BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aborsi menjadi salah satu masalah yang cukup serius, dilihat dari tingginya angka aborsi yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia, angka pembunuhan janin per tahun sudah mencapai 3 juta. Angka yang tidak sedikit mengingat besarnya tingkat kehamilan di Indonesia. Selain itu, ada yang mengkategorikan aborsi itu pembunuhan. Ada yang melarang atas nama agama. Ada yang menyatakan bahwa jabang bayi juga punya hak hidup sehingga harus dipertahankan, dan lain-lain.
Kasus aborsi di Indonesia diperkirakan semakin meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), diperkirakan setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia mencapai 2,5 juta jiwa dari 5 juta kelahiran pertahun. Bahkan, 1-1,5 juta diantaranya adalah kalangan remaja.1 Data yang dihimpun Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan dalam kurun waktu tiga tahun (2008-2010) kasus aborsi terus meningkat. Tahun 2008 ditemukan 2 juta jiwa anak korban Aborsi, tahun berikutnya (2009) naik 300.000 menjadi 2,3 juta janin yang dibuang paksa. Sementara itu, pada tahun 2010 naik dari 200.000 menjadi 2,5 juta jiwa. 62,6 persen pelaku diantaranya adalah anak berusia dibawah 18 tahun. Metode aborsi 37 persen dilakukan melalui kuret, 25 persen melalui oral dan pijatan, 13
1
persen melalui cara suntik, 8 persen memasukkan benda asing ke dalam rahim dan selebihnya melalui jamu dan akupunktur.2
Ketua KPAI Maria Ulfah Anshor mengatakan bahwa pada 2003, rata-rata terjadi 2 juta kasus aborsi per tahun. Lalu pada tahun berikutnya, 2004 penelitian yang sama menunjukkan kenaikan tingkat aborsi yakni 2,1-2,2 juta per tahun. Kehamilan pranikah angkanya 12,7 persen, dan 87 persen dilakukan oleh perempuan yang memiliki suami.3Data serupa juga diungkap oleh Inne Silviane, Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Pusat, pelaku aborsi justru paling banyak adalah perempuan yang sudah menikah karena program KB-nya gagal. Data studi PKBI di 12 kota dari tahun 2000-2011 juga menunjukkan, 73-83 persen wanita yang ingin aborsi ialah wanita menikah karena kegagalan kontrasepsi.4 Berapapun jumlah aborsi yang terjadi di Indonesia dan siapa pelakunya remaja atau wanita yang sudah menikah, yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi penyebab aborsi ini angkanya cenderung terus meningkat.
Beberapa kalangan meyakini faktor pendorong melakukan aborsi adalah kehamilan yang tidak direncanakan akibat dari seks pranikah, perkosaan, dan kontrasepsi yang gagal. Pertama, seks pranikah dilakukan saat usia mereka diliputi rasa penasaran dan ingin mencoba, tapi tidak mau bertanya pada orang tua ataupun guru konseling, dan terlebih lagi pengetahuan mereka mengenai kontrasepsi masih minim. Akhirnya, mereka mendapatkan informasi dari sumber-sumber yang salah seperti film porno. Orang tua harus memberi pendampingan
2Ibid
3Ibid 4
dan pendidikan seks agar tidak terjerumus pada hubungan seks pranikah. Karena, ujung-ujungnya yang menjadi korban adalah perempuan jika kehamilan tidak diinginkan (KTD) terjadi, meskipun aborsi dilakukan maupun tidak.
Kedua, perkosaan. Dalam kasus perkosaan jelas bahwa jika terjadi KTD, perempuan pasti akan menolak keberadaan janin dalam rahimnya, perasaan dendam, tidak menginginkan, depresi, harus menghadapi stigma miring masyarakat yang tidak menganggap ia sebagai korban. Sehingga, aborsi menjadi solusi terbaik yang diambil. Ketiga, kontrasepsi yang gagal. Aborsi ini sering dilakukan oleh perempuan yang sudah menikah, dengan alasan ekonomi, melanjutkan pendidikan, ikatan kerja, alasan tidak ingin menambah anak, serta alasan kesehatan. 5
Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau majalah diberitakan terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. Tindak pidana perkosaan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat. Selama ini aborsi oleh tenaga
5
medis dilakukan bilamana ada indikasi medis misalnya ibu dengan penyakit berat yang mengancam nyawa6.
Masalah perlindungan terhadap korban perkosaan menjadi permasalahan yang menarik untuk dicermati, karena masalah perlindungan terhadap korban perkosaan tidak hanya berkaitan dengan pemberian perlindungannya saja, akan tetapi berkaitan dengan hambatan yang dihadapi. Tidak mudah untuk memberikan perlindungan terhadap korban perkosaan karena ada beberapa faktor yang jadi penghambat. Faktor korban berperan penting untuk dapat mengatasi atau menyelesaikan kasus perkosaan ini, hal ini memerlukan keberanian dari korban untuk melaporkan kejadian yang menimpanya kepada polisi, karena pada umumnya korban mengalami ancaman akan dilakukan perkosaan lagi dari pelaku dan hal ini membuat korban takut dan trauma.7
Perkosaan dapat mengakibatkan cedera fisik, karena luka pada kepala, dada, punggung hingga bagian intern wanita yang terjadi pukulan, benturan, dan cekikan. Hal yang terburuk adalah kehamilan yang tidak diinginkan, dimana kehamilan tersebut akan menjadi beban baik terhadap korban maupun keluarganya dalam menghadapi kehidupan selanjutnya karena dia harus membesarkan dan mengasuh anak hasil perkosaan. Dampak lainnya yang dapat terjadi adalah stress akut atau depresi berat yang kadang menyebabkan korban menjadi gila karena merasa dirinya tidak normal lagi, kotor, berdosa dan tidak berguna. Selain itu perkosaan juga dapat mengakibatkan kematian, atau tertular
6
http://ibelboyz.wordpress.com/2011/06/03/perlindungan-korban-perkosaan/diakses tanggal 9 Maret 2013
7
penyakit seksual yang tidak dapat disembuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa
korban perkosaan menanggung penderitaan psikologis yang berat karena
kekerasan yang dialaminya.
Dari sekian banyak tindak pidana dimana perempuan menjadi
korban, perkosaan merupakan suatu bentuk tindak pidana yang banyak mendapat
perhatian dari para ahli ilmu sosial pada tahun-tahun terakhir ini, dan telah banyak
diteliti oleh para ahli ilmu sosial di negara barat bahwa perkosaan mempunyai
dampak yang tidak ringan terhadap korbannya yang akan berbekas sepanjang
hidup si korban, dan akan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak si korban.
Banyak perempuan (dewasa maupun anak-anak) yang telah menjadi korban
perkosaan enggan untuk melaporkannya kepada pranata peradilan pidana.
Keengganan ini agaknya bersifat universal karena juga dijumpai di negara-negara
lain. Keengganan korban untuk mengadukannya dapat dipengaruhi faktor internal
maupun eksternal. Faktor internal misalnya takut privasinya terbongkar,
sedangkan faktor eksternal misalnya dapat dipengaruhi oleh kekhawatiran
terhadap proses peradilan yang diduga tidak menjembatani dan melindungi
hak-haknya, kekhawatiran tersebut sangat menghantui korban perkosaan karena
korban perkosaaan pada proses pengadilan seringkali harus “menerima”
penderitaan yang sangat menyakitkan.
Beratnya beban yang ditanggung dan diderita oleh seorang korban
perkosaan apalagi jika si korban hamil akibat perkosaan tersebut. Kehamilan
dialami oleh korban perkosaan tentu saja akan membawa penderitaan bagi korban
maka penderitaan yang dialami oleh korban dapat berlanjut sampai anak itu besar
kelak.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana ketentuan pidana aborsi menurut KUHP dan UU No. 36 tahun
2009 tentang kesehatan?
2. Bagaimana bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah kepada korban
perkosaan?
