• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. adanya bantuan dari orang lain. Oleh karena itu, manusia akan selalu berhubungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. adanya bantuan dari orang lain. Oleh karena itu, manusia akan selalu berhubungan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak akan dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain. Oleh karena itu, manusia akan selalu berhubungan dan saling berinteraksi antara satu individu dengan individu lainnya. Adapun salah satu alat interaksi yang digunakan manusia untuk menyampaikan maksudnya adalah bahasa. Manusia juga merupakan makhluk yang sangat kreatif dalam menggunakan bahasa. Dengan menggunakan satu kata saja, manusia dapat menyampaikan apa yang dirasakannya secara efektif. Satu kata dapat mewakili banyak makna, sebaliknya satu makna juga bisa diwakilkan oleh berbagai macam kata, dan satu kata dapat menyampaikan ekspresi serta perasaan hati penuturnya. Adapun kata-kata yang mengekspresikan perasaan batin penuturnya disebut dengan interjeksi (Chaer, 1994:233).

Interjeksi merupakan pengungkap rasa hati pembicara. Untuk memperkuat rasa hati seperti terkejut, kagum, sedih, heran, dan jijik seseorang akan memakai kata tertentu disamping kalimat yang mengandung makna pokok yang dimaksud. Secara struktur interjeksi tidak bertalian dengan unsur kalimat yang lain (Moeliono, 2003:203). Kridalaksana (2005:120) mengidentifikasikan interjeksi sebagai kategori yang bertugas mengungkapkan perasaan pembicara dan secara sintaksis tidak berhubungan dengan kata-kata lain dalam ujaran. Interjeksi bersifat ekstra kalimat dan selalu mendahului ujaran sebagai teriakan yang lepas atau berdiri sendiri.

(2)

Interjeksi tidak hanya dapat diterjemahkan secara leksikal. Makna dan fungsi interjeksi akan sangat bergantung pada konteks tuturan dimana, kapan, kepada siapa, dan pada situasi tuturan yang bagaimana interjeksi digunakan. Untuk dapat memahami makna interjeksi dan bagaimana penggunaannya maka diperlukan analisa konstektual dari penggunaan interjeksi tersebut (Heidah, 2012:3). Wierzbicka (1991:290) menambahkan bahwa interjeksi merupakan tanda kebahasaan yang mengungkapkan keadaan mental penutur (1) dapat digunakan sendiri, (2) mengungkapkan makna tertentu, (3) tidak memasukkan tanda lain (dengan maksud tertentu), (4) tidak homofon dengan unsur leksikal lainnya yang akan dirasa berkaitan secara semantik, dan (5) yang mengacu kepada keadaan mental atau tindakan mental penutur pada saat tuturan itu dihasilkan.

Ameka (1994:743) membagi bentuk interjeksi menjadi dua yaitu primary (primer) dan secondary (sekunder) interjection. Interjeksi primer adalah kata-kata pendek atau nonwords yang dalam distribusinya dapat berupa ujaran noneliptikal bebas dan tidak termasuk dalam kelas kata lain, misalnya dalam bahasa Inggris, gee, oops, dalam bahasa Indonesia hah, ah, eh dsb. Interjeksi sekunder adalah kata-kata

yang memiliki makna semantik bebas, namun dapat digunakan secara konvensional sebagai ujaran noneliptikal yang bebas untuk mengekspresikan tindakan atau pernyataan mental penuturnya, misalnya panggilan minta bantuan atau dalam keadaan bahaya seperti help, fire dalam bahasa Inggris dan tolong dalam bahasa Indonesia, makian atau kata tabu fuck, sial dalam bahasa indonesia. Adapun Wierzbicka (1991:290) menganggap bahwa bentuk interjeksi hanyalah bentuk primer.

(3)

Interjeksi bentuk sekunder tidak dianggap sebagai bentuk interjeksi karena menempati fungsi leksikal tertentu dan memiliki independensi semantis. Sementara Wilkins (1992:124) melihat bentuk interjeksi lebih lengkap dengan membagi bentuk interjeksi atas bentuk primer, sekunder, frasa, dan klausa.

Berdasarkan data yang ditemukan peneliti interjeksi dalam bahasa Arab Mesir dapat berupa bentuk primer, bentuk sekunder, bentuk frasa, dan bentuk klausa.

Beberapa interjeksi juga memiliki multifungsi dalam komunikasi tergantung konteks pengucapannya. Adapun contoh interjeksi bahasa Arab Mesir adalah interjeksi walla>hi. Walla>hi merupakan interjeksi berbentuk frasa preposisional. Partikel (harf) wa `demi` sebagai preposisi (harful jar) dan kata Alla>h (ism alam) sebagai majru>r.

Interjeksi ini memiliki fungsi untuk menunjukkan ekspresi keterkejutan dan penekanan penutur. Berikut adalah interjeksi walla>hi yang menunjukkan ekspresi keterkejutan penutur.

(1) /Ummu Ha>zim : Nah{taju qadaruha> ‘asyratu mala>yi>na junaih liha}fli ‘uru>sika/

/Sa>lim : Walla>hi! haz}a> isra>fun kabi>run ya> ummi>/

Ummu Ha>zim : `Kita membutuhkan kira-kira seratus juta Le untuk perayaan pernikahanmu`

Sa>lim : `Demi Allah! itu pemborosan yang sangat wahai orang tuaku`

(An-Naja>r, 2014:21)

Walla>hi „demi Allah‟ pada data (1) muncul saat Ummu Ha>zim berbincang dengan anaknya mengenai pesta perayaan pernikahan anaknya. Ummu Ha>zim mengatakan bahwa mereka membutuhkan kira-kira seratus juta Le untuk perayaan

(4)

pesta. Ha>zim merasa sangat terkejut dengan pernyataan ibunya dan secara spontan mengucapkan interjeksi walla>hi „demi Allah‟ yang merupakan ekspresi keketerkejutan pemuda tersebut. Rasa terkejut terlihat dari perkataan Ha>zim selanjutnya yang menganggap bahwa hal tersebut adalah pemborosan yang sangat.

Berikut adalah data interjeksi walla>hi yang berfungsi menunjukkan ekspresi penekanan penutur.

(2) /Al-Ummu Sa>rah : Hisyam sya>bun yastah}iqqu kulla khairin/

/Duktu>r ‘A<di>l : Walla>hi laula> anna Hisya>m min anjabi tala>mi>z\i> ma>

zaujatuhu bijauharti> al-ghaliyati ya>ra/

Al-Ummu Sa>rah : `Hisyam adalah pemuda yang memiliki seluruh kebaikan`

Duktu>r ‘A<di>l : `Demi Allah jika Hasyim bukan salah satu dari murid-murid kita kita tidak akan menikahkan dengan permata kita yang berharga Ya>ra`

(Najja>r, 2004: 44)

Interjeksi walla>hi dalam konteks di atas menunjukkan ekspresi penekanan penutur. Peristiwa yang melatar belakangi munculnya interjeksi tersebut adalah ketika Al-Ummu Sa>rah bercakap-cakap dengan suaminya mengenai calon menantunya yaitu Hisyam yang menurutnya memiliki seluruh kebaikan yang diharapkannya. Mendengar perkataan istrinya Duktu>r ‘A<di>l mengucapkan interjeksi Walla>hi „demi Allah‟ sebagai bentuk penekanan bahwa jika Hisyam bukan merupakan salah satu dari murid-murid mereka maka ia tidak akan menikahkan dengan putrinya Ya>ra yang merupakan permata hati yang sangat berharga untuknya.

(5)

Sejauh ini penelitian mengenai interjeksi bahasa Arab sangat terbatas. Adapun penelitian interjeksi bahasa Arab pernah dilakukan oleh Nasution (2006) yang menjelaskan salah satu bentuk interjeksi yaitu huruf nida’. Adapun Hasanah (2013) dalam laporan penelitiannya pernah membahas mengenai kalimat eksklamatif dalam bahasa Arab. Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa dalam bahasa Arab kalimat eksklamatif dibagi menjadi dua yaitu kalimat eksklamatif qiyasi dan kalimat eksklamatif mut}laq yang masing-masing hanya memiliki beberapa bentuk.

Berdasarkan kenyataan tersebut, penelitian ini akan sangat penting dan menarik.

Penelitian ini akan berusaha mengembangkan teori interjeksi bahasa Arab yang menyebutkan bahwa interjeksi bahasa Arab hanya terbatas pada pola dan bentuk- bentuk tertentu. Selanjutnya penelitian ini akan berusaha merumuskan tidak hanya mengenai bentuk interjeksi, akan tetapi penelitian ini akan membahas klasifikasi interjeksi yang mencakup makna dan fungsi, serta interjeksi yang memiliki multifungsi dalam Bahasa Arab khususnya bahasa Arab yang dituturkan masyarakat Mesir dengan lebih komprehensif.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut:

1) Apa saja bentuk dan bagaimana realisasi penggunaan interjeksi dalam bahasa Arab Mesir?

2) Baimanakah klasifikasi interjeksi dalam bahasa Arab Mesir?

(6)

3) Bagaimanakah multifungsi interjeksi dalam bahasa Arab Mesir?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk realisasi penggunaan interjeksi dalam Bahasa Arab Mesir, mendeskripsikan klasifikasi interjeksi dalam bahasa Arab Mesir, dan mendeskripsikan multifungsi interjeksi dalam bahasa Arab Mesir.

1.4 Manfaat Penelitian

Setelah rumusan masalah yang dikemukakan dapat terjawab, maka hasil penelitian diharapkan dapat membawa dua manfaat. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kajian linguistik pada umumnya terutama pada ranah kelas kata interjeksi. Lebih khusus lagi penelitian ini dapat bermanfaat untuk mendeskripsikan interjeksi bahasa Arab Mesir ke dalam kekhasan bentuk, klasifikasi, dan fungsi interjeksi dalam penggunaannya. Penelitian ini juga merupakan suatu usaha pengembangan teori interjeksi bahasa Arab yang masih sangat terbatas.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai klasifikasi dan fungsi interjeksi dalam komunikasi dapat membantu pembelajar bahasa Arab untuk memahami bentuk-bentuk ekspresif dalam bahasa Arab. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan penelitian-penelitian selanjutnya yang lebih mendalam dan komprehensif.

1.5 Tinjauan Pustaka

(7)

Interjeksi pernah diteliti oleh Goffman (1981). Dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa interjeksi bukanlah bagian dari bahasa dan seharusnya dianalisa berdasarkan peran sosio-komunikatifnya dalam komunikasi dan bukan berdasarkan muatan linguistik yang mungkin dimilikinya. Senada dengan Goffman, Kockelman seorang antropolog mengkaji interjeksi dalam kaitannya dengan etnografi dalam tulisannya pada jurnal Current Antropologi (2003). Penelitiannya mengenai makna interjeksi di Q‟echi‟ Maya (Guatemala) dari sisi situasional, discursive, dan konteks sosialnya. Dari penelitian kaum konseptualis dan Goffman menghasilkan kesimpulan mengenai pengertian interjeksi adalah: (1) interjeksi mampu berdiri sendiri sebagai ujaran dengan cara yang unik dan non eliptik, (2) interjeksi berkaitan dengan perasaan (emotion), sikap atau pernyataan mental (mental attitudes or states).

Nu Bling (2005) sebagaimana yang dikutip O‟Conell, 2008:136 menyatakan bahwa interjeksi sering dianggap sesuatu yang diabaikan, karena susah untuk diklasifikasikan. Berdasarkan pada karakteristik fungsionalnya dalam pragmatik, interjeksi memiliki kategori sendiri sebagai pusat prototype. Nu Bling juga mengatakan bahwa salah satu unsur pembentuk interjeksi adalah onomatopea.

Namun, dalam tulisan tersebut belum dibahas bagaimana onomatopea dapat disebut sebagai interjeksi.

Kowal dan O‟Connel (2008:137) melakukan penelitian interjeksi dengan mewawancarai politikus dan artis. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa seorang artis lebih banyak mengeluarkan interjeksi dibandingkan dengan seorang politikus yang setiap ucapannya telah diatur dengan persiapan tulisan sebelumnya. Pada

(8)

kesimpulannya, Kowal dan O‟Connel menyebutkan bahwa interjeksi lebih kepada ekspresi spontan seseorang dan hanya berfokus pada pragmatis dan fungsi psikologi interjeksi.

Reber (2011) dalam jurnal internasionalnya yang berjudul „Interjection in The EFL Classroom: Teaching Sounds and Sequences’ menyebutkan bahwa interjeksi

digambarkan sebagai sebuah leksikon yang digunakan untuk mengungkapkan emosi.

Interjeksi sering muncul dalam percakapan. Interjeksi membentuk bagian dari tata bahasa yang diucapkan saat berinteraksi dan merupakan salah satu sumber yang penting untuk menghasilkan keefektifan dalam interjeksi. Rober juga menyebutkan pentingnya konteks untuk pemaknaan interjeksi, sehingga apa yang dituturkan oleh penutur akan diartikan sama oleh lawan bicaranya.

Ameka, Wierzbicka, dan Wilkins (1992:125) mengatakan dari sudut pandang konseptual, interjeksi adalah bagian dari bahasa yang memerlukan analisis semantik yang komplek karena secara semantik interjeksi kaya akan makna dan memiliki struktur konseptual yang jelas dan dapat diuraikan. Pendekatan yang dilakukan adalah Natural Semantic Metalanguage (NSM) yang diajukan oleh Wierzbicka (1991).

Wharton (2009) mencoba mengambil jalan tengah dari dua pandangan mengenai interjeksi dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu NSM dan sosiopragmatik yang menekankan perbedaan antara konseptual dan prosedural.

Di Indonesia penelitian mengenai interjeksi juga sudah beberapa kali dilakukan. Sudaryanto (1992:123) meneliti mengenai interjeksi bahasa Jawa yang mencakup kategori kata yang digunakan untuk mengungkapkan rasa hati penuturnya.

(9)

Adapun Wedhawati (2006:417) juga melakukan penelitian mengenai interjeksi bahasa Jawa yang hanya menyebutkan kata dan kelas kata dalam interjeksi.

Nasution (2006), pernah melakukan penelitian yang berjudul “Interjeksi dalam Bahasa Arab”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Hasil dari penelitian tersebut adalah interjeksi (huruf nida`) ada tujuh, yaitu /aya/, /haya/, /a/, /ay/, /ya/, /a:/, dan /wa/. Kata yang terletak sesudah interjeksi adalah munada. Adapun makna munada meliputi pernyataan „minta tolong‟,

„keheranan‟, „ratapan‟, „pengkhususan‟, „kesenduan‟, „duka cita‟, „bingung‟, dan

„peringatan‟. Dalam penelitiannya penulis hanya menjelaskan satu bentuk interjeksi yaitu huruf nida`.

Syafyahya (2008) pernah meneliti tentang ujaran seruan dalam bahasa Minangkabau di kabupaten Agam. Penelitian ini difokuskan pada bentuk, kaidah penggunaan, dan variasi leksikal ujaran seruan dalam bahasa Minangkabau di kabupaten Agam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk ujaran seruan dalam bahasa Minangkabau adalah bentuk lengkap dan tak lengkap berupa teriakan, kutukan, umpatan, dan panggilan. Kaidah penggunaan dan variasi leksikalnya sangat bergantung pada konteks.

Penelitian mengenai interjeksi juga pernah dilakukan oleh Hardiah (2012).

Penelitian tersebut membahas mengenai interjeksi dalam bahasa Indonesia. Penelitian bersifat deskriptif kualitatif dengan menerapkan metode observasi dengan menggunakan pendekatan Natural Semantic Metalanguage (NSM) dan analisis pragmatik dengan mempertimbangkan secara seksama komponen situasi tutur. Hasil

(10)

analisa menunjukkan bahwa; interjeksi dalam bahasa Indonesia dapat dikelompokkan atas bentuk primer dan bentuk sekunder. Klasifikasi interjeksi didasarkan atas 3 hal yaitu; volitif, emotif, dan kognitif. Interjeksi bersifat multifungsi artinya sebuah interjeksi dapat berfungsi untuk mengekspresikan beragam perasaan yang berbeda dan dapat pula berfungsi untuk tujuan fatis.

Adapun interjeksi bahasa Arab pernah diteliti oleh Hasanah (2013) dalam laporan penelitian yang membahas mengenai kalimat eksklamatif dalam bahasa Arab.

Penelitian tersebut menggunakan metode deskriptif analisis dan hanya bertumpu pada tinjauan sintaksis. Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa dalam bahasa Arab kalimat eksklamatif dibagi menjadi dua yaitu kalimat eksklamatif qiyasi yang berpola ma> af’ala dan af’il bihi dan kalimat eksklamatif mut}laq yang terbatas beberapa bentuk dan partikel seru, yaitu az\i>m, aji>b, wa>han, miski>n, subh}analla>h, ma> sya> alla>h, wailun, ya> sala>m, ya> hasrah, kam, ya>, wa>, dan hah.

Wijayanti (2015) meneliti interjeksi dalam bahasa Jawa. Penelitian bersifat deskriptif kualitatif dengan menerapkan metode observasi dengan menggunakan pendekatan pragmatik dengan mempertimbangkan secara seksama komponen situasi tutur. Hasil analisa menunjukkan bahwa; interjeksi dalam bahasa Jawa dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah morfem, asal kata, dan makna. Interjeksi bahasa Jawa dapat berdistribusi pada kalimat mandiri, di awal klausa, di tengah klausa, dan di akhir klausa. Adapun klasifikasi interjeksi berdasarkan makna didasarkan atas 3 hal yaitu; volitif, emotif, dan kognitif.

(11)

Berdasarkan pada beberapa uraian di atas, penelitian interjeksi dalam bahasa Arab hanya pernah diteliti oleh Nasution (2006) dan Hasanah (2013). Akan tetapi, penelitian tersebut hanya terbatas pada beberapa bentuk interjeksi, sehingga belum mampu untuk menggambarkan penggunaan interjeksi secara lengkap dan mendetail.

Disebabkan keterbatasan penelitian dan hasil penelitian yang belum maksimal pada penelitian sebelumnya, penelitian lebih lanjut mengenai interjeksi dalam bahasa Arab masih sangat diperlukan dan layak untuk diteliti dengan harapan akan mampu mendeskripsikan interjeksi bahasa Arab dari segi bentuk, klasifikasi, dan fungsi interjeksi secara komprehensif.

1.6 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan beberapa teori yang dianggap relevan untuk menjawab rumusan masalah yang ada. Permasalahan pertama membutuhkan teori mengenai definisi, batasan interjeksi, bentuk satuan kebahasaan, dan bentuk interjeksi. Permasalahan kedua membutuhkan teori klasifikasi dan fungsi bahasa.

Permasalahan ketiga membutuhkan pendekatan pragmatik dan fungsi bahasa. Berikut adalah penjelasan mengeni beberapa teori tersebut.

1.6.1 Definisi dan Batas Interjeksi

Wierzbicka (1991:290) mendefinisikan interjeksi sebagai sebuah tanda linguistik yang memenuhi kondisi antara lain, dapat berdiri sendiri dalam penggunaannya, mengekspresikan makna tertentu, tidak termasuk ke dalam tanda lain, tidak homofon dengan bentuk leksikal lain yang secara semantik berkaitan, dan merupakan pernyataan mental atau tindakan mental yang spontan dari penutur.

(12)

Definisi tersebut senada dengan definisi yang disampaikan oleh Kridalaksana (1985:120) bahwa interjeksi adalah kategori yang bertugas mengungkapkan perasaan pembicara dan secara sintaksis tidak berhubungan dengan kata-kata lain dalam ujaran. Interjeksi bersifat ekstrakalimat dan selalu mendahului ujaran sebagai teriakan yang lepas atau berdiri sendiri.

Kowal dan O‟Connel (2008:137) menyebutkan bahwa interjeksi adalah ekspresi spontan seseorang. Hal tersebut juga senada dengan pendapat Ameka (1997:743) yang mendefinisikan interjeksi sebagai kata-kata yang menyertai ujaran yang mengekspresikan perasaan mental spontan pembicara atau reaksi terhadap elemen-elemen linguistik atau ekstra linguistik (konteks). Interjeksi dapat dijelaskan dengan kriteria formal, semantik, dan pragmatik. Berdasarkan kriteria formal, interjeksi merupakan bentuk leksikal yang memenuhi keadaan, 1) merupakan ujaran noneliptikal, 2) tidak termasuk kedalam konstruksi kelas kata lain, 3) tidak memiliki afiks infleksi atau derivasi, dan 4) monomorfemik. Dari sudut pandang semantik interjeksi merupakan tanda linguistik yang mengekspresikan pernyataan mental penuturnya atau reaksi terhadap situasi. Hal ini mempersempit kelas interjeksi dengan tidak memasukkan bunyi onomatopea.

Adapun menurut C.A Mees (1957) interjeksi merupakan kata-kata yang menirukan bunyi manusia, yaitu bunyi panggilan, bunyi yang memperingatkan adanya bahaya, bunyi yang menyatakan kesakitan dan berbagai rasa heran. Sejalan dengan C.A Mess, Chaer (1994:233) mendefinisikan kata seru sebagai kata-kata yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan batin, misalnya karena kaget, terharu,

(13)

kagum, marah, atau sedih. Senada pula dengan Moeliono (2003:203) menyebutkan bahwa interjeksi adalah kata-kata yang mengekspresikan perasaan penuturnya disebut dengan interjeksi. Interjeksi merupakan pengungkap rasa hati pembicara. Untuk memperkuat rasa hati seperti terkejut, kagum, sedih, heran, dan jijik seseorang akan memakai kata tertentu disamping kalimat yang mengandung makna pokok yang dimaksud. Secara struktur interjeksi tidak bertalian dengan unsur kalimat yang lain (Moeliono, 2003:203).

Sudaryanto (1992:123) dan Wedhawati (2006:417) hampir sama dalam mendefiniskan interjeksi, yaitu kata yang mengungkapkan rasa hati pembicara. Di dalam bahasa Jawa, interjeksi disebut dengan tembung panguwuh. Di dalam kalimat, kedudukan interjeksi dapat dipisahkan karena memiliki kedudukan yang sederajat dengan kalimat.

Berdasarkan definisi dan batasan yang disampaikan para ahli di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa pengertian interjeksi secara umum adalah ungkapan pendek yang berdiri sendiri terlepas dari satuan leksikal lain. Interjeksi merupakan ungkapan spontan yang bertugas mengungkapkan perasaan pembicara, dan interjeksi bersifat contextbound (tergantung konteks).

1.6.2 Bentuk Satuan Kebahasaan

Bentuk satuan kebahasaan berdasarkan tatarannya terdiri dari satuan terkecil hingga satuan terbesar. Menurut Parera (2009:5) satuan bahasa terkecil disebut dengan fonem, satuan bahasa di atas fonem disebut dengan morfem, satuan bahasa di atas morfem disebut dengan frasa, satuan bahasa di atas frasa disebut dengan klausa,

(14)

satuan bahasa di atas klausa disebut dengan kalimat, dan satuan bahasa terbesar di atas kalimat disebut dengan wacana.

Sementara Lyon (1968,170-171) menyebutkan bahwa satuan gramatikal dalam bahasa terbagi menjadi tiga, yaitu kalimat, kata, dan morfem. Di antara kata dan kalimat terdapat dua satuan lainnya yang diakui oleh para ahli tata bahasa yaitu, frasa dan klausa. Secara tradisional, perbedaan antara kedua satuan itu adalah satu kelompok kata yang secara gramatikal sepadan dengan satu kata dan yang tidak mempunyai subjek dan predikat sendiri disebut frasa. Adapun kelompok kata dengan subjek dan predikat sendiri jika termasuk dalam sebuah kalimat yang lebih besar disebut dengan klausa. Hubungan antara kelima satuan gramatikal tersebut adalah hubungan komposisi. Jika kalimat merupakan satuan kebahasaan tertinggi dan morfen merupakan yang terendah, kita dapat mengatur skalanya menjadi kalimat, frasa, klausa, kata, dan morfem.

1.6.3 Bentuk Interjeksi

Ameka (1994:743) membagi bentuk interjeksi menjadi dua, yaitu primary (primer) dan secondary (sekunder) interjection. Interjeksi primer adalah kata-kata pendek atau nonwords yang dalam distribusinya dapat berupa ujaran noneliptikal bebas dan tidak termasuk dalam kelas kata lain, misalnya dalam bahasa Inggris, gee, oops dsb. Interjeksi sekunder adalah kata-kata yang memiliki makna semantik bebas, namun dapat digunakan secara konvensional sebagai ujaran noneliptikal yang bebas untuk mengekspresikan tindakan atau pernyataan mental penuturnya, misalnya

(15)

makian atau kata tabu bangsat, sial dalam bahasa indonesia dan khinzi>r, h}ima>r dalam bahasa Arab.

Adapun Wierzbicka (1991:290) menganggap bahwa bentuk interjeksi hanyalah bentuk primer. Interjeksi bentuk sekunder tidak dianggap sebagai bentuk interjeksi karena menempati fungsi leksikal tertentu dan memiliki independensi semantis. Sementara Wilkins (1992:124) melihat bentuk interjeksi lebih lengkap dengan membegi bentuk interjeksi atas bentuk primer, sekunder, frasa, dan klausa.

Dalam penelitian ini penulis mengacu pada bentuk interjeksi yang dikemukakan oleh Wilkins (1992:124) karena sangat relevan dengan data penelitian interjeksi bahasa Arab.

1.6.4 Klasifikasi Interjeksi

Wierzbicka (1991:292-336) mengklasifikasikan interjeksi menjadi tiga kelas, yaitu interjeksi volitif, interjeksi emotif, dan kognitif. Interjeksi volitif adalah interjeksi yang ditujukan pada lawan tutur, interjeksi emotif berkaitan dengan perasaan mental penutur, dan interjeksi kognitif berkaitan dengan apa yang dipikirkan penutur. Interjeksi volitif merupakan interjeksi yang menunjukkan ekspresi yang ditujukan langsung kepada mitra tutur (pendengar). Pengucapan interjeksi ini bertujuan untuk menarik perhatian atau meminta respon atau tindakan dari penutur.

Interjeksi ini mengandung makna dasar “saya ingin atau tidak ingin Anda melakukan sesuatu sekarang”.

(16)

Adapun Interjeksi emotif merupakan interjeksi yang berpusat pada penutur yang menjelaskan perasaan yang dirasakan oleh penutur. Kelas interjeksi ini lebih bersifat universal yaitu berlaku umum di setiap bahasa namun memiliki cara yang berbeda dalam penyampaiannnya. Interjeksi kognitif merupakan ekspresi perasaan mental penuturnya tanpa adanya unsur perasaan dan keinginan. Makna yang terkandung dalam interjeksi ini adalah “saya berpikir sesuatu” atau “saya mengetahui sesuatu” dan tidak mengandung komponen emotif dan volitif.

1.6.5 Fungsi Bahasa

Sebagai alat komunikasi, bahasa dalam pemakaiannya memiliki beberapa fungsi. Menurut Jacobson (1980:82), fungsi bahasa berdasarkan penekanannya dapat dibagi menjadi enam sesuai dengan enam komponen komunikasi yang meliputi penutur, mitra tutur, pesan, kontak antara penutur dan mitra tutur, konteks, dan kode.

Fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai berikut.

a. Fungsi referensial, yaitu apabila bahasa digunakan untuk mengacu sesuatu atau seseorang di luar penutur atau pendengar. Fungsi ini penekanannya pada acuan atau konteks, misalnya Ibu dosen itu cantik.

b. Fungsi ekspresif atau emotif adalah fungsi yang penekanannya pada pengirim pesan ujaran (penutur). Bahasa digunakan untuk menonjolkan sikap penutur terhadap apa yang dibicarakannya dan untuk mengekspresikan perasaan penutur.

Bentuk paling murni fungsi emotif ini diwujudkan dalam interjaksi, misalnya Ah}amdulillah, aku lulus ujian.

(17)

c. Fungsi konatif, yaitu apabila ujaran berorientasi pada penerima pesan. Bahasa digunakan untuk mempengaruhi seseorang agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Bentuk gramatikal bahasa dalam fungsi ini biasanya berupa kalimat perintah atau larangan serta bentuk vokatif (panggilan), misalnya Harap tenang.

Ada ujian.

d. Fungsi fatis, yaitu apabila sebuah ujaran menekankan pada kontak atau hubungan antara penutur dan mitra tutur. Bahasa yang dipergunakan untuk menjalin hubungan, memelihara, mempertahankan, atau memutuskan komunikasi, misalnya How are you?.

e. Fungsi puitis (poetic), yaitu apabila suatu ujaran penekanannya pada pesan yang disampaikan. Pada fungsi ini pemanfaatan bahasa seefektif dan seefisien mungkin untuk menyampaikan suatu pesan, misalnya Asyhadualla ila imraatan ila anti `Saya bersaksi bahwa tidak ada perempuan kecuali kamu`.

f. Fungsi metabahasa (metalinguistik), yaitu apabila bahasa digunakan untuk menerangkan bahasa itu sendiri. Fungsi ini penekanannya terletak pada kode, misalnya bahasa dalam kamus monolingual.

1.6.6 Pendekatan Pragmatik

Yule (1998) menyebutkan pragmatik sebagai suatu ilmu tentang makna yang disampaikan oleh penutur dan ditafsirkan oleh pendengar. Pragmatik dapat dikatakan juga sebagai kajian tentang makna yang kontekstual, artinya sangat tergantung pada konteks saat pembicaraan berlangsung. Konteks sangat berperan kuat di sini, sebab

(18)

dengan konteks akan dapat menentukan maksud penutur berinteraksi dengan lawan tutur. Kridalaksana (1985) menjelaskan bahwa makna kontekstual merupakan hubungan antara ujaran dan situasi ujaran tersebut digunakan.

Adapun Goffman sebagaimana dikutip dalam Wharton (2009:98) melakukan penelitian interjeksi dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Di dalam penelitiannya tersebut Goffman menggunakan asumsi lawan tutur melalui konteks yang ada dalam tuturan. Konteks nantinya akan menentukan makna dan fungsi interjeksi. Leech (1983) memerikan konteks sebagai salah satu komponen dalam situasi tutur. Menurut Leech, konteks didefinisikan sebagai aspek-aspek yang berkaitan dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Konteks juga didefinisikan sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang secara bersama dimiliki oleh penutur dan petutur dan konteks ini membantu petutur menafsirkan atau menginterpretasi maksud tuturan penutur. Adapun Levinson (1983:5) mengemukakan konteks sebagai istilah yang dipahami yang mencakup identitas partisipan, parameter ruang dan waktu dalam situasi tutur, dan kepercayaan, pengetahuan serta maksud partisipan di dalam situasi tutur.

1.7 Metode Penelitian

Berikut akan dipaparkan mengenai sumber data dan metode yang digunakan dalam pengumpulan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data.

1.7.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Pada tahap penyediaan data digunakan metode simak, yaitu penyediaan data dengan menyimak penggunaan bahasa Arab pada sumber data. Selanjutnya penulis

(19)

menggunakan teknik dasar, yaitu teknik sadap. Penyadapan dilakukan dengan membaca data untuk kemudian menggunakan bolpoin merah sebagai penanda data interjeksi. Adapun teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik catat, yaitu penulis mencatat semua penggunaan interjeksi, yang dilanjutkan dengan transkripsi ortografis pada kartu data. Transkripsi ortografis adalah transkripsi yang menggunakan ejaan (Kesuma, 2007:46).

Sumber data dalam penelitian ini adalah naskah drama dan novel Arab yang diterbitkan di Mesir antara lain, al-Khut}wati al-Wa>s\iqah (Ya’qu>b, 1996), Amniyah wa Amniyah (Ya’qu>b, 1996), al-Muma>rasatu fi> al-H}iwa>ri wa al-Muh}a>das\ati (Zi>dan, 2013), H}aflau Samri min Ajlihi H}azi>ra>n (Sa,i>d, 2004), Abt}alu> al-Mans}u>rati (Ramzi, 2004), Masrah}iyyatu al-H}u>t (Najja>r, 2014), Al-Masrah}iyya>t (Mah}fu>z}, 2008), dan Mismāru Juḥā (Ba>kas\i>r, 1951). Pemilihan sumber data tertulis disebabkan karena saat

ini penggunaan bahasa Arab formal secara lisan sangat terbatas. Penggunaan bahasa Arab formal secara lisan hampir sudah tidak dipergunakan lagi kecuali dalam pidato- pidato resmi, pertemuan resmi kantor pemerintahan, dan pecakapan dalam kalangan akademisi.

1.7.2 Metode dan Teknik Analisis Data

Tahapan analisis data dilaksanakan setelah data yang terjaring diklasifikasikan. Klasifikasi data itu dilakukan sesuai dengan pokok persoalan yang diteliti (Kesuma, 2007:47).

(20)

Data interjeksi yang telah terkumpul dianalisis untuk mendapatkan gambaran yang diinginkan. Untuk menjawab rumusan masalah pertama digunakan metode distribusi. Metode distribusi merupakan metode yang alat penentunya ada di dalam dan merupakan bagian dari bahasa yang diteliti (Sudaryanto, 1993:15). Metode ini digunakan untuk menentukan data tersebut termasuk interjeksi atau bukan. Adapun teknik yang dipergunakan adalah teknik lesap. Teknik lesap adalah teknik analisis data dengan cara melesapkan satuan kebahasaan yang dianalisis. Alat penentunya adalah satuan kebahasaan yang dilesapkan (Sudaryanto, 1993:41). Teknik ini bertujuan untuk membuktikan kadar keintian satuan kebahasaan dalam suatu konstruksi (Kusuma, 2007:57). Dalam penelitian ini, teknik lesap bertujuan untuk membuktikan kadar keintian interjeksi dalam suatu kalimat.

Selanjutnya untuk menjawab rumusan masalah kedua dan ketiga, yaitu pengklasifikasian interjeksi yang mencakup makna yang dimaksudkan oleh penutur dan penentuan fungsi interjeksi digunakan metode kontekstual. Menurut Rahardi (2005:16) metode kontekstual adalah cara-cara analisis yang diterapkan pada data dengan mendasarkan, memperhitungkan, dan mengaitkan dengan konteks-konteks yang ada. Levinson (1983:5) mengemukakan konteks sebagai istilah yang dipahami yang mencakup identitas partisipan, parameter ruang dan waktu dalam situasi tutur, kepercayaan, pengetahuan serta maksud partisipan di dalam situasi tutur. Dalam hal ini, objek kajian berupa interjeksi akan dikaitkan dengan konteks tersebut.

(21)

1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis data

Tahap selanjutnya adalah tahap penyajian hasil analisis data. Pada tahap ini digunakan metode informal. Artinya penyajian hasil penelitian dirumuskan dengan kata-kata biasa, yaitu dengan kata-kata yang apabila dibaca dengan serta merta dapat langsung dipahami (Kesuma, 2007:71). Hasil analisis data merupakan jawaban/temuan dari rumusan masalah yang telah disampaikan.

1.8 Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab pertama pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Pada bab kedua diuraikan mengenai bentuk-bentuk interjeksi dan realisasi penggunaannya. Bab ketiga mendeskripsikan klasifikasi interjeksi dalam bahasa Arab yang mencakup makna yang dimaksudkan oleh penutur dan fungsi dari interjeksi tersebut. Bab keempat memberikan gambaran mengenai multifungsi interjeksi dalam penggunaannya dengan pendekatan pragmatik. Bab kelima penutup yang berisi kesimpulan dari bab-bab sebelumnya serta saran dari penulis.

Referensi

Dokumen terkait

(1) Semua pegawai Perusahaan, termasuk anggota Direksi, dalam kedudukan selaku demikian, yang tidak dibebani tugas penyimpanan uang, surat berharga dan barang-barang

yakni SD, namun yang lebih memprihatinkan adalah sekolah MI dan MTS nya, kelompok saya memilih MI dan MTs sebagai pengabdian dari kami semua, hari- hari kami mengajar di MI dan

KEDUA : Indikator Kinerja Utama ( IKU ) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan acuan ukuran kinerja yang digunakan masing-masing unit kerja dilingkungan

Untuk mengembangkan peran dan fungsi Politeknik ATK Yogyakarta serta untuk memenuhi tuntutan pasar global, maka sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Aplikasi ini di develop berbasis desktop dan berjalan di sistem operasi windows, sehingga dapat memudahkan user dalam penggunaannya, Applikasi ini juga sudah di design

Dalam stratigrafi tradiosional pengertian lapisan tidak terlalu ditekankan, bahkan definisinyapun tidak ada, Dalam stratigrafi tradiosional pengertian lapisan tidak

sesuatu yang tidak disukai anak itu menunjukkan temper tantrum terjadi pada anak karena pola asuh orangtua yang ditunjukkan pada pernyataan pada skala seperti

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab Perusahaan Listrik Negara atas kompensasi yang berhak diterima konsumen akibat