa Inggris disebut Gospel, dari bahasa Inggris Kuno gōd-spell yang berarti "kabar baik", yang merupakan terjemahan kata-per-kata dari bahasa Yunani (eu- "baik", -angelion "kabar").

Beberapa ayat yang penting yang memuat kata ini antara lain Markus 1:1: "Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah."; Markus 1:15: ""Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!"; Markus 8:35: "Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku

(18)

dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya."; 1 Korintus 9:23: "Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya."; Matius 24:14: "Dan Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya", dan di dalam Roma 1

Injil biasanya mengandung arti:

1. Pemberitaan tentang aktivitas penyelamatan Allah di dalam Yesus dari Nazaret atau berita yang disampaikan oleh Yesus dari Nazaret. Inilah asal usul penggunaan kata "Injil" menurut Perjanjian Baru (lihat Surat Roma 1:1 atau Markus 1:1).

2. Dalam pengertian yang lebih populer, kata ini merujuk kepada keempat Injil kanonik (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes) yang menyampaikan kisah kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus.

3. Sejumlah sarjana modern menggunakan istilah "Injil" untuk menunjuk kepada sebuah genre hipotetis dari sastra Kristen perdana (bdk. Peter Stuhlmacher, ed., Das Evangelium und die Evangelien, Tübingen 1983, juga dalam bahasa Inggris: The Gospel and the Gospels).

Kata "injil" dipergunakan oleh Paulus sebelum kitab-kitab Injil dari kanon Perjanjian Baru ditulis, ketika ia mengingatkan orang-orang Kristen di Korintus "kepada Injil yang aku beritakan kepadamu" (1 Korintus 15:1). Melalui berita itu, Paul menegaskan, mereka diselamatkan, dan ia menggambarkannya di dalam pengertian yang paling sederhana, sambil menekankan penampakan Kristus setelah kebangkitan (15:3-8):

(19)

terhubung antara satu dengan yang lain, sehingga untuk memahami empat kitab Injil dalam perjanjian yaitu Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes harus dipahami secara keseluruhan88 dengan dasar yang kuat dari isi kitab Perjanjian Lama dan bagaimana injil itu bekerja melalui surat-surat Rasul Paulus serta Kitab-kitab lain dalam Perjanjian Baru, sehingga dapat di simpulkan bahwa Injil adalah keseluruhan Alkitab, hal ini senada dengan pendapat Stair yang adalah Juris sekaligus penulis Institusional dalam bidang hukum Skotlandia dengan pendapatnya bahwa Common Law atau the Bible adalah Injil.89 Dan inti dari Injil Adalah Yesus Kristus.

A.5.2.

Syariah

Hukum Muslim (Muslem Law) atau Hukum Islam (Islamic Law), di Arab disebut “syariah”90 (jalan yang benar). Menurut logat (bahasa) syariat berarti jalan, jalan ke mata air, jalan ke tempat bersiram atau jalan yang harus dituruti oleh umat Islam.91 Dikarenakan bagi orang Arab dengan kondisi tanah yang sebagian besar terdiri dari gurun pasir adalah sangat penting untuk mengetahui jalan yang menuju ke mata air. Begitu pula pentingnya syariat bagi umat Islam.

Hukum suci Islam adalah sekumpulan aturan keagamaan yang mengatur perilaku kehidupan orang Islam dalam seluruh aspek yang didalamnya terdiri dari

88 Triawan Wicaksono, Jaminan Yang Pasti: Bahan Pemahaman Alkitab Kelompok

Tumbuh Bersama, Perkantas Salatiga, Salatiga, 2011, Hlm. 60.

89 Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Dari Ilmu Hukum, Hlm.3.

90 Michael Bogdan, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum (Comparative Law), Nusa

Media, Bandung, 2010, Hlm. 289.

91 Mohd. Idris Ramulyo, ASAS-ASAS HUKUM ISLAM: Sejarah Timbul dan

(20)

atas hukum-hukum yang sama mengenai ibadah ritual, seperti aturan politik dan aturan hukum.92

Ada dua pandangan besar yang mengartikan syariat yaitu Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi “syariat adalah semua yang diajarkan oleh

nabi besar Muhammad saw, yang bersumber pada wahyu Allah. Hal ini adalah tidak lain sebagai bagian dari ajaran Islam.”93 Dan menurut Mazhab Syafi’i “syariat merupakan aturan-aturan lahir batin bagi umat Islam yang bersumber pada wahyu Allah dan kesimpulan-kesimpulan (deductions) yang dapat ditarik dari wahyu Allah, dan sebagainya. Peraturan-peraturan lahir ini mengenai bagaimana cara manusia berhubungan dengan Allah dan dengan sesama mahkluk lain selain manusia.”94 Sehingga dapat di simpulkan bahwa syariat adalah setiap pengajaran Nabi Muhammad yang bersumber pada wahyu Allah yang di dalamnya mengatur cara pergaulan manusia dengan Allah, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan lingkungan.

