BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Sehat merupakan kebutuhan dasar manusia. Untuk mencapai kondisi sehat
langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan melakukan perawatan diri.
Orem (1991) mendeskripsikan perawatan diri sebagai tindakan yang
berkesinambungan yang diperlukan dan dilakukan oleh orang dewasa untuk
mempertahankan hidup, kesehatan dan kesejahteraan. Banyak gangguan
kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya kebersihan diri
dengan baik. Pembangunan kesehatan pada dasarnya menyangkut segala segi
kehidupan masyarakat dan berlangsung pada setiap individu tak terkecuali para
narapidana. Narapidana yang tinggal di lembaga pemasyarakatan(lapas) juga
merupakan anggota masyarakat yang mempunyai hak yang sama dengan anggota
masyarakat lainnya untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Saat ini hampir seluruh lapas di Indonesia mengalamiover capacity (kelebihan
muatan).Narapidana terkadang harus tidur bertumpuk-tumpuk karena sel penuh
sesak. Berdasarkan data dari Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia (2014), jumlah napi dan tahanan di Indonesia saat ini
sebanyak 160.231 orang dengan rincian napi 109.695 orang dan tahanan 50.536
orang. Jumlah ini tidak seimbang dengan kapasitas penjara 109.011 orang
sehingga terjadi over capasity hingga 47%. Secara global, narapidana wanita
meningkat dengan cepat dan jauh lebih besar daripada laki-laki. Pada tahun 2005,
di seluruh dunia pernah terjadi lebih dari setengah juta perempuan dan anak putri
ditahan di lapas. Sekitar 1,5 juta orang akan dipenjarakan sepanjang tahun
(UNODC, 2008). Dampak dari over capasity yaitu buruknya kondisi kesehatan
dan suasana psikologis narapidana, mudah terjadinya konflik antar penghuni,
meningkatnya ketidakpuasan penghuni, pembinaan tidak berjalan sesuai ketentuan
dan terjadi pemborosan anggaran akibat meningkatnya konsumsi air, listrik,
makanan dan pakaian (Nastami, 2012).
Napi wanita mempunyai kebutuhan pelayanan kesehatan khusus dan
merupakan salah satu populasi unik pada lapas yang memiliki masalah kesehatan
karena kerentanan dan kelemahan mereka. Isu kemiskinan, reproduksi, dan
keluarga sangat kental pada narapidana perempuan. Sebelum ditahan para
narapidana berasal dari latar belakang sosial ekonomi rendah yang memiliki
keterbatasan mendapatkan pelayanan kesehatan.Pelayanan kesehatan yang selama
ini diberikan juga belum cukup maksimal dan tidak efektif untuk memenuhi
kebutuhan narapidana perempuan sebab sistem pelayanan di lapas dirancang dan
dikembangkan untuk pria.
Narapidana wanita juga sangat rentan terhadap serangan berbagai macam
penyakit seperti diabetes, penyakit jantung, HIV, hipertensi, gangguan jiwa,
penyakit kecanduan, dan hepatitis (Glaser & Griefinger, 1993; Weisbuch, 1991
dalam Marshall et al, 2000). Hal ini disebabkan oleh kehidupan di dalam lapas
memang jauh dari kelayakan. Kondisi lapas dari segi sarana dan prasarana, hunian
kebutuhan toilet yang masih terbatas membuat penghuni sulit untuk menciptakan
kondisi higienis bagi diri mereka sendiri sehingga membuat mereka mudah
terpapar infeksi menular selama berada di dalam lapas. Kebutuhan dasar
perempuan seperti barang-barang untuk kebersihan menstruasi (pembalut, kain
saniter yang bersih) sering tidak terpenuhi (UNODC, 2008). Tingkat kesehatan
narapidana yang buruk merupakan suatu konsekuensi logis yang pasti dialami
oleh narapidana (Wirawan, Nurullita, & Astuti, 2011).
Hasil laporan data kesehatan tahun 2006 dan 2007 yang diterima Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan menunjukkan bahwa penyakit kulit menempati urutan
pertama dari 10 besar penyakit di lapas dan rutan seluruh Indonesia. Herpes
merupakan salah satu penyakit kulit yang sering terjadi di lapas. Di Lapas Wanita
Klas IIA Semarang, berdasarkan data dari bagian administratif kesehatan tahun
2009, 80% dari jumlah total 176 warga binaan mempunyai riwayat menderita
penyakit herpes simplek (Wirawan dkk, 2011).Zulfah (2008) menemukan bahwa
narapidana menderita penyakit kulit berkaitan dengan perilaku yang mereka
lakukan sebelum masuk atau selama mendekam di lapas. Penularan penyakit kulit
terjadi karena sanitasi yang kurang baik, air bersih sulit diperoleh, dan perilaku
napi yang kurang bersih. Sel yang kotor dan pengap juga turut berperan. Hasil
rekapan di klinik kesehatan Lapas Klas IIA Kupang, diketahui pada tahun 2008
urutan teratas penyakit yang sering diderita adalah penyakit kulit yakni sebanyak
1903 kasus dan tahun 2009 masih yang tertinggi yakni sebanyak 1729 kasus
Praktek personal hygiene narapidana penderita penyakit kulit yang buruk
ditunjukkan pada item frekuensi mandi, pemakaian sabun saat mandi, penggunaan
alat makan secara bergantian tanpa dicuci terlebih dahulu, mengganti pakaian, dan
meminjam/ meminjamkan pakaian dan handuk kepada orang lain. Berdasarkan
hasil wawancara terhadap ketiga orang narapidana, diketahui bahwa seorang
narapidana mandi satu kali sehari, banyak atau sedikit air yang ada tidak
mempengaruhinya dalam berperilaku mandi. Narapidana tersebut beranggapan
bahwa jika mandi dua atau tiga kali dalam sehari maka badannya akan menjadi
lemah dan tidak kuat dalam bekerja. Dua orang narapidana lainnya mengatakan
bahwa mereka mandi satu kali dalam sehari karena air bersih yang terbatas dan
harus mengantri untuk mengambil air. Tidak hanya masalah mandi, narapidana
juga sering meminjam atau meminjamkan pakaian dan handuk kepada orang lain.
Sudah menjadi hal yang wajar bila sesama teman sekamar pinjam-meminjam
pakaian dan handuk di latar belakangi oleh rasa setia kawan karena tidak enak
menolak permintaan teman sekamar. Alasan lain juga karena persediaan baju yang
minim, sehingga lebih mudah meminjam baju teman sekamar. Narapidana juga
mengatakan bahwa di dalam kamarnya hanya terdapat satu buah handuk saja.
Handuk tersebutlah yang mereka gunakan beramai-ramai setiap harinya
(Astriyanti dkk, 2010).
Tidak hanya masalah personal hygiene, lapas di Indonesia saat ini kebanyakan
belum dapat memenuhi standar makanan yang baik bagi penghuni, sehingga
banyak penghuni yang lebih memilih membeli makanan daripada memakan
makan di lapas tersebut gizinya kurang memadai dan rasanya tidak
enak.Narapidana wanita dapat menerima makanan dari luar lapas setelah terlebih
dahulu mendapat izin dan diperiksa oleh petugas lapas, tetapi seringkali hal ini
dapat memicu kecemburuan sosial dan pertengkaran antara sesama narapidana,
sehingga menurut kepala bidang pembinaan kadang ada beberapa orang
narapidana wanita yang ketahuan mencuri makanan narapidana wanita lainnya
(Nelli, 2003).
Pada kenyataannya masih terdapat kasus mengenai penyediaan makanan di
lapas yang kurang layak. Hal ini terjadi di Lapas Kajhu di Aceh (2010), ratusan
napi melakukan protes keras dengan merobohkan jeruji besi pembatas ruang
tahanan. Mereka melakukan aksi mogok makan dan menyampaikan keluh kesah
mereka perihal ketersediaaan air dan jam makan napi yang selalu molor. Selain
itu menurut berita VivaNews, di Lapas Nusa Kambangan, beberapa napi mencari
makanan tambahan di luar jatah makanan. Beruntung napi di lapas ini beraktivitas
atau bekerja di alam bebas. Mereka mencari bekicot dan simping karena anggaran
dana untuk makan para napi hanya Rp.8000 per hari sehingga memaksa para napi
harus beradaptasi dan cerdik dalam menyusun menu untuk memenuhi gizi mereka
meskipun itu sangat mustahil. Menurut Suhendar, salah satu tahanan politik di
Nusa Kambangan, pada tahun 1966 silam, terdapat beberapa kejadian kematian
tahanan yang sebagian besar meninggal karena kelaparan. Kasus serupa juga
terjadi di Lapas Nabire Papua pada bulan Juni 2010 (Avil, 2015).
Lapas juga mengalami kekurangan ruang untuk napi seperti kamar mandi dan
ruang tahanan. Tidak heran jika para penghuni lapas harus antri panjang untuk
menggunakan sarana tersebut. Daryanto (2011, dalam Wardoyo, 2011)
mengatakan bahwa kondisi Lapas Sragen sangat tidak layak. Kondisi kamar
tahanan, kamar mandi hingga ruangan semuanya sangat tidak memenuhi syarat,
antara toilet dan ruang tahanan tidak ada pembatas dan dibiarkan terbuka. Tidak
hanya di Lapas Sragen, keadaan kamar mandi Rutan Pondok Bambu juga
mengalami permasalahan yang sama, pembatas kamar mandi sangat rendah
sehingga semua orang dapat melihat saat narapidana mandi. Ruang kamar mandi
juga sangat sempit hanya terdiri dari beberapa petak dan berdempetan sehingga
para narapidana sulit untuk membersihkan diri (Putri, 2014).
Hal ini membuat para napi kesulitan untuk buang air besar. Seorang tahanan
mengatakan, banyaknya tahanan dalam satu kamar menyebabkan narapidana
kesulitan buang air besar karena pada saat buang air besar narapidana harus antri
(Putri, 2014). Di dalam kamar tahanan yang dihuni 60 jiwa maupun 106 jiwa
tahanan hanya ada sebuah WC dan di depan kamar tahanan ada beberapa WC dan
kamar mandi yang semi terbuka. Sebagai contoh di Lapas Tasikmalaya sebuah sel
ukuran 6x4 meter memiliki satu kamar mandi yang diproyeksikan untuk 12 orang
namun saat itu diisi oleh 32 orang.Berbagai masalah dan kondisi di lapastentu
mempengaruhi bagaimana perawatan diri narapidana wanita.
Hasil wawancara dan survei awal yang dilakukan pada tanggal 19 dan 20
November 2014 dengan petugas dan narapidana di Lapas Klas IIA Wanita
Tanjung Gusta Medan saat ini jumlah narapidana dan tahanan 485 orang, dengan
sangat tidak seimbang dengan kapasitas penjara 150 orang, terjadi over capasity
hingga tiga kali lipat. Warga binaan mempunyai kebiasaan mandi 1 kali sehari
dengan perlengkapan mandi milik pribadi dan air dibagi 1 ember per orang,
makan 3 kali sehari.
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang gambaran perawatan diri narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan.
1.2Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran perawatan diri narapidana wanita di Lapas Klas IIA
Wanita Tanjung Gusta Medan?
1.3Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum adalah untuk mengidentifikasi perawatan diri narapidana
wanita di Lapas Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan
1.3.2 Tujuan khusus
1.3.2.1Mengidentifikasi personal hygiene narapidana wanita di Lapas Klas IIA
Wanita Tanjung Gusta Medan
1.3.2.2Mengidentifikasi toileting narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita
Tanjung Gusta Medan
1.3.2.3Mengidentifikasi berdandan/ berhias narapidana wanita di Lapas Wanita
1.3.2.4Mengidentifikasi makan narapidana wanita di Lapas Klas IIA Wanita
Tanjung Gusta Medan.
1.4Manfaat Penelitian
1.4.1 Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau informasi
tambahan bagi mahasiswa keperawatan tentang perawatan diri narapidana wanita
di lembaga pemasyarakatan
1.4.2 Praktik Keperawatan
Sebagai informasi bagi profesi keperawatan agar dapat meningkatkan
pelayanan keperawatan di lembaga pemasyarakatan
1.4.3 Penelitian Keperawatan
Sebagai data awal bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih