• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang akan digunakan dalam penelitian ini. Penelitian terdahulu mengkaji tentang keberadaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang akan digunakan dalam penelitian ini. Penelitian terdahulu mengkaji tentang keberadaan"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bagian ini akan menguraikan beberapa penelitian terdahulu dan kerangka pemikiran yang akan digunakan dalam penelitian ini. Penelitian terdahulu mengkaji tentang keberadaan pesantren secara umum dan posisinya dalam sistem pendidikan Nasional, termasuk tentang kekhasan m odel pendidikan pesantren. Dari berbagai penelitian itu terdapat suatu bidang yang belum dikaji secara akademis melalui penelitian, sehingga membuka ruang untuk diadakan penelitian. Sebab itu, penelitian terdahulu akan bermakna dalam upaya memperkaya hasil penelitian yang akan dilakukan. Sedangkan kerangka pemikiran digunakan untuk mengkaji atau mengurai fenomena pendidikan Aqidah Akhlaq dalam membentuk disiplin santri Pesantren M odern Nurul Hakim.

A. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Sebagaimana diuraikan terdahulu bahwa kajian tentang pesantren dengan berbagai bentuknya menarik banyak perhatian, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dan baik dari kalangan M uslim maupun di luarnya. Dari berbagai kajian beberapa penelitian yang relevan dengan judul yang dibahas ialah:

Karel A Steenbring (1986), yang menulis buku berjudul Pesantren, Sekolah, dan M adrasah. Buku ini mengisahkan sejarah kehadiran tiga lembaga pendidikan di Indonesia yang tetap eksis sampai hari ini, yaitu pesantren, sekolah, dan madrasah. Uraiannya sangat penting selain bertujuan untuk membedakan antar ketiga (trilogi) sistem pendidikan di Indonesia tersebut, juga sekaligus dapat mempertegas posisi lembaga pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan bersama dua lembaga lainnya.

(2)

M artin van Bruinessen (1990) Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in Pesantren M illieu. Karya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini menguraikan bagaimana pentingnya kedudukan Kitab Kuning sebagai rujukan pokok di dunia pesantren (Bruinessen, 1995). Hal ini sejalan dengan ciri khas pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang spesialisasinya ialah kajian kitab kuning. Disebut kitab kuning, selain karena umumnya dicetak dalam kertas berwarna kuning (seharusnya coklat), juga sekaligus menggabarkan keklasikan dari karya-karya tersebut karena ditulis oleh ulama- ulama Islam pada zaman klasik.

Zamakhsyari Dhofier (1985), Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai. Buku ini sangat penting dalam memahami pesantren sebagai sebuah entitas lembaga pendidikan khas Indonesia, karena memang sistem pendidikan ala pesantren memang hanya ada di Indonesia. B uku ini berbicara secara luas tentang dunia pesantren, seperti karakteristik pesantren dan uraian tentang posisi dan status kiyai sebagai figur sentral sehingga begitu dominan dalam kehidupan pesantren. Begitu pentingnya karya ini sehingga dapat diambil suatu konsep bahwa dengan mendalami buku ini akan memahami dunia pesantren.

M arzuki Wahid, dkk (1999), Pesantren M asa Depan, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Buku ini merupakan antologi karya penting tentang pesantren oleh 20 orang yang ahli dan menekuni pesantren ditambah prolog dari K.H. Abdurrahman Wahid.

Di antara penulisnya ialah Said Aqil Siradj, AG. M uhaimin, Jamali, Syarif Hidayatullah, Afadi M ukhtar, dan lain-lain. Para penulis masing-masing mengajukan gagasannya dalam upaya peningkatan kualitas pesantren masa depan sehingga lebih responsif terhadap perkembangan zaman.

Salah satu tema yang diangkat ialah tentang posisi pesantrenn yang berada di persiampangan jalan, karena ia berada di antara dua pilihan, yaitu tetap istiqamah dengan karakter tradisional atau mengadakan perubahan menjadi bentuk modern.

(3)

Karya ilmiah N ia Kurniati (2017), berjudul “Pembelajaran Akidah A khlaq dan Korelasinya Dengan Peningkatan A khlaq al-Karimah Peserta Didik”. M elalui karya ini diperoleh informasi bahwa terdapat korelasi antara pendidikan aqidah akhlaq dengan peningkatan akhlaq al-karimah peserta didik, yaitu pendidikan aqidah akhlaq dapat meningkatkan akhlaq al-karimah peserta didik.

Karya ilmiah Suryawati (2016), berjudul “Implementasi Pendidikan A kidah Akhlaq Terhadap Pembentukan Karakter Siswa di M Ts Negeri Semanul G unung Kidul”, yang diterbitkan pada Jurnal Pendidikan M adrasah, volume 1 Nom or 2, Vopember 2016, ISSN 2527-4287-E-1. Karya ini memberikan informasi bagaimana implementasi Pendidikan Akidah Akhlaq Terhadap Pembentukan Karakter Siswa di M Ts Negeri Semanul Gunung Kidul.

M uhammad Faqih Nursyamsu, M T (2009), tesis berjudul Dinamika Sistem Pendidikan di Pesantren Dalam M enghadapi Era Globalisasi (Studi M utli Kasus Pondok Pesantren Darul H uda M ayak Ponorogo dan Pondok Pesantren Thoriqul H uda Cekok Ponorog. N ursyamsu hanya menguraikan bagaimana respon pesantren dalam menghadapi dunia modern yang ditandai dengan era globalisasi. Intinya, pesantren modern mampu menyesuaikan diri dengan langgam modern, sehingga pesantren mampu menampilkan dirinya sebagai alternatif model pendidikan di era modern.

M ahmud, tesis berjudul Pengembangan Kurikulum Pendidikan di Pesantren Rifa’iyah (1974-2014). Tesis ini hanya menguraikan bagaimana perkembangan kurikulum terjadi di pesantren dimaksud yang diseduaikan dengan perkembangan dunia pendidikan. Kajian ini tentu penting sebagai sebuah model bagaimana pesantren merespon perkembangan dunia modern dari aspek kurikulum, sehingga pesantren tidak menghadapi dilema modernitas di antara menolak atau menerima modern.

(4)

Arif M uzayin Shofyan, Pendidikan Keagamaan Islam M ultikultural (Studi K onstruksi Kiyai di Pondok Pesantren Bustanul M uta’allim in Blitar). Disertasi yang sudah disidangkan Universitas M uhammadiyah M alang tahun 2016 ini menguraikan bagaimana pendidikan multiklultural dilakukan di pesantren dengan mengambil lokasi di Pondok Pesantren Bustanul M uta’allimin Blitar.

Semua karya dan hasil penelitian di atas tentu banyak memberikan informasi tentang dunia pesantren, baik yang bersifat umum dalam kaitannya dengan sistem pendidikan nasional, maupun yang bersifat khusus, yaitu bagaimana dunia pesantren merespon perkembangan modern dari segi silabi dan kebijakan. Namun semua buku dan hasil penelitian tersebut belum ada yang secara khusus membahas bagaimana proses membentuk disiplin santri dilakukan, apalagi di Pondok Pesantren M odern Nurul Hakim Tembung Deli Serdang Sumatera Utara. Padahal kedisiplinan ini merupakan satu dari lima ciri pesantren, yaitu pendalaman agama (tafaqqahu fiddin), kekuatan moral yang tinggi, kemandirian, dan kedisiplinan (Ridwan Abdullah Sani, 2011) dan menjadi tujuan pendidikan Nasional, sebagaimana dimanahkan melalui TAP M PR Nomor Tahun 2013. Kehadiran penelitian ini diharapkan akan mengisi kekosongan informasi tersebut, sehingga berperan penting dalam memberikan informasi yang lebih terkini tentang dunia pesantren.

B. Kerangka Konseptual.

Judul penelitian ini “Pendidikan Aqidah Akhlaq Dalam M embentuk Kedisiplinan Santri Pesantren M odern N urul Hakim Tembung Deli Serdang Sumatera Utara” di dalamnya terdapat kata-kata kunci yang perlu penjelasan agar maksud yang diinginkan memiliki batasan yang jelas, sehingga tidak terjadi perbedaan pemahaman. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam pembahasan dan dalam operasional penelitian, yaitu pendidikan, Aqidah Akhlaq, dan kedisiplinan.

(5)

1. Pendidikan

Pendidikan dari asal kata didik ditambah awalan “pen” dan akhiran “an”, memiliki banyak arti, yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlaq dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan ialah proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan pada hakekatnya adalah proses peralihan pengetahuan, nilai, budaya dan agama dari seorang/guru kepada orang lain/murid (transfer of knowledge, transfer of value, transfer of culture, and transfer of reglious, understanding) untuk mengubah prilaku individu dan kelom pok agar memiliki kecakapan hidup (life skills) yang berakhlaqul karimah.

Para ahli mengajukan berbagai definisi tentang pendidikan. Syed M uhammad Naquib Al-Attas (1994), memberi definisi pendidikan sebagai suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem penanaman secara bertahap dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut. Sedangkan Ahmad D.

Marimba memberi definisi pendidikan sebagai “suatu bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam” (M arimba, 1989).

Dalam Islam terdapat tiga istilah yang saling terkait dan melengkapi, yang saling melengkapi di antara satu dengan yang lain, yaitu tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Kata ini disebut beberapa kali dalam al-Qur’an, dan dari berbagai ayat tersebut difahami bahwa kata at-tarbiyah ini memiliki empat unsur pendekatan, yaitu (a) memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa/baligh (b) mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan (c) mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan, dan (d) melaksanakan pendidikan secara bertahap (An-Nahlaw i, 1992).

Kata ta’lim bersifat lebih umum, sebagai proses transmisi berbagai ilm u pengetahuan

(6)

pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan, melainkan membawa kaum M uslimin kepada nilaia pendidikan tazkiyah an-nafs (penyucian diri) dari segala kotoran sehingga memungkinkannya mampu menerima hikmah serta mempelajari segala yang mungkin diketahui (Jalal, 1989).

Kata ta’lim ini secara tekstual termaktub dalam beberapa ayat al-Qur’an, seperti surat al-Baqarah/2: 31-32, yang artinya:

“Dan Dia mengajarkan kepada A dam mengajarkan nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaiakat lalu berfirman:

‘sebutkanlah kepada-K u nama benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar’.

M ereka menjawab: ‘M aha S uci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang M aha M engetahui lagi M aha Bijaksana”.

Sedangkan ta’dib dimaknakan sebagai proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlaq atau budi pekerti anak didik, sesuai dengan akhlaq Rasulullah Saw sebagai tipologi ideal manusia, sebagaimana dijelaskan pada surat al- Ahzab/33: 21, yang artinya:

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.

Kata ta’dib di sini difahami sebagai proses bimbingan yang dititik beratkan pada aspek peningkatan intelektualitas peserta didik, sehingga secara berangsur-angsur tertanam pada diri anak didik berbagai nilai, seperti nilai sosial keagamaan yang berpusat pada nilai- nilai Ketuhanan (Muhamam d Naquib al-Attas, 1994).

Ketiga terminologi di atas menampilkan wajah utuh pendidikan dalam konsep Islam, yaitu adanya pijakan tauhid, proses dan tujuan, yaitu membentuk manusia paripurna yang memiliki akhlaqul karimah. Sebagai suatu proses, dalam aktifitas pendidikan tiga unsur pokok dalam pendidikan ialah adanya pendidik (guru, ustaz, pengajar, mu’allim) dan adanya

(7)

peserta didik (murid, siswa, santri, thalib) dan adanya materi yang dijarakan atau nilai yang ditranformasikan (materi ajar, al-maddah al-tarbiyah).

Kemudian untuk sebuah proses pendidikan yang maksimal, harus didukung oleh unsur dan prinsip lainnya, di antaranya:

a. Berpijak pada empat azas pendidikan yang benar, yaitu: (1) azas humanistik-manusiawi, yaitu pendidikan diarahkan pada upaya pendidikan terhadap seluruh aspek/potensi anak didik; fisik non fisik, emosi intelektual, kognitif, afektif psikomotorik. Sedangkan azas manusiaw i, yaitu manusia dipandang sebagai suatu makhluk yang memiliki banyak potensi yang harus dikembangkan, (2) azas kemerdekaan, yaitu pendidikan walaupun berupaya merobah nilai dan prilaku anak didik namun jangan sampai mengekang kebebasan sng anak didik tersebut, karena kebebasan penting bagi manusia yang memiliki akal. Yang penting ialah bahwa kebebasan tetap terkendali dalam koridor pembelajaran, (3) azas kebudayaan, yaitu pembangunan manusia harus tetap berada dalam koridor pengembangan budaya. Kemajuan boleh diikuti, namun tetap berada dalam koridor budaya bangsa sebagai jati diri; dan azas kebangsaan, yaitu pembangunan manusia harus tetap berada dalam koridor pengembangan nilai-nilai kebangsaan, yaitu bangsa Indoensia sebagai salah satu bangsa di dunia.

b. M emiliki kurikulum pembelajaran. Kata kurikulum berasal dari bahasa Latin yaitu currere, yang berarti lapangan perlombaan lari. K urikulum juga bisa berasal dari bahasa inggris yaitu kata curriculum yang berarti a running course, dan dalam bahasa Prancis dikenal dengan carter yang berarti to run (berlari) (Wina Sanjaya, 2009).

Kurikulum adalah suatu program pendidikan yang berisi tentang bahan ajar dan pengalaman belajar yang sudah diprogramkan, direncanakan, dan dirancangkan secara sistematis atas dasar norma yang berlaku dan dijadikan pedoman dalam proses belajar mengajar bagi pendidik atau guru untuk mencapai tujuan dari pendidikan. Sehingga

(8)

kurikulum ini menjadi acuan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa/murid untuk memperoleh ijazah.

Kurikulum berupa sesuatu yang direncanakan. Adapun yang direncanakan tersebut biasanya berupa sebuah ide, suatu cita-cita tentang manusia atau warga negara yang akan dibentuk.

Dari definisi tersebut didapatkan bahwasanya kurikulum merupakan sesuatu yang sangat penting bagi keberhasilan sebuah pendidikan, tanpa kurikulum yang tepat akan sangat sulit untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang dikehendaki. Paling tidak kurikulum memiliki empat fungsi, yaitu (1) fungsi integrasi yaitu untuk mendidik pribadi yang terintegrasi, sehingga pribadi tersebut merupakan bagian integral dari sebuah kelompok masyarakat, maka pribadi tersebut akan memberikan sumbangan tenaga dan pikiran untuk membentuk masyarakat; (2) Fungsi penyesuaian, yaitu sebagai fungsi yang berdasarkan bahwa individu hidup dalam lingkungan, sedangkan lingkungan tersebut senantiasa berubah dan dinamis, maka setiap pribadi harus mampu menyesuaikan diri secara dinamis. Kemudian di balik lingkungan pun harus disesuaikan dengan kondisi perorangan, disinilah letak fungsi kurikulum sebagai sebuah alat pendidikan menuju individu yang baik; (3) fungsi diferensiasi sebagai fungsi yang memberikan pelayanan terhadap perbedaan individu di dalam sebuah masyarakat, sehingga diferensiasi ini pada dasarnya akan mendorong orang untuk lebih semangat dan berfikir kritis serta kreatif.

Dengan demikian kehidupan sosial dalam sebuah masyarakat pun menjadi lebih hidup.

Kemudian (4) fungsi persiapan, sebagai fungsi kurikulum yang mempersiapkan mental dan pengetahuan murid untuk mampu melanjutkan tingkatan studi yang lebih lanjut. Dan murid juga dapat turun ke masyarakat, sehingga membentuk minat tersendiri bagi mereka; (5) fungsi pemilihan sebagai fungsi sebagai hak bagi murid untuk memilih sesuai dengan m inat dan bakatnya. Sehingga menjadi kebutuhan yang ideal bagi

(9)

masyarakat yang demokratis; dan (6) fungsi diagnostik. M erupakan salah satu segi pelayanan pendidikan adalah membantu dan mengarahkan para siswa agar mereka mampu memahami dan menerima bahwa dirinya sehingga dapat mengembangkan semua potensi yang dim iliki.Ini dapat dilakukan bila mereka mengenali semua kelemahan dan kekuatan yang dimiliki melalui eksplorasi dan prognosa atau keadaan lanjutan.

Berdasarkan enam fungsi tersebut, kurikulum memiliki manfaat bagi semua pihak yang terkait dengan pendidikan. Secara umum kurikulum bermanfaat sebagai media mencapai tujuan dari program pendidikan. M anfaat ini dapat dijabarkan kepada bidang masing-masing, yaitu:

1. Sekolah/P impinan, yaitu sebagai pedoman standarisasi dan prosedur yang berlaku.

Kemudian sebagai alat ukur visi missi yang perlu terus dievaluasi bagi pengembangan kelembagaan. Juga sebagi panduan pimpinan dalam mengarahkan guru dan staf kependidikan.

2. Guru, yaitu sebagai bahan dalam merancang program pembelajaran, karena dengan kurikulum guru dapat melakukan proses pembelajaran sesuai dengan standard yang ditetapkan. K urikulum juga dapat dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan evaluasi terhadap perkembangan siswa, dan pedoman dalam mengatur kegiatan pembelajaran.

3. M urid, yaitu sebagai panduan dalam menjalani program pendidikan yang dijalani, sehingga ia mengetahui posisinya di mana, apa kendala yang dihadapi,dan sebagainya.

4. Orangtua, yaitu sebagai panduan dalam membimbing anak belajar di rumah sekaligus mengetahui sejauh mana kemampuan anak dalam menyerap kurikulum pembelajaran.

Informasi ini juga penting bagi para guru dalam memberikan dorongan kepada anak didik.

(10)

5. M asyarakat, yaitu sebagai bahan bagi pemberian usulan dan saran peningkatan program pendidikan di sekolah. Juga sebagai bahan masyarakat dalam menentukan kerjasama apa yang harus mereka perankan.

6. Pendidikan lanjutan, yaitu sebagai bahan bagi perum usan kurikulum lanjutan sehingga tidak timpang tindih dengan kurikulum yang sudah pernah disampaikan. Jika lembaga pendidikan teknis atau kejuruan, dengan adanya kurikulum, para pengelola pendidikan lanjutan mampu merumuskan kurikulum yang lebih sesuai dengan anak didik.

7. Instansi/lembaga pemakai lulusan, yaitu bahan untuk mengetahui dalam bidang apa saja perlu penguatan alumni sehingga lebih link dan mach dengan tenaga kerja yang mereka butuhkan.

c. M emiliki metodologi pembelajaran yang tepat. M etodologi ialah cara penyampaian materi pembelajaran sehingga mudah ditangkap atau diresap oleh peserta didik. M etodologi penting karena sangat menentukan bagi tercapainya sasaran pendidikan, sehingga muncul adagium dalam dunia pendidikan bahwa “metodologi lebih penting dari materi pembelajaran” (ath-thariqatu ahamm u min al-maddah) (Rohani, 1991).

Sebab itulah para ahli pendidikan merumuskan berbagai metodologi pembelajaran, seperti:

1. M etode ceramah, yaitu menyampaikan materi pembelajaran kepada peserta didik melalui ceramah yang sifatnya satu arah (one way process), yaitu dari guru ke murid.

M etode ini terdapat dalam al-Qur’an surat an-Nahl/16: 125).

2. M etode diskusi, yaitu menyampaikan bahan pembelajaran dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membicarakan, menganalisa guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternatif pemacahan masalah. Dalam sistem pendidikan Islam disebut dengan metode “hiwar”

(dialog), seperti tertuang dalam surat an-Nahl/16: 125 di atas.

(11)

M etode ini memberi peluang sebesar-besarnya kepada peserta didik untuk mengekslor pengetahuan yang dimilikinya kemudian dipadukan denganpendapat siswa yang lain. Hal ini penting mnimbulkan rasa percaya diri dan meningkatkan pengalaman menyampaikan pendapat sehingga lebih dewasa.

3. M etode drama, yaitu peserta didik diberi kesempatan menampilkan atau meemntaskan ilmu yang diperoleh sesuai naskah yang telah ditentukan. M etode ini bertujuan untuk melatih ketrampilan siswa, menghilangkan perasaan malu dan rendah diri, meningkatkan kemampuan mengemukakan pendapat, dan membiasakan bisa menerima pendapat orang lain.

4. M etode karyawisata, yaitu memberikan kesempatan kepada siswa untuk melihat secara langsung materi-materi pembelajaran di tempat wisata, seperti museum da tempat bersejarah lainnya. M etode ini juga terdapat dalam al-Q ur’an seperti surat Yusuf/12: 2-3.

5. M etode eksprimen, metode yang diterapkan dalam ilmu alam ini untuk melatih ketrampilan siswa mengadakan percobaan langsung, sehingga penghayatannya lebih maksimal. M etode ini juga terdapat dalam al-Qur’an seperti surat al-Ankabut/29: 20.

6. M etode kisah atau cerita, yaitu menyampaikan materi pembelajaran dalam bentuk cerita atau mengambil contoh peristiwa yang pernah terjadi yang kini diceritakan.

M etode ini juga terdapat dalam al-Qur’an seperti surat al-Ankabut/29: 20; surat Yusuf/12: 2-3; dan lain-lain.

7. M etode tutorial, yaitu metode yang memberikan siswa bahan ajar untuk dipelajari dan kemudian dipandu oleh tenaga pendidik.

8. M etode perumpamaan, yaitu menyampaikan suatu bahan pembelajaran dengan memberikan contoh ril dalam kehidupan atau yang sudah pernah terjadi dalam kehidupan.

(12)

9. M etode suri tauladan, yaitu menyampaikan materi pembelajaran dengan langsung menerapkan dalam keseharian, seperti kerendahan hati, keramahan dan lain-lain. Hal ini diharapkan ara siswa akan menauladani contoh yang dilakukan tersebut. Tauladan terbaik ialah Rasulullah SAW, sebagaimana dinyatakan al-Qur’an surat al-Ahzab/66:

21 (Departemen Agama RI, 1974: 670).

10. M etode peringatan dan pemberian motivasi, yaitu metode yang memberikan kesempatan kepada peserta didik yang melakukan kesalahan untuk memperbaiki diri, sehingga peserta didik termotivasi untuk merubah prilaku. Ini sejalan dengan fungsi Nabi M uhammad SAW sebagai pembawa khabar berita yang membahagiakan (tasbsyir) dan yang tidak membahagiakan sekaligus peringatan (tanzir), seperti tertuang dalam surat al-Baqarah/2: 119 “Sesungguhnya Kami telah mengutusmu hai M uhammad dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan… ” (Departemen Agama RI, 1974: 31).

11. Dan lain-lain (Ibrahim, 2003).

d. M emiliki media pembelajaran. Secara umum media mengandung arti segala bentuk yang dipergunakan untuk suatu proses penyaluran informasi. Jika dikaitkan dengan pembelajaran, media ialah benda yang dapat dimanipulasi, dilihat, didengar, dibaca, atau dibicarakan beserta instrumen yang dipergunakan dengan baik dalam kegiatan belajar mengajar, dapat mempengaruhi efektifitas program instruksional (A snawir, 2002).

Sedangkan pembelajaran ialah kegiatan pendidik secara terprogram dalam desain instruksional untuk membuat peserta didik belajar secara aktif yang menekankan pada penyediaan sumber belajar (Hamalik, 2003).

Dengan demikian media pembelajaran ialah suatu yang bersifat menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan audien (peserta didik) sehingga

(13)

dapat mendorong terjadi proses belajar pada dirinya yang telah diatur secara terprogram oleh pendidik dalam desain pembelajaran.

e. M emiliki lingkungan pendidikan yang kondusif. Yang dimaksud dengan lingkungan ialah sebagai kesatuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi prikehidupan dan kesejahteraan manusia dan makahluk hidup lainnya, yang dibedakan atas lingkungan alam hayati, lingkungan alam non hayati, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial.

Lingkungan pendidikan dengan demikian ialah berbagai faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap praktek pendidikan. Lingkungan pendidikan sebagai berbagai lingkungan tempat berlangsungnya proses pendidikan, yang merupakan bagian dari lingkungan sosial. Oleh karena itu, lingkungan pendidikan mencakup masalah yang sangat luas, meliputi hubungan antar manusia dengan lingkungan alam maupun lingkungan sosial masing-masing. M enurut Sartain (2004), psikolog Amerika, lingkungan pendidikan mencakup kondisi dan alam dunia yang mempengaruhi tingkah laku, pertumbuhan dan perkembangan kehidupan (life process).

Secara umum, sesuai dengan pandangan Ki Hajar Dewantara, lingkungan tersebut mencakup tiga bidang, yaitu:

1. Lingkungan pendidikan keluarga. Keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua yang sifatnya informal, namun peranannya begitu penting sebagai lingkungan pertama seorang anak berinteraksi dan bersosialisasi dengan dunia sekitarnya. Sebagai dunia pertama yang dihadapi anak, lingkungan mampu membentuk anak sesuai dengan ajaran Islam, karena di sinilah semua kecakapan ia peroleh sejak lahir, cara minum, makan, tengkurap, merangkak, berjalan, dan sebagainya.

Oleh karena itu, keluarga haruslah mampu memberikan perlindungan, perawatan dan pendidikan terhadap anak sehingga ia tumbuh berkembang menjadi anak

(14)

yang shaleh. Begitu pentingnya penddikan keluarga ini, sehingga Nabi suatu ketika bersabda, yang artinya: “Setiap anak lahir, ia dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah), kedua orangtuanyalah yang membuatnya Yahudi, Nashrani, dan M ajusi” (H.R.

Turmuzi).

2. Lingkungan pendidikan sekolah. Setelah anak memasuki usia sekolah, lingungan pendidikannya bertambah dan kemudian menjadi lingkungan utama (formal), yaitu di sekolah. D i sekolah proses pembentukan watak dan kepribadian anak semakin intensif, sebab itu, lingkungan sekolah ini harus menjadi perhatian khusus. Diharapkan semua aktifitas di sekolah secara sistemik haruslah bermuara pada pembentukan anak didik yang ideal, sebab itu, lingkungan sekolah harus menjadi faktor dominan dibanding dua lingkungan lainnya.

3. Lingkungan pendidikan masyarakat. Sesuai dengan Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk sosial (homo socius), maka manusia tidak bisa hidup sendiri, ia hanya menjadi manusia ketika berada di masyarakatnya. Sebab itulah lingkungan masyarakat perlu menjadi perhatian

Ketiga jenis lingkungan ini memiliki keterkaitan yang kuat di antara satu dengan yang lain, karena ketiganya haruslah menjadi faktor dominan dalam kesuksesan proses pembelajaran. Sebab itulah UU Sisdiknas Nomor 2 tahun 1989 secara khusus menyebut keberadaan ketiga lingkungan ini, yang tertuang dalam tiga poin, yaitu : (1) Suatu pendidikan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah, (2) Satuan pendidikan yang disebut sekolah merupakan bagian dari pendidikan yang berkesinambungan, dan (3) Satuan pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus, dan satuan pendidikan yang sejenis (Hisyami dkk, 2008).

(15)

f. M engadakan evaluasi. Dari kata evaluate, yang berarti menilai, evaluasi ialah suatu proses pengumpulan data untuk menentukan mana, dalam hal apa, dan bagaimana tujuan pendidikan sudah tercapai. Jika belum, bagaimana yang belum dan apa sebabnya (Ralph Tyler, 2009). A tau dalam arti luas, evaluasi selain untuk mengukur sejauhmana tujuan pendidikan tercapai, tetapi juga digunakan untuk membuat keputusan (Cronbach dan Stufflebeam, 2000).

Berdasarkan pengetrian tersebut, evaluasi penting dalam proses pembelajaran untuk mengetahui sejauh mana capaian sudah diperoleh. Untuk itu, terdapat 10 prinsip umum evaluasi, yaitu:

1. Valid, yaitu metode dan materi/obyek yang dievaluasi haruslah yang valid (sahih) sehingga hasilnya juga akan valid (shahih).

2. Berorientasi pada kompetensi, yaitu evaluasi diarahkan pada capaian kompetensi anak didik dan juga pendidik, sehingga hasil yang diperoleh bisa ditrapkan.

3. Berkelanjutan, yaitu evaluasi harus dilakukan berkelanjutan sehingga hasil tindak lanjut bisa ditingkatkan.

4. M enyeluruh, yaitu evaluasi dilakukan secara menyeluruh terhadap semua yang terkait dengan proses pendidikan.

5. Bermakna, yaitu hasil evaluasi harslah bermakna sehingga memiliki manfaat bagi pendidikan.

6. Adil dan obyektif, yaitu evaluasi haruslah dilakukan secara adil dan obyektif, sehingga hasilnya juga obyektif.

7. Terbuka, yaitu evaluasi haruslah dilakukan secara terbuka sehingga hasilnya obyektif.

Jangan ada data dan fakta yang ditutupi agar hasil evaluasi dapat diketahui secara menyeluruh.

(16)

8. Ikhlash, yaitu evaluasi haruslah dilakukan secara ikhlash untuk kemajuan pendidikan, tidak ada maksud lain seperti untuk merendahkan hasil yang dilakukan pengelola.

9. Praktis, yaitu evaluasi haruslah dilakukan secara praktis dan mudah dipahami dan diterapkan. Beberapa indikator yang praktis ialah hemat waktu, biaya dan tenaga;

mudah diadministrasikan, mudah dinilai dan diolah, mudah ditafsirkan, dan sebagainya.

10. Dicatat dan akurat, yaitu hasil evaluasi yang dilakukan haruslah dicatat secara akurat sehingga menjadi data dan informasi berharga bagi pengembangan pendidikan (Halimah, 2008).

Berdasarkan 10 prinsip evaluasi di atas, maka evaluasi memiliki fungsi, paling tidak dalam 7 (tujuh) hal, yaitu:

1. Secara psikologis, yaitu secara psikologis anak didik ingin mengetahui sejauh mana capaian pendidikan yang sudah mereka raih. Degan adanya evaluasi keinginan tersebut kan terpenuhi.

2. Secara sosiologis, yaitu untuk mengetahui kesiapan anak didik terjun ke masyarakat berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan.

3. Secara didaktis metodis, yaitu evaluasi berfungi membantu guru menempatkan peserta didik pada kelompok tertentu sesuai kemampuan dan kecakapan masing- masing.

4. Secara administratif, yaitu evaluasi berfungi memberikan laporan tentang kemajuan peserta didik kepada orangtua, kepada pejabat yang beerwenang, kepala sekolah, guru, dan peserta didik sendiri.

5. Evaluasi berfungi untuk mengetahui posisi anak didik ditempatkan pada kelom pok ada, yang pandai, sedang atau yang kurang pandai

(17)

6. Evaluasi berfungi untuk mengetahui kesiapan peserta didik dalam menempuh program pendidikan, dan

7. Evaluasi berfungi membantu guru dalam memberikan bimbingan dan seleksi kepada peserta didik.

Kemudian jika evaluasi dikhususkan kepada peserta didik, maka evaluasi memiliki tujuh manfaat, yaitu:

1. Dapat dijadikan sebagai informasi tentang penguasaan peserta didik terhadap materi pembelajaran yang diberikan.

2. Dapat dijadikan sebagai informasi tentang kecakapan, motivasi, bkata, minat, dan sikap peserta didik terhadap program pembelajaran.

3. Dapat dijadikan sebagai informasi tentang tingkat kemajuan dan kesesuaian hasil belajar peserta didik dengan standard kompetensi dan kompetensi dasar yang telah diterapkan.

4. Dapat dijadikan sebagai informasi tentang keunggulan dan kelemahan peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.

5. Dapat dijadikan sebagai informasi tentang jenis pendidikan yang sesuai bagi peserta didik.

6. Dapat dijadikan sebagai informasi tentang kelayakan naik kelas, dan

7. Dapat dijadikan sebagai informasi tentang potensi yang dimiliki peserta didik untuk ditempatkan sesuai potensi tersebut.

g. Dan lain-lain (Wina Sanjaya, 2009).

2. Aqidah

Kata kunci kedua ialah aqidah. Kata aqidah diambil dari bahasa Arab “’aqada- ya’qidu-‘aqidatan, ‘aqidah”, yang berarti ikatan, sim pul, perjanjian dan kokoh. D isebut

(18)

ikatan atau simpul, karena ia terikat atau tersimpul dalam hati sehingga tidak bisa terlepas, karena ia merupakan suatu perjanjian yang kokoh dari orang yang beriman. Sebab itu, aqidah tidak boleh terlepas dari hati orang yang beriman. Ketika aqidah terlepas maka ia akan kehilangan keimanan yang berarti kehilangan keislaman (Salahuddin & Irwanto A, 2013).

Sedangkan aqidah menurut istilah ialah keyakinan dasar mengenai ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam rukun iman yang enam, yaitu percaya kepada A llah, malaikat- malaikat Allah, kitab-kitab A llah, rasul-rasul Allah, hari kiamat, dan takdir, sebagaimana tertuang dalam hadits riwayat Bukhari-M uslim. Dalam hadits ini dikisahkan ketika Jibril bertanya kepada Nabi M uhammad “apa yang dimaksud dengan iman” ?, Nabi menjawab

“iman ialah ketika engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat Allah, kitab-kitab Allah, rasul-rasul Allah, hari kiamat, dan takdir” (al-imanu an tu’m ina Billahi wam alaikati-H i, wakutubi-Hi, warusuli-H i, wabil yaumil akhiri, wabil qadri khairihi wasyarrihi minal-Lahi Ta’ala (H.R. Bukhari-M uslim).

Adapun ruang lingkup kajiannya, sebagaimana diajukan oleh Hasan al-Banna (Buku Ajar Aqidah Akhlaq, 2015), ialah terdiri dari empat bidang, yaitu:

a. Ilahiyyat, yang berkaitan dengan Ketuhanan (ilah= Tuhan, Allah), seperti w ujud Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan (af’al) A llah, dan sebagainya.

b. Nubuwwat, yang berkaitan dengan nabi dan rasul, termasuk kajian tentang kitab-kitab Allah dan kemukjizatannya.

c. Ruhaniyyat, yang berkaitan dengan alam ruhani (metafisik), seperti malaikat, jin, syetan, jin, iblis, dan sebagainya.

d. Samíyyat, yang berkaitan dengan yang didengar keberadaannya melalui al-Q ur’an dan hadits. Termasuk dalam hal ini alam kubur, alam barzakh, akhirat, surga, neraka, mizan, dan seterusnya.

(19)

Aqidah disebut juga dengan iman atau keimanan, ushuluddin, dan teologi. Disebut iman karena ia membicarakan keimanan seorang M uslim, disebut ushuluddin karena ia membicarakan dasar-dasar agama, dan disebut teologi karena kajiannya mengenai Tuhan (teo= Tuhan).

3. Akhlaq

Kata kunci ketiga ialah akhlalq. Secara etimologi (tekstual, lughatan), kata akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk jamak dari khulq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, sebagaimana termaktub pada al-Qur’an surat ar-Rum: 39, al-Isra’:

24, dan al-Fatihah: 2. Bisa juga berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan, Khaliq (Pencipta), makhluq (yang diciptakan), dan khlaqiyah (Penciptaan). Kesamanan akar kata di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlak tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khaliq (Tuhan) dengan perilaku makhluk (manusia). Atau dengan kata lain, tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung nilai akhlak yang hakiki manakala tindakan dan perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak Khalik (Tuhan).

Dari pengertian etimologi seperti ini, akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma prilaku yang mengatur hubugan antar sesama manusia, tetapi juga norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta sekalipun.

Akhlak juga bisa disebut moral, yakni norma-norma yang mengatur prilaku manusia berdasarkan sumber-sumber tertentu. Sumber-sumber ini bisa berupa adat istiadat, kepercayaan dan ajaran agama. M akna lain akhlak adalah watak dan karakter yang melekat pada diri seseorang dan karena sifatnya spontan, namun demikian akhlaq bisa dibiasakan atau dilatih melalui pendidikan akhlaq. Kondisi akhlaq ini bisa diw ujudkan melalui dua

(20)

persyaratan. Pertama, perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuknya yang sama, sehingga menjadi kebiasaan (habit forming). M isalnya seorang yang memberikan sum bangan sekali-kali saja sehingga tidak menjadi sebuah kebiasaan.

Sebab itu, pemberian sumbangan ini belum bisa disebut sebagai kedermawanan, karena belum meresap dalam jiwa Bambang (Q-ances & Andan Hambali, 2009).

Kedua, perbuatan yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud reflektif dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran, yaitu bukan karena adanya tekanan- tekanan, paksaan-paksaan dari orang lain, atau pengaruh-pengaruh dan bujukan-bujukan yang indah dan sebagainya. M isalnya, orang yang memberikan sumbangan tetapi karena mendapat tekanan. Hal ini belum bisa disebut berakhlaq karena tidak muncul dari keinginan tulis dan kesadaran.

Berdasarkan pengertian di atas akhlaq dapat dikelompokkan kepada dua. Pertam a, akhlaq terpuji (al-akhlaq al-m ahm udah), yaitu sifat atau prilaku baik yang mendatangkan kebaikan bagi orang lain, bahkan alam semesta secara keseluruhan. Akhlaq terpuji ini dapat dikelompokkan kepada akhlaq Tuhan, kepada manusia dan kepada alam semesta. Akhlaq baik kepada Tuhan ialah seperti menyembah Tuhan dengan penuh kepatuhan yang disebut dengan ihsan, tidak berburuk sangka kepada Tuhan, menerima qadha dan qadar dengan sepenuhnya, mengesakan Tuhan dengan tidak mensyirikatkan-N ya, dan sebagainya.

Kemudian akhlaq kepada manusia ialah seperti bersifat jujur, amanah, hemat tidak boros, menghormati orang tua dan yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dan sebagainya.

