SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagi persyaratan memper oleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum UPN “Veteran” J awa Timur
Oleh :
SRI ENDANG KUSDIARINI
NPM: 0871010069
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SURABAYA
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dan segala rahmat serta Hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal Skripsi ini dengan judul “Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Tidak disahkan Menur ut Undang - Undang No. 1 Tahun 1974”.
Penulisan skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan sesuai kurikulum di fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Disamping itu dapat memberikan hal-hal yang berkaitan dengan disiplin ilmu dalam penulisan skripsi.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan semua pihak yang telah memberikan bimbingan, kesempatan, sarana dan prasarananya kepada penulis selama melaksanakan penulisan skripsi. Pada kesempatan ini dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar - besarnya kepada :
1. Bapak Haryo Sulistiyantoro, SH, M.M selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Sutrisno, SH, M.Hum selaku Wadek I Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Bapak Drs. Ec. Gendut Soekarno, MS selaku Wadek II Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
dan memberikan pencerahan kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur.
7. Segenap karyawan dan Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
8. Dari lubuk hati yang paling dalam, penulis sampaikan rasa hormat dan bangga serta terima kasih yang tiada terhingga kepada kedua orang tuaku, yang telah membesarkan, mendidik, menasehati dan pemberi semangat, serta mendoakan yang tiada henti - hentinya untuk keselamatan dan kesuksesan penulis.
9. Teman-teman yang selalu memberi masukan serta dukungannya dalam pembuatan skripsi ini.
10.Sahabat-sahabatku yang selalu memberikan saran serta motivator dan semangat kepada penulis : Cecilia Florida S, Komang Putri, Ratih diah, Merrys Hany, Nita, Joko Wiratmono.
Penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun agar dalam proses penulisan yang akan datang bisa menjadi jauh lebih baik.
ilmu yang nantinya bisa berguna dalam kehidupan mayarakat. Amin
Surabaya, Juni 2013
HALAMAN J UDUL ... i
HALAMAN PERSETUJ UAN UNTUK MENGIKUTI UJ IAN SKRIPSI . ii HALAMAN PERSETUJ UAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI………… . iii
HALAMAN PERSETUJ UAN DAN REVISI SKRIPSI……… iv
SURAT PERNYATAAN………. v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR LAMPIRAN……… viii
ABSTRAKSI ... ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 8
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Manfaat Penelitian ... 8
1.5 Pengertian Perkawinan ... 9
1.5.1 Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 ... 9
1.5.2 Perkawinan Menurut KUHPerdata ... 10
1.5.3 Menurut Para Ahli Hukum ... 13
1.5.4 Pengertian Perjanjian Perkawinan ... 14
1.5.5 Dasar Hukum Perjanjian Perkawinan ... 17
1.5.6 Syarat Perjanjian Perkawinan ... 20
1.5.7 Tujuan Perjanjian Perkawinan ... 21
1.6.1 Sumber Data ... 25
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data ... 26
1.6.3 Teknik Analisis Data ... 27
1.6.4 Sistematika Penulisan ... 28
BAB II PELAKSANAAN PERJ ANJ IAN PERKAWINAN 2.1 Terjadinya Perjanjian Perkawinan ... 31
2.2 Analisa Pelaksanaan Perjanjian Perkawinan ... 42
BAB III AKIBAT HUKUM PERJ ANJIAN PERKAWINAN 3.1 Hak dan Kewajiban Suami-Istri Sebagai Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Didaftarkan ... 47
3.2 Kekuatan Hukum Terhadap Perjanjian Perkawinan yang Tidak Disahkan ... 56
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan ... 61
4.2 Saran ... 62
Nama Mahasiswa : Sri Endang Kusdiarini
NPM : 0871010069
Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 04 Juni 1988 Program Studi : Strata 1 (S1)
Judul Skripsi :
AKIBAT HUKUM PERJ ANJ IAN PERKAWINAN YANG TIDAK DISAHKAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974
ABST RAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak disahkan atau didaftarkan serta untuk mengetahui kekuatan hukum jika perjanjian perkawinan tersebut tidak disahkan atau didaftarkan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif . Sumber data diperoleh dari literatur-literatur, karya tulis ilmiah dan perundang-undangan yang berlaku. Analisa data menggunakan metode deduktif sebagai pegangan utama dan induktif sebagai tata kerja penunjang. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dan istri untuk mengatur akibat perkawinannya terhadap harta kekayaan mereka. Dengan dibuatnya perjanjian perkawinan maka calon suami atau istri berhak menyiapkan beberapa hal untuk menyimpangi peraturan perUndang-Undangan sekitar persatuan harta kekayaan, asalkan tidak bertentangan dengan tata susila dan ketertiban umum. Akibat hukum apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan untuk suami-istri tidak mempunyai akibat hukum yang signifikan, karena perjanjian tersebut tetap mengikat kepada kedua belah pihak. Meskipun perjanjian perkawinan itu dibuat jika perjanjian perkawinan itu tidak dicatatkan dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Ini sama halnya dengan perkawinan yang dilaksanakan secara hukum agama tapi tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah, maka perkawinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum.
1.1 Latar Belakang
Sebagai makluk sosial manusia mempunyai naluri untuk selalu ingin hidup bersama dan saling berinteraksi dengan sesamanya. Perkawinan terjadi karena adanya dorongan dari dalam diri setiap manusia untuk hidup bersama dengan manusia lainnya. Sudah menjadi kodrat alam dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan ada daya saling tarik-menarik satu sama lainnya untuk hidup bersama.1
Suatu perkawinan yang berhasil, tidak dapat diharapkan dari pasangan yang masih kurang matang, baik fisik maupun mental emosional. Hal ini karena perkawinan dituntut juga kedewasaan dan tanggung jawab serta kematangan fisik dan mental. Untuk itu, sebelum melangkah ke jenjang perkawinan harus selalu dimulai dengan suatu persiapan yang matang. Perkawinan yang hanya mengandalkan kekuatan cinta tanpa dimulai oleh persiapan yang matang, dalam perjalanannya akan banyak mengalami kesulitan. Apalagi jika perkawinan hanya bertolak dari pemikiran yang sederhana dan pemikiran emosional semata. Dalam perkawinan dibutuhkan pemikiran yang rasional dan dapat mengambil keputusan atau sikap yang matang, karena perkawinan itu sendiri
1
merupakan suatu proses awal dari perwujudan bentuk - bentuk kehidupan manusia.
Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di mana masyarakat itu berbeda serta pergaulan masyarakatnya.2 Setelah Indonesia merdeka, maka hukum tentang perkawinan belumlah diatur karena sebagai bangsa yang baru lahir, pemerintah lebih memfokuskan terhadap kedaulatan dan persatuan bangsa. Untuk mengatur perkawinan, pemerintah mengadopsi aturan dari zaman pemerintahan kolonial dimana masyarakat dibagi dalam beberapa golongan, demikian juga dalam hukum perkawinan butir-butir Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hukum perkawinan tersebut diantaranya adalah :
1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum Agama yang telah diresipir dalam Hukum Adat.
2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku Hukum Adat. 3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks
Ordonantie Christen Indonesia (S. 1993 No.74).
4. Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan.
