• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu melindungi segenap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu melindungi segenap"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Mewujudkan tujuan nasional dan cita-cita bangsa Indonesia dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Maka bidang kesehatan merupakan bagian dari kesejahteraan yang harus diwujudkan di Indonesia, untuk mewujudkan kesejahteraan dalam bidang kesehatan tersebut, maka diperlukan pihak-pihak yang memiliki kemampuan dan keahlian dibidang kesehatan agar mampu memberikan penanganan kesehatan baik dalam bentuk pencegahan maupun pengobatan.

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut dibidang kesehatan, maka diperlukan adanya upaya kesehatan dalam rangka penyembuhan penyakit atau pemulihan kesehetan merupakan upaya yang berpotensi dapat menimbukan bahaya bagi seseorang apalagi dilakukan oleh tenaga kesehatan (Dokter) yang tidak berkompetensi dibidangnya sehingga fenomena ketidakpuasan kinerja profesi dokter terus berkembang.

Keslamatan pasien merupakan suatu hal yang utama bagi dokter dalam menjalankan tugasnya karena hal ini sudah merupakan suatu kewajiban dokter dalam mengobati orang sakit, sesuai dengan sumpah hippocrates yang dipakai

(2)

sebagai pedoman dasar bagi dokter sampai saat ini, disamping itu adalah hak setiap orang untuk mendapatkan pelayanan kesehatannya dalam tatanan masyarakat dimanapun sudah merupakan keawajiban masyarakat melalui profesi kedokteran untuk mengobati orang sakit, karena pada dasarnya praktik kedokteran merupakan penberian bantuan secara individual oleh dokter kepada pasien berupa pelayanan medis, apabila seseorang datang kepada dokter untuk memanfaatkan pelayanan medis yang tersedia maka terjadi hubungan hukum antara dokter dan pasien, hubungan hukum yang tidak menjajikan sesuatu kesembuhan atau kematian yang berbeda dengan hubungan hukum yang biasa berlaku dalam perjanjian pada umumnya yang menjanjikan suatu hal yang pasti.

Dalam hubungan hukum yang demikian ini masyarakat adanya memiliki hak dan kewajiban antara dokter dan pasien, dan juga melahirkan atau membentuk pertanggungjawaban hukum masing-masing. Pihak dokter maka prestasi berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atau tidak berbuat salah atau keliru dalam perlakuan medis yang semata-mata ditujukan bagi kepentingan kesehatan pasien adalah kewajiban hukum yang mendasar dalam perjanjian dokter dan pasien, kedudukan dokter selaku profesional dibidang medis mempunyai peran aktif dalam pelayanan medis dan pasien sebagai penerima pelayanan medis mempunyai penilaian terhadap penampilan dan mutu pelayanan medis yang diterimanya. Hal ini disebabkan dokter bukan hanya melaksanakan pekerjaan melayani atau memberi pertolongan semata-mata tetapi juga melaksanakan profesi yang terikat pada kode etik profesi, kedudukan pasien yang semula hana sebagai pihak yang

(3)

bergantung kepada dokter dalam menentukan cara penyembuhan kini berubah menjadi pihak yang sederajat dengan dokter.

Dokter tidak boleh lagi mengabaikan pertimbangan pendapat pasien dalam memilih cara pengobatan termasuk untuk menentukan perlunya tindakan operasi atau tidak, kenyataan menunjukan bahwa kemajuan teknologi dan semakin kritisnya masyarakat terhadap pelayanan medis yang diterimanya menyebabkan semakin mengecilnya kesenjangan pengetahuan antara pasien dan dokter serta makin terbukanya penilaian dan kritik, kedudukan pasien yang semula hanya sebagai pihak yang bergantung kepada dokter dalam menentukan cara penyembuhan, meskipun demikian pelaksanaan kewajiban hukum dokter selalu dibayangi adanya resiko baik bagi pasien maupun dokter. Bagi pasien maka pelayanan dokter dapat membawa atau menimbulkan kerugian kesehatan atau bahkan nyawanya sedangkan bagi dokter pertanggungjawaban dapat berupa sanksi mulai dari ringan sampai berat yang bersifat moral kemasyarakatan atau aspek hukum, akan tetapi disisi lain tidak dipenuhinya kewajiban pasien dalam hubungan tidak patuh pada petunjuk atau nasihat atau tidak memberikan keterangan yang tidak benar tentang penyakitnya sehingga mempengaruhi diagnosis maupun terapi dalam perlakuan medis. Walaupun pada dasarnya hubungan pasien dengan dokter adalah hubungan hukum perdata namun tidak menutup kemungkinan pelayanan medis dokter diluar standart profesi dapat dikategorikan atau masuk dalam ranah hukum pidana dan hukum administratif, memang dalam praktik sedikit sulit untuk membedakan antara kerugian akibat adanya perbuatan melawan hukum dengan kerugian wanprestasi dalam

(4)

malprakitik kedokteran. Oleh karena itu dalam peristiwa malpraktik kedokteran apakah adanya/timbulnya kerugian itu disebabkan akibat wanprestasi dokter atau perbuatan melawan hukum akan sangat tergantung pada alasan gugatan atau tuntutan yang diajukan oleh pasien, hal ini disebabkan pada intinya akibat yang ditimbulkan akan sampai pada titik yaitu adanya penyimpangan pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter (wanprestasi).

Pertanggungjawaban malpraktek yang dilakukan oleh dokter atau tenaga medis lainya sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 58 sebagai berikut:

Ayat (1): Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat

kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

Ayat (2): Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam kondisi darurat.

Ayat (3): Ketentuan mengenai cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kedudukan dokter selaku profesional dibidang medis mempunyai peran aktif dalam pelayanan medis dan pasien sebagai penerima pelayanan medis yang diterimanya, pada umunya yang menganggap setiap kegagalan praktik medis tersebut sebagai akibat kelalaian medis dan akibatnya pasien yang merasa tidak puas dan mengadukan atau melaporkan kasus tersebut melalui jalur hukum.

(5)

Malpraktek medis menjadi sebuah isu yang belakangan terus dibicarakan di Indonesia dan semakin marak diberitakan dalam penanganan medis sebagai akibat semakin kritisnya masyarakat terhadap pelayanan medis yang diterimanya serta makin terbukanya penilaian dan kritik, dengan demikian dokter maupun pasien mempunyai hak dan kewajiban yang dilindungi oleh undang-undang sehingga kedudukannya seimbang, adanya dugaan terjadinya malpralktik yang tampak kepermukaan selama ini hanyalah pucuk dari seratus kejadian malpralktik, mungkin cuma sepuluh yang dilaporkan karena dimana dokter-dokter yang dianggap melakukan malpraktek dikatakan tidak tersentuh oleh aturan hukum karena rumitnya pembuktian malpraktik medis dalam penegakan hukum di Indonesia. Kejadian yang terindentifikasi dugaan terjadinya malpraktek medis selama ini tidak semuanya berakhir melalui putusan pengadilan dan bahkan dibiarkan mengambang tanpa adanya proses penyelesaian yang baik meskipun kasus tersebut belum tentu semuanya dianggap sebagai malpraktek, karena mengingat kesalahan dokter merupakan kesalahan profesi maka tidaklah mudah bagi siapapun termasuk penegak hukum yang tidak memahami profesi untuk membuktikannya di pengadilan, meskipun begitu tidak berarti kesalahan dokter tidak mungkin tidak dapat dibuktikan, mengingat kasus-kasus malpraktek medis terkadang tidak terselesaikan dengan memuaskan seolah sulit sekali para dokter untuk dibuktikan telah melakukan malpraktek medis secara pidana karena masalah pembuktian, pembuktian dilakukan untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya suatu peristiwa atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang sehingga pembuktian dapat dijadikan dasar-dasar dalam menjatuhkan

(6)

putusan oleh Hakim. Pembuktian yang didasarkan atas dipenuhi tidaknya unsur- unsur tindak pidana tersebut sangat tergantung dari jenis malpraktik yang dituduhkannya, sehingga dalam hal ini tuduhan melakukan kealpaan atau kelalaian medis yang mempunyai akibat meninggal, luka berat, dan sebagainya harus dibuktikan adanya unsur perbuatan tercela atau salah yang dilakukan sehingga sehingga sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati bisa berupa kesengajaan merupakan perbuatan melawan hukum.

Sulitnya pembuktian dalam kasus-kasus malpraktek menyebabkan adanya kasus-kasus malpraktek yang sulit diajukan ke pengadilan dan hanya mengendap di laporan kepolisian saja, karena pergulatan penafsiran hukum untuk menentukan unsur-unsur kesalahan atau kelalaian atau kealpaan dalam malpraktek medis adalah terletak adanya perbedaan penafsiran dan penerapan antara tindak pidana biasa yang diatur dalam KUHP dan tindak pidana medis, dimana tindak pidana biasa yang terfokus pada faktor akibat dari suatu peristiwa pidana sedangkan dalam tindak pidana yang dilihat bukan akibat tetapi faktor akibat, sehingga berakibat fatal tetapi jika tidak ada unsur kelalaian atau kesalahan maka dokter tidak dapat dipersalahkan. Ini berarti dalam pelayanan kesehatan, kesalahan atau kelalaian yang timbul dari tindakan dokter lebih cenderung dianggap sebagai kelalaian akibat oleh karena itu yang dapat dipidana adalah penyebab dari timbulnya akibat (tindakan dokter yang menyebabkan cacat atau matinya pasien) sehingga dengan demikian untuk menentukan apakah dokter telah melakukan peristiwa pidana sebagai akibat, maka harus terlebih dahulu dicari keadaan atau faktor yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa pidana tersebut,

(7)

maka unsur normatif yang mudah dilihat artinya perbuatan atau tindakan kealpaan itu selalu diukur dengan syarat-syarat bahwa tindakan dokter tersebut setidak- tidaknya sama dengan apa yang diterapkan dilakukan oleh sesama dokter dalam situasi yang sama, apapun akibatnya namun jika tidak dapat dibuktikan adanya kesalahan/kelalaian/kealpaan yang berkaian dengan profesi kedokteran, maka dokter tersebut tidak dapat dituntut dimuka sidang.

Dari sudut pidana (KUHP) sifat perbuatan melawan hukum dalam medis harus dimulai dari akibat/luka baru kemudian menilai tingkah laku medis dalam mengobservasikan yang patut atau tidak harus dipersalahkan, hal ini menunjukkan dengan adanya pergeseran paradigma yaitu akibat perbuatan memberikan pengobatan menjadi menghilangkan gejala setelah melakukan perbuatan, padahal sikap timbul dari akibat suatu perbuatan dan bukan sebelum perbuatan itu dilakukan, unsur dan sifat melawan hukum yang harus dibuktikan secara formil dan materiil dapat diperkuat atau diperlemah oleh apakah suatu perbuatan juga melanggar suatu peraturan disiplin atau etik sekaligus atau tidak dalam rangka penegakan hukum terhadap malpraktik medis memang harus dilakukan secara hati-hati karena disatu sisi tipisnya perbedaan pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana antara kesalahan medis dan resiko medis disisi lain perlu diperhatikan adalaha kepentingan pasien korban. Dalam praktik timbul permasalahan tentang pengertian kesalahan itu terutama yang menyangkut kesalahan dan atau kelalaian dalam bidang pelayanan kesehatan, kesulitan yang timbul untuk menentukan adanya kelalaian karena dari semula perbuatan atau akibat yang timbul dalam suatu peristiwa yang tidak dikehendaki oleh

(8)

pembuatnya, sementara itu sikap yang pada akibat merugikan kesehatan atau nyawa pasien pada umunya malpraktik kedokteran tidak dituju atau tidak dikehendakinya walaupun ada kemungkinan kehendak itu memang ditujukan pada akibat buruk pasien. Akan tetapi pada umumnya berupa kesengajaan pada perbuatan aktif/pasif yang dianggap sikap kelalaian, meskipun kesalahan profesional yang dilakukan oleh dokter pada waktu melakukan perawatan dan adanya pihak lain atau pasien yang dirugikan atas tindakan dokter dapat dijadikan pegangan pokok untuk menetapkan ada atau tidaknya malpraktek medis, tetapi tidaklah mudah untuk menetapkan waktu/kapan adanya/terjadinya unsur kelalaian/kealpaan/kesalahan profesional itu.

Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis mendapat dorongan dan semangat untuk membuat judul skripsi berjudul Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Pembuktian Malpraktek Kedokteran

I.2 Rumusan Masalah

Bertumpu pada latar belakang masalah tersebut dapat ditemukan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana dasar pertimbangan yuridis dan analisis dalam pembuktian malpraktek kedokteran?

2. Bagaimana pembuktian dalam upaya penanganan malpraktek medis di Indonesia?

I.3 Tujuan Penelitian

(9)

Tujuan penelitian adalah hal-hal tertentu yang hendak dicapai dalam suatu

penelitian. Tujuan penelitian akan memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian

Adanya tujuan penelitian ini yaitu:

a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan yuridis dan analisis dalam pembuktian malpraktik kedokteran

b. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian dalam upaya penanganan malpraktik medis di Indonesia

I.4 Manfaat Penelitian

Suatu penelitian tentunya diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Adapun penelitian ini yaitu:

1. Manfaat Teoritas

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum pada umumnya dibidang Hukum Kesehatan.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dalam dunia kepustakaan tentang kajian mengenai malpraktik medis di Indonesia.

c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan terhadap penelitian sejenisnya untuk tahap berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan baru dibidang hukum pidana pada pengaturan hukum terhadap tindak pidana malpraktek medis.

(10)

b. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan penalaran, pola pikir dinamis dan untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh selama bangku kuliah.

c. Penelitian ini diharapkan dapat membantu, memberikan tambahan masukan dan pengetahuan kepada pihak-pihak terkait dengan masalah yang diteliti juga kepada pihak yang berminat pada permasalahan yang sama.

d. Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan tambahan pengetahuan mengenai penegak hukum terhadap tindak pidana malpraktik medis.

I.5 Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang mencakup bahan hukum primer yaitu peraturan perundang- undangan, kemudian penelitian ini juga menggunakan bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum. Penelitian ini dilakukan dengan metode pendekatan komparatif atau penelitian tentang perbandingan hukum baik mengenai sistem hukum di Indonesia dengan produk hukum dan karakter hukum suatu negara.1 Dalam penelitian ini yang menjadi alat utama pengumpulan data dilakukan dengan metode studi kepustakaan, didalam

1 Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum (Bandung: Mandar Maju,2008),96.

(11)

penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan, mengkaji, mengolah literatur, peraturan perundang-undangan maupun artikel,jurnal, maupun karya ilmiah untuk menunjang teori dalam penulisan serta dalam pembahasan penelitian. Yaitu dengan mempelajari, menganalisis serta menginterprestasikan setiap data yang dikumpulkan. Hasil analisis diuraikan dalam bentuk kalimat secara sistematis untuk memudahkan menarik kesimpulan dari data tersebut, penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan primer dan sekunder. Maka penulis dalam penelitian ini akan mengkaji tinjauan yuridis dasar pertimbangan hakim dalam pembuktian malpraktik kedokteran sesuai sistem hukum di Indonesia.

a. Sumber Bahan Hukum

1. Bahan hukum sekunder-primer yaitu bahan hukum yang meliputi:

- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perlindungan Konsumen - Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran - Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

- Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/MenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis

(12)

- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/MenKes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis

- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 512/MenKes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktek dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran

2. Bahan hukum sekunder, yaitu terdiri dari bahan hukum Karya Ilmiah dan Jurnal-jurnal hukum.

3. Bahan hukum sekunder-tersier yaitu kamus dan lain sebagainya.

b. Pengempulan Bahan Hukum

Data-data yang dipergunakan dalam penelitian ini studi kepustakaan dan studi dokumen dengan melakukan penelusuran terhadap literatur/referensi baik berupa buku-buku maupun, makalah, karya ilmiah, dan perundang-undangan.

Semua bahan hukum yang terkumpul dari kepustakaan tersebut diadakan identifikasi serta klasifikasi sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, selanjutnya mengadakan sinkronisasi antara teori hukum dengan ketentuan hukum yang berlaku, disusun secara sistematis. Selanjutnya bahan-bahan hukum tersebut sebagai bukti dalam menguji kebenaran atau ketidak-benaran hipotesis.

c. Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum

Untuk mendapatkan gamabaran yang jelas maka semua bahan hukum diadakan analisa secara kualitatif, dimana peneliti berfokus pada fakta atau sebab terjadinya gejala sosial tertentu, bahkan memahami perilaku dari sudut pandang penulis sendiri. Pengolahan bahan hukum dilakukan secara rasional

(13)

dengan mempergunakan pola berpikir tertenu menurut hukum logika. Karena penelitian ini tergolong penelitian normatif, maka permasalahan yang ada dikaji menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk mendapatkan jawaban yang terstruktur dan bisa dipertanggungjawabkan.

Mengingat penelitian ini bersifat deskripif analitis, maka hasil analisa tersebut diuraikan dengan maksud untuk menggambarkan dan memaparkan atau mendeskripsikan hal-hal terkait dengan permasalahan secara runtut dan sistematis.

I.6 Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah dalam melakukan pembahasan, analisa, serta

penjabaran isi dari penelitian ini disusun sebuah sistematika pembahasan kepada empat bab, supaya dengan mudah memperoleh gambaran secara global dan jelas maka secara umum ditulis sebagai berikut:

BAB SATU tentang Pendahuluan, berisikan Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Sistematika Pembahasan.

BAB DUA tentang Tinjauan Pustaka dan penulis menguraikan tinjauan umum tentang Pengertian Malpraktek, Standart Profesi Tindakan Medis, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, Pertanggungjawaban Hukum oleh Tenaga Medis,

Pembuktian Dalam Upaya Penanganan Malpraktik Medis.

BAB TIGA tentang hasil penelitian dan pembahasan menguraikan hasil penelitian yaitu mengenai Dasar Pertimbangan Yuridis Dan Analisis Dalam Pembuktian

(14)

Malpraktik, dan Kekuatan Pembuktian Dalam Upaya Penanganan Malpraktek Medis di Indonesia.

BAB EMPAT tentang Penutup, berisikan simpulan yang diambil berdasarkan hasil penelitian dan saran sebagai tindak lanjut dari simpulan tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa hasil temuan bahwa, pengorganisasian humas dalam mewujudkan visi-misi di Madrasah Aliyah Syarifuddin Desa Wonorejo, Kecamatan Kedungjajang,

Parameter kualitas air yang penting di sekitar keramba jaring apung di Danau Maninjau telah menunjukkan kadar yang tidak mendukung untuk kehidupan ikan di dalam

Metode ini lebih dikenal dengan metode Center Of Area (COA) atau pusat dari suatu area. Nilai crisp keluaran ditentukan dari titik pusat dari luasan

Ketika pada isu linkungan pada umumnya peran aktor non-negara sangat kuat, dalam kebijakan whaling Jepang, justru terlihat kuatnya peran elit birokrasi dalam memperjuangkan norma

Algoritma Pemberian Opioid Intermiten Intravena untuk Nyeri Akut 8 tidak tidak Keterangan: Skor nyeri: 0 = tidak nyeri 1-3 = nyeri ringan 4-6 = nyeri sedang 7-10

Jadi, individu yang tinggal di wilayah teritorial di mana demonstrasi kriminal secara teratur terjadi dengan mengirimkan, mengendalikan, atau mengklaim barang-barang dusun kayu

Pasien pada umumnya akan menunjukkan respon yang maladaptive seperti menyalahkan Tuhan atas sakit yang diderita, tidak bisa menerima dirinya yang sekarang, gampang

Apakah yang mendasari semua timbulnya ras semua timbulnya rasa malas a malas pada remaja pada remaja ini 6 semuanya akan dibahas dalam penelitian ini.. ini 6 semuanya akan