BAB II
KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DI INDONESIA
A. Perkembangan Pengaturan Cukai Tembakau
Pengaturan cukai tembakau di Indonesia di pengaruhi oleh Politik Hukum yang terjadi, yaitu perubahan-perubahan peraturan perundang-undangan. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negari. Dunia politik tidak terlepas dari kekuasaan dan wewenang penguasa.
Menurut C.F. Strong, politik hukum adalah ilmu yang mempelajari tentang negara. Negara merupakan organisasi kekuasaan karena di dalam negara selalu dijumpai pusat-pusat kekuasaan, baik dalam suprastruktur (terjelma dalam lembaga politik dan lembaga negara) dan infrastruktur yang meliputi :
1. ”Partai Politik, yaitu organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus;
2. Golongan kepentingan, yaitu sekelompok manusia yang bersatu atau mengadakan persekutuan karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu baik merupakan kepentingan umum atau masyarakat umum;
3. Golongan penekan, yaitu sekelompok manusia yang bergabung menjadi satu anggota suatu lembaga kemasyarakatan dengan aktivitas yang tampak ke luar sebagai golongan yang sering mempunyai keinginan untuk memaksakan kepada pihak penguasa;
4. Alat komunikasi politik, yaitu media komunikasi, komunikasi kontak langsung, dan jaringan-jaringan infrastruktur; dan
5. Tokoh politik, yaitu orang-orang yang terlibat dalam dunia politik itu sendiri, lebih kepada yang terlibat pada suatu negara dalam hal penyelenggaraannya”.62
62 C.F. Strong dalam Satya Arinanto, “Kumpulan Materi Kuliah Politik Hukum”, (Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal. 1.
Menurut Mahfud M.D., politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi :
1. ”Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; dan
2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi- fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum”.63
Dari kedua pengertian tersebut terlihat bahwa politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan. Politik dan hukum sangat berhubungan karena ada intervensi politik terhadap hukum, politik kerapkali melakukan intervensi terhadap pembentukan dan pelaksanaan hukum. Hukum dalam arti peraturan merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaing.64
Dalam hal pengaturan cukai hasil tembakau juga dipengaruhi oleh penguasa.
Pada zaman kerajaan Indonesia dahulu sudah tentu yang mempengaruhi pengaturannya adalah penguasa setempat dimana tembakau tersebut diperjualbelikan.
Pada masa sebelum kemerdekaan, tepatnya masa pemerintahan Hindia-Belanda pengaturan cukai tembakau dipengaruhi oleh Belanda pada masa itu demi keuntungan mereka semata. Seluruh keuntungan (masa sekarang disebut Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)) dari penjualan tembakau dibawa ke negeri Belanda
63 Mahfud M.D. dalam Ibid.
64 Ibid., hal. 4-16.
untuk membangun negara tersebut. Perubahan terjadi setelah kemerdekaan tercapai, sepenuhnya pengaturan diserahkan kepada pemerintah Indonesia.
Sebelum berbicara mengenai pengaturan cukai tembakau, akan dilihat kemajemukan hukum di Indonesia pada sebelum abad VII – 2008 pada gambar di bawah ini :
Gambar 1
Kemajemukan Hukum di Indonesia sebelum Abad VII – 2008
Abad VII
Abad XIV
Abad XVII
1819 1848
1854 1855
1870 1890
1900 1940
1945 1949
1990 1998
2008
HK. ADAT ASLI
HK. ADAT ASLI + HK.
HINDU
HK. ADAT ASLI + HK..
HINDU + HK. ISLAM
HK. ADAT ASLI + HK. HINDU + HK. ISLAM + HK. KRISTEN + HK. KATOLIK + HK. EROPA
- Dalam periode sekitar 130 tahun (1819 – 1949), pemerintah Belanda memberlakukan ± 7.000 peraturan di wilayah Hindia Belanda;
- Menurut penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada sekitar tahun 1992 masih tersisa sekitar 400 peraturan kolonial yang masih berlaku; dan
- Pada saat ini jumlah tersebut semakin berkurang.
1840
Masa Liberalisme (1840 – 1890) Terjadi revolusi
Eropa dan Belanda memberlakukan
Grundwet baru
Pemberlakuan RR
Pemberlakuan
IS Pemberlakuan
Agrarische Wet Masa Politik
Etis (1890 – 1840)
Pasca 1900 Pra 1900
Masa Kekuasaan Kelompok Universalis Ms. Kekuasaan Klp.
Liberal Partikuler
Masa Dekolonisasi &
Orde Baru
Masa Reformasi – Pasca Reformasi
(1998 - ...)
Proklamasi : Pemberlakuan
Pasal II Aturan Peralihan UUD ’45 (sebelum perubahan) : - Segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini;
- Untuk mengisi kekurangan hukum.
Berdasarkan pembagian masa-masa kemajemukan hukum di atas maka dapat dibagi menjadi perkembangan pengaturan cukai tembakau pada 4 (empat) masa pengaturan cukai tembakau, yaitu : 1) sebelum kemerdekaan; 2) sesudah kemerdekaan; 3) orde baru & reformasi; dan 4) Masa Pasca Reformasi. Adapun pembagian tersebut diatas dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 1
Perkembangan Pengaturan Cukai Tembakau
No. Masa Nama, Nomor, dan Tahun Peraturan
Tentang
Staatsblad No. 517 Tahun 1932 Staatsblad No. 560 Tahun 1932 1. Sebelum
Kemerdekaan Staatsblad No. 234 Tahun 1949
Tabaksaccijns-verordening UU Darurat No. 22 Tahun 1950 Penurunan Cukai Tembakau
PP No. 8 Tahun 1951 Perubahan "Tabaks-Accijnsverordening”
(Staatsblad 1932 No. 560) 2. Sesudah
Kemerdekaan
UU No. 16 Tahun 1956
Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau (Staatsblad 1932 No.
517) Perpres No. 189 Tahun 1967
Perhitungan Untuk Pemungutan Cukai Atas Hasil Tembakau yang Berasal Dari Luar Negeri
Perpres No. 38 Tahun 1969
Pencabutan Keppres No. 63 Tahun 1968 dan Pembebanan Bea Masuk/Cukai &
Pungutan-Pungutan Lainnya Atas Pemasukan Hasil Tembakau Buatan Luar Negeri
UU No. 11 Tahun 1995 Cukai
PP No. 24 Tahun 1996 Pengenaan Sanksi Administrasi di Bidang Cukai
PP No. 25 Tahun 1996 Izin Pengusaha Barang Kena Cukai 3. Orde Baru &
Reformasi
PP No. 55 Tahun 1996 Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai
UU No. 39 Tahun 2007 Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai
PP No. 72 Tahun 2008 Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai
Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005
Penetapan Harga Dasar & Tarif Cukai Hasil Tembakau
Peraturan Menteri Keuangan No. 118/PMK.04/2006
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar & Tarif Cukai Hasil Tembakau
4. Pasca
Reformasi Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04/2007
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar & Tarif
Cukai Hasil Tembakau Peraturan Menteri Keuangan
No. 203/PMK.011/2008
Tarif Cukai Hasil Tembakau Peraturan Menteri Keuangan
No. 60/PMK.07/2008
Dana Alokasi Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2008
Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008
Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) & Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)
Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009
Tarif Cukai Hasil Tembakau
Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009
Alokasi Dana Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009
Peraturan Menteri Keuangan No. 66/PMK.07/2010
Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) Tahun Anggaran 2010
Peraturan Menteri Keuangan No. 126/PMK.07/2010
Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah
Sumber : Website resmi Badan Pembinaan Hukum Nasional, www.bphn.go.id., diakses pada 08 September 2010
1. Masa Sebelum Kemerdekaan
Cukai tembakau pada masa ini diatur dengan yang disebut Staatsblad No. 517 Tahun 1932, Staatsblad No. 560 Tahun 1932, dan terakhir dengan Staatsblad No. 234 Tahun 1949 tentang ”Tabaksaccijns-Ordonnantie”. Peraturan tersebut memakai teks asli berbahasa Belanda.
Peraturan-peraturan tersebut diatas mengatur tentang pita cukai, eksportir dan importir (dalam hal bea masuk). Juga mengenai besaran jumlah yang diterima pemerintah dalam pengutipan cukai tersebut.
2. Sesudah Kemerdekaan
Sesudah kemerdekaan cukai tembakau diatur dalam Undang-Undang Darurat No. 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai Tembakau. Penetapan dalam peraturan ini mengatur tentang Harga Jual Eceran (HJE), pemungutan cukai yang diturunkan, dan penetapan golongan-golongan pengusaha.
Undang-Undang Darurat No. 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai Tembakau pada Pasal 10 menyebutkan bahwa :
(1) ”Cukainya berjumlah :
a. Untuk rokok-rokok sigaret yang dibuat dengan mesin dan tembakau iris lima puluh persen dari harga eceran;
b. Untuk rokok-rokok sigaret lain dari pada yang dibuat dengan mesin empat puluh persen dari harga eceran;
c. Untuk hasil-hasil lain yang dikenai cukai tiga puluh persen dari harga eceran.
(2) Dalam hal keragu-raguan atau perbedaan pendapat apa hasil-hasil tembakau yang dikenakan cukai termasuk di bawah a. dari ayat di muka ini, atau di bawah b. atau c. dari ayat itu, diputuskan oleh Menteri Keuangan.
(3) Jikalau menurut Pasal 31 penjualan diizinkan dengan harga yang lebih tinggi dari harga eceran yang tersebut di pita yang dilekatkan menurut Pasal 12, maka dengan tidak memperhatikan perbedaan pada ayat (1) harus dibayar cukai sebanyak lima puluh persen dari jumlah yang melampaui harga itu”.65 Penetapan cukai dengan persentase yang ditetapkan dihitung dari Harga Jual Eceran setiap bungkus rokok. Misalnya satu bungkus rokok dijual dengan harga Rp.
5.000,- maka cukai tembakau tersebut adalah 50% dari Harga Jual Eceran yaitu Rp.
2.500,- jadi, total jualnya adalah Rp. 7.500,-.
Untuk pita cukainya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1951 yang ditetapkan pada 20 Januari 1951. Peraturan ini mengatur tentang warna-
65 Undang-Undang Darurat No. 22 Tahun 1950 tentang Penurunan Cukai Tembakau, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.
21.
warna pita yang ditempelkan pada setiap bungkus rokok tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyebutkan bahwa :
(3) ”Pita-pita itu, yang diperuntukkan guna memenuhi cukai dari barang-barang tembakau yang bersama-sama disebut sebagai berikut, dikeluarkan dengan jenis-jenis sebagai berikut :
dengan warna hijau :
seri A : serutu, yang dipitai satu demi satu;
seri B : rokok-rokok daun dan tembakau senggruk, begitu pula serutu-serutu dalam bungkusan eceran berisi kurang dari 50 batang;
seri D : serutu-serutu dalam bungkusan eceran dari 50 batang atau lebih;
seri E : serutu-serutu dalam bungkusan eceran dari 50 batang atau lebih;
dengan warna hitam :
seri B : lain dari sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin;
seri C : lain dari sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin;
seri E : lain dari sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin;
dengan warna blau :
seri B : sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin, begitu pula tembakau iris;
seri C : sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin, begitu pula tembakau iris;
seri E : sigaret-sigaret yang diperbuat dengan mesin, begitu pula tembakau iris;”
Pada masa pemerintahan Indonesia setelah kemerdekaan sudah diatur penetapan cukai dan warna-warna pita cukai untuk produk tembakau, yaitu warna hijau, hitam, dan blau (sekarang biru). Penentuan warna ini digunakan untuk penggolongan hasil tembakau yang diproduksi, yaitu : cerutu, rokok yang dibuat dengan mesin (disebut Sigaret Kretek Mesin pada masa sekarang).
Pada tahun 1956 dikeluarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau. Peraturan ini dikeluarkan dengan maksud untuk mengurangi dampak banyaknya perusahaan-perusahaan rokok yang tutup akibat tingginya pengenaan cukai tembakau, juga peraturan-peraturan yang tidak tersusun secara rapi mengenai rokok. Dalam hal ini pemerintah
memberikan tunjangan kepada perusahaan-perusahaan rokok berupa penurunan cukai tembakau pada jumlah tertentu dan cukai yang tidak dikutip dari pengusaha- pengusaha rokok selama satu tahun.
Pada memori penjelasan peraturan Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau. Dijelaskan bahwa : ”a. sigaret-kretek, kelembakmenyan 40% dari 5 (lima) sen sebatang; dan b.
rokok daun (strootjes) 30% dari 21/2 sen sebatang”.66
Penetapan tersebut diatas tidak lagi berdasarkan Harga Jual Eceran melainkan dikenakan atas jumlah batang rokok pada setiap bungkusnya. Jadi, yang tadinya dihitung berdasarkan Harga Jual Eceran, pada peraturan ini dikurangin dengan menerapkan cukai pada setiap batang rokok.
Pengawasan dan pemungutan dengan jalan pita cukai tidak dapat diterapkan dengan baik karena sumber daya manusia yang tidak memadai untuk melakukan hal tersebut. Jadi, cara yang ditempuh oleh peraturan ini adalah menetapkan isi per bungkus rokok tersebut bahwa bungkusan harus berisi 2, 5, atau 10 batang saja dengan cara melekatkan pita cukai dengan harga eceran masing-masing dari 10, 25 dan 50 sen untuk batang-batang rokok tersebut.67
Kebaikan peraturan ini adalah bahwa pengusaha dapat menghitung harga penjualan rokok tersebut dengan cara menghitung jumlah cukai yang ditetapkan dan
66 Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau (Staatsblad 1932 No. 517), Lembaran Negara Republik Indonesia No. 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 1043.
67 Memori Penjelasan Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau (Staatsblad 1932 No. 517), Ibid.
harga penjualan rokok dapat diubah sewaktu-waktu apabila pangsa pasar dari harga bahan baku berubah-ubah dengan tidak perlu menambah pita cukainya.68
3. Orde Baru & Reformasi
Pada masa Orde Baru & Reformasi ditetapkanlah Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1996 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi di Bidang Cukai, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1996 tentang Izin Pengusaha Barang Kena Cukai, dan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai.
Mengenai persentase cukai tembakau diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, pada Pasal 5 menyebutkan bahwa :
(1) “Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia dikenai cukai berdasarkan tarif setinggi-tingginya :
a. dua ratus lima puluh persen dari Harga Dasar apabila Harga Dasar yang digunakan adalah Harga Jual Pabrik; atau
b. lima puluh persen dari Harga Dasar apabila Harga Dasar yang digunakan adalah Harga Jual Eceran.
(2) Barang Kena Cukai yang diimpor dikenai cukai berdasarkan tarif setinggi- tingginya :
(3) Tarif cukai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat diubah dari persentase harga dasar menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan Barang Kena Cukai atau sebaliknya atau penggabungan dari keduanya.
(4) Ketentuan tentang besarnya tarif cukai untuk setiap jenis Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), serta perubahan tarif cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Menteri”.69
68 Ibid.
69 Pasal 5 Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3613.
Penetapan tarif cukai tembakau pada peraturan ini ditetapkan berdasarkan Harga Jual Eceran (HJE). Namun, dapat juga ditetapkan per batangnya apabila diatur dalam peraturan menteri keuangan. Apabila dihitung-hitung cukai tembakau jika dikenakan berdasarkan Harga Jual Eceran dan per batang rokok, maka hasil yang didapat adalah sama atau tidak jauh berbeda.
4. Pasca Reformasi
Penerapan cukai tembakau pada masa pasca reformasi atau dapat disebut pada saat sekarang ini ditetapkan dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Pasal yang mengatur tentang cukai tembakau adalah terdapat pada Pasal 5, yang menyebutkan bahwa :
(1) “Barang kena cukai berupa hasil tembakau dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi :
a. Untuk yang dibuat di Indonesia :
1. 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
2. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah Harga Jual Eceran.
b. Untuk yang diimpor :
1. 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk;
atau
2. 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
(2) Barang kena cukai lainnya dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi : a. Untuk yang dibuat di Indonesia :
1. 1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik; atau
2. 80% (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
b. Untuk yang diimpor :
1. 1.150% (seribu seratus lima puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk;
atau
2. 80% (delapan puluh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
(3) Tarif cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diubah dari persentase harga dasar menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan barang kena cukai atau sebaliknya atau penggabungan dari keduanya.
(4) Penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan alternatif kebijakan Menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, dengan memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri, disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR- Republik Indonesia) untuk mendapat persetujuan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran tarif cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), serta perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan menteri”. 70
Ketentuan cukai tersebut di atas digunakan sebagai pungutan negara yang digunakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik sesuai dengan undang-undang merupakan penerimaan negara guna mewujudkan kesejahteraan bangsa. Hal tersebut adalah memberikan kepastian hukum dan keadilan serta menggali potensi penerimaan cukai.
Untuk penetapan harga dasar dan tarif cukai hasil tembakau ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005, pada peraturan ini dilakukan pembagian jenis-jenis hasil tembakau, penggolongan pengusaha pabrik hasil tembakau, nilai tarif cukai dan batasan harga jual eceran hasil tembakau buatan dalam negeri dan luar negeri, batasan harga jual eceran dan tarif cukai hasil tembakau yang diimpor maupun tidak. Peraturan ini diubah dengan Peraturan Menteri
70 Pasal 5 Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
11 Tahun 1995 tentang Cukai, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4755.
Keuangan No. 118/PMK.04/2006 pada tahun 2006, diubah kembali pada tahun 2007 dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04/2007.
Pada tahun 2008 dikeluarkan peraturan baru yang mengatur tentang tarif cukai hasil tembakau dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008 dan diubah kembali pada tahun 2009 dengan Peraturan Menteri Keuangan No.
181/PMK.011/2009. Perubahan yang dilakukan berulang-ulang ini dimaksudkan untuk mengikuti perubahan perekonomian negara mengikuti inflasi dan kenaikan harga yang terjadi. Hal-hal yang diubah adalah mengenai tarif dasarnya. Mengenai pengaturan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) & Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Tata urutan pelaksanaan pembagian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) ke daerah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.
Untuk pembahasan selanjutnya akan dibahas mengenai tanggapan setiap departemen pemerintahan yang berbeda-beda mengenai perubahan atau kenaikan cukai hasil tembakau yang diterapkan.
B. Paradigma Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau
Setelah mengetahui sejarah bea cukai dan Industri Hasil Tembakau, selanjutnya akan dibahas mengenai paradigma kebijakan tarif cukai hasil tembakau.
Apabila berbicara mengenai paradigma maka tidak terlepas dari pandangan berbagai pihak terhadap kebijakan tarif cukai hasil tembakau.
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subjektif seseorang mengenai realita dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu.71
Paradigma hukum adalah pandangan terhadap positivisme hukum yang berlaku berkaitan dengan cukai hasil tembakau. Adapun yang berkaitan dengan paradigma hukum kebijakan tarif cukai hasil tembakau, antara lain : 1) Departemen Keuangan; 2) Departemen Perindustrian dan Perdagangan; dan 3) Departemen Pertanian.
Ditekankan lagi disini bahwa paradigma hukum kebijakan tarif cukai hasil tembakau adalah pandangan hukum setiap departemen yang ada bagi kebijakan tarif cukai hasil tembakau di Indonesia. Pada departemen keuangan, sudah pasti berbicara mengenai penerimaan negara dalam bentuk cukai yang dapat membantu meningkatkan pendapatan negara. Pada departemen perdagangan, mengenai penjualan daun tembakau yang digunakan untuk pembungkusan cerutu di dunia. Pada departemen pertanian adalah mengenai lahan-lahan yang digunakan untuk menanam tembakau apakah berkurang atau bertambah. Pada departemen perindustrian, berkaitan dengan industri rokok itu sendiri. Pada departemen kesehatan, berbicara mengenai dampak rokok bagi kesehatan. Pandangan departemen tenaga kerja dan
71 Pengertian paradigma menurut Thomas Kuhn, The Structure of scientific Revolution, 2nd Ed., (Chicago & London : University of Chicago Press, 1970), dalam Herry Tjahyono, The XO Way : 3 Giants 6 Liliputs, (Jakarta : Grasindo, 2007), hal. 61-67.
transmigrasi adalah berkaitan dengan industri rokok yang dapat menampung banyak tenaga kerja yang ada. Pandangan sosial adalah mengenai dampak dari industri rokok menampung banyak tenaga kerja yang sudah pasti akan mengurangi pengangguran di suatu negara. Pada akhirnya, departemen agama berbicara mengenai haramnya merokok. Selanjutnya akan dipaparkan pada sub-sub bagian di bawah ini.
1. Departemen Keuangan
Dari paradigma Departemen Keuangan mengenai kebijakan tarif cukai hasil tembakau di Indonesia yang berbicara mengenai pendapatan negara melalui penerimaan negara. Negara mendapat pemasukan dari pengutipan cukai yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang berada di bawah Departemen Keuangan.
Pengutipan cukai ini dilakukan Pemerintah melalui Departemen Keuangan, Direktorat Bea dan Cukai adalah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kuangan No. 181/PMK.011/2009, tanggal 16 November 2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Peraturan Menteri Keuangan ini mencabut dan menyatakan tidak belaku lagi Peraturan Menteri Keuangan mengenai tarif cukai hasil tembakau sebelum- sebelumnya, yaitu : 1) Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.04/2005; 2) Peraturan Menteri Keuangan No. 118/PMK.04/2006; 3) Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04/2007; dan 4) Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008.
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.
181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau adalah mengenai Golongan
Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau, Batasan Harga Jual Eceran dan Tarif Cukai per Batang atau Gram Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri, dan Tarif Cukai dan Harga Jual Eceran Minimum Hasil Tembakau yang Diimpor.
Adapun pengaturan penggolongan pengusaha pabrik hasil tembakau yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau di atas dapat dilihat pada tabel yang tertera sebagai lampiran pada peraturan tersebut, yaitu :
Tabel 2
Golongan Pengusaha Hasil Tembakau
Golongan Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau No.
Urut
Jenis Golongan
Batasan Jumlah Produksi
I Lebih dari 2 milyar batang 1. Sigaret Kretek
Mesin II Tidak lebih dari 2 milyar batang I Lebih dari 2 milyar batang 2. Sigaret Putih
Mesin II Tidak lebih dari 2 milyar batang I Lebih dari 2 milyar batang
II Lebih dari 500 juta batang tetapi tidak lebih dari 2 milyar batang
3. Sigaret Kretek Tangan atau Sigaret Putih
Tangan
III Tidak lebih dari 500 juta batang I Lebih dari 2 milyar batang 4. Sigaret Kretek
Tangan Filter atau Sigaret Putih Tangan
Filter
II Tidak lebih dari 2 milyar batang
5. Tembakau Iris Tanpa Golongan
Tanpa batasan jumlah produksi 6. KLM atau
Klobot
Tanpa Golongan
Tanpa batasan jumlah produksi
8. Cerutu Tanpa
Golongan
Tanpa batasan jumlah produksi
9. Hasil
Pengelolaan Tembakau
Lainnya
Tanpa Golongan
Tanpa batasan jumlah produksi
Sumber : Lampiran I, Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Jika dibandingkan dengan tarif cukai hasil tembakau sebelumnya yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan 203/PMK.011/2008 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, maka Peraturan Menteri Keuangan 181/PMK.011/2009 tersebut telah menaikkan tarif cukai tembakau hasil seluruh jenis dan golongan, kecuali TIS (Tembakau Iris), KLB (Rokok Daun atau Klobot), CRT (cerutu) dan HPTL (Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya) tidak mengalami peningkatan tarif cukai.
Apabila diperbandingkan, maka kenaikan cukai rokok berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.181/PMK.011/2009 adalah sebagaimana terlihat dalam Tabel 3 dibawah ini :
Tabel 3
Perbandingan Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan 203/PMK.011/2008 dan Peraturan Menteri Keuangan
181/PMK.011/2009 [dalam Rupiah]
Golongan Pengusaha Pabrik Hasil
Tembakau
Nilai Cukai No.
Urut
Jenis Golongan
Batasan Harga Jual Eceran Per Batang atau Gram
Peraturan Menteri Keuangan
203/2008
Peraturan Menteri Keuangan
181/2009
Kenaikan
Lebih dari Rp 660,- 290 310 20
(6.89%) Lebih dari Rp 630 sampai
dengan Rp 660
280 300 20
(7.14%) I
Paling rendah Rp 600 sampai dengan Rp 630
260 280 20
(7.69%)
Lebih dari Rp 430 210 230 20
(9.52%) Lebih dari Rp 380 sampai
dengan Rp 430
175 195 20
(11.42%) 1. Sigaret
Kretek Mesin
II
Paling rendah Rp 374 sampai dengan Rp 380
135 155 20
(14.81%)
Lebih dari Rp 600 290 310 20 (6.89%) Lebih dari Rp 450 sampai
dengan Rp 600
230 275 45
(19.56%) I
Paling rendah Rp 375 sampai dengan Rp 450
185 225 40
(21.62%)
Lebih dari Rp 300 170 200 30
(17.64%) Lebih dari Rp 254 sampai
dengan Rp 300
135 165 30
(22.22%) 2. Sigaret
Putih Mesin
II
Paling rendah Rp 217 sampai dengan Rp 254
80 105 25
(31.25%)
Lebih dari Rp 590 200 215 15
(7.50%) Lebih dari Rp 550 sampai
dengan Rp 590
150 165 15
(10 %) I
Paling rendah Rp 520 sampai dengan Rp 550
130 145 15
(11.53%)
Lebih dari Rp 379 90 105 15
(16.67%) Lebih dari Rp 349 sampai
dengan Rp 379
80 95 15
(18.75%) II
Paling rendah Rp 336 sampai dengan Rp 349
75 90 15
(20%) 3. Sigaret
Kretek Tangan atau SPT
III Paling rendah Rp 234 40 65 25
(62.5%)
Lebih dari Rp 660,- 290 310 20
(6.89%) Lebih dari Rp 630 sampai
dengan Rp 660
280 300 20
(7.14%) I
Paling rendah Rp 600 sampai dengan Rp 630
260 280 20
(7.69%)
Lebih dari Rp 430 210 230 20
(9.52%) Lebih dari Rp 380 sampai
dengan Rp 430
175 195 20
(11.42%) 4.
Sigaret Kretek Tangan Filter atau
Sigaret Putih Tangan
Filter
II
Paling rendah Rp 374 sampai dengan Rp 380
135 155 20
(14.81%)
Lebih dari Rp 250 21 21 0
(0.00%) Lebih dari 149 sampai
dengan Rp 259
19 19 0
(0.00%) 5. Tembakau
Iris
Tanpa Golongan
Paling rendah Rp 40 sampai dengan Rp 149
5 5 0
(0.00%)
Lebih dari Rp 250 25 25 0
(0.00%)
6. Klobot Tanpa
Golongan Paling rendah Rp 180 sampai dengan Rp 250
18 18 0
(0.00%)
7. KLM Tanpa
Golongan
Paling rendah Rp 180 17 17 0
(0.00%) Lebih dari Rp 100.000 100.000 100.000 0 (0.00%) Lebih dari Rp 50.000 sampai 20.000 20.000 0
dengan Rp 100.000 (0.00%) Lebih dari Rp 20.000 sampai
dengan Rp 50.000
10.000 10.000 0
(0.00%) Lebih dari Rp 5.000 sampai
dengan Rp 20.000
1.200 1.200 0
(0.00%) 8. Cerutu
Tanpa Golongan
Paling rendah Rp 275 sampai dengan Rp 5.000
250 250 0
(0.00%) 9. Hasil
Pengelolaan Tembakau
Lainnya
Tanpa Golongan
Paling rendah Rp 275 100 100 0
(0.00%)
Sumber : Lampiran II, Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau; Lampiran II, Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau; dan Tabel 6, Perbandingan Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 203/PMK.011/2008 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009, Ningrum Natasya Sirait, et.al., Analisis Hukum Kebijakan Tarif Terhadap Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara, (Medan : Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 83.
Berdasarkan data tersebut di atas, dapat diberikan beberapa catatan terhadap Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, sebagai berikut72 :
1. Seluruh tarif cukai pada industri yang menghasilkan sigaret (rokok), baik yang menggunakan mesin ataupun tangan, baik yang menggunakan filter maupun tanpa filter mengalami kenaikan tarif cukai.
2. Hasil tembakau berupa Tembakau Iris, Klobot, KLM, Cerutu dan Hasil Pengelolaan Tembakau Lainnya tidak mengalami kenaikan tarif cukai.
3. Kenaikan tarif cukai terbesar adalah pada jenis industri sigaret putih mesin golongan I dengan batasan harga jual eceran paling rendah Rp. 450,-/batang sampai dengan Rp. 600,-/batang, dengan besaran kenaikan tarif Rp. 45,- /batang.
72 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Loc.cit., hal. 216-217.
4. Persentase kenaikan cukai terbesar adalah pada industri jenis Sigaret Kretek Tangan dan SPT Golongan III dengan batasan harga jual eceran paling rendah Rp. 234,-/batang, yakni sebesar 62,5%.
5. Tarif cukai pada industri sigaret kretek mesin untuk golongan I dan Golongan II naik seluruhnya sama sebesar Rp. 20,- per batang. Persentase kenaikan terendah ada pada Sigaret Kretek Mesin Golongan I dengan harga jual eceran lebih dari Rp. 660,-/perbatang, yakni sebesar 6,89% dan tertinggi pada Sigaret Kretek Mesin Golongan II dengan harga eceran terendah Rp. 374,- sampai dengan Rp. 380,-, yakni sebesar 14,81%.
6. Tarif cukai pada industri sigaret putih mesin naik secara bervariasi. Jumlah kenaikan tarif terbesar adalah pada Sigaret Putih Mesin Golongan I dengan harga jual eceran lebih dari Rp. 450,- sampai dengan Rp. 600,-, dengan kenaikan tarif cukai sebesar Rp. 45,- per batang. Sedangkan terendah pada Sigaret Putih Mesin Golongan I dengan harga juel eceran lebih dari Rp. 660,- /batang. Persentase kenaikan terbesar adalah pada Sigaret Putih Mesin Golongan II dengan harga eceran paling rendah Rp. 217,- sampai dengan Rp.
254,-/batang, yakni sebesar 31,25 % dan persentase terenedah pada Sigaret Putih Mesin Golongan I dengan batasan harga jual eceran lebih dari Rp. 600,- /batang yakni sebesar 6,89%.
7. Tarif cukai pada industri sigaret kretek tangan dan sigaret putih tangan mengalami kenaikan yang sama yakni sebesar Rp. 15,-/batang, kecuali untuk golongan III dengan harga eceran paling rendah Rp. 234,-/batang naik sebesar Rp. 25,-/batang. Persentase kenaikan terbesar adalah pada Golongan III
dengan harga eceran paling rendah Rp. 234,-/batang, yakni sebesar 62,5% dan persentase terendah pada Sigaret Kretek Tangan atau SPT Golongan I dengan batasan harga jual eceran Rp. 590,-/batang yakni sebesar 7,20%.
8. Tarif cukai pada industri sigaret kretek tanpa filter dan sigaret putih tanpa filter mengalami kenaikan tarif yang sama untuk semua golongan, yakni sebesar Rp. 20,-/batang. Persentase kenaikan terbesar adalah pada Sigaret Kretek Tangan Filter dan Sigaret Putih Tangan Filter Golongan II dengan harga eceran paling rendah Rp. 374,- sampai dengan Rp. 380,-/batang, yakni sebesar 14.81% dan persentase terendah pada Sigaret Kretek Tangan Filter atau Sigaret Putih Tangan Filter Golongan I dengan batasan harga jual eceran Rp. 660,-/batang yakni sebesar 6,89%.
9. Terdapat perbedaan besaran persentase kenaikan berdasarkan Harga Jual Eceran untuk golongan yang sama antara Sigaret Kretek Mesin dan Sigaret Putih Mesin, misalnya untuk Sigaret Putih Mesin Golongan I dengan Harga Jual Eceran lebih dari Rp 660,- besarnya cukai adalah Rp 310,- dengan % sebesar 46.97% sedangkan untuk Sigaret Putih Mesin Golongan I dengan Harga Jual Eceran lebih dari Rp 600,- besarnya cukai Rp 310,- dengan % kenaikan sebesar 51.67 %. Artinya lebih besar beban persentase kenaikan pada Sigaret Putih Mesin dibandingkan Sigaret Kretek Mesin.
Kebijakan seperti yang disebutkan di atas lebih berorientasi pada aspek penerimaan negara. Apabila cukai dinaikkan, produksi rokok akan dikurangi tapi penerimaan negara harus ditingkatkan. Kebijakan seperti inilah yang disebut kebijakan simplifikasi tarif atau single tariff.
Pemerintah memutuskan kenaikan cukai hasil tembakau sebesar 7% yang dilaksanakan pada 1 Februari 2009 untuk mengendalikan konsumsi rokok dan mencapai target penerimaan cukai senilai Rp. 53.30 triliun. Kenaikan setoran Industri Hasil Tembakau ini harus dibarengi penurunan konsumsi rokok. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah akan menekan pertumbuhan konsumsi rokok di level 5%
dengan menaikkan beban cukai rokok rata-rata sebesar 7%. Peraturan tersebut di atas juga mengatur penyederhanaan jumlah golongan pabrik, dari tiga golongan menjadi dua golongan untuk jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM). Untuk jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) tetap terdiri dari tiga golongan.
Pemerintah dari waktu ke waktu akan terus melakkukan penyederhanaan golongan pabrik menjadi dua jenis, yakni Sigaret Kretek Mesin dan Sigaret Kretek Tangan.
Untuk Sigaret Putih Mesin, akan dimasukkan dalam kategori Sigaret Kretek Mesin.73 Inilah yang disebut simplifikasi tarif atau sama dengan single tariff. Jadi, Industri Hasil Tembakau kecil dipaksa untuk bersaing melawan raksasa Industri Hasil Tembakau.
Berikutnya dapat dilihat penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau dari tahun 2005 sampai 2009, sebagai berikut :
73 Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia, “Cukai Rokok Diputuskan Naik 7%”, http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/edef-konten- view.asp?id=20080511101818., diakses pada 30 Agustus 2010.
Tabel 4
Target dan Realisasi Penerimaan Cukai Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2005-2010
Tahun Target
(Rp. Triliun)
Realisasi (Rp. Triliun)
Rasio Cukai (Persen)
2005 32.24 33.26 103.16
2006 38.52 37.80 98.13
2007 42.03 44.70 106.35
2008 45.72 51.25 112.10
2009 53.30 - -
Sumber : Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2010.
Dari sisi penerimaan negara, benar bahwa penerimaan negara melalui cukai sangat tinggi dan terealisasi dengan baik. Departemen keuangan sudah bekerja dengan baik sehingga dana tersebut mendapatkan angka yang baik. Namun, tanpa disadari oleh pemerintah kebijakan tersebut dapat menyulitkan Industri Hasil Tembakau untuk bertahan.
2. Departemen Perindustrian dan Perdagangan
Departemen Perindustrian dan Perdagangan dalam hal kebijakan tarif cukai hasil tembakau berperan dalam hal merumuskan Roadmap Industri Hasil Tembakau yang merupakan aplikasi dari prioritas atas aspek tenaga kerja, penerimaan dan kesehatan, diantaranya dengan menghilangkan rokok ilegal dan pita cukai palsu.
Beredarnya rokok ilegal dan pita cukai palsu berarti tidak ada penerimaan negara dari sektor cukai tembakau.
Beredarnya rokok ilegal dan pita cukai palsu yang merupakan hambatan dari penerimaan negara pasti membuat gerah pemerintah, maka Pemerintah melalui Departemen Perindustrian dan Perdangangan mengeluarkan rencana kerja di dalam
Roadmap Industri Hasil Tembakau tersebut yang terbagi dalam beberapa jangka waktu, yaitu74 :
a. Tahun 2007-2010 yang merupakan jangka pendek, urutan prioritas pada aspek : tenaga kerja – penerimaan negara – kesehatan.
b. Tahun 2010-2015 atau jangka menengah, urutan prioritas pada aspek : penerimaan negara – kesehatan – tenaga kerja.
c. Tahun 2015-2020 atau jangka panjang, prioritas pada aspek kesehatan melebihi aspek tenaga kerja dan penerimaan negara.
Disamping penerimaan negara menjadi berkurang, persaingan bisnis hasil tembakau juga menjadi tidak sehat karena produk tembakau ilegal bisa menjual dengan harga lebih murah dari yang legal. Bila hal ini terjadi maka jumlah produk hasil tembakau di pasaran meningkat, dan masyarakat dapat memperoleh dengan mudah akibatnya berdampak pada kesehatan masyarakat karena konsumsi tembakau yang meningkat.75
Kerugian negara dari tindak pidana terkait pita cukai palsu yang ditangani Ditjen Bea dan Cukai selama 2009 mencapai sekitar Rp. 1,5 triliun. Kerugian tersebut adalah dari penggerebekan percetakan pita cukai palsu yang dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. Peredaran pita cukai palsu tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun dengan melihat tabel di bawah ini. Apabila dilihat dari cara memproduksi pita
74 Departemen Perindustrian Republik Indonesia, “Roadmap Industri Pengolahan Tembakau”, (Jakarta : Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, 2009), hal. 21, dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 203.
75 Ibid., hal. 204.
cukai tersebut adalah dengan menjalankan kegiatan pita cukai palsu secara tertutup dengan kedok kegiatan penjualan.76
Tabel 5
Kasus Pita Cukai Palsu dari Tahun 2006 – Juli 2009
Tahun Jumlah Kasus yang Ditangani
2006 31
2007 146
2008 750
2009 415
Sumber : Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Republik Indonesia, 2010.
Disini Departemen Perindustrian dan Perdagangan lebih berperan dalam menjaga kestabilan penerimaan negara dalam hal cukai hasil tembakau. Dapat dilihat pada Tabel 5 di atas bahwa proses law enforcement begitu gencar dilakukan oleh Dirjend Bea dan Cukai bersinergi dengan POLRI (Kepolisian Republik Indonesia) dalam melakukan pengawasan pita cukai palsu tersebut.
Setiap departemen pemerintahan mempunyai pandangan yang berbeda-beda dalam hal cukai hasil tembakau tersebut dikarenakan ada tugas yang berbeda pula pada setiap departemennya. Perbedaan persepsi yang ada ini tidak mungkin untuk disatukan melihat perbedaan tanggung jawab dan wewenang dari setiap departemen.
3. Departemen Pertanian
Pada Departemen Pertanian dalam hal kebijakan tarif cukai hasil tembakau adalah melalui perkembangan dari jumlah lahan yang digunakan dalam pertanian tembakau dan penelitian-penelitian untuk mencari substitusi produk. Departemen
76 Antara News, “Pita Cukai Palsu Rugikan Negara Rp. 1,5 Triliun”, Rabu, 29 Juli 2009, http://www.antaranews.com/berita/1248854047/pita-cukai-palsu-rugikan-negara-rp1-5-triliun., diakses pada 30 Agustus 2010.
Pertanian mendukung sepenuhnya perkembangan lahan dan penelitian mengenai pengembangan tembakau tersebut.
Isu strategis untuk komoditas tembakau adalah ditetapkannya rokok sebagai salah satu industri prioritas. Industri rokok di Indonesia menggunakan 80% bahan baku tembakau lokal. Tembakau cerutu merupakan komoditas ekspor yang sudah terkenal sejak lama. Areal pertanaman tembakau setiap tahun mencapai 220.000 ha, sekitar 60% di Jawa Timur, selebihnya tersebar di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Pada umumnya tembakau diusahakan oleh petani berskala kecil, hanya sebagian yang diusahakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan Perusahaan Swasta.77
Sumbangan tembakau terhadap pendapatan petani dan negara cukup besar.
Usaha tani dan industri tembakau dapat menghidupi 10 juta jiwa yang meliputi 4 juta petani, 600.000 orang tenaga kerja di pabrik-pabrik rokok, 4,5 juta orang yang terlibat dalam perdagangan, dan 900.000 orang terlibat dalam transportasi dan periklanan.
Tembakau memberikan sumbangan pendapatan negara dalam bentuk cukai dan devisa dari ekspor tembakau. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan tembakau adalah rendahnya produktivitas dan beragamnya mutu yang dihasilkan, serta tekanan masyarakat internasional terkait isu kesehatan.78
Oleh karena itu Departemen Pertanian menggalakkan penelitian yang diarahkan pada peningkatan produktivitas dan mutu tembakau serta mengurangi
77 Balittas, “Status Komoditi Tembakau”, Departemen Pertanian, http://balittas.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=category&id=56&Itemid
=60., diakses pada 30 Agustus 2010.
78 Ibid.
senyawa-senyawa yang mempengaruhi kesehatan perokok misalnya kandungan nikotin yang lebih rendah.79
Apabila dilihat dari sisi petani tembakau, tembakau sebagai tanaman industri yang merupakan pilihan oleh petani dalam berusaha tani. Pilihan yang dipilih petani tersebut didasarkan pada pemikiran dan kondisi yang sangat rasional dan menguntungkan. Petani pada prinsipnya tidak memilih menanam komoditas tembakau apabila tanaman tersebut tidak memberikan keuntungan.80 Pemilihan petani berusaha tani tembakau mendapatkan perlindungan dari Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Dalam Pasal 6 Ayat (1) menyebutkan bahwa : ”Petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya”.81
Berdasarkan pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, hak-hak petani sebagai seorang warga negara mendapat perlindungan hukum. Seperti diketahui bahwa berbagai jenis tanaman memiliki sifat lokal dan spesifik, misalnya kelapa sawit kurang sesuai ditanam di Pulau Jawa.
Demikian juga dengan tembakau memiliki sifat dan lokalisasi dan spesifik. Artinya, tanaman ini sangat sesuai apabila ditanam pada wilayah-wilayah tertentu, seperti Madura, Bojonegoro, Besuki, Sleman, Temanggung, Deli, Lombok, dan lainnya.
Sifat yang lokal dan spesifik tersebut sangat sesuai dengan pola tanam yang telah
79 Ibid.
80 Direktorat Jenderal Perkebunan, “Perlu Dikembangkan Tembakau Rendah Nikotin & Tar
Untuk Mengurangi Dampak Rokok Terhadap Kesehatan”,
http://ditjenbun.deptan.go.id/web.old//index.php?option=com_content&task=view&id=303&Itemid=6 2., diakses pada 30 Agustus 2010.
81 Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3478.
dilaksanakan oleh para petani di masing-masing lokasi penanaman tembakau. Oleh karena itu, sangat naif sekali apabila petani diminta untuk mengurangi atau mengendalikan tanaman tembakau. Apabila hal ini dilakukan maka perusahaan- perusahaan rokok akan mengalami kesulitan dalam bahan baku untuk membuat rokok.
Kesulitan bahan baku tersebut akan dipenuhi dengan melakukan impor daun tembakau, yang pada akhirnya dapat mengurangi devisa negara.82
Jika sudah mengancam pengurangan devisa negara, pastilah pemerintah sudah mulai mengambil sikap untuk mempertahankan penerimaan negara tersebut.
Pengurangan devisa berasal dari masuknya barang impor ke dalam negeri. Berbagai upaya ditempuh untuk menggalakkan kembali pertanian tembakau, salah satunya adalah dengan mengembangkan penelitian terhadap tembakau rendah nikotin dan tar untuk mengurangi dampak rokok terhadap kesehatan.
C. Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau di Indonesia Dilihat Dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dan Peruntukannya
Setelah dana cukai hasil tembakau dikutip selanjutnya akan dikumpulkan oleh pemerintah untuk dikembalikan kembali kepada masyarakat, disebut Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)).
Semua peraturan yang diterapkan dalam pembagian ini ditetapkan oleh Peraturan Menteri Keuangan. Dimulai dari cukai hasil tembakau dan dasar pembagian kepada daerah. Sedangkan untuk penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH
82 Direktorat Jenderal Perkebunan, Loc.cit.
CHT) hanya diketahui oleh daerah masing-masing karena penggunaannya menggunakan metode block grant.83
Pada tahun 2009 anggaran yang ditetapkan pemerintah dalam alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau adalah sebesar Rp. 964 miliar lebih, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009.
Tabel 6
Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009
No. Daerah Jumlah No. Daerah Jumlah
I Provinsi Sumatera Utara 1.193.498.600 14. Kab. Klaten 5.208.380.679
1. Kab. Asahan 41.155.200 15. Kab. Kudus 70.825.701.253
2. Kab. Dairi 41.155.200 16. Kab. Magelang 3.343.769.279
3. Kab. Deli Serdang 41.155.200 17. Kab. Pati 4.574.257.602
4. Kab. Karo 41.155.200 18. Kab. Pekalongan 2.551.070.667
5. Kab. Labuhan Batu 41.155.200 19. Kab. Pemalang 2.538.495.874 6. Kab. Langkat 41.155.200 20. Kab. Purbalingga 3.376.486.400 7. Kab. Mandailing Natal 41.155.200 21. Kab. Purworejo 2.555.339.464
8. Kab. Nias 41.155.200 22. Kab. Rembang 2.491.600.180
9. Kab. Simalungun 41.155.200 23. Kab. Semarang 2.909.634.764 10. Kab. Tapanuli Selatan 41.155.200 24. Kab. Sragen 2.640.937.713 11. Kab. Tapanuli Tengah 41.155.200 25. Kab. Sukoharjo 2.772.201.919 12. Kab. Tapanuli Utara 41.155.200 26. Kab. Tegal 3.084.378.575 13. Kab. Toba Samosir 41.155.200 27. Kab. Temanggung 8.589.695.352
14. Kota Binjai 41.155.200 28. Kab. Wonogiri 2.483.494.026
15. Kota Medan 426.078.400 29. Kab. Wonosobo 3.776.362.073
16. Kota Pematang Siantar 1.208.660.600 30. Kota Magelang 2.468.701.775 17. Kota Sibolga 41.155.200 31. Kota Pekalongan 3.294.158.494 18. Kota Tanjung Balai 41.155.200 32. Kota Salatiga 3.354.690.119 19. Kota Tebing Tinggi 41.155.200 33. Kota Semarang 8.204.835.400 20. Kota Padang Sidempuan 41.155.200 34. Kota Surakarta 2.764.989.068 21. Kab. Pakpak Bharat 41.155.200 35. Kota Tegal 2.551.471.647 22. Kab. Nias Selatan 41.155.200 Total Prov. JATENG 282.458.370.000 23. Kab. Humbang Hasundutan 41.155.200 IV. Provinsi D.I. Yogjakarta 2.534.358.000
83 Block Grant adalah sejumlah dana berupa uang yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dengan memenuhi persyaratan terlebih dahulu untuk menggunakan uang tersebut. Dalam kajian ini block grant dapat digunakan oleh Pemerintah Daerah dengan ketentuan 0,5% dari jumlah yang ditransfer oleh Pemerintah Pusat harus digunakan untuk sektor pendidikan.
Wawancara dengan Kepala Dinas Pendapatan Daerah, Medan, 25 Agustus 2010 di Kantor Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Utara.
24. Kab. Serdang Bedagai 41.155.200 1. Kab. Bantul 1.689.572.000 25. Kab. Samosir 41.155.200 2. Kab. Gunung Kidul 844.786.000 26. Kab. Batu Bara 41.155.200 3. Kab. Kulon Progo 1.267.179.000 27. Kab. Labuhan Batu Utara 41.155.200 4. Kab. Sleman 1.182.700.400 28. Kab. Labuhan Batu Selatan 41.155.200 5. Kota Yogjakarta 929.264.600 29. Kab. Padang Lawas Utara 41.155.200 Total Prov. D.I. YOGJA 8.447.860.000 30. Kab. Padang Lawas 41.155.200 V. Provinsi Jawa Timur 179.807.154.000 Total Prov. SUMUT 3.978.330.000 1. Kab. Bangkalan 4.827.991.000 II. Provinsi Jawa Barat 21.168.078.000 2. Kab. Banyuwangi 5.077.844.000
1. Kab. Bandung 827.398.867 3. Kab. Blitar 8.147.131.000
2. Kab. Bekasi 17.527.734.661 4. Kab. Bojonegoro 16.180.107.000
3. Kab. Bogor 814.156.846 5. Kab. Bondowoso 8.310.589.000
4. Kab. Ciamis 815.416.522 6. Kab. Gresik 4.931.230.000
5. Kab. Cianjur 815.900.699 7. Kab. Jember 8.881.538.000
6. Kab. Cirebon 1.762.779.429 8. Kab. Jombang 8.665.564.000
7. Kab. Garut 823.344.814 9. Kab. Kediri 40.439.736.000
8. Kab. Indramayu 814.156.846 10. Kab. Lamongan 7.471.848.000 9. Kab. Karawang 5.535.032.242 11. Kab. Lumajang 5.767.563.000 10. Kab. Kuningan 814.597.634 12. Kab. Madiun 5.868.054.000 11. Kab. Majalengka 815.260.916 13. Kab. Magetan 5.409.331.000 12. Kab. Purwakarta 814.156.846 14. Kab. Malang 26.309.449.000 13. Kab. Subang 814.156.846 15. Kab. Mojokerto 6.279.890.000 14. Kab. Sukabumi 814.156.846 16. Kab. Nganjuk 8.693.462.000
15. Kab. Sumedang 819.525.517 17. Kab. Ngawi 7.625.025.000
16. Kab. Tasikmalaya 819.095.531 18. Kab. Pacitan 5.491.580.000 17. Kota Bandung 814.717.067 19. Kab. Pamekasan 18.505.921.000 18. Kota Bekasi 814.156.846 20. Kab. Pasuruan 39.087.881.000
19. Kota Bogor 814.174.038 21. Kab. Ponorogo 5.828.686.000
20. Kota Cirebon 6.582.136.601 22. Kab. Probolinggo 10.549.339.000
21. Kota Depok 814.156.846 23. Kab. Sampang 6.288.888.000
22. Kota Sukabumi 814.156.846 24. Kab. Sidoarjo 9.579.298.000 23. Kota Cimahi 814.156.846 25. Kab. Situbondo 5.541.379.000 24. Kota Tasikmalaya 815.182.169 26. Kab. Sumenep 13.321.702.000 25. Kota Banjar 818.011.052 27. Kab. Trenggalek 5.548.492.000 26. Kab. Bandung Barat 814.462.627 28. Kab. Tuban 6.190.436.000 Total Prov. JABAR 70.560.260.000 29. Kab. Tulungagung 10.765.363.000 III. Provinsi Jawa Tengah 84.737.511.000 30. Kota Blitar 5.476.281.000 1. Kab. Banjarnegara 2.457.318.751 31. Kota Kediri 41.053.938.000 2. Kab. Banyumas 2.511.354.331 32. Kota Madiun 4.918.193.000 3. Kab. Batang 3.223.109.285 33. Kota Malang 17.628.730.000 4. Kab. Blora 3.467.162.799 34. Kota Mojokerto 5.468.411.000 5. Kab. Boyolali 3.425.770.857 35. Kota Pasuruan 5.605.436.000 6. Kab. Brebes 2.498.146.883 36. Kota Probolinggo 4.840.917.000 7. Kab. Cilacap 2.639.202.510 37. Kota Surabaya 13.877.089.000
8. Kab. Demak 6.026.330.489 35. Kota Batu 5.077.714.000
9. Kab. Grobogan 5.035.985.688 Total Prov. JATENG 599.357.180.000 10. Kab. Jepara 2.693.632.118
11. Kab. Karanganyar 5.662.862.425 12. Kab. Kebumen 2.576.797.667 13. Kab. Kendal 9.142.532.869
T O T A L 964.802.000.000 Sumber : Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tetang Alokasi
Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009