Sumber utama dan tertinggi hukum muslim adalah Al-Qur’an, kitab suci umat Islam.95 Berikutnya dalam hierarki sumber hukum Islam terdapat Sunnah, yang merupakan penjelasan tentang ucapan, perbuatan, dan tingkah laku Nabi, yang ditulis dalam hadis.96 Alquran dan hadis merupakan bagian dari agama Islam dalam arti luas97

92 Joseph Shacht, Pengantar Hukum Islam, Nuansa, 2010, Hlm. 21. Diterjemahkan dari

Joseph Shacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford University Press, London, 1965).

93 Mohd. Idris Ramulyo, Op.Cit., Hlm. 8. 94 Ibid.

95 Michael Bogdan, Op.Cit., Hlm. 291. 96 Ibid.

(21)

Sumber hukum selanjutnya adalah ijma’, yaitu, pendapat-pendapat yang diterima secara umum di kalangan orang beriman, terutama cendekiawan hukum yang menafsirkan dua sumber hukum utama yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.98

Hukum Muslim adalah sistem aturan-aturan hukum agama.99 Hukum Muslim memuat sejumlah firman dan larangan yang tidak ada hubungannya dengan sanksi hukum yang sebenarnya, sehingga di mata Barat, firman dan larangan itu lebih termasuk ranah agama atau moral.100

Dikarenakan fakta bahwa dua sumber hukum Islam primer dan fundamental berasal dari Tuhan (Qur’an) atau dari Rasul-Nya Muhammad (Sunnah), dan bahwa

segala sesuatu baik yang terjadi maupun belum terjadi sudah ada hukumnya dalam Alquran, baik itu secara langsung atau tidak langsung101 maka keduanya dianggap oleh umat muslim yang beriman sebagai sah dan tetap selama-lamanya.102

B.

Kerangka Normatif

B.1.

Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

B.1.1.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang No 10 Tahun 2004 Meliputi:

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

98 Michael Bogdan, Op.Cit., Hlm. 292. 99 Ibid. Hlm. 289.

100 Ibid. Hlm. 290.

(22)

c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. Dapat dilaksanakan;

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. Kejelasan rumusan; dan

g. Keterbukaan.

Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan. (Pasal 5)

Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas: a. pengayoman;

(23)

f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Selain asas sebagaimana dimaksud pada Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan (Pasal 6)

B.1.2.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

h. kejelasan tujuan;

i. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

j. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

k. dapat dilaksanakan;

l. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

m. kejelasan rumusan; dan

n. keterbukaan. (Pasal 5)

(24)

a. pengayoman;

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

f. bhinneka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Selain mencerminkan asas di atas Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan (Pasal 6)

B.2.

Legalitas Peraturan Perundang-Undangan

(25)

B.2.1.

Legalitas Formil

B.2.1.1.

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004

Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari dewan perwakilan rakyat daerah atau gubernur, atau bupati/walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota (Pasal 26 UU 10/2004). Rancangan tersebut dapat disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat daerah yang khusus menangani bidang legislasi (Pasal 28 ayat (1) UU 10/2004).

Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh gubernur atau bupati/walikota disampaikan dengan surat pengantar gubernur atau bupati/walikota kepada dewan perwakilan rakyat daerah oleh gubernur atau bupati/walikota), untuk

rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh dewan perwakilan rakyat daerah disampaikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kepada gubernur atau bupati/walikota (Pasal 29 UU 10/2004).

Apabila dalam satu masa sidang, gubernur atau bupati/walikota dan dewan perwakilan rakyat daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah, mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh dewan perwakilan rakyat daerah, sedangkan rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh gubernur atau bupati/walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan (Pasal 31 UU 10/2004).

(26)

daerah yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna (Pasal 40 UU 10/2004)

Rancangan peraturan daerah dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota. Asalkan sudah mendapat persetujuan bersama dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota (Pasal 41 UU 10/2004).

Rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota disampaikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah kepada gubernur atau bupati/walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah dalam jangka waktu paling lambat tujuh hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama (Pasal 42 UU 10/2004).

Rancangan peraturan daerah ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat tiga puluh hari sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama oleh dewan perwakilan rakyat daerah dan gubernur atau bupati/walikota. Jika dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak rancangan peraturan daerah tersebut disetujui bersama, rancangan peraturan daerah tidak ditandatangani oleh gubernur atau bupati/walikota maka rancangan peraturan daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan. Dengan kalimat pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah. Yang dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah ke dalam Lembaran Daerah (Pasal 43 UU 10/2004).

(27)

Daerah (Pasal 45 UU 10/2004). Selanjutnya Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dan peraturan di bawahnya yang telah diundangkan dalam Berita Daerah (Pasal 52 UU 10/2004).

B.2.1.2.

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011

Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam Prolegda (Pasal 32 Jo 39 Jo 40 UU 12/2011). Prolegda memuat program pembentukan Peraturan Daerah dengan judul Rancangan Peraturan Daerah Provinsi atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang meliputi:

a. latar belakang dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan;

c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan d. jangkauan dan arah pengaturan.

Setelah melalui pengkajian dan penyelarasan materi-materi di atas kemudian dituangkan dalam Naskah Akademik (Pasal 33 Jo Pasal 39 Jo Pasal 40 UU 12/2011).

(28)

Pasal 40 UU 12/2011) Penyusunan daftar rancangan peraturan daerah didasarkan atas:

a. perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi; b. rencana pembangunan daerah;

c. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan d. aspirasi masyarakat daerah. (Pasal 35 Jo 39 Jo 40 UU 12/2011).

Dalam penyusunan Prolegda baik itu antara DPRD dengan Pemerintah Daerah atau penyusunan dalam lingkup DPRD dikoordinasikan oleh DPRD melalui alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. Sedangkan penyusunan Prolegda di lingkungan Pemerintah Daerah dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal terkait (Pasal 36 Jo 39 Jo 40 UU 12/2011). Hasil penyusunan Prolegda antara DPRD dan Pemerintah Daerah, disepakati menjadi Prolegda dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD, melalui Keputusan DPRD (Pasal 37 Jo 39 Jo 40 UU 12/2011).

Dalam Prolegda dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: a. akibat putusan Mahkamah Agung; dan

b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Kemudian dalam keadaan tertentu, DPRD atau Gubernur, Bupati/Walikota dapat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah di luar Prolegda:

a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; b. akibat kerja sama dengan pihak lain; dan

(29)

kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi dan biro hukum (Pasal 38 Jo 39 Jo 40 UU 12/2011).

Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari DPRD atau Gubernur, Bupati/Walikota. Rancangan Peraturan Daerah tersebut harus disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. Dengan rancangan mengenai:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; b. pencabutan Peraturan Daerah; atau

c. perubahan Peraturan Daerah yang hanya terbatas mengubah beberapa materi, disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur (Pasal 56 Jo 63 UU 12/2011).

Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik (Pasal 57 Jo 63 UU 12/2011).

Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. Jika asalnya dari Gubernur maka yang mengkoordinasi adalah biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum (Pasal 58 Jo 63 UU 12/2011).

(30)

disiapkan oleh Gubernur disampaikan dengan surat pengantar Gubernur kepada pimpinan DPRD Provinsi (Pasal 61 Jo 63 UU 12/2011).

Apabila dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan Gubernur menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh Gubernur digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan (Pasal 62 Jo 63 UU 12/2011).

Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah dilakukan oleh DPRD bersama Gubernur atau Bupati/Walikota. Dalam tingkatan rapat komisi/ panitia/ badan/ alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna (Pasal 75 Jo 77 UU 12/2011). Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik

kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur atau Bupati Walikota dalam hal telah memenuhi persetujuan bersama DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota (Pasal 76 Jo 77 UU 12/2011).

Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. Dengan tata cara penyampaian dilakukan dalam jangka waktu paling lama tujuh hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama (Pasal 78 Jo 80. UU 12/2011).

(31)

Gubernur atau Bupati/Walikota tidak menandatangani, maka Rancangan Peraturan Daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib diundangkan dengan tambahan kalimat pengesahan: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah pada halaman terakhir Peraturan Daerah Provinsi sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah Provinsi dalam Lembaran Daerah (Pasal 79 Jo 80 UU 12/2011).

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang- undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam: Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah (Pasal 81 UU 12/2011). Khusus untuk Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah (Pasal 86 UU 12/2011) dan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada saat itu juga, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan (Pasal 87 UU 12/2011).

Naskah Peraturan Perundang-undangan yang disebarluaskan harus merupakan salinan naskah yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, dan Berita Daerah (Pasal 95 UU 12/2011).

B.2.2.

Legalitas Materiil

B.2.2.1.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

(32)

a. mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:

1. hak-hak asasi manusia;

2. hak dan kewajiban warga negara;

3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;

4. wilayah negara dan pembagian daerah; 5. kewarganegaraan dan kependudukan; 6. keuangan negara.

b. diperintahkan oleh suatu Undang untuk diatur dengan Undang-Undang. (pasal 8, 9)

Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya (Pasal 10). Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. (Pasal 11).

(33)

B.2.2.2.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:

a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;

c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

d. tindak lanjutatas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. (Pasal 10 Jo 11). Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya (Pasal 12). Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. (Pasal 13)

(34)

B.3.

