• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM EKONOMI ISLAM ANTARA KAPITALIS DA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SISTEM EKONOMI ISLAM ANTARA KAPITALIS DA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PARADIGMA EKONOMI ISLAM DAN EKONOMI KAPITALIS:

STUDI PERBANDINGAN

Oleh: Abu Khaer

NIM: 12.3.00.1.09.01.0021

A. Pendahuluan

Makalah ini jika mengikuti alur tema, maka meniscayakan pemahaman akan adanya dikotomi pembagian ekonomi, yaitu antara paradigma Islam vis ā vis paradigma kapitalisme. Pembagian inipun, sepanjang pengetahuan penulis, berarti bisa ditafsirkan dengan menafikan ghalib-nya main stream trikotomi ekonomi, dengan menambahkan satu paradigma baru, yaitu komunisme atau lebih aman disebut sosialisme.1

Bisa jadi pula pembahasannya, (meskipun tidak dicantumkan), juga mencakup paradigma ekonomi yang disebut terakhir, jika sama-sama disepakati bahwa paradigma yang pernah diusung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) itu dimasukkan dalam kelompok paradigma kapitalisme. Sehingga dengan demikian, paradigma kapitalisme dengan sendirinya mencakup juga paradigma sosialisme. Umumnya, pemahaman dinamika paradigma ekonomi dunia, lagi-lagi sepemahaman penulis yang menjadi suluh dalam membuat artikel ini, pembahasan paradigma ekonomi sampai saat ini, meskipun Soviet telah ‘bubar,’ sosialisme masih merupakan bagian dari paradigma ilmu yang masih tumbuh, berkembang, dan bersaing di samping kapitalisme dan Islam.

(2)

Sedangkan semangat yang akan menjadi ruh makalah ini adalah semangat filosofis persahabatan dan perdamaian, bukan semangat yang terkandung dalam kata vis ā vis, yang lazim dikatakan pertarungan secara berhadap-hadapan tanpa titik temu untuk saling ber-ukhuwah.2 Dengan kata lain, entah itu dalam nuansa paradigma dikotomi atau trikotomi ekonomi, penulis mengikuti semangat pembahasan Ludwig von Mises3 dan Pandu Jakasurya4 bahwa baik itu kapitalisme atau sosialisme semuanya tidak bertentangan dengan keagamaan. Bahkan Roger Garaudy5 melangkah jauh dengan berpendapat bahwa keduanya merupakan bagian dari sistem yang Islam-(i). Semangat damai itu mejadi fokus kajian makalah ini dengan mendedahkan sejarah dinamika pemikiran (paradigma) ekonomi yang berkembang di dunia ini.

2Lihat misalnya pembahasan oleh Taqyuddīn al-Nabhanī, Niżām al-Islām (Beirut: Dār al-Ummah, 1953); Taqyuddīn al-Nabhanī, Al-Takātu al-Hizbī, Hizbu al-Ta rīrḥ (Beirut: Dār al-Ummah, 1953).

3Sejarah konsep ekonomi Kapitalisme yang konon pada awalnya tidak hanya sekedar individualistic namun juga sosialis dan agamis lihat Ludwig von Mises, Mentalitas Anti-Kapitalistik (ter.) Iones Rachmat (Jakarta: Freedom Institute, 2011); Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom, (London: Routledge classics, 2001). Buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia lihat Friedrich A. Hayek, Ancaman Kolektivisme (terj.) Iones Rachmat (Jakarta: Freedom Institute, 2011).

4Jakasurya dengan mengutip Gramsci menjelaskan hubungan mesra antara Kapitalisme dan agama. Antonio Gramsci mengingatkan bahwa ada beda antara agama kelas penguasa dan agama kaum yang tertindas. Di tangan kelas penguasa, agama-agama itu menjadi kekuatan besar untuk memanipulasi kesadaran massa-rakyat, menjinakkan mereka, dan mengungkung mereka di bawah penindasan dan penghisapan. Di tangan kaum tertindas, bersama dengan kaum revolusioner, yakni orang-orang yang telah mengkomitmenkan hidup-mati mereka demi pembebasan kaum tertindas dan terhisap, agama-agama itu dapat menjadi kekuatan yang membebaskan. Sesungguhnya, kaum yang disebutkan belakangan inilah, yakni mereka yang menjadikan agama sebagai kekuatan pembebasan, merekalah yang meneruskan jiwa-semangat yang pernah berkobar di dadanya para nabi yang sejati. Pandu Jakasurya, “Agama dan Kapitalisme,” dalam Militan Koran Kaum Buruh Indonesia, Edisi III/Desember (2011), 3.

(3)

Ketiga paradigma ekonomi di atas merupakan bagian dari sistem ekonomi dunia. Sistem ekonomi dapat dipandang sebagai mekanisme yang digunakan dalam melakukan aktivitas ekonomi. Dari mulai produksi, distribusi, dan konsumsi. Morris Bernstein, sebagaimana dikutip Iggi Haruman Achsien,6 menyatakannya sebagai berikut: Sistem ekonomi adalah seperangkat kesepakatan dimana masyarakat menentukan: (1) apa yang diproduksi?; (2) bagaimana memproduksinya?, termasuk (i) institutsi-instrumen yang digunakan dan (ii) pola alokasi sumber daya, dan (3) bagaimana kepemilikan pribadi diberlakukan dan distribusi menyangkutnya.

B. Sistem Ekonomi Kapitalisme

Kapital berasal dari kata Latin caput yang berarti kepala.7 Arti ini menjadi jelas, misalnya dalam kalimat Mahasiswa S2/S3 UIN Jakarta dari Beasiswa Kemenag pendapatan “per kapita” per bulan setelah potong sana-sini kisaran Rp.1.500.000. Kata itu berarti pendapatan per kepala. Juga masih konsisten, ketika dipakai untuk kalimat Inggris, misalnya, capital city yang berarti kota utama. Apa hubungannya dengan “capital” yang lain, yang sering kita terjemahkan sebagai “modal”? Konon, menurut sejarah, kekayaan penduduk Romawi Kuna diukur oleh berapa kepala hewan ternak yang ia miliki. Semakin banyak seseorang memiliki materi caput-nya, semakin sejahtera keadaan keluarganya. Tidak mengherankan, jika kemudian mereka “mengumpulkan” sebanyak-banyaknya caput. Sekarang jelas sudah, mengapa derivasi caput yang kemudian berkembang menjadi capital diartikan sebagai “modal.”8

Sedangkan kata -ism yang mengekor pada derivasi caput

mengacu kepada wordview, paham, ideologi, cara pandang atau cara hidup yang diterima oleh sekelompok luas masyarakat dan 6Iggi Haruman Achsien, “Menuju Kapitalisme Religius?,” dalam Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juni (1999), 2-3.

7Nuswantoro, Daniel Bell: Matinya Ideologi (Magelang: IndonesiaTera, 2001), 61-62; Fachrizal A. Halim, Beragama dalam Belenggu Kapitalisme (Magelang: IndonesiaTera, 2002), 51.

(4)

karenanya menjadi konvensi. Oleh karenanya, secara generic, menjadi sah jika mengartikan Kapitalisme adalah modal-isme, suatu paham ekonomi yang berdasarkan modal. Namun demikian, beberapa sumber sering mengatakan bahwa kapitalisme sebagai ideologi harus dibedakan dengan kapitalisme sebagai fenomena. Bagian yang disebut pertama mengacu kepada kepemilikan pribadi atas barang modal dan bagian yang kedua lebih kepada kerangka filosofis yang mendukung sistem tersebut. Menurut penulis, dikotomi ini tidak jelas. Selaksa dua sisi mata uang koin, kapitalisme sebagai ideologi dan sebagai fenomena sukar dipisahkan.9

Ada sangat banyak definisi formal tentang kapitalisme. Salah satunya mengatakan bahwa kapitalisme adalah sistem ekonomi dimana barang dan jasa diperjualbelikan di pasar dan barang modal adalah milik entitas-entitas non-negara dari unit terkecil hingga global.10 Milton Friedman, salah seorang proponen utama kapitalisme moderen, merumuskan 3 (tiga) faktor utama sistem kapitalisme, yaitu pasar bebas, kebebasan individual, dan demokrasi.11

Sistem Kapitalisme mulai berkembang di Inggris pada abad 18 Masehi dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa Barat Laut dan Amerika Utara. Perjalan sejarah kapitalisme tidak dapat dilepaskan dari bumi Eropa, tempat lahir dan berkembangnya kapitalisme.12

Tahun 1648, tahun tercapainya perjanjian Westphalia, dipandang sebagai tahun lahirnya sistem negara modern. Perjanjian itu mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun antara Katholik dan Protestan di Eropa dan menetapkan sistem negara merdeka yang didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoritas politik Paus dan Gereja Katholik Roma. Inilah awal munculnya sekularisme. Sejak itu aturan main

9Nuswantoro, Daniel Bell: Matinya Ideologi, 63.

10Ali Almasi dan Muhammad Sadegh Amindin, “Islamic Economy: A Critical Analysis on Capitalism,” 4.

11Lihat Milton Friedman, Capitalism and Freedom, Fortieth Anniversary Edition (Chicago: The University of Chicago Press, 2002).

(5)

kehidupan dilepaskan dari gereja (yang merupakan wakil Tuhan), dengan anggapan bahwa negara itu sendiri yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan warganya sehingga negaralah yang layak membuat aturan untuk kehidupannya, sementara Tuhan (agama) diakui keberadaannya tetapi dibatasi hanya di gereja (hubungan manusia dengan Tuhannya).13

Prinsip dasar sekular tersebut adalah menempatkan manusia (negara/kerajaan) sebagai pembuat peraturan atau hukum. Permasalahan berikutnya adalah siapa atau apa yang berwenang membuat aturan yang menjamin terciptanya kehidupan yang damai, tentram dan stabil. Kenyataannya, Eropa sampai abad ke-19 merupakan kerajaan-kerajaan yang diperintah oleh kaisar, raja dan para bangsawan (aristokrat). Sampai masa itu, peran politik rakyat sangatlah minim bahkan tidak ada. Rakyat secara pasif patuh pada raja dan undang-undang yang dibuat oleh raja, tanpa melibatkan diri dalam proses politik (pembuatan keputusan). Dan ternyata raja selalu tidak bisa memenuhi kepentingan dan kebutuhan warganya secara adil dan menyeluruh.14

Selanjutnya terdapat tiga perkembangan penting yang mempengaruhi perubahan situasi di Eropa, yaitu: revolusi industri (1760 – 1860), revolusi Perancis (1775 – 1799) dan tingkat melek huruf (literasi) (abad ke-19). Ketiga peristiwa tersebut telah mendorong munculnya keterlibatan rakyat (di luar raja dan kaum bangsawan) di dalam politik (pengaturan urusan rakyat).15

13Triono, Dwi Condro, “Penjajahan Bidang Ekonomi,” Media Politik dan Dakwah Al Wai'e No. 68 Tahun VI April (2006). Lihat juga Dwi Condro Triono, “Hegemoni Kapitalisme Dunia,” dalam http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=555, diakses tanggal 26 Maret (2013). J. Milburn Thompson, Keadilan dan Perdamaian: Tanggung Jawab Kristiani Terhadap Pembangunan (terj.) Jamin Sirait, P Hutapea dan Steve Gasperzs (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), 36.

