BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes melitus merupakan salah satu masalah kesehatan yang
berdampak pada produktivitas dan dapat menurunkan sumber daya
manusia. Prevalensi diabetes melitus dibeberapa negara berkembang
akhir-akhir ini semakin meningkat. Hal ini bisa dilihat dari data Riset
Kesehatan Dasar di mana prevalensi diabetes melitus berdasarkan
wawancara tahun 2013 adalah 2,1 persen (Indonesia), lebih tinggi
dibanding tahun 2007 (1,1%). Hasil Riset kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat diabetes
melitus pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki
ranking ke-2 yaitu 14,7% dan di daerah pedesaan, diabetes melitus
menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%. Prevalensi diabetes melitus
berdasarkan diagnosis dokter dan gejala meningkat sesuai dengan
bertambahnya umur. Prevalensi DM cenderung lebih tinggi pada
masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi. Sementara DM perkotaan
cenderung lebih tinggi dari pada perdesaan. Dan pada perempuan
cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki.1
Menurut Departemen Kesehatan berdasarkan pola pertambahan
penduduk saat ini diperkirakan jumlah penderita diabetes mellitus di
menempati urutan keempat dengan jumlah penderita diabetes terbesar di
dunia setelah India, Cina dan Amerika.2
Diabetes melitus merupakan suatu keadaan yang abnormal dari
regulasi glukosa darah dan simpanan nutrien yang berhubungan dengan
defisiensi absolut insulin atau resistensi terhadap aksi insulin. Insulin
merupakan hormon anabolik yang merangsang ambilan seluler terhadap
berbagai nutrien termasuk heksose, asam amino, kation dan anion. Di sisi
lain, besi juga merupakan elemen utama pada berbagai proses metabolik
seperti transport oksigen, sintesa DNA dan transport elektron. 3,4,5,6
Suatu keadaan dimana diabetes tidak terkontrol akan menimbulkan
berbagai masalah komplikasi yang berakibat buruk pada penderita
diabetes, seperti mikrovaskuler yang berakibat pada morbiditas dan
mortalitas. Pematauan kadar glukosa dapat dilihat dari hemoglobin yang
terikat dengan eritrosit yang biasa disebut dengan glycated hemoglobin
dimana umur rata-rata eritrosit adalah 120 hari, sehingga kontrol glukosa
2-3 bulan yang lalu dapat dilihat dari nilai HbA1C (glycated hemoglobin.)7
Dalam keadaan normal besi berikatan dengan protein yaitu
transferin dan kemudian berikatan dengan transferin reseptor untuk
memulai suatu proses metabolik. Kompleks transferin-transferin reseptor
(sTfR) akan masuk kedalam sel melalui suatu proses endositosis dan
dilepaskan kedalam suatu tempat non-acidic seluler yang kemudian akan
digunakan pada sintesis komponen essensial seluler. Transferin receptor
sel intestinal, monosit (makrofag), otak , blood brain barrier, tetapi dalam
jumlah yang berbeda.8,9,10,11
Secara fisiologis transferin reseptor (TfR) merupakan sarana utama
bagi organ seluler untuk memperoleh zat besi. Serum transferin reseptor
(sTfR) terdapat pada sirkulasi darah, dimana sirkulasi transferin reseptor
(TfR) menggambarkan konsentrasi total TfR didalam tubuh. Konsentrasi
TfR pada permukaan sel menggambarkan kebutuhan sel akan zat besi.
Jika zat besi interseluler kadarnya berkurang maka TfR akan diregulasi
lebih banyak untuk memperoleh lebih banyak zat besi, sebaliknya jika
kebutuhan zat besi cukup maka TfR pada permukaan sel kadarnya
berkurang.12,13,14
Ada beberapa penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh
antara metabolisme besi dan diabetes tipe 2, diantaranya adalah Jose M.