3. Bagaimana kehamilan Akibat Perkosaaan Bisa Dikatakan Sebagai Alasan
Indikasi Medis?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui ketentuan pidana aborsi menurut KUHP dan UU
No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan
b. Untuk mengetahui bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah
kepada korban perkosaan.
c. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang dapat dijadikan dasar
pembenar dilakukannya aborsi dengan alasan indikasi medis akibat
2. Manfaat Penelitian
a. Diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam rangka menunjang pengembangan ilmu bagi penulis sendiri pada khusunya dan mahasiswa fakultas hukum pada umumnya
b. Menjadi masukan bagi masyarakat pada umumnya dan para penegak hukum pada khususnya dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana perkosaan
D. Keaslian Penulisan
Judul skripsi ini, yaitu : Tindakan aborsi dengan dalih indikasi medis karena terjadinya kehamilan akibat perkosaan telah disetujui oleh Ketua Jurusan Fakultas Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara dan telah melalui tahap pengujian kepustakaan, sehingga diketahui belum ada skripsi yang mengangkat permasalahan ini.
Adapun beberapa skripsi mempunyai profil yang sama dengan judul skripsi ini berbeda dengan skripsi laun yang topiknya sama/ hampir sama antara lain :
Imelda R. Simbolon dengan judul tinjauan Viktimiologi terhadap Perlindungan Hukum bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 657/Pid/2004/Pn-Mdn.
Riris N Simanjuntak dengan judul Kedudukan Visum Et Refertum menjadi Keterangan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana.
Penelitian ini dilakukan oleh penulis dengan mempelajari dan mengkaji
buku-buku, peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur yang sesuai
dengan kajian permasalahan dalam penulisan skripsi ini, sehingga hasil kajian
dalam skripsi ini dapat dikatakan aktual dan asli serta dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tindak Pidana Perkosaan
Soetandyo Wignjosoebroto (seperti yang dikutip oleh Suparman Marzuki dalam bukunya yang berjudul “Pelecehan Seksual”)8, mendefinisikan perkosaan
sebagai berikut: “Perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh
seorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan
atau hukum yang berlaku melanggar”
Wirdjono Prodjodikoro mengungkapkan bahwa perkosaan adalah:
“Seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu”9.
Nursyahbani Kantjasungkana (seperti yang dikutip oleh Abdul Wahid dan
Muhammad Irfan) berpendapat bahwa perkosaan adalah salah satu bentuk
kekerasan terhadap perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi
perempuan terhadap kepentingan laki-laki10.
8
Suparman Marzuki (et.al), Pelecehan Seksual, (Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1997), hal. 25
9
Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung, Eresco, 1986), hal. 117
10
2. Pengertian Korban Perkosaan
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi Dan korban, korban adalah seseorang yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana.
I.S. Susanto korban dibagi dalam 2 (dua) pengertian, yaitu dalam arti
sempit dan dalam arti luas. Korban dalam arti sempit adalah korban kejahatan,
sedangkan dalam arti pencemaran, korban kesewenang-wenangan dan lain
sebagainya11.
Menurut Fact About Abortion, Info Kit on Women’s Health oleh Institute
for Social, Studies and Action, Maret 1991, dalam istilah kesehatan aborsi
didefinisikan sebagai penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum)
yang telah dibuahi dalam rahim (uterus), sebelum usia janin (fetus) mencapai 20
minggu. Maksudnya adalah dengan sengaja mengakhiri kehidupan dalam
kandungan dalam rahim seseorang perempuan hamil. 12
Abortion dalam kamus Bahasa Inggris Indonesia diterjemahkan dengan
pengguguran kandungan13. Dalam Blaks’s Law Dictionary, kata abortion yang
diterjemahkan menjadi aborsi dalam Bahasa Indonesia mengandung arti ; The
spontaneous or articially induced explusion of an embrio or feature. As used in
illegal context refers to induced abortion14
11
I.S. Susanto, Kriminologi, (Semarang, Fakultas Hukum UNDIP, 1995), hal. 89 12
C.Helly Prajitno Soetjipto. Aborsi dan Seksualitas dan Kehamilan yang Tidak dikehendaki. Makalah Seminar Sehari Dalam Rangka Ultah Antropologi ke-30.
13
Echols dan Hasan Shaddily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia 2010, hal. 2 14
A. Rosenfeld/S.Iden, dikatakan dipandangnya dari segi medis-teknis,
aborsi paling mudah dilakukan dalam trimester pertama kehamilan dan metode
yang banyak dilakukan adalah kuret isap (section curettage). Dari 12-20 minggu
biasanya dipakai metode dilatasi. Metode lain yang banyak dilakukan adalah
banyak dipergunakan setelah minggu ke-20 adalah instillation abortion dimana
cairan yang mematikan si fetus disuntikan kedalam ronga amnion, lalu isi rahim
dikeluarkan secara alami. Aborsi trisemester kedua keatas biasanya dilakukan
dalam rumah sakit agar setiap komplikasi yang timbul segera ditangani.
Eastmen abortus adalah terputusnya suatu kehamilan dimana fetus belum
sanggup hidup sendiri di luar uterus, karena masih dalam usia kehamilan kurang
dari 28 minggu. Sama halnya dengan Jefflot memberikan definisi abortus adalah
pengeluaran dari hasil konsepsi sebelum usia kehamilan 28 minggu, yaitu fetus
belum viable by llaous. Holmer mengemukakan definisi abortus sebagai
terputusnya kehamilan sebelum seminggu ke-16 dimana plasenta belum selesai15
Secara umum pengertian abortus provokatus kriminalis adalah suatu
kelahiran dini sebelum bayi itu pada waktunya dapat hidup sendiri diluar
kandungan. Pada umumnya janin yang keluar itu sudah tidak bernyawa lagi.
Sedangkan secara yuridis abortus provokatus kriminalis adalah setiap penghentian
kehamilan sebelum hasil konsepsi dilahirkan, tanpa memperhitungkan umur bayi
dalam kandungan dan janin dilahirkan dalam keadaan mati atau hidup.
Suatu kelahiran dini sebelum bayi itu pada waktunya dapat hidup sendiri
diluar kandungan. Pada umumnya janin yang keluar itu sudah tidak bernyawa
15
lagi. Aborsi dalam pengertian umum sering disebut juga keguguran atau gugur
kandungan. Dan aborsi ini ada yang disengaja dan ada pula yang tidak disengaja.
Aborsi dalam pengertian yuridis adalah pengeluaran hasil konsepsi dari
rahim, sebelum hasil konsepsi dapat lahir secara alamiah dan dengan adanya
kehendak merusak hasil konsepsi tersebut.
Pada kerangka ini penulis melakukan penganalisisan terhadap apa yang
menjadi pokok persoalan persoalan atau permasalahan yaitu terdapat beberapa
dasar hukum yang tercantum didalamnya, yaitu :
Pasal 15 ayat (1) dan (2) UURI Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan
yang berbunyi :
(1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelematkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu
(2) Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan : berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) melarang keras
dilakukannya aborsi dengan alasan apapun sebagaimana diatur dalam Pasal 283,
299 serta Pasal 346 - 349. Bahkan Pasal 299 intinya mengancam pidana penjara
maksimal empat tahun kepada seseorang yang memberi harapan kepada seorang
perempuan bahwa kandungannya dapat digugurkan.16 Aturan KUHP yang keras
tersebut telah dilunakkan dengan memberikan peluangdilakukannya aborsi.
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 75 ayat (2) Undang-undang Noomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan.Semenjak lahirnya undang-undang kesehatan yang
baru tepat setahun yang lalu yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
16
Kesehatan ketentuan hukum tentang abortus lebih melunak dengan memberikan
peluang untuk melakukan aborsi khususnya bagi wanita yang mengalami
kehamilan akibat perkosaan. Jadi bisa dikatakan bahwa pengguguran kandungan
dapat dilakukan dengan alasan medis dan kehamilan akibat perkosaan, hal itu
sebagai upaya menyelamatkan jiwa maupun psikis ibu di kemudian hari,
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 75 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan.
Pasal 75 ayat 2 Undang-undang Kesehatan tersebut menjelaskan bahwa
wanita hamil yang mendapat perlindungan hukum untuk dapat melakukan aborsi
ternyata bukan hanya karena alasan medis saja akan tetapi kehamilan tersebut
akibat yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Meskipun demikian, peraturan demi peraturan menjelaskan bahwa dalam
melakukan aborsi harus sesuai dengan peraturan yang ada yang mana salah
satunya aborsi yang aman itu harus dilakukan oleh orang yang berkompeten dan
memiliki sertifikat yang ditetapkan menteri.
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan studi hukum, pertama hukum
dapat dipelajari dan diteliti sebagai suatu studi mengenai law in books, dan yang
kedua adalah hukum yang dipelajari dan diteliti sebagai suatu studi mengenai law
in action. Mempelajari dan meneliti hubungan timbal balik antara hukum dengan
lembaga-lembaga sosial yang lain, studi terhadap hukum sebagai law in action
1. Sifat Penelitian
Sifat dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian yang
mendeskripsikan secara terperinci fenomena social yang menjadi pokok
permasalahan. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan
data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya17.
2. Jenis dan sumber data
Jenis dan sumber data yang terhimpun dari hasil penelitian ini diperoleh
melalui penelitian lapangan dan kepustakaan, digolongkan ke dalam 2 jenis data,
yaitu :
a. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian
lapangan dengan menggunakan metode wawancara atau interview kepada
para para pelaku tindak pidana perkosaan, serta lainnya yang relevan
dengan pokok permasalahan
b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh penulis
melalui penelusuran literatur atau kepustakaan, peraturan
perundang-undangan, buku-buku, dokumen-dokumen, arsip-arsip yang berhubungan
dengan pokok materi pembahasan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah melalui
studi kepustakaan yaitu dengan cara mengumpulkan literatur yang berhubungan
dengan pemasalahan yang dibahas, serta studi wawancara langsung dengan
17
pihak yang berkompeten guna memperoleh keterangan data tentang subjek dan
objek yang diteliti.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh, baik secara data primer maupun data sekunder
dianalisis dengan teknik kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif yaitu
menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan
yang erat kaitannya dengan penelitian ini.
5. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
yuridis sosiologis. Ini berarti bahwa dalam penelitian ini disamping dilihat dari
segi yuridis dengan melihat peraturan perundang-undangan dan
ketentuan-ketentuan hukumnya yang merupakan ide dasar dari perlindungan terhadap
korban tindak pidana perkosaan, serta melihat upaya-upaya yang dapat dilakukan
oleh korban tindak pidana perkosaan untuk mendapatkan perlindungan hukum.
G. Sistematika Penelitian
Dalam skripsi yang berjudul tindakan aborsi dengan dalih indikasi medis
karena terjadinya kehamilan akibat perkosaan, sistematika penulisannya adalah
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan mengenai Latar Belakang Masalah, Perumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian,
BAB II KETENTUAN PIDANA ABORSI MENURUT KUHP DAN UU
NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
Aborsi dalam KUHP dan UU No 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan
dan Aborsi Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Perempuan
Korban Perkosaan serta Perlindungan Hukum Pidana Terhadap
Korban Perkosaan Yang Melakukan Aborsi
BAB III BENTUK PERLINDUNGAN YANG DIBERIKAN PEMERINTAH
KEPADA KORBAN PERKOSAAN
D. Pengertian Perlindungan Korban
E. Bentuk Perlindungan Yang Diberikan Kepada Korban Perkosaan
F. Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan Untuk Memberikan
Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan
BAB IV KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAAN BISA DIKATAKAN
SEBAGAI ALASAN INDIKASI MEDIS
Akan membahas tentang Perlindungan bagi anak yang lahir dari
korban perkosaan, aborsi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi
perempuan korban perkosaan dan perlindungan hukum pidana
terhadap korban perkosaan yang melakukan aborsi
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN