• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Kewenangan Densus 88 Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia Dalam Perspektif Kriminologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Kewenangan Densus 88 Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia Dalam Perspektif Kriminologi"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Aksi teror dianggap telah melecehkan nilai-nilai kemanusiaan, martabat bangsa, dan norma-norma agama, karena eskalasi dampak detruktif yang ditimbulkannya telah menyentuh multidimensi kehidupan manusia.1

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 1 menyebutkan bahwa Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan ini.

Aksi teror yang dilakukan para teroris tersebut telah membuat dunia menjadi tidak aman dan menimbulkan ketakutan ditengah-tengah masyarakat. Kejahatan terorisme mampu menimbulkan ketakutan yang sangat luas, termasuk pada mereka yang tidak secara langsung menjadi objek serangan atau sasaran.

2

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Kemudian Pasal 6 menyatakan Tindak Pidana Terorisme sebagai berikut:

3

1Dikdik M. Arief Mansur, Hak Imunitas Aparat Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, Pensil-324, Jakarta, 2012, Halaman 2.

2Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Pasal 1

3Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Pasal 6

(2)

Dari isi Pasal tersebut kita dapat melihat bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap Negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat.4

Melihat ancaman serius yang ditimbulkan oleh aksi terorisme, maka Terorisme merupakan suatu kejahatan yang tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (non extra ordinary crime), sebab pengertian “terorisme” itu sendiri dalam perkembangannya telah dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap manusia atau crime against humanity.5

Upaya pemerintah dalam penanggulangan masalah tindak pidana terorisme di Indonesia terlihat pasca kasus peledakan Bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002. Pemerintah segera melakukan langkah-langkah darurat serta reaksi cepat untuk merespon aksi terorisme tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian ditindaklanjuti oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan menyetujui Perppu nomor 1 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Kejahatan terorisme kini telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa pula (extra ordinary measures).

4Muzakkir Samidan Prang, Terorisme dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia, Pustaka

Bangsa Press, Medan, 2011, Hal aman 61.

(3)

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, dan disahkan serta diundangkan pada tanggal 4 April 2003. Undang-Undang ini melengkapi keterbatasan dari ketentuan yang selama ini dipergunakan dalam pemberantasan aksi terorisme, yaitu Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Darurat No.12 tahun 1955 6

Pembentukan satuan tugas ini juga merupakan amanat dari pasal 45 Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang menyatakan: Presiden dapat mengambil langkah-langkah untuk merumuskan kebijakan dan langkah-langkah operasional pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. Dasar pembentukan Densus 88 Anti teror adalah surat keputusan Polri No. Pol: Kep/30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003 yang Upaya pemerintah dalam menanggulangi tindak pidana terorisme di Indonesia tidak hanya dengan mensahkan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut. Segera setelah terjadinya peledakan Bom Bali I Polri membentuk satuan tugas yang terdiri dari anggota Kepolisian Daerah Metro Jaya (Polda Metro Jaya) dan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) yang dikoordinisikan oleh kepolisian Daerah Bali (Polda Bali). Kemudian satuan tugas ini dibakukan dalam satuan Tugas Bom Polri (satgas Bom Polri) melalui Surat Keputusan Polri No. 2/X/2002 tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanganan Kasus Bom Bali. Satgas Bom Polri ini merupakan cikal bakal dibentuknya Detasemen Khusus Anti Teror (densus 88).

(4)

dibuat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia saat itu, Jenderal Polisi Da’I Bachtiar.7

Pada tahun 2016 kinerja Densus 88 menjadi sorotan publik pasca tewasnya seorang warga sipil terduga teroris, Siyono penduduk Klaten. Siyono yang dijemput paksa dalam keadaan sehat dipulangkan kepada keluarganya dengan keadaan meninggal dunia, padahal Siyono masih berstatus terduga teroris. Pihak Polri kemudian mengungkap Siyono tewas karena melakukan perlawanan saat ditangkap pihak Densus 88 yang akhirnya dilumpuhkan hingga tewas.

