• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN)"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN DAN TANGGUNG JAWAB SUAMI TERHADAP NAFKAH ANAK SERTA ISTRI PASCA PERCERAIAN BAGI WARGA NEGARA

INDONESIA YANG NON MUSLIM

A. Perkawinan Di Indonesia

1. Pengertian Perkawinan

Keberadaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah membawa Indonesia ke arah pembaharuan hukum.49 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan keberadaannya telah menghapus hukum kolonial dan sekaligus implementasi dari Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hukum kolonial yang dihapus dengan keberadaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu :50

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) secara khusus buku I Tentang Orang,

b. Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen IndonesiersS. 1933 No. 74),

c. Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemengde Huwelijke S. 1898 No. 158),

d. Dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.

49Ermansjah Djaja menyebutkan pembaharuan hukum dengan kata Pembaru hukum adalah seperti 2 (dua) sisi mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan dan saling mendukung, sisi yang satu ialah fungsi pembaru hukum bagi hukum-hukum positif yang sudah kadaluarsa atau yang sudah ketinggalan zaman yang memerlukan pembaruan dengan disesuaikan pada situasi dan kondisi perkembangan dan kemajuan masyarakat pada waktu itu, sedangkan sisi satu lagi adalah fungsi pembaru hukum dengan membentuk hukum-hukum positif yang baru yang disebabkan oleh aspek-aspek pembaruan hukum. Ermansjah Djaja,Penyelesaian Sengketa Hukum Teknologi Informasi Dan Transaksi Elektrik : Kajian Yuridis Penyelesaian Secara Non Litigasi Melalui Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Yogyakarta: Pustaka Timur, 2010), hal. 2

(2)

Keberadaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakan implementasi dari Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berbunyi :

”Segala peraturan perundang-undangan yang masih ada tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

Artinya, peraturan perundang-undangn yang telah ada sejak zaman kolonial tetap berlaku selama belum diterbitkan/diadakan yang baru dimana keberlakuan undang-undang zaman kolonial didasari oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum atau ketidakpastian hukum.51 Dengan terbitnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maka berdasarkan aturan peralihan di atas hukum kolonial dinyatakan tidak berlaku lagi sehingga dapat dikatakan dibidang perkawinan Indonesia telah memiliki aturan hukum sendiri.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan pengertian perkawinan yang termuat dalam Pasal 1, berbunyi :52

51

Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai Dengan Urutan Bab, Pasal, Dan Ayat, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2010), hal. 132. Keberadaan sebuah aturan atau hukum harus memiliki 3 (tiga) nilai dasar seperti yang dinyatakan oleh Gustav Radbruch, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Saiful Anwar & Marzuki Lubis, Op.Cit, hal. 7. Tidak hanya sebatas pada keadilan, kemanfaatan dan kepastian saja keberadaan sebuah peraturan perundang-undangan juga harus melihat tindakan penguasa dimana tindakan yang dimaksud ialah tindak untuk menyelamatkan negara/bangsa dari ancaman bahaya yang disebut salus populisupreme lex atau kepentingan rakyat merupakan hukum yang tertinggi. Saiful Anwar,Sendi-Sendi Hukum Tata Negara (Era Reformasi), (Medan: Gelora Madani Press, 2004), hal. 39-40

52

(3)

”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pengertian di atas yang tercantum dalam undang-undang merupakan rumusan yang wajib dirujuk dalam setiap pembahasan mengenai perkawinan terutama dari segi hukum. Namun, keberadaan pengertian di atas juga harus didukung atau dilihat pendapat-pendapat ahli mengenai pengertian perkawinan secara khusus ahli hukum agar lebih jelas pengggambaran mengenai perkawinan jika dilihat dari segi pengertian atau arti.

Berikut beberapa pengertian perkawinan menurut para ahli, yaitu :

a. Anwar Harjono menyebut perkawinan dengan menggunakan istilah pernikahan dan mengatakan, ”pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan Perempuan untuk membentuk keluarga bahagia”.53 b. Wirjono Prodjodikoro mengatakan, ”perkawinan adalah hidup bersama dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan”.54

c. K. Wantjik Saleh mengatakan, ”perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan materiil, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu seharusnyalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas pertama dalam Pancasila”.55

tersebut tercantum didalam Pasal 26 KUH Perdata, berbunyi : ”Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”.

53R. Abdul Djamali,

Hukum Islam, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 47

(4)

d. Hilman Hadikusuma mengatakan, ”perkawinan adalah perbuatan suci, yaitu suatu perikatan jasmani dan rohani antara 2 (dua) pihak dalam memenuhi perintah Tuhan Yang Maha Esa yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai dan tidak dibenarkan terjadinya perkawinan beda agama agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta bertetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing”.56

e. Mardani mengatakan, ”perkawinan atau nikah adalah akad yang membolehkan terjadinya istimta’(melakukan perbuatan yang menyenangkan) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan”.57

f. Saidus Syahar mengatakan, ”perkawinan adalah suatu perbuatan hukum dimana setiap perbuatan hukum yang sah ialah yang menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak (suam-istri) dan atau juga bagi pihak lain/ketiga dengan siapa salah satu pihak atau kedua-duanya-suami istri mengadakan hubungan hukum tertentu”.58

g. Pengertian perkawinan pada bagian ini dirujuk berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang juga dikenal sebagai pelaksana Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dimana aturan tersebut berlaku untuk warga negara Indonesia yang beragama Islam, ”Perkawinan menurut agama Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah”.59

56Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat

Dan Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hal. 10

57Mardani,Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hal. 4

58Saidus Syahar,Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya (Ditinjau dari

Segi Hukum Islam),(Bandung: Alumni, 1981), hal. 18 59

(5)

Berdasarkan uraian di atas maka pengertian perkawinan adalah ikatan yang sangat kuat baik lahir maupun batin antara pria dan wanita dimana tujuan hubungan tersebut untuk memperoleh kebahagian dunia maupun akhirat sebagai suami isteri dan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta agama yang dianut oleh masing-masing pihak (sama). Artinya, pelaksanaan perkawinan yang akan dilaksanakan oleh pria dengan wanita harus juga dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dimana agama antara calon mempelai laki-laki dan wanita harus memiliki agama yang sama. Dengan demikian, dapat dikatakan perkawinan yang dilakukan antara agama yang berbeda tidak dapat dilaksanakan karena tidak satupun agama yang ada di Indonesia yang mengizinkan perkawinan beda agama.

Merujuk pada pengertian yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maka unsur-unsur yang tercantum didalamnya, yaitu :

a. Ikatan lahir batin,

b. Antara seorang pria dengan seorang wanita, c. Sebagai suami isteri,

(6)

d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Unsur-unsur yang termuat dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak jauh berbeda dengan pengertian perkawinan yang diuraikan pada alinea sebelumnya di atas. Hal itu dapat dilihat sebagai berikut :

a. Ikatan lahir batin, didalam pengertian di atas diungkapkan dengan kalimat ikatan yang sangat kuat baik lahir maupun batin.

b. Antara seorang pria dengan seorang wanita sama dengan pria dan wanita. c. Sebagai suami isteri sama dengan suami isteri.

d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal sama dengan memperoleh kebahagian dunia maupun akhirat.

e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sama dengan agama yang dianut oleh masing-masing pihak (sama).

f. Perbedaannya terletak pada bagian terakhir yakni berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dimana didalam pengertian menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak tercantum.

2. Pengaturan Perkawinan Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ialah pada tanggal diundangkan, yakni tanggal 2 Januari 197460 menjadikan perkawinan

(7)

mutlak mengacu pada undang-undang tersebut sedangkan undang-undang yang pernah berlaku sampai sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pengaturan terhadap perkawinan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 terdiri atas beberapa bab, yaitu :

a. Bab I Dasar Perkawinan

b. Bab II Syarat-Syarat Perkawinan c. Bab III Pecegahan Perkawinan d. Bab IV Batalnya Perkawinan e. Bab V Perjanjian Perkawinan

f. Bab VI Hak Dan Kewajiban Suami Istri g. Bab VII Harta Benda Dalam Perkawinan h. Bab VIII Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya i. Bab IX Kedudukan Anak

j. Bab X Hak Dan Kewajiban Antara Orang Tua Dan Anak k. Bab XI Perwalian

l. Bab XII Ketentuan-Ketentuan Lain m. Bab XIII Ketentuan Peralihan n. Bab XIV Ketentuan Penutup

(1) Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya yang pelaksaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(8)

Bab-bab yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menggambarkan secara jelas proses berlangsungnya perkawinan di Indonesia.

Perkawinan di Indonesia dalam proses pelaksanaanya harus dilakukan dengan ketentutan agama atau kepercayaan masing-masing dari calon mempelai dimana setelah proses secara agama selesai maka perkawinan tersebut harus dicatatkan oleh pejabat yang berwenang.61 Ikatan yang telah terjalin tersebut atau perkawinan di Indonesia memberi hak kepada seorang pria hanya memiliki seorang wanita sebagai istri begitu juga sebaliknya seorang wanita hanya dapat memiliki seorang pria sebagai suaminya.62 Namun, terkait dengan hal tersebut seorang pria tidak menutup kemungkinan untuk memiliki istri lebih dari 1 (satu) dengan beberapa syarat, yaitu :63

61

Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi : (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa hukum yang keadaannya secara kuat dapat dibuktikan melalui surat dalam hal ini pencatatan, sehingga jika terjadi suatu sengketa dalam perkawinan atau permasalahan yang muncul dari perkawinan maka dengan adanya surat peristiwa hukum, yakni perkawinan dapat lebih mudah dibuktikan dan petugas pencatatan ialah pegawai pencatatan sipil atau pegawai kantor urusan agama. Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal. 147-151

62

Sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi : (1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang

wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

63 Sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :

Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat, sebagai berikut :

a. adanya perjanjian dari istri/istri-istri,

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri dan anak-anak mereka,

(9)

a. Adanya persetujuan atau perjanjian dari istri sebelumnya,

b. Adanya jaminan kemampuan dari suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak (termasuk dalam hal ini kepentingan jasmani dan rohani),

c. Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap anak dan istri-istrinya. Persyaratan di atas muncul dari beberapa sebab, yaitu :64

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya,

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Konsep seorang pria dapat memperoleh istri lebih dari satu di atas harus melalui penetapan pengadilan baik pengadilan agama maupun pengadilan negeri yang berwenang mengadili.65 Dengan adanya uraian di atas mengenai seorang pria hanya bisa memiliki seorang istri dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ditambah seorang pria ternyata dapat memiliki istri lebih dari 1 (satu) ialah melalui penetapan pengadilan, maka keadaan demikian disebut dengan monogami tidak mutlak.