Sedangkan akhlaq kepada alam semesta ialah seperti tidak menciptakan kerusakan di muka bumi, tidak merusak lingkungan, menjaga kebersihan, dan sebagainya.

Kedua, akhlaq tercela (akhlaq al-mazmumah), sebagai kebalikan dari akhlaq terpuji (al-akhlaq al-mahmudah), yaitu sifat atau prilaku jelek yang dapat merusak diri sendiri dan juga orang lain. Dengan kata lain, tidak saja mendatangkan kerugian bagi diri sendiri,

(21)

melainkan juga kepada orang lain. Sifat tercela ini juga dapat dikelom pokkan kepada tiga, yaitu kepada Tuhan, kepada manusia, dan kepada alam semesta. Akhlaq tercela kepada Tuhan ialah dengan menyekutukan-Nya, berburuk sangka kepada-Nya, menyembah Tuhan dengan pura-pura dan keterpaksaan, menolak qadha dan qadar Tuhan, dan sebagainya.

Adapun akhlaq tercela kepada manusia ialah seperti berbohong, berkhianat, mencuri, menipu, mengambil hak orang lain, dan sebagainya. Sedangkan akhlaq kepada alam semesta ialah dengan menjaga kelestarian alam dengan tidak menebang hutan sembarangan, menjaga kebersihannya dengan tidak membuang kotoran atau sampah sembarangan, menjaga air laut dan sungai dengan segala isinya agar tetap bersih dan alami, dan sebagainya.

4. Pendidikan Aqidah Akhlaq

Adapun yang dimaksud dengan pendidikan Aqidah Akhlaq adalah mata pelajaran keislaman yang diajarkan di M adrasah tingkat menengah (Tsanaw iyah) dan tingkat atas (Aliyah). M ateri kajiannya dibatasi pada tingkat Aliyah yang diajarkan setiap tahun, sesuai panduan dalam teks book yang diterbitkan oleh Kementerian A gama Republik Indonesia.

Berdasarkan panduan tersebut, kurikulum dimaksud ialah sebagai berikut (Aminuddin dan Harjan Syuhada, 2015):

1. Pada tahun pertama semester pertama atau kelas 10 semester I, kajiannya berkaitan dengan aqidah atau keyakinan pokok umat Islam, sebagai berikut:

a. M enjaga kemurnian aqidah Islam, yang membicarakan pengertian aqidah Islam, prinsip dan ruang lingkup aqidah islam, metode peningkatan kualitas aqidah, dan keutamaan aqidah Islam.

b. Tauhid dalam konsep Islam, yang membicarakan: pengertian tauhid, makna kalimat tauhid dalam islam, macam-macam tauhid, karakteristik perilaku bertauhid, dan keutamaan perilaku tauhid.

(22)

c. Akhlak terpuji dan metode peningkatannya, yang membicarakan: pengertian aklah terpuji, karakteristik dan indukinduk akhlak terpuji, metode peningkatan kualitas akhlak, dan membiasakan akhlak terpuji.

d. Hikmah, ‘iffah, syaja’ah dan ‘adalah, yang membicarakan: mengenali hikmah, membiasakan ‘iffah, membina syaja’ah, dan menegakkan keadilan (‘adalah).

e. Induk-induk akhlak tercela: hubbud-dunya, hasad, ujub, dan ria, yang membicarakan:

akhlak tercela, mewaspadai hubbud-dunya, menghindari sifat hasad, menghindari ujub, dan mewaspadai sikap ria.

f. Bersyukur, qanaah, rida dan sabar, yang membicarakan: terus bersyukur, membiasakan qanaah, membiasakan rida, dan bersikap sabar.

g. Akhlak kepada orang tua dan guru.

2. Pada tahun pertama semester kedua atau kelas 10 semester II, kajiannya berkaitan dengan syirik sebagai lawan dari tauhid. Kajiannya mencakup:

a. M enghindari perbuatan syirik, pengertian syirik, klasifikasi syirik, macam-macam syirik, akibat negatif perbuatan syirik, dan hikmah menghindari perbuatan syirik.

b. M engamalkan Asmaul H usna, yang kajiannya mencakup: pengertian Asmaul Husna, nilai dasar Asmaul H usna, membiasakan perilaku sesuai A smaul Husna, dan keutamaan mengamalkan Asmaul H usna.

c. Husnuzzan, tobat, dan raja’, yang membicarakan: membina husnuzzan, menyegerakan tobat, dan membiasakan sikap raja’.

d. M enjauhi sikap licik, tamak, zalim dan diskriminasi, yang membicarakan: menjauhi sikap licik, menghindari tamak, menjauhi zalim, dan menghindari diskriminasi.

e. Akhlak membesuk orang sakit, yang mempelajari: kewajiban membesuk orang sakit, kriteria orang sakit yang dijenguk, waktu menjenguk orang sakit, tata cara membesuk orang sakit.

(23)

f. Keutamaan membesuk orang sakit, yang membicarakan: tata cara menghadapi orang yang hendak meninggal dunia, dan tata cara menghadapi kematian seseorang hingga pemakamannya.

g. Kisah teladan Nabi Ulul Azmi, yang mempelajari: pengertian Ulul Azmi, sifat utama Nabi Ulul Azmi, kisah teladan Nabi U lul Azami, meneladani kisah Nabi Ulul Azmi, dan hikmah meneladani Rasul U lul Azmi.

3. Pada tahun kedua semester pertama atau kelas 11 semester I, kajiannya berkaitan dengan:

a. Ilmu Kalam, yang mempelajari: pengertian Ilmu Kalam, sumber-Sumber Ilmu Kalam, ruang Lingkup dan fungsi Ilmu Kalam, objek bahasan Ilmu Kalam, hubungan Ilmu Kalam dengan ilmu lainnya, dan pPenerapan Ilmu Kalam dalam mempertahankan aqidah.

b. Aliran-aliran dalam Ilmu Kalam, yang membicarakan: aliran-aliran Ilmu Kalam, persamaan dan perbedaan aliran dalam Ilmu Kalam, menghargai aliran-aliran yang berbeda, dan menghayati nilai-nilai positif dari adanya aliran-aliran Yang berbeda.

c. Perilaku dosa besar, yang membicarakan: mabuk, mengkonsumsi narkoba, berjudi, pergaulan bebas, zina, dan mencuri.

d. Akhlak terpuji, yang membicarakan: berpakaian, berhias, perjalanan, dan bertamu dan menerima tamu.

4. Pada tahun kedua semester kedua atau kelas 11 semester II, kajiannya berkaitan dengan:

a. Kisah Fatimah Azzahra Dan Uwais Al-Qarni

b. Tashawuf, yang membicarakan: pengertian tashawuf, asal usul tashawuf, kedudukan ilmu tashawuf dengan ilmu lain, macam-macam tashawuf, tahapan-tahapan tashawuf, dan fungsi dan peranan tashawuf dalam kehidupan modern.

c. Pergaulan remaja, yang membicarakan: akhlak terpuji dalam pergaulan remaja, hal- hal yang harus dihindari oleh remaja Islam, pergaulan sesama muslim, pergaulan

(24)

bebas dalam pandangan islam, akibat yang ditimbulkan dari pergaulan bebas, dan akhlak terpuji dalam pergaulan remaja dalam kehidupan sehari-hari.

d. Akhlak tercela, yang membicarakan: ishraf, tabdzir, dan kikir atau bakhil.

e. Takziyah, yang membicarakan: pengertian takziyah, hukum takziyah, pelaksanaan takziyah dan tujuannya, adab ber takziyah, dan menghayati nilai-nilai kematian dalam takziyah.

f. Kisah Abdurrahman bin Auf dan Abu Dzar al-Ghifari

5. Pada tahun ketiga semester pertama atau kelas 12 semester I, kajiannya berkaitan dengan:

a. M emahami M akna Tujuh Asma’ul Husna, yaitu: Al-Gaffar, Ar-Razzaq, Al-M alik, Al- Hasib, Al-Hadi, Al-Khaliq, dan A l-Hakim.

b. Perilaku Terpuji I, yang mencakup: amal saleh, toleransi, musawah, dan ukhuwah.

c. Perilaku Tercela I, yang mencakup nifaq (munafiq) dan pemarah.

d. Akhlak dalam Pergaulan, yang membicarakan: adab bergaul dengan teman sebaya, adab bergaul dengan orang yang lebih tua, adab bergaul dengan orang yang lebih muda, dan adab bergaul dengan lawan jenis.

e. Kisah Keteladanan A l-Ghazali dan Ibnu Sina.

6. Pada tahun ketiga semester kedua atau kelas 12 semester II, kajiannya berkaitan dengan:

a. Perilaku terpuji II, yang mencakup: fastabiqul khairat, optim is, dinamis, inovatif, dan kreatif.

b. Perilaku Tercela II, yang mencakup: fitnah, namimah, dan gibah.

c. adab membaca al-Qur’an dan berdoa.

d. Kisah Keutamaan Ibnu Rusyd dan M uhammad Iqbal

Dari data di atas jelaslah bahwa mata pelajaran A qidah Akhlaq mencakup bidang- bidang keislaman, yaitu tauhid, ilmu kalam sebagai sub tema dari aqidah, dan akhlaq dan

(25)

tasawuf. Tujuan dari pembelajaran mata pelajaran tersebut ialah untuk menciptakan peserta didik yang memiliki aqidah dan keimanan yang kuat serta akhlaq yang mapan sekaligus memiliki kedekatan kepada Tuhan. Semuanya dilakukan sesuai disiplin, yaitu disiplin syarat dan rukun dengan terpenuhinya semua syarat dan rukun. Kemudian disiplin pelaksanaan, yaitu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariat. Semuanya dilakukan secara sinerjis di Pesantren M odern Nururl Hakim.

5. Pesantren.

Kata kunci kelima yang perlu penegassan ialah tentang kata pesantren. Uraiannya dibagi kepada beberapa bagian, yaitut pengertian, unsur-unsur pesantren, tujuan pendidikan, dan pola-pola pesantren.

a. Pengertian.

Kata pesantren berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu shastri yang berarti kitab suci, ditambah awalan “pe” dan akhiran “an”, berarti lembaga tempat belajar kitab suci. Dalam perkembangan selanjutnya sebutan ini diberikan kepada lembaga pendidikan Islam yang khusus pendalaman ilmu-ilmu keagamaan (tafaqqahu fid-din), sebagai khas pendidikan ala Indonesia.

b. Unsur-unsur.

Suatu lembaga pendidikan Islam disebut sebagai pesantren apabila memiliki empat pilar, yaitu:

1. Kiyai, yaitu pimpinan pesantren yang berdomisili di dalam komplek pesantren. Kiyai menempati posisi penting dalam dunia pesantren. Kiyai berfungsi sebagai guru, dalam arti, yang menyampaikan materi pembelajaran secara kognitif, kiyai juga berfungsi sebagai pelatih, yang memberikan ketrampilan kepada para santri sesuai dengan jenis ketrampilan yang dikembangkan di pesantren.

(26)

Selain itu, kiyai juga befungsi sebagai pembimbing rohani bagi para santri yang terus dipantau perkembangannya.

2. Kitab kuning, yaitu buku rujukan pembelajaran yang ditulis dalam bahasa Arab klasik.

Disebut K itab Kuning karena warna kertasnya semuanya berwarna kuning. K itab kuning ini diseuaikan dengan tingkat kemampuan santri. Sebab itu, kitab kuning juga berfungsi sebagai penentu pada level mana santri belajar, karena pada perkembangan awal pesantren kelas ditentukan oleh buku yang menjadi rujukan.

Dalam bidang nahwu (tata bahasa), misalnya kitab Matan Jurmiyah berarti kelas satu, kitab Mukhtashar berarti kelas dua, Kawakibuddurriyah berarti kelas tiga, empat dan lima. Kemudian kitab Hudhri berarti kelas lima dan enam. Sebab itu santri yang sudha menamatkan kitab H udhuri berarti dia sudah menammatkan studi di pesantren.

Begitu juga dalam bidang fiqh, kitab I‘anatuth-Thalibin terdiri empat jilid diberikan kepada santri kelas tiga, empat, lima, dan enam. Kitab bidang Nahwu dan Fiqh ini biasanya menjadi pilar penentuan level santri di pesantren.

3. Tempat belajar para santri sesuai dengan perkembangannya. Pada awalnya masjid dan rumah kiyai dijadikan sebagai tempat belajar, namun dalam perkembangannya seiring dengan perkembangan pesantren kemudian dibangun ruang belajar khusus bagi santri.

4. Santri, yaitu para pelajar laki-laki yang disebut satri dan wanita yang disebut santriwati.

Berbed dengan pelajar yang blajar di sekolah atau madrasah, mereka tinggal menetap atau menginap (boarding) selama 24 jam di pesantren. Kebijakan ini diterapkan dimaksudkan agar mereka mendapat bimbingan penuh selama 24 jam dari para kiyai dan pengasuh atau mudabbir.

Sesuai perkembangannya, pesantren mengalami perkembangan, baik pada materi pembelajaran, sistem pembelajaran, dan sebagainya. Secara umum pesantren disebut dengan dua nama sesuai perkembangannya, yaitu:

(27)

a. Pesantren salafi, yaitu pesantren yang hidup dan berkembang pada masa awal dengan ciri pokoknya yang sarat dengan kitab kuning. Dominasi kitab kuning ini membuat pesantren ini tetap disebut salafi (tradisional) walau hidup dalam dunia modern saat ini.

b. Pesantren modern, yaitu pesantren yang lahir sebagai pengembangan dari pesantren salafi.

Disebut modern karena kelahirannya pada era modern, ditambah lagi dengan silabusnya yang menyesuaikan diri dengan perkembangan kekinian. M isalnya, buku pegangan tidak lagi melulu kitab kuning, tetapi sudah karya-karya modern. Ciri lainnya disebut modern ialah karena sudah diajarkan materi bahasa Inggeris.

Kedua model ini masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatan model salafi ialah penguasaan agama (tafaqqahu fid-din) yang kuat. Sedangkan kelemahannya ia kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan modern. Kekuatan model pesantren modern ialah wawasan keilmuannya yang lebih luas, termasuk penguasaan bahasa Inggeris.

Sedangkan kelemahannya ialah pendalaman agama yang tidak sekuat model salafi, karena beban materi pembelajaran yang lebih general sehingga kurang fikus dalam lektur keagamaan. Sebab itulah kedua model ini tetap eksis sampai hari ini, karena pangsa pasarnya disesuaikan dengan keinginan peserta didik.

c. Tujuan Pendidikan.

Sebagai sub sistem pendidikan nasional, tujuan pendidikan di Pesanteren sejalan dengan tujuan pendidikan pada tujuan pendidikan nasional seperti tercantum dalam UU Sisdiknas N o 20 tahun 2003. Namun karena ia bersifat pendidikan keagamaan dirumuskan tujuan tambahan, yaitu:

1. M endidik santri menjadi insan yang bertakwa kepada A llah SWT, berakhlaq mulia, cerdas, trampil dan sehat lahir bathin sebagai warga negara yang berpancasila.

(28)

2. M endidikan santri untuk menjadi muballigh bagi ajaran-ajaran agama serta memiliki jiwa ikhlas, tabah, tangguh dalam mengamalkan ajaran Islam secara utuh dan dinamis.

3. M endidik santri menjadi pribadi yang tangguh serta memiliki tanggung jawab kepada pembangunan bangsa dan negara

4. M endidik santri tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional (pedesaan masyarakat lingkungannya).

5. M endidik santri agar memiliki mental spiritual yang kuat sehingga tidak mudah tergoyahkan oleh berbagai keadaan

6. M endidik santri untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat dalam rangka usaha pembangunan masyarakat (Qomar, 2005).

d. Pola-Pola Pesantren

Apabila dilihat dari segi sistem pendidikan dan segi kurikulum, beberapa pesantren hampir memiliki pebedaan yang cukup mencolok seperti pesantren pada awal perkembangan Islam di Indonesia dan pesantren yang ada pada masa sekarang ini. Secara umum pesantren dapat dikategorikan ke dalam dua kategori, yaitu (M astuhu, 1994):

a. Pesantren salafiyah. Pesantren salafiyah adalah pesantren yang masih tetap mempertahankan sistem pendidikan khas pondok pesantren, baik kurikulum maupun metode pendidikannya. Bahan ajar meliputi ilm u-ilmu agama Islam dengan mempergunakan kitab-kitab klasik berbahasa Arab, sesuai dengan tingkat kemampuan masing- masing santri. Pembelajaran dengan cara bandongan dan sorogan masih tetap dipertahankan, tetapi sudah banyak mempergunakan sistem klasikal.

b. Pesantren K halafiyah (modern). Pesantren modern adalah pesantren yang mengadopsi sistem madrasah atau sekolah yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang dikembangkan atau pesantren yang menyelenggarakan tipe sekolah-

(29)

sekolah umum seperti: M I/SD, M Ts/SM P, M A/SM K dan bahkan PT dalam lingkungannya (RI, 2002).

Hal senada juga dikatakan oleh Imam Barnawi: pesantren modern adalah pesantren yang telah mengalami transformasi yang sangat signifikan, baik dalam sistem pendidikannya maupun unsur- unsur kelembagaannya. Pesantren ini telah dikelola dengan manajemen dan administrasi yang sangat rapi dan sistem pengerjaannya dilaksanakan dengan porsi yang sama antara pendidikan agama dan pendidikan um um, dan penguasaan bahasa Inggris dan bahasa Arab (Imam Barnawi, 1993).

Adapun dalam peraturan M enteri Agama No. 3 Tahun 1979 dijelaskan bahwa pesantre memiliki empat tipe, yaitu:

1. Pesantren tipe A, yaitu pesantren di mana para santri belajar dan bertempat tinggal di asrama lingkungan pesantren dengan pengajarannya yang berlangsung secara tradisional (wetonan atau sorogan).

2. Pesantren tipe B, yaitu pesantren yang dalam pelaksanaan proses belajarnya dilaksanakan secara klasikal (madrasah) serta pada waktu- waktu tertentu dan para santri yang menuntut ilmu tinggal di asrama lingkungan pesantren, 3. Pesantren tipe C, yaitu pesantre yang hanya merupakan asrama, sedangkan para santrinya belajar di luar (madrasah atau sekolah umum) dan kiai hanya merupakan pengawas dan pembina mental para santri tersebut, 4.

Pesantren tipe D, yaitu Pesantren yang menyelenggarakn dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah (Departemen Agama RI, 2003).

Kemudian menurut Yacub dalam buku Khosi, pesantren dibagi kepada empat tipologi, yaitu:

1. Tipe I, Pesantren Salafi yang tetap mempertahankan pelajaran dengan kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan um um. M odel penngajarannyapun sebagaimana lazim diterapkan dalam pesantren salafi, yaitu metode sorogan dan wetonan.

(30)

2. Tipe II, Pesantren Khalafi yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal ditambah dengan ilmu-ilmu umum, ilmu-ilm u agama serta biasanya ditata dengan managerial.

3. Tipe III, Pesantren Kilat yaitu pesantren ini biasanya dilaksanakan di hari-hari libur seperti libur bulan Ramadhan dengan waktu yang sangat relatif singkat, maksimal 1 m inggu.

Adapun orientasi pesantren ini adalah menitik beratkan pada ketrampilan ibadah dan kepemimpinan serta penguatan akhlaq.

4. Tipe IV, Pesantren terintregasi yaitu pesantren peserta didiknya kebanyakan anak- anak yang putus sekolah, sistem pendidikannya lebih terfokus pada kejuruan-kejuruan seperti Balai Latihan Kerja (BLK) di Kementerian Tenaga Kerja dengan program yang terintegrasi (Khosin, 2006).

Sedangkan menurut Haidar Putra Daulay, pesanten secara garis besar dapat dipolakan kepada dua pola. Pertama berdasarkan bangunan fisik, kedua berdasarkan kurikulum.

Berdasarkan bangunan fisik dapat dipolakan sebagai berikut: (Haidar Putra Daulay, 2007).

TABEL 1

JENIS DAN TIPE PESANTREN

Jenis/Tipe Keterangan

Tipe I:

Pesantren dalam bentuk (a) masjid dan (b) rumah Kiai

Pesantren ini masih bersifat sederhana, di mana kiyai menggunakan masjid atau rumahnya sendiri untuk mengajar. Tipe ini santri hanya datang dari daerah pesantren ini sendiri, namun mereka telah mempelajari agama secara kontinyu dan sistematis.

M etode pengajaran yang dikembangkan wetonan dan sorogan.

Tipe II:

Pesantren dalam bentuk (a) masjid (b) rumah Kiai, dan (c) pondok/asrama

Tipe pesantren ini telah memiliki pondok atau asrama yang disediakan bagi santri yang datang daerah di luar pesantren. M etode pengajaran yang dikembangkan: wetonan dan sorogan

(31)

Tipe III:

Pesantren dalam bentuk (a) masjid (b) rumah Kiai (c) pondok/asrama, dan (d) madrasah

Pesantren ini telah memakai sistem klasikal, santri yang tinggal di pesantren mendapat pendidikan di madrasah.

Adakalanya santri madrasah itu datang dari daerah sekitar pesantren itu sendiri. Di samping sistem klasikal, kiyai memberikan pengajian dengan sistem wetonan.

Tipe IV:

Pesantren dalam bentuk (a) masjid (b) rumah Kiai (c) pondok/asrama, (d) madrasah, dan (e) tempat Keterampilan

Dalam tipe ini di samping memiliki madrasah, juga memiliki tempat- tempat keterampilan. M isalnya: peternakan, pertanian tata busana, tata boga, toko, koperasi, dan sebagainya.

Tipe V:

Pesantren dalam bentuk (a) masjid (b) rumah Kiai (c) pondok/asrama, (d) madrasah (e) tempat Keterampilan (f) Perguruan Tinggi (g) gedung pertemuan (h) tempat Olahraga, dan (i) sekolah Um um

Tipe pesantren ini sudah berkembang dan bisa digolongkan pesantren mandiri.

Pesantren ini seperti ini telah memiliki perpustakaan, dapur umum, ruang makan, rumah penginapan tamu, dan sebagainya. Di samping itu pesantren ini mengelola SM P, SM A dan SM K.

Adapun pembagian pola pesantren berdasarkan kurikulumnya dapat dipolakan menjadi lima pola, yaitu:

a. Tipe I, M ateri pelajaran yang dikembangkan adalah mata pelajaran agama yang bersumber dari kitab- kitab klasikal, nonklasikal, santri diukur tinggi rendah ilmunya adalah dari kitab yang dipelajarinya. Tidak mengharapkan ijazah sebagai alat untuk mencari pekerjaan.

b. Tipe II, Pola ini hampir sama dengan pola I di atas, hanya saja pada pola II proses belajar mengajar diadakan secara klasikal, nonklasikal, dan sedikit diberikan pengetahuan umum.

c. Tipe III, Pada pola ini pelajaran telah dilengkapi dengan pelajaran umum. Adanya keseimbangan ini karena sebagian besar dari pola III ini mengikuti ujian negara. M aka dalam kurikulum mata pelajaran tertentu terdapa pegadopsian kurikulum Kementrian Agama yang dimodifikasi oleh pesantren yang bersangkuta sebagai ciri kepesantrenan.

(32)

d. Tipe IV, Pola ini menitikberatkan pada pelajaran keterampilan disamping pelajaran agama. Pelajaran keterampilan ini ditujukan untuk menjadi bekal kehidupan bagi seorang santri setelah dia tamat dari pesantren tersebut.

e. Tipe V, Pola yang kelima ini adalah pesantren serbaguna, yang di dalamnya di asuh berbagai jenis dan jenjang pendidikan seperti: pengajian kitab- kitab klasik, madrasah, sekolah, perguruan tinggi (Haidar Putra Daulay, 2009).

Seiring dengan perkembangan zaman pesantre terus mengalami berbagai inovasi- inovasi serta transformasi, baik dari segi sistem atau yang lainnya, dalam buku Pertumbuhan dan Perkem bangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Daulay, 2016), ia menjelaskan bahwa di masa sekarang ini tipologi pesantren tidak lagi terbagi menjadi lima, namun sudah bertambah menjadi tujuh yaitu:

1. Pesantren pola I masih terikat kuat dengan sistem pendidikan Islam sebelum zaman pembaruan. Ciri- ciri pesantren pola ini adalah pengajara kitab klasik semata- mata dengan memakai metode sorogan, wetonan dan fahalan serta belum memakai sistem klasikal.

Pengetahuan seseorang di ukur dari sejumlah kitab yang pernah dipelajarinya dan kepada ulama mana ia berguru. Tujuan pendidikan pesantren pola ini adalah meninggikan moral, melatih dan mempertinggi ilmu agama, semangat, menghargai nilai- nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku jujur dan bermoral serta menyiapkan para santri untuk hidup dan bersih hati. Sebagian dari pesantren iniada yang lebih mengkhususkan kepada satu bidang tertentu saja, misalnya keahlian tafsir, fikih, hadits, bahasa Arab, tasawuf, dan sebagainya.

2. Pesantren pola II merupakan pengembangan pola I, hanya saja pesantren pola II lebih luas dengan menambahkan pelajaran ekstra kurikuler seperti keterampilan dan praktek keorganisasian. Pesantren juga mengajarkan sedikit pengetahuan umu, keterampilan, olahraga, dan lain-lain.

(33)

3. Pola III adalah pesantren yang di dalamnya program keilmuan telah diupayakan menyeimbangkan antara ilm u agama dan umum. Selain itu, penanaman berbagai aspek pendidikan seperti kemasyarakatan, keterampilan, kesenian, kejasmanian, kepramukaan, dan sebagainya. Sedangkan struktur kurikulum yang dipakai adalah berdasarkan kepada struktur madrasah negeri dengan memodifikasi mata pelajaran agama. Pesantren pola ini tidak mesti bersumber dari kitab-kitab klasik.

4. Pesantren pola IV adalah pesantren yang mengutamakan pegajaran ilmu- ilmu keterampilan disamping ilmu-ilm u agama sebagai mata pelajaran pokok. Pesantren ini mendidik para santrinya untuk memahami dan dapat melaksanakan berbagai kesempatan guna dijadikan bekal hidupnya. Dengan demikian kegiatan pendidikannya meliputi kegiatan kelas, praktek di laboratorium, bengkel, kebun/ lapangan.

5. Pesantren pola V adalah pesantren yang mengasuh beraneka ragam lembaga pendidikan yang tergolong formal dan non formal. Di pesantren model ini ditemukan pendidikan madrasah, sekolah, perguruan tinggi, pengajian kitab-kitab, majelis ta’lim, dan pendidikan keterampilan. M asing-masing santri bebas memilih kelas yang dikehendakinya.

6. Pesantren pola VI adalah sekolah yang dipesantrenkan. Sekolah- sekolah umum (SM P dan SM A) banyak yang berbentuk pesantren, menerapkan sistem pembelajaran pesantren.

Kurikulumnya mengacu kepada kurikulum sekolah yang ditetapkan Kementrian Pendidikan Nasional. Di samping itu, dilaksanakan pola Program Kepesantrenan.

7. Pola VII adalah pesantren mahasiswa. M ahasiswa yang kuliah di berbagai perguruan tinggi baik umum maupun agama dipondokkan, mereka melaksanakan aktivitas kepesantrenan. Telah diatur jadwal dan kegiatan pesantren tersebut. Tujuan lembaga ini di samping menguasai pengetahuan yang dituntutnya di perguruan tinggi, tentu dia juga menguasai masalah-masalah keagamaan (Daulay, 2016).

(34)

Dari berbagai tipologi- tipologi pesantren di atas serta mengamati bentuk-bentuk pesantren yang ada pada saat ini, maka penulis menyimpulkan bahwa pesantren dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu tradisional dan modern. Tradisional dalam arti dibandingkan sistem pendidikan yang diadopsi dari sistem pendidikan nasional, dan pesantren modern adalah pesantren yang sistem nasionalnya lebih dominan dibandingkan sistem pendidikan klasiknya.

6. Disip lin.

Kata kunci keenam ialah kata disiplin. Uraiannya juga dikelompokkan kepada beberapa bagian, yaitu pengertian, pembagian disiplin, dan indicator dan faktor disiplin.

a. Pengertian

Kata disiplin berasal dari bahasa Inggeris “disciplined” yang berarti ketertiban, menertibkan, berdisiplin. Sedangkan menurut istilah disiplin ialah tindakan yang sesuai dengan tata tertib yang berlaku. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:

268, disiplin diartikan dengan tata tertib di sekolah atau kemiliteran, dan lain sebagainya.