Kewenangan Daerah Otonom

Sebagai daerah otonom pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, berwenang untuk membuat peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.103 Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan urusan-urusan pemerintahan yang oleh undang-undang menjadi urusan pemerintah pusat, dimana dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2008 yang menjadi urusan pemerintah pusat, adalah meliputi:

1. Politik luar negeri. 2. Pertahanan. 3. Keamanan. 4. Yustisi.

5. Moneter dan fiskal nasional. 6. Agama. (Pasal 10 UU 32/2004)

Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah dalam mengurus pemerintahan dibagi atas dua yaitu hal yang merupakan urusan wajib berupa penyelenggaraan pemerintahan yang berdasar pada jaminan standar pelayanan minimum dan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan yang di dalamnya berupa urusan pemerintahan yang berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.104 Sehingga berdasarkan urusan pemerintahan yang wajib, kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi:

(35)

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;

b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. penanganan bidang kesehatan;

f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;

h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;

i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;

j. pengendalian lingkungan hidup;

k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;

m.pelayanan administrasi umum pemerintahan;

n. pelayananadministrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan

oleh kabupaten/kota ; dan

p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

(36)

C.

Hasil Penelitian

Untuk mengetahui bahwa sebuah peraturan daerah mengandung materi muatan atau bermuatan materi keagamaan tentunya sebelum itu harus dipahami dulu apa yang dimaksud dengan bermuatan materi keagamaan dan apa unsur-unsur dari kata keagamaan tersebut.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen bagian penjelasan BAB XI tentang Agama bahwa Pasal 29 ayat (1) “Ayat ini menyatakan kepercayaan

bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa.” Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia Agama adalah “ajaran, sistem yg mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.” Dari dua sumber di atas jika digabungkan maka pengertian agama adalah ajaran yang di dalamnya memuat sistem kepercayaan bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa serta tata kaidah pergaulan antar masyarakat dan lingkungan.

Sebagaimana juga telah dikemukakan dalam bab 1 bahwa mengenai hal keagamaan di Indonesia penanganannya di lakukan oleh departemen yang khusus menangani hal keagamaan yaitu Departemen keagamaan, maka dari itu untuk mengetahui pengertian keagamaan akan sangat membantu bila kita melihat pada apa yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari departemen keagamaan. Sehingga sebuah peraturan daerah dapat dikatakan bermuatan materi keagamaan apabila di dalamnya memuat substansi berupa upaya untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang taat beragama, rukun, cerdas, mandiri dan sejahtera lahir batin.105

(37)

Kemudian secara spesifik memenuhi minimal satu unsur dari unsur-unsur sebagai berikut:

a. Mengatur peningkatan kualitas kehidupan beragama. b. Mengatur peningkatan kualitas kerukunan umat beragama.

c. Mengatur peningkatan kualitas raudhatul athfal, madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan.

d. Mengatur peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji.106

Berikut akan dibahas peraturan daerah yang bermuatan materi keagamaan dari tingkatan provinsi kabupaten dan kota, yang masing-masing tingkatan diambil satu peraturan daerah untuk diteliti apakah peraturan daerah tersebut memenuhi kriteria di atas mengenai muatan keagamaan.

[image:37.595.97.518.171.652.2]

C.1.

Peraturan Daerah Provinsi

Tabel 12. Peraturan Daerah Provinsi

Provinsi Nomor Tahun Tentang

Peraturan Daerah Provinsi Sumatra

Barat

Nomor 7

Tahun

2005 Tentang Pandai baca Tulis Al-Qur'an Peraturan Daerah

Provinsi Gorontalo

Nomor 22

Tahun 2005

Tentang Wajib Baca Tulis Al-Quran Bagi Siswa Yang Beragama Islam Peraturan Daerah

Provinsi Sulawesi Selatan

Nomor 4

Tahun

2006 Tentang Pendidikan Al-Qur'an Peraturan Daerah

Provinsi Riau

Nomor 2

Tahun

2009 Tentang Pengelolaan Zakat

Berikut adalah salah satu peraturan daerah provinsi sebagai sample yang dipilih dari table di atas yang kemudian diteliti apakah peraturan daerah tersebut

(38)

memenuhi kriteria sebagai sebuah peraturan yang muatannya bermateri keagamaan dan apa saja kriteria sebuah peraturan daerah dapat dikategorikan sebagai peraturan daerah yang bermuatan materi keagamaan.

Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Zakat Setelah mendefinisikan peraturan daerah yang bermuatan materi keagamaan, ketika pengertian tersebut dicocokkan dengan Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Zakat. Yang akan dibahas beberapa pasal yang secara eksplisit mencirikan agama tertentu sebagai berikut

Menimbang a. bahwa menunaikan zakat merupakan kewajiban umat Islam yang mampu dan pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial sebagai salah satu upaya mengurangi angka kemiskinan;

Pasal 1 penjelasan umum angka 9, 12 dan 26 serta 27

9. Zakat adalah harta yang wajib disisihkan/dikeluarkan/ditunaikan oleh orang muslim atau Badan Usaha yang dimiliki orang muslim sesuai dengan ketentuan agama Islam untuk diberikan kepada yang berhak menerima zakat.

12.Shadaqah adalah harta yang dikeluarkan oleh seorang Muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim di luar zakat untuk kemaslahatan umum. 26.Muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang

berkewajiban menunaikan Zakat.

27.Mustahiq adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat sebagaimana ditentukan oleh hukum Islam.

Pasal 2

Pengelolaan Zakat, infaq dan shadaqoh berdasarkan iman dan taqwa. keterbukaan dan kepastian hukum sesuai hukum Islam, Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3

Pengelolaan zakat bertujuan:

a. Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan Zakat, Infaq, Shadaqoh sesuai dengan tuntutan agama Islam.

Pasal 5 ayat (3)

(1) Perhitungan Zakat Mal menurut Nisab dan Haul, Kadar dan waktunya ditetapkan berdasarkan hukum agama Islam.

Pasal 17 ayat (3)

(39)

Dengan melihat dari pasal-pasal di atas pada intinya zakat adalah kewajiban umat muslim yang berdasarkan ketentuan hukum islam, tujuan peraturan daerah ini adalah untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat muslim dalam menunaikan zakat. Dan pada bagian sanksi dalam hal tidak ditunaikannya zakat maka si wajib zakat tersebut akan dikenakan sanksi. Maka adalah tepat jika peraturan daerah ini mengkategorikan bermuatan materi keagamaan.

C.2.

Peraturan Daerah Kabupaten

[image:39.595.99.515.214.706.2]

Berikut peraturan daerah bermuatan materi keagamaan yang dirunut dari tahun 2002 sampai tahun 2013 dengan pembagian empat pembagian waktu yaitu antara 2002 sampai 2004, 2005 sampai 2008, 2009 sampai 2011 dan 20012 sampai 2013.

Table 13. Peraturan Daerah Kabupaten Tahun 2002 Sampai 2004.

Kabupaten Nomor Tahun Tentang

Peraturan Daerah

Kabupaten Solok Nomor 6

Tahun 2002

Tentang Berpakaian Muslim Dan Muslimah Di Kabupaten Solok

Peraturan Daerah Kabupaten Pasaman Nomor 22 Tahun 2003

Tentang Berpakaian Muslim Dan Muslimah Bagi Siswa, Mahasiswa Dan Karyawan Peraturan Daerah

Kabupaten Bulukumba Nomor 5

Tahun 2003

Tentang Berpakaian Muslim Dan Muslimah Di Kabupaten Bulukumba

Peraturan Daerah Nanggoerh Aceh

Darussalam

Nomor 7 Tahun

2004 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah Kabupaten Bukit Tinggi

Nomor 29

Tahun 2004

Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh

Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir

Selartan

Nomor 8 Tahun 2004

Tentang Pandai Baca Tulis Al-Qur'an Provinsi Bengkulu

Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 77 Tahun 2004

Tentang Pendidikan Madrasah Diniyah Awaliyah

Peraturan Daerah

Kabupaten Banjar Nomor 5

Tahun 2004

Tentang Ramadan (Perubahan Peraturan Daerah Ramadan Nomor 10 tahun 2001) Peraturan Daerah

Kabupaten Banjar Nomor 4

Tahun 2004

Tentang Khatam Al-Qur'an bagi Peserta Didik pada Pendidikan Dasar dan Menengah

Peraturan Daerah Kabupaten Dompu Nomor 11 Tahun 2004

(40)
[image:40.595.102.513.101.716.2]

Tabel 14. Peraturan Daerah Kabupaten Tahun 2005 Sampai 2008.

Kabupaten Nomor Tahun Tentang

Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir

Selatan

Nomor 4 Tahun

2005 Tentang berpakaian Muslim dan Muslimah

Peraturan Daerah

Kabupaten Agam Nomor 6

Tahun

2005 Tentang berpakaian Muslim Peraturan Daerah

Kabupaten Agam Nomor 5

Tahun

2005 Tentang Pandai baca Tulis Al-Qur'an Peraturan Daerah

Kabupaten Solok Selatan

Nomor 6 Tahun 2005

Tentang Berpakaian Muslim Dan Muslimah Di Kabupaten Solok Selatan

Peraturan Daerah

Kabupaten Bandung Nomor 9

Tahun

2005 Tentang Zakat, Infaq, dan Shadaqoh. Peraturan Daerah

Kabupaten Sukabumi

Nomor 12

Tahun

2005 Tentang Pengelolaan Zakat Peraturan Daerah.

Kabupaten Sidoarjo Nomor 4

Tahun 2005

Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh

Peraturan Daerah

Kabupaten Banjar Nomor 8

Tahun

2005 Tentang Jum'at Khusyu' Peraturan Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Nomor 19 Tahun

2005 Tentang Zakat, Infaq, dan Shadaqoh

Peraturan Daerah Kabupaten Maros

Nomor 16

Tahun

2005 Tentang Berpakaian Muslim Dan Muslimah Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 15 Tahun 2005

Tentang Gerakan Buta Aksara dan pandai Baca Al-Qur'an dalam Wilayah Kabupaten Maros Peraturan Daerah

Kabupaten Maros

Nomor 17

Tahun

2005 Tentang Pengelolaan Zakat Peraturan Daerah

Kabupaten Enrekang Nomor 6

Tahun

2005 Tentang Busana Muslim Peraturan Daerah

Kabupaten Kampar Nomor 2

Tahun 2006

Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh

Peraturan Daerah

Kabupaten Bangka Nomor 4

Tahun 2006

Tentang pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqoh Peraturan Daerah Cianjur Nomor 15 Tahun 2006

Tentang Pemakaian Dinas Harian Pegawai di Lingkungan Pemerintahan Kabupaten Cianjur Peraturan Daerah

Kabupaten Pasuruan Nomor 4

Tahun 2006

tentang Pengaturan Membuka Rumah Makan, Rombong dan sejenisnya pada Bulan Ramadan Peraturan Daerah

Kabupaten Banjar Nomor 5

Tahun 2006

Tentang Penulisan Identitas dengan Huruf Arab Melayu (LD No. 5 tahun 2006 Seri E Nomor 3) Peraturan Daerah Kabupaten Polewali Mandar Nomor 14 Tahun 2006

Tentang Gerakan Masyarakat Islam Baca Al-Qur'an

Peraturan Daerah Kabupaten Padang

Panjang

Nomor 7 Tahun

2008 Tentang Zakat

Peraturan Daerah Kabupaten Bungo

Nomor 23

Tahun

2008 Tentang Pengelolaan Zakat Peraturan Daerah

Kabupaten Kutai Kartanegara

Nomor 9 Tahun 2008

(41)
[image:41.595.102.516.107.697.2]

Tabel 15. Peraturan Daerah Kabupaten Tahun 2009 Sampai 2011.

Kabupaten Nomor Tahun Tentang

Peraturan Daerah Kabupaten Bondowoso Nomor 11 Tahun

2009 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Utara Nomor 4 Tahun 2009

Tentang Bebas Buta Baca Tulis Huruf

Alqur’an Bagi Anak Usia Sekolah Dan

Masyarakat Yang Beragama Islam Di Kabupaten Konawe Utara

Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 6 Tahun 2010

Tentang Kewajiban Pandai Baca Tulis Al

Qur’an Dan Mendirikan Shalat Bagi Anak Usia Sekolah Yang Beragama Islam Peraturan Daerah Kabupaten Indagiri Hulu Nomor 4 Tahun 2010

Tentang Pandai Baca Tulis Al Qur’an Bagi

Peserta Didik Pada Pendidikan Dasar, Pendidikan Menegah dan Calon Pengantin. Peraturan Daerah

Kabupaten Tapin

Nomor 13

Tahun

2010 Tentang Pengelolaan Zakat Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 1 Tahun 2011

Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq Dan Shadaqah Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 13 Tahun

2011 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah Kabupaten Banjarnegara Nomor 10 Tahun

2011 Tentang Pengelolaan Zakat

Tabel 16. Peraturan Daerah Kabupaten Tahun 2012 Sampai 2013.

Kabupaten Nomor Tahun Tentang

Peraturan Daerah Kabupaten Rokan Hulu Nomor 7 Tahun

2012 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 4 Tahun

2012 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara Nomor 2 Tahun 2012

Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, Shodaqoh Dan Wakaf

Peraturan Daerah Kabupaten Wajo

Nomor 22

Tahun

2012 Tentang Pengelolaan Zakat Peraturan Daerah

Kabupaten Siak

Nomor 6

Tahun

2013 Tentang Pengelolaan Zakat Peraturan Daerah Kabupaten Batang Hari Nomor 17 Tahun 2013

Tentang Kewajiban Mampu Baca Tulis

Al-Qur’an Dan Melaksanakan Shalat Fardlu

(42)

Peraturan Daerah Kabupaten Solok Selatan Nomor: 6 Tahun 2005 Tentang Berpakaian Muslim Dan Muslimah Di Kabupaten Solok Selatan. Berikut anatomi dari Peraturan daerah ini pasal-pasal mana saja yang memuat ajaran agama tertentu sehingga peraturan daerah ini dapat dikategorikan bermuatan materi keagamaan.

Pasal 1

6. Pakaian Muslim dan Muslimah adalah pakaian yang bercirikan Islam.

Pasal 2

Maksud Berpakaian Muslim dan Muslimah bagi masyarakat merupakan perwujudan seseorang atau masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala serta taat mengamalkan Agama Islam sekaligus melestarikan pakaian adat.

Pasal 3

Tujuan berpakaian Muslim dan Muslimah adalah:

1) Membentuk sikap sebagai seorang Muslim dan Muslimah yang baik dan berakhlak mulia;

2) Membiasakan diri berpakaian Muslim dan Muslimah dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan berkeluarga maupun di hadapan umum;

3) Menciptakan masyarakat yang mencintai Budaya Islam dan Budaya Minangkabau;

4) Melestarikan fungsi adat sesuai dengan pituah “syara’ mangato adat memakai”.

Pasal 4

Fungsi berpakaian Muslim dan Muslimah adalah untuk menjaga kehormatan dan harga diri, sebagai identitas Muslim dan Muslimah, serta untuk menghindari kemungkinan terjadinya ancaman dan gangguan dari pihak lain.

Pasal 5

Setiap Siswa/Siswi SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA, SMK dan Karyawan/ Karyawati diwajibkan berbusana Muslim dan Muslimah, sedangkan bagi Mahasiswa/Mahasiswi TNI dan Polri dan masyarakat umum adalah bersifat himbauan.

Pasal 6

(43)

a. Kantor-kantor Pemerintah dan Swasta;

b. Sekolah-sekolah Negeri dan Swasta, mulai dari SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK;

c. Lembaga-lembaga Pendidikan Sekolah dan Luar Sekolah; d. Acara-acara resmi;

(2) Bagi TNI Polri, Mahasiswa/Mahasiswi dan masyarakat umum dihimbau untuk berpakaian muslim dan muslimah dalam kehidupan sehari-hari termasuk pada acara hiburan umum.

Pasal 7

(1) Ketentuan mengenai pakaian Muslim dan Muslimah bagi Karyawan/ Karyawati pada Kantor Pemerintah dan Swasta sebagaimana tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut :

A. KARYAWAN :

1) Memakai celana panjang ;

2) Memakai baju lengan panjang / pendek. B. KARYAWATI :

1) Memakai baju lengan panjang yang menutupi pinggul;

2) Memakai rok atau celana panjang yang menutupi sampai mata kaki; 3) Memakai kerudung yang menutupi rambut, telinga, leher, tengkuk dan

dada.

(2) Pakaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tembus pandang, dan tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh (tidak ketat), serta pusar tidak terbuka. (3) Ketentuan mengenai Model Pakaian Muslim dan Muslimah diatur lebih lanjut

dengan Keputusan Bupati.

Pasal 8

(1) Ketentuan memakai Pakaian Muslim dan Muslimah bagi Siswa / Siswi sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf b adalah sebagai berikut : A. LAKI-LAKI :

1) Memakai celana panjang;

2) Memakai baju lengan panjang / pendek. B. PEREMPUAN :

Memakai baju lengan panjang yang menutup pinggul dan dada yang dalamnya sampai lutut;

1) Memakai rok atau celana panjang yang menutupi sampai mata kaki; 2) Memakai kerudung yang menutup rambut, telinga, leher dan tengkuk

serta dada.

(2) Pakaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tembus pandang dan tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh (tidak ketat) serta pusar tidak terbuka. (3) Ketentuan mengenai model pakaian diatur lebih lanjut dengan Keputusan

(44)

Pasal 11

Setiap pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Daerah ini dikenakan sanksi sebagai berikut:

a. Bagi Karyawan / Karyawati / Dosen / Guru-guru dikenakan sanksi dengan ketentuan Disiplin Pegawai.

b. Bagi Siswa / Siswi dikenakan sanksi secara bertingkat sebagai berikut : 1) ditegur secara Lisan;

2) ditegur secara tertulis;

3) diberitahukan kepada orang tua;

4) tidak dibolehkan mengikuti pelajaran di sekolah; 5) dikeluarkan / dipindahkan dari sekolah.

c. Bagi Panitia yang menyelenggarakan Acara Resmi, dikenakan sanksi berupa teguran secara lisan agar Panitia menertibkan undangan;

Pasal 14

(1) Peraturan Daerah ini hanya berlaku bagi masyarakat yang beragama Islam dan berdomisili dan atau bekerja di daerah Kabupaten Solok Selatan.

(2) Bagi Karyawan / Karyawati, Mahasiswa / Mahasiswi, Siswa / Siswi dan Pelajar serta masyarakat yang tidak beragama Islam busananya menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku bagi agama masing-masing.

(45)
[image:45.595.100.515.122.738.2]

C.3.

Peraturan Daerah Kota

Tabel 17. Peraturan Daerah Kota Tahun 2004 Sampai 2009.

Kota Nomor Tahun Tentang

Peraturan Daerah Kota Banjarmasin

Nomor 31

Tahun

2004 Tentang Pengelolaan Zakat Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2005

Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 13 Tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan Pada Bulan Ramadan Peraturan Daerah Kota Kendari Nomor 17 Tahun 2005

Tentang Bebas Buta Aksara Al-Qur'an pada Usia Sekolah dan Bagi masyarakat Islam di Kota Kendari Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 1 Tahun 2006

Tentang Madrasah diniyah Awwaliyah Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 5 Tahun

2006 Tentang Zakat Peraturan Daerah

Kota Batam

Nomor 3

Tahun

2009 Tentang Pengelolaan Zakat Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 12 Tahun 2009

Tentang Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Yang Berlandaskan Pada Ajaran Agama Islam Dan Norma-Norma Sosial Masyarakat Kota Tasikmalaya Peraturan Daerah

Kota Semarang

Nomor 7

Tahun

2009 Tentang Pengelolaan Zakat Tabel 18. Peraturan Daerah Kota Tahun 2010 Sampai 2011.

Kabupaten Nomor Tahun Tentang

Peraturan Daerah Kota Padang

Nomor 02

Tahun

2010 Tentang Pengelolaan Zakat Peraturan Daerah Kota Mojokerto Nomor 3 Tahun 2010

Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq Dan Shodaqoh Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 11 Tahun

2010 Tentang Pengelolaan Zakat

Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2010

Tentang Wajib Baca Tulis Al-Quran Bagi Siswa Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah, Siswa Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah Dan Siswa Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah / Sekolah Menengah

Kejuruan Serta Calon Pengantin Yang Beragama Islam

Peraturan Daerah Kota Ternate

Nomor 30

Tahun

(46)

Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Wajib Baca Tulis Al-Quran Bagi Siswa Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah, Siswa Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah Dan Siswa Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah / Sekolah Menengah Kejuruan Serta Calon Pengantin Yang Beragama Islam

Untuk mengkategorikan peraturan daerah ini sebagai peraturan daerah yang bermuatan materi keagamaan secara sepintas memang langsung dapat dilihat dari judulnya saja, namun Selain dapat dilihat dari judul peraturan daerah ini dalam batang tubuhnya juga terdapat banyak pasal yang sangat kental dengan kaidah keagamaan, berikut pasal-pasal yang bersifat keagamaan.

Menimbang : a. bahwa AI-Quran adalah kitab suci yang diturunkan Allah

Subhanahu wata’ala kepada Nabi Muhammad, sebagai salah satu Rahmat yang tiada taranya bagi alam semesta, didalamnya terkumpul wahyu Ilahi yang menjadi dasar hukum, petunjuk, pedoman dan pelajaran serta ibadah bagi orang yang membaca, mempelajari, mengimani serta mengamalkannya;

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Daerah Kota Banjarmasin;

2. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Banjarmasin;

3. Wajib Baca adalah kemampuan seseorang untuk membaca huruf atau lambang, baik huruf arab atau latin dan sebagainya;

4. Al-Qur'an adalah Kitab Suci yang berisi wahyu Allah SWT yang diturunkanNya melalui Nabi Muhammad Rasulullah SAW dengan perantaraan Malaikat Jibril dan membacanya menjadi ibadah;

5. Wajib Baca Tulis Al-Qur'an adalah upaya untuk menjadikan siswa dan masyarakat pandai baca tulis Al-Qur’an denga

Gambar

Tabel 12. Peraturan Daerah Provinsi Provinsi Nomor Tahun
Table 13. Peraturan Daerah Kabupaten Tahun 2002 Sampai 2004.
Tabel 14. Peraturan Daerah Kabupaten Tahun 2005 Sampai 2008. Nomor
Tabel 15. Peraturan Daerah Kabupaten Tahun 2009 Sampai 2011. Nomor
+2

Referensi

Dokumen terkait

54 dan Tahun 2010 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Dokumen Pengadaan, Addendum dan Laporan Hasil Evaluasi Pelelangan, maka oleh Pokja Unit Layanan

Political Tendency Areas Ethnics/ language Historical relationship Religion- Politics relationship Old Order New Order Post New Order Mataraman (Madiun, Magetan,

Salah satu cara yang dapat dilakukan auditor dalam mendeteksi ada tidaknya fraud adalah dengan menggunakan Teknik Audit Berbantuan Komputer (TABK). Penggunaan TABK

Pada tahun 2008, UNICEF ( United Nations Children’s Fund) menyatakan bahawa terdapat sebuah negara yang mempunyai jangka hayat yang paling tinggi iaitu negara Jepun. Hal

Penyusunan Laporan Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program studi Sistem Informasi S-1 pada Fakultas Tehnik Universitas Muria Kudus..

Dari hasil pengujian diperoleh kekerasan material awal 210 VHN untuk AISI 304 dan 143 VHN untuk baja karbon rendah, sedangkan kekerasan optimum diperoleh untuk nitridasi plasma pada

Selain itu, penelitian terdahulu memiliki kajian yang lebih sempit karena hanya menggunakan empat bauran promosi yaitu periklanan, promosi

kelompok yang besar, maka birokrasi mula wujud dalam sistem pemerintahan kerajaan.. GFPA 1013 Pengantar Sains Politik.. 2.0 SEJARAH AWAL PENTADBIRAN DAN BIROKRASI