8

Jika merunut pada Undang-Undang No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Densus 88 Anti Teror hanya memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan dengan bukti awal untuk selanjutnya membawa terduga yang telah ditangkap menjalani dan mendapatkan vonis di persidangan. Seringnya terduga teroris tewas ditangan Densus 88 sebelum melalui proses persidangan menuai kritik pakar atau pengamat dan beberapa lembaga keamanan Negara.. Operasi yang dilakukan Densus 88 dianggap operasi yang agresif dan cenderung melanggar prosedur penegakan keamanan bahkan dianggap telah melanggar Hak Asasi Manusia.

9

Protes dan pernyataan yang keluar dari beberapa lembaga penegak kemanan dan pengamat hukum membuat publik mengikuti arus tersebut. Publik

(5)

tergiring menuju paradigma yang menyatakan Densus 88 Anti Teror adalah sebuah bentuk teror baru untuk masyarakat, yang berujung pada tuntutan agar Densus 88 dibubarkan. Derasnya desakan untuk membubarkan Densus 88 Anti Teror dari berbagai kalangan adalah suatu hal yang harus segera dicari solusinya. Jika solusinya benar-benar berujung pada dibubarkannya Densus 88 AT, siapa yang akan bertanggung jawab jika setelah itu terjadi ledakan-ledakan bom atau aksi terorisme lainnya di Indonesia?

Aksi extra judicial killing (pembunuhan di luar proses persidangan) yang dilakukan Densus 88 memang patut dipertanyakan, namun tidak menjadi alasan untuk kita menutup mata terhadap alasan-alasan yang dihadapi personil densus 88 dalam pelaksanaan tugasnya sehingga melakukan hal tersebut. Pihak kepolisian menyatakan penembakan yang dilakukan oleh Densus 88 adalah dalam rangka membela diri. Apabila setiap tindakan aparat Densus 88 dalam melaksanakan upaya pemberantasan terorisme selalu dilihat dari perspektif pelanggaran HAM, maka dikhawatirkan bahwa hal ini akan melemahkan performa Densus 88 dalam melaksanakan tugasnya memberantas Tindak Pidana Terorisme.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas menjadi alasan penulis untuk mengkaji bagaimana kewenangan Densus 88 dalam pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia dan judul yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah “ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DENSUS 88 DALAM RANGKA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME DI

(6)

1.2 Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan sebagaimana yang telah

dipaparkan di atas maka dapatlah dirumuskan apa yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini, yaitu sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pengaturan hukum mengenai kewenangan Densus 88 dalam pemberantasan tindak pidana terorisme?

b. Apa faktor penyebab terjadinya tindak pidana terorisme?

c. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Densus 88 dalam pemberantasan tindak pidana terorisme?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini antara lain:

a. Untuk mengkaji dan mengetahui pengaturan hukum mengenai kewenangan densus 88 dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.

b. Untuk mengkaji dan mengetahui faktor penyebab terjadinya tindak pidana terorisme.

(7)

1.4. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan secara praktis, yaitu:

1.4.1. Manfaat Teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian terhadap ilmu pengetahuan serta menambah wawasan khususnya mengenai terorisme, dan kewenangan Densus 88 dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme.

1.4.2 Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum bagi pemerintah, khususnya aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana untuk kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan memperjuangkan keadilan yang sebenarnya serta mewujudkan tujuan hukum yang dicita-citakan.

1.5. Keaslian Penulisan

(8)

Kriminologi belum ada atau belum terdapat. Berdasarkan observasi penulis juga diluar perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ada beberapa skripsi yang memiliki topik yang sama, namun dalam hal permasalahan dan penulisannya jelas berbeda dengan skripsi ini, maka telah terbukti skripsi ini benar-benar merupakan hasil pemikiran dari penulis sendiri dan bukan berasal dari karya tulis orang lain. Jika dikemudian hari ditemukan penelitian yang sama dan muncul permasalahan, maka penulis bersedia untuk mempertanggungjawabkannya dengan cara yang sebagaimana sebagaimana mestinya.

1.6. Tinjauan Pustaka

1.6.1 Pengaturan Hukum Mengenai Kewenangan Densus 88 dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

(9)

berlaku dalam kehidupan kelompok sosial saat itu, bukan ketentuan hukum masa lalu yang sudah tidak berlaku atau yang sedang direncanakan berlakunya. Dengan kata lain, bahwa aturan-aturan hukum yang berlaku itu merupakan hukum positif. Hukum positif yang sering juga disebut ius constitutum ialah ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku pada suatu saat, waktu dan tempat tertentu.10

a. Mengatur masyarakat agar hak dan kepentingannya terjamin

Hukum Pidana adalah himpunan kaidah yang mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan Negara. Adapun tujuan Hukum Pidana adalah sebagai berikut:

b. Melindungi kepentingan masyarakat.

c. Melindungi masyarakat dari campur tangan penegak hukum yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan.

Hukum Pidana mempunyai sifat istimewa, yaitu pada saat pelaksanaan hukum pidana justru terjadi perampasan hak terhadap seseorang yang telah melanggar hukum. Penjatuhan pidana harus dianggap sebagai ultimatum remedium, maksudnya penjatuhan pidana atau penerapan hukum pidana

merupakan jalan terakhir apabila sanksi atau upaya-upaya pada cabang hukum lainnya tidak dapat menyelesaikan suatu permasalahan.11

Hukum pidana itu sendiri setidaknya merupakan hukum yang mengatur tentang:

10Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005,

halaman 3

11 Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006,

(10)

a. Larangan untuk melakukan suatu perbuatan

b. Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana

c. Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang (delik).

d. Cara mempertahankan atau memberlakukan hukum pidana.12

Berbicara mengenai Tindak Pidana, Pembuat Undang-Undang menggunakan kata “stafbaar feit” untuk menyebutkannya di dalam KUHP tanpa memberikan suatu penjelasan tentang “stafbaar feit” tersebut. Oleh karena itu muncul di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan “stafbaar feit”.13

Moeljatno, memakai istilah “perbuatan pidana” untuk menggambarkan isi pengertian strafbaar feit dan beliau mendefinisikannya sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Beliau tidak setuju dengan istilah “tindak pidana” karena menurut beliau “tindak” lebih pendek daripada perbuatan, “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit.14

12

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2013, Halaman 5

13Ibid Hal 78

14Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat di Hukum, Sinar Grafika, 1991,

Jakarta halaman. 3

(11)

a. Perbuatan

b. Yang dilarang ( oleh aturan hukum )

c. Ancaman pidana ( bagi yang melanggar )

Berdasarkan uraian unsur tindak pidana di atas, maka yang dilarang adalah perbuatan manusia, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan uraian kata perbuatan pidana, maka pokok pengertian adalah pada perbuatan itu, tetapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa seseorang itu dipidana karena melakukan perbuatan yang dilarang dalam hukum.

Penjelasan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme menegaskan bahwa Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.15

Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European Convention on the Suppression of Terrorism (ECST) di Eropa tahun 1977 terjadi

perluasan paradigma dari Crimes against State menjadi Crimes against Humanity. Crimes against Humanity meliputi tindak pidana untuk menciptakan suatu

15

(12)

keadaan yang mengakibatkan individu, golongan, dan masyarakat umum ada dalam suasana yang teror. Dalam kaitan Hak Asasi Manusia (HAM), crimes against humanity masuk kategori gross violation of human rights (pelanggaran

berat Hak Asasi Manusia) yang dilakukan sebagai bagian serangan meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih-lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (public by innocent). 16

Istilah kata Terorisme dalam bahasa inggris disebut Terorism yang berasal dari kata “Terror” dan pelakunya disebut “ Terrorist ”. Berdasarkan Oxford Paperback Dictionary, terror secara bahasa diartikan sebagai “Extreme fear”

(Ketakutan yang luar biasa), “Terrifying person of thing ” ( Seseorang atau sesuatu yang mengerikan) , Sedangkan “Terrorism” berarti “use of violence and intimidation, especially for political purpose ” (menggunakan kekerasan dan

intimidasi, terutama untuk tujuan politik) yang senada dengan pengertian di atas, Black’s Law mendefinisikan terorisme sebagai “the use of threat of violence to

intimidate or cause panic, especially as a means of affecting political conduct .

(penggunaan ancaman kekerasan untuk mengintimidasi atau menyebabkan kepanikan, khususnya sebagai sarana mempengaruhi perilaku politik). 17

16Abdul Wahid, MA.Sunardi, Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004 Halaman 23

17

Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme,kebijakan formulatif Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia Graha Ilmu,Yogyakarta, 2012, Halaman

(13)

Untuk memahami makna terorisme lebih jauh dan mendalam, ada beberapa pengertian atau definisi terorisme yang dikemukakan oleh beberapa lembaga maupun beberapa penulis/pakar atau ahli, antara lain:

a. US Central Inteligence Agency (CIA)

Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan Negara, lembaga, atau pemerintah asing.

b. US Federal Bureau of Investigation (FBI)

Terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil elemen-elemennya untuk mencapai tujuan sosial atau politik

c. Black’s Law Dictionary

Tindakan terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana Amerika, atau Negara bagian Amerika, dan jelas dimaksudkan untuk mengintimidasi penduduk sipil, mempengaruhi kebijakan pemerintah, atau mempengaruhi penyelenggaraan Negara dengan cara penculikan dan pembunuhan.18

Mengenai pengertian yang baku dan definitif dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk

(14)

mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif. Tidak mudahnya merumuskan definisi Terorisme, tampak dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan

rumusan definisi.

Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (1), Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:19

a. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (pasal 6).

19Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, Pasal 6 dan

(15)

b. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).

Seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:

a. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut. b. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.

c. Menggunakan kekerasan.

d. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.

e. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.

(16)

satuan khusus yang disebut dengan Detasemen Khusus 88 Anti Teror atau yang lebih dikenal dengan Densus 88 AT. Pembentukan Densus 88 AT merupakan amanat dari pasal 45 Perppu No.1 Tahun 2002 yang telah diganti menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang menyatakan: Presiden dapat mengambil langkah-langkah untuk merumuskan kebijakan dan langkah-langkah operasional pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. Dasar pembentukan Densus 88 Anti teror adalah surat keputusan Polri No. Pol: Kep/30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003 yang dibuat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kewenangan densus 88 dalam pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia dapat kita lihat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Juga berlaku ketentuan pidana di dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) dan juga Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebagai satuan dari kepolisian kewenangan Densus 88 juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Densus 88 dalam pelaksanaan tugasnya juga tunduk pada Peraturan-Peraturan Kapolri dan Kode Etik Polri.

1.6.2. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Terorisme

(17)

bentuknya, sebab-sebabnya, akibat-akibatnya dan penyelidikan terhadap sesuatu kejahatan maupun hal-hal lain yang ada hubungannya dengan kejahatan itu.20

Beraneka ragam definisi kriminologi dikemukakan oleh para ahli, antara lain:21

a. Sutherland mengatakan kriminologi adalah keseluruhan ilmu-ilmu

pengetahuan yang berhubungan dengan kejahatan sebagai gejala masyarakat. Termasuk terjadinya undang-undang dan pelanggaran atas ini,

b. Michael dan adler merumuskan bahwa kriminologi adalah keseluruhan

keterangan tentang perbuatan dan sifat, lingkungan penjahat dan pejabat memperlakukan penjahat serta reaksi masyarakat, terhadap penjahat.

c. Wood mengatakan kriminologi mengikuti keseluruhan pengetahuan yang

didasarkan pada teori pengalaman yang berhubungan dengan kejahatan dan penjahat, termasuk reaksi-reaksi masyarakat atas kejahatan dan penjahat.

d. Seelig merumuskan kriminologi sebagai ajaran dari gejala-gejala nyata

(gejala-gejala fisik dan fisikhis) dari kejahatan.

e. Sauer mengatakan kriminologi adalah ilmu pengetahuan dari kejahatan

individu-individu dan bangsa-bangsa berbudaya. Sasaran penyelidikan kriminologi kejahatan sebagai fenomena kehidupan.

f. Constant melihat kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdasarkan

pengalaman yang bertujuan menentukan faktor-faktor penyebab terjadinya

20 H.M.Ridwan, Ediwarman, Azas-azas kriminologi, Universitas Sumatera Utara Press,

1994,Medan halaman.2

(18)

kejahatan dan penjahat (aetiologi). Untuk itu diperhatikan baik faktor sosial dan ekonomis, maupun faktor-faktor individu dan psikologis.

Pengertian kriminologi dalam arti sempit ialah ilmu pengetahuan yang membahas masala-masalah kejahatan mengenai bentuk-bentuknya, sebab dan akibat-akibatnya, yakni dengan istilah:22

a. Phaaenomenologi/ bentuk-bentuk perbuatan jahat

Yang dimaksud dengan bentuk-bentuk perbuatan jahat adalah hakikat dari perbuatan jahat itu, misal: membunuh, merampok, mencuri, mencopet, menipu.

Bentuk-bentuk dari kejahatan dapat kita kenal dari: 1) Cara melakukan kejahatan itu

2) Luasnya perlakuan kejahatan itu 3) Frekuensi perlakuan kejahatan itu

b. Aetiologi/ sebab-sebab kejahatan

Sebab-sebab dari suatu kejahatan dapat dilihat dari faktor: 1) Bakat sipenjahat

2) Alam sekitarnya/ milieu si penjahat 3) Sprituil/kerohanian si penjahat

4) Bakat + sekitar milieu + sprituil sipenjahat, dapat pula merupakan suatu yang kebetulan saja.

22

(19)

c. Penology / akibat-akibat kejahatan23

Penologi ialah ilmu pengetahuan tentang timbulnya dan pertumbuhan hukuman, arti dan faedah (oleh W.A. Bonger) sebagai akibat-akibat kejahatan dapat tertuju kepada:

1) Korban si penjahat (perorangan) 2) Masyarakat umum

3) Individu/ diri si penjahat

Kriminologi dalam arti luas ialah semua pengertian kriminologi dalam arti sempit dan ditambah dengan kriminalistik. Kriminalistik ialah ilmu yang mempelajari cara-cara menyelediki perbuatan kejahatan atau pelanggaran hukum, yakni meliputi:

a. Penyelidikan perseorangan, misalnya pembicaraan lisan langsung pada penjahat-penjahat, saksi dan korban

b. Penyelidikan terhadap bekas/ ilmu jejak dan alat-alat bukti misalnya: sidik jari, perkara-perkara/alat-alat yang dipakai tulisan-tulisan

c. Ilmu racun dan bisa-bisa toksiologi kehakiman

d. Ilmu kedokteran/khusus/kehakiman misalnya sebab kematian, penggolongan darah

e. Penyelidikan secara massal, misalnya : dengan angket dengan statistik dan penyelidikan opini

23

(20)

Dalam perspektif kriminologi ada beberapa aliran etiologi criminal mengenai faktor-faktor penyebab timbulnya kejahatan, antara lain:24

a. Aliran antropologi

Aliran ini mula-mula berkembang di negara Italia, tokoh aliran ini C.Lamroso, beliau menyatakan bahwa ciri khas seorang penjahat dapat

dilihat dari keadaan fisiknya yang berbeda dengan manusia lainnya (genus hemodelinguens) seperti kelainan-kelainan pada tengkorak, roman muka

yang lebar, mukanya menceng, hidungnya pesek tidak simetris tulang dahinya melengkung kebelakang, rambutnya tebal dan kalau sudah tua lekas botak dibagian tengah kepalanya.

b. Aliran lingkungan

Aliran ini semula berkembang di negara Perancis dengan tokohnya Lanmark, Tarde dan Monourier serta A. Lacassagne. Menurut aliran ini

seseorang melakukan kejahatan karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan di sekitarnya/lingkungan ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan serta kebudayaan termasuk perkembangan dengan dunia luar serta penemuan-penemuan teknologi baru.

c. Aliran biososiologi

Tokoh aliran ini adalah A.D. Prins, Van Humel, D.Simons dan Fern. Aliran Bio sosiologi ini sebenarnya merupakan perpaduan dari aliran antropologi dan aliran sosiologi, oleh karena ajarannya didasarkan bahwa tiap-tiap kejahatan itu timbul karena:

24

(21)

1) faktor individu seperti keadaan psikis dan fisik dari si penjahat dan juga karena faktor lingkungan. Faktor individu yang diperoleh sebagai warisan dari orangtuanya, keadaan badannya, kelamin, umur, intelek, tempramen kesehatan dan minuman keras.

2) faktor keadaan lingkungan yang mendorong seseorang melakukan kejahatan itu meliputi keadaan alam (geografis dan klimatologis) keadaan ekonomi, tingkat peradaban dan keadaan politik suatu Negara, misalnya meningkatnya kejahatan menjelang pemilihan umum atau menghadapi sidang MPR dan lain-lain,

d. Aliran spritualisme

Tokoh dari aliran ini adalah F.A.K. Krauss dan M. De Baets. Menurut para tokoh aliran tersebut bahwa tidak beragamanya seseorang (tidak masuk sebuah agama) mengakibatkan salah satu faktor penyebab terjadinya kejahatan, dalam arti seseorang menjadi jahat karena tidak beragama, atau kurang Beragama, jadi terdapat hukum sebab akibat dalam aliran ini.

Menurut A. Ridwan Halim berbagai latar belakang kehidupan seseorang yang bisa “mengantarkannya” ke alam kejahatan, misalnya:25

a. Latar belakang keluarga asalnya

b. Latar belakang adat istiadat/kebiasaan yang dianutnya

25

(22)

c. Latar belakang kebudayaan orang-orang dan masyarakat sekitar kehidupannya yang membawa pengaruh secara sosiokultural bagi orang itu.

d. Latar belakang kehinaan orang tersebut e. Sifat dan tipe kejiwaan orang tersebut

f. Berbagai indeterminitas dan determinitas orang tersebut

g. Sifat dan tipe temperamen yang dimiliki orang tersebut yang sangat memengaruhinya dalam menyikapi suatu keadaaan tertentu yang dihadapinya

h. Berbagai “score” tindak pidana kejahatan yang sudah pernah dilakukan oleh orang tersebut selama ini.

i. Berbagai hal lainnya yang turut memengaruhi “kadar” kriminologi dalam diri orang tersebut.

Pada umumnya sekarang orang menganggap bahwa dengan adanya kriminologi di samping ilmu hukum pidana, pengetahuan tentang kejahatan menjadi lebih luas. Karena dengan demikian orang lalu mendapat pengertian baik tentang penggunaan hukumnya terhadap kejahatan maupun tentang pengertiannya mengenai timbulnya kejahatan dan cara-cara pemberantasannya, sehingga memudahkan penentuan adanya kejahatan dan bagaimana menghadapinya untuk kebaikan masyarakat dan penjahat itu sendiri.

(23)

di Jerman dicakup dengan nama Die Gesammte Strafrechts wissenschaft, dan dalam negeri-negeri Angelsaks disebut Criminal science.26

Berbicara mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya tindak Pidana terorisme, hal ini juga merupakan kejahatan yang banyak menyedot perhatian para kriminolog. Dari sudut pandang kriminologi (latar belakang tindak kejahatan), terorisme dianggap sebagai tindakan kriminal yang tidak hanya merugikan orang lain tetapi juga melanggar prinsip-prinsip asas kemanusiaan. Terorisme telah menjadi istilah yang sangat populer akhir-akhir ini untuk menyebut suatu tindakan menakut-nakuti, mengancam, dan menyerang pihak lain secara terselubung. Meskipun demikian, banyak pihak yang menyangsikan penggunaan istilah tersebut. Sebab penggunaan kata terorisme telah bias dengan berbagai kepentingan.27

Jika dipahami secara jernih, kejahatan terorisme merupakan hasil dari akumulasi beberapa faktor, bukan hannya oleh faktor psikologis, tetapi juga ekonomi, politik, agama, sosiologis, dan masih banyak lagi yang lain. Karena itu terlalu simplistik kalau menjelaskan suatu tindakan terorisme hanya berdasar satu penyebab saja misalnya psikologis. Konflik etnik, agama dan ideology, kemiskinan, tekanan modernisasi, ketidak adilan politik, kurangnya saluran komunikasi dana, tradisi kekejaman, lahirnya kelompok-kelompok revolusioner, kelemahan dan ketidakmampuan pemerintah, erosi kepercayaan daripada rezim, dan perpecahan yang begitu mendalam diantara pemerintahan dan elit politik juga

26

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bhineka Cipta, Jakarta, 1993, halaman.15

(24)

menjadi penyebab lahirnya terorisme. Menurut pakar Psikologi, Kent Layne Oots dan Thomas C. Wiegele, seseorang berubah dari berpotensi sebagai seorang teroris melalui suatu proses yakni psikologis, filosofis, dan politik.28

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat

1.6.3. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Penyalahgunaan Wewenang yang Dilakukan Densus 88 dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana”ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechts politiek”.

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof.Sudarto “politik Hukum” adalah:

b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Bertolak dari pengertian demikian Prof. Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan

(25)

untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.29

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).30

Pengertian Politik Kriminal atau criminal policy, menurut Marc Ancel, dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by society (usaha rasional kontrol kejahatan oleh masyarakat). Definisi

tersebut tidak berbeda dengan pandangan G. Peter Hoefnagels yang menyatakan, criminal policy is the rational organization of the sosial reaction to crime. (politik

kriminal adalah usaha rasional dari reaksi masyarakat terhadap kejahatan). Hal ini berarti, politik kriminal dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.31

Sebagai usaha untuk penanggulangan kejahatan, politik kriminal dapat mengejawantah dalam berbagai bentuk. Bentuk yang pertama adalah bersifat

29 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, Halaman 26

30

Muladi, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, 2007, Halaman .9

31

(26)

represif yang menggunakan sarana penal, yang sering disebut sebagai sistem peradilan pidana (criminal justice system). Dalam hal ini secara luas sebenarnya mencakup pula proses kriminalisasi. Yang kedua berupa usaha-usaha prevention without punishment (tanpa menggunakan sarana penal) dan yang ketiga adalah

mendayagunakan usaha-usaha pembentukan opini masyarakat tentang kejahatan dan sosialisasi hukum melalui mass media secara luas.

Menentukan suatu tindak pidana digunakan kebijakan hukum pidana. Penal police atau politik (kebijakan) hukum pidana, pada intinya, bagaimana

hukum pidana dirumuskan dengan baik memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif), dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif). 32

Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Sedangkan pengertian penanggulangan kejahatan, menurut Mardjono Reksodiputro, adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Lebih lanjut dikatakan Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (khususnya hukum pidana). Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum. Lebih lanjut, Barda Nawawi menandaskan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undangan pidana merupakan bagian integral dari politik

(27)

sosial. Politik sosial tersebut dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Dari uraian di atas terdapat 2 (dua) masalah sentral yang perlu diperhatikan dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya dalam tahap formulasi, yaitu masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan masalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Pada dasarnya kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan sarana penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu

tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana. Menurut pandangan dari sudut politik kriminil secara makro, non penal policy merupakan kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu dikarenakan, non-penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindak

pidana. Sasaran utama non-penal policy adalah menangani dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.

(28)

kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materil, di bidang hukum pidana formil dan di bidang hukum pelaksanaan hukum pidana. Sedangkan dengan menggunakan upaya non penal dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial.33

1.7.1 Spesifikasi Penelitian Metode Penelitian Hukum

Spesifikasi penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Yuridis Normatif. Penelitian yuridis normatif membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.34 Jika peneliti menggunakan penelitian hukum normatif atau Doktriner yang juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen, karena lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian yuridis normatif mencakup35

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum

:

b. Penelitian terhadap sistematika hukum. c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum. d. Penelitian terhadap sejarah hukum. e. Penelitian terhadap perbandingan hukum.

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai dengan analisa terhadap pasal–pasal dan peraturan perundang – undangan yang mengatur

33

M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, Halaman 28

(29)

permasalahan dalam skripsi. Bersifat normatif maksudnya adalah penelitian hukum yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam pratiknya.

1.7.2 Metode Pendekatan

Metode pendekatan adalah metode yang akan diterapkan dalam penelitian hukum yang akan dilakukan oleh peneliti. Dapat memakai metode pendekatan Normatif (Legal Research) antara lain pendekatan Undang-undang (Statute Approach), metode pendekatan kasus (Case Approach), pendekatan Historis (Historical Approach), pendekatan komparatif (Comparative Approach), pendekatan konseptual (Conseptual Approach) atau mempergunakan metode Empiris (Yuridis sosiologis) dan dapat juga menggunakan gabungan antara kedua metode pendekatan tersebut.36

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan normatif. Jika metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian adalah metode pendekatan normatif, yang secara deduktif, dimulai analisis terhadap pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang menjadi permasalahan di atas, metode pendekatan ini digunakan dengan mengingat permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan-peraturan perundang-undangan yaitu hubungan peraturan satu dengan peraturan lain serta kaitannya

(30)

dengan penerapannya dalam praktek.37 Dalam penelitian hukum normatif maka yang diteliti pada awalnya data sekunder untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan terhadap prakteknya.38

1.7.3 Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel

Lokasi Penelitian penulis dalam melakukan penelitian ini adalah di Perpustakaan Fakultas Hukum USU dan Perpustakaan Universitas USU.

1.7.4 Alat Pengumpul Data

Pada umumnya para peneliti mempergunakan alat pengumpul data berupa39

a. Studi kepustakaan/studi dokumen (Documentary Study) :

b. Wawancara (Interview)

c. Daftar pertanyaan (Kuesioner angket) d. Pengamatan (Observasi)

Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan studi dokumen atau bahan pustaka yang disusun secara ilmiah (metodologi) guna memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunan sesuai dengan yang telah direncanakan semula yaitu menjawab permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya.

37Ibid, Halaman 99-100

(31)

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder adalah data yang dapat dicari dan diperoleh dari kepustakaan dengan menggunakan instrumen-instrumen studi dokumen.40

a. Bahan Hukum Primer, yaitu norma atau kaidah dasar seperti Pembukaan UUD 1945, peraturan dasar seperti ketentuan-ketentuan dalam batang tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR, peraturan perundang-undangan seperti UU, Perpu, PP, Keppres dan lain-lain, bahan hukum yang tidak dikodifikasi seperti ketentuan hukum adat, yurisprudensi, traktat dan bahan hukum dari zaman penjajahan yang masih berlaku

Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Data sekunder dibagi dalam:

b. Bahan Hukum Sekunder yaitu Rancangan Undang-Undang, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan lain-lainnya yang memberi penjelasan tentang bahan hukum primer.

c. Bahan Hukum Tersier yaitu kamus, ensiklopedi dan lain-lain bahan hukum yang memberi penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder.41

40 Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Pustaka

Bangsa Press, Medan, 2005, Halaman 75

(32)

Dalam penelitian ini sumber data sekundernya adalah berupa buku-buku, literatur, peraturan perundang-undangan, jurnal, artikel serta dokumen yang ada hubungannya dengan permasalahan yang dikemukakan.

1.7.5 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam Penulisan skripsi ini menggunakan Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan melakukan penelitian

terhadap berbagai sumber bacaan, yakni buku-buku, pendapat sarjana, artikel, surat kabar/koran, internet dan media massa yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.

1.7.6 Analisis Data

Analisis data dalam penelitian hukum mempergunakan metode pendekatan kualitatif bukan kuantitatif, karena tanpa menggunakan rumusan statistik, sedangkan penggunaan angka-angka hanya sebatas angka persentase sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai masalah yang diteliti.42

42Ediwarman, opcit, hal 99-100

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian, diketahui bahwa koefisien korelasi dinotasikan dengan (R) besarnya 0,529 yang artinya kekuatan hubungan yang positif antara variabel

Goleman, Daniel, (2004) Emotional Intelligence kecerdasan Emosional mengapa.. EQ Lebih penting dari

Demikian pula halnya dengan mayoritas penduduk di Kabupaten Kotawaringin Timur, dimana sekitar 71% penduduknya berada di daerah pedesaan, dengan sektor pertanian

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui peningkatan hasil belajar matematika menggunakan dakon bilangan di kelas IV Sekolah Dasar Negeri 14 Sungai Kunyit

Proses Enkripsi Modifikasi Hill cipher menggunakan 2 kunci yaitu inisial awal Linear Feedback Shift Register dan matriks kunci yang invertible5. Untuk prosesnya ditunjukkan

One of the responsibilities that teachers should take is to ensure that the learners can acquire different aspects of vocabulary knowledge through textbooks. In

SOFI HANS HAMDAN : Pengaruh Curah Hujan dan Hari Hujan Terhadap Produksi Kelapa Sawit Berumur 7, 10, dan 13 Tahun di PTPN III Kebun Huta Padang Kabupaten Asahan, yang

Refleksi pada siklus I bertujuan untuk mengetahui kekurangan saat proses pembelajaran yang dilakukan guru pada siklus I, untuk dilakukan perbaikan pada siklus II