• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemilihan Bahasa dalam Komunikasi Politik Partai Lokal dI Provinsi Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pemilihan Bahasa dalam Komunikasi Politik Partai Lokal dI Provinsi Aceh"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding

SEMINAR NASIONAL

“Kearifan Lokal dalam Perspektif Bahasa, Sastra, dan Budaya”

Penyunting:

Dr. Mulyadi, M.Hum.

M. Pujiono, M.Hum., Ph.D.

Junaidi, S.S.

FAKULTAS ILMU BUDAYA

(2)

USU Press

Art Design, Publishing & Printing

Gedung F, Pusat Sistem Informasi (PSI) Kampus USU Jl. Universitas No. 9

Medan 20155, Indonesia

Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737 usupress.usu.ac.id

© USU Press 2016

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

ISBN 979 458 907 1

Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Prosiding Seminar Nasional: Kearifan Lokal dalam Perspektif Bahasa, Sastra, dan Budaya / Penyunting: Mulyadi [et.al.] – Medan: USU Press, 2016.

vii, 211 p.: ilus.; 29 cm ISBN: 979-458-907-1

(3)

KA TA PENG A NTA R

Buku kumpulan makalah ini memuat makalah-makalah ringkas yang disajikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara di Hotel Grand Kanaya, Medan, pada 26 Oktober 2016. Seminar ini merupakan upaya pimpinan Fakultas untuk menumbuhkan atmosfir akademik di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara khususnya dan komunitas akademik umumnya.

Tema seminar ini ialah “Kearifan Lokal dalam Perspektif Bahasa, Sastra, dan Budaya”. Pemilihan tema ini merupakan upaya revitalisasi bahasa, sastra, dan budaya lokal dalam penguatan jatidiri bangsa. Sejalan dengan tema seminar, makalah-makalah yang ditulis dalam buku ini membahas nilai-nilai kearifan lokal dalam berbagai artifak budaya, seperti tradisi lisan, kesenian (ketoprak/ronggeng), karya sastra (cerpen/novel), dan bahasa. Selain itu, pemakalah yang tampil di seminar tidak hanya berasal dari Medan (Sumatara Utara), tetapi juga berasal dari Padang (Sumatera Barat) dan Jambi.

Buku kumpulan makalah ini dapat diterbitkan tepat waktu berkat kerja keras tim penyusun buku, terdiri atas dosen dan alumni Fakultas Ilmu Budaya yang sengaja dilibatkan dalam kepanitiaan ini. Juga bantuan teknis yang diberikan oleh staf USU Press sehingga buku ini dapat tersaji seperti ini. Atas nama Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Seminar ini juga dapat terselenggara atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pertama, kami sampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Republik Indonesia yang telah bersedia sebagai pembicara utama seminar ini. Kedua, kami juga berterima kasih secara tulus kepada Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan moral dan material. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh Panitia Penyelenggara Seminar Nasional 2016 yang telah bekerja keras untuk menyukseskan acara ini.

Medan, 26 Oktober 2016

(4)

DA FTA R ISI

KATA PENGANTAR ...iii DAFTAR ISI ... iv

BAHASA

PENERJEMAHAN PEMAKAIAN TEKS UNGKAPAN PERKAWINAN MELAYU RIAU KE DALAM BAHASA INGGERIS

Azhary Tambusai ... 3

PEWARISAN FONEM VOKAL PROTO AUSTRONESIA DALAM BAHASA GAYO

Dardanila ... 8

PEMERTAHANAN BAHASA MELAYU PADA MASYARAKAT TANJUNGBALAI

Dedy Rahmad Sitinjak dan Rahmadsyah Rangkuti ... 12

MAKNA “MEMBAWA” BAHASA TAMIANG: PENDEKATAN METABAHASA SEMANTIK ALAMI

Devi Pratiwy ... 16

BEBERAPA KHAZANAH EKOLEKSIKAL KELAUTAN DALAM BAHASA DEVAYAN DAN SIGULAI SEBAGAI CERMIN TRADISI KEBAHARIAN MASYARAKAT

Dwi Widayati ... 22

PENGGUNAAN BAHASA DAERAH PADA SOSIAL MEDIA INSTAGRAM SEBAGAI BENTUK KEPEDULIAN PEMUDA DALAM MEMPERTAHANKAN BUDAYANYA

Elisa Perdana dan Hawai Apriani Ginting ... 27

ELOKSIKAL DALAM TRADISI REMBAH KU LAU BUDAYA KARO SEBAGAI SALAH SATU PEMELIHARAAN EKOSISTEM

Ernawati Br Surbakti ... 31

KEARIFAN LOKAL BAHASA MELAYU DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI

Faridah ... 36

KEUNIKAN PERTUTURAN ASERTIF BAHASA INDONESIA PADA PENDERITA SKIZOFRENIA TIPE KATATONIK DENGAN GEJALA PERSEREVERASI

Gustianingsih ... 40

NILAI KEARIFAN LOKAL BUDAYA MANDAILING DALAM UMPASA: PERSEPSI MASYARAKAT PENUTURNYA

Khairina Nasution ... 45

TULISAN JAWI: JEMBATAN MASA KE MASA SILAM

M. Husnan Lubis ... 49

PEMERTAHANAN BAHASA INDONESIA DALAM KALANGAN WARGA KETURUNAN INDONESIA-JEPANG DI KOTA MEDAN

(KAJIAN SOSIOLINGUISTIK)

Mhd. Pujiono dan Adriana Hasibuan ... 52

(5)

NEGASI STANDAR DALAM BAHASA MINANGKABAU SEPERTI YANG DIBAHASAKAN DI BONJOL

Muhammad Yusdi ... 57

JEJAK KEPRIMITIFAN BUDAYA BATAK DALAM BEBERAPA KOSAKATA

Natal P. Sitanggang ... 61

BAHASA DAN KEARIFAN LOKAL SEBAGAI IDENTITAS BUDAYA

Oktavianus ... 65

STRUKTUR SEMANTIS VERBA ‘AMBIL’ DALAM BAHASA ACEH

Ridha Rehana dan Mulyadi ... 71

PEMILIHAN BAHASA DALAM KOMUNIKASI POLITIK PARTAI LOKAL DI PROVINSI ACEH

Ridwan Hanafiah ... 76

KERJA SAMA (GOTONG ROYONG) DALAM MENANGANI HUMAN TRAFFICKING

(PERDAGANGAN MANUSIA) MELALUI PERTUNJUKAN TEATER O DALAM NASKAH DETEKTIF DANGA-DANGA EPISODE 1 “ANAK PERAWAN DI SARANG MUCIKARI”

Sabriandi Erdian ... 81

METAFUNGSI VISUAL DALAM WACANA MULTIMODAL RITUS PERKAWINAN ADAT TOBA

Sarma Panggabean ... 85

PARALLELISME DALAM WIRID YASIN

Tasnim Lubis ... 93

SASTRA

NILAI-NILAI RELIGIUS DALAM NOVEL HAPALAN SHOLAT DELISA

Aprili Yanti ... 101

PERAN GURU SEKOLAH DASAR DALAM MEMBENTUK KARAKTER PESERTA DIDIK BERBASIS KEARIFAN LOKAL MELALUI CERITA RAKYAT (LEGENDA)

Hasnidar... 107

NILAI MORAL SEBAGAI KEARIFAN LOKAL DALAM KUMPULAN CERPEN PUTU WIJAYA

Hidayati ... 111

KEARIFAN EKOLOGIS TRADISI LISAN MEMBENTUK KHARAKTER

GREEN MORAL

Khairil Anwar ... 116

TANGGUNG JAWAB MORAL DALAM NOVEL MERANTAU KE DELI OLEH HAMKA: PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL

Pardi ... 121

NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM DWILOGI PADANG BULAN KARYA ANDRE HIRATA

(6)

TRADISI LISAN SEBAGAI SUMBER KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER

Robert Sibarani ... 130

“BILINGUAL INDONESIAN FOLKLORE ANTHOLOGY” : WUJUD AKULTURASI DALAM MENJAGA KEARIFAN LOKAL BAGI ANAK BANGSA

Siska Eka Syafitri ... 136

BUDAYA

ANALISIS KESENIAN RANDAI DALAM KONTEKS KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT MINANGKABAU DI SUMATERA BARAT

Arifninetrirosa ... 143

KOMODIFIKASI KEUNGGULAN LOKAL DESA LINGGA DI KABUPATEN KARO DALAM PERSEKTIF KAJIAN BUDAYA

Asmyta Surbakti ... 149

KATONENG-KATONENG PADA UPACARA CAWIR METUA KARO

Bebas Sembiring dan Torang Naiborhu ... 154

SISTEM PERUWEREN: MANIFESTASI KEARIFAN TRADISIONAL BAGI MASYARAKAT GAYO DI KABUPATEN GAYO LUES

Budi Agustono, Farid Aulia ... 158

OMOTENASHI SEBAGAI IDENTITAS MASYARAKAT JEPANG

Dian Eka Safitri, Irwan ... 161

STRUKTUR TARI DAN MUSIK SERAMPANG DUA BELAS

Fadlin ... 165

KEBERLANJUTAN DAN PERUBAHAN FUNGSI DAN AYA PERTUNJUKAN GENDANG GURO-GURO ARON DAHULU DAN SEKARANG PADA MASYARAKAT KARO

Frida Deliana ... 170

PENGEMBANGAN MODEL PENGELOLAAN KESENIAN KUDA KEPANG DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA

Heristina Dewi ... 175

MELESTARIKAN KEARIFAN LOKAL MELALUI KOLEKSI DEPOSIT PERPUSTAKAAN (USU E-REPOSITORY)

Himma Dewiyana, A. Ridwan Siregar, Ameilia Zuliyanti Siregar ... 180

KESENIAN RONGGENG PASAMAN PADA MASYARAKAT MANDAILING DI KECAMATAN DUO KOTO PASAMAN, SUMATERA BARAT

Junaidi dan Kiki Maulana Affandi ... 185

KOMUNIKASI DAN KEARIFAN DALAM LAGU-LAGU MELAYU

Muhammad Takari ... 190

PLURALISME DI MEDAN

Nurhabsyah ... 195

(7)

AGAMA, BUDAYA DAN BAHASA: DAKWAH ISLAM BERBASIS KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SARANA PEMBENTUK JATI DIRI BANGSA DI ERA GLOBAL

Rahmadsyah Rangkutidan Zulfan Lubis ... 198

HUDA-HUDA/TOPING-TOPING : SUATU TARIAN DALAM UPACARA KEMATIAN USIA LANJUT PADA MASYARAKAT SIMALUNGUN

Setia Dermawan Purba dan Perikuten Tarigan... 203

KESENIAN TRADISIONAL KETOPRAK DI SUMATERA UTARA

(8)
(9)

PEMILIHAN BAHASA DALAM KOMUNIKASI POLITIK PARTAI LOKAL

Bahasa merupakan satu jaringan yang rumit yang terdiri dari unsur-unsur yang saling berkaitan menurut rumus-rumus (hukum-hukum) tertentu (Hayes dan Nissen, 1971). Tulisan ini bertujuan untuk menginvestigasi pemilihan bahasa dalam komunikasi politik partai lokal (parlok) di Provinsi Aceh. Metode penelitian kuantitatif digunakan dalam penelitian ini. Pengambilan data dilakukan di Kota Langsa dan Kabupaten Bireuen. Responden yang mengembalikan kuesioner berjumlah 30 orang yang terdiri dari 15 responden dari Kota Langsa dan 15 responden dari Kabupaten Bireuen. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa bahasa yang dipilih oleh partai politik lokal dalam komunikasi politik di Pemerintahan Aceh adalah bahasa Aceh (BA) dengan persentase 35.72% dalam rapat internal partai, 30.37% dalam kampanye politik, dan 33.91% dalam interaksi sesama pengurus partai. Alasan pemilihan bahasa yang dilakukan oleh parlok dalam komunikasi politik secara dominan disebabkan oleh karena kebiasaan dan fasih (58.48%), merasa akrab (17.98%), kemudian merasa bangga dan senang (13.46%), dan yang memilih karena puas hati (10.08%).Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kedamaian di Aceh, dan tentunya harus dimulai dengan pola penelitian yang akurat yang berbasis budaya dan bahasa, yang mungkin kedua basis ini dapat memberikan nilai-nilai positif dalam membangun kedamaian Aceh ke depan.

Kata kunci :pemilihan bahasa, komunikasi politik, partai lokal, Aceh

1. Pendahuluan

Di dalam hubungan bahasa dan masyarakat, kebanyakan masyarakat bahasa di Indonesia menggunakan bahasa daerah atau bahasa etnik mereka sebagai bahasa pertamanya. Secara politik, bahasa daerah adalah bahasa yang dipakai sebagai bahasa perhubungan intradaerah atau intramasyarakat di samping bahasa Indonesia, selain itu juga dipakai sebagai sarana pendukung sastra serta budaya daerah atau masyarakat etnik di wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian, negara menjamin eksistensi bahasa daerah dan bahasa Indonesia sehingga masyarakat Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi bilingual atau multilingual.

Mahsun (2000) memandang persoalan pemilihan bahasa daerah di sekolah secara psikologis telah membentuk persepsi peserta didik akan kurang pentingnya bahasa dan kultur yang mereka miliki yang terekam dalam bahasa ibu mereka dan secara tidak langsung membentuk pola pikir negatif terhadap bahasa ibunya yang dapat mengurangi kebanggaan terhadap bahasa dan kultur etniknya. Persepsi ini tidak boleh dibiarkan terus-menerus namun diperlukan reorientasi terhadap perundang-undangan sebagai landasan hak hidup bahasa daerah. Persepsi yang merugikan perkembangan bahasa daerah ini menjadi daya tarik peneliti untuk menempatkan bahasa Aceh sebagai bagian integral bahasa daerah di Indonesia.

Bahasa Aceh (BA) digunakan oleh masyarakat Aceh yang menetap di Pemerintahan Aceh, khususnya penduduk yang tinggal di Kota Langsa dan Kabupaten Bireuen. Kota Langsa merupakan kota yang berpenduduk heterogen yang terdiri dari suku Aceh, Jawa, Melayu, Minangkabau, Karo, dan Mandailing. Kelompok masyarakat yang menjadi penduduk Kota Langsa hidup membaur satu sama lainnya dalam aktivitas sehari-hari menurut profesi masing-masing. Mereka memilih menggunakan bahasa Indonesia (BI) dan bahasa campuran antara BI dengan bahasa daerah (alih kode/campur kode) sebagai bahasa komunikasi berinteraksi dan dalam kehidupan bermasyarakat telah terjadi persentuhan sosial antara satu suku dengan suku lainnya. Sementara, penduduk Kabupaten Bireuen adalah kabupaten lebih homogen jika kita bandingkan dengan penduduk Kota Langsa. Di dalam kehomogenan ini, peneliti berasumsi bahwa masyarakat Bireuen memiliki kecenderungan menggunakan BA sebagai bahasa ibu mereka.

(10)

sehari-hari, terutama dalam lingkungan pendidikan dan perkantoran. Bahkan, pengadilan umum dan pengadilan agama terpaksa menggunakan penerjemah BA ke dalam bentuk BI karena masyarakat Aceh yang berperkara tidak fasih atau tidak mau memilih menggunakan BI dalam komunikasinya.

Akan tetapi, setelah penandatangan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 dan setelah lahirnya partai politik lokal di Aceh pada Pemilu Legislatif 2009, maka muncullah suatu fenomena baru bagi masyarakat Aceh dalam berkomunikasi, yaitu memilih menggunakan BA hampir pada semua situasi dan kesempatan. Di dalam situasi ini juga peneliti berasumsi bahwa pemilihan BA lebih dominan daripada BI, atau BA dan BI dipilih secara campur kode atau alih kode dalam komunikasi politik oleh partai politik lokal (selanjutnya disebut dengan parlok) dalam aktivitas mereka, baik secara internal maupun eksternal.

Dengan alasan di atas, penelitian ini mencoba untuk menjelaskan pemilihan bahasa yang digunakan dan memberikan alasan mengapa parlok (partai lokal) memilih menggunakan BA dalam berkomunikasi baik secara internal dan eksternal. Untuk pemilihan bahasa dan alasan pemilihan bahasa dibatasi dalam rapat-rapat internal partai, dalam kampanye politik pada pemilu tahun 2009, dan dalam interaksi dengan sesama anggota partai di luar rapat resmi. Jawaban pertanyaan ini dideskripsikan dengan pendekatan kuantitatif dari kondisi kebahasaan masyarakat Aceh, terutama masyarakat yang heterogen bertempat tinggal di Kota Langsa dan masyarakat yang homogen bertempat tinggal di Kabupaten Bireuen.

2. Pembahasan 2.1.Sosiolinguistik

Peter Trudgill (1984) mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang meninjau bahasa sebagai gejala sosial dan kebudayaan. Di dalam tradisi kajian sosiolinguistik yang maksimum dilakukan dengan pendekatan interaksi seperti yang dilakukan oleh Goffman (1961, 1963), Garfinkel (1967), yang telah menjadi dasar kajian atau penelitian Gumperz (1976). Pendekatan interaksi biasanya menggunakan pengamatan (observasi) langsung dalam melakukan kajian atau penelitian tentang pemilihan dan penggunaan bahasa. Menurut Spolsky (2008), “Language is regularly used in the exercise of political power.” Bahasa secara teratur menjalankan kekuasaan politik. Bahkan, Spolsky menyatakan bahwa, “There are more subtle uses of language in politics. The use of a regional or a social dialect by a political leader is often a claim to a specialized ethnic identity.” Bahasa digunakan secara halus dalam politik. Hal itu diperlihatkan dalam dialek sosial seorang pemimpin politik yang secara tegas memberikan klaim identitas etnis khusus kekuasaan politik.

2.2.Pemilihan Bahasa

Pemilihan bahasa muncul akibat adanya pemilihan penggunaan bahasa di mana masyarakat memiliki alasan tersendiri untuk menggunakan bahasa tertentu. Di dalam penelitian ini, penggunaan bahasa masyarakat homogen merujuk pada pemilihan bahasa masyarakat Kabupaten Bireuen sedangkan bahasa masyarakat heterogen mengacu pada bahasa masyarakat Kota Langsa. Di dalam pemilihan bahasa, masyarakat memiliki alasan berdasarkan faktor kebiasaan, rasa bangga, rasa puas, atau berdasarkan faktor merasa akrab memilih suatu bahasa. Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat mempunyai latar belakang sosial dan kebahasaan dalam memilih bahasa yang menjadi alat komunikasi. Di dalam penelitian ini, komunikasi terjadi secara politis dalam usaha menumbuhkan respon positif dari masyarakat terhadap parlok pada Pemilu Legislatif 2009 di Pemerintahan Aceh.

2.3.Komunikasi Politik

Para ahli mendefinisikan komunikasi menurut sudut pandang masing-masing. Carl I. Hovland dalam Cangara (2009) mengatakan bahwa komunikasi adalah merupakan suatu upaya yang sistimatis untuk merumuskan secara tegas tentang asas-asas penyampaian imformasi serta pembentukan pendapat dan pembentukan sikap. Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi partai politik, yaitu menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi politik masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa dalam penggabungan kepentingan (interest aggregation) dan perumusan kepentingan (interest articulation) untuk memperjuangkan menjadi public policy, baik secara internal maupun eksternal. Meskipun komunikasi politik tidak dapat menghindarkan diri dari membicarakan kekuasaan tetapi komunikasi politik memiliki hubungan yang erat dengan bahasa. Menurut Graber dalam Cangara (2009), komunikasi politik tidak hanya retorika melainkan juga mencakup simbol-simbol bahasa, seperti bahasa tubuh serta tindakan-tindakan politik seperti boikot, protes, dan unjuk rasa. Dengan demikian, komunikasi

(11)

politik merupakan suatu proses komunikasi yang memiliki implikasi atau konsekuensi terhadap aktivitas politik di mana penggunaan dan pemilihan bahasa menentukan keberhasilan komunikasi tersebut.

2.4.Partai Politik Lokal

Partai politik merupakan saluran untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat sekaligus berfungsi sebagai sarana untuk rekrutmen pemimpin yang baik, di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Menurut Lijphart dan Friederich dalam Supardan (2008), konsep dasar partai politik mengacu pada sekelompok manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pemimpin partainya.

Di Indonesia, KPU (Komisi Pemilihan Umum) pada Pemilu Legislatif 2009 menetapkan jumlah Partai Politik Peserta P dari 38 (tiga puluh delapan) partai politik nasional dan 6 (enam) partai politik lokal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (nama resmi Aceh sebelum menjadi: Pemerintahan Aceh). Adapun keenam partai lokal yang disahkan pemerintah sesuai dengan UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 dan ketetapan KPU tahun 2009 adalah sebagai berikut:

1. Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) berasaskan Islam.

2. Partai Daulat Atjeh (PDA) berasaskan Islam (Ahlul Sunnah Waljamaah I’tiqadan Mazhab Syafi’i amalan).

3. Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) berazaskan Islam. 4. Partai Rakyat Aceh (PRA) berasaskan Pancasila.

5. Partai Aceh (PA) berasaskan Pancasila, UUD 1945, dan Kanun Meukuta Alam Al-Asyi.

6. Partai Bersatu Atjeh (PBA) berasaskan akhlak politik mulia berlandaskan agama yang membawa rahmat bagi sekalian alam.

Keenam parlok berkantor pusat di ibukota Pemerintahan Aceh, yaitu Kota Banda Aceh. Untuk kantor di Kota Langsa berkedudukan sebagai pemimpin wilayah Kota Langsa. Demikian juga kedudukan kantor di Bieruen berkedudukan sebagai pemimpin wilayah Kabupaten Bieruen. Keenam parlok tersebut memiliki kantor yang tetap serta aktif dalam kegiatan politik serta kegiatan sosial masyarakat.

2.5.Metodologi Penelitian

Metode penelitian dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Pengambilan data dilakukan di Kota Langsa dan Kabupaten Bireuen. Responden yang mengembalikan kuesioner berjumlah 30 orang yang terdiri dari 15 responden dari Kota Langsa dan 15 responden dari Kabupaten Bireuen.

2.6.Hasil Penelitian

Setelah kuesioner diterima kembali dari 30 responden, maka diperoleh hasil frekuensi jawaban responden terhadap pernyataan 1-19 dalam kuesioner. Dalam hal ini terdapat pertanyaan 1-19 untuk pemilihan bahasa dan alasan pemilihan yang menggunakan penomoran yang sama. Pada tahap pertama dideskripsikan pertanyaan 1-19 untuk pemilihan bahasa dan tahap kedua dideskripsikan pertanyaan 1-19 untuk alasan pemilihan bahasa. Dari hasil analisis untuk pemilihan bahasa diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 2.1. Pemilihan Bahasa dalam Rapat-Rapat Internal Partai

Bahasa Frekuensi Persen Valid Persen Kumulatif Persen

Valid

Bahasa Aceh 20 66.7 66.7 66.7 BA dan BI lebih banyak

BA 9 30.0 30.0 96.7 BA dan BI lebih banyak

BI 1 3.3 3.3 100.0

Total 30 100.0 100.0

(12)

dengan BI yang lebih banyak hanya 1 orang responden (3.3%) sedangkan BI tidak menjadi pilihan dalam rapat-rapat internal partai.

Tabel 2.2. Pemilihan Bahasa dalam Kampanye Politik pada Pemilu Tahun 2009

Bahasa Frekuensi Persen Valid Persen Kumulatif Persen

Valid

Bahasa Aceh 17 56.7 56.7 56.7 Bahasa Indonesia 1 3.3 3.3 60.0 BA dan BI lebih banyak

BA 11 36.7 36.7 96.7 BA dan BI lebih banyak

BI 1 3.3 3.3 100.0

Total 30 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 2.2 diperoleh fakta bahwa responden penelitian ini memilih menggunakan bahasa yang bervariasi. Artinya, semua pilihan bahasa digunakan oleh pengurus parlok dengan frekuensi terbesar pada pemilihan penggunaan BA (56,7%). Selebihnya, memilih BA/BI sejumlah 11 orang responden dengan BA yang lebih banyak sejumlah (36,7%), yang memilih BA/BI dengan BI yang dominan 1 orang responden (3,3%), dan juga yang memilih BI saja hanya 1 orang responden (3,3%). Dengan demikian, pemilihan BA menjadi bahasa utama dalam kampanye Pemilu tahun 2009.

Tabel 2.3. Pemilihan Bahasa dalam Interaksi dengan Sesama Anggota Partai di Luar Rapat Resmi Bahasa Frekuensi Persen Valid Persen Kumulatif Persen

Valid

Bahasa Aceh 19 63.3 63.3 63.3 BA dan BI lebih banyak

BA 10 33.3 33.3 96.7 BA dan BI lebih banyak

BI 1 3.3 3.3 100.0

Total 30 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 2.3 diperoleh fakta bahwa responden penelitian ini memilih menggunakan BA sejumlah 19 responden (63,3%), dan dalam berinteraksi juga memilih BA/BI dengan BA yang lebih dominan sejumlah 10 orang responden (33,3%). Jadi, hanya 1 orang responden (3,3%) yang memilih menggunakan BA/BI dengan BI yang lebih dominan dalam berinteraksi dengan sesama anggota partai di luar rapat-rapat resmi parlok.

Berdasarkan uraian pertanyaan 1-19 variabel pemilihan bahasa bahasa maka dilacak juga alasan responden memilih menggunakan bahasa sesuai dengan ranah penggunaan bahasa tersebut. Jawaban pertanyaan pemilihan bahasa memiliki faktor latar belakang pemilihan bahasa yang dalam penelitian ini dipusatkan pada lima sebab. Faktor sebab diajukan dengan pertanyaan, “Mengapa Abu/Teungku/ibu/sdr(i) memilih menggunakan bahasa tersebut?” Jawaban pertanyaan ini secara terstruktur difokuskan pada empat jawaban, yaitu: (a) Karena kebiasaan dan fasih dalam komunikasi; (b) Karena bangga dan senang menggunakan bahasa tersebut; (c) Karena puas hati menggunakan bahasa tersebut; (d) Karena merasa akrab menggunakan bahasa tersebut.

Secara berurutan, hasil frekuensi SPSS berkaitan dengan alasan pemilihan bahasa akan dideskripsikan dan dianalisis. Alasan pemilihan bahasa diuraikan sebagai berikut :

1. Dalam rapat-rapat internal partai diperoleh fakta bahwa dominasi pemilihan BA disebabkan karena kebiasaan dan fasih dalam komunikasi. Jawaban ini dipilih oleh 21 responden 70% sedangkan jawaban lain berfrekuensi minor, yakni 13,3% karena merasa akrab menggunakan bahasa tersebut dan karena puas hati menggunakan bahasa tersebut. Dari jawaban tersebut hanya 3,3% yang menyatakan karena bangga dan senang menggunakan bahasa tersebut dalam rapat internal partai.

(13)

2. Dalam kampanye politik pada pemilu tahun 2009 diperoleh fakta bahwa dominasi pemilihan penggunaan BA tidak disebabkan faktor kebiasaan dan fasih dalam komunikasi. Jawaban ini dipilih oleh 14 responden 46,7%. Akan tetapi, alasan penggunakan bahasa ini terdapat 33,3% yang menyatakan karena bangga dan senang menggunakan bahasa tersebut. Sedangkan jawaban lain berfrekuensi minor, yakni 13,3% karena merasa akrab menggunakan bahasa tersebut dan 3,3% karena orang lain mudah memahami apa yang saya bicarakan dalam kampanye politik pemilu 2009.

3. Dalam interaksi dengan sesama anggota partai di luar rapat resmi diperoleh fakta bahwa dominasi pemilihan penggunaan BA disebabkan karena kebiasaan dan fasih dalam komunikasi. Jawaban ini dipilih oleh 17 responden 56,7% sedangkan jawaban lain berfrekuensi minor, yakni 8 orang responden atau 26,7% memilih karena merasa akrab menggunakan bahasa tersebut dan 4 responden 13,3% menjawab karena puas hati menggunakan bahasa tersebut. Dari jawaban tersebut hanya 1 orang responden atau 3,3% yang menyatakan karena bangga dan senang menggunakan bahasa tersebut dalam berinteraksi dengan sesama anggota internal partai di luar rapat-rapat resmi partai. Dari hasil pengolahan data diketahui bahwa di antara data kuesioner, terdapat uraian pernyataan setiap variabel yang memiliki mean rendah dan mean tinggi. Mean yang rendah menjadi faktor penyebab rendahnya kualitas yang dibangun dalam pernyataan positif pada uraian pertanyaan yang bersangkutan. Sebaliknya, mean yang tinggi menjadi gambaran ideal yang diharapkan oleh uraian pertanyaan yang dibangun oleh pernyataan positif terhadap suatu keadaan. Oleh karena itu, mean keduavariabel bebas dan mean variabel terikat menjadi target deskripsi dan analisis data kuantitatif dalam penelitian ini.

Berdasarkan hasil deskriptif statistik variabel pemilihan bahasa diketahui bahwa secara umum pemilihan bahasa dinilai dengan skor mendekati 2 atau cukup. Akan tetapi, untuk uraian pertanyaan nomor 1 dinilai paling rendah dengan skor 1,70. Sebaliknya, untuk uraian pertanyaan nomor 19 dinilai paling tinggi dengan skormean 3.63.

3. Simpulan

Simpulan penelitian tentang pemilihan bahasa dan alasan pemilihan bahasa dalam komunikasi politik oleh partai politik lokal di Pemerintahan Aceh adalah sebagai berikut.

1. Bahasa yang dipilih oleh partai politik lokal dalam komunikasi politik di Pemerintahan Aceh adalah bahasa Aceh (BA) dengan persentase 35.72% dalam rapat internal partai, 30.37% dalam kampanye politik, dan 33.91% dalam interaksi sesama pengurus partai.

2. Alasan pemilihan bahasa yang dilakukan oleh parlok dalam komunaksi politik kebanyakan atau dominan disebabkan oleh karena kebiasaan dan fasih (58.48%), merasa akrab (17.98%), kemudian merasa bangga dan senang (13.46%), dan yang memilih karena puas hati (10.08%).

Daftar Pustaka

Cangara, Hafied. 2009. Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Mahsun. 2000. “Bahasa Daerah sebagai Sarana Peningkatan Pemahaman Kondisi Kebhinnekaan dalam

Ketunggalan Masyarakat Indonesia: Ke Arah Pemikiran dalam Mereposisi Fungsi Bahasa Daerah,” dalam Hasan Alwi dan Dendy Sugono (ed.), Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Spolsky, Bernard. 2008. Sociolinguistics. Oxford: Oxford University Press.

Gambar

Tabel 2.1. Pemilihan Bahasa dalam Rapat-Rapat Internal Partai
Tabel 2.2. Pemilihan Bahasa dalam Kampanye Politik pada Pemilu Tahun 2009

Referensi

Dokumen terkait

factors (1) the use of solid fuel for domestic home heating; (2) settled anticyclonic conditions in winter which result in the temperature inversion; and (3) local

Sukomanunggal Kota Surabaya 13 SMKS PGRI 5 SURABAYA 20532688 SMK Swasta JL. TANGGULANGIN NO.8

Bentuk kalimat inti adalah inti dari suatu fungsi kalimat yang mempunyai unsur inti subjek dan inti predikat, tetapi bila itu sebuah kalimat transitif terdapat inti objek/pelengkap

HasH percobaan pengambilan kadmium oleh Perna Viridis yang merepresentasikan kenaikan konsentrasi terhadap lamanya kontak dengan I09Cd dalam air taut dan konsentrasi I09Cd

me rekonstruksi ulang” teks -teks ujaran dalam novel Sunda “Sripanggung” karya Tjaraka untuk menemukan gambaran yang dapat dengan jelas merepresentasikan tindakan

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara tipe kepribadian tenaga kerja dan mahasiswa yang masuk ke dalam kategori Generasi Y

group investigation berbantuan proyek yang lebih baik daripada hasil rerata gain ternormalisasi siswa pada kelas kontrol yang menerapkan pembelajaran konvensional pada