2
5. Bagi orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan dengan adanya perbedaan budaya dan agama yang ada, maka terjadi juga perbedaan dalam hukum perkawinan yang berlaku sehingga menimbulkan kesulitan dalam mengatur hukum perkawinan, karena tidak jarang terdapat aturan yang berbeda mengenai perkawinan dalam sebuah agama dengan agama lainnya dan budaya suatu daerah dengan budaya daerah lainnya sehingga ketika terjadi perkawinan antara mereka yang berbeda aturan hukum perkawinannya sebagaimana diterangkan sebelumnya, perbedaan tersebut sering menimbulkan kesulitan baik terhadap keluarga tersebut maupun terhadap keturunannya.
adat-istiadat bangsa Indonesia dan tentunya berlaku bagi semua golongan dan daerah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka telah ada unifikasi hukum dalam perkawinan di Indonesia. Sehingga pengaturan hukum tentang perkawinan telah berlaku sama terhadap semua warga negara.
Perjanjian Kawin belum terlalu sering dilakukan oleh masyarakat kita yang menjunjung tinggi adat ketimuran. Seringkali sebagai pasangan yang hendak menikah merasa sungkan untuk membuat perjanjian kawin sebelum mereka melangsungkan pernikahan. Perjanjian Kawin yang dimaksud adalah perjanjian yang diadakan oleh calon suami dan isteri untuk mengatur akibat-akibat dari perkawinan yang akan mereka langsungkan terhadap harta masing-masing.
Perjanjian Kawin itu adalah perjanjian yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dikatakan bahwa :
Intinya Perjanjian Kawin adalah Perjanjian mengenai harta benda suami-isteri selama perkawinan mereka, yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Selanjutnya dalam Pasal 147 juncto Pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dikatakan intinya bahwa Perjanjian Kawin itu harus dibuat dengan akta Notaris sebelum dilangsungkannya perkawinan, perjanjian mana mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan dan tidak boleh ditarik kembali atau diubah dengan cara bagaimanapun selama berlangsungnya perkawinan.
Sebenarnya perjanjian kawin perlu juga dibuat dalam rangka antisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam perkawinan, antara lain Perceraian, hutang piutang dengan pihak ketiga yang dilakukan oleh Suami/isteri. Berdasarkan Pasal 119 BW dan Pasal 29 UUP No.1 Tahun 1974 kedua asas itu bisa dilakukan penyimpangan, dengan membuat Perjanjian Kawin. Perjanjian Kawin harus dibuat dengan suatu akta notaris sebelum waktu dilangsungkannya perkawinan, untuk kemudian didaftarkan ke Pengadilan negeri setempat.
bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan atau tidak melanggar ketertiban umum.
Walaupun perjanjian perkawinan diatur secara khusus dalam Buku Kesatu, namun perjanjian perkawinan tetap merupakan suatu perjanjian yang harus dibuat dengan mendasarkan pada syarat-syarat umum yang berlaku untuk dapat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, harus memenuh isyarat-isyarat sebagai berikut:3
a. Berdasarkan pada kesepakatan atau kata sepakat, dimana para pihak yang mengadakan perjanjian perkawinan mempunyai suatu kehendak yang bebas yaitu terhadap pihak-pihak tersebut tidak ada unsur paksaan, penipuan atau kekhilafan dalam mengadakan perjanjian. b. Para pihak harus cakap menurut hukum untuk membuat suatu
perjanjian. Untuk membuat suatu perjanjian, para pihak yang mengadakan perjanjian cakap mempunyai kewenangan/berhak untuk melakukan suatu tindakan hukum seperti yang diatur dalam perUndang-Undangan yang berlaku.
c. Perjanjian yang dibuat tersebut harus secara jelas memperjanjikan tetang sesuatu hal yang tertentu.
d. Hal-hal yang diperjanjikan oleh para pihak harus tentang sesuatu yang halal dan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
3
Selain syarat umum mengenai sahnya suatu perjanjian, dalam membuat perjanjian perkawinan calon Suami-isteri juga harus memperhatikan persyaratan khusus mengenai perjanjian perkawinan yang harus dipenuhi. Persyaratan tersebut meliputi diri pribadi, bentuk dan isi perjanjian perkawinan.
Syarat-syarat mengenai diri pribadi adalah Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh diri pribadi orang yang akan membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian mengatur mengenai harta benda perkawinan, maka para pihak yang membuat perjanjian perkawinan adalah orang laki-laki dan seorang perempuan yang hendak melangsungkan perkawinan.
Dengan demikian Syarat-syarat perkawinan mengenai diri pribadi calon Suami-isteri juga harus diperhatikan, terutama mengenai batas usia. Menurut Pasal 29 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seorang jejaka yang belum mencapai umur genap 18 tahun, sepertipun seorang gadis yang belum mencapai umur genap 15 tahun tak diperbolehkan mengikat dirinya dalam perkawinan.
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan yang penulis rumuskan dalam penulisan ini adalah : 1. Bagaimana pelaksanaan pendaftaran perjanjian perkawinan?
2. Bagaimana akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak disahkan?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pelaksanaan pendaftaran perjanjian perkawinan dan untuk mengetahui akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak disahkan.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis, selain untuk memenuhi syarat dalam menyelesaikan program strata satu (S-1) bidang studi Ilmu Hukum, juga untuk memperluas pengetahuan mengenai pengaturan tentang Perjanjian Perkawinan.
2. Bagi masyarakat, semoga dengan adanya penelitian ini dapat membukawacana baru yang lebih baik tentang pengaturan kekayaan dalam rumah tangga, sehingga keadaan dalam pengaturan kekayaan dalam rumah tangga menjadi lebih baik.
1.5 Pengertian Perkawinan
1.5.1 Pengertian Per kawinan Menur ut Undang – Undang No. 1 Tahun 1974
Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 adalah :
“Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dari bunyi Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan ini bisa kita tarik unsur-unsur dari perkawinan itu sendiri, yaitu :
a. Adanya Ikatan lahir batin
Bahwa perkawinan hendaknya bukan hanya didasari oleh ikatan secara fisik (lahir) semata antara suami dengan istri dan juga dengan masyarakat, tetapi hendaknya juga mempunyai ikatan perasaan (batin) yaitu suatu niat untuk sungguh - sungguh hidup bersama sebagai suami istri.
b. Antara seorang pria dengan seorang wanita
c. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal Hendaknya perkawinan yang telah dilaksanakan berlangsung seumur hidup untuk selama-lamanya dan dapat tercipta keluarga yang rukun, damai dan sejahtera.
d. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Bahwa perkawinan di Indonesia harus berdasarkan atau berlandaskan agama. Di Indonesia tidak diperbolehkan perkawinan yang dilangsungkan oleh seseorang yang tidak beragama (atheis). Agama dan kepercayaan yang dianut juga berperan untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Hidup bersama suami isteri dalam perkawinan tidak semata - mata untuk tertibnya hubungan seksual tetap pada pasangan suami isteri tetapi dapat membentuk rumah tangga yang bahagia, rumah tangga yang rukun, aman dan harmonis antara suami isteri. Perkawinan salah satu perjanjian suci antara seorang laki–laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia.
1.5.2 Per kawinan menur ut KUHPerdata
peraturan-peraturan menurut hukum agama tidaklah penting selama tidak diatur dalam Hukum Perdata.
Dengan demkian yang ditentukan oleh Hukum Perdata dengan perkawinan adalah persekutuan hidup bersama menurut Hukum Perdata antara seorang pria dengan seorang wanita untuk waktu yang kekal. Yang dimaksud dengan perkawinan yang dilangsungkan oleh pegawai Kantor Catatan Sipil. Perkawinan menurut agama tidak dilarang tetapi pelaksanaanya hendaklah dilakukan sesudah dilakukan perkawinan menurut Hukum Perdata.Pasal 81 KUHPerdata menegaskan bahwa tidak boleh melangsungkan upacara keagamaan sebelum perkawinan menurut upacara kantor Catatan Sipil selesai.4
Oleh karena KUHPerdata tidak memberikan definisi tentang perkawinan, dibawah ini dikedepankan definisi perkawinan menurut pendapat para sarjana. Perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara. Dari definisi diatas kita melihat bahwa perkawinan itu hanya ditinjau dari segi hubungan perdatanya saja, terlepas darisegi tujuannya, agama dan sebagainnya.
Syarat-syaratPerkawinan
4
1. Syarat Materiil Absolut , antara lain :
a.Pihak calon mempelai dalam keadaan tidak kawin (psl 27 BW).
b. Masing - Masing pihak harus mencapai umur min yang ditentukan oleh UU, laki-laki 18 tahun, perempuan 15 tahun (psl 29 BW).
c.Seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat 300 hari terhitung sejak bubarnya perkawinan (psl 34 BW).
d. Harus ada izin dari pihak ketiga.
e.Dengan kemauan yang bebas, tidak ada paksaan (psl 28 BW).
2. Syarat Materiil Relatif, antara lain :
a.Tidak ada hubungan darah (keturunan) atau hubungan keluarga (semenda).
b. Antara keduanya tidak pernah melakukan overspel; (persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan yang telah menikah atau belum tetapi tidak di ikat oleh perkawinan yang dilakukan suka sama suka, tanpa adanya paksaan).
3. Syarat Formil ;
Syarat yang berhubungan dengan tata cara yang harus dipenuhi sebelum proses perkawinan.
1.5.3 Menur ut Para Ahli Hukum
Perkawinan merupakan salah satu jalan atau suratan hidup yang dialami oleh hampir semua manusia dimuka bumi ini walaupun ada beberapa diantaranya yang tidak terikat dengan perkawinan sampai ajal menjemput. Semua agama resmi di Indonesia memangdang perkawinan sebagai sesuatu yang sakral, harus dihormati, dan harus dijaga kelanggengannya. Oleh karena itu, setiap orang tua merasa tugasnya sebagai orang tua telah selesai bila anaknya telah memasuki jenjang perkawinan.5
Menurut R.Subekti bahwa : “Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama”.
Menurut Paul Scholten : “Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara”.
Menurut R. Wirjono Prodjodikoro : “Perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan hukum perkawinan”.
5
Sedangkan menurut K. Wantjik Saleh : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri”.
1.5.4 Pengertian Perjanjian Per kawinan
Pada dasarnya, belum banyak yang membahas masalah perjanjian perkawinan apa lagi jika dikaitkan dengan harta bersama. Bagaimana seharusnya bunyi uraian mengenai pengertian perjanjian perkawinan. Dalam arti formal perjanjian perkawinan adalah tiap perjanjian yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan Undang–Undang antara calon suami istri mengenai perkawinan mereka.6Untuk menyikapi hal ini Undang-Undang membuat beberapa ketentuan yang dapat membantu calon suami istri, apabila mereka ingin membuat perjanjian perkawinan.
Dalam Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terutama dalam Pasal 29 juga tidak terdapat pengertian yang jelas dan tegas tentang perjanjian kawin termasuk tentang isi dari perjanjian kawin. Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, perjanjian kawin diatur dalam pasal 29, yang menentukan:
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah
6
mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas – batas hukum, agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut muali berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan.
Tidak ada pengertian yang jelas tentang perjanjian kawin maka diantara para ahli terdapat juga perbedaan dalam memberikan pengertian tentang perjanjian kawin dan pengertian perjanjian kawin yang diberikan umumnya mengarah kepada ketentuan yang terdapat dalam kitab Undang–Undang hukum perdata. Secara hukum perjanjian perkawinan itu diperbolehkan berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia, baik berdasarkan UU Perkawinan dan KUHPerdata.
Di Indonesia, ketentuan khusus mengenai istilah “Perjanjian Perkawinan” adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami istri sebelum perkawinan berlangsung dan disahkan oleh pegawai pencatat nikah.
dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”. 7
Menurut Abdul Kadir Muhammad bahwa; “Perjanjian adalah suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam harta bersama8.
Menurut R. Subekti bahwa ; “ Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang laen atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, yang dalam bentuknya perjanjian itu dapat dilakukan sebagai suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji – janji atau kesanggupan yang di ucapkan secara lisan maupun tertulis.
Dalam perikatan berdasarkan perjanjian berlaku asas antara lain 9 :
a. Asas kebebasan berkontrak yaitu dapat mengadakan perikatan apa saja aslkan tidak bertentangan dengan Undang – Undang kesusilaan dan keteriban umum yang diatur dalam pasal 1337 KUH Perdata.
b. Asas konsesualisme dalam perikatan didasarkan pada kesepakatan para pihak pasal 1320 KUH Perdata.
7
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan – persetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur, 1981 ) hal 11
8
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikata, ( Bandung : PT. Aditya Bakti, 1990 ) hal 78
9
c. Asas kekuatan mengikat yaitu asas pacta sunservada kekuatan mengikat sebagai Undang-Undang.
d. Asas kepribadian yaitu untuk menentukan personalia dalam perjanjian sebagai sumber perikatan.
e. Asas kepercayaan atau vertauwensabeginsel artinya seseorang yang mengadakan perjanjian dan menimbulkan perikatan dengan orang lain, antara para pihak ada kepercayaan bahwa akan saling memenuhi prestasi.
f. Asas itikad baik atau tegoeder trouw yaitu dalam melaksanaan perikatan didasarkan pada etikad.
1.5.5 Dasar Hukum Perjanjian Per kawinan
Pembahasan ini dimulai dari masalah dasar hukum perjanjian perkawinan. Dasar hukum ini akan mengantarkan kita pada pembahasan tentang peraturan perjanjian perkawinan lebih lanjut.
Ada tiga sumber hukum yang menjadi dasar adanya perjanjian perkawinan, yakni 10 :
a. KUH Perdata
Dalam KUH Perdata pembahasan tentang perjanjian perkawinan di atur pada buku I Bab ke VII tentang perjanjian perkawinan pada Pasal 139 dan Pasal 140 yang berbunyi : “Dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari
10
peraturan Undang – Undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib dan asal diindahkan pula segala ketentuan dibawah ini. Perjanjian yang demikian tak boleh mengurangi segala hak yang didasrkan pada kekuasaan si suami sebagai suami dan pada kekuasaan orang tuapun tidak boleh menguranggi hak–hak yang diberikan Undang–Undang kepada si yang hidup terlama diantara suami istri”.
b. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974
Pada prinsipnya pengertian perjanjian perkawinan itu sama dengan perjanjian pada umumnya yaitu suatu perjanjian antara dua orang calon suami istri untuk mengatur harta kekayaan pribadi masing–masing yang dibuat menjelang perkawinan serta disahkan oleh pegawai pencatat nikah.
Di dalam Undang–Undang Nomor 1 tahun 1974 ketentuan mengenai perjanjian perkawinan diatur dalam Bab V pasal 29, yakni :
“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan”.
tetap mempunyai batas atau ketentuan arti sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 29 Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi : yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan dalam pasal ini tidak termasuk ta’lik talak.
Namun dalam ketentuan Pasal 29, tidak disebutkan batasan yang jelas bahwa perjanjian perkawinan itu mengenai hal apa saja, misalnya apakah hanya mencakup masalah harta gono-gini atau masalah lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian perkawinan dalam Undang–Undang ini mencakup banyak hal, tidak hanya mengatur soal harta benda perkawinan saja. Pada Undang–Undang ini menyebutkan ketentuan bahwa jika ada perjanjian perkawinan, harus dimuat didalam akta perkawinan. Sebagaimana diatur dalam peratuaran pemerintah No 9 Tahun 1975 (Pelaksanaan Undang–Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan) Pasal 12 huruf h bahwa akta perkawinan juga memuat keterangan tentang perjanjian perkawinan (jika dibuat oleh pasangan suami istri). Meskipun demikian Undang–Undang perkawinan masih bisa dijadikan sumber hukum yang penting dalam membahas perjanjian perkawinan.
c. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
(KHI) menyatakan bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:
1. Ta’ lik Talak.
2. Perjanjian yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Jika di perhatikan pada Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam ( KHI) jelas bertentangan dengan Pasal 29 Undang – Undang No 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa Ta’lik talak tidak termasuk dalam masalah perjanjian perkawinan akan tetapi Kompilasi Hukum Islam ( KHI) jelas ditegaskan bahwa perjanjian perkawinan bisa dalam bentuk ta’lik talak dan biasa dalam bentuk yang lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam.
1.5.6 Syar at Perjanjian Per kawinan
Sebuah perjanjian perkawinan baru dapat dianggap sah apabila memenuhi syarat dan ketentuan yang telah diatur dalam Undang – Undang.Untuk itu perhatian terhadap aspek ini penting agar kekuatan hukum dari perjanjian itu bisa dipertanggung jawabkan.
Persyaratan perjanjian perkawinan adalah sebagai berikut 11: a. Dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan berlangsung. b. Dalam bentuk tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
nikah.
c. Isi perjanjian perkawinan tidak melanggar batas – batas hukum, agama, dan kesusilaan.
d. Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
e. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tidak dapat di ubah, kecuali jika ada kesepakatan antara keduanya.
Syarat perjanjian perkawinan tersebut sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 29 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974. 1.5.7 Tujuan Perjanjian Per kawinan
Mungkin masih banyak pihak yang belum menyadari betapa pentingnya perjanjian perkawinan sebagai rujukan utama dalam perjalanan rumah tangga pasangan suami istri.Padahal sebenarnya ada banyak tujuan dari dibuatnya perjanjian perkawinan. Berikut ini akan di kemukakan apa saja tujuan diadakannya perjanjian perkawinan:
Ada 6 tujuan dibuatnya perjanjian perkawinan, yakni 12:
a. Membatasi atau meniadakan sama sekali kebersamaan harta kekayaan menurut Undang – Undang. Artinya, kebersamaan
11
Abdul Kardir Muhammad, Op.cit, Hal 88
12
harta benda suami istri itu sifatnya terbatas, yaitu harta kenaan dengan harta gono-gini saja.
b. Mengatur pemberian hadiah dari suami kepada istri atau sebaliknya, atau pemberian hadiah timbal balik antara suami istri.
c. Membatasi kekuasaan suami terhadap barang – barang kebersamaan atau sebaliknya, sehingga tanpa bantuan atau persetujuan darin salah satu pihak tidak melakukan perbuatan– perbuatan yang bersifat memutus atau menguasai.
d. Membuat pemberian dari suami untuk istri atau sebaliknya, atau sebagai hibah timbal balik, ketentuan hibah ini diatur dalam KUHPerdata Pasal 169.
e. Mengatur pemberian hadiah oleh pihak ketiga kepada suami atau istri.
f. Mengatur testamen dari pihak ketiga kepada suami atau istri sebagaimana di atur dalam KUHPerdata Pasal 178.
1.5.8 Manfaat Perjanjian Per kawinan
diketahui secara jelas manfaat dan tujuan akhir diperlikannya tata aturan hukum perjanjian perkawinan dalam system hukum di Indonesia. Manfaat perjanjian perkawinan antara lain adalah sebagai berikut :13
a. Kebebasan Bertindak
Sedikit banyak tentu akan berlainan jika dalam hal harta bersama kedua orang suami istri telah terikat oleh suatu perjanjian perkawinan terutama perjanjian perkawinan berbentuk “pemisahan harta”. Masing-masing pihak mempunyai kebebasan terhadap harta yang diperolehnya selama perkawinan.Suami istri tidak hanya bebas melakukan tindakan hukum dengan pihak ketiga berkaitan dengan hartanya tanpa harus melalui persetujuan pihak suami atau istri. Demikian halnya ia memiliki kebebasan dalam hal pemanfaatan hartanya. b. Penegakan Rasa Keadilan
Dalam hal penegakan rasa keadilan ini adalah ketika suami atau istri misalnya melakukan pemanfaatan harta dengan salah, yakni jika salah satu pihak ada yang melakukan hutang besar sehingga mau tidak mau salah satu pihak ikut menanggung hutang tersebut, padahal tidak ikut merasakan hasil hutang tersebut.Maka dari adanya perjanjian perkawinan ini dapat dicantumkan tentang masalah hutang piutang.
13
c. Peningkatan Kualitas Kerja
Dengan adanya rumusan perjanjian perkawinan dalam bentuk “Pemisahan harta” masing-masing pihak suami istri dapat memiliki dan menguasai secara utuh harta yang dihasilkan.Sehingga meningkatkan semangat dalam bekerja. 1.5.9 Masa Ber laku Perjanjian Per kawinan
Kapan perjanjian perkawinan berlaku? Undang – Undang perkawinan Pasal 29 ayat 3 mengatur bahwa “perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan”. Dengan kata lain, sebelum perkawinan dilangsungkan, maka perjanjian perkawinan itu belum berlaku. Oleh karenanya, perjanjian perkawinan kadang di istilahkan dengan “perjanjian perkawinan”. Maksudnya perjanjian tersebut memang di buat sebelum berlangsungnya perkawinan.
1.6 J enis Penelitian
Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Hukum normatif yang hanya mengenal data sekunder saja, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepas diri dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.14
Pendekatan yang penulis lakukan ini berdasarkan peraturan perundang-undangan dan teori-teori yang berkaitan dengan masalah akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan menurut Undang – Undang No 1 tahun 1974.
1.6.1 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini yaitu menggunakan data sekunder adalah data dari penelitian kepustakaan dimana di dalam sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,dan bahan hukum tersier sebagai berikut :15
1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa:
a. Kitab Undang–Undangan hukum perdata. b. Undang–Undang perkawinan No 1 tahun 1974 .
Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer, dimana bahan hukum
14
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafik, 2009) hal 21
15
skunder berupa buku literature, hasil karya sarjana untuk memperluas wawasan penyusun terdiri dari :
a. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet. Keenam.
b. Subekti, Pokok-Pokok hukum perdata.
c. Soetojo Prawirahamidjojo dan Marthalena Pohan,Hukum Orang & Keluarga.
d. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum.
2. Bahan hukum testier adalah merupakan bahan hukum sebagai pelengkap dari kedua bahan hukum sebelumnya yaitu kamus hukum.
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dan wawancara, adapun maksudnya adalah sebagai berikut :
1. Penelitian Kepustakaan
Penelitian kepustakaan adalah bentuk penelitian dengan cara mengumpulkan dan memeriksa atau menelusuri dokumen-dokumen atau kepustakaan yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan dalam penelitian.
literatur-literatur hukum, internet, undang-undang serta semua bahan yang terkait dengan permasalahan yang dibahas.
2. Wawancara
Wawancara (interview) adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka (face to face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seseorang responden.
Adapun dalam prakteknya nanti penyusun akan melakukan wawancara langsung dengan Kepala KUA Kecamatan Wonokromo untuk memperoleh keterangan tentang masalah akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak disahkan menurut Undang-Undang.
1.6.3 Teknik Analisis Data
Pengolahan data yaitu bagaimana caranya mengolah data yang berhasil dikumpulkan untuk memungkinkan penelitian bersangkutan melakukan analisis yang sebaik-baiknya. Analisa data yaitu bentuk analisa yang bagaimana dalam menafsirkan data yang diperoleh sesuai dengan apa yang direncanakan dalam penelitian.
penelitian hukum normatif, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.
Ilmuwan hukum harus dapat mempertanggung jawabkan setiap pemelihan metode penafsiran tertentu. Penafsiran memiliki karakter hermeneutik. Hermeneutik atau penafsiran diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.16
Suatu analisis yuridis normatif pada hakikatnya menekankan pada metode deduktif sebagi pegangan utama, dan metode induktif sebagai tata kerja penunjang. Analisis normatif terutama mempergunakan bahan-bahan kepustakaannya sebagai sumber data penelitiannya.
1.6.4 Sistematika Penulisan
Penulis dalam menyusun penulisan hukum ini, berpedoman pada suatu sistematika yang baku. Sistematika memberikan gambaran dan mengemukakan garis besar penulisan hukum agar memudahkan dalam mempelajari isinya. Penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab dimana masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab yaitu :
Bab Kesatu, pada bab ini berisi Pendahuluan, yang mengawali seluruh rangkaian uraian dan pembahasan Skripsi
16
yang penulis kaji, yang mana pada bab pendahuluan ini berisikan tentang gambaran umum suatu permasalahan yang digunakan sebagai landasan berpijak dalam pembahasan pada bab-bab berikutnya. Penjabaran landasan berpijaknya pada permasalahan yang diawali dengan sub bab Latar Belakang dan Perumusan Masalah. Dengan latar belakang masalah akan kita ketahui tentang permasalahan yang dikaji, yang diletakan pada rumusan permasalahan. Pembahasan Skripsi ini sudah barang tentu ada yang diharapkan, yang akan dituangkan dalam tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Untuk menunjang agar hasil penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan, maka diperlukan adanya Tinjauan Pustaka. Dalam pelaksanaannya agar sesuai dengan dasar penyusunan karya ilmiah, maka akan disajikan tentang cara-cara penulisan ilmiah dalam Metode Penelitian, dengan harapan agar isi dari pada Skripsi dapat diketahui lebih awal sehingga diperlukan penyusunan secara sistematika. Untuk itu perlu disusun kerangka penyusunan yang dituangkan dalam Sistimatika Penulisan.
Bab Ketiga, Memberikan penjelasan mengenai akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak disahkan. Pada bab ini terdiri dari dua sub bab. Sub bab pertama membahas mengenai akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak disahkan dan sub bab kedua membahas mengenai kekuatan hukum dari perjanjian perkawinan yang tidak disahkan.
BAB II
PELAKSANAN PERJ ANJ IAN PERKAWINAN
2.1 Ter jadinya Perjanjian Per kawinan
Perjanjian sebagaimana tersebut haruslah dilaksanakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan harus dibuat dalam bentuk akta otentik di muka Notaris, akta otentik itu sangat penting bkarena dapat dijadikan bukti dalam persidangan pengadilan apabila terjadi sengketa tentang harta bawaan masing-masing. Jika tidak ada perjanjian kawin yang dibuat sebelum perkawinan dilaksanakan maka semua harta suami dan isteri terjadi perbauran tentang perjanjian kawin ini dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan sepanjang tidak menyalahi tata susila dan ketentraman umum yang berlaku di masyarakat.17
Pada umumnya, perjanjian kawin dibuat :18
1. Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar dari pada salah satu pihak dari pada pihak yang lainnya.
2. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan yang cukup besar.
3. Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri sehingga andaikata sehingga salah satu jatuh pailit yang lain tidak tersangkut.
4. Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggung gugat sendiri-sendiri.
17
Abdul Manan, 2003, Aneka Masalah Hukum Material Dalam Praktek Peradilan Agama, Jakarta : Pustaka Bangsa, Hal, 153
18
Pasal 47 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah, mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
Pasal 47 ayat (2) perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi pencampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian harta masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum islam. 19
Dari segi tujuan dan manfaat dibuatnya perjanjian perkawinan masih sedikit calon pengantin yang memandang hal ini sebagai sesuatu yang positif. Hal ini dikarenakan masih dianggap tabuh dan pamali dimasyarakat. Ada sebagian masyarakat yang dapat menerima konsep pemikiran tentang pembuatan perjanjian perkawinan, tetapi lebih banyak masyarakat yang belum menerimanya, disebabkan adanya pandangan negative yang menganggap perjanjian perkawinan sebagai sesuatu yang tidak umum, tidak etis, kecurigaan, egois, tidak sesuai dengan budaya orang timur yang penuh etika.
Manfaat dari perjanjian perkawinan antara lain :20
1. Tentang pemisahan harta kekayaan, jika tidak ada harta gono gini syaratnya harus dibuat sebelum pernikahan dan harus dicatatkan ditempat pencatat perkawinan.
19
Abdurrahman, 2007, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : CV Akademika Pressindo, hal 124
20
2. Tentang pemisahan hutang, dalam perjanjian perkawinan dapat diatur mengenai masalah hutang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak yang membawa hutang. Hutang yang dimaksud adalah hutang yang terjadi sebelum pernikahan, selama pernikahan, setelah perceraian bahkan kematian.
3. Tanggung jawab terhadap anak-anak hasil pernikahan tersebut terutama mengenai masalah biaya hidup anak, dan biaya pendidikannya harus diatur sedemikian rupa berapa besar konstribusi masing-masing orang tua, dalam hal ini tujuannya agar kesejahteraan anak-anak tetap terjamin.
Sebelum berbicara lebih jauh tentang pendaftaran perjanjian perkawinan maka terlebih dahulu penulis akan kemukakan tentang tata cara pembuatan perjanjian perkawinan yang berlangsung di masyarakat.
Berikut perjanjian perkawinan menurut Pasal 29 Undang-Undang no 1 tahun 1974 :
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. 2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar
batas-batas hukum dan kesusilaan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Sedangkan menurut buku satu Kompilasi Hukum Islam Pasal 47 perjanjian perkawinan sebagai berikut :
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah, mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. 2. Perjanjian tersebut dalam ayat (1) meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta percaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum islam.
3. Disamping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Berikut ini perjanjian perkawinan yang umumnya dilakukan di masyakarat:21
1. Calon suami-istri bersepakat untuk membuat Perjanjian Perkawinan
Sebagaimana yang kita ketahui, perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang akan mengatur tentang harta berama dalam perkawinan, sehingga untuk membuat perjanjian perkawinan harus didasarkan atas keinginan dari calon suami-istri yang akan melangsungkan perkawinan
21
apakah mereka akan membuat perjanjian perkawinan atau tidak. Apabila mereka (calon suami-istri) telah bersepakat untuk membuat perjanjian perkawinan maka selanjutnya adalah mereka membuat kesepakatan tersebut dalam bentuk tertulis. Untuk lebih mempunyai kekuatan hukum. yang mengikat biasanya kesepakatan terhadap perjanjian perkawinan tersebut dibuatkan di hadapan Notaris.
2. Menghadap Kedepan Notaris
Para pihak yang akan membuat perjanjian perkawinan menghadap kepada Notaris, biasanya Notaris yang berada di wilayah mana mereka akan melangsungkan perkawinan, dengan mengutarakan maksud mereka untuk membuat akta perjanjian perkawinan. Selanjutnya Notaris akan menanyakan harta apa saja yang akan mereka atur dalam perjanjian perkawinan mereka atau tentang isi dari perjanjian perkawinan yang akan dibuatkan aktanya tersebut.
Mengenai isi perjanjian perkawinan tersebut pada dasarnya calon suami-istri yang akan membuat perjanjian perkawinan bebas untuk menetapkan apa saja yang akan mereka perjanjikan dalam perjanjian perkawinan tersebut. Akan tetapi mengingat adanya hubungan atau pertalian dengan berbagai prinsip lainnya, Undang-Undang membatasi pula kebebasan tersebut. Oleh karena itu dalam melakukan penyusunan akta perjanjian perkawinan perlu diperhatikan hal-hal yang tidak dapat dimuat dalam perjanjian perkawinan seperti berikut: 22
a. Tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum (public policy) dan kesusilaan (Moral). Misalnya : tidak boleh diperjanjikan bahwa istri tidak boleh menuntut perceraian. Seperti yang diatur dalam Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan Undang-Undang sekitar peraturan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal di indahkan pula segala ketentuan dibawah ini.
Pembatasan yang meyangkut ketertiban umum sebagaimana diterangkan dalam pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di atas dalam hal ini bersifat memaksa jika dibandingkan dengan perjanjian biasa mengenai harta kekayaan, hal ini karena hukum harta
22
perkawinan merupakan hukum yang tidak hanya menyangkut masalah keluarga akan tetapi juga menyangkut masalah umum.
b. Hal-hal sebagaimaan diatur dalam Pasal 140 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu :
1)Tidak boleh melanggar hak material dari suami yaitu hak suami di dalam statusnya sebagai suami, misalnya suami yang harus menetapkan dimana suami istri harus bertempat tinggal
2)Tidak boleh melanggar hak kekuasaan orang tua.
3)Tidak boleh melanggar hak yang diberikan oleh Undang-Undang kepada suami atau istri yang hidup paling lama.
Hal ini berhubungan dengan hak waris dari suami atau istri sebagaimana diatur dalam Pasal 852a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : Dalam hal mengenai warisan seorang suami atau istri yang meninggal terlebih dahulu, si istri atau si suami yang hidup terlama, dalam melakukan ketentuan-ketentuan dalam bab ini, dipersamakan dengan seorang anak yang sah dari si meninggal dengan pengertian, bahwa jika perkawinan suami istri itu adalah untuk kedua kali atau selanjutnya dan dari perkawinan yang dulu ada anak-anak atau keturunan anak-anak itu.
sedangkan dalam hal bagaimanapun juga, tak bolehlah bagian si istri atau suami itu lebih dari seperempat harta peninggalan si meniggal. 4)Tidak boleh melanggar hak suami di dalam statusnya sebagai kepala
persatuan suami istri Misalnya : tidak boleh diperjanjikan bahwa istri dapat bertindak sendiri jika mengenai harta persatuan. Dalam hal ini ada pengecualian yaitu istri dapat mengadakan syarat bahwa ia berhak mengurus harta kekayaan dan menikmati penghasilannya sendiri.
c. Tidak boleh melepaskan haknya atas legitime portie (Hak Mutlak) atas warisan dari keturunannya dan mengatur pembagian warisan dari keturunannya. Pasal 141 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur : dengan mengadakan perjanjian kawin kedua para calon suami istri tidak diperbolehkan melepaskan hak-hak yang diberikan Undang-Undang kapada mereka atas harta peninggalan keluarga sedarah mereka dalam garis kebawah, pun tidak boleh mengatur harta peninggalan tersebut.
perjanjian perkawinan tersebut menjadi batal (nietig), sehingga untung dan rugi harus dibagi secara rata antara suami dan istri.
e. Tidak boleh diperjanjikan dengan kata-kata umum bahwa ikatan perkawinan harus tunduk pada ketentuan-ketentuan di luar negeri, adat kebiasaan atau peraturan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 143 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Setelah ditentukan isinya maka Notaris akan membuatkan akta terhadap perjanjian perkawinan tersebut. Akta tersebut ketika ditandatangani sudah mempunyai kekuatan mengikat bagi yang membuatknya yaitu calon suami istri yang membuat perjanjian perkawinan tersebut. Setelah akta dibuatkan oleh Notaris.
Perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta Notaris, maupun dengan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pengawas pencatat perkawina, sebelum perkawinan itu dilangsukan dan ia belum mulai berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan. Materi yang diatur didalam perjanjian tergantung pada pihak-pihak calon suami-istri, asal tidak bertentangan dengan hukum, Undang-Undang, Agama, dan kepatutan atau kesusilaan. Perjanjian perkawinan ini berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
berwenang membuat akta otentik, dapat lebih jauh dari dalam Undang-Undang no 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris, yaitu kosiderans butir b disebutkan bahwa untuk menjamin kepastian hukm, ketertiban, dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan atau peristiwa hukum yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa Notaris mempunyai dasar hukum yang menguatkan profesi mereka.
Dalam kenyataannya banyak pihak yang justru masih melakukan pendaftaran perkawinan kepada panitera pengadilan Negeri. Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, sehingga masalah tantang pendaftaran dan pengesahan perjanjian ini masih simpang siur atau belum jelas. Padahal dalam Pasal 66 Undang-Undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, sudah disebutkan bahwa : “ peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh ini bahwa telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
Pendaftaran perjanjian perkawinan umumnya dilakukan oleh kantor Notaris sebagai bentuk bantuan kepada calon suami-istri. Ketika calon suami istri datang ke kantor Notaris dan mengutarakan maksudnya untuk membuat akta perjanjian perkawinan, maka pegawai kantor Notaris akan memberitahu mengenai dokumen-dokumen yang diperlukan dan menawarkan bantuan untuk mendaftarkan akta perjanjian perkawinan ke Pengadilan Negeri.23
23
Peraturan Undang-Undang no 1 tahun 1974 Pasal (1) menyatakan perjanjian perkawinan berlaku juga terhadap pihak ketiga yang bersangkutan setelah perjanjian perkawinan tersebut disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Bagi mereka yang beragama islam, maka pengesahakn tersebut dilakukan oleh petugas pencatat nikah pada Kantor Urusan Agama, sedangkan bagi mereka yang non muslim, maka pengesahan tersebut dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil. Berdasarkan Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang no 1 tahun 1974, perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan oleh petugas pencatat perkawinan apabila perjanjian perkawinan tersebut melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
Sehingga dengan hal tersebut maka pegawai pencatat perkawinan yang diatur didalam KUHPerdata, yang masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 66 no 1 tahun1974, serta mempunyai kemampuan yang cukup untuk meneliti bahwa suatu perjanjian perkawinan tersebut tidak bertentangan dengan hukum baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis, juga tidak bertentangan dengan hukum agama serta kesusilaan.
Menurut pendapat Wibowo Ibo Sarwono mengatakan, isi perjanjian perkawinan dapat beragam, berupa:24
a. Pemisahan harta kekayaan murni
Kedua belah pihak bersepakat untuk memisahkan segala macam harta, utang, dan penghasilan yang mereka peroleh baik sebelum
24
perkawinan maupun sesudahnya. Walaupun terjadi pemisahan harta kekayaan secara murni atau total akan tetapi seorang suami tetap berkewajiban untuk menfkahi istrinya dan anak-anaknya.
b. Pemisahan harta bawaan
Berbeda dengan pemisahan harta kekayaan murni, dalam isi perjanjian perkawinan ini kedua belah pihak yaitu suami dan istri hanya saling memperjanjikan macam harta bawaan saja, yaitu harta, utang yang mereka peroleh sebelum perkawinan. Dengan adanya perjanjian ini maka harta bawaan dari masing-masing suami atau istri tetap berada dibawah penguasaan masing-masing.
c. Persatuan Harta Kekayaan
Dalam perjanjian perkawinan ini pasangan calon suami dan istri dapat memperjanjikan percampuran terhadap harta kekayaan mereka, baik harta kakayaan yang berasal dari harta bawaan, harta yang diperoleh selam masa perkawinan dan sebagainya.
2.2 Analisa Pelaksanaan Perjanjian Per kawinan
dalam memilih pasangan hidup, dari soal kelangsungan karir sampai soal keamanan harta bawaan yang selama ini telah diperoleh. Tidak tertutup kemungkinan, untuk mengamankan hal-hal tersebut diatas, perjanjian perkawinan menjadi alternatif yang banyak diminati di masa depan.
Pada prinsipnya, setiap individu sebagai subjek hukum berhak secara bebas mengadakan perjanjian (contract), kecuali mereka yang belum dewasa atau berada dalam pengampuan. Sepanjang perjanjian dibuat memenuhi syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundangan, maka perjanjian tersebut sah dan berstatus sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Islam sangat menghormati terhadap setiap perjanjian yang dibuat, bahkan hukumnya wajib, melihat pengaruh positif dan peranannya yang besar dalam memelihara perdamaian.
Pelaksanaan perkawinan yang bersangkutan dilakukan dihadapan notaris, kemudian pejabat KUA diberikan 1 berkas untuk didokumentasikan dengan berkas-berkas yang lain, kemudian juga dibuat nomor notarisnya dan nama notarisnya. Data yang masuk tentang perjanjian perkawinan biasanya dalam 1 tahun Cuma 1 kali masuk. Perjanjian perkawinan bisa juga di buat dihadapan pejabat KUA.
Akta Perjanjian Kawin tersebut mendeskripsikan kepada Perjanjian kawin yang menyimpangi ketentuan Pasal 119 KUHPerdata yaitu mulai pada saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri sepanjang mengenai hal itu .tidak diadakan perjanjian kawin.
Dengan mengadakan perjanjian kawin ini maka calon suami dan istri dalam beberapa hal pengaturan akta ini, bertujuan untuk menyimpangi persatuan harta kekayaan yang telah diatur dalam KUHPerdata Pasal 139 KUH Perdata. Dimungkinkannya penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 119 KUHPerdata ini maka pada dasarnya asas yang digunakan dalam perjanjian kawin merujuk kepada asas-asas umum yang diatur dalam perikatan (verbintenis).
a. Harta Pribadi Suami
Yang termasuk kedalam harta pribadi suami adalah harta bawaan suami, hutang bawaan suami dan harta cuma-cuma yang diperoleh suami sepanjang perkawinan.
b. Harta Pribadi Istri
Yang termasuk kedalam harta pribadi istri adalah harta bawaan istri, hutang bawaan istri dan harta cuma-cuma yang diperoleh istri sepanjang perkawinan.
Bentuk harta perkawinan dalam perjanjian kawin dengan pemisahan mutlak harta campur atau persatuan, terhadap barang-barang yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya dan utang-utang yang tidak didaftarkan masuk ke dalam buku besar tentang perutangan umum, misal : tidak didaftarkan dalam Kantor Fidusia, Tanah sebagai jaminan utang tanpa hak tanggungan. Harus dicantumkan ke dalam Perjanjian Kawin, atau dengan surat pertelaan, yang ditanda tangani oleh Notaris dan ditempelkan pada akta asli perjanjian kawin serta harus di daftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri yang bersangkutan (Pasal 150 KUHPerdata).
Perjanjian Perkawinan dibuat untuk menyimpangi ketentuan yang sudah diatur dalam Undang-Undang yaitu untuk menyimpangi Pasal 119 KUHPerdata. Dengan dibuatnya perjanjian perkawinan maka calon suami atau istri berhak menyiapkan beberapa hal untuk menyimpangi peraturan perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan, asalkan tidak bertentangan dengan tata susila dan ketertiban umum Pasal 139 KUHPerdata.
Penulis telah mendapatkan akta Pengadilan Negeri tentang perjanjian perkawinan, Penetapan Nomor 169/Pk/2012/ PN.Sby. yaitu akta Perjanjian Kawin antara JOHN DANIEL PIERCE dengan ANNISA KHARISMAWATI oleh Hakim Pengadilan Negeri Surabaya. Dan dalam tesis ini penulis akan menfokuskan penelitian atas Penetapan Nomor 169/ Pk/ 2012/ PN.Sby.
Perjanjian Kawin diadakan untuk mengatur sebab akibat harta perkawinan setelah perkawinan terjadi, manakala terdapat sejumlah harta yang tidak sama atau lebih besar pada satu pihak istri ataupun suami. Jadi Perjanjian Kawin pada dasarnya selalu terkait dengan persoalan harta dalam perkawinan. Untuk itu Perjanjian Kawin dibuat, yang fungsinya adalah :
2. Atas hutang masing-masing pihakpun yang mereka buat dalam perkawinan mereka, masing-masing akan bertanggung jawab sendiri-sendiri.
BAB III
AKIBAT HUKUM PERJ ANJ IAN PERKAWINAN
3.1 Hak dan Kewajiban Suami-Istr i Sebagai Akibat Hukum Perjanjian Per kawinan yang Tidak Didaftar kan
Berbicara tentang akibat hukum, maka kita berbicara tentang dampak yang akan kita terima. Seperti yang kita ketahui bahwa perjanjian pada umumnya menimbulkan akibat hukum bagi pihak yang membuatnya. Hal yang sama juga berlaku terhadap perjanjian perkawinan.
Akibat hukum perkawinan tidak hanya berpengaruh pada hubungan internal antara suami isteri, namun juga secara sosial ekonomi memberi dampak luas dalam kehidupan bermasyarakat25. Undang-Undang Perkawinan telah mengatur hak dan kedudukan yang seimbang antara suami dan isteri. Isteri bisa mengadakan perjanjian, jual beli atau perbuatan hukum lainnya tanpa memer lukan bantuan suaminya. Di dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan; “bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”.
Ketentuan ini berbeda dengan BW yang memberikan hak dan kedudukan lebih tinggi kepada suami dibandingkan isteri. Pasal 108 BW melarang istri untuk melakukan hibah atau memindahtangankan harta
25
miliknya tanpa izin tertulis dari suami, namun ketentuan ini tidak berlaku sejak terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung RI nomor 3 tahun 1963 tanggal 5 September 1963 bahwa Mahkamah Agung menganggap tidak berlaku antara lain Pasal 108 dan 110 BW tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka pengadilan tanpa izin atau tanpa bantuan suami.
Berdasarkan hal tersebut, akibat hukum bagi suami isteri dalam kehidupan bermasyarakat sangat besar dalam harta benda perkawinan. Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menentukan status harta yang dimiliki pasangan suami isteri, bahwa harta yang telah dimiliki oleh calon suami isteri sebelum melangsungkan perkawinan adalah milik pribadinya dan disebut sebagai harta bawaan. BW menentukan sejak perkawinan dilangsungkan demi hukum maka seluruh harta kekayaan kedua pihak baik yang dimiliki sebelum perkawinan maupun yang diperoleh selama perkawinan bercampur menjadi harta persatuan bulat.
Akibat dari perkawinan yang berkaitan dengan harta benda dalam perkawinan diatur di Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang intinya menetapkan sebagai berikut : 1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama,
sedangkan :
a. harta bawaan dari masing-masing suami-isteri
c. warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang tidak ditentukan lain oleh suamiisteri. Apabila kemudian ditentukan oleh suami-isteri, maka harta bawaan suami-isteri tersebut menjadi harta bersama. Untuk menentukan agar harta bawaan suami-isteri atau yang diperoleh selama perkawinan menjadi atau tidak menjadi harta bersama, maka suami-isteri tersebut harus membuat Perjanjian Kawin terlebih dahulu. Perjanjian Kawin harus dibuat secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Perjanjian Kawin adalah perjanjian yang dibuat calon suami dan isteri untuk mengatur akibatakibat perkawinannya terhadap harta kekayaan mereka.
2. Mengenai harta bersama, suami dan isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing, suami-isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Adapun hak suami dan isteri untuk mempergunakan atau memakai harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik, mengingat hak dan kedudukan suami maupun isteri dalam kehidupan rumah tangga dan bermasyarakat, dimana masing masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.
terjadi perjanjian kawin maka sejak perkawinan dilangsungkan tidak terbentuk harta bersama; jadi harta yang diperoleh oleh suami atau isteri sepanjang masa perkawinan akan menjadi harta pribadi masing-masing suami isteri tersebut.
Prawirohamidjojo dan Aziz Safiudin menjelaskan bahwa perjanjian perkawin adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang calon suami isteri untuk mengatur akibat-akibat perkawinan mengenai harta kekayaan; dengan demikian calon suami isteri dapat menyatakan keinginan mereka terhadap harta dalam perjanjian kawin, akan terjadi persatuan harta secara terbatas ataupun tidak terjadi persatuan harta sama sekali26.
Harta yang diperoleh secara bersama-sama sebuah proses berjuang bersama dalam waktu yang relatif lama memberikan makna tersendiri dibandingkan harta bawaan yang sangat mungkin pihak yang tidak membawa harta akan tidak memberikan makna apa-apa.
Karena banyak hal yang akan terjadi maupun yang akan didapatkan seperti, masalah harta, keturunan, dimana apabila tidak ada ketentuan yang jelas khususnya masalah pembagian harta peninggalan dari yang meninggal maupun yang melakukan perceraian, termasuk juga masalah harta bawaan masing-masing akan menimbulkan suatu persoalan.
Pengertian harta bersama menurut Undang-Undang Perkawinan sangat berbeda dengan pengertian harta bersama pada BW. Dalam BW, bahwa harta bersama meliputi harta yang dibawa oleh kedua calon suami
26
isteri ke dalam perkawinan dan harta yang diperoleh sepanjang perkawinan. Sebaliknya, dalam Undang-Undang Perkawinan, Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) harta bersama yakni harta yang diperoleh sepanjang perkawinan, sedangkan harta bawaan suami isteri tetap menjadi milik pribadi masing-masing. Jadi pada perjanjian kawin sebenarnya hanya memisahkan harta yang diperoleh suami isteri sepanjang perkawinan, sedangkan harta bawaan tidak perlu dipisahkan dengan perjanjian kawin karena memang telah terpisah demi hukum dengan sendirinya.
Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan memberi kan hak dan dan kedudukan yang seimbang antara suami dan isteri. Ini didasari oleh pandangan bahwa derajat suami tidak lebih dari pada isteri, demikian pula sebaliknya. Suami maupun isteri sama-sama cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Pasal 36 Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa suami dan isteri berhak sepenuhnya untuk melaku kan perbuatan hukum terhadap harta bawaan masing-masing.
Pasal 33 Undang-Undang Perkawinan juga memberi kewajiban kepada suami isteri untuk saling memberikan bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. Perjanjian kawin bisa memuat segala hal yang berkaitan dengan barang-barang rumah tangga, perhiasan dan sebagainya yang dihasilkan dalam masa perkawinan berlangsung.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 48 menentukan bahwa :
menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhikebutuhan rumah tangga.
2. Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menaggung biaya kebutuhan rumah tangga.
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, suatu perjanjian kawin membawa akibat besar terhadap harta benda perkawinan dan terhadap hak dan kewajiban suami isteri. Akibat perjanjian kawin terhadap status harta benda perkawinan adalah pada saat perkawin an dilangsungkan tidak terbentuk harta bersama. Jadi sepanjang perkawinan hanya ada harta bawaan suami isteri yang tetap menjadi milik masingmasing. Mengenai hak dan kewajiban suami isteri, perjanjian kawin hanya bersifat menegaskan kembali hak isteri untuk mengurus harta kekayaan karena menurut Undang-Undang Perkawinan isteri memiliki hak dan kedudukan yang seimbang dengan suami dan isteri pun cakap hukum.
Isi perjanjian kawin diserahkan sepenuhnya kepada calon mempelai asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama. Pengaturannya bahwa pemisahan harta kekayaan tidak boleh melupakan konsep hak dan kewajiban suami sebagai kepala rumah tangga.
sebelum perkawinan, selama perkawinan, setelah perceraian bahkan setelah kematian. Jadi perjanjian kawin tidak terbatas pada masalah keuangan saja, akan tetapi bisa meliputi hal-hal yang dimungkinkan bisa menimbulkan potensi konflik dalam perkawinan, tanggung jawab terhadap anak-anak, yang semuanya harus disepakati bersama suami isteri.
Dalam perspektif sosiologi keluarga, anak sebagai buah cinta dalam keluarga, secara otomatis menjadi pewaris harta orang tua (sesuai dengan hukum waris yang dianut). Akan tetapi anak bawaan, perlu menjadi perhatian bersama. Jangan sampai karena tidak ada perjanjian perkawinan, maka anak menjadi terlantar. Anak merupakan harta yang paling bernilai. Anak tidak dapat dinilai dengan harta. Kehadiran anak dalam keluarga menjadi penghibur tersendiri dalam menggapai kebahagiaan. Ia lebih mampu membawa keluarga kesuasana bahagia dibanding harta.
Perjanjian perkawin juga dapat menyebutkan tentang tanggung jawab terhadap anak-anak yang dilahirkan selama perkawinan, baik dari segi pengeluaran sehari-hari, maupun dari segi pendidikan. Walaupun pada prinsipnya dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ditetapkan bahwa :
kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus.
2. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, berada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
3. Orang tua mewakili anak tersebut, mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
4. Orang tua boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendaki. 5. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya
terhadap seorang anak atau lebih, untuk waktu tertentu atas permintaan orang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang. Intinya, semua orang tua bertanggung jawab terhadap pendidikan, kesehatan dan tumbuh kembang anak, sehingga isteri juga ikut bertanggung jawab dalam hal ini, itu semua bisa disepakati bersama demi kepentingan anak.