Fernandez dkk (2007) meneliti sirkulasi soluble transferin reseptor
berdasarkan status glukosa dan insulin. Dimana dalam penelitiannya
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara serum transferin
reseptor dengan toleransi glukosa dan insulin.15
Sedangkan C. Hernandez dkk (2004) juga meneliti soluble
transferin reseptor dan ferritin pada diabetes melitus tipe 2 dan pada
penelitiannya ini menunjukkan hubungan yang timbal balik antara
peningkatan serum ferritin dengan penurunan sTfR pada pasien diabetes
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Mantonen J dkk (2012)
menemukan bahwa tidak ada hubungan antara kadar serum transferin
reseptor dengan diabetes melitus tipe 2. Tetapi kadar feritin sangat
berhubungan secara signifikan dengan ferritin sebagai cadangan besi
dalam tubuh.17
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Fernandez real dkk (2009)
menemukan bahwa adanya hubungan yang signifikan penurunan serum
transferin diikuti oleh perbaikan insulin sensitivi pada orang obese yang
ditelitinya.18
Hubungan antara metabolisme besi dan penderita diabetes tipe 2
mungkin ada keterkaitannya dimana besi mempengaruhi metabolisme
glukosa dan glukosa juga terlibat pada beberapa jalur metabolisme
besi.19,20
Besi bersikulasi didalam aliran darah dan kemudian berikatan
dengan transferin yang akan membentuk kompleks dengan transferrin
reseptor. Insulin berkontribusi dalam mempercepat dan merangsang
ambilan besi oleh sel-sel yang membutuhkan besi, kemudian insulin juga
mendistribusikan kompleks transferrin- transferrin reseptor pada
permukaan membran sel.21,22,23 Ambilan besi oleh insulin berjalan paralel
terhadap efek transport glukosa. Seperti penelitian yang dilakukan oleh
Fernandez real dkk (2002) bahwa insulin sensitiviti yang rendah terjadi
Terdapat berbagai tes laboratorium lain yang dapat digunakan
untuk mendeteksi status zat besi, tetapi tes laboratorium yang banyak
digunakan dalam praktek klinis yaitu besi serum, total iron binding capacity
(TIBC), saturasi transferin (TSAT) dan serum ferritin (SFN) yang sangat
dipengaruhi oleh sejumlah kondisi non-terkait, misalnya reaksi fase akut,
yang dapat mempersulit interpretasi hasil klinis yang dapat
membingungkan gambaran akurat dari status besi tubuh.24
Jadi saat ini, masih belum ada biokimia tunggal atau parameter
hematologis yang sensitif atau cukup spesifik yang benar-benar
menggambarkan distribusi besi dalam tubuh manusia. Pada dekade saat
ini, serum transferin reseptor (sTfR) terbukti sensitif dan dapat diukur
sebagai indikator defisiensi besi. Sebelum pemeriksaan sTfR
dikembangkan, hanya evaluasi sumsum tulang untuk pewarnaan besi
(Prusian Blue) yang dilakukan dan ini merupakan tindakan invasif untuk
melihat zat besi. Oleh karena itu salah satu parameter yang dapat
dipertimbangkan adalah serum transferin reseptor (sTfR).
1.2 Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang di atas, dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut: apakah ada perbedaan kadar serum
transferin reseptor (sTfR) pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang
1.3 Hipotesis Penelitian
Ada perbedaan kadar serum transferin reseptor (sTfR) pada pasien
diabetes melitus tipe 2 terkontrol dengan yang tidak terkontrol .
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan umum
Untuk mengetahui perbedaan kadar serum transferin reseptor
(sTfR) pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang terkontrol dengan
tidak terkontrol.
1.4.2. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik dari serum transferin reseptor
(sTfR) pada pasien diabetes melitus tipe 2.
2. Mengetahui kadar serum transferin reseptor (sTfR)
pada diabetes melitus tipe 2.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Dengan pemeriksaan serum transferin reseptor (sTfR) pada
diabetes melitus tipe 2 diharapkan dapat menambah wawasan
mengenai peran serum transferin reseptor (sTfR) dalam
metabolisme glukosa pada pasien diabetes melitus tipe 2.
2. Dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk penelitian