14Ali Almasi dan Muhammad Sadegh Amindin, “Islamic Economy: A Critical Analysis on Capitalism,” 5-6.

(6)

Revolusi industri telah memunculkan kelas menengah yang mempunyai kekuatan ekonomi, sehingga dengan kekuatannya tersebut mereka menuntut derajat kekuatan politik yang berimbang. Revolusi Perancis telah mendorong tuntutan akan nasionalisme (ide bahwa rakyat bisa memerintah dirinya sendiri, bukan diperintah oleh yang lain), libelarisme (ide bahwa otoritas politik harus disahkan lebih dahulu secara konsensus dan tidak secara turun temurun, serta dibatasi oleh hukum dan konstitusi) dan equalitas (ide bahwa partisipasi politik tidak hanya di tingkat elit aristokrat saja, tetapi terbuka untuk semua penduduk). Sedangkan meningkatnya derajat melek huruf di kalangan rakyat telah menyebabkan mereka dapat membaca peristiwa-peristiwa dan pemikiran-pemikiran yang berkembang di Eropa dan sekaligus mempengaruhi mereka. Kemajuan sosial (social progress), yang berupa sejumlah perbaikan kondisi ekonomi, intelektualitas, sosial budaya dan politik yang terjadi di Eropa Barat antara abad ke-18 sampai abad ke-19, dapat dilihat sebagai penyebab berkembangnya demokrasi, di mana demokrasi membatasi kesewenangan dan mendorong manusia menjadi lebih sempurna dan adil dalam mengatur kehidupannya. Dari sini bisa disebut bahwa pada abad ke-19 telah terjadi transisi politik di Eropa Barat dari bentuk otokrasi dinasti tradisional menjadi demokrasi liberal modern.16

Van Moses menjelaskan bahwa ciri khas kapitalisme modern adalah produksi massa barang-barang untuk konsumsi massa. Akibat yang ditimbulkannya adalah kecenderungan menuju peningkatan standar hidup rata-rata secara kontinyu, suatu (proses) pengkayaan yang memajukan banyak orang. Kapitalisme membebaskan “orang biasa” dari status proletarnya dan meningkatkan harkatnya ke tingkat “borjuis.”17

Di pasar, pada masyarakat yang kapitalistik, orang-biasa adalah konsumen yang berdaulat, yang keputusannya untuk membeli atau menahan diri pada akhirnya menentukan apa yang

16Triono, Dwi Condro, “Penjajahan Bidang Ekonomi,” 23. Lihat juga Dwi Condro Triono, “Hegemoni Kapitalisme Dunia,” dalam http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=555, diakses tanggal 26 Maret (2013).

(7)

harus diproduksi dan dalam kuantitas serta kualitas seperti apa. Toko-toko dan pabrik-pabrik yang mengutamakan layanan ekslusif serta memenuhi permintaan barang-barang mewah dari penduduk yang lebih kaya hanya memainkan peran subordinat saja di dalam latar ekonomi di perekonomian pasar. Mereka tidak pernah menjadi bisnis yang berukuran besar. Bisnis-bisnis besar senantiasa melayani massa, baik secara langsung maupun tidak.18

Murid van Moses, Friedrich A. Hayek menjabarkan pendapat gurunya dengan menyatakan bahwa argumen kalangan liberal mendukung pemanfaatan yang sebaik-baiknya atas berbagai kekuatan kompetisi sebagai sarana untuk mengoordinasikan usaha-usaha manusia, bukan membiarkan segala sesuatu sebagaimana adanya. Argument liberal ini didasarkan pada keyakinan bahwa kompetisi efektif, bila dapat diciptakan, adalah cara yang lebih baik dalam menun- tun usaha-usaha individu ketimbang usaha-usaha lain mana pun. Argument ini tidak menyangkali, bahkan menekankan, bahwa suatu kerangka hukum yang dipikirkan dengan hati-hati diperlukan supaya kompetisi berjalan dan memberikan bermanfaat; dan bahwa tidak ada aturan-aturan hukum yang ada sekarang atau dulu yang bebas dari cacat berat. Argument ini juga tidak menyangkali fakta bahwa apabila kondisi-kondisi yang diperlukan untuk membuat kompetisi efektif tidak bisa diciptakan, kita harus menggunakan metode-metode lain untuk memandu kegiatan ekonomi.19

Namun, liberalisme ekonomi akan melawan jika kompetisi digantikan oleh metode-metode inferior yang mengoordinasikan usaha-usaha individu. Liberalisme ekonomi memandang kompetisi lebih unggul, bukan hanya karena kompetisi, dalam kebanyakan situasi, merupakan metode paling efisien yang sudah dikenal, tetapi bahkan terlebih lagi karena kompetisi adalah satu-satunya metode yang melaluinya aktivitas kita dapat saling disesuaikan tanpa intervensi penguasa yang koersif atau sewenang-wenang. Sesungguhnya, salah satu argumen pokok yang mendukung kompetisi adalah bahwa kompetisi menyingkirkan kebutuhan terhadap “kontrol sosial yang sadar”, dan bahwa kompetisi memberikan kesempatan kepada

(8)

individu untuk memutuskan apakah prospek suatu pekerjaan tertentu cukup untuk mengompensasi kerugian dan risiko yang terkait dengannya.20

Seperti disebutkan di atas, salah satu ciri utama kapitalisme adalah kebebasan individual. Oleh Friedman kebebasan ini dijabarkan menjadi “kebebasan ekonomi” dan “kebebasan politik.” Menurutnya, kebebasan ekonomi adalah syarat mutlak kebebasan politik. Argumen Friedman ini sejalan dengan pendapat ekonom-ekonom Austria seperti von Mises, Hayek, dan Simons. Akan tetapi, ia berbeda dengan pendapat ekonom klasik Jeremy Bentham. Menurut Bentham, kausalitasnya justru sebaliknya, kebebasan politik adalah syarat menuju kebebasan ekonomi.

Menurut Friedman dan mazhab Austria, jika kausalitas itu berjalan a la Bentham, produknya adalah kolektivisme. Ketika kebebasan politik tercapai, pemerintah berusaha “mengatur” sistem ekonomi agar dapat mencapai kebebasan ekonomi. Namun, menurut mereka, ini adalah kontradiksi, karena ia akan menjurus kepada pemusatan kekuatan, secara sadar ataupun tidak. Akhirnya, yang terjadi adalah ekploitasi, dan lantas menuju, apa yang disebut Hayek sebagai “road to serfdom” jalan (kembali) ke penindasan.21 Untuk mendukung argumennya, Friedman menyebutkan contoh di mana sistem ekonomi kapitalis berkembang dalam sistem pemerintahan yang non-demoratis: fasis Italia, Spanyol, Jerman, Jepang, dan Rusia sebelum PD II. Lebih tegas lagi, Friedman mengatakan, hanya ada dua pilihan dalam mengorganisir aktivitas ekonomi: sistem totaliter yang koersif atau sistem pasar yang sukarela. Yang terakhir ini dicirikan oleh “private enterprises” dan “strictly voluntary exchanges.”22

“Sayang”-nya, banyak ekonom yang menyalahartikan kalimat Friedman di atas. Beberapa ekonom pasar radikal kanan bahkan mengharamkan sama sekali peran negara dalam perekonomian.23

20Friedrich A. Hayek, Ancaman Kolektivisme, 44-45. 21Friedrich A. Hayek, Ancaman Kolektivisme, 48. 22Friedrich A. Hayek, Ancaman Kolektivisme, 49.

(9)

Padahal, Friedman telah menyatakan bahwa eksistensi pasar bebas bukan berarti peran pemerintah sama sekali ditiadakan. Pemerintah tetap dibutuhkan, namun dalam wilayah yang sangat dibatasi. Menurut Friedman, pemerintah diperlukan untuk menetapkan “rules of the game” dan untuk menjamin pelaksanaan aturan-aturan tersebut. Pasar yang efisien dengan sendirinya akan mengurangi peran- peran pemerintah yang tidak perlu.

Eko Prasetyo24 menjelaskan bahwa Adam Smith adalah peletak dasar pemikiran kapitalisme yang menjelaskan bekerjanya mekanisme hukum pasar atas dasar dorongan kepentingan-kepentingan pribadi karena kompetisi dan kekuatan individualisme dalam menciptakan keteraturan ekonomi.25 Melaluinya, kapitalisme melakukan klasifikasi antara nilai guna dengan nilai tukar yang ada pada setiap komoditi. Ukuran riil dari nilai tukar komoditi, harus dilihat dari kondisi pertukaran, dimana 'ukuran riil' dari nilai komoditi adalah kuantitas dari kerja yang berada dalam barang-barang lain yang dapat dipertukarkan di pasar. Tokoh berikutnya yang penting adalah David Ricardo, yang melakukan kritik terhadap Adam Smith, terutama yang berkaitan dengan nilai komoditi. Menurutnya, nilai komoditi terdapat pada kerja manusia berikut bahan-bahan mentah dan alat-alat kerja. Ricardo menemukan bahwa komoditi yang dijual pada harganya, kira-kira akan setara dengan jumlah kerja yang diperlukan untuk memproduksinnya. Asumsinya satu-satunya nilai tukar, berawal dari jumlah kerja yang digunakan untuk memproduksi, Karenanya dari Ricardo-lah sifat parasit dari

Friedman, anak Milton Friedman.

24Eko Prasetyo, “Kapitalisme dan Neo-Liberalisme: Sebuah Tinjauan Singkat,” dalam Ekonomi Politik Journal Al-Manär, Edisi I, (2004), 2.

(10)

seluruh pendapatan yang tidak diperoleh dari kerja terbongkar, sebab darinya, kelak akan ditemukan apa yang dinamai dengan nilai lebih dan kerja lebih.

Kedua ilmuwan ini menjadi peletak dasar bagi ideologi kapitalisme awal dan mereka hidup pada masa transisi dari ekonomi subsistem menuju pada sistem ekonomi pasar, yang mengandalkan pada laba. Sejumlah ilmuwan kemudian memberikan pendasaran historis tentang masa peralihan ke kapitalisme ini dengan ditandai oleh sejumlah indikator: pertama meningkatnya output pertanian yang bersamaan dengan pemisahan petani-petani dari tanahnya, kedua pertumbuhan produksi komoditi dan pembagian kerja, ketiga akumulasi modal oleh pedagang dan petani kaya. Paul Baran menyatakan bahwa kapitalisme terbentuk ketika terjadi akumulasi modal dalam bentuk modal dagang yang kemudian menjadi dasar ekspansi Eropa dimana negara memberikan dukungan terhadap kompetisi26 Pasca Perang Dunia II ini telah membawa upaya beberapa negara, terutama Amerika, untuk memimpin proses rekonstruksi.

Itu sebabnya kehadiran IMF menjadi diperlukan terutama ketika banyak negara tidak mampu membayar hutangnya kembali. Semula Meksiko yang gagal membayar hutangnya yang jatuh tempo pada tahun 1982. IMF, pada saat Meksiko mengalami masalah, diperlukan untuk membantu menyelamatkan neraca pembayaran dan mengatur perundingan restrukturisasi utang dengan kalangan Perbankan International. Perannya menjadi kian penting saat Asia memasuki krisis terberatnya pada dekade 1997 dimana IMF mencoba ikut memecahkan. Salah satu program IMF yang populer dinamakan dengan SAP (Structural Adjusment Program) yang didasarkan atas keyakinan bahwa sektor swasta lebih efektif, dinamis dan bereaksi lebih baik terhadap ekonomi pasar daripada sektor pemerintah. Karenanya IMF selalu mendorong setiap negara untuk berintegrasi dalam pasar dunia melalui beberapa kebijakan, di antaranya: pertama menurunkan nilai tukar mata uangnya agar lebih kompetitif, kedua mengurangi hambatan-hambatan perdagangan sehingga mendorong industri lokal lebih kompetitif dalam menghadapi

(11)

produk impor yang lebih murah, ketiga memberikan insentif ekspor seperti keringanan pajak dan subsidi keuangan, keempat merangsang investasi asing dengan menciptakan wilayah perdagangan bebas atau memberikan pembebasan pajak. Di samping sejumlah program ini juga ada sejumlah bantuan yang berada di bawah program-program IMF yang tetap konsisten dengan paradigma utamanya, yakni mencebur dalam mekanisme pasar bebas.

Marx meramalkan bahwa kapitalisme akan hancur melalui revolusi proletar. Revolusi ini dipicu oleh frustrasi kelas pekerja akibat ekploitasi oleh kelas kapitalis. Mereka (para pekerja) diperlakukan hanya sebagai komoditas (commodity fetishism). Kapitalis menghisap rente yang berasal dari selisih antara upah pekerja dengan harga jual barang (surplus value). Hancurnya kapitalisme akan melahirkan masyarakat sosialis, dimana kepentingan bersama selalu diletakkan di atas kepentingan pribadi, dan “from each according to his ability to each according to his needs.” Tahap matang dari sosialisme adalah komunisme, di mana masyarakat tidak lagi mengenal kelas. Hak pribadi lebur menjadi hak komunal. Semua sama, dan pemerintah mengatur segalanya. Jadi, sosialisme/komunisme, menurut Marx, adalah konsekuensi logis dari kapitalisme. Ternyata, sampai saat ini diktum Marx tidak terbukti. Yang terjadi justru sebaliknya: kapitalisme semakin berkembang.27

Ada satu faktor lain selain sosialisme dan kapitalisme yang selalu menyertai, demokrasi. Triumvirat ini pertama kali dipopulerkan oleh Schumpeter. Sama dengan Marx, Schumpeter juga meramalkan keberhasilan sosialisme dan kejatuhan kapitalisme. Lebih jauh, Schumpeter berargumen bahwa demokrasi bisa tumbuh lebih subur dalam masyarakat sosialisme ketimbang masyarakat kapitalisme. Sekalipun begitu, Schumpeter mengatakan bahwa kapitalisme dan demokrasi mempunyai hubungan mutual. Kejatuhan kapitalisme lebih merupakan proses alami (creative destruction) menuju sosialisme, di mana kemudian demokrasi lebih berkembang lagi. Ketika Schumpeter menulis buku itu, kondisi ekonomi-politik di negara komunis,

(12)

seperti Uni Soviet sedang jelek-jeleknya dan sungguh jauh dari demokrasi. Tapi Schumpeter mengatakan bahwa kondisi Uni Soviet tidak boleh dijadikan patokan akan masa depan sosialisme, karena banyak hal yang dilakukan para czar Rusia di Uni Soviet tidak konsisten dengan prinsip-prinsip sosialisme dan komunisme. Juga, seperti ramalan Marx, tesis Schumpeter belum terbukti. Yang terjadi – paling tidak seperti yang diklaim oleh banyak penganut kapitalisme – demokrasi justru identik dengan kapitalisme.28

“Identik” tentu bukan istilah yang memuaskan. Sepintas lalu, kita paham bahwa kapitalisme tidak sama dengan demokrasi. “Identik” di sini seharusnya bukan tanda sama dengan, tapi harus dijelaskan hubungan sebab-akibatnya. Robert Dahl menjadikan tema ini sebagai fokus dalam bukunya, “Democracy and Its Critics” (1989). Manurut Dahl, kapitalisme adalah syarat perlu (necessary condition) dari demokrasi, sekalipun bukan syarat cukup (sufficent condition). Hal yang sama dikatakan oleh Peter Berger dalam “Capitalist Revolution” (1986).29

Kapitalisme belakangan ini mulai menunjukkan tanda-tanda keredupannya. Semenjak sistem kapitalisme mendominasi sistem perekonomian dunia, hampir semua negara pernah mengalami krisis yang menggoyahkan stabilitas. Krisis demi krisis ekonomi terus berulang dalam sejarah. Tercatat sejak tahun 1923, tahun 1930, tahun 1940, tahun 1970, tahun 1980, tahun 1990, dan dan tahun 1998–2001, bahkan pada tahun 2008 krisis semakin mengkhawatirkan dengan munculnya krisis finansial di Amerika Serikat, yang memberikan efek domino ke berbagai negara di penjuru dunia.30 Roy Davies dan Glyn Davies menjelaskan

28Anonym, “Kapitalisme,” dalam www.pk-sejahtera.us/kastra/pdfs/kapitalisme.pdf, diakses tanggal 26 Maret 2013.

29 Anonym, “Kapitalisme,” dalam www.pk-sejahtera.us/kastra/pdfs/kapitalisme.pdf, diakses tanggal 26 Maret 2013.

(13)

dengan jelas kronologi krisis ekonomi dunia secara menyeluruh. Sepanjang Abad ke-20 telah terjadi lebih 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Ini berarti, rata-rata setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi jutaan umat manusia.31

C. Sistem Ekonomi Islam

Sistem ekonomi Islam memiliki perbedaan yang bersifat paradigmatik dengan sistem ekonomi konvensional. Sistem ekonomi Islam berbasis pada religious worldview and vision, yang diderivasikan dari al-Qur’an dan Hadits, yang secara diametral banyak berbeda dari secular worldview and vision di sistem ekonomi konvensional. Sebagai misal, sistem ekonomi Islam membahas kebutuhan manusia secara seimbang dan tanpa diskriminasi, baik material maupun non material.32 Dengan demikian, sistem ekonomi Islam akan berfokus pada “optimisasi”

falah (kesejahteraan dunia-akhirat) dan pemenuhan “kebutuhan.” Hal ini berbeda secara diametral dengan sistem ekonomi konvensional yang tidak membahas kebutuhan non material karena tidak terukur dan melibatkan value judgment, sehingga sistem ekonomi konvensional cenderung berfokus pada “maksimisasi” kekayaan material (profit maximization) dan pemenuhan “keinginan.”

Sistem Ekonomi Islam juga menekankan secara seimbang antara kerjasama (cooperation) dan persaingan (competition) berlandaskan pada social-interest, yang seringkali membutuhkan

sacrifice (pengorbanan). Sedangkan sistem ekonomi konvensional cenderung hanya berfokus pada persaingan bebas berlandaskan self-interest. Sistem ekonomi Islam bersandar pada

global. Lebih lanjut baca Coen Husain Pontoh (2007), “Efek Domino Krisis

Properti di AS”, dikutip dari

http://coenpontoh.wordpress.com/2007/09/19/efek-domino-krisis- properti-di-as/ diakses 25 Maret 2013.

31Roy Davies and Glyn Davies, The History of Money From Ancient Time of Present Day (New York: Oxford University Press, 1996), 13.

(14)

sistem bagi hasil (profit and loss sharing) dan melarang riba (usury), gharar (excessive speculation) dan maysīr (gambling). sistem ekonomi konvensional justru bersandar pada riba, dan tidak melarang gharar dan maysīr. Sistem ekonomi Islam juga banyak mendorong social-welfare contracts, seperti zakat (compulsory charity), wakaf (endowment resources), hibah, dan

qardh al- asanḥ (free-interest loan).33 Sedangkan sistem ekonomi konvensional cenderung hanya terfokus pada private-welfare contracts saja. Meski berbasis kepada nilai dan moral agama (Islam), namun sistem ekonomi Islam tetap akan bersifat ilmiah karena nilai dan moral agama yang dikandungnya tidak menghalanginya untuk secara objektif menentukan hubungan kausal antar variabel. Seluruh hipotesis dan teori yang dibangun dalam sistem ekonomi Islam akan selaras dengan inti atau struktur logis dari paradigma Islam. Sistem ekonomi Islam mengembangkan ilmu ekonomi yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan hidup umat manusia secara komprehensif, baik material maupun moral dan spiritual, serta menjaga keberlangsungannya.

Perbedaan Ekonomi Islam Dan Ekonomi Kapitalisme

Aspek Islam Kapitalisme

Sumber Ide /pemikiran

Allah Manusia

Sumber Alquran dan hadits Daya Pikir Manusia

Motif Ibadah Rasional materialisme

Paradigma Syariah Pasar

Tujuan Falah dan Maslahat Utilitarian,

individualisme Filosofi Operasional Keadilan,

kebersamaan dan Tanggung Jawab

Liberalisme, Laisez Faire

(15)

Kepemilikan harta Milik absolut pada

Perputaran Uang Real based ekonomi Monetary based ekonomi

Instrumen Moneter Bagi hasil, jual beli,

(16)

Sasaran Penerima Pada zakat ditentukan

8 ashnaf Tanpa melihat ashnaf

Tujuan

Pembangunan Memprioritaskan pengentasan kemiskinan

Kemajuan semata

Dampak Sarana menciptakan

keadilan ekonomi

Kesenjangan

Sumber: Agustianti, “Filsafat Ekonomi Islam.

http://shariaeconomics.wordpress.com/2011/02/21/58/, diakses tanggal 26 Maret 2013.

Dalam kajiannya, Sistem Ekonomi Islam, dalam semangat Garaudian, memilih pendekatan analisis komparatif antara sistem ekonomi konvensional dan sistem Ekonomi Islam, dengan menggunakan pluralisme metodologi, baik moral, fiqh, ekonomi, politik dan sejarah, dengan fokus utama pada makna dan tujuan ilmu ekonomi. Islam sebagai agama pertama dan asal. Ia sesungguhnya adalah agama satu-satunya dan bukan sebuah agama atau paradigm baru yang muncul dalam sejarah dan di antara ciri-ciri khususnya adalah universal, internasional dan komprehensif. Ia sesungguhnya adalah risalah penutup yang datang untuk mempertegas dan menyempurnakan risalah-risalah sebelumnya serta membebaskannya dari penyisipan yang mencampurinya.34 Karena itu, dapat dikatakan adanya titik temu (qāsim mushtarak; common denominator) antara Islam dan agama-agama kitābīyah dan non-kitābīyah terdahulu.

Dalam bidang ekonomi, Islam berdasarkan atas konsep pemilikan tertentu. Kaidahnya, “Hanya Allah saja sesungguhnya yang memiliki.” Manusia mempunyai hak guna dengan hasil kerjanya. Garaudy membedakan hak milik dalam pengertian Islam dan hak milik dalam pengertian Barat, dengan aneka produk sistem ekonominya. Hukum Romawi mendefinisikan hak milik sebagai “hak guna dan salah guna” (jus utendi, jus abutendi), yang bermakna bahwa pemilik mempunyai kekuasaan mutlak dalam menghimpun dan menumpuk hak milik, bahkan

(17)

menghancurkannya, dan bahkan untung menghalangi dan menutup kebutuhan pokok orang lain. Konsep Romawi ini berdasarkan individualism dan keyakinan bahwa manusia sebagai individu adalah pemilik dan ia sesungguhnya adalah nilai tertinggi dan mutlak. Konsep ini mudah sekali membawa kepada munculnya individu-individu yang mempunyai kekayaan tanpa ada batasan sedikitpun dan tanpa memandang kelompok dan kepentingan kelompok.35

Berbeda dengan itu, Garaudy melihat bahwa hak milik dalam Islam bukanlah khusus dengan seorang individu atau suatu kelompok individu-individu tanpa yang lain. Tetapi pertama-tama adalah hak milik Allah sebagai Pencipta Langit dan Bumi dan setelah itu ia mempunyai “fungsi sosial.” Ia tidak mendapatkan hak kecuali sesuai dengan kewajiban yang dipenuhinya. Karena itu, ia menegaskan bahwa konsep hak milik Islam bertentangan secara mendasar dengan kapitalisme sebagai sebuah system yang berdasarkan kepada prioritas pertama individu.36

Dalam nuktah inilah, Garaudy berbeda dengan orientalis Marxis, Maxim Rodinson. Rodinson di samping menegaskan bahwa hak milik hanya milik Allah saja dan bahwa manusia dibebani tanggung jawab (mustakhlaf) di dunia, iapun sampai pada kesimpulan bahwa dalam ajaran Islam tidak ada sesuatu yang bertentangan dengan sistem ekonomi kapitalisme.37

Masih menurut Garaudy, menjelaskan bahwa apa yang dicapai Negara-negara sosialispun adalah semata-mata perubahan struktural di bidang hukum dalam pendistribusian hak milik. Negara kini menjadi pemilik mutlak dari hak milik. Akan tetapi karena tidak dikontrol dan tidak beriman kepada nilai-nilai Ilahiyah yang transenden, tidak ada yang mencegahnya menjadi lembaga dan aparatus yang menentukan hak-hak istimewa untuk dirinya seperti yang dilakukan oleh kaum Kapitalis dan Borjuis. Jadi, di samping perubahan struktural hukum terhadap sistem hak 35Mu sin al-Maylī, ḥ Pergulatan Mencari Islam: Perjalanan Religius Roger Garaudy, 216.

36Mu sin al-Maylī, ḥ Pergulatan Mencari Islam: Perjalanan Religius Roger Garaudy, 216-217.

(18)

milik, pada dasarnya tidak terjadi perubahan mendasar dalam segi konsep hak milik itu sendiri, serta kelanjutannya atas hak bertindak, guna, dan distribusi. 38

D. Kesimpulan

Sistem ekonomi Islam dalam hal konsep hak milik Islam tidak hanya berbeda dari kecenderungan individualistis dalam Kapitalisme, akan tetapi juga dari totalitarisme sistem hak milik Negara kaum Sosialis. Namun, antara Islam dengan Sosialisme tidak terlihat kontradiksi penuh, karena Islam sebenarnya tidak mengkoreksi kecuali beberapa konsep yang keterlaluan saja. Bila Sosialisme dapat membebaskan diri dari bentuk birokrasi dan pengaruh apparatus Negara, maka ia akan jauh lebih baik dari kapitalisme. Sosialisme memerlukan beberapa perbaikan sehingga terbebas dari alat birokrasi. Ia juga membutuhkan pembatasan tujuan-tujuan kemanusiaan sesungguhnya. Tujuan-tujuan keimanan tidak dapat dicapai kecuali bila sejalan dengan iman kepada Allah.

Daftar Pustaka

Abbas, Anwar. Bung Hatta dan Ekonomi Islam: Menangkap Makna Maqāshid al-Syarī’ah. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010.

Achsien, Iggi Haruman. “Menuju Kapitalisme Religius?,” dalam

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juni (1999). Almasi, Ali dan Muhammad Sadegh Amindin, “Islamic

Economy: A Critical Analysis on Capitalism,” dalam The Global eLEARNING Journal, Volume 2, Number 2, (2013).

(19)

Davies, Roy dan Glyn Davies. The History of Money From Ancient Time of Present Day. New York: Oxford University Press, 1996.

Friedman, Milton. Capitalism and Freedom, Fortieth Anniversary Edition. Chicago: The University of Chicago Press, 2002.

Gidden, Anthony. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Suatu Analisis terhadap Karya Tulis Mark, Durkheim dan Max Weber. Jakarta: UI- Press, 1986.

Halim, Fachrizal A. Beragama dalam Belenggu Kapitalisme.

Magelang: IndonesiaTera, 2002.

Hayek, Friedrich A., The Road to Serfdom. London: Routledge classics, 2001. Buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia lihat Friedrich A. Hayek. Ancaman Kolektivisme

(terj.) Iones Rachmat. Jakarta: Freedom Institute, 2011. Hettne, Bjorn. Teori Pembangunan dan Tiga Dunia. Jakarta:

Gramedia, 2001.

Ilmu Ekonomi Islam-Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Ilmu Ekonomi Islam. Jakarta: IEI-FE UI, 2013.

Jakasurya, Pandu. “Agama dan Kapitalisme,” dalam Militan Koran Kaum Buruh Indonesia, Edisi III/Desember (2011). al-Maylī, Mu sinḥ . Pergulatan Mencari Islam: Perjalanan

Religius Roger Garaudy (terj.) Rifyal Ka’bah. Jakarta: Paramadina, 1996.

Mises, Ludwig von. Mentalitas Anti-Kapitalistik (ter.) Iones Rachmat. Jakarta: Freedom Institute, 2011.

al-Nabhanī, Taqyuddīn. Al-Takātu al-Hizbī, Hizbu al-Ta rīr.ḥ Beirut: Dār al-Ummah, 1953.

_________. Niżām al-Islām. Beirut: Dār al-Ummah, 1953. Nuswantoro. Daniel Bell: Matinya Ideologi. Magelang:

(20)

Pontoh. Coen Husain. “Efek Domino Krisis Properti di AS”,

dikutip dari

http://coenpontoh.wordpress.com/2007/09/19/efek-domino-krisis- properti-di-as/ diakses 25 Maret 2013.

Prasetyo, Eko. “Kapitalisme dan Neo-Liberalisme: Sebuah Tinjauan Singkat,” dalam Ekonomi Politik Journal Al-Manär, Edisi I, (2004).

Sasono, Adi, dkk,. Solusi Islam Atas Problematika Umat: Ekonomi, Pendidikan, dan Dakwah. Jakarta: GIP, 1998. Setiawan, Bonnie. Peralihan Kapitalisme Di Dunia Ketiga.

Yogyakarta: Insist Press, 1999.

Soetrisno. Kapita Selekta Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset, 1992.

Thompson, J. Milburn. Keadilan dan Perdamaian: Tanggung Jawab Kristiani Terhadap Pembangunan (terj.) Jamin Sirait, P Hutapea dan Steve Gasperzs. Jakarta: Gunung Mulia, 2009.

Triono, Dwi Condro, “Hegemoni Kapitalisme Dunia,” dalam

http://khilafah1924.org/index.php?

option=com_content&task=view&id=555, diakses tanggal 26 Maret (2013).

Triono, Dwi Condro, “Penjajahan Bidang Ekonomi,” Media Politik dan Dakwah Al Wai'e No. 68 Tahun VI April (2006).

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari bukti empiris bahwa proporsi jaminan yang dibebankan kepada penerima pinjaman dipengaruhi secara positif oleh besar

Kegiatan klaster kesehatan yang dapat dibiayai dengan Dana Siap Pakai pada saat status. siaga darurat ditetapkan, secara garis besar meliputi kegiatan penanganan darurat

QUR’AN HADITS MELALUI METODE INDEX CARD MATCH PADA SISWA KELAS III MADARASAH IBTIDAIYAH SALAFIYAH TUKANGAN CANDI AMPEL TAHUN PELAJARAN 2009/2010 bertujuan untuk

Apakah Inflasi secara parsial memiliki pengaruh positif yang signifikan. terhadap ROA pada Bank

Kasus pecah kongsi yang terjadi di Kabupaten Sidoarjo antara Bupati Saiful Illah dan Wakilnya M.G Hadi Sucipto merupakan salah satu fenomena yang muncul dalam proses

Dengan adanya OpenGTS yang sudah dimodifikasi ini, kekhawatiran para pemilik kendaraan bermotor, baik pribadi atau perusahaan, dapat berkurang, karena mereka dapat memonitor dan

Bagi bidang ilmu keperawatan, khususnya keperawatan komunitas hendaknya senantiasa mengembangkan keilmuannya dengan penelitian terkait aspek psikologis pada lansia yang

Berbagai upaya dilakukan oleh fiskus untuk mendapatkan kepercayaan dari wajib pajak dalam hal kepatuhan membayar pajak dan mendekatkan UPTD Dinas Pendapatan