Selanjutnya jika seorang pria atau wanita belum pernah menikah atau pernah menikah harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :66

64 Sesuai dengan dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :

Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :

a. istri tidak dapat menjalan kewajibannya sebagai istri,

b. istri mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, c. istri tidak dapat melahirkan keturunan

65Hukum acara perdata terdapat dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal. 5-6. Salah satu kewenangan pengadilan negeri ialah menangani perkara perdata dimana terkait perkawinan untuk warga negara Indonesia yang non Islam sedangkan pengadilan agama islam untuk warga negara Indonesia yang beragama Islam. C.S.T. Kansil,Op.Cit, hal. 337-340 & 343-344

(10)

a. Perkawinan dapat dilaksanakan atau didasarkan karena persetujuan antara kedua calon mempelai, artinya pernikahan yang hendak dilakukan tidak boleh didasari adanya paksaan atau intervensi oleh pihak manapun baik dari keluarga calon mempelai pria dan keluarga calon mempelai wanita.67

b. Perkawinan yang hendak dilakukan apabila belum mencapai usia 21 (dua puluh satu tahun) maka harus mendapat izin dari kedua orang tua. Terkait usia seseorang boleh kawin minimal harus berusia minimal 19 (sembilan belas) tahun untuk pria sedangkan untuk wanita berusia minimal 16 (enam belas) tahun. Terkait perkawinan yang tidak mematuhi usia minimal di atas wajib meminta dispensasi atau permohonan dari pengadilan yang berwenang baik pengadilan negeri atau agama.68

c. Tidak ada larangan bagi kedua belah calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan, dimana bentuk larangan berupa :

a. Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang, yaitu untuk seorang lelaki 18 tahun dan untuk seorang perempuan 15 tahun,

b. harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak,

c. tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua pihak,

d. untuk pihak yang masih dibawah umur, harus ada izin dari orang tua atau walinya.

Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1989), hal. 23. selanjutnya mengenai syarat-syarat perkawinan yang terdapat didalam Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam tidak jauh berbeda dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, misalnya usia perkawinan dalam KHI yang pria minimal 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enam belas) tahun. Pengaturannya terdapat dalam Pasal 15-Pasal 18 No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Dalam literatur lain syarat-syarat di atas dibagi menjadi beberapa jenis, yakni syarat-syarat materil yang berlaku umum, syarat materil yang berlaku khusus dan syarat formil. Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), hal. 9

67

(11)

1) Perkawinan sedarah dalam garis keturunan lurus kebawah atau pun ke atas, serta garis keturunan menyamping, yaitu saudara antara dengan saudara orang tua san seorang dengan saudara neneknya,

2) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri,

3) Berhubungan susunan, yaitu orang tua susunan, anak susunan, saudara susunan dan bibi/paman susunan,

4) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang,

5) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin,69

6) Seorang yang masing terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali untuk pria mampu memenuhi syarat yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dibolehkan kawin lagi sesuai aturan tersebut,70

7) Apabila suami dan istri telah cerai kawin lagi untuk yang kedua kalinya maka diantara mereka tidak boleh dialngsungkan perkawinan lagi sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain,71

69Poin 1-5 sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 70Sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(12)

8) Sorang wanita yang putus perkawinannya dapat kawin lagi apabila telah melewati masa waktu tunggu.72

Terpenuhinya syarat di atas maka proses perkawinan sebelum dilaksanakan sesuai dengan agama atau kepercayaan masing-masing calon mempelai maka harus dilakukan pelaporan kepada pegawai pencatat perkawinan di tempat perkawinan akan dilangsungkan baik secara lisan maupun tulisan.73 Setelah laporan diterima oleh pegawai pencatat perkawinan maka akan dilakukan pemeriksaan terkait syarat-syarat boleh dilangsungkannya perkawinan atau tidak. Apabila syarat telah cukup menurut pegawai pencatatan perkawinan proses selanjutnya melakukan pengumuman. Pengumuman memuat : nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama istri dan atau suami mereka terdahulu, hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.74 Terakhir perkawinan dapat dilaksanakan setelah hari ke-10 (sepuluh) sejak pengumuman kehendak perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan.75

Berdasarkan uraian di atas maka syarat-syarat seseorang boleh melangsungkan perkawinan disebut syarat materil atau subjektif karena melekat pada

72Sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

73 Sesuai dengan Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

74

Sesuai dengan Pasal 5 dan Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(13)

masing-masing calon mempelai sedangkan prosedur melangsungkan perkawinan sesuai agama dan kepecayaan masing-masing disebut syarat formal atau objektif.76

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak hanya memuat uraian perkawinan antara sesama warga negara Indonesia akan tetapi ada juga perkawinan warga negara Indonesia dengan warga negara lain. Keadaan demikian disebut perkawinan campuran. Perkawinan campuran adalah perkawinan antara 2 (dua) orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewrganegaraan dan salah satu pihak merupakan kewarganegaraan asing dan pihak lain berkewarganegaraan Indonesia.77

Selanjutnya pihak-pihak atau orang-orang yang kawin dengan warga negara asing atau melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan suami atau istrinya dan dapat juga kehilangan kewarganegaraannya. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 58 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, berbunyi :

a. Pasal 58 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

“Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku”.

76 Abdulkadir Muhammad,

Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 76

(14)

b. Pasal 26 Undang-Undang No 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia

“(1) Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.

(2) Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut”.

Terdapat konsekuensi terkait perkawinan campuran, yakni salah satunya anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Hal ini akan meyebabkan anak tersebut akan memiliki kewarganegaraan ganda sehingga saat berusia 18 (delapan belas) tahun harus memilih kewarganegaraannya. Hal tersebut didasari oleh Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, berbunyi :

“Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya”.

3. Perceraian Sebagai Alasan Putusnya Perkawinan

(15)

perkawinan dan lain sebagainya. Diantara konflik perkawinan tersebut yang paling menarik ialah putusnya perkawinan yang diakibatkan perceraian.78

Undang-undang tidak disebutkan secara jelas mengenai arti dari perceraian.79 Perceraian yang tercantum dalam undang-undang lebih kepada proses terjadinya perceraian atau tata perceraian, misalnya Pasal 14-36 Bab V Tata Cara Perceraian Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Uraian di atas membawa arah kepada perlunya dipaparkan pengertian perceraian dari para ahli. Berikut beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian perceraian, yaitu :

a. I ketut Oka Setiawan mengatakan, ”perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan dari salah satu pihak dalam perkawinan. Tata cara mengajukan gugatan cerai beserta alasannya diatur dalam PP No. 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan”.80

b. R. Soetojo Prawiroharmidjojo dan Aziz Saefuddin mengatakan, ”perceraian berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja dan tempat tidur yang didalamnya tidak terdapat perselisihan bahkan ada kehendak baik dari suami maupun dari istri untuk pemutusan perkawinan. Perceraian selalu berdasar pada perselisihan antara suami dan istri”.81

78Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Pasal 38 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

79

Idealnya sebuah peraturan perundang-undangan memuat ketentuan umum yang jelas. Pada kenyataannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memuat ketentuan umum yang jelas. Seharusnya ketentuan umum memuat : batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan dan hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal-pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan. Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan : Proses Dan Teknik Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hal.122

80 I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perdata Mengenai Orang Dan Kebendaan, (Jakarta: FH Utama, 2011), hal. 77-78

(16)

c. P.N.H. Simanjuntak mengatakan, ”perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan”.82

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas maka pengertian perceraian adalah situasi dimana berakhirnya hubungan perkawinan yang dilakukan melalui proses penyelesaian sengketa cerai di peradilan dan setelah keluar putusan maka berakhirlah perkawinan dan khusus untuk yang beragama Islam harus juga dilakukan ikrar cerai.83

Pengajuan perceraian sebagai alasan putusan perkawinan harus didasari oleh beberpa alasan, yaitu : :84

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan,

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selam 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya,

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung,

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayajan pihak yang lain,

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri,

f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Alumni, 1986), hal. 109

82P.N.H.Simanjuntak,Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Pustaka Djambatan, 2007), hal. 53

83 Didalam hukum acara perdata dikenal 2 (dua) jenis sengketa, yakni gugatan permohonan/voluntair atau gugat dengan permohonan dan gugatan contentiosa atau gugat sengketa yang terdiri dari para pihak. Dalam hal ini perkara perceraian ada tergugat dan penggugat maka termasuk dalam gugatan contentiosa. Nurhayati Harahap, Hukum Acara Perdata Kontemporer Di Indonesia, (Medan: Gelora Madani Press, 2009), hal. 45-46

(17)

Kedelapan alasan di atas dalam pengajuannya kepengadilan bersifat relatif tidak komulatif. Artinya, salah satu syarat saja yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan tidak harus sampai kepada harus terjadi seluruh peristiwa yang tercantum dalam undang-undang. Terlibatnya proses persidangan dalam peristiwa perceraian bertujuan untuk menghindari tindakan sewenang-wenang, terutama dari pihak suami dan juga untuk kepastian hukum sehingga perceraian harus melalui lembaga peradilan.85

Perceraian yang terjadi antara suami dan istri akan menimbulkan beberapa akibat, yaitu :

a. Akibat terhadap suami dan istri, yaitu :

1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak,

2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut,

3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.86

85Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati,

Hukum Perkawinan Indonesia, (Palembang: PT. Rambang Palembang, 2006), hal. 110-111

(18)

b. Akibat terhadap harta kekayaan ialah harta bawaan masing-masing tetap dikuasai dan menjadi haknya masing-masing, sedangkan harta bersama diatur menurut hukum masing-masing agama/ kepercayaannya.87

c. Akibat terhadap status para pihak, yaitu :88 Status para pihak :

1) Kedua belah pihak tidak lagi terikat dalam tali perkawinan dengan status duda dan janda;

2) Keduanya boleh melakukan perkawinan dengan pihak lain (khusus untuk istri berlaku waktu tunggu);

3) Kedua mereka itu boleh melakukan perkawinan kembali sepanjang tidak dilarang oleh undang-undang atau agama mereka.

