• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengkaji topik yang sama. Berikut merupakan matriks penelitian-penelitian. yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengkaji topik yang sama. Berikut merupakan matriks penelitian-penelitian. yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya:"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian terdahulu yang mengkaji topik yang sama. Berikut merupakan matriks penelitian-penelitian yang relevan dengan penelitian ini, diantaranya:

1. (Ramalis Sobandia, 2015) dalam penelitian yang berjudul Knowledge Sharing and Stakeholder Collaboration Practice in Solo City Planning and Development: Notes on Urban Community Nurturing Processes. Penelitian ini mengkaji tentang perencanaan dan pengembangan berbasis pemangku kepentingan di Kota Solo. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan konektivitas antara aktor dan aspek yang membuat kolaborasi di Kota Solo terjadi, serta mengeksternalisasi berbagai dokumentasi praktik kolaboratif dalam perencanaan kota dan proses pembangunan. Dari penelitian ini ditemukan bahwa kepercayaan dari komunitas ke Pemerintah Daerah konsisten dengan proses kolaborasi dalam melaksanakan rencana pembangunan, disisi lain kesediaan masyarakat lokal untuk berpartisipasi dan memberikan inovasi dalam mendukung proses kolaborasi semakin meningkat.

2. (Koen Olthuis, 2015) dalam penelitian yang berjudul Slum Upgrading:

Assessing the importance of location and a plea for a spatial approach.

Penelitian ini mengkaji tentang peningkatan permukiman kumuh di negara berkembang. Penelitian ini menyoroti spesifikasi lokasi permukiman

(2)

kumuh serta membangun pengetahuan masyarakat lokal untuk menjelaskan sifat dinamis dari daerah kumuh. Penelitian ini juga relevan dengan konteks Konferensi Habitat III pada tahun 2016 yang berfokus pada agenda baru perkotaan dimana agenda ini mengakui bahwa dinamika peradaban manusia selalu berubah dalam meninjau kebijakan perkotaan perumahan dimana dalam penelitian ini berfokus pada penanggulangan permukiman kumuh agar tidak semakin meningkat.

3. (Supriyanto, 2014) dalam penelitian yang berjudul Role Government in Jakarta Organize Slum Area. Penelitian ini membahas mengenai permasalahan yang dialami kota Jakarta dalam penataan kawasan kumuh.

Peran Pemerintah Daerah dalam mengatur dan membangun perumahan yang besar bagi masyarakat kelas bawah terutama yang berada di kawasan kumuh serta dapat meningkatkan kehidupan yang lebih sejahtera.

4. (Sandra Carrasco, 2016) dala m penelitian yang berjudul Disaster Induced Resettlement: Multi-Stakeholder interactions and decision making following Tropical Storm Washi in Cagayan de Oro, Philippines. Penelitian ini mengkaji proyek pemulihan perumahan pasca bencana pada permukiman informal dari daerah yang rentan dan marginal. Proyek ini melihat pada proses dimana setiap pemangku kepentingan memiliki peran, tanggungjawab, dan pendekatan spesifik. Oleh karena itu, keberhasilan proyek bergantung pada hubungan di antara pemangku kepentingan, kepemimpinan dan keputusan yang diambil.

(3)

5. (Setiadi, 2014) dalam penelitian yang berjudul The Typology and Patterns of Slum Improvement Management in Bontang (Tipologi dan Pola Penanganan Permukiman Kumuh di Kota Bontang). Penelitian ini mengkaji tentang pola penanganan permukiman kumuh berdasarkan karateristik lokasi. Identifikasi lokasi kawasan permukiman kumuh sesuai dengan kriteria sebagai berikut status kepemilikan tanah, keadaan sarana dan prasarana, komitmen pemerintah Kabupaten/Kota dan prioritas penanganan. Kategori permukiman kumuh tinggi (KT) dilakukan dengan menggunakan pola penanganan kuratif (penanggulangan), sedangkan lokasi dengan kategori permukiman kumuh rendah (KR) menggunakan pola penanganan preventif (pencegahan).

6. (Fitriana, 2018) dalam penelitian yang berjudul Kolaborasi Dalam Penanganan Permukiman Kumuh Melalui Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) Di Kelurahan Sukaramai Kecamatan Pekanbaru Kota.

Penelitian ini membahas mengenai prinsip kolaborasi berdasarkan surat edaran Jenderal Cipta Karya yang meliputi partisipasi, komunikasi, akseptasi, berbagi/ sharing dan percaya/ trust serta menjelaskan hambatan dalam penanganan permukiman kumuh yang terdiri dari hambatan eksternal yaitu anggaran, dan faktor internal yaitu kurangnya kesadaran masyarakat mengenai perilaku hidup bersih dan sehat.

7. (Rosyida & Yuliani, 2017) dalam penelitian yang berjudul Kolaborasi dalam Perencanaaan Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kelurahan Semanggi Kota Surakarta. Penelitian ini membahas mengenai

(4)

Program KOTAKU yang di laksanakan di Kelurahan Semanggi, Kota Surakarta sudah di tahap perencanaan, disisi lain penelitian ini juga melihat proses kolaborasi yang dilakukan oleh para aktor yang terlibat dalam tahap perencanaan Program KOTAKU. Selain itu penelitian ini juga menjelaskan mengenai hambatan kolaborasi dalam perencanaan Program KOTAKU seperti, sumber daya manusia yang belum teralokasikan dengan baik dalam membantu keberhasilan program dan juga komunikasi antar stakeholder yang belum terkoordinasi dengan baik.

8. (Ardiansyah, 2017) dalam penelitian yang berjudul Kebijakan Pengentasan Wilayah Kumuh (Studi Pada Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kota Tanjungpinang). Penelitian ini mengkaji Kebijakan Sosial Pengentasan Wilayah Kumuh pada Program KOTAKU sebagai program yang digunakan untuk mengatasi kawasan kumuh. Penelitian ini menjelaskan tujuan dari Program KOTAKU adalah meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di permukiman kumuh perkotaan untuk mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang layak huni.

