• Tidak ada hasil yang ditemukan

FORMULASI UNDANG-UNDANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN (Pencarian Bentuk dan Batasan Pengaturan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FORMULASI UNDANG-UNDANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN (Pencarian Bentuk dan Batasan Pengaturan)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

FORMULASI UNDANG-UNDANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN

(Pencarian Bentuk dan Batasan Pengaturan)

Suharizal

Fakult as Hukum Universit as Andalas Padang E-mail : aripdg@yahoo. com

Abst r act

Const i t ut ion cour t of j ust i ce ver di ct Number 11-14-21-126 and 136/ PUU-VII/ 2009 t hat r ead dat e 31 mar ch 2010 t hen, has j ur i di cal i mpl i cat ion ver y vast t owar ds educat i on syst em i n i ndonesi a. Those i mpl i cat ion not onl y l i mi t t he act number 9 year 2009 concer ning educat i on cor por at e body, but it i mpl i cat ed t o vast t owar ds hi gher educat ion management as a whol e. Thi s ar t i cle means t o st udy t he deci sion and t r ace t he wi l l of const i t ut i on cour t of j ust i ce i n t he f or m of “ educat i on cor por at e body” t hat const it ut ional .

Keywor d; const i t ut ion, educat ion, j ust i ce ver di ct

Abst rak

Put usan Mahkamah Konst it usi Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009 yang dibacakan t anggal 31 Maret 2010 lalu, memiliki implikasi yuridis yang sangat luas t erhadap sist em pendidikan di Indonesia. Implikasi ini bukan hanya membat asi Undang-Undang Nomor 9 t ahun 2009 t ent ang Badan Hukum Pendidikan, t et api berimplikasi besar t erhadap manaj emen pendidikan t i nggi secara keseluruhan. art ikel ini dimaksudkan unt uk mempelaj ari put usan dan j ej ak dari keinginan pengadilan konst it usi mengenai bent uk "Badan Hukum Pendidikan " yang konst it usional.

Kat a kunci; konst it usi, pendidikan, put usan pengadilan

Pendahuluan

Rabu, 31 Maret 2010, Mahkamah Konst i-t usi (MK) dalam perkara Permohonan Penguj ian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 t ent ang Sist em Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 t ent ang Badan Hukum Pendidikan t erhadap UUD 1945, membat alkan UU Nomor 9 Tahun 2009. Sidang MK digelar unt uk mengakomodasi uj i mat eriil yang diaj u-kan oleh para pemohon yang t erdiri dari elemen mahasiswa, orang t ua siswa, dan badan hukum yang bergerak di bidang pendidikan, sert a yayasan pendidikan swast a.

Ada lima kelompok yang mendaf t arkan permohonan uj i mat eri t erhadap UU BHP ini. Kelompok pert ama t erdiri dari sej umlah yaya-san yang bergabung dalam Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swast a Indo-nesia (ABPPTSI) dan Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan Persat uan Guru Republik Indonesia (YPLP-PGRI), Yayasan Pesant ren Islam Al-Azhar,

Yayasan Trisakt i, Yayasan Pendidikan dan Pembina Universit as Pancasila, Yayasan Pen-didikan Mardi Yuana, YPTK Sat ya Wacana dan lainnya dengan kuasa pemohon Dr. Luhut MP Pangaribuan. Kelompok kedua, dari Yayasan Sarj ana Wiyat a Tamansiswa, Sent ra Advokasi Unt uk Hak Pendidikan Rakyat (SaHdaR) dan lainnya, dengan kuasa pemohon Tauf ik Basari, SH. Kel ompok ket i ga diaj ukan Aep Saepudin, Krist iono dan kawan-kawan, dengan kuasa pemohon Emir Zullarwan Pohan, SH. Kel ompok keempat, Aminuddin Maruf dengan kuasa pe-mohon Saleh, SH. Kel ompok kel i ma, dengan pemohon Yura Prat ama Yudhist ira, Yayasan Sarj ana Wiyat a Tamansiswa dan lainnya, de-ngan kuasa hukum Tauf ik Basari, SH.

(2)

yuridis, kej elasan maksud dan keselarasan dengan UU lain. Kedua, UU BHP mempunyai asumsi penyelenggara pendidikan di Indonesia mempunyai kemampuan sama. Tapi, realit as-nya kesamaan perguruan t inggi negeri (PTN) t ak berart i semua PTN mempunyai kesamaan yang sama. Ket i ga, pemberian ot onomi kepada PTN akan berakibat beragam. Karena lebih banyak PTN yang t idak mampu menghimpun dana karena t erbat asnya pasar usaha di t iap daerah. Hal ini akan menyebabkan t erganggunya penye-lenggaraan pendidikan. Keempat , UU BHP t idak menj amin t ercapainya t uj uan pendidikan nasio-nal dan menimbulkan kepast ian hukum. Kel i ma,

prinsip nirlaba t ak hanya bisa dit erapkan dalam BHP t api j uga dalam bent uk badan hukum lain-nya. MK dalam put usan a quo menyat akan bah-wa perubahan UUD 1945 menempat kan pendidi-kan sebagai barang publik (publ i c goods) dan bukan barang privat (pr ivat e goods).

Selain memut us bahwa UU Nomor 9 Tahun 2009 bert ent angan dengan UUD 1945, MK j uga memut us bahwa Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 ayat (1) huruf c dan Penj elasan Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 t idak mempunyai kekuat an hukum mengikat . Namun sesungguh-nya MK t idak “ mencabut ” embrio Badan Hukum Pendidikan yang t erdapat dalam Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003. Dalam amar put usannya MK menyat akan;

Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 t ent ang Sist em Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik In-donesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) konst it usional sepanj ang f rasa “ badan hukum pendi di kan” dimak-nai sebagai sebut an f ungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bent uk badan hukum t ert ent u;1

Pasca-keluarnya Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009, t anggal 31 Maret 2010 proses legislasi pembent ukan per-at uran-perundangan yang mengper-at ur makna ” Badan Hukum Pendidikan” yang bersesuai dengan put usan MK t ersebut adalah upaya

1 Put usan Mahkamah Konst it usi Nomor 11-14-21-126 dan

136/ PUU-VII/ 2009, t anggal 31 Maret 2010, hl m. 401.

hukum yang bisa dilakukan. Dari uraian di at as, paling t idak t erdapat t iga permasalah pent ing yang akan dibahas dalam t ulisan ini, yakni

Per t ama, apakah alasan bagi Mahkamah

Konst it usi unt uk membat alkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 t ent ang Badan Hukum Pendidikan melalui Put usan MK Nomor 136/ PUU-VII/ 2009, t anggal 31 Maret 2010; Kedua,

Bagaimanakah sesungguhnya f ormulasi dari Badan Hukum Pendidikan yang konst it usional;

Ket i ga, langkah apakah yang dapat dit embuh pasca t erbit nya Put usan MK Nomor 136/ PUU-VII/ 2009.

Sebelum menj elaskan beberapa t af siran at as makna ” Badan Hukum Pendidikan” yang t erdapat dalam Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003, perlu dij elaskan t ent ang kewe-nangan MK dan beberapa langkah yuridis Pasca-keluarnya Put usan MK t ersebut . Langkah yuridis ini adalah t indakan legislasi yang amat men-desak (emer gency l aw) unt uk menghindari t er-j adinya persoalan-persoalan hukum, khususnya semua regulasi yang dibent uk yang mengacu kepada UU Nomor 9 Tahun 2009.

Pembahasan Kewenangan MK

Perubahan UUD 1945 dalam bidang kuasaan kehakiman (Bab IX) amandemen ke-t iga, memberikan kewenangan yang sangake-t luas t erhadap kekuasaan kehakiman unt uk melaku-kan koreksi t erhadap segala perbuat an at as pe-langgaran hukum yang t erj adi dalam masya-rakat , melakukan penguj ian t erhadap perat uran perundang-undangan yang berada dibawah un-dang-undang, penguj ian undang-undang t er-hadap UUD dan memeriksa sengket a polit ik.2

Dalam rangka melaksanakan amanat amandemen konst it usi t ent ang pembent ukan Mahkamah Konst it usi, pemerint ah bersama DPR