Dalam Wikipedia Bahasa Indonesia, disiplin merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya termasuk melakukan pekerjaan tertentu yang menjadi tanggung jawabnya. Pendisiplinan adalah usaha usaha untuk menanamkan nilai ataupun pemaksaan agar subjek memiliki kemampuan untuk menaati sebuah peraturan. Pendisiplinan bisa jadi menjadi istilah pengganti untuk hukuman ataupun instrumen hukuman di mana hal ini bisa dilakukan pada diri sendiri ataupun pada orang lain.

Para ahli mengajukan pengertian disiplin sesuai dengan sudut pandangnya masing- masing. M enurut Suharsimi Arakunto (1980), disiplin adalah kepatuhan seseorang dalam mengikuti peraturan atau tata tertib karena didorong oleh adanya kesadaran yang ada pada kata hatinya tanpa adanya paksaan dari pihak luar. M enurut Thomas Gordon (1996) disiplin

(35)

bisa juga diartikan dengan prilaku dan tata tertib yang sesuai dengan peraturan dan ketetapan, atau prilaku yang diperoleh dari pelatihan yang dilakukan secara terus menerus. M enurut James Drever dari sisi psikologis, disiplin adalah kemampuan mengendalikan perilaku yang berasal dari dalam diri seseorang sesuai dengan hal-hal yang telah di atur dari luar atau norma yang sudah ada. Dengan kata lain, disiplin dari segi psikologis merupakan perilaku seseorang yang muncul dan mampu menyesuaikan diri dengan aturan yang telah ditetapkan.

Kemudian menurut M alayu SP Hasibuan, disiplin ialah kesadaran dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku (Hasibuan, 1991). Sedangkan menurut Pratt Fairshild dari sisi sosiologi, disiplin terdiri dari dua bagian, yaitu disiplin dari dalam diri dan juga disiplin sosial. Keduanya saling berhubungan satu sama lain, sehingga seseorang yang mempunyai sikap disiplin merupakan orang-orang yang dapat mengarahkan perilaku dan perbuatannya berdasarkan patokan atau batasan tingkah laku tertentu yang diterima dalam kelompok atau lingkup sosial masing- masing. Pengaturan tingkah laku tersebut bisa diperoleh melalui jalur pendidikan dan pembelajaran. Sedangkan M enurut John M acquarrie dari segi etika, disiplin adalah suatu kemauan dan perbuatan seseorang dalam mematuhi seluruh peraturan yang telah terangkai dengan tujuan tertentu.

Dari beberapa pandangan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa dari sudut pandang manapun, disiplin merupakan sikap yang wajib ada dalam diri semua individu.

Karena disiplin adalah dasar perilaku seseorang yang sangat berpengaruh besar terhadap segala hal, baik urusan pribadi maupun kepentingan bersama dan untuk memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi dalam mengerjakan apapun, maka dibutuhkan latihan dengan kesadaran dari dalam diri akan pentingnya sikap disiplin sehingga menjadi suatu landasan bukan hanya pada saat berkerja, tetapi juga dalam berperilaku sehari-hari. Dengan demikian

(36)

kdisiplinan ialah sikap dan prilaku yang mematuhi segala ketentuan yang digariskan, baik oleh ajaran agama maupun sunnah Pesantren M odern N urul Hakaim.

Tujuannya diterapkannya disiplin ialah untuk melatih anak didik untuk mampu mengontrol dirinya sendiri, sekain itu juga supaya anak dapat melakukan aktivitas dengan terarah, sesuai dengan peraturan yang berlaku (Bistak Sirait, 2008: 11).

Dengan demikian jelaslah bahwa disiplin bertujuan untuk melatih anak didik agar dapat melakukan aktivitas dengan terarah, belajar hidup dengan pembiasaan yang baik, positif dan bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya. Dengan kesadaran ini jika pada suatu saat ia tidak diawasi hatinya terdorong untuk tetap melalukan perbuatan sesuai dengan norma yang ditetapkan.

b. Pembagian disiplin:

Secara umum disiplin dapat dikelompokkan kepada dua jenis sesuai dengan penerapan disiplin tersebut (Hasibuan, 1991), yaitu:

1. Disiplin positif, yaitu kepatuhan semua anggota masyarakat atau anak didik secara otonom kepada peraturan dan ketentuan yang ditetapkan. D isiplin ini disebut juga dengan disiplin otonom, karena muncul dari kesadaran dari diri seseorang tanpa ada pengaruh eksternal.

Disiplin ini terjadi melalui proses pendidikan yang menyeluruh, bahkan membutuhkan waktu lama. Namun begitu dia terbiasa akan sulit dirubah sehingga menjadi budaya disiplin. Lawannya ialah disiplin heteronom, yaitu disiplin terjadi karena ada faktor luar.

2. Disiplin negatif, yaitu kepatuhan anggota masyarakat atau peserta didik karena takut dihukum oleh pejabat atau guru di sekolah. Ketika yang ditakuti tidak ada maka disiplinpun tidak akan ada. M isalnya suatu kantor mewajibkan aparatnya agar melaksanakan shalat berjama’ah. Para aparat akan disiplin mengamalkan shalat berjama’ah tersebut jika ada atasan ketika melaksanakan shalat tersebut. Kalau atasan

(37)

tidak ada para aparat tidak akan ikut melaksnaakan shalat berjama’ah. Sebab itulah disebut disiplin negatif.

Kebalikan disiplin negatif ialah disiplin positif atau disiplin otonom, karena muncul dari dalam diri anggota bukan karena paksaan atau takut diberi sanksi. Sebab itu dipandang sebagai positif. D isebut otonom, karena secara otonom muncul dari dalam diri orang yang berdisiplin, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.

Disiplin yang dibangun di dunia pesantren, khususnya Pesantren M odern N urul Hakim ialah jenis pertama, yaitu disiplin positif atau disiplin otonom. Dalam rangka membentuk sekaligus sebagai panduan disiplin tersebut, di Pesantren M oderen Nurul Hakim dibuat Jadwal Kegiatan Harian, mingguan, bulan, dan tahunan.

c. Indikator dan faktor kedisipkinan

Sesuatu disebut disiplin atau kedisiplinan ditemukan dapat diukur dengan berbagai indikator sekaligus sebagai factor penyebab terwujudnya disiplin. Dalam konteks perusahaan, (Hasibuan, 1991) merumuskan ada delapan indikator, yaitu:

1. Tujuan dan kemampuan, yaitu tujuan yang dicapai harus jelas dan terukur dan kemampuan pegawai juga harus mendukung.

2. Teladan pemimpin, yaitu adanya keeladanan dan pemimpin sesuati tingkatannya.

3. Balas jasa, yaitu kedisiplinan harus didukung dengan pemberian balas jasa dalam bentuk gaji dan unjangan yang layak.

4. Keadilan harus diterapkan sesuai hak dan kewajiban.

5. Waskat atau pengawasan melekat dari pimppinan, sehingga pegawai merasa terus menerus dalam pengawasan.

6. Sanski hukuman, yaitu pemberian sanksi kepada yang melanggar disiplin.

7. Ketegasan dalam penerapan disiplin, dan

(38)

8. Hubungan kemanusiaan, yaitu tetap terciptanya hubungan yang harmonis walaupun diikat dengan disiplin dan sanksi yang tegas.

(39)

Kedelapan indikator dan faktor penyebab tersebut dapat disederhanakan pada gambar berikut ini (Hasibuan, 1991):

GAMBAR I INDIKATOR DIS IPLIN

Berdasarkan gambar di atas dapat dipahami bahwa perw ujudan disiplin ditentukan oleh delapan indikator, yaitu tujuan dan kemampuan, keteeladan pemimpin, balas jasa, keadilan, waskat atau pengawasan melekat dari pimppinan, sanski hukuman, yaitu pemberian sanksi kepada yang melanggar disiplin, dan ketegasan dalam penerapan disiplin.

KEDISIPLINAN 8. Hubungan

kemanusiaan

6. Sanksi hukuman 7. Ketegasan

2. Keteladann Pemimpin

3. Balas jasa

5. Waskat

1. Tujuan Kemampuan

4. Keadilan

Referensi

Dokumen terkait

kelembagaan pariwisata, namun tidak mempunyai kekuasaan atau kewenangan dalam hal mengelola Tahura Ngurah Rai dan peranan masyarakat Banjar Kajeng, Desa Pemogan dalam hal

1) Biaya pendidikan untuk level yang ditempuh sebesar Rp1.650.000 (satu juta enam ratus lima puluh ribu rupiah) sesuai ketentuan Pimpinan Pusat.. OIAA di Kairo. Biaya itu

Menurut La Midjan dan Azhar Susanto (2001) menyatakan bahwa Sistem Informasi Akuntansi adalah suatu sistem pengolahan data akuntansi yang merupakan alat koordinasi dari manusia,

Produk yang memiliki citra baik akan menimbulkan kepercayaan konsumen atas produk tersebut dan konsumen akan cenderung memilih produk tersebut dibanding merek

Dengan adanya disiplin kerja yang baik dari karyawan seperti datang tepat waktu, melaksanakan pekerjaan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh perusahaan, mentaati

1) Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan

Bab II Kajian Pustaka, akan memaparkan mengenai buku-buku ataupun sumber penelitian lainnya yang menjadi sumber utama penulis dalam melakukan penelitian mengenai Peranan

Dengan cara seperti ini diharapkan dalam waktu enam kali pertemuan (6 x 100 menit), pembaca dan pembelajar buku ini telah memiliki kemampuan dasar membaca teks bahasa Arab yang