Hakikat pengaturan mengenai perceraian dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menurut A. Mohammad pada dasarnya mempersulit untuk terjadinya perceraian dimana pendapat tersebut didasar oleh beberapa alasan, yaitu :89

a. Perkawinan mempunyai tujuan suci dan mulia, sedangkan perceraian adalah perbuatan yang dibenci oleh Tuhan;

b. Untuk membatasi kesewenang-wenangan suami terhadap istri; dan

c. Untuk meningkatkan derajat dan martabat istri sehingga setara dengan derajat dan martabat suami.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mempersulit perceraian jelas tidak menciderai tujuan perkawinan. Tujuan perkawinan ialah untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan

87Pasal 35-37 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 88I Ketut Oka Setiawan,Op.Cit, hal. 81

(19)

Ketuhanan Yang Maha Esa.90 Artinya, berumah tangga merupakan perwujudan kebahagian suami istri, untuk mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan, dalam kesatuan keluarga yang bersifat pariental serta bagian dari peristiwa agama dan dilakukanuntuk memenuhi perintah agama.91

B. Tanggung Jawab Suami Pasca Perceraian Terhadap Nafkah Kepada Anak Dan Istri Bagi Warga Negara Indonesia Yang Non Muslim

1. Pengertian Tanggung Jawab

Tanggung jawab merupakan kata yang memiliki cukup banyak arti. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya atau menerima pembebanan sebagai akibat pihak sendiri atau pihak lainnya.92

Secara garis besar perlu dipahami bahwa tanggung jawab sangat berkaitan erat juga dengan kemampuan, artinya seseorang itu harus mampu bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan hukum yang dilakukannya. Seorang yang non muslim jika

90Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

91 Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hal. 11 dan Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hal. 9

92

(20)

dilihat kecakapannya dalam bertanggung jawab akan berpedoman berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yakni :

a. Seseorang yang telah genap berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan telah kawin (Pasal 330 ayat (1) KUH Perdata),

b. Seseorang yang tidak dibawah pengampuan (433 KUH Perdata).

Hukum perdata mengenal 2 (dua) prinsip tanggung jawab, yakni tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault) dan tanggung jawab mutlak (strict liability).

a. Tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault)

Tanggung jawab (liability) atas dasar kesalahan (liability based on fault) merupakan prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan hukum perdata dimana dalam hukum perdata atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) prinsip ini dipegang teguh dan termuat dalam Pasal 1365, 1366 dan 1367.93 Perlu dipahami bahwa kesalahan yang dimaksud ialah kesalahan yang bertentangan dengan hukum. Hukum disini harus dipandang tidak hanya dalam ruang lingkup undang-undang saja akan tetapi termasuk dalam kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.94

Rincian tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault) yang terdapat dalam KUH Perdata, sebagai berikut :95

93Shidarta,Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000), hal. 59-61 94

Celina Tri Kristiyanti,Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 93 95

(21)

1) Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

2) Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata.

3) Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas sebgaimana yang diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata.

b. Tanggung jawab mutlak (strict liability)

Tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan atau ada pula pendapat yang membedakan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability).96 Pendapat yang membedakan kedua istilah tersebut mengatakan tanggung jawab mutlak (strict liability) merupakan prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan akan tetapi ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan bebas dari tanggung jawab misalnya keadaan force majeur, sedangkan tanggung jawab absolut (absolute liability) merupakan tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.97

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa konsep tanggung jawab secara khusus secara hukum merupakan kemampuan seorang subjek hukum untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan atau melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada subjek hukum baik dalam undang-undang maupun dalam masyarakat.98

96Shidarta,

Op.Cit, hal. 62-63

97Celina Tri Kristiyanti,Op.Cit, hal. 96.

98Didalam Hukum secara umum terdapat beberapa prinsip tanggung jawab, yaitu : a. Kesalahan (liability based on fault),

b. Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability),

c. Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability), d. Tanggung jawab mutlak (strict liability)

(22)

2. Pengaturan Dan Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Anak Dan Istri Pasca Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia Non Muslim

Konsep tanggung jawab secara singkat telah diuraikan di atas, dimana tanggung jawab merupakan kemampuan seorang subjek hukum untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan atau melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada subjek hukum baik dalam undang-undang maupun dalam masyarakat. Terkait dengan tanggung jawab seorang suami terhadap anak dan istri di Indonesia harus diawali oleh ikatan perkawinan. Perkawinan merupakan hubungan hukum yang melahirkan akibat terhadap subjek hukum yang terikat didalamnya. Artinya, seorang pria menjadi suami atau kepala rumah tangga sedangkan wanita menjadi seorang istri yang mendampingi seorang suami dalam suka maupun duka.

Perkawinan yang telah mengikat seorang pria dan wanita menjadi suami istri memiliki hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan atau dihormati oleh masing-masing pihak. Hak dan kewajiban suami istri yang tertuang dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan99, yaitu :

(23)

a. Suami dan istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga. Artinya, rumah tangga yang dibentuk oleh pria dan wanita harus mampu menunjukkan hubungan yang harmonis dan tentram sehingga keadaan perkawinan tersebut dapat menunjukkan cerminan dari sebuah masyarakat yang baik.100

b. Hak dan kedudukan suami dan istri seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Artinya, suami yang berposisi sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga pengakuannya didalam hukum maupun masyarakat sama atau seimbang. Misalnya seorang suami bertugas menafkahi keluarganya dan tidak menutup kemungkinan istri juga dapat membantu keuangan keluarga dengan bekerja atau dari sisi hukum seorang wanita yang telah menjadi istri tidak lantas hilang haknya untuk ikut serta dalam pemilihan umum demikian juga seorang pria dengan menjadi suami tidak lantas kehilangan haknya dalam pemilihan umum.101

c. Suami dan istri harus mempunyai tempat tinggal yang sama dimana hal ini harus dimusyawarahkan bersama tidak boleh salah satu pihak saja yang membuat keputusan. Misalnya pasangan yang baru melangsungkan perkawinan ternyata setelah itu mereka diminta oleh orang tua istri untuk

dalam hal-hal yang tidak maksiat, istri menjaga dirinya sendiri dan harta suami, menjauhkan diri dari sesuatu yang dapat menyusahkan suaminya dan lain sebagainya. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, (Bandung: Al-Ma’arif, 1978), hal. 51-52 & 117

(24)

tinggal dirumah mereka sementara waktu, disini istri tidak boleh langsung mensetujui permintaan orang tuanya akan tetapi harus melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan suaminya sehingga permasalahan terkait adanya pengambilan keputusan sepihak dari istri yang akan menimbulkan prasangka buruk dari suami dapat dihindari.102

d. Suami dan istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin kepada yang lain. Artinya, konsep keseimbangan memang harus benar-benar dijunjung tinggi disini, yakni suami yang memiliki posisi sebagai kepala rumah tangga harus juga menghormati istrinya sebagai ibu rumah tangga tidak boleh sewenang-wenang terhadapnya bahkan jika diperlukan perwujadan saling menghormati tersebut seorang suami juga tidak enggan untuk membantu istri dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga atau saling menjaga antara keduanya, jika istri sedang sakit maka tidak salah jika suami harus begadang demi merawat istrinya demikian sebaliknya dan lain sebagainya. Intinya ialah kehidupan rumah tangga merupakan hubungan yang diikat perkawinan dimana dalam proses kesehariaannya harus saling melengkapi satu sama lain.103

e. Suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga harus menjalankan tugas pokoknya dengan baik dan benar. Artinya seorang suami harus mencukupi kehidupan rumah tangganya dengan kemampuan yang dimilikinya dan istri

(25)

harus benar-benar mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya sehingga celah untuk terjadinya sengketa yang berujung pada perceraian dapat dihindari.104

f. Suami dan istri memiliki kedudukan yang sama dalam harta benda yang mereka miliki. Artinya, setiap harta benda yang diperoleh salam masa perkawinan merupakan milik bersama termasuk harta bawaan masing-masing pihak kecuali sebelum perkawinan berlangsung telah diperjanjikan lain.105 g. Suami dan istri yang dalam kehidupan rumah tangganya memiliki anak wajib

memelihara dan mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya dimana kewajiban tersebut berlaku sampai anak kawin atau mampu berdiri sendiri bahkan jika kekuasaan orang tua dicabut kewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tetap harus dilakukan.106

Pelaksanaan hak dan kewajiban suami dan istri di atas jika dilaksanakan maka kehidupan rumah tangga akan berjalan baik. Namun, dalam pelaksanaannya kehidupan rumah tangga tidak hanya berjalan dengan mulus saja tentu ada perselisihan. Perselisihan yang terjadi dirumah tangga pun beraneka ragam diantaranya salah satu pihak tidak memberi nafkah baik lahir maupun bantin, salah satu pihak berzina, salah satu pihak tidak mencintai istri atau suaminya lagi sehingga keadaan rumah tangga direkayasa sedemikian rupa menjadi tidak harmonis dan lain sebagainya yang mana jika keadaan demikian tidak teratasi akan berujung pada

(26)

gugatan perceraian di pengadilan negeri untuk yang beragama non muslim sedangkan gugatan perceraian untuk muslim diajukan ke pengadilan agama.

Terjadinya perceraian antara suami dan istri tentu tidak langsung memutuskan hubungan mereka terkait dengan hal-hal tertentu, misalnya terkait dengan masalah anak dan lain sebagainya. Perceraian yang terjadi didalam sebuah rumah tangga masih menyisakan akibat hukum, yakni salah satunya ialah terkait dengan nafkah.107 Sebelum terjadi perceraian nafkah merupakan kewajiban mutlak dari seorang suami sebagai kepala keluarga dimana hal ini sesuai dengan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :

”Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”.

Penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan hanya menyatakan cukup jelas. Namun dalam pasal tersebut terdapat kalimat ”memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga” harus atau dapat ditafsirkan sebagai nafkah dari seorang suami kepada istri baik berupa uang belanja, makanan, pakaian dan lain sebagainya.108

107Selain nafkah mengenai harta merupakan salah satu bagian yang harus segera diselesaikan dalam permasalahan perceraian. Harta bawaan dan hadiah atau warisan dari masing-masing pihak baik suami atau istri menjadi milik mereka masing-masing berbeda dengan harta harta bersama yang dimiliki semasa perkawinan maka harus dilakukan pembagian kepada kedua belah pihak. Secara hukum masing-masing. kategori hukum masing-masing ini dapat berupa hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lain. M. Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, (Medan: Universitas Dharmawangsa Fakultas Hukum, 1993), hal. 135-139

108

(27)

Nafkah yang dimaksud disini tidak hanya untuk anak saja akan tetapi nafkah untuk istri yang telah dicerai atau mantan istri. Akan tetapi, sebelum terjadi perceraian (masih proses dalam proses persidangan) anak dan istri juga masih memperoleh nafkah dimana hal tersebut dapat dimintakan melalui gugatan balik atau rekopensi dan pokok gugatan dimana putusannya dapat segera dimintakan.109 Hal tersebut sesuai dengan Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :

”Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat. Pengadilan dapat :

a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami,

b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak,

c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri”.

Pengaturan Nafkah anak dan istri setelah perceraian dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Nafkah untuk anak dari ayah di atur dalam Pasal 41 huruf b Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :

”Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut”.

109 Jenis gugatan ini termasuk gugatan

(28)

Selanjutnya, nafkah untuk istri pasca perceraian atau nafkah untuk mantan istri di atur dalam Pasal 41 huruf c Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :

”Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri”.

Bunyi pasal di atas juga tidak langsung terdapat kata nafkah didalamnya. Namun, penggalan kalimat yang terdapat dalam Pasal 41 huruf b dan c, yakni ”biaya pemeliharaan dan pedidikan” serta ”biaya penghidupan” dapat diasumsikan/diartikan sebagai nafkah yang akan diberikan untuk anak dan istri pasca perceraian. Hal ini senada dengan Berlian Napitupulu, menerangkan bahwa hakim menetapkan putusan nafkah untuk anak dan mantan istri berdasarkan Pasal 41 huruf b dan c Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.110

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak menentukan secara jelas berapa lama atau waktu yang harus dipenuhi seorang suami untuk menafkahi anaknya atau istrinya pasca perceraian. Perlu dipahami sebelumnya bahwa kewajiban untuk mendidik dan memelihara anak pasca perceraian tetap merupakan tanggung jawab dari bapak dan ibunya (walaupun salah satu pihak yang memiliki hak asuh terhadap anak mereka).111 Namun, menurut Berlian Napitupulu hakim menetapkan pemberian nafkah untuk anak sampai anak tersebut dewasa sesuai KUH 110Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan Berlian Napitupulu, dilaksanakan 10 Oktober 2016

111

Pasal 41 huruf a, berbunyi :

(29)

Perdata, yakni 21 (dua puluh satu) tahun sedangkan nafkah mantan istri sampai pada sebelum ia melakukan perkawinan dengan pria lain.112

Pemberian nafkah kepada anak pasca perceraian jika merujuk kepada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dimana pemberian nafkah ini didasari penggalan kalimat yang terdapat dalam pasal-pasalnya yakni ”memelihara dan mendidik sampai batas 18 tahun atau telah melangsungkan perkawinan atau dapat berdiri sendiri”. Hal tersebut berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :

”(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus”.

dan Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :

”Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.”.

Kedua pasal tersebut untuk pemeliharaan anak terkait waktu memang kontradiktif karena Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menentukan batas usia, yakni 18 (delapan belas) tahun sedangkan Pasal 45 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak menentukan batas

(30)

usia akan tetapi sampai anak tersebut kawin atau mampu membiayai diri sendiri atau berdiri sendiri. Pada dasarnya hal tersebut jika dilihat dari sisi praktek tidak jadi masalah yang terpenting ialah bagaimana memberikan segala sesuatu yang terbaik bagi anak. Namun, dari sisi undang-undang seharusnya norma-norma yang terdapat didalamnya tidak boleh saling bertentangan satu sama lain sehingga akan menimbulkan celah untuk dilakukan uji materil di Mahkamah Konstitusi sehingga akan menghambat penegakan hukum.113Idealnya keberadaan sebuah undang-undang itu tidak harus dilakukan pengujian di Mahkamah Konstitusi akan tetapi diganti dengan yang baru akibat tidak sesuai dengan perkembangan zaman lagi. Merujuk pendapat Berlian Napitupulu di atas maka untuk putusan pengadilan terhadap nafkah anak sampai anak dewasa menurut KUH Perdata, yakni 21 (dua puluh satu) tahun.

Berhubungan dengan pekerjaan, suami yang memiliki pekerjaan tertentu, misalnya pegawai negeri sipil termasuk tentara nasional Indonesia dan polisi maka nafkah istri dan anak pasca perceraian berbeda dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 113 Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang terdapat dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ialah mengugi undang-undang terhadap undang-undang dasar, emutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilu. Alasan pemberian kewenagan yang cukup besar kepada Mahkamah Konstitusi ialah didasarkan pada pola pemikiran untuk menegakkan supremasi konstitusi dimana pemikiran ini jelas salah satu sebab menurut sistem ketatanegaraan kita yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang asli sebagai hasil perjuangan bangsa sejak tahun 1945 yang berdaulat adalah rakyat sedangkan konstitusi dibuat setelah rakyat berdaulat secara politik. M. Dimyati Hartono, Problematik & Solusi Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2009), hal. 70-71. Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang mungkin disebabkan karena:

a. Tidak diikutinya asas-asas berlakunya Undang-Undang,

b. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang, c. Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran

didalam penafsiran serta penerapannya.

(31)

1974 Tentang Perkawinan yang tidak mencantumkan jumlah biaya yang harus ditanggung oleh suami. Berikut uraian jumlah uang yang diterima anak dan istri pasca perceraian, yaitu :

Pegawai Negeri Sipil (PNS)114, apabila seorang pria PNS menceraikan istrinya dengan alasan kecuali istri telah melakukan zina, dan atau melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap suami, dan atau istri menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau istri telah meninggalkan suami selama dua tahun berturut-turut tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya atau perceraian istri yang memintanya/mengajukan gugatannya (tidak mendapat nafkah) maka ia wajib memberikan ½ (setengah) dari gajinya kepada mantan istrinya. Namun, apabila terdapat anak dalam perkawinan tersebut maka dari seluruh gaji yang dimiliki dibagi menjadi 1/3 (sepertiga) untuk pria yang berprofesi sebagai PNS, 1/3 untuk mantan istri dan 1/3 untuk anak serta apabila mantan istri kawin lagi maka ia tidak akan memperoleh bagian gaji dari mantan suaminya. Hal tersebut didasarkan Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil jo Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990

114 Untuk pembagian gaji baik PNS biasa atau TNI dan TNI mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipiljo

(32)

Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, berbunyi :

”(1) Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya.

(2) Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas isterinya, dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya.

(3) Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka bagian gaji yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas isterinya ialah setengah dari gajinya.

(4) Pembagian gaji kepada bekas istri tidak diberikan apabila alasan perceraian disebabkan karena istri berzinah, dan atau melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap suami, dan atau istri menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau istri telah meninggalkan suami selama dua tahun berturut-turut tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. (5) Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas

bagian penghasilan dari bekas suaminya.

(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak berlaku, apabila istri minta cerai karena dimadu, dan atau suami berzinah, dan atau suami melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap istri, dan atau suami menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau suami telah meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa izin istri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

(7) Apabila bekas isteri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan kawin lagi, maka haknya atas bagian gaji dari bekas suaminya menjadi hapus terhitung mulai ia kawin lagi”.

(33)

puluh satu) tahun harus tetap dilakukan oleh kedua orang tua.115 Hal tersebut didasarkan atas Pasal 105 KHI, berbunyi :

”Dalam hal terjadi perceraian :

a. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

b. pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”

dan Pasal 156 KHI, berbunyi :

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :

1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. ayah;

3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu; 6. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah

b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;

c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hakhadhanahpula.

d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun);

e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c) , dan (d).

f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

115

(34)

Peraturan perundang-undangan dalan mengatur persoalan nafkah untuk mantan istri dan anak juga mengenal aturan Kompilasi Hukum Islam dimana dalam bagian ini keberadaannya sebagai perbandingan terhadap pemberian nafkah yang tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai nafkah pasca perceraian dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, berbunyi :

”Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

a. memberikan mut'ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebutqabla al dukhul.

b. memberi nafkah dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba'in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al dukhul.

d. memberikan biayahadhonahuntuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun”.

Berdasarkan Pasal di atas maka nafkah yang diberikan kepada mantan istri, yaitu :

a. Mut’ahatau pemberian/hadiah yang layak bagi bekas istri,116

b. MemberiMaskan(tempat tinggal) dankiswah(pakaian) selam masaiddah,117 c. Memberihadhonahatau biaya pemeliharaan anak,

d. Melunasi mahar yang terhutang.

Secara aturan dalam praktek warga negara Indonesia yang beragama Islam untuk menentukan nafkah anak dan istri pasca perceraian menggunakan Inpres No. 1

116Sulaiman Rasjid,

Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), hal. 397

(35)
(36)

meminta hadiah atau penghargaan selama berumah tangga, biaya tempat tinggal dan tempat tinggal selama waktu tunggu istri dan lain sebagainya.118 Konsep tersebut tidak perlu mencantumkan istilah bahasa Arab yang digunakan dalam Kompilasi Hukum Islam cukup terjemahannya saja sehingga tetap tidak ada percampuran peraturan perundang-undang terhadap keberlakuannya. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan secara khusus Kompilasi Hukum Islam tetap berlaku bagi warga negara Indonesia yang muslim sedangkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berlaku secara penuh untuk warga negara Indonesia yang non muslim.

Penegasan mengenai uraian di atas melalui padangan Berlian Napitupulu menerangkan pembiayaan terhadap mantan istri maupun anak berdasarkan putusan pengadilan negeri memang berbeda dengan agama namun pada dasarnya tidak menjadi masalah mengikuti konsep yang diterapkan pengadilan agama untuk pemberian nafkah bagi mantan istri dan anak.119 Secara umum hakim masih cenderung menetapkan nafkah anak dan istri di pengadilan negeri yang memang

118 Pasal 39 ayat (1) huruf b dan c Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :

Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) undang-undang ditentukan, sebagai berikut :

b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.

c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

(37)

dikhususkan untuk persidangan cerai warga negara non muslim merujuk pada Pasal 45 dan Pasal 47 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil jo Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (aturan PNS ini juga berlaku untuk warga negara Indonesia yang beragama Islam).120

Referensi

Dokumen terkait

Section one presents the reading comprehension question, section two presents six cognitive l evels of Revised Bloom’s Taxonomy , section three presents the English

12. OSI layer terbagi menjadi beberapa bagian yang berjumlah ? A.1 B.3 C.5 D.7 E.10 13. Mendeteksi adanya kesalahan pengiriman dan penerimaan paket data dan melakukan proses pengkoreksian adalah fungsi dari layer

Berbagi fantasi pengetahuan sifat Al- lah ini merupakan perilaku mereka sebagai sebuah komitmen subkultur bersama dalam kelompok Muslim-Tionghoa, kelompok yang anggotanya

Memori jenis ini telah dibuktikan memberikan manfaatnya yang besar dibidang pengolahan citra paralel terutama untuk memproses masalah citra yang bersifat lokal (misalnya:

Pelayanan Makanan Rumah Sakit dan Asupan Makanan dengan Perubahan Status Gizi Pasien (Studi di RSUD Sunan Kalijaga Kabupaten Demak). Jurnal

Dari grafik terlihat bahwa tingkat kebenaran tertinggi yang dapat dicapai adalah 96,36%, lebih tinggi bila dibandingkan dengan sistem neural network tanpa

DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN Kabupaten/Kota : Kab.. Zaenudin PNS DINAS

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada ibu dari 4 pasien anak, secara umum.. identitas partisipan tersebut dapat ditunjukan dalam tabel 1 di