2

(3)

membahas Rancangan Undang-Undang t ent ang Mahkamah Konst it usi. Pada Perubahan Keempat UUD 1945 dit et apkan Pasal III At uran Peralihan UUD 1945 yang menegaskan bat as wakt u paling akhir pembent ukan Mahkamah Konst it usi pada 17 Agust us 2003. Sebelum dibent uk, segala ke-wenangan Mahkamah Konst it usi dilakukan Mah-kamah Agung. Pada t anggal 13 Agust us 2003, sebelum MK t erbent uk dengan dit et apkannya UU No. 24 Tahun 2003, berdasarkan At uran Pera-lihan UUD 1945, kewenangan MK masih dilakukan oleh MA sebagai MK sement ara at au t ransisi. Terdapat 14 permohonan penguj ian undang-undang yang diaj ukan sebelum MK res-mi t erbent uk, akan t et api sampai dengan dia-lihkan kepada MK belum pernah diput us oleh MA yang kemudian dialihkan kepada MK, se-hingga sej ak awal MK berdiri t elah harus menyelesaikan 14 permohonan penguj ian UU. Adapun secara keseluruhan, pada 2003 MK menerima 24 permohonan yang semuanya pkara penguj ian undang-undang. Pada t ahun t er-sebut , yang t ersisa wakt u 4 bulan, t elah diput us 4 perkara, 3 dinyat akan t idak dapat dit erima dan 1 dit arik kembali. Terdapat 16 UU yang di-mohonkan unt uk diuj i konst it usionalit asnya

Set elah dilakukan pembahasan, akhirnya RUU usulan DPR t ersebut dapat disepakat i ber-sama ant ara pemerint ah berber-sama DPR dan disahkan dalam sidang paripurna DPR pada t anggal 13 Agust us 2003. Pada hari it u j uga UU t ent ang MK diundangkan oleh Presiden menj adi UU Nomor 24 Tahun 2003 t ent ang Mahkamah Konst it usi.3

Pada t anggal 15 Agust us 2003, sembilan Hakim Konst it usi pert ama diangkat dengan Ke-put usan Presiden Nomor 147/ M/ Tahun 2003 yang dilanj ut kan dengan pengucapan sumpah di Ist ana Negara pada 16 Agust us 2003 yang di-saksikan Presiden Megawat i Soekarnoput ri.4 Set elah mengucapkan sumpah j abat annya se-bagai Hakim Konst it usi, para Hakim Konst it usi langsung bekerj a menunaikan t ugas konst it

3 Kemudi an di muat dal am Lembaran Negara Republ ik

Indonesi a Tahun 2003 Nomor 98, dan Tambahan Lembar-an Negar a Republ ik Indonesi a Nomor 4316.

4 Abdul Mukht ie Fadj ar , 2006, Hukum Konst i t usi dan Mahkamah Konst i t usi , Jakar t a: Sekj en Dan Kepanit er aan Mahkamah Konst it usi RI, hl m. 112-113.

onalnya sebagaimana t ercant um dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Mahkamah Konst i-t usi.

Pada saat it u, Indonesia merupakan nega-ra ke-78 yang membent uk Mahkamah Konst it u-si. Tanggal 13 Agust us 2003 sebagai t anggal dit et apkan dan disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 inilah yang disepakat i menj adi hari kelahiran Mahkamah Konst it usi. Set elah penet apan undang-undang t ersebut , dilanj ut kan dengan rekrut men Hakim Konst it usi oleh set iap lembaga pengusul, yait u DPR, Presiden, dan MA. Set elah melalui t ahapan se-leksi sesuai mekanisme yang berlaku pada masing-masing lembaga t ersebut , DPR, Presi-den, dan MA menet apkan t iga calon Hakim Konst it usi yang selanj ut nya diaj ukan kepada Presiden unt uk dit et apkan sebagai Hakim Konst it usi. DPR mengaj ukan nama-nama Prof . Dr. Jimly Asshiddiqie, S. H. , Let j en TNI (Purn) H. Achmad Roest andi, S. H. , dan I Gede Dewa Palguna, S. H. , M. H. Presiden mengaj ukan nama Prof . H. Ahmad Syari-f uddin Nat abaya, S. H. , LL. M. , Prof . H. Abdul Mukht ie Fadj ar, S. H. , M. S. , dan Dr. Harj ono, S. H. , M. C. L. Adapun MA mengaj ukan nama Dr. H. Mohamad Laica Mar-zuki, S. H. , Maruarar Siahaan, S. H. , dan Soe-darsono, S. H. Masa j abat an Hakim Kons-t it usi adalah 5 (lima) t ahun dan dapat dipilih kembali hanya unt uk 1 (sat u) kali masa j abat an beri-kut nya.

