• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan derajat albuminuria dengan beratnya lesi arteri koroner pada pasein penyakit jantung koroner

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan derajat albuminuria dengan beratnya lesi arteri koroner pada pasein penyakit jantung koroner"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PENYAKIT JANTUNG KORONER

Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya proses degeneratif kronik pada pembuluh darah koroner yang sudah dimulai sejak masa anak-anak dan umumnya bermanifestasi pada usia dewasa menegah dan lanjut

Penyakit jantung koroner (PJK) ialah penyakit jantung yang terutama disebabkan penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya.2 Manifestasi klinik PJK yang klasik adalah angina apektoris, yaitu suatu sindroma klinis dimana didapatkan sakit dada yang timbul pada waktu melakukan aktivitas karena adanya iskemia miokard. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi > 70% penyempitan arteri koronaria. Angina pectoris dapat muncul sebagai angina pectoris stabil (APS, stableangina) dan keadaan ini biasa berkembang menjadi lebih berat dan menimbulkan Sindroma Koroner Akut (SKA) atau dikenal sebagai serangan jantung mendadak (heart attack) yang bisa menyebabkan kematian. Beberapa definisi yang penting pada PJK adalah:2,8,9

1. Angina Pektoris Stabil (APS) : sindrom klinik yang ditandai dengan rasa tidak enak di dada, rahang, bahu, pungggung ataupun lengan, yang biasanya dicetuskan oleh kerja fisik atau stres emosional dan keluhan ini dapat berkurang bila istirahat atau oleh obat nitrogliserin.

2. Angina Prinzmetal : nyeri dada disebabkan oleh spasme arteri koronaria, sering timbul pada waktu istirahat, tidak berkaitan dengan kegiatan jasmani dan kadang-kadang siklik (pada waktu yang sama tiap harinya). 3. Sindroma Koroner Akut (SKA) : sindrom klinik yang mempunyai dasar

(2)

menimbulkan ketidak seimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard. Yang termasuk dalam SKA adalah :

a. Angina pektoris tidak stabil (APTS, unstable angina) : ditandai dengan nyeri dada yang mendadak dan lebih berat, yang serangannya lebih lama (lebih dari 20 menit) dan lebih sering. Angina yang baru timbul (kurang dari satu bulan), angina yang timbul dalam satu bulan setelah serangan infark juga digolongkan dalam angina tak stabil. b. Infark miokard akut (IMA) : Nyeri angina pada infark jantung akut

umumnya lebih berat dan lebih lama (30 menit atau lebih). Walau demikian infark jantung dapat terjadi tanpa nyeri dada (20 sampai 25%). IMA bisa nonQ MI (NSTEMI) dan gelombang Q MI (STEMI).

Sindroma koroner akut (SKA) merupakan manifestasi klinik PJK yang paling utama dan paling sering menyebabkan kematian. Manifestasi klinis SKA antara lain dapat berupa angina pectoris tidak stabil (APTS), infark miokard akut (IMA) tanpa elevasi segmen ST (IMA non STE) serta IMA dengan segmen ST elevasi (IMA STE). SKA merupakan kasus gawat yang garus didiagnosis segera, disertai manajemen yang benar untuk menghindari morbiditas dan mortalitas. Dikarenakan angka mortalitas STA yang tinggi, beberapa modalitas yang berbeda telah digunakan untuk meningkatkan efektivitas identifikasi penyakit ini lebih cepat.

Aterosklerosis merupakan dasar penyebab utama terjadinya PJK. Aterosklerosis merupakan suatu proses multifaktorial denghan mekanisme yang saling terkait. Proses aterosklerosis awalnya ditandai dengan adanya kerusakan pada lapisan endotel, Pembentukan foam cell (sel busa) dan fatty streaks (kerak lemak), pembentukan fibrous plaque (lesi jaringan ikat) dan proses rupture plak yang dapat menyebabkan thrombosis.

(3)

saat ini tidak cukup sensitive untuk diagnosis SKA pada tahap awal, yang merupakan penyebab utama kematian. Dokter selalu mencari penanda yang cepat dan independen untuk diagnosis SKA secara dini dan akurat. Menjadi pertanyaan apakah tanda yang diperlukan ini harus baru dan mahal atau suatu penanda yang terabaikan yang dapat bertkontribusi terhadap pathogenesis tromboemboli.

2.1.2. Epidemiologi

Infark miokard akut merupakan istilah salah satu diagnosis rawat inap tersering dinegara maju. Data dari Grace (2001) didapatkan bahwa dari semua pasien yang dating ke rumah sakit dengan keluhan nyeri dada ternyata penyebab terbanyak adalah IMA-STE ( 34%), IMA non STE (31%) dan APTS (29%).16

Angka mortalitas dalam rawatan rumah sakit pada IMA-STE ialah 7% sedangkan IMA non STE adalah 4%, tetapi jangka panjang (4 tahun), angka kematian pasien IMA non STE ternyata 2 kali lebih tinggi dibanding pasien IMA-STE. 16

2.1.3. Faktor Risiko

Faktor risiko seseorang menderita PJK ditentukan melalui interaksi dua atau lebih faktor risiko. Faktor risiko PJK dibagi menjadi dua bagian besar yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain seperti: merokok, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes mellitus, stress, diet tinggi lemak, dan kurangnya aktivitas fisik. Faktor-faktor risiko ini masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain seperti : usia, jenis kelamin, suku/ras, dan riwayat penyakit keluarga.17

2.1.4. Patofisiologi

Aterosklerosis merupakan dasar penyebab utama terjadinya PJK.

(4)

saling terkait. Proses aterosklerosis awalnya ditandai dengan adanya kerusakan pada lapisan endotel, pembentukan foam cell ( sel busa) dan fatty streaks ( Kerak lemak ), pembentukan fibrous cap ( lesi jaringan ikat) dan proses rupture plak aterosklerotik yang tidak stabil. Inflamasi memainkan peranan penting dalam setiap tahapan aterosklerotik mulai dari perkembangan plak sampai terjadinya ruptur plak yang dapat meneyebabkan tombosis. Aterosklerotik dianggap sebagai suatu penyakit inflamasi sebab sel yang berperan seperti makrofag yang berasal dari monosit dan limfosit merupakan proses inflamasi.7

Patogenesis aterosklerosis (aterogenesis) dimulai ketika terjadi kerusakan (akibat berbagai faktor risiko dalam berbagai intensitas dan lama paparan yang berbeda) pada endotel arteri, sehingga menimbulkan disfungsi endotel. Kerusakan pada endotel akan memicu berbagai mekanisme yang menginduksi dan mempromosi lesi aterosklerotik. Disfungsi disfungsi endotel ini disebabkan oleh faktor-faktor risiko tradisional seperti dislipidemia, hipertensi, DM, obesitas dan merokok dan faktor-faktor risiko lain misalnya homosistein dan kelainan hemostatik.18

(5)

yang akan merangsang proliferasi dan migrasi sel-sel otot polos dari tunika media ke tunika intima dan penumpukan molekul matriks ekstraselular seperti elastin dan kolagen, yang mengakibatkan pembesaran plak dan berbentuk fibrous cap. Pada tahap ini proses aterosklerosis sudah sampai pada tahap lanjut dan disebut sebagai plak aterosklerotik. Pembentukan plak aterosklerotik akan menyebabkan penyempitan lumen arteri, akibatnya terjadi penurunan aliran darah. Trombosis sering terjadi setelah rupturnya plak aterosklerosis, terjadi pengaktifan platelet dan jalur koaligasi. Apabila plak pecah, robek atau terjadi pendarahan subendotel, mulailah proses trombogenik, yang menyumbat sebagian atau keseluruhan suatu arteri koroner. Pada saat inilah muncul berbagai presentasi klinik seperti angina atau infark miokard. Proses aterosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau progresif. Konsekuensi yang dapat menyebabkan kematian adalah proses ateroklerosis yang bersifat tidak stabil /progresif yang dikenal juga dengan sindroma koroner akut.18

Gambar 2.2. Patogenesis inflamasi pada aterosklerosis.

(6)

makrofag, limfosit T dan sel mast yang meningmkat.Trombosis akut yang terjadi pada plak yang mengalami rupture memegang peran penting dalam kejadian sindroma koroner akut. Setelah plak mengalami rupture, komponen trombogenik akan menstimulasi adhesi, agregasi dan aktivasi trombosit, pembentukan thrombin dan pembentukan trombus.19.20

Trombus yang terbentuk mengakibatkan oklusi atau suboklusi pembuluh koroner dengan manifestasi klinis angina pectoris tkidak stabil atau sindroma koroner lainnya. Bukti angiografi menunjukkan pembentukan trombus koroner pada >90% pasien IMA-STE, dan sekitar 35-75% pada pasien APTS dan IMA non STE.21

Trombus yang terbentuk mengakibatkan oklusi atau suboklusio pembuluh koroner dengan manifestasi klinis angina pectoris tidak stabil atau sindroma koroner lainnya. Bukti angiografi menunjukkan pembentukan trombus koroner pada > 90% pasien IMA-STE, dan sekitar 35-75 % pasien APTS dan IMA-STE.21

Pada APTS terjadi erosi atau fisur pada plak aterosklerosis yang relatif kecil menimbulkan oklusi trombus yang transien. Trombus biasanya labil dan menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung antara 10-20 menit. Pada IMA non STE kerusakan plak yang lebih berat dan menyebabkan oklusi trombus yang lebih presisten dan berlangsung lebih dari 1 jam. Pada sekitar 25% pasien IMA non STE terjadi oklusi trombus yang berlangsung >1jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural.19.21

(7)

terjadi pembentukan mata rantai pembentukan trombus. Vasokontriksi pembuluh darah koroner juga ikut berperan pada pathogenesis sindroma koroner akut.

Ini terjadi sebagai respons terhadap disrupsi plak khususnya trombus yang kaya platelet dari lesi itu sendiri. Endotel berfungsi mengatur tonus vaskuler dengan melepaskan faktor relaksasi yaitu nitrit oksida (NO) yang dikenal sebagai Endothelium derived relaxing factor (EDRF), prostasiklin dan faktor kontraksi seperti endothelin-1, thromboxan A2, dependent vasoconstriction yang diperantai serotonin dan thromboxan A2 sehingga menginduksi vasokontriksi pada daerah ruptur plak atau mikrosirkulasi.20

2.1.5. DIAGNOSIS PENYAKIT JANTUNG KORONER

Diagnosis penyakit jantung koroner ditegakkan berdasarkan adanya presentasi klinis nyeri dada yang khas, perubahan elektrokardiografi dan peningkatan enzim jantung. Nyeri dada khas angina biasanya berupa nyeri dada dengan rasa berat/ditindih/dihimpit di daerah retrosternal yang dapat menjalar ke lengan kiri, leher terasa tercekik atau terasa ngilu rahang bawah dimana nyeri biasanya berdurasi >20 menit dan berkurang dengan istirahat dan pemberian nitrat. Nyeri dada juga biasanya disertai gejala sistematik lain berupa mual, muntah, dan keringat dingin. Pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dapat dijumpai perubahan berupa depresi ST segmen atau T inverse, elevasi segmen ST, dimana pada awal masih dapat berupa hiperakut T yang kemudian berubah menjadi ST, dapat dijumpai LBBB baru yang juga merupakan tanda terjadinya infark gelombang Q. Marker yang biasa dipakai sebagai penanda adanya kerusakan miokard adalah enzyme CK (creatinin kinase) dan CK-MB (isoenzym CK ). Enzi mini akan meningkat setelah 4jam serangan.. Sehingga pada awal serangan nilainya masih dalam batas normal. Selain enzim tersebut, juga terdapat dinilai troponin T dan I yang biasannya meningkat 3-12 jam setelah infark.23

(8)

karena sustained release protein yang secara structural berikatan dengan myofibril yang mengalami desintegrasi, dengan kadar yang masih dapat dideteksi hingga 240 jam setelah IMA. Peningkatan yang lama dari Troponin T akan mengganggu diagnosis perluasan IMA atau adanya re-infark. Pemeriksaan kadar troponin T mempunyai sensitivitas sampai 100% terhadap kerusakan miokard dalam 4-6 jam setelah IMA. Spesifisitas Troponin T dalam diagnosis IMA tinggi, tetapi terdapat faktor yang dapat mengurangi spesifisitasnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Troponin T dilepas dari sel-sel miokard pada APTS, sehingga mengurangi spesifitas untuk diagnosis IMA. Hal lain yang dapat mengurangi spesifisitasnya adalah gen untuk Troponin T ditemukan pada otot skeletal selama pertumbuhan janin. Selama jejas otot dan regenerasinya, otot skeletal nampaknya kembali ke keadaan janin, yang melepas Troponin T dalam darah. Peningkatan kadar Troponin T ditemukan pada gagal ginjal kronik, kemungkinan disebabkan oleh myopati akibat gagal ginjal kronik.24

Dari penelitian yang dilakukan oleh Nawawi RA dkk, terhadap 90 penderita PJK yang diperiksa di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo pada bulan Maret sampai Juli 2014 didapatkan : kadar Troponin T terbanyak pada laki-laki berkadar 0,1 sampai 2,0 ng/ml, kelompok umur 60-69 tahun yang banyak menderita PJK, dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan, terdapat korelasi peningkatan kadar TroponinT dengan gambaran EKG pada penderita IMA, juga terdapat hubungan yang bermakna antara Troponin T terhadap CKMB dan LDH.

25

(9)

atau rasio R/S > 1 dan peningkatan enzim jantung. Diagnosis IMA-STE dapat ditegakkan apabila didapatkan adanya khas infark yang terjadi pada saat istirahat selama >20 menit, elevasi segmen ST baru pada J joint pada 2 lead yang

berdampingan dengan cut point ≥ 0,1 mV pada semua lead selain V2-V3 dimana

pada lead V2-V3 cut point ialah ≥ 0,2 mV pada pria atau ≥ 0,15 mV pada wanita dan peningkatan serial dari enzim jantung. 23,26

2.2.Troponin T

Troponin T adalah struktur protein serabut otot serat melintang yang merupakan subunit troponin yang penting, terdiri dari dua mikrofilamen. Yaitu filament tebal terdiri dari myosin, dan filament tipis terdiri dari aktin, tropomiosin dan troponin. Kompleks troponin yang terdiri atas : troponin T, troponin I, dan troponin C. Troponin T merupakan fragmen ikatan tropomiosin. Troponin T ditemukan di otot jantung dan otot skelet, kadar serum protein ini meningkat pada penderita IMA segera setelah 3 sampai 4 jam mulai serangan nyeri dada dan menetap sampai 1 sampai 2 minggu.

Terjadi iskemik miokard, maka membrane sel menjadi lebih permeable sehingga komponen intraseluler seperti troponin jantung merembes kedalam inerstitium dan ruang intravaskuler. Protein ini mempunyai ukuran molekul yang relative kecil dan terdapat dalam 2 bentuk. Sebagian besar dalam bentuk troponin komplek yang secara structural berikatan pada myofibril serta tipe sitosolik sekitar 6-8 % pada troponin T. 24

(10)

2.3 Angiografi Koroner

Angiografi merupakan suatu prosedur invasive yang paling sering dilakukan untuk melihat gambaran anatomi arteri koroner serta penyempitan lumen yang telah terjadi pada penderita PJK. Sering dilakukan untuk menilai luasnya stenosis dan dapat menggambarkan tingkat keparahan arteri koroner. Walaupun merupakan pemeriksaan gold standar, angiografi hanya memberikan informasi tentang keadaan lumen arteri dan tidak dapat memberikan secara langsung komposisi plak serta perubahan plak dalam dinding arteri. Inflamasi erat hubungannya dengan kejadian rupture plak dan thrombosis dibandimgkan dengan adanya atau beratnya ateroslerosis dari hasil angiografi, sehingga derajat stenosis arteri koroner tidak berikatan dengan resiko rupture. Derajat stennosis pada arteri koroner biasanya diukur dengan evaluasi visual dari presentasi pengurangan diameter relative terhadap segmen normal yang berdekatan.17.18

Angiografi dilakukan oleh kardiologis yang berpengalaman dalam melakukan angiografi. Agar tidak terjadi bias, penilaian hasil angiografi dilakukan oleh kardiologis yang sama dengan tidak mengetahui berapa ketebalan tunika intima media pasien. Keparahan arteri koroner dinilai dari hasil angiografi pasien, dievaluasi dan diklasifikasikan berdasarkan scoring yaitu Vessel score yang terdiri dari 0 – 3 grade berdasarkan banyaknya jumlah pembuluh darah koroner utama yang mengalami stenosis > 50 % yaitu : 17,18

- Grade 0 normal ada lesi stenosis < 70 %

- Grade I ( Vessel Disease )mengenai 1 pembuluh darah dengan stenosis ≥70%

- Grade II( Vessel Disease )mengenai 2 pembuluh darah dengan stenosis ≥70%

(11)

2.4. Mikroalbuminuria

2.4.1. Definisi.

Mikroalbuminuria merupakan suatu marker untuk proteinuria klinis yang disertai penurunan faal ginjal LFG ( laju filtrasi glomerulus ) dan penyakit kardiovaskular sistemik. Albuminuria tidak hanya resiko penyakit kardiovaskular dan ginjal, tetapi juga berguna sebagai target keberhasilan pengobatan.

Mikroalbuminuria berhubungan dengan peningkatan resiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan renal pada pasien diabetes dan hipertensi. Pada saat ini, diketahui bahwa mikroalbuminuria adalah gambaran dari proses menyeluruh dan merata dari kerusakan endotel glomelurus, retina dan tunika intima pembuluh darah besar.3 Mikroalbuminuria sebagai salah satu prediktor utama penyakit kardiovaskular pada individu non diabetes, telah dilaporkan pertama sekali pada Islington Diabetes survey, dimana pasien berusia di atas 40 tahun dengan mikroalbuminuria memiliki prevalensi penyakit jantung iskemik sebesar 73%.4 Pada penelitian MICRO-HOPE (Microalbuminuria, Cardiovascular, and Renal Outcomes in HOPE Study) mendapatkan adanya mikroalbuminuria menyebabkan dua kali resiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Begitu juga pada studi MONICA (Monitoring Trends and Determinant of Cardiovascular Disease) mendapatkan faktor resiko tradisional meningkat dua kali bila individu dengan mikroalbuminuria.5 Beberapa penelitian lain yang juga telah dilakukan menunjukkan bahwa mikroalbuminuria secara independen memiliki hubungan terhadap semua penyebab kematian dan morbiditas kardiovaskular pada pasien-pasien diabetes melitus.6,7

(12)

hipertensi dan setinggi 28% pada penderita diabetes.20 Prevalensi ini lebih tinggi di kalangan Hispanik dan Afrika Amerika dibandingkan dengan non-Hispanik. Studi observasi dalam populasi umum telah menunjukkan peningkatan risiko kematian total dan kardiovaskular. Pada pasiendiabetes tipe 1 dan tipe 2, mikroalbuminuria dikaitkan dengan peningkatan mortalitas kardiovaskular dan semua penyebab kematian dan penyakit jantung iskemik.21-23 Selain itu, mikroalbuminuria secara independen terkait dengan bukti angiografi penyakit arteri koroner.24 Sebagian penelitian menunjukkan bahwa mikroalbuminuria persisten menyebabkan kenaikan dua kali lipat resiko kematian kardiovaskular.

25-32

2.4.2. Mikroalbuminuria dan PJK

Mikroalbuminuria dihubungkan dengan resiko penyakit kardiovaskular adalah karena adanya disfungsi endotel yang luas. Mikroalbuminuria secara spesifik berhubungan dengan kegagalan sintesis nitrit oksid pada individu- individu dengan atau tanpa diabetes mellitus tipe II. World Health Organization ( WHO) membagi komplikasi organ sasaran menjadi tiga stadium. Stadium pertama belum didapatkan kelainan organ sasaran, stadium kedua didapatkan pada jantung adanya hipertrofi ventrikel kiri dan stadium ketiga bila didapatkan penyakit jantung koroner. 15,16

Hipertrofi ventrikel kiri ( HVK) merupaka faktor faktor resiko yang kuat terhadap berbagai komplikasi penyakit kardiovaskuler yang meliputi angina pectoris, infark miokardium, stroke, gagal jantung kongestif, dan kematian mendadak ( sudden death ) dimana gagal jantung dan sudden death dapat disebabkan oleh kedua kelainan tersebut.49,50

Diantara HVK dan iskemia miokardium terdapat hubungan yang erat. HVK dapat menyebabkan iskemia miokardium karena :

(13)

3. Pengurangan cadangan koroner

4. Peninggian tahanan pembuluh darah koroner.

Gambar

Gambar 2.2. Patogenesis inflamasi pada aterosklerosis.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

pengurusan surat domisili serta informasi lainnya di Kantor Kelurahan Bagan Deli. Belawan kepada masyarakat

Dengan membandingkan banyak benda dari dua kumpulan objek yang banyaknya 41 sampai 99, siswa dapat menentukan bilangan lebih dari, kurang dari, dengan benar.. Dengan menggunakan

Untuk mendukung kegiatan tersebut, maka dibangunlah suatu sistem informasi kelurahan bagan deli kecamatan medan belawan berbasis web.. Sistem ini di bangun menggunakan

In this category, four questions have been made ( Opportunity assessment results, Employee involvement in performance appraisal process, Effect assessment of the implementation

Sari (Dimsum Putri Resto Banjarmasin) belum cukup baik dikarenakan fasilitas ruang kerja dan peralatan penunjang yang belum memadai, hubungan dengan pimpinan dan

Penulisan ini membahas tentang implementasi tugas dan fungsi komisi pemberantasan korupsi (KPK) sebagai komisi negara independen ( independent agencies ) dalam

Hasil yang ingin dicapai terhadap rancangan tampilan berbasiskan multimedia ini agar dapat membantu semua pihak yang berkepentingan dengan ITC Kuningan, baik itu pihak