• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI EMISI GRK DARI SEKTOR PETERNAKAN DESA CIKALONG,KAB. BANDUNG BARAT TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "POTENSI EMISI GRK DARI SEKTOR PETERNAKAN DESA CIKALONG,KAB. BANDUNG BARAT TAHUN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

134

POTENSI EMISI GRK DARI SEKTOR PETERNAKAN DESA CIKALONG,KAB. BANDUNG BARAT

TAHUN 2016-2021

Tati Artiningrum1, Citra Artifiani Havianto2

1Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Perencanaan Dan Arsitektur, Universitas Winaya Mukti

2Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota, Fakultas Teknik Perencanaan Dan Arsitektur, Universitas Winaya Mukti

Email: 1tatiartiningrum@unwim.ac.id, 2citrarti@unwim.ac.id

Abstrak

Salah satu sektor yang berkontribusi dalam peningkatan pemanasan global adalah limbah peternakan yang diantaranya berasal dari kotoran hewan. Sumbangan emsinya diantaranya berasal dari gas metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), karbon dioksida (CO2), dan amonia yang dapat menimbulkan hujan asam. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui sumbangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor peternakan tahun 2016 sampai 2021 pada tempat penampungan hewan berupa penggemukan sapi perah dan sapi potong di Desa Kecamatan, Cikalong Wetan, Kabupaten Barat. Penelitian ini mengunakan metodenya survei lapangan dan study literatur untuk memperoleh data primer serta data sekunder berupa populasi ternak dan pengelolaan limbahnya. Data diolah dengan mengunakan metoda Tier I dari IPCC. Hasil penelitian menujukkan bahwa Tahun 2016 Desa Cikalong memberikan sumbangan emisi sebesar 2610,55 ton CO2- eq/tahun meningkat hingga 3632,16 ton CO2-eq/tahun pada Tahun 2019 yang didominasi oleh CH4 dari fermentasi enterik.

Kata kunci : Emisi, gas rumah kaca, pemanasan global Abstract

One sector that contributes to increasing global warming is livestock waste, which includes animal waste. The emission contributions include methane (CH4), nitrous oxide (N2O), carbon dioxide (CO2), and ammonia which can cause acid rain. The purpose of the study was to determine the contribution of Greenhouse Gas (GHG) emissions from the livestock sector from 2016 to 2021 at animal shelters in the form of fattening dairy cattle and beef cattle in Kecamatan Village, Cikalong Wetan, West Regency. This study uses field surveys and literature studies to obtain primary data and secondary data in the form of livestock population and waste management. The data is processed using the Tier I method from the IPCC. The results of the study show that in 2016 Cikalong Village contributed emissions of 2610.55 tons of CO2-eq/year, increasing to 3632.16 tons of CO2- eq/year in 2019, which was dominated by CH4 from enteric fermentation.

Keywords: Emissions, greenhouse gases, global warming

(2)

135 1. PENDAHULUAN

Gas rumah kaca dihasilkan dari semua sektor kehidupan, termasuk peternakan merupakan salah satu penyebab meningkatnya suhu bumi yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Gas rumah kaca yang dihasilkan dari peternakan adalah gas metana (CH4) terutama dari ternak ruminansia dan gas Nitrous Oxide (N2O).

Terdapat dua sumber gas CH4 dari ruminansia dan non ruminansia yaitu yang dihasilkan selama proses pencernaan pakan dalam rumen (CH4 enterik) dan CH4 yang dihasilkan selama proses dekomposisi kotoran ternak. Gas N2O baik dari ruminansia maupun non- ruminansia dihasilkan hanya dari proses dekomposisi kotoran ternak. Kegiatan pertanian memberikan kontribusi emisi GRK sekitar 5% dari emisi nasional GRK sedangkan kontribusi GRK dari sektor peternakan masih relatif rendah yaitu lebih kecil 1,5% dari total GRK nasional.

Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, salah satu nya adalah sumber protein yang cukup dan peternakan merupakan salah satu kontributor untuk tujuan tersebut.

Populasi ternak sapi di Pulau Jawa pada tahun 2015 sebanyak 6.784.413 ekor sapi potong, 519.901 ekor sapi (BPS 2016), jumlah Dilihat tersebut berdampak pada penyerapan jumlah tenaga kerja .Beternak, baik sebagai sambilan atau usaha pokok, sudah menjadi kebiasaan masyarakat pedesaan di Pulau Jawa sebagai usaha sambilan ataupun sebagai usaha pokok keluarga. Menjadikannya sebagai sumber pendapatan yang bernilai ekonomi baik bagi peternak maupun untuk pembangunan wilayah. Perbedaan Populasi dan komposisi ternak di setiap propinsi, yang menghasilkan perbedaan jumlah emisi GRK.

Untuk melihat gambaran jumlah emisi GRK dari sektor peternakan sapi yang ada di Desa Cikalong, Kabupaten Bandung Barat maka dilakukan penelitian ini yang diestimasi dengan menggunakan metode Tier-1 IPCC.

2. DASAR TEORI 2.1. GRK dari Sektor Peternakan

Pada suatu peternakan, emisi gas rumah kaca dapat terbentuk karena pengelolaan manure yang dihasilkan serta aktivitas pencernaan hewan. GRK yang diemisikan adalah gas metan ( CH4 ) dan dinitrogen oksida (N2O ) yang dapat berasal dari berbagai sumber, diantaranya :

• Tanah

• Ternak dan pupuk kandang ( manure )

• Pembakaran biomassa

• Kayu mati dan

• Sampah

sektor peternakan masuk ke dalam sektor AFOLU (Agriculture, Forest and Other Land Use systems). Pada gambar 1.diperlihatkan sumber utama emisi GRK dan proses

(3)

136 perpindahannya di ekosistem di sektor AFOLU . Emisi gas non-karbon dioksida (CO2) yang adalah gas metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O) (Kementerian Lingkungan Hidup, 2012). Dalam penelitian ini, tidak menghitung jumlah emisi gas karbon dioksida (CO2). hal ini dikarenakan emisi CO2 dianggap nol karena berperan dalam proses fotosintesis tanaman yaitu diserap oleh tanaman dan dilepaskan kembali ke atmosfer menjadi O2 melalui respirasi (Kementerian Lingkungan Hidup, 2012).

2.1.1.Enterik Ternak

Proses dimana karbohidrat dipecah menjadi molekul sederhana oleh mikroorganisma untuk diserap ke dalam aliran darah dikenal sebagai proses fermentasi enterik yang pada hewan memamah biak (herbivora), hasil samping dari fermentasi enterik tersebut adalah metana. Yang termasuk dalam katergori ternak ruminansia diantaranya adalah sapi dan domba, sedangkan non ruminansia diantaranya adalah babi dan kuda. Estimasi emisi metan dari peternakan untuk Tier 1 adalah populasi ternak dan faktor emisi fermentasi enterik untuk berbagai jernis ternak. Faktor emisi metana untuk subsektor fermentasi enterik dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Faktor Emisi metana dari Fermentasi Enterik

No Ternak Proses Pencernaan (kg/ekor/tahun)

1 Sapi Potong 47

2 Sapi Perah 61

3 Kerbau 55

4 Kambing 5

5 Domba 1

6 Babi 18

Sumber : IPPC,2006

2.1.2. Kotoran Ternak (Manure Management)

Selama proses penyimpanan, pengolahan, dan penumpukan, semua jenis kotoran, baik pada maupun cair berpotensi untuk mengemisika GRK, dengan jumlah manure dan bagiannya yang dapat di dekomposisi secara anorganik, merupakan faktor utama.

Penyimpanan dan Pengolahan kotoran ternak sebelum diaplikasikan ke lahan dapat menghasilkan emisi gas N2O yang terbentuk secara langsung dan tidak langsung . Jumlah emisi yang dihasilkannya tergantung pada kandungan nitrogen dan karbon pada kotoran.

Proses nitrifikasi dan denitrifikasi nitrogen yang terkandung di dalam kotoran ternak akan

(4)

137 menghasilkan emisi langsung N2O sedangkan penguapan nitrogen yang umum terjadi dalam bentuk ammonia dan NOx akan menghasilkan emisi tidak langsung N2O. Jumlah emisi N2O ditentukan oleh jumlah kandungan nitrogen dan karbon pada manure. Faktor emisi metana dari subsektor pengelolaan kotoran ternak dapat dilihat pada Tabel 2 sedangkan faktor emisi N2O dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Faktor Emisi Metana Dari Pengelolaan Kotoran Ternak

No Ternak Pengelolaan Kotoran (kg/ekor/tahun)

1 Sapi Potong 1,00

2 Sapi Perah 31,00

3 Kerbau 2,00

4 Kambing 0,22

5 Domba 0,20

6 Babi 7,00

7 Kuda 2,19

8 Ayam Buras 0,02

9 Ayam Petelur 0,02

10 Ayam Pedaging 0,02

11 Itik 0,02

Sumber : IPPC,2006

Tabel 3. Faktor Emisi Secara langsung dan Tidak langsung

No Sistem Pengelolaan Kotoran Ternak

Faktor Emisi Untuk Emisi Langsung N2O

Faktor Emisi Untuk Emisi N2O dari Penguapan N

1 Padang Rumput - -

2 Tebar Harian 0 0,01

3 Tumpuk Kering 0,02 0,01

4 Unggas dgn Penadahan 0,01 0,01

5 Unggas tanpa Penadahan 0,01 0,01

Sumber : IPPC,2006

(5)

138 2.2. Metoda dan Tingkat Ketelitian Perhitungan (Tier)

IPCC adalah badan internasional terkemuka yang menilai perubahan iklim. Anggotanya terdiri 195 anggota negara yang ada di dunia meliputi ribuan ilmuwan yang secara sukarela menganalisis dan memberikan solusi untuk perubahan iklim di bumi. Salah satu tujuannya adalah menilai dampak perubahan iklim yang disebabkan serta pilihan untuk adaptasi dan mitigasi. Mempubikasikan laporan tentang topik-topik yang relevan dengan implementasi UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) merupakan aktifitas utama dari IPCC.

Untuk mengestimasi perhitungan emisi gas rumah kaca, IPCC telah menyusun metoda yang dikelompokkan dalam 3 tingkat ketelitian. Yang dikenal dengan istilah “Tier”.

Tingkat .Terdapat 3 metode pendugaan emisi gas rumah kaca yaitu metode Tier-1, Metode Tier-2, Metode Tier-3 (IPCC, 2006).

Penentuan Metoda dan Tingkat Ketelitian Perhitungan (Tier) dibedakan mulai dari penggunaan persamaan sederhana dengan data default sampai dengan penggunaan data spesifik dalam sistem yang lebih kompleks.

• Tier 1: Digunakan ntuk perhitungan yang sederhana, dimana persamaan- persamaan dan nilai-nilai parameter default ,misalnya, faktor-faktor emisi, telah disediakan dan dapat digunakan.Penggunaan metode ini memerlukan data aktivitas yang spesifik suatu negara. Metode untuk memperkirakannya emisi metana dan N2O dari peternakan memerlukan informasi subkategori ternak, populasi tahunan , dan untuk Tier lebih tinggi , konsumsi pakan dan karakteristik ternak.

Gambar 1. Sumber Utama Emisi Gas Rumah Kaca di Sektor AFOLU Sumber: IPCC, 2006

(6)

139

• Tier 2: dapat menggunakan pendekatan metodologi yang sama dengan Tier 1, tetapi menggunakan faktor-faktor emisi yang spesifik negara atau wilayah. Data aktivitas yang digunakan dalam Tier 2 biasanya menggunakan data aktivitas lebih rinci sesuai dengan besaran-besaran yang ditetapkan untuk daerah tertentu. Dan penggunaan sub kategori berdasarkan umur, pemberian pakan, pengelolaan limbah.

• Tier 3: merupakan metode-metode dengan sistem pengukuran inventarisasi yang dibuat untuk memberikan perkiraan dengan kepastian yang lebih besar dibandingkan dengan tier yang lebih rendahMisalnya pengambilan contoh yang menyeluruh di lapangan pada interval waktu yang teratur dan atau sistem berbasis SIG.

3. METODE PENELITIAN

Kajian ini mengunakan metodenya survey lapangan dan study literatur untuk memperoleh data primer dan sekunder mengenai populasi ternak dan pengelolaan limbahnya di tempat penampungan hewan untuk penggemukan sapi yang ada di Desa Cikalong yaitu Depo GS. Pada metode ini data yang diperlukan adalah populasi ternak dan nilai faktor emisi (FE) setiap jenis GRK.

Perhitungan emisi gas rumah kaca melalui metode Tier-1

Untuk menghitung emisi GRK yang ada pada pedoman IPCC Tier 1,menggunakan default faktor emisi serapan. Metode perhitungannya adalah dengan mengalikan antara informasi aktivitas manusia dalam jangka waktu tertentu (data aktivitas, DA) dengan emisi/serapan per unit aktivitas (faktor emisi/serapan, FE), yaitu :

Emisi GRK = DA x FE …..(1)

Pada persamaan tersebut, data aktivitas merupakan informasi pelaksanaan suatu kegiatan yang melepaskan atau menyerap GRK yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia, sedangkan faktor emisi merupakan besaran jumlah emisi GRK yang dilepaskan atau diserap dari suatu aktivitas tertentu( Kemen LH,2012).

3.1. Animal Unit / Jumlah Populasi

Dalam pedoman Kementerian Lingkungan Hidup (2012), khusus untuk jenis ternak seperti sapi pedaging, sapi perah, dan kerbau, jumlah populasi yang didapatkan dikalikan dengan faktor koreksi yang didapatkan berdasarkan struktur populasi ternak. Jumlah populasi ternak tersebut dapat diasumsikan sebagai Animal Unit (AU )dengan persamaan sebagai berikut :

(7)

140 𝑁(𝑇) 𝑖𝑛 𝐴𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙 𝑈𝑛𝑖𝑡 = 𝑁(𝑋)∗ 𝑘(𝑇). . . (2)

Dalam hal ini :

N(T) = Jumlah ternak dalam Animal Unit N(X) = Jumlah ternak dalam ekor

k(T)= Faktor koreksi ( sapi pedaging = 0,72, sapi perah = 0,75 , kerbau = 0,72) T = Jenis/kategori ternak ( sapi pedaging, sapi perah dan kerbau )

3.2. Perhitungan Emisi Gas Metana (CH4) dari Fermentasi Enterik

Pada perhitungan emisi gas metana dari fermentasi enteri ternak, dibutuhkan data aktivitas berupa data populasi ternak dalam Animal Unit dan faktor emisi gas metana dari fermentasi yang dapat dilihat pada Tabel 1. Emisi gas metana dari fermentasi enterik dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

𝐸𝑚𝑖𝑠𝑠𝑖𝑜𝑛𝑠 = 𝐸𝐹(𝑇)∗ 𝑁(𝑇)∗ 106. . . (3) Dalam hal ini :

Emissions = Emisi metana dari fermentasi enterik ,Gg CH4 yr-1

EF(T) = Faktor emisi populasi jenis ternak tertentu, kg CH4 head-1 yr-1 N(T) = Jumlah populasi jenis / kategori ternak tertentu, Animal Unit T = Jenis/kategori ternak

Gambar 2. Tempat Penggemukan Sapi Terbesar di Desa Cikalong

(8)

141 3.3. Perhitungan Emisi Gas Metana (CH4) dari Pengelolaan Ternak

Palam perhitungan emisi gas metana dari pengelolaan kotoran ternak, metode Tier-1 yang digunakan membutuhkan data aktivitas berupa data populasi ternak dalam Animal Unit dan faktor emisi gas metana (CH4) dari pengelolaan kotoran ternak dari setiap jenis ternak yang disajikan dalam Tabel 2. Perhitungan emisi gas metana dari pengelolaan kotoran ternak menggunakan persamaan sebagai berikut:

𝐶𝐻4 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑟𝑒 = ∑(𝐸𝐹𝑇∗ 𝑁𝑇) 106

𝑇

. . . (4)

Dalam hal ini :

𝐶𝐻𝑚𝑎𝑛𝑛𝑢𝑟𝑒 = Emisi metana dari pengelolaan kotoran ternak, Gg CH4 yr -1 EF(T) = Faktor emisi populasi jenis ternak tertentu, kg CH4 head-1 yr-1 N(T) = Jumlah populasi jenis / kategori ternak tertentu, Animal Unit T = Jenis/kategori ternak

3.5. Emisi N2O Dari Pengelolaan Kotoran Ternak

Kotoran ternak terdiri dari limbah padat (tinja) dan urin. Emisi gas N2O dapat terbentuk secara langsung (direct) dan tidak langsung (indirect) pada saat penyimpanan dan pengolahan kotoran sebelum diaplikasikan ke lahan. Jumlah emisi N2O ditentukan oleh jumlah kandungan nitrogen dan karbon pada kotoran.

a. Estimasi Emisi N2O Langsung Dari Pengelolaan Kotoran Ternak

Perhitungan emisi langsung N2O dari pengelolaan kotoran ternak dilakukan dengan persamaan berikut :

𝑁2𝑂𝐷(𝑚𝑚) = [∑ [∑(𝑁(𝑇)∗ 𝑁𝑒𝑥(𝑇)∗ 𝑀𝑆𝑇,𝑆)

𝑇

]

𝑆

∗ 𝐸𝐹3(𝑆)] ∗44

28 . . . . (𝟓 )

Dalam hal ini :

N2OD(mm) = Emisi langsung N2O dari pengelolaan kotoran ternak (kg N2O yr-1)

N(T) = Jumlah populasi jenis/kategori ternak tertentu, jumlah ternak

Nex(T) = Rata-rata tahunan ekskresi N per ekor jenis/kategori ternak, kg N ternak-1 yr-1

MS(T.S) = Fraksi dari total ekskresi nitrogen tahunan dari jenis ternak tertentu yang dikelola pada sistem pengelolaan kotoran ternak

(9)

142 EF3(S) = Faktor emisi langsung N2O dari sistem pengelolaan kotoran tertentu

S, kg N2O-N/kg N

S = Sistem pengelolaan kotoran ternak T = Jenis/kategori ternak

44/28 = Konversi emisi (N2O)-N)(mm) ke dalam bentuk N2O(mm)

Untuk menghitung Nex(T) digunakan persamaan berikut : 𝑁𝑒𝑥(𝑇) = 𝑁𝑟𝑎𝑡𝑒(𝑇)𝑇𝐴𝑀

1000∗ 365. . . ( 6) Dalam hal ini :

𝑁𝑒𝑥(𝑇) = Eksresi N tahunan untuk jenis ternak, kg N/ekor/tahun

𝑁𝑟𝑎𝑡𝑒(𝑇) = Nilai default laju eksresi N,kgN/1000 kg berat ternak/hari TAM = Berat ternak untuk jenis ternak T,kg/ekor

b. Estimasi Emisi N2O Tidak Langsung Dari Pengelolaan Kotoran Ternak

Untuk menghitung N2O tahunan tidak langsung dari pengelolaan kotoran ternak, digunakan persamaan sebagai berikut :

𝑁2𝑂𝐺(𝑚𝑚) = 𝑁𝑣𝑜𝑙𝑎𝑡𝑖𝑠𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛− 𝑚𝑚𝑠∗ 𝐸𝐹4∗44

28 . . . (7 )

N2OG (mm) = Emisi tidak langsung N2O akibat dari penguapan N dari pengelolaan kotoran ternak, kg N2O/tahun

Nvolatilization-mms =Jumlah kotoran ternak yang hilang akibat volatilisasi NH3 dan NOx, kg N per tahun, yang dapat diperoleh menggunakanperhitungan sebagai berikut :

𝑁𝑣𝑜𝑙𝑎𝑡𝑖𝑠𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛− 𝑚𝑚𝑠 = [∑ [∑ 𝑁(𝑇)∗ 𝑁𝑒𝑥(𝑇)∗ 𝑀𝑆𝑇,𝑆∗ (𝐹𝑟𝑎𝑐𝐺𝑎𝑠 𝑀𝑠

100 )

𝑇 𝑇,𝑆

]

𝑆

] . . . (8)

Dalam hal ini :

- N(T) = Jumlah populasi jenis / kategori ternak tertentu

- Nex(T) = Rata-rata tahunan ekskresi N per ekor jenis/ kategori ternak (Kg N/ternak.tahun)

- MS(T,S) = Fraksi N yang dieksresikan per jenis kategori ternak tertentu berdasarkan jenis pengelolaan limbah ternak.

- FracgasMs = Sistem pengelolaan kotoran ternak ruminansia di Indonesia terdiri dari pengelolaan padang rumput (pasture management), penumpukan kering (dry lot),

(10)

143 dan sistem tebar harian (daily spread system). Sedangkan sistem pengelolaan kotoran unggas terdiri dari sistem tadah (litter system) untuk ayam ras dan petelur, serta tanpa penadahan (without litter system) untuk ayam buras dan bebek.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Aktivitas dan Faktor Emisi

Data aktivitas untuk menghitung beban emisi pada sektor peternakan didapatkan dari data sekunder dan data primer. Pada sektor peternakan data sekunder yang dibutuhkan adalah populasi ternak di Desa Cikalong dan data primer meliputi berat rata-rata ternak dan sistem pengelolaan kotoran. Populasi yang dimaksud adalah populasi yang berada pada tempat penampungan. Dari hasil survey lapangan dihasilkan bahwa sistem pengelolaan dari ternak sapi dikelola dengan cara ditumpuk hingga kering.

Faktor emisi yang digunakan dalam menghitung beban emisi GRK pada sektor peternakan dari dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2, sedangkan untuk menghitung GRK N2O langsung dari pengelolaan ternak menggunakan faktor emisi 0,02 Kg N2O-N/ Kg N untuk ternak sapi, karena pengelolaan kotoran dengan cara ditumpuk hingga kering. Untuk menghitung N2O tidak langsung digunakan faktor emisi yang sama yaitu 0,01 Kg N2O- N/Kg N yang tervolatilisasi.

4.2. Populasi Sapi di Desa Cikalong

Peternakan di Desa Cikalong tahun 2015-2017 didominasi oleh jenis ternak ayam kampung, ayam boiler, kambing dan domba dan sapi. Pola usaha ternak kambing di desa Cikalong, ada yg merupakan usaha yang bersifat komersial tapi lebih banyak merupakan usaha sampingan. Usaha ternak kambing dan domba berperan positif dalam kehidupan penduduk pedesaan, terbukti mampu membantu pendapatan dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia disekitarnya. Ternak kambing dan domba dapat berfungsi sebagai sumber protein hewani bagi masyarakat, sebagai tabungan yang dapat dijual sewaktu-waktu, tambahan pendapatan, sedangkan kotorannya dapat dijadikan sebagai sumber pupuk yang sekaligus dapat memberikan keuntungan bagi petani. Karakteristik peternak kambing dan domba yang diusahakan petani kecil (peternak tradisional) yang berada di pedesaan memiliki keterbatasan penguasaan sumberdaya misalnya lahan, pendapatan, inovasi dan teknologi. Tantangan lainnya adalah pakan dan lahan, padahal faktor utama dalam menentukan produktivitas ternak adalah terjaminnya ketersediaan hijauan pakan.

(11)

144 Gambar 3. Salah Satu Lokasi Penyiapan Pakan Hijauan

Berdasarkan pedoman Kementerian Lingkungan Hidup (2012) di sektor peternakan, jumlah populasi ternak sapi pedaging diasumsikan sebagai Animal Unit (AU) dengan nilai faktor koreksi k(T)) masing-masing 0.72. Untuk mengetahui berapa jumlah ternak dalam Animal Unit N(T) maka jumlah ternak dalam ekor N(x) harus dikali dengan faktor koreksi k(T). Hasil dari perhitungan ini akan digunakan sebagai jumlah ternak dalam Animal Unit N(T) untuk perhitungan emisi gas metana (CH4) dan gas dinitrogen oksida (N2O) pada sektor peternakan.

Populasi dan Jumlah ternak dalam Animal Unit (N(T) disajikan dalam tabel 4 dan 5. Dari data yang didapat dari tempat penggemukan sapi tersebut, terlihat adanya peningkatan pada jumlah sapi potong dari tahun 2016 sampai tahun 2019, setelah itu terjadi penurunan hampir 89% yang diakibatkan karena pergantian kepemilikan dan pandemi covid 19.Untuk jumlah sapi perah tetap sama pada tahun 2016 dan 2017 kemudian tidak terdata pada tahun-tahun berikutnya. Sapi potong atau sapi untuk penggemukan yang ada di Desa Cikalong adalah sapi Brahma atau dikenal juga dengan sebutan sapi brahman.

4.3. Perhitungan Beban Emisi GRK

Penghitungan emisi GRK dari sektor peternakan sapi di Desa Cikalong ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu yaitu emisi gas CH4 dari fermentasi enterik, emisi gas CH4 dari kotoran ternak, emisi gas N2O dari kotoran ternak, dari ketiga penghitungan tersebut kemudian dapat diketahui total CH4 dan N2O yang diemisikan dari tahun 2016 hingga tahun 2021.

Metode perhitungan menggunakan metode IPCC, 2006. Beban emisi dinyatakan dalam satuan jenis gas (Gg CH4, Gg N2O, GgCO2 , per tahun) yang dikonversi ke dalam CO2-

(12)

145 ekuivalen dengan menggunakan nilai global warming potential (GWP), yaitu 23 untuk CH4, dan 298 untuk N2O.

Tabel 4. Populasi Ternak Sapi di Desa Cikalong Tahun 2016-2021

Tahun Jenis Ternak Jumlah

Sapi Perah Sapi potong ( ekor )

2016 16 3243 3259

2017 16 4371 4387

2018 - 4523 4523

2019 - 4681 4681

2020 - 510 510

2021 - 901 901

Sumber :Cikalongwetan Dalam Angka 2017 dan 2018,Depo GS

Tabel 5. Jumlah Ternak dalam Animal Unit (N(T)

No Tahun Jumlah Ternak dalam Animal Unit( NT) Sapi Perah Sapi potong

1 2016 12 2335

2 2017 12 3147

3 2018 - 3257

4 2019 - 3370

5 2020 - 367

6 2021 - 649

4.3.1. Emisi Gas Metana (CH4)

Dari hasil perhitungan, terlihat emisi gas CH4 dari kotoran ternak memberikan gambaran yang berbeda dengan emisi CH4 enterik. Ternak sapi memberikan kontribusi CH4 dari kotoran yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kontribusinya pada emisi CH4

enterik seperti yang diperlihatkan pada tabel 6, hal tersebut disebabkan karena lambung depan yang dikenal sebagai rumen yang merupakan 70% bagian dari total kapasitas saluran pencernaan pada ruminansia. Pada rumen inilah berlangsung proses fermentasi yang terus menerus.

Sistem penyimpanan kotoran sapi potong yang lebih kering , menyebabkan jumlah emisi gas CH4 yang lebih kecil. Pada sapi perah, menyimpan kotorannya dalam bentuk basah karena bercampur dengan air pencucian kandang, akan menyebabkan jumlah emisi gas

(13)

146 CH4 yang menjadi lebih besar jika dibandingkan dengan sistem penyimpanan kotoran sapi potong. Emisi CH4 memberi kontribusi emisi dari total pada tahun 2016 sebanyak 2594,68 meningkat hingga 3610,08 ton CO2-eq /tahun pada tahun 2019 (gambar 4), kemudian mengalami penurunan dan ada sedikit kenaikan pada tahun 2021 sesuai dengan naiknya populasi .

Tabel 6. Total Emisi CH4 (GgCO2-eq/tahun)

Tahun

Emisi CH4 dari Fermentasi Enterik

Emisi CH4 dari Pengelolaan

Kotoran Ternak

Total Emisi CH4

(GgCO2-eq/tahun) (GgCO2-eq/tahun) (GgCO2-eq/tahun)

2016 2,541 0,054 2,595

2017 3,419 0,073 3,491

2018 3,521 0,075 3,596

2019 3,535 0,075 3,610

2020 0,397 0,008 0,405

2021 0,702 0,015 0,716

Gambar 4. Total Emisi CH4 dari Fermentasi Enterik dan Pengelolaan Kotoran Ternak (GgCO2-eq/tahun)

4.3.2. Emisi gas Dinitrogen Oksida (N2O)

Jumlah emisi gas dinitrogen oksida (N2O) yang dihasilkan dari aktivitas pengelolaan kotoran ternak yang ada di tempat penggemukan sapi Desa Cikalong Kabupaten

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4

2016 2017 2018 2019 2020 2021

(GgCO2-eq/tahun)

(14)

147 Bandung Barat memperlihatkan jumlah emisi N2O langsung dari pengelolaan kotoran ternak jauh lebih besar dari emisi tidak langsung (Tabel 7). Salah satu faktor yang berpengaruh adalah sistem pengelolaan kotoran ternaknya yang di Indonesia untuk ruminansia terdiri dari pengelolaan padang rumput (pasture management), penumpukan kering (dry lot), dan sistem tebar harian (daily spread system). Untuk pengelolaan limbahnya, tempat penampungan hewan Desa Cikalong, menggunakan alat pengeruk sebagai salah satu perlatan kandang (gambar 5)

Gambar 5. Alat Pengeruk Limbah Yang Salah Satu Peralatan Kandang

Tabel 7. Total Emisi Gas Dinitrogen Oksida (N2O) (kgCO2-eq/tahun)

No Tahun

Animal Unit

Emisi N2O Langsung dari

Pengelolaan Kotoran Ternak

Emisi N2O Tidak Langsung dari

Pengelolaan Kotoran Ternak

Total Emisi N2O

(Ekor) (kgCO2-

eq/tahun) (kgCO2-eq/tahun) (kgCO2-eq / tahun)

1 2016 2347 14924,46 949,73 15874,19

2 2017 3159 20080,39 1277,84 21358,23

3 2018 3257 20680,86 1316,06 21996,92

4 2019 3270 20763,41 1321,31 22084,72

5 2020 368 2330,33 148,30 2478,62

6 2021 469 2977,99 189,51 3167,50

(15)

148 Berdasarkan Tabel 7, hasil beban emisi gas dinitrogen oksida secara langsung dari pengelolaan kotoran ternak menyumbang emisi gas dinitrogen oksida (N2O) sebesar 14924,46kg CO2-eq pada tahun 2016, mengalami kenaikkan sesuai dengan penambahan jumlah populasi menjadi 20763,41 pada tahun 2019, kemudian mengalami penurunan hingga 2977,99 kg CO2-eq pada tahun 2021, memperlihatkan adanya sedikit kenaikan dari tahun sebelumnya seperti yang diperlihatkan pada gambar 5. Emisi tidak langsung N2O yang dihasilkan dari penguapan nitrogen yang umum terjadi dalam bentuk ammonia dan N2O, menyumbang emisi gas dinitrogen oksida (N2O) sebesar 949,73 kg CO2-eq pada tahun 2016 mengalami kenaikkan menjadi 1321,31 pada tahun 2019, kemudian mengalami penurunan hingga 181,51 kg CO2-eq pada tahun 2021 dengan jumlah rata beban emisi sebesar 6% dari total emisi N2O memperlihatkan adanya sedikit kenaikan dari tahun sebelumnya seperti yang diperlihatkan pada gambar 6 dan 7.

Gambar 6. Total Emisi N2O dari Pengelolaan Kotoran Ternak (kgCO2-eq/tahun)

Gambar 7. Persentase Emisi N2O Langsung dan Tidak langsung dari Pengelolaan Kotoran Ternak

94%

6%

Emisi N2O Langsung Emisi N2O Tidak Langsung 0

5000 10000 15000 20000 25000

2016 2017 2018 2019 2020 2021

kgCO2-eq/tahun

(16)

149 5. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan:

1. Berdasarkan hasil perhitungan dengan metoda Tier 1,pada tempat penampungan hewan untuk penggemukan sapi potong dan sapi perah Desa Cikalong menyumbang emisi GRK tertinggi pada tahun 2019 yaitu 3632,16 ton CO2-eq pada yang dihasilkan oleh gas CH4 dan N2O yang didominasi oleh populasi sapi potong , merupakan kontribusi emisi terbesar yang kemudian ada penurunan akibat pandemi Covid 19 dan pergantian kepemilikan.

2. Dari jumlah emisi tersebut, emisi CH4 dari fermentasi enterik merupakan persentase tertinggi setelah itu CH4 dari pengelolaan kotoran ternak dan N2O yang dihasilkan langsung dari pengelolaan kotoran ternak.

REFERENSI

Nurhayati IS, dan Widiawati Y. 2017. Emisi Gas Rumah Kaca Dari Peternakan Di Pulau Jawa Yang Dihitung Dengan Metode Tier-1 IPCC. Jurnal Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan veteriner 2017.

IPCC. 2006. Emission from Livestock and Manure Management. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Chapter 10. pp. 72 – 82.

Kecamatan Cikalongwetan Dalam Angka 2017. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Barat.

Kecamatan Cikalongwetan Dalam Angka 2018. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung Barat.

Kementrian Lingkungan Hidup.2012. Pedoman Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional Buku II Volume 3: Metodologi Penghitungan Tingkat Penyebaran Emisi dan Penyerapan Gas Rumah Kaca, Pertanian, Kehutanan, dan Penggunaan Lahan Lainnya.Jakarta : Kementrian Lingkungan Hidup.

Emisi Gas Rumah Kaca dari Peternakan di Indonesia dengan Metode TIER 2 IPCC/Edvin Aldrian, Suharyono Puspowardoyo, dan Budi Haryanto (ed.). Jakarta:

LIPI Press, 2019.

Gambar

Tabel 1. Faktor Emisi metana dari Fermentasi Enterik
Tabel 2. Faktor Emisi Metana Dari Pengelolaan Kotoran Ternak
Gambar 1. Sumber Utama Emisi Gas Rumah Kaca di Sektor AFOLU  Sumber: IPCC, 2006
Gambar 2. Tempat Penggemukan Sapi Terbesar di Desa Cikalong
+5

Referensi

Dokumen terkait

Untuk dapat menjawab pertanyaan dari rumusan masalah, digunakan teori rational choice , agar dapat mengetahui kebijakan yang diambil oleh sebuah negara berdasarkan

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa jumlah individu di stasiun Bahowo jauh lebih banyak dibanding- kan dengan jumlah individu di stasiun Batu meja dan Rap-Rap,

selain itu mereka tak lupa untuk menggosok gigi menggunakan sikat gigi yang diberi pasta gigi sehingga gigi mereka menjadi putih dan kuat bobi dan nita juga terhindar dari

perubahan energi listrik dan energi potensial berdasarkan contoh ilustrasi berdasarkan penggunaan keran air. 4) Menanyai perubahan yang terjadi pada energi ginetik.

Setelah data hasil penelitian diperoleh maka langkah berikutnya yang dilakukan peneliti adalah menganalisis data tersebut untuk mengetahui uji kebenaran hipotesis yang ada

Kegiatan Penegakkan Perda Provinsi Akomodasi peserta kegiatan Rakor Penegakan Perda JB: Barang/jasa JP: Jasa Lainnya 1 Paket Rp.. Kegiatan Penegakkan Perda Provinsi Akomodasi

Gejala yang terkait dengan keluhan artritis adalah gejala umum berupa keluhan tidak nafsu makan, lemah/letih, sulit tidur dan penurunan berat badan. Dari seluruh responden, sebesar

Prinsip lembaga suaka terus menerus dikukuhkan oleh negara-negara di kawasan tersebut dengan inkorporasinya ke dalam, dan kemudian dibuatnya secara khusus perjanjian regional