(4)

publik t ersebut melalui proses peradilan yang bersih dan put usan yang menj unj ung t inggi prinsip keadilan.5

Bila dit elusuri lebih j auh, pembent ukan Mahkamah Konst it usi j uga didorong oleh bebe-rapa alasan mendasar dan prakt ek ket at ane-garaan yang pernah berlaku. Per t ama, sebagai konsekuensi dari perwuj udan negara hukum yang demokrat is dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyat aan menunj ukkan bahwa suat u keput usan yang dicapai dengan demokrat is t idak selalu sesuai dengan ke-t enke-t uan Undang-Undang Dasar yang berlaku se-bagai hukum t ert inggi. Oleh karena it u, di perlukan suat u lembaga yang berwenang me-nguj i konst it usionalit as undang-undang. 6

Kedua, pasca Perubahan Kedua dan Pe-rubahan Ket iga, UUD 1945 t elah mengubah hu-bungan kekuasaan secara besar-besaran dengan menganut sist em pemisahan kekuasaan ( sepa-r at ion of powesepa-r s) berdasarkan prinsip checks and bal ances. Bert ambahnya j umlah lembaga negara sert a bert ambahnya ket ent uan kelem-bagaan negara menyebabkan pot ensi sengket a ant ar-lembaga negara menj adi semakin banyak. Sement ara it u t elah t erj adi perubahan para-digma dari supremasi MPR kepada supremasi konst it usi, sehingga t idak ada lagi lembaga t ert inggi negara pemegang kekuasaan t ert inggi yang berwenang menyelesaikan sengket a ant ar lembaga negara. Oleh karena it u, diperlukan lembaga t ersendiri unt uk menyelesaikan sengket a t ersebut . 7

Ket i ga, kasus nyat a yang t erj adi di Indo-nesia, yait u pemakzulan (i mpeachment) Presi-den K. H. Abdurrahman Wahid dari kursi ke-presidenannya oleh MPR pada Sidang Ist imewa MPR Tahun 2001, yang mengilhami t ercet usnya pemikiran unt uk mencari j alan keluar meka-nisme hukum yang digunakan dalam proses

5

Mahf ud MD, 2009, Enam Tahun Mengawal Konst i t usi dan Demokr asi ; Gambar an Si ngkat Pel aksanaan Tugas Mah-kamah Konst i t usi 2003-2009, Jakart a: Sekret ari at Jende-ral dan Kepanit er aan MK, hl m. vi i.

6 S. F. Mar bun, 2007, Nagara Hukum dan Kekuasaan, Jur nal Hukum Ius Qui a Iust um, No. 9 Vol 4, hl m. 9.

7 Abdul Rasyi d Thal i b, 2006, Wewenang Mahkamah Kons-t i Kons-t usi dan Impl i kasi nya dal am Si sKons-t em KeKons-t aKons-t anegar aan Republ i k Indonesi a, Bandung: Cit ra Adit yi a Bakt i , hl m. 153

pemberhent ian Presiden dan/ at au Wakil Presi-den t idak semat amat a didasarkan alasan polit is semat a dan oleh lembaga polit ik saj a.8

Mahkamah Konst it usi merupakan salah sat u pelaku kekuasaan kehakiman selain Mah-kamah Agung. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka unt uk menyeleng-garakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, MK merupakan sua-t u lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasa-an yudikat if , ykekuasa-ang mengadili perkaraperkara t ert ent u yang menj adi kewenangannya yang diberikan berdasarkan ket ent uan UUD 1945. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang dit egaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24/ 2003 t ent ang Mahkamah Konst it usi, kewenangan MK adalah menguj i undangundang t erhadap UUD 1945; memut us sengket a kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memut us pembubaran part ai polit ik; dan memut us perselisihan t ent ang hasil pemilihan umum.9

Apabila dibaca bagian “ mengingat ” dari UU Nomor 24 Tahun 2003, paling t idak t erdapat 3 (t iga) alasan pembent ukan UU Nomor 24 Tahun 2003, yakni per t ama, bahwa Negara Ke-sat uan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bert uj uan unt uk mewuj udkan t at a ke-hidupan bangsa dan negara yang t ert ib, bersih, makmur, dan berkeadilan; kedua, bahwa Mah-kamah Konst it usi sