• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor yang Memengaruhi Kesembuhan Penderita TB Paru di Puskesmas Aras Kabu Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor yang Memengaruhi Kesembuhan Penderita TB Paru di Puskesmas Aras Kabu Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang Tahun 2016"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis (TB) Paru

2.1.1 Definisi Tuberkulosis (TB) Paru

Tuberkulosis yang dulu disingkat dengan TBC karena berasal dari kata

tuberculosis adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan bakteri

Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ, terutama

paru-paru, namun saat ini lebih lazim disingkat dengan TB saja (Aditama, 1994).

TB Paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang paru-paru yang secara khas

ditandai oleh pembentukan granuloma (tumor kecil) dan menimbulkan nekrosi

jaringan (kematian jaringan). Penyakit ini bersifat menahun dan dapat menular

dari penderita kepada orang lain yang disebabkan oleh kuman (Manurung dkk,

2015).

Tuberkulosis disebabkan oleh kuman dan karena itu tuberkulosis

bukanlah disebabkan oleh keturunan. Karena disebabkan oleh kuman, maka

tuberkulosis dapat ditularkan dari seseorang ke orang lain. Bila seorang penderita

tuberkulosis batuk-batuk, maka kuman tuberkulosis yang ada di dalam

paru-parunya tersebut akan ikut dibatukkan keluar atau ikut dikeluarkan, dan bila

kemudian terisap ataupun terhirup orang lain maka kuman tuberkulosis itu akan

ikut pula terhirup dan mungkin menimbulkan penyakit. Sekali batuk dapat

menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak dan umumnya penularan terjadi dalam

ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama (Depkes RI,

2007). Perlu diketahui kuman tuberkulosis dari dalam paru tidak hanya keluar

(2)

berbicara, bahkan bernyanyi ataupun bersiul misalnya, yang keluar dalam bentuk

percikan dahak (droplet nuclei). Hanya saja perlu diketahui bahwa tidak semua

penderita tuberkulosis paru berpotensi menularkan penyakitnya kepada orang lain.

Banyak faktor yang berperan dalam penularan penyakit tergantung dari jumlah

kuman yang ada, tingkat keganasan kuman tersebut, dan daya tahan tubuh

seseorang yang ditulari (Aditama, 1994).

Sementara itu selain di paru, tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi

yang dapat mengenai berbagai alat tubuh manusia. Kita mengenal ada

tuberkulosis kulit, tuberkulosis ginjal, tuberkulosis usus, tuberkulosis tulang,

tuberkulosis selaput otak dan lain-lain. Semua jenis tuberkulosis ini sama-sama

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan obatnya pun pada dasarnya

sama pula, hanya saja gejalanya yang berbeda. Namun tuberkulosis yang paling

sering ditemui adalah di paru. Hal ini terjadi karena penularan penyakit ini

terutama melalui udara yang mengandung kuman tuberkulosis dan terhirup oleh

penderita. Udara dan kuman yang terhirup tentunya akan masuk ke paru terlebih

dahulu (Aditama, 1994).

Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan

terhadap asam pewarnaan. Oleh karena itu disebut juga sebagai Basil Tahan Asam

(BTA). Kuman Tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi

dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam

jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun

(3)

Aditama (2000) mengatakan bahwa, kuman ini berbentuk batang dan

salah satu sifat utama kuman tuberkulosis ini ialah bersifat tahan asam, sehingga

kuman ini disebut juga sebagai basil tahan asam (BTA). Maksudnya adalah bila

basil ini telah diwarnai makan warna tersebut tidak akan luntur walaupun diberi

bahan kimia yang sifatnya asam, misalnya H2SO4. Hal ini berbeda dengan

golongan basil yang lain, apabila diberikan warna maka warna tersebut akan

luntur dengan pemberian bahan bersifat asam. Kuman Tuberkulosis cepat mati

dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di

tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant,

yang dapat tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes RI, 2006).

Basil penyebab tuberkulosis ini ditemukan oleh seorang ilmuwan Jerman

yang bernama Robert Koch pada tahun 1882. Hasil penemuannya ini dilaporkan

kepada masyarakat ilmiah pada tanggal 24 Maret pada tahun 1882 juga, oleh

karena itu setiap tanggal 24 Maret setiap tahunnya diperinagti sebagai TB Day

(Hari Tuberkulosis) (Aditama, 1994).

2.1.2 Gejala Klinis TB Paru

Berdasarkan Depkes (2000) dalam Pedoman Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis, gejala umum TB Paru adalah batuk lebih dari 4 minggu dengan atau

tanpa sputum, malaise, gejala flu, demam ringan, nyeri dada, batuk darah.

Pada stadium awal penyakit TB Paru tidak menunjukan tanda dan gejala

yang spesifik. Namun seiring dengan perjalanan penyakit akan menambah

kerusakan jaringan paru, sehingga dapat meningkatkan produksi sputum yang

(4)

pengeluaran dahak. Selain itu, penderita dapat merasa letih, lemah, dan di tandai

dengan berkeringat pada malam hari tanpa melakukan aktivitas dan mengalami

penurunan berat badan yang berarti. (Manurung dkk, 2015).

Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan

gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala

respiratorik (Aditama, 2002).

a. Gejala Respiratorik

Gejala respiratorik sangat bervariasi dari mulai tidak bergejala sampai gejala

yang cukup berat bergantung dari luas lesi. Gejala respiratorik terdiri dari:

 Batuk ≥ 3 minggu

Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkus.

Batuk mula-mula terjadi oleh karena iritasi bronkus; selanjutnya akibat

adanya peradangan pada bronkus, batuk akan menjadi produktif dengan

kata lain sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian

setelah timbul peradangan menjadi batuk produktif (sputum).

 Batuk darah

Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat dan

ringannya batuk darah yang timbul, tergantung dari besar kecilnya

pembuluh darah yang pecah.

 Sesak napas

Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan paru

yang cukup luas.

(5)

Gejala ini jarang ditemukan, gejala ini timbul apabila sistem persyarafan

yang terdapat di pleura (selaput paru) terkena sehingga menimbulkan

pleuritis. Gejala ini bersifat lokal.

b. Gejala Sistemik

 Demam

Demam merupakan gejala pertama dari tuberkulosis paru, biasanya

timbul pada sore dan malam hari disertai dengan keringat mirip demam

influenza yang segera mereda. Tergantung dari daya tahan tubuh

penderita dan virulensi kuman. Serangan demam yang berikut dapat

terjadi setelah 3 bulan, 6 bulan, dan 9 bulan. Demam seperti influenza ini

hilang timbul dan semakin lama makin panjang masa serangannya.

Demam dapat mencapai suhu tinggi yaitu 40°−41°C.

Malaise

Karena tuberkulosis bersifat radang menahun. maka dapat terjadi rasa

tidak enak badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan makin

kurus, sakit kepala, mudah lelah dan pada wanita kadang-kadang dapat

terjadi gangguan siklus haid.

2.2 Penatalaksanaan Penderita TB Paru 2.2.1 Penemuan Penderita TB Paru

Penemuan penderita Tb Paru dapat dilakukan secara pasif, artinya

penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang

berkunjung ke unit pelayanan kesehatan (UPK). Penemuan secara pasif tersebut

didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun

(6)

biasanya dikenal dengan sebutan passive promotive case finding (Depkes RI,

2002).

Penemuan kasus bertujuan untuk mendapakan kasus TB Paru melalui

serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terduga penderita TB, pemeriksaan

fisik dan laboratories, menentukan diagnosis serta menentukan klasifikasi

penyakit dan tipe penderita TB sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh

dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain (Kemenkes, 2014).

Kegiatan ini membutuhkan adanya penderita yang memahami dan sadar

akan gejala TB, akses terhadap fasililtas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan

yang kompeten yang mampu melakukan pemeriksan terhadap gejaaa dan keluhan

tersebut. Penemuan penderita merupakan langkah pertama dalam kegiatan

tatalaksana penderita TB. Penemuan dan penyembuhan penderita TB menular.

secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB,

penularan TB Paru di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan

penularan TB yang paling efektif di masyarakat. Penemuan secara aktif dapat

dilakukan terhadap:

a. Kelompok khusus yang rentan terhadap atau berisiko tinggi sakit TB seperti

pada penderita HIV, diabetes mellitus (DM), dan malnutrisi.

b. Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang berisiko tinggi

terjadinya penularan TB, seperti lapas/rutan, tempat pengungsian, daerah

kumuh, tempat kerja, asrama, serta panti jompo.

(7)

d. Kontak erat dan langsung dengan penderita TB dan penderita TB resisten

obat.

Selain itu, semua penderita TB Paru BTA positif dengan gejala yang

sama harus diperiksa spesimen dahaknya dalam waktu 2 hari berturut-turut, yaitu

Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).

2.2.2 Diagnosis TB Paru

Proses penegakan diagnosis diawali dengan anamnesis tentang

gejala-gejala yang ada kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Setelah itu akan

dilakukan pemeriksaan dahak untuk mencari ada tidaknya kuman TB dalam

bentuk basil tahan asam (BTA) (CDC, 2011).

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang pedoman

penanggulangan tuberkulosis tahun 2010 yang menerangkan, diagnosis TB paru

ditegakkan mulai dari melakukan pemeriksaan semua terduga penderita TB

dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari kunjungan, yaitu

Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS). Pada program TB Nasional, penemuan BTA

melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama, karena

pemeriksaan mikroskopis sangat spesifik (98%) untuk TB Paru (WHO, 2002).

Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan

sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak

dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.

Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB Paru, sehingga

(8)

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai

keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak

untuk menegakkan diagnosis dengan mengumpulkan 3 bahan dahak yang

dikumpulkan dalam 2 hari kunjungan yang berurutan yang dikenal dengan konsep

Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) (Aditama, 2000).

Sewaktu : Dahak dikumpulkan pada saat terduga penderita TB datang

berkunjung pertama kali ke UPK. Pada saat pulang, terduga

penderita membawa sebuah pot penampung dahak untuk

mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua.

Pagi : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah

bangun tidur. Pot penampung dibawa dan diserahkan sendiri ke

pada petugas UPK.

Sewaktu : Dahak dikumpulkan kembali di UPK pada hari kedua, saat terduga

penderita menyerahkan dahak pagi hari.

Untuk menghindari risiko penularan, pengambilan dahak dilakukan

ditempat terbuka dan jauh dari orang lain. Jika keadaan tidak memungkinkan,

gunakanlah ruangan terpisah yang mempunyai ventilasi cukup (Depkes RI, 2002).

Pemeriksaan dahak BTA lazimnya dilakukan 3 kali berturut-turut untuk

menghindari faktor kebetulan. Bila hasil pemeriksaan dahak minimal 2 kali

positif, maka penderita sudah dapat dipastikan sakit TB Paru (Hudoyo, 2008).

Untuk interpretasi pemeriksaan mikroskopis dahak pasien dapat dibaca dengan

skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union

(9)

 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

 Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman

yang ditemukan

 Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + atau (1+)

 Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ atau (2+)

 Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ atau (3+)

2.3 Pengobatan TB Paru

Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan penderita dan

memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup penderita, mencegah kematian

oleh karena TB dan dampak buruk selanjutnya, mencegah kekambuhan,

memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap

obat anti tuberkulosis (OAT) (Kemenkes RI, 2014). Mikrobakteri merupakan

kuman tahan asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya

sangat lambat dan cepat sekali timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat.

Umumnya antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah

dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah.

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase awal/intensif

(2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri

dari paduan obat utama dan tambahan (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia/PDPI,

2011). Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah

penyebaran lebih lanjut dari kuman TB. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah

(10)

Berdasarkan Kemenkes (2014) dalam Pedoman Nasional Pengendalian

Tuberkulosis, pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:

 Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat yang

mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya

terjadinya resistensi.

 Diberikan dalam dosis yang tepat.

 Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO

(Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.

 Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam

tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai

berikut:

 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,

dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori

pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian

OAT Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan

sangat dianjurkan.

 Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung (DOT: Directly Observed Treatment) oleh

seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) (Depkes RI, 2007).

 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan

(11)

Pengobatan TB menurut Kemenkes (2014) dalam Pedoman Nasional

Pengendalian Tuberkulosis, harus selalu meliputi tahap intensif (awal) dan tahap

lanjutan dengan maksud:

a. Tahap Intensif (Awal)

Pada tahap intensif (awal) penderita diberikan pengobat setiap hari

dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya

resistensi obat. Pada umumnya bila pengobatan tahap intensif

tersebut diberikan secara tepat dan teratur, biasanya daya penularan

penderita sangat menurun dalam kurun waktu 2 minggu. Pengobatan

pada tahap intensif semua pasien baru harus diberikan selama 2

bulan, sehingga sebagian besar penderita TB Paru BTA(+) menjadi

BTA(-) dalam 2 bulan (Depkes RI, 2007).

b. Tahap Lanjutan

Pengobatan pada tahap lanjutan merupakan tahap penting untuk

membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada di dalam tubuh

khususnya kuman persister sehingga mencegah terjadinya

kekambuhan (Depkes RI, 2007). Pada tahap ini, penderita mendapat

jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan dalam pengobatan TB

adalah sebagai berikut:

a. Isoniazid (H): dikenal dengan INH, dapat membunuh 90% populasi

kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Sangat efektif

(12)

b. Rimfapisin (R): bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant (persister).

c. Parazinamid (Z): bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang

berada dalam sel dengan suasana asam.

d. Streptomisin (S): bersifat bakterisid.

e. Etambutol (E): bersifat bakteriostatik.

Jenis obat tambahan lainnya adalah:

a) Kanamisin

b) Kuinolon

c) Devirat rifamoisin

d) Obat lainnya masih dalam penelitian; makrolide, amoksilin + asam

klavulanat.

Paduan obat yang digunakan di Indonesia sesuai dengan rekomendasi

WHO yang digunakan oleh Kemenkes (2014) dalam Program Nasional

Pengendalian Tuberkulosis adalah:

a. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampicine (R), Pirazinamid (Z), dan Ethambutol (E) obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri Isoniazid

(H) dan Rifampicine (R), diberikan 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).

Paduan OAT ini diberikan kepada:

(13)

 Penderita TB Paru BTA(-) dan Rontgen(+) sakit berat

 Penderita TB Ekstra Paru berat

Tabel 2.1. Panduan OAT Kategori 1

Tahap

b. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan

Isoniazid (H), Rifampicine (R), Pirazinamid (Z), dan Ethambutol (E), dan suntikan Streptomisin (S) setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampicine (R), Pirazinamid (Z), dan Ethambutol (E), setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan

Isoniazid (H), Rifampicine (R), dan Ethambutol (E), yang diberikan 3 kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan, suntikan Streptomisin (S) diberikan setelah penderita selesai menelan obat.

Paduan OAT ini diberikan kepada:

 Penderita kambuh (relaps)

 Penderita gagal (failure)

(14)

Tabel 2.2. Panduan OAT Kategori 2 dan Ethambutol (E) diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari Isoniazid (H), Rifampicine (R), diberikan selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3).

Paduan OAT ini diberikan kepada:

 Penderita baru BTA(-) dan Rontgen(+) sakit ringan

 Penderita Ekstra Paru ringan, yaitu TB Kelenjar Limfe, TB Kulit, TB

Tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal

Tabel 2.3. Panduan OAT Kategori 3

(15)

d. OAT Sisipan : HRZE

Bila pada akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori 1 atau kategori

2, hasil pemeriksaan sputum masih BTA(+), maka diberikan obat sisipan

Isoniazid (H), Rifampicine (R), Pirazinamid (Z), dan Ethambutol (E) (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.

Tabel 2.4. Panduan OAT Sisipan

Tahap

Dalam kegiatan pengobatan TB, harus selalu dilakukan pemantauan.

Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan dilaksanakan dengan pemeriksaan

ulang dahak secara mikroskopis (Kemenkes RI, 2014). Pemeriksaan dahak secara

mikroskopis lebih baik dibandingan dengan pemeriksaan radiologis dalam

memantau kemajuan pengobatan. Memantau kemajuan pengobatan dilakukan

dengan pemeriksaan spesimen sebanyak 2 kali (sewaktu dan pagi).

Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif, bila kedua spesimen tersebut

negatif. Bila salah satu spesimen positif, maka hasil pemeriksaan ulang dahak

tersebut dinyatakan positif (Depkes RI, 2000).

Menurut Aditama (2004) kepada penderita harus selalu diberikan

beberapa obat anti tuberkulosis (OAT) sekaligus. Hal ini harus dilakukan untuk

(16)

penderita hanya diberikan satu macam obat saja, maka dalam waktu singkat

kuman tuberkulosis yang ada dalam tubuhnya akan kebal terhadap obat itu, dan

obat itu menjadi tidak mempan dan tidak dapat membunuh kuman yang ada. Oleh

karena itu, tuberkulosis tidak boleh diobati hanya dengan satu obat saja.

Selain itu, di dalam tubuh kuman tuberkulosis terbagi dalam empat

kelompok populasi kuman. Kelompok pertama, yang biasa disebut populasi A,

merupakan kuman yang sangat aktif membelah diri untuk berkembang biak; dan

kelompok kedua, populasi B, merupakan kuman yang tumbuhnya sangat lamban

dan lebih banyak hidup dalam lingkungan pH yang rendah yaitu suasana asam.

Sedangkan, kelompok ketiga populasi C, adalah kuman tuberkulosis yang berada

dalam keadaan dormant hampir sepanjang waktu, yang kadang-kadang diam

tenang dan kadang-kadang aktif membelah diri untuk memperbanyak diri; dan

terakhir populasi D adalah kuman yang disebut “dormant” karena sama sekali

tidak bisa dipengaruhi oleh obat anti tuberkulosis (OAT) yang hanya diam saja

dan tidak menimbulkan penyakit secara langsung, yang hanya bisa dimusnahkan

oleh mekanisme pertahanan tubuh manusia itu sendiri. Adanya empat kelompok

kuman ini menjadi salah satu alasan mengapa OAT diberikan dalam beberapa

macam sekaligus dan tidak bisa hanya dengan satu macam saja (Aditama, 2002).

2.3.1 Hasil Pengobatan TB Paru

Hasil pengobatan seorang penderita dapat dikategorikan sebagai sembuh,

pengobatan lengkap, meninggal, pindah (transfer out), lalai (default/DO), dan

(17)

a. Sembuh

Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan

pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow up)

paling sedikit 2 kali berturut-turut hasilnya negatif (yaitu pada AP dan/atau

sebulan sebelum AP, dan pada satu pemeriksaan follow up sebelumnya).

b. Pengobatan Lengkap

Penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tapi tidak

ada hasil pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut negatif.

c. Meninggal

Penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab

apapun.

d. Pindah

Penderita yang pindah berobat ke daerah kabupaten/kota lain.

e. Default/Drop Out

Penderita yang tidak mengambil obat selam 2 bulan berturut-turut atau lebih

sebelum masa pengobatannya selesai.

f. Gagal

Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau

kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan atau akhir

pengobatan.

2.3.2 Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Menurut Kemenkes (2014) dalam Pedoman Nasional Pengendalian

(18)

mengalami efek samping OAT. Namun beberapa penderita dapat mengalami efek

samping yang merugikan ataupun berat, oleh karena itu pemantauan kemungkinan

terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.

Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit serius.

Dalam kasus TB Paru, maka pemberian obat harus dihentikan dan penderita harus

segera dirujuk ke UPK spesialistik.

Sedangkan efek samping ringan yaitu hanya menyebabkan sedikit

perasaan yang tidak enak. Gejala yang menyebabkan perasaan tidak enak tersebut

dapat ditanggulangi dengan obat sederhana. Dalam hal ini, pemberian OAT dapat

diteruskan.

1. Isoniazid (INH) / (H)

Efek samping berat berupa hepatitis. Sedangkan efek samping

ringan dapat berupa nyeri otot, kehilangan kesadaran, dan kelainan

kulit yang bervariasi, antara lain gatal-gatal.

2. Rifampicine (R)

Salah satu efek samping berat dari Rifampicine adalah hepatitis,

walaupun ini sangat jarang terjadi. Bila sesuai dosis yang

dianjurkan, Rifampicine jarang menimbulkan efek samping,

terutama pada pemakaian terus-menerus setiap hari. Efek samping

ringan yang terjadi adalah sindrom kulit seperti gatal kemerahan,

sindrom flu berupa demam, menggigil, dan nyeri tulang, serta

(19)

3. Pyrazinamid (Z)

Efek samping utama dari penggunaan Pyrazinamid dalah hepatitis

dan juga dapat menyebabkan nyeri sendi. Efek ringan nya berupa

terjadi reaksi hipersensitas misalnya demam, mual, dan kemerahan.

4. Streptomycine (S)

Efek samping utamanya adalah kerusakan syaraf kedelapan yang

berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek

samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis

OAT yang digunakan dan umur penderita. Efek samping sementara

dan ringan yang biasanya terjadi berupa reaksi setempat pada bekas

luka suntikan, rasa kesemutan pada sekitar mulut, dan telinga

mendengung yang dapat terjadi setelah suntikan.

5. Ethambutol (E)

Ethambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa

berkurangnya ketajaman penglihatan dan buta warna untuk warna

merah dan hijau. Ethambutol sebaiknya jangan diberikan kepada

anak-anak.

Tabel 2.5. Efek Samping Ringan Dari OAT

Efek Samping OAT Penyebab Penanganan

Tidak nafsu makan, mual, sakit perut Rifampicine

Obat diminum pada malam hari

sebelum tidur

Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin

Kesemutan dan rasa terbakar di kaki INH Beri vitamin B6 (100mg/hari)

(20)

Tabel 2.6. Efek Samping Berat Dari OAT

Efek Samping OAT Penyebab Penanganan

Gatal dan kemerahan kulit Semua jenis OAT Ikuti petunjuk penanganan

Tuli Streptomycin

Kekuningan (ikterus) tanpa penyebab Hampir semua OAT

Hentikan semua OAT sampai

Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan Ethambutol

Pupura dan renjatan (syok) Rifampicine Hentikan Rifampicine

2.3.3 Pengawasan Menelan Obat (PMO)

Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan panduan OAT

jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan

pengobatan diperlukan seorang PMO.

Nizar (2010) dalam buku Pemberantasan dan Penanggulangan

Tuberkulosis mengatakan bahwa, pengawas menelan obat atau disebut juga

dengan istilah PMO adalah bertugas menjamin keteraturan pengobatan hingga

sembuh. Oleh karena itu, Depkes merekomendasikan persyaratan menjadi PMO

adalah yang dikenal dan disetujui penderita maupun petugas kesehatan, selain itu

harus disegani dan di hormati oleh penderita itu sendiri, kemudian tempat teinggal

dekat dengan penderita dan bersedia membantu dengan sukarela, serta bersedia

(21)

RI, 2000). Selain itu, PMO harus memahami tanda dan gejala penyakit termasuk

cara penularannya, pengobatan, dan perawatnya (Center For Disease Control and

Prevention/CDC, 2011).

WHO dengan strategi DOTS menetapkan lima dasar prinsip pelaksanaan

DOTS, diantarnya adalah ketersediaan Pengawas Menelan Obat (PMO). Beberapa

penelitian melaporkan bahwa keberadaan PMO sangat signifikan mendukung

kepatuhan penderita TB Paru dalam pengobatan (Nizar, 2010).

2.3.3.1 Tugas Pengawas Menelan Obat (PMO)

Depkes menetapkan empat tugas pokok pengawasan menelan obat

(PMO) sebagaimana yang tertuang dalam buku Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis (2000) adalah sebagai berikut:

1) Mengawasi penderita TB agar menelan obat secara teratur sampai

selesai masa pengobatan;

2) Memberikan dorongan kepada penderita agar mau berobat secara

teratur;

3) Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada

waktu-waktu yang telah ditentukan;

4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang

mempunyai gejala-gejala tersangka TB untuk segera memeriksakan

diri kepada petugas kesehatan.

5) Membantu atau mendampingi penderita dalam pengambilan obat

(22)

2.3.3.2 Jenis Pengawasan Menelan Obat (PMO)

Mengadopsi pedoman nasional program penanggulangan tuberkulosis

dan hasil dari beberapa penelitian mengenai penyakit TB, sebaiknya PMO

berasal dari petugas kesehatan, misalnya Bidan di desa, Perawat, Pekarya,

Sanitarian, Juru Imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang

memungkinkan, PMO juga dapat berasal dari Kader Kesehatan, Guru, Badan

Perangkat Desa (BPD), atau tokoh masyarakat lainnya ataupun anggota

keluarga.

2.4 Klasifikasi TB Paru

2.4.1 Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi dari Penyakit

Berdasarkan Kemenkes (2014) dalam Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis, pembagian klasifikasi penyakit TB Paru

berdasarkan organ yang terkena adalah:

1. Tuberkulosis Paru

TB Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak

termasuk pleura (selaput paru).

2. Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,

misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),

kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran

kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

Bila seorang penderita TB Paru sekaligus juga menderita TB Ekstra Paru,

(23)

2.4.2 Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak (BTA) 1. Tuberkulosis Paru BTA Positif

 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 pemeriksaan spesimen dahak

SPS hasilnya BTA positif.

 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA

positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran

tuberkulosis aktif.

 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukan hasil

BTA positif dan biakan positif.

2. Tuberkulosis Paru BTA Negatif

 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,

gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan

tuberkulosis aktif.

 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan

biakan M. tuberculosis positif (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia/PDPI, 2011).

2.4.3 Klasifikasi Berdasarkan Tipe Penderita

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi

beberapa tipe penderita. Ada beberapa tipe penderita, yaitu:

a. Kasus Baru

Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau

sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu; 30

(24)

b. Kasus Kambuh (Relaps)

Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil

pemeriksaan dahak BTA positif dan saat ini didiagnosis TB

berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik

karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).

c. Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan,

dipindahkan dari Puskesmas/Rumah Sakit antar kabupaten/kota

yang berbeda untuk melanjutkan pengobatannya dengan membawa

surat rujukan.

d. Kasus Lalai Berobat (Default/Drop Out)

Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan dan

kembali berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif

setelah putus berobat (drop out) 2 bulan atau lebih.

e. Kasus Gagal (Failure)

 Adalah penderita TB yang pernah diobati dan dinyatakan

gagal pada pengobatan terakhir.

 Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau

kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan

(25)

 Adalah penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif

menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan

f. Kasus Lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam

kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu penderita dengan hasil

pemeriksaan masih BTA positif setelah menyelesaikan pengobatan

ulang (Kemenkes RI, 2014).

2.5 Program Penanggulangan TB Paru

Sejak tahun 1995, WHO dan International Union Agains Tuberculosis

and Lung Disease (IUATLD) merekomendasikan pelaksanaaln penerapan strategi

DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) secara bertahap di Puskesmas

dengan program Pemberantasan Tuberkulosis Paru yang telah terbukti sebagai

strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective)

(Depkes RI, 2007).

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan penderita,

prioritas diberikan kepada penderita menular. Menemukan dan menyembuhkan

penderita merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. Dengan

menggunakan strategi DOTS, maka proses penyembuhan TB Paru dapat

berlangsung dengan cepat. DOTS bertujuan untuk memutuskan rantai penularan

di masyarakat dengan mengobati penderita BTA positif sampai sembuh (Depkes

RI, 2007). Komponen dalam strategi DOTS ada lima, yaitu:

1. Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk

(26)

2. Diagnosis TB Paru dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

3. Pengobatan dengan panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat

(PMO).

4. Kesinambungan persediaan OAT dengan mutu yang terjamin.

5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan

pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru.

Salah satu permasalahan dalam Program Penanggulangan TB Paru

adalah lamanya jangka waktu pengobatan yang harus dijalani penderita selama 6

sampai 8 bulan. Kegagalan proses pengobatan akibat ketidaktaatan penderita pada

instruksi dan aturan minum obat yang meliputi dosis, cara, dan waktu minum

obat, yang akan mengakibatkan terjadinya kekebalan terhadap semua obat

Multiple Drugs Resistance (MDR) dan mengakibatkan terjadinya kekambuhan

(Depkes RI, 2002).

2.6 Determinan Sosial Kesehatan (Social Determinant Of Health)

Determinan sosial kesehatan atau social determinant of health adalah

kondisi-kondisi yang memengaruhi kondisi kesehatan seseorang, mulai dari lahir,

tumbuh, bekerja dan menjadi tua, yang termasuk didalamnya kondisi sistem

kesehatan, seperti kemiskinan, kebijakan publik, ketahanan pangan, pekerjaan,

pendapatan, pendidikan, perumahan, transportasi, lingkungan dan jaringan sekitar

(Kemenkes RI, 2014).

Determinan sosial adalah faktor yang penting dan berpengaruh terhadap

(27)

akan memengaruhi kesehatan seseorang. Dengan adanya perbedaan determinan

sosial, masyarakat akan mempunyai faktor risiko yang lebih baik ataupun yang

lebih buruk yang akan membuatnya menjadi lebih rentan ataupun lebih kebal

terhadap penyakit menular TB Paru (Kemenkes RI, 2011).

Menurut Henrik L. Blum (1974) seperti dikutip Azwar (1983), terdapat

empat faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap kesehatan yaitu faktor

lingkungan, faktor perilaku, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor keturunan

yang saling memengaruhi. Faktor risiko determinan sosial TB Paru yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah perilaku penderita, kondisi rumah, dan

kepadatan hunian yang memengaruhi kesembuhan penderita TB Paru.

2.7 Faktor-Faktor yang Memengaruhi TB Paru

Penyakit tuberkulosis banyak terjadi pada populasi yang memiliki

perilaku buruk, rendah nutrisi, rumah penuh hunian, ventilasi yang tidak baik, dan

perawatan yang tidak cukup. Genetik hanya berperan kecil dan dalam hal ini yang

berperan terhadap besarnya kejadian tuberkulosis dan rendahnya kesembuhan

tuberkulosis adalah faktor perilaku dan faktor lingkungan (Soejadi dkk, 2007).

2.8 Kesembuhan TB Paru

Suatu kondisi dimana individu telah menunjukan peningkatan kesehatan

dan memiliki salah satu indikator kesembuhan penyakit TB, diantaranya

menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow

up) hasilnya negatif pada akhir pengobatan dan minimal satu pemeriksaan

(28)

2.8.1 Indikator Kesembuhan

Indikator merupakan alat yang digunakan untuk menilai seberapa jauh

program berjalan dan melihat sejauh mana tujuan telah dicapai. Salah satu

indikator kesembuhan penyakit TB, diantaranya perubahan berat badan dan perlu

dilakukan tes BTA terhadap sputum. Berikut merupakan indikator nasional yang

digunakan untuk menilai program penanggulangan TB Paru yang dijelaskan oleh

Depkes (2006), yaitu:

2.8.1.1 Angka Kesembuhan (Cure Rate/CR)

Angka kesembuhan merupakan angka yang menunjukkan persentase

penderita TB Paru positif sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara

penderita TB Paru BTA positif yang tercatat. Angka kesembuhan dihitung

tersendiri untuk penderita baru BTA positif yang mendapat pengobatan kategori I

atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori II. Angka

kesembuhan dihitung untuk mengetahui keberhasilan pengobatan.

Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka ini digunakan

untuk mengetahui keberhasilan pengobatan. Bila angka kesembuhan kurang dari

85%, maka harus ada informasi dari hasil pengobatan lainnya yaitu berapa yang

digolongkan sebagai pengobatan lengkap, default (drop out atau lalai), gagal,

meninggal, dan pindah keluar. CR =

Jumlah penderita BTA positif yang sembuh

Jumlah penderita BTA positif yang diobati

(29)

2.8.1.2 Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate/SR)

Angka keberhasilan pengobatan adalah angka yang menunjukkan

persentase penderita TB Paru yang baru terkonfirmasi bakteriologis yang

menyelesaikan pengobatan (baik sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara

penderita baru TB Paru terkonfirmasi bakteriologis yang tercatat. Dengan

demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka

pengobatan lengkap.

2.9 Perilaku

2.9.1 Pengertian Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2003) bahwa perilaku manusia (human behavior)

pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang

mempunyai bentangan yang sangat luas seperti berjalan, berbicara, menangis,

tertawa, bekerja, membaca, dan sebagainya. Bahkan kegiatan dari dalam diri

(internal activity) seperti berpikir dan emosi juga merupakan perilaku manusia.

Oleh karena itu, perilaku manusia dapat diartikan sebagai semua kegiatan ataupun

aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat

diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).

Secara operasional perilaku manusia dapat diartikan sebagai suatu respon

terhadap stimulus dari luar. Respon ini ada dua macam, yaitu bentuk pasif dan

bentuk aktif. Respon pasif merupakan respon yang tidak dapat dilihat dari luar dan SR =

Jumlah penderita BTA positif (sembuh+pengobatan lengkap)

Jumlah penderita BTA positif yang diobati

(30)

terjadi didalam diri manusia (pengetahuan, persepsi, dan sikap), sedangkan respon

aktif merupakan respon yang dapat dilihat secara langsung seperti tindakan yang

nyata (tertawa, menangis, marah, dll) (Sujanto, 1993).

Menurut Skinner dalam Notoatmodjo (2003), perilaku adalah hasil

hubungan antara reaksi seseorang (respon) terhadap rangsangan (stimulus).

Skinner membedakan bahwa hubungan antara perangsang (stimulus dan respon)

dibedakan dalam dua respon yakni respondent response ialah tanggapan yang

timbul oleh rangsangan-rangsangan tertentu dan menimbulkan respon-respon

yang tetap dan operant response ialah tanggapan yang timbul dan berkembang

diikuti oleh perangsang tertentu yang memperkuat tanggapan yang telah dilakukan

(reinforcing stimulation).

2.9.2 Bentuk Perilaku

Dilihat dari bentuk respons terhadap rangsangan (stimulus) ini maka

Skinner dalam Notoatmodjo (2003) membedakan perilaku, yaitu:

1) Perilaku Terutup (Covert Behavior)

Respons seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dalam bentuk

terselubung atau tertutup. Respons atau reaksi terhadap rangsangan

(stimulus) ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan

atau kesadaran dan sikap yang terjadi pada seseorang yang

menerima rangsangan (stimulus) tersebut, dan belum dapat diamati

secara jelas oleh orang lain.

(31)

Respons seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dalam bentuk

tindakan nyata atau praktik, yang dengan mudah dapat diamati atau

dilihat orang lain.

2.9.3 Determinan dan Perubahan Perilaku

Faktor penentu atau determinan perilaku manusia pada umumnya

melibatkan banyak faktor dan sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan

resultan dari berbagai faktor baik internal (respon dari dalam diri seseorang)

maupun eksternal (stimulus, seperti faktor lingkungan, faktor ekonomi, faktor

sosial budaya, dan sebagainya). Secara terperinci, perilaku manusia sebenarnya

merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan,

kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).

Bentuk perubahan perilaku sangat bervariasi, sesuai dengan konsep yang

digunakan oleh para ahli dalam pemahamannya terhadap perilaku. Menurut WHO

dalam Notoatmmodjo (2012) perubahan perilaku dikelompokkan menjadi tiga,

yaitu:

1. Perubahan Alamiah (Natural Change)

Perilaku manusia selalu berubah, sebagian perubahan itu

disebabkan karena kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat

sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya

dan ekonomi, maka anggota-anggota masyarakat didalamnya juga

mengalami perubahan.

(32)

Perilaku ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh

subjek (penderita).

3. Ketersediaan untuk Berubah (Readiness to Change)

Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan

didalam masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian

orang sangat cepat menerima inovasi atau perubahan tersebut

(berubah perilakunya) dan sebagaian orang lagi sangat lamban

untuk menerima perubahan tersebut.

Setiap orang didalam suatu masyarakat mempunyai kesediaan yang

berbeda-beda untuk berubah, meskipun dalam kondisi yang sama

(Notoatmodjo, 2012).

WHO dalam Notoatmojo (2012) menganalisis penyebab seseorang

berperilaku dengan empat alasan pokok (determinan), antara lain:

1. Pemahaman dan Pertimbangan (Thoughts and Feeling)

Merupakan hasil pemikiran-pemikran dan perasaan-perasaan

seseorang atau lebih tepat diartikan sebagai

pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulasi yang

merupakan modal awal untuk bertindak atau berperilaku.

2. Orang penting Sebagai Referensi (Personal Reference)

Di dalam masyarakat, dimana sikap paternalistik masih kuat maka

perubahan perilaku masyarakat tergantung dari perilaku acuan

(referensi), yang pada umunya adalah para tokoh masyarakat

(33)

3. Sumber Daya (Resources)

Sumber daya yang tersedia merupakan pendukung untuk terjadinya

perilaku seseorang atau masyarakat. Sumber daya ini sama

dengan enabling factors (sarana dan prasarana atau fasilitas).

4. Kebudayaan (Culture)

Merupakan faktor eksternal untuk terbentuknya perilaku seseorang.

Sosiobudaya setempat biasanya sangat berpengaruh terhadap

terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2012).

2.9.4 Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan merupakan semua aktivitas atau kegiatan seseorang

baik yang diamati (observable) maupun tidak dapat diamati (unobservable) yang

berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. (Notoatmodjo, 2010).

Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari

penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari

penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan.

Batasan perilaku kesehatan menurut Machfoedz, Ircham, dan Eko (2007)

dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu:

1. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (Health Maintenance)

Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau

menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan

bilamana sakit. Oleh sebab itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri

(34)

a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari

penyakit.

b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat.

c. Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman

dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, bahkan

dapat mendatangkan penyakit.

2. Perilaku Pencarian dan Penggunaan Sistem atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Health Seeking Behavior).

Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat

menderita penyakit atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini di mulai

dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke

luar negeri.

3. Perilaku Kesehatan Lingkungan.

Adalah bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan

fisik maupun sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut

tidak memengaruhi kesehatannya.

Klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan antara lain ;

1) Perilaku Hidup Sehat

Adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan

seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya.

(35)

 Menu seimbang

 Olahraga teratur

 Tidak merokok

 Tidak minum-minuman keras dan narkoba

 Istirahat yang cukup

 Mengendalikan stress

 Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan

2) Perilaku Sakit (Illness Behavior)

Mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit. Persepsinya

terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala penyakit,

pengobatan penyakit, dan sebagainya. Perilaku peran sakit (the sick role

behavior) ini mencakup:

 Tindakan untuk memperoleh kesembuhan

 Mengenal atau mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan atau

penyembuhan penyakit yang layak

 Mengetahui hak (misalnya: hak memperoleh perawatan, pelayanan

kesehatan dan kewajiban orang sakit (memberitahukan penyakitnya

kepada orang lain terutama kepada dokter atau petugas kesehatan,

tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain, dan sebagainya.

Perilaku kesehatan pada penderita TB Paru, yaitu:

a. Diupayakan cahaya matahari sebanyak mungkin masuk ke dalam rumah

b. Membuka jendela setiap hari

(36)

d. Menjaga jarak dengan lawan bicara

e. Penderita harus menutup mulut dengan sapu tangan, bila batuk atau

bersin

f. Perilaku membuang dahak berkaitan dengan proses penyembuhan

penyakit dan berdampak terhadap penularan penyakit

Untuk kepentingan kerangka analisis dalam penelitian ini dapat

dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dikerjakan atau dilakukan oleh

penderita TB Paru dalam menjalani pengobatan untuk mencapai tahap

kesembuhan, baik dapat diamati secara langsung atau secara tidak langsung.

2.10 Lingkungan Rumah 2.10.1 Pengertian Rumah Sehat

Pengertian rumah sehat menurut Depkes RI No. 829 tahun 1999 adalah

kondisi fisik, kimia, biologi didalam rumah, lingkungan rumah dan perumahan

sehingga memungkinkan penghuni atau masyarakat memperoleh derajat

kesehatan yang optimal.

Menurut Depkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan

Rumah Sehat, ketentuan rumah yang memenuhi persyaratan kesehatan sebagai

berikut:

1. Bahan Bangunan

Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tempat tumbuh dan

berkembangnya mikroorganisme patogen.

2. Komponen dan Penataan Ruangan Rumah

 Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci

(37)

 Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya.

3. Pencahayaan

Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung

dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal

60 lux dan tidak menyilaukan mata.

4. Kualitas Udara

 Suhu udara nyaman antara 18–30OC

 Kelembaban udara 40–70%

 Gas SO2 kurang dari 0,10 ppm/24 jam

 Gas CO kurang dari 100 ppm/8 jam

5. Ventilasi

Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% luas lantai.

6. Sarana Penyimpanan Makanan

Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman.

Kondisi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan

dapat disebut sebagai pemicu dan faktor risiko yang mampu membantu dalam

penyebaran penyakit TB Paru. Hal ini dikarenakan, sumber penularan penyakit

TB Paru sangat erat kaitannya dengan kondisi-kondisi sanitasi. Penyebaran

penyakit TB Paru sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kelembaban,

suhu dan pencahayaan, keadaan jendela dan ventilasi, kepadatan hunian

(crowding), dan sosial ekonomi (Atmosukarto dan Soewasti, 2000).

(38)

Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat

kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Kelembaban

udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40−60%.

Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan

mikroorganisme seperti bakteri dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat

masuk ke dalam tubuh melalui udara. Selain itu, kelembaban yang tinggi

dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga

kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme.

M. tuberkulosis seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan

baik pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk

lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal yang essensial

untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri.

b. Suhu dan Pencahayaan

Suhu dalam rumah akan membawa pengaruh bagi penghuninya.

Suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan

kehilangan panas tubuh dan tubuh akan berusaha menyeimbangkan

dengan suhu lingkungan melalui proses evaporasi. Kehilangan panas

tubuh ini akan menurunkan vitalitas tubuh dan merupakan predisposisi

untuk terkena infeksi terutama infeksi saluran nafas oleh agen yang

menular. M. tuberkulosis memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi di

dalam rentang ini terdapat suatu suhu optimum saat mereka bertumbuh

pesat. M. tuberculosis merupakan bakteri yang tumbuh baik pada suhu

(39)

Cahaya matahari mempunyai sifat membunuh bakteri terutama

bakteri M. tuberculosis. Bakteri ini dapat mati oleh sinar matahari

langsung. Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan yang buruk

sangat berpengaruh terhadap kejadian TB. Kuman tuberkulosis dapat

bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, dan gelap tanpa sinar

matahari sampai bertahun-tahun dan mati bila terkena sinar matahari,

karbol, dan panas api. Rumah yang tidak masuk sinar matahari

mempunyai risiko menderita tuberkulosis 3−7 kali dibandingkan dengan

rumah yang dimasuki sinar matahari.

c. Keadaan Jendela dan Ventilasi

Ruangan dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat

kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Salah satu fungsi

ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap

segar. Luas ventilasi rumah yang <10% dari luas lantai (tidak memenuhi

syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen

dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi

penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan

menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses

penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.

Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik

untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen seperti

M. tuberculosis. Fungsi kedua, ventilasi adalah untuk membebaskan

(40)

tuberculosis, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus menerus.

Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Selain itu, luas

ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan

terhalangngya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang

masuk ke dalam rumah, akibatnya basil TB Paru yang ada di dalam

rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara melalui

pernafasan.

d. Sosial Ekonomi

Kejadian TB Paru biasanya berkaitan dengan faktor sosial

ekonomi. Menurut WHO (2011), 90% penderita TB Paru di dunia

menyerang kelompok sosial ekonomi rendah (miskin). Kemiskinan

(sosial ekonomi rendah) merupakan keadaan yang mengarah pada

kondisi kerja yang buruk, perumahan yang terlalu padat, lingkungan yang

buruk serta malnutrisi (gizi buruk) karena kurangnya kemampuan untuk

memenuhi kebutuhan hidup. Keadaan ini menyebabkan menurunnya

daya tahan tubuh sehingga memudahkan terjadinya infeksi TB Paru.

Tingkat sosial ekonomi ditentukan oleh unsur-unsur seperti

pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Hal ini dapat memengaruhi

berbagai aspek kehidupan termasuk pemeliharaan kesehatan. Tingkat

sosial ekonomi terutama dari segi penghasilan sangat berpengaruh pada

pemenuhan kebutuhan hidup seseorang dan keluarga. Sebuah keluarga

dengan kondisi perekonomian baik tentunya dapat memenuhi segala

(41)

dengan ekonomi rendah harus selektif dalam pengeluaran karena pada

umumnya mereka lebih mementingkan kebutuhan hidup sehari-hari

sehingga hal-hal yang turut mendukung kesehatan sering kali diabaikan.

Hal ini yang memicu munculnya penyakit di masyarakat termasuk TB

Paru dan menjadi penghambat dalam penyembuhannya (Atmosukarto

dan Soewasti, 2000).

Untuk kepentingan kerangka analisis dalam penelitian ini dapat

dikatakan bahwa lingkungan rumah (faktor lingkungan) merupakan faktor yang

berperan besar dalam penyebaran TB Paru dan dapat menjadi faktor yang

(42)

2.11 Kerangka Berpikir

Analisis faktor yang memengaruhi kesembuhan penderita TB Paru di

Puskesmas Aras Kabu, Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang dalam

penelitian ini dapat ditujukan dalam gambar berikut ini:

v

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian

Dukungan

Petugas

Kesehatan Kepatuhan

Meminum

OAT

Peran

PMO Lingkungan

Rumah

Kesembuhan

Penderita

TB Paru

Dukungan

Gambar

Tabel 2.1. Panduan OAT Kategori 1
Tabel 2.3. Panduan OAT Kategori 3
Tabel 2.4. Panduan OAT Sisipan
Tabel 2.5. Efek Samping Ringan Dari OAT
+3

Referensi

Dokumen terkait

Aparatur pajak merupakan pihak yang memiliki posisi sangat penting dalam proses penerimaan pembayaran pajak karena dalam proses pembayaran tersebut aparatur pajak merupakan

di Sumatera Utara khususnya di Kabupaten Humbang Hasundutan, Samosir, Karo. dan

Dimulai dari keinginan untuk dapat memproduksi suatu rancangan produk tertentu, proses produksi membantu perusahaan untuk menemukan teknik-teknik pengerjaan maupun

Tabel 2. Dalam hal ini isi state bencana untuk prediksi Kabupaten Wonogiri ada tiga, yaitu Banjir, Banjir dan Tanah Longsor, Kebakaran Hutan dan Lahan,

Puji Tuhan saya panjatkan kehadirat Tuhan Yesus karena penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Dampak Implementasi Kurikulum 2013 Terhadap TIK

Saat keluarganya dari etnis Dayak yang datang dari desa Pak Kumbang datang ke rumahnya, dengan alasan hendak melindungi dia dan anak-anaknya, mak Endang menasehati mereka untuk

Pembelajaran Inovatif Berbasis Kerangka Kerja TPCK bagi Guru Kejuruan di SMK , diunduh dari :

Pada output fungsi indeks perbaikan diketahui bahwa masih terdapat indeks perbaikan dari sel non basis yang tidak memenuhi syarat persamaan 9 sehingga pada perhitungan