9. (Wang, 2014) dalam penelitian yang berjudul Research on the Collaborative Governance Model in the Charity Organization under Polycentric Perspective. Penelitian ini mengkaji tentang tata kelola pemerintahan. Teori ini dimaksudkan untuk mewujudkan diversifikasi pemasok layanan publik, yang merupakan kerja sama kolaboratif antara tiga aktor baik pemerintah, masyarakat dan swasta dalam membangun

(5)

mekanisme penyediaan layanan publik. Mekanisme administrasi yang dibentuk oleh pemerintah yang berpartisipasi dengan pihak swasta dalam meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan.

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, untuk memudahkan dalam memahami hasil dari masing-masing penelitian sebelumnya, maka peneliti akan merangkumnya dalam bentuk matriks, sehingga dapat diketahui bagaimana persamaan dan perbedaan penelitian ini dengan penelitian- penelitian terdahulu. Kegunaan penelitian terdahulu ini sebagai data pendukung bahwa penelitian ini mempunyai novelty (kebaruan) dari penelitian-penelitian yang sebelumnya telah di lakukan, hal ini menjadikan penelitian ini terus berkembang dari setiap waktu ke waktu dan menghasilkan fokus penelitian dan hasil yang lebih bervariatif. Berikut ini merupakan matriks dari penelitian-penelitian terdahulu yang digunakan sebagai data pendukung penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. (Lihat di hal. 18)

(6)

18 Tabel 2.1

Matriks Penelitian Terdahulu

No

. Judul Penelitian

Jenis dan Metode Penelitian

Hasil Relevansi

1 (Ramalis Sobandia, 2015) “Knowledge Sharing and Stakeholder Collaboration Practice in Solo City Planning and Development:

Notes on Urban Community Nurturing Processes”

Kualitatif dengan metode lintasan

Penelitian ini mengkaji

- Kolaborasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan berbasis aksi di Kota Solo telah memberikan pengetahuan di antara akademisi, pemerintah, konsultan dan masyarakat setempat yang melibatkan pihak swasta dalam pengambilan keputusan

- Penelitian ini menemukan bahwa tata pemerintahan yang baik di Kota Solo telah di bangun berdasarkan etika untuk melayani masyarakat dan kommitmen yang tinggi untuk melaksanakan rencana menjadi tindakan.

Persamaan :

Melihat proses kolaborasi yang ada di Kota Solo

Perbedaan :

Pada penelitian ini tidak menjelaskan kolaborasi yang merujuk pada salah satu program.

2 (Koen Olthuis, 2015) “Slum Upgrading:

Assessing the importance of

Kualitatif Hasil dari penelitian ini yakni dalam mengatasi permukiman kumuh perkotaan perlu melakukan peningkatan infrastruktur dasar, perumahan yang berkelanjutan dan ukuran lingkungan

Persamaan :

Lebih berfokus pada pembangunan peningkatan infrastruktur serta pelayanan dasar di kawasan kumuh.

(7)

19 No

. Judul Penelitian

Jenis dan Metode Penelitian

Hasil Relevansi

location and a plea for a spatial

approach”

seperti penyediaan air dan sanitasi, pengolahan limbah dan penyediaan mobilitas melalui pembangunan fisik seperti perbaikan aksesibilitas jalan.

Perbedaan :

tidak menjelaskan mengenai kebijakan atau program yang digunakan dalam mengatasi permukiman kumuh.

3 (Supriyanto, 2014)

“Role Government in Jakarta

Organize Slum Area”

Deskriptif Kualitatif

Hasil dari penelitian ini adalah

- Penataan permukiman kumuh perkotaan tidak dapat dipisahkan dari komunitas sosial, ekonomi, dan lingkungan.

- Pengaturan permukiman kumuh harus mempertimbangkan sisi kemanusiaan dan memperhatikan keseimbangan kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah.

- Pemerintah Daerah dalam melakukan penataan bisa memberdayakan para pemangku kepentingan dan melestarikan fungsi lingkungan di daerah kumuh.

Persamaan :

Masalah permukiman kumuh di daerah perkotaan sebagai masalah yang kompleks dan sulit di atasi. Persoalan tersebut membutuhkan peran Pemerintah Daerah sebagai dalam mengatasi permukiman kumuh terutama dalam membuat kebijakan penanganan permukiman kumuh.

Perbedaan:

Hanya menyebutkan Pemerintah Daerah yang berwenang dalam penataan permukiman kumuh saja tanpa adanya kolaboasi dengan pihak lain.

4 (Sandra Carrasco, 2016)” Disaster Induced

Resettlement:

Kualitatif, metode wawancara,

- Penelitian ini membahas mengenai bencana yang terjadi pada permukiman informal yang terletak di bantaran sungai sebagai

Persamaan :

Membahas mengenai proses kolaborasi antar pemangku kepentingan.

(8)

20 No

. Judul Penelitian

Jenis dan Metode Penelitian

Hasil Relevansi

Multi-Stakeholder interactions and decision making following Tropical Storm Washi in Cagayan de Oro,

Philippines”

dan

dokumentasi

daerah rentan dan marginal terkena bencana banjir.

- Penelitian ini mengkaji tentang proyek pembangunan prioritas perumahan permanen dengan masalah yang kompleks yang diselesaikan dengan mekanisme kolaborasi untuk pengambilan keputusan dari berbagai pemangku kepentingan yang terlibat dalam rekonstruksi perumahan di Cagayan de Oro yang memerlukan manajemen pemukiman yang efektif.

Perbedaan :

Fokus penelitian yang membahas mengenai pembangunan perumahan permanen pasca bencana.

5 (Setiadi, 2014)

“The Typology and Patterns of Slum Improvement Management in Bontang (Tipologi dan Pola

Penanganan Permukiman Kumuh di Kota Bontang).”

Kualitatif Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a.Tipologi permukiman kumuh di Kota Bontang dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:

- Kekumuhan Tinggi (KT) dilakukan pola penanganan kuratif (Penanggulangan)

- Kekumuhan Sedang (KS) dilakukan menggunakan pola penanganan reduktif.

Persamaan:

Penelitian ini berfokus pada pola penanganan permukiman kumuh dengan identifikasi lokasi prioritas dan pola penanganan permukiman kumuh.

Perbedaan :

Selain berbeda tempat peneltiannya, pola penanganan permukiman kumuh di yang digunakan di Kota Bontang sesuai dengan UU No.4 th 1999 tentang

(9)

21 No

. Judul Penelitian

Jenis dan Metode Penelitian

Hasil Relevansi

- Kekumuhan Rendah (KR) menggunakan pola penanganan pereventif (pencegahan)

perumahan dan permukiman dalam rangka peningkatan kualitas meliputi upaya perbaikan, peremajaan, permukiman kembali, Land Sharing, dan Land Consolidation. Sedangkan pola penanganan penelitian yang akan peneliti lakukan berdasarakan Undang-Undang No.1 Tahun 2011 sesuai dengan panduan Program Kotaku yaitu: Pencegahan, Peningkatan Kualitas dan pengelolaan.

6 (Fitriana, 2018)

“Kolaborasi Dalam Penanganan

Permukiman Kumuh Melalui Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) Di Kelurahan Sukaramai Kecamatan

Pekanbaru Kota.”

Kualitatif - Prinsip kolaborasi yang digunakan sebagai platform program belum berjalan maksimal

- Sulitnya komunikasi antar pihak dalam menyamakan waktu dalam mengadakan pertemuan masih menjadi hambatan

- Tidak semua pihak mampu menerima keberadaan pihak lain dikarenakan tidak bertanggung jawab dalam pelaksanaan tugas - Muncul sedikit rasa tidak percaya

dikarenakan laporan mengenai rincian detail anggaran tidak ada

Persamaan :

Relevansinya adalah sama-sama membahas mengenai penanganan permukiman kumuh melalui Program KOTAKU dengan perspektif kolaborasi yang sesuai dengan prinsip Surat Edaran Jenderal Cipta Karya.

Perbedaan :

Lokus penelitian yang dilakukan oleh penelitian terdahulu berada di Kelurahan Sukarami Kecamtan Pekanbaru Kota sedangkan penelitian peneliti berada di Kelurahan Semanggi, Kota Surakarta.

(10)

22 No

. Judul Penelitian

Jenis dan Metode Penelitian

Hasil Relevansi

- Mengenai anggaran program dari APBD belum di anggarkan, untuk sementara ini dana dilaokasikan melalui BDI (Bantuan Dana Investasi) kolaborasi yang berasal dari APBN.

7 (Rosyida &

Yuliani, 2017)

“Kolaborasi dalam Perencanaaan Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kelurahan Semanggi Kota Surakarta”

Deskriptif Kualitatif

Kolaborasi dalam perencanaan Program KOTAKU di Kelurahan Semanggi belum dilaksanakan karena hanya ada beberapa stakeholder saja yang terlibat, dan ditemukan terdapat beberapa hambatan seperti sumberdaya manusia serta komunikasi antar stakeholder. Artikel ini menyimpulkan bahwa kolaborasi dalm perencanaan Program Kotaku belum efektif karena masih membutuhkan pemerataan persepsi mengenai konsep kolaborasi yang sesungguhnya.

Persamaan :

membahas Program Kotaku di Kota Surakarta sesuai dengan platform kolaborasi

Perbedaan :

Mengkaji tentang proses kolaborasi dalam tahap perencanaan Program Kotaku, dan lokus penelitian yang berbeda.

8. (Ardiansyah, 2017)

“Kebijakan Pengentasan Wilayah Kumuh (Studi Pada Program Kota Tanpa Kumuh

Deskriptif Kualitatif

Hasil penelitian menemukan bahwa kebijakan sosial pengentasan wilayah kumuh pada program Kotaku di Kota Tanjungpinang sudah berhasil di implememntsikan, tetapi disisi lain terdapat hambatan yang mempengaruhi pelaksanaan program yakni belum

Persamaan :

Menggunakan Program yang sama dalam pengentasan kawasan kumuh.

Perbedaan :

Penelitian terdahulu tidak mengkaji konsep collaborative governance dalam kebijakan pegentasan wilayah kumuh.

(11)

23 No

. Judul Penelitian

Jenis dan Metode Penelitian

Hasil Relevansi

(KOTAKU) di Kota Tanjungpinang)”

efektifnya peran pemerintah daerah, dan juga keterlibatan peran pihak lain. Selain itu, keterbatasan sumber daya manusia juga masih menjadi persoalan karena proses pelaksanaan Program tersebut menekankan pada proses partisipasi.

9. (Wang, 2014)

“Research on the Collaborative Governance Model in the Charity Organization under Polycentric

Perspective.”

Deskriptif kualitatif

Penelitian ini menjelaskan mengenai proses kolaborasi multi-stakeholder dalam tata pemerintahan. Teori kolaborasi mewujudkan pemasok jasa publik diantaranya ada tiga pemasok yakni pemerintah, masyarakat, dan swasta dalam membentuk mekanisme administrasi yang bertujuan memberikan pelayanan publik.

Persamaan :

Penelitian yang di lakukan akan menggunakan perspektif collaborative governance sebagai pandangan untuk mengetahui proses kolaborasi multi- stakeholder.

Perbedaan :

Artikel ini menggunakan model Polycentric Perspective dengan indikator kolaborasi meliputi: trust building, input, consensus, face to face.

(12)

Penelitian-penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa sudah terdapat beberapa penelitian terdahulu yang membahas mengenai proses kolaborasi, program KOTAKU dan penanganan permukiman kumuh. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut terdapat beberapa persamaan dengan penelitian ini, seperti fokus penelitian yang mengenai penanganan permukiman kumuh melalui Program KOTAKU dalam perspektif kolaborasi, atau hanya berfokus pada penanganannya saja maupun sekedar mendeskripsikan program. Disisi lain beberapa perbedaan juga ditemukan dalam penelitian terdahulu dengan penelitian ini di mulai dari tempat penelitian dan fokus penelitian yang berbeda.

Selain itu, karena penelitian ini membahas mengenai penanganan permukiman kumuh melalui Program KOTAKU dalam perspektif Collaborative Governance, maka penelitian ini juga mengacu pada penelitian-penelitian tentang penanganan permukiman kumuh melalui Program KOTAKU (Fitriana, 2018). dan tentang proses kolaborasi di Kota Solo (Ramalis Sobandia, 2015). Namun demikian, penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian diatas, dimana penelitian diatas membahas mengenai kolaborasi, penanganan kawasan kumuh, kebijakan sosial pada Program KOTAKU dan kolaborasi yang di terapkan pada studi kasus yang berbeda. Sedangkan penelitian ini berfokus pada melanjutkan penelitian terdahulu yang telah di lakukan oleh (Rosyida S. Y., 2017) yakni mengenai Collaborative Governance dalam Program KOTAKU. Pada penelitian lanjutan ini yang membedakan dengan penelitian terdahulu dilihat dari dari

(13)

teori yang akan digunakan dalam penelitian. Selain itu mengkaji dan mencari tahu mengapa dari kelima prinsip kolaborasi yang sesuai dengan surat edaran Direktorat Jenderal Cipta Karya hanya 2 prinsip saja yang bisa terealisasikan dalam implementasi Program KOTAKU di Kelurahan Semanggi. Pada penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana proses kolaborasi antar stakeholder dalam penanganan permukiman kumuh melalui Program Kotaku di Kelurahan Semanggi, Kota Surakarta.

B. Landasan Teori

1. Pengertian Governance

Penelitian ini termasuk dalam ranah perkembangan ilmu administrasi negara dalam bidang pengelolaan pemerintahaan.

Rhodes mengartikan governance sebagai jaringan antar lembaga, sumber daya, koordinasi dari negara yang merujuk pada hubungan antara pemerintah atau negara dengan publik (Kraay, 2007) mengartikan governance sebagai:

“Governance is the relationship between governments and citizen that enable public policies and program to be formulated, implemented, and evaluated. In the broarder kontext, it refers to the rules, institutions, and networks that determine how a country or an organization function.”

Kutipan diatas memiliki makna bahwa governannce merupakan hubungan antara pemerintah dan warga negara dalam menentukkan kebijakan yang berkaitan dengan program publik, untuk dirumuskan, diimplementasikan, dievaluasi yang mengacu pada aturan, institusi

(14)

dan jaringan yang menentukkan bagaimana suratu negara atau organisasi itu berfungsi.

Sedangkan governance melihat kepada mekanisme proses masyarakat dan kelompok dalam mengetahui kepentingan memediasi perbedaan dan menjalankan hak dan kewajiban (Keban, 2008). Selain itu, Governance terdiri dari pemerintah, sektor swasta dan masyarakat yang saling berkaitan dan berinteraksi dalam menjalankan tugas dan fungsinya (Syafri, 2012). Pendapat tersebut sejalan menurut (Dwiyanto, 2005) yang menjelaskan bahwa konsep governance melihat pada proses pelibatan lembaga non negara yakni swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan urusan publik, dimana lembaga non negara tersebut memberikan peran dalam mendukung kegiatan pemerintahan agar menjadi lebih partisipatif, responsif dan akuntabel mengenai kepentingan publik.

Sementara itu, governance diartikan sebagai cara suatu bangsa dalam mengalokasikan dan mendistribusikan kekuasaan, sumberdaya serta mengelola permasalahan publik. Secara tidak langsung makna dari konsep governance memiliki unsur demokratis, adil, transparan, rule of law dan juga kemitraan (Effendi, 2005).

Jadi dari beberapa konsep peneliti menyimpulkan bahwa governance merupakan sebuah tata cara pemerintahan dalam mengatur, mengelola kekuasaan, sumber daya serta kepentingan

(15)

publik, dimana didalam proses pelaksanaannya terlibat berbagai kelembagaan baik dari pemerintah, masyarakat maupun sektor swasta untuk memecahkan masalah di publik.

2. Pengertian Collaborative Governance

Didalam kolaborasi tidak ada pihak yang dominan dalam pengambilan keputusan tetapi harus sesuai dengan proporsi seimbang dari semua aktor yang terlibat. Sedangkan konsep collaboration mencakup cooperation (kerjasama) coordination (koordinasi), Coorperation (kerjasama) meliputi pertemuan serta menyembimbangkan organisasi dalam mencapai tujuan yang efektif, karena organisasi bertanggungjawab dalam menyediakan layanan.

Sedangkan coordination (koordinasi) meliputi aktivitas dari berbagai sumber daya dalam penyediaan layanan bersama untuk memenuhi kebutuhan (Sudarmo, 2015).

Menururt (Bingham, 2007) kolaborasi adalah sebuah konsep yang mendeskripsikan proses pelaksanaan yang melibatkan multi organisasi dalam memecahkan masalah, dimana masalah tersebut tidak bisa diselesaikan apabila hanya dilakukan oleh satu organisasi saja.

Pendapat ini didukung oleh Bardach yang mengartikan bahwa collaboration adalah aktivitas yang dilakukan oleh dua lembaga atau lebih untuk bekerjasama dengan meningkatkan publik value daripada bekerja secara individual. Jadi dari pendapat kedua tokoh diatas dapat

(16)

diambil arti bahwa collaboration itu bentuk kerjasama, koordinasi serta aktivitas yang terdiri dari dua atau lebih lembaga yang bekerja bersama dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

Menurut (Gash A. d., 2007) “Collaborative governance is therefore a type of governance in which public and private actors work collectively in distinctive ways, using particular processes, to establish laws and rules for the provision of public goods.”

Menjelaskan bahwa collaborative governance sebagai hal baru dalam tata kelola pemerintahan dimana tata kelola kolaboratif aktor publik dan swasta bekerja secara kolektif dengan cara yang berbeda, menggunakan proses tertentu, untuk menetapkan hukum dan aturan untuk penyediaan barang publik. Ansell dan Gash mendefinisikan collaboration seperti:

A governing arrangement where one or more public agencies directly engage non-state stakeholders in a collective decision-making process that is formal, consensus-oriented, and deliberative and that aims to make or implement public policy or manage public programs or assets.

Pengaturan pemerintahan di mana satu atau lebih lembaga publik secara langsung melibatkan pemangku kepentingan non-negara dalam proses pengambilan keputusan kolektif yang formal, berorientasi pada konsensus, dan musyawarah dan yang bertujuan untuk membuat atau menerapkan kebijakan publik atau mengelola program atau aset publik. Definisi ini menekankan enam kriteria penting: (1) forum yang diprakarsai oleh instansi atau lembaga-lembaga publik, (2) peserta dalam forum termasuk aktor non-pemerintah, (3) peserta terlibat langsung dalam pengambilan keputusan dan tidak hanya '' berkonsultasi '' oleh lembaga-lembaga publik, (4) forum secara resmi terorganisir dan

(17)

bertemu secara kolektif, (5) forum ini bertujuan untuk membuat keputusan dengan konsensus (bahkan jika konsensus tidak tercapai dalam praktek), dan (6) fokus kolaborasi kebijakan publik atau manajemen publik (Gash C. A., 2007). Sedangkan collaboration menurut (Dawes, 2003) adalah:

“A reciprocal and voluntary agreement between two or more distinct public sector agencies, or between public and private or nonprofit entities, to deliver government services.” Artinya kolaborasi merupakan sebuah perjanjian sukarela yang dilakukan oleh dua atau lebih organisasi sektor publik baik dari pemerintah yang berbeda, atau antara pihak swasta dalam memberikan pelayanan pemerintah.

Konsep tersebut sejalan dengan (Agranoff, 2003) yang menjelaskan bahwa collaborative governance tidak terbatas pada stakeholder yang terdiri dar6i pemerintah maupun non pemerintah, tetapi juga adanya multi-partner governance yang meliputi masyarakat, komunitas sipil. Hal ini terbangun atas dasar supaya terjalin sinergi peran dari masing-masing stakeholder.

Sementara itu (Vangen, 2003) menjelaskan bahwa kolaborasi juga bisa mengandung pengertian sebuah jaringan para aktor yang berlangsung secara horizontal diantara organisasi-organisasi dan secara prinsip hamper semuanya memungkinkan melalui kolaborasi karena keterbatasan sumber daya dan keahlian yang dimiliki, walaupun masing- masing kolaborasi memiliki variasi. Jadi, kolaborasi mengacu pada pengertian kerjasama (cooperation) yang melibatkan dua atau lebih institusi/ pihak, bisa terdiri dari pihak pemerintah dan non pemerintah.

Menurut (Gray, 1989) collaborative memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

(18)

a. Kerjasama bersifat sukarela

b. Masing-masing pihak memiliki kedudukan yang setara

c. Masing-masingmemiliki kewenanagan dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan

d. Pihak yang bekerjasama memiliki tujuan menggabungkan sumberdaya yang ada.

Berdasarkan beberapa konsep teori kolaborasi diatas, peneliti menyimpulkan bahwa kolaborasi bisa dikatakan sebagai perjanjian timbal balik yang dilakukan secara sukarela dari berbagai lintas kelembagaan dan multi level, dimana semua pihak memiliki peran dan tanggung jawab dalam menjalakan tugasnya. Setiap aktor yang terlibat dalam proses kolaborasi tidak ada pihak yang lebih dominan melainkan bekerjasama dalam mencapi visi yang diinginkan oleh semua pihak dan tidak bersifat merugikan. Meskipun dari masing-masing stakeholder memiliki wewenang yang berbeda tetapi adanya kolaborasi tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi besar untuk membantu pemerintah dalam memecahkan masalah publik yang bersifat kompleks, yang disisi lain masalah tersebut tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Berikut merupakan gambar untuk mengidentifikasi bagaimana proses kolaborasi berlangsung.

(19)

Gambar 2.1

Model of Collaborative Governance Ansell and Gash

Berdasarkan gambar 2.1 maka dapat diketahui ada tiga tahap dalam proses kolaborasi meliputi:

1. Institutional Design

Desain kelembagaan merujuk pada protokol dasar dan aturan dasar untuk kolaborasi, yang sangat penting untuk legitimasi prosedural dari proses kolaboratif. Akses ke proses kolaboratif itu sendiri mungkin merupakan masalah desain yang paling mendasar.

2. Starting Condition

a. Power Resource, Knowledge Asymmetries

Ketidakseimbangan2/ kekuasaan antara para pemangku kepentingan adalah masalah yang sering dicatat dalam tata kelola

(20)

kolaboratif (Gray 1989; Short and Winter 1999; Susskind dan Cruikshank 1987; Tett, Crowther, dan O'Hara 2003; Warner 2006).

Jika beberapa pemangku kepentingan tidak memiliki kapasitas, organisasi, status, atau sumber daya untuk berpartisipasi, atau untuk berpartisipasi secara setara dengan pemangku kepentingan lainnya, proses tata kelola kolaboratif akan rentan terhadap manipulasi oleh aktor yang lebih kuat.

b. Incentives for and Constraints on Participation

Insentif untuk berpartisipasi mengingat sifat partisipasi sukarela yang besar, sangat penting untuk memahami insentif yang harus dimiliki oleh pemangku kepentingan untuk terlibat dalam tata kelola kolaboratif dan faktor-faktor yang membentuk insentif tersebut. Insentif meningkat ketika pemangku kepentingan melihat hubungan langsung antara partisipasi mereka dan hasil kebijakan yang konkret, nyata, dan efektif (Brown 2002).

c. Prehistory of Coorperation or conflict (Initial Trust Level)

Para pemangku kepentingan sangat saling bergantung, tingkat konflik yang tinggi sebenarnya dapat menciptakan insentif yang kuat untuk tata kelola kolaboratif. Kebuntuan kebijakan sebenarnya dapat menciptakan dorongan kuat untuk tata kelola kolaboratif Situasi seperti itu sering terjadi dalam konteks manajemen sumber daya di mana kebuntuan itu sendiri membebankan biaya yang serius di kedua sisi perselisihan.

(21)

3. Collaborative Process

Menggambarkan proses pembangunan konsensus sebagai memiliki fase pranegosiasi, fase negosiasi, dan fase implementasi; Gray (1989) mendefinisikan proses kolaboratif tiga langkah: (1) pengaturan masalah, (2) pengaturan arah, dan (3) implementasi; dan Edelenbos (2005, 118) mengidentifikasi proses threestep yang mencakup persiapan, pengembangan kebijakan, dan pengambilan keputusan, dengan setiap langkah memiliki beberapa tahap. Model tahap kolaborasi adalah penting untuk menarik perhatian pada strategi kolaborasi yang berubah saat konteks berubah.

a. Face to Face Dialogue

Dialog tatap muka yang biasanya dilakukan dalam proses kolaborasi itu sangat penting. Proses ini bisa mencakup penentuan negosisasi yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang terlibat kolaborasi.

b. Trust Building

Proses kolaborasi juga tidak terlepas dari membangun kepercayaan antar pihak yang terlibat. Proses membangun kepercayaan ini dilakukan untuk memperoleh kepercayaan dari masing-masing pihak saat sedang dilakukan kolaborasi.

c. Commitmen to Process

Kolaborasi berkaitan dengan komitmen yang akan dibangun baik dari organisasi ataupun aktor yang terlibat didalamnya. Proes ini mencakup 3 indikator seperti pengakuan slaing ketergantungan,

(22)

kepemilikan bersama atas proses, dan keterbukaan keuntungan bersama.

d. Shared Understanding

Proses kolaborasi akanterjadi apabila semua pihak yang terlibat saling berbagi pemahamn satu sam alain dalam memecahkan masalah, oleh karena itu dalam proses shared understanding ini terdapat 3 indikator didalamnya yakni, misi yang jelas, mampu mendefinisikan masalah, dan mengidentifikasi nilai-nilai yang diperoleh saat kolaborasi.

e. Intermediated Outcomes

Dari setiap kolaborasi yang dilakukan, pastinya ada sebuah hasil yang akan diperoleh baik jangkak pendek atau jangka panjang, dalam intermediated outcomes tidak terlepas dari 3 indikator yakni, keberhasilan yang diperoleh sementara, rencana strategis yang dilkaukan untuk mencapai keberhasilan, dan membuktikan adanya fakta yang yang sebenarnya.

3. Facilitative Leadership

Kepemimpinan sangat penting untuk menetapkan dan mempertahankan aturan dasar yang jelas, membangun kepercayaan, memfasilitasi dialog, dan mengeksplorasi keuntungan bersama.

Vangen dan Huxham (2003a) berpendapat bahwa kepemimpinan penting untuk merangkul, memberdayakan, dan melibatkan para pemangku kepentingan dan kemudian memobilisasi mereka untuk

(23)

memajukan kolaborasi.Fasilitasi tidak mengganggu pada hak prerogatif manajemen para pemangku kepentingan; peran seorang fasilitator adalah memastikan integritas proses pembangunan konsensus itu sendiri. Mediasi meningkatkan peran intervensi pihak ketiga dalam perincian substantif perundingan ketika para pemangku kepentingan tidak efektif dalam mengeksplorasi kemungkinan menang-menang.

4. Outcomes

Hasil yang terjadi setelah pelaksanaan jangka pendek dan berkelanjutan, dalam penelitian ini akan berfokus pada proses kolaborasi yang dilakukan oleh setiap stakeholder dalam Program KOTAKU.

3. Alasan dilakukannya Collaborative Governance

Collaborative governance tidak muncul secara tiba-tiba. Adanya kompleksitas masalah yang mengharuskan adanya kolaborasi yang di kemukakan oleh Anseel and Gashh menjelaskan bahwa collaborative governance dilatarbelakangi oleh perkembangan organisasi dan berkembangnya pengetahuan dan kapasitas institusi atau organisasi seiring dengan pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari lingkungan selama oragnisasi tersebut bekerja.

Alasan-alasan perlunya dilakukan kolaborasi adalah sebagai berikut:

a. Kompleksitas dan saling ketergantungan antar institusi-institusi

(24)

b. Konflik antar kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit diredam

c. Upaya mencari cara-cara baru untuk mencapai legitimasi politik d. Kegagalan implementasi kebijakan di tataran lapangan

e. Ketidakmampuan kelompok-kelompok terutama karena pemisahan rezim-rezim kekuasaan untuk menggunakan area- area institusi lainnya untuk menghambat keputusan

f. Mobilisasi kelompok kepentingan g. Tingginya biaya dan politisasi regulasi

h. Pemikiran-pemikiran yang semakin luas tentang pluralism kelompok kepentingan

i. Adanya kegagalan akuntabilitas manajerialisme (terutama manajemen ilmiah yang semakin dipolitisasi) dan kegagalan implementasinya.

4. Pengertian Stakeholder

Stakeholder atau biasa disebut dengan pemangku kepentingan merupakan dua kata yakni stake dan holder. Konsep stakeholder sebagai individu atau organisasi baik profit maupun non profit yang memiliki pengaruh penting bagi keberlangsungan lembaga ataupun institusi dalam pencapaian tujuan.

Stakeholder menurut (Munawaroh, 2016) bisa berasal dari semua pihak yang memiliki kepentingan baik internal maupun eksternal yang mempunyai hubungan mempengaruhi ataupun dipengaruhi, dan bersifat

(25)

langsung maupun tidak langsung. Stakeholder dibagi menjadi dua jenis, yaitu internal stakeholder dan eksternal stakeholder. Internal stakeholder merupakan kelompok atau individu yang tidak secara langsung menjadi bagian dari lingkungan organisasi karena sebenarnya internal stakeholder adalah anggota dari organisasi, dimana para manajer memiliki tanggung jawab atas kepentingan mereka, sedangkan eksternal stakeholder merupakan individu ataupun kelompok instansi yang berasal dari luar internal organisasi, namun memiliki peran penting dalam mewujudkan tujuan organisasi.

Sedangkan, (Freeman, 2010) juga mengemukakan pendapatnya mengenai apa itu stakeholder “Any group or individual who can affect or is affected by the achievment of the organization’s objectives. The stakeholder concept was originally defined as “those groups without whose support the organization would cease to exist.” The list of stakeholders originally included shareowners, employees, customers, suppliers, lenders and society.”

Artinya adalah sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu.

Konsep pemangku kepentingan pada awalnya didefinisikan sebagai"

kelompok-kelompok yang tanpa dukungan organisasi tidak akan ada lagi.

Bisa jadi pemangku kepentingan itu berasal dari pemegang saham, karyawan, pelanggan, pemasok, pemberi pinjaman dan masyarakat.

Jadi, dari dua definisi stakeholder diatas dapat disimpulkan bahwa pemangku kepentingan bisa berasal dari individu maupun kelompok yang memiliki kepentingan, kekuasaan, legitimasi yang ada disuatu organisasi, baik itu kelompok internal maupun eksternal. Dimana keduanya sama-

(26)

sama saling dipengaruhi dan mempengaruhi satu sama lain. Sehingga dalam penelitian ini analisis stakeholder sangat diperlukan untuk mengetahui peran masing-masing stakeholder yang merupakan aktor yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan yang diambil dari sebuah tindakan dalam Program KOTAKU di Kelurahan Semanggi, Kota Surakarta.

5. Deskripsi Program KOTAKU a. Pengertian Program

Sebelum adanya Program KOTAKU, ada sebuah program nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah yakni Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Program P2KP tersebut bertujuan untuk menanggulangi berbagai kemiskinan yang terjadi di perkotaan. Proses perjalanan Program P2KP ini memberikan hasil perkembangan yang baik karena ternyata program tersebut telah diadopsi menjadi bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program ini diarahkan untuk mendukung upaya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan pencapaian sasaran Millennium Development Goals (MDGs), sehingga tercapai pengurangan penduduk miskin sebesar 50%.

Adanya transisi politik nasional yang berimplikasi kepada transisi program sehingga pada tahun 2016 Program PNPM-MP atau P2KP diubah menjadi Program KOTAKU (Siswoyo,

(27)

http://kotaku.pu.go.id/view/3912/overview-perubahan-paradigma- kotaku, 2017).

Program KOTAKU merupakan upaya strategis Direktorat Pengembangan Kawasan Permukiman dalam rangka meningkatkan peran masyarakat dan memperkuat peran Pemerintah Daerah dalam percepatan penanganan kawasan kumuh, dengan berlandaskan Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman mengemban tujuan yang diupayakan perwujudannya yang harus dilengkapi dengan sarana, prasarana dan utilitas umum seperti penyediaan air minum, pembuangan sampah, tersedianya listrik, telepon dan jalan serta infrastruktur (SUSENAS, 2017).

Program KOTAKU merupakan program nasional yang dilaksanakan dalam menangani masalah permukiman kumuh dengan

“platform” kolaborasi yang diharapkan mampu mengintegrasikan berbagai sumber daya baik dari pemerintah, pusat , provinsi, kabupaten/kota, swasta, masyarakat ataupun pemangku kepentingan yang lainnya. Program ini dilaksanakan di 271 kabupaten/kota di 34 provinsi dan dalam program ini mengedepankan partisipasi masyarakat.Program KOTAKU diharapkan menjadi “platform”

kolaborasi yang mendukung penanganan permukiman kumuh secara bertahap di seluruh Indoneisa melalui pengembangan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat, penguatan kelembagaan, perencanaan, serta perbaikan infrastruktur dan pelayanan dasar di

(28)

tingkat kota, serta pendampingan teknis untuk mendukung tercapainya sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 yakni mengenai kota tanpa kumuh.

b. Tujuan Program

Tujuan program adalah meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di permukiman kumuh perkotaan untuk mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang layak huni, produktif dan berkelanjutan, serta menurunkan jumlah luasan permukiman kumuh. Sehingga akses infrastruktur dan pelayanan perkotaan akan semakin lebih baik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mendorong penghidupan berkelanjutan di wilayah kumuh, serta penerima manfaat puas dengan kualitas infrastruktur dan pelayanan perkotaan di kawasan permukiman kumuh.

c. Pengertian Permukiman Kumuh

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menjelaskan bahwa permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Dari pengertian tersebut dapat drumuskan karateristik perumahan dan permukiman kumuh dari aspek fisik sebagai berikut:

1) Merupakan satuan entitas permukiman 2) Kondisi bangunan tidak memenuhi prosedur

(29)

3) Kondisi sarana dan prasarana tidak memenuhi syarat. Khusus untuk bidang cipta karya memberi abtasan sarana prasarana adalah sebagai berikut:

a) Jalan Lingkungan b) Drainase Lingkungan

c) Penyediaan Air Bersih / minum d) Pengelolaan Persampahan e) Pengelolaan Air Limbah f) Pengamanan Kebakaran, dan g) Ruang Terbuka Publik

Sedangkan, menurut (Nisanth, 2015) dijelaskan bahwa indikator suatu kawasan dikatakan kumuh dapat dilihat melalui aspek:

1) Access to Water ( Akses air bersih) 2) Haousing Conditions (Kondisi Hunian)

3) Economic Characteristics of the Slum Dwellers (Karakter ekonomi dari penghuni pemukiman kumuh)

4) Access to Sanitation Services (Akses pelayanan sanitasi) 5) Prevalent Diseases (adanya penyakit)

Dari karateristik diatas yang menjadi dasar perumusan kriteria dan indikator dari gejala kumuh dengan proses identifikasi lokasi permukiman kumuh. Selain karateristik fisik, karateristik non fisikpun menjadi pertimbangan dalam menentukkan perumusan. Adapun karateristik non

(30)

fisik tersebut seperti perilaku masyarakat, kepastian bermukim dan juga kepastian berusaha.

Permukiman kumuh sering dilihat sebagai suatu kawasan yang identik dengan kelebihan penduduk, miskin, berbahaya, tidak aman, dan kotor dan berstigma negatif (Adisasmita, 2010). Persepsi publik mengenai permukiman kumuh selalu negatif, karena membayangkan permukiman yang penuh dengan sampah, ketidakteraturan tempat tinggal dan wilayah yang berantakan. Sedangkan menurut (Sinulingga, 2005) mengartikan pemukiman kumuh sebagai lingkungan hunian atau tempat tinggal yang tidak sesuai dengan standar kebutuhan, ditinjau dari tingkat kepadatan penduduk, sarana dan prasarana, fasilitas pendidikan, kesehatan, sarana dan prasarana, ruang terbuka serta sosial budaya masyarakat.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa permukiman kumuh adalah suatu kawasan padat penduduk yang identik dengan ketidakteratuan bangunan, kualitas bangunan yang rendah, sarana dan prasaran yang buruk yang di sebabkan oleh tingkat kemiskinan penduduk. Program ini diinisiasikan berdasarkan landasan hukum diantaranya:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188);

(31)

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587);

3. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2015-2019 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 3);

4. Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2015 tentang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 16);

5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42/M Tahun 2015 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Jabatan Struktural Eselon I di Lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

6. UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang

7. UU No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman 8. PP No. 26 tahun 2008 tentang RTRW Nasional

9. PP No. 14 tahun 2016 Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman

10. Permen PUPR No. 14 Thn 2018, tentangPencegahan dan Peningkatan Kualitas Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh

11. Perda No. 1 tahun 2012 tentang RTRW kota Surakarta 12. Perda No. 9 tahun 2016 tentang RPJMD kota Surakarta

(32)

13. Keputusan Walikota No. 413.21/38.3/1/2016 tahun 2016 tentang penetapan Lokasi Kawasan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh di kota Surakarta

C. Kerangka Berpikir

Kerangka pikir digunakan dalam mengembangkan konsep dan teori yang digunakan dalam penelitian ini, dari beberapa konsep dan teori yang sudah dipaparkan diatas, peneliti ingin menggambarkan kerangka pemikiran mengenai penelitian yang akan dilaksanakan. Hal ini dilakukan agar pembaca lebih mudah memahami maksud dan tujuan dari penelitian ini.

Masalah urbanisasi masih menjadi momok di perkotaan, pasalnya urbanisasi menyebabkan tingkat kepadatan penduduk kota semakin meningkat. Hal inilah yang menyebabkan wilayah perkotaan banyak terdapat permukiman kumuh, dimana fenomena tersebut memiliki masalah yang sangat kompleks sehingga di butuhkan prioritas penanganan oleh pemerintah di tingkat kabupaten atau kota. Dalam menangani permasalahan tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai perumahan dan permukiman yang diwujudkan dalam bentuk Program KOTAKU. Program KOTAKU diimplementasikan di 271 kabupaten atau kota di 34 provinsi termasuk juga dengan Kota Surakarta. Di Kota Surakarta pelaksanaan Program KOTAKU pada tahun 2017 terdapat 15 Kelurahan yang menjadi prioritas penanganna permukiman kumuh termasuk Kelurahan Semanggi.

Program ini dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Walikota Nomor

(33)

413.21/38.3/1/2016 mengenai pemetaan penanganan wilayah kumuh yang mencapai 359,55 Ha. Sementara itu masih terdapat berbagai permsalahan yang terjadi dalam pelaksanaan program. Adapun permasalahan yang ada di Kelurahan Semanggi adalah ada dua RW yang tidak termasuk dalam wilayah kumuh padahal pada kenyataannya wilayah tersebut kumuh, selanjutnya pada sumber daya manusianya yang masih kurang peduli dengan pola hidup sehat, perbaikan infrastruktur, drainase dan sanitasi yang masih kurang baik. Dari permasalahan tersebut sesuai dengan platform program yakni kolaborasi, di harapkan adanya kolaborasi, penanganan permukiman kumuh di Kelurahan Semanggi lebih mudah untuk di tangani.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti akan melihat proses kolaborasi yang dilakukan oleh stakeholder yang terlibat dalam kolaborasi Program KOTAKU. Berikut ini merupakan kerangka berpikir dari penelitian ini adalah (Kerangka berpikir bisa dlihat di hal 46):

(34)

Gambar 2.2

Kerangka berpikir Collaborative Governance dalam Program KOTAKU di Kelurahan Semanggi

Masalah di Kelurahan Semanggi:

Ketidakteraturan bangunan

Konstruksi bangunan yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis

Rentan bencana banjir dan kebakaran lantaran kepadatan permukiman yang tinggi

Akses jalan lingkungan belum memadai

Jaringan drainase yang belum terkoneksi dengan baik.

Output yang dihasilkan berupa:

Pembangunan infrastruktur permukiman

Rehabilitasi infrastruktur permukiman,

Normalisasi saluran drainase

Peremajaan lingkungan

Mitigasi bencana banjir dan kebakaran

Penguatan kelembagaan masyarakat.

Tahap Pelaksanaan Program KOTAKU

meliputi:

1. Tahap Persiapan 2. Tahap

Perencanaan 3. Tahap

Pelaksanaan 4. Tahap

Keberlanjuta n

Stakeholder yang terlibat kolaborasi:

1. BAPPPEDA 2. Kepala Kelurahan

Semanggi 3. LKM 4. PDAM

5. Tim Koordinator KOTAKU

6. Real Estat Indonesia Solo Raya

7. Perum PERUMNAS 8. Dinas Permukiman

Kawasan Permukiman 9. Dinas Pemadam

Kebakaran 10. Dinas Pertanian

11. Dinas Lingkungan Hidup 12. Dinas Pekerjaan Umum

Proses Kolaborasi meliputi:

a. Face to Face Dialogue b. Trust Building c. Commitmen to

Process d. Shared

Understanding e. Intermediated

Outcomes

Referensi

Dokumen terkait

Balai PATP mendukung arah dan sasaran Strategis Pembangunan Pertanian dan Pangan Lima Tahun ke depan (2020-2024), melalui upaya-upaya pengelolaan alih teknologi, invensi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yuliandari, dkk (2014) menyatakan bahwa ada pengaruh yang positif dan signifikan secara individu dari kompensasi dan lingkungan

Penelitian ini bertujuan menilai hubungan tingkat partisipasi masyarakat dengan kapasitas modal sosial pada program penanganan permukiman kumuh KOTAKU di Kelurahan

Hal ini disebabkan karena banyak fakta-fakta di lapangan yang memunculkan berbagai macam bentuk mainan(toys) dan permainan(game) yang berasal dari luar negeri yang

Berdasarkan latar belakang di atas yang menjadi masalah dalam penelitian pada tugas akhir ini adalah kadar asam lemak bebas Crude Palm Oli (CPO) yang tinggi dan tidak adanya

Atas dasar hal ini, maka penelitian tentang: Kajian aktivitas dan mekanisme kerja molekuler antikanker ekstrak etanol daun Chromolaena odorata Linn pada Tikus Putih Wistar

Penelitian mengenai kajian sekuestrasi karbon pada berbagai tipe penggunaan lahan yang mencakup aspek lingkungan, tanaman dan tanah dalam satu kerangka penelitian yang terintegrasi

II terima kasih atas waktu, bimbingan dan nasihat yang telah diberikan, serta segala kebaikan dan ketulusan yang telah Ibu dan Bapak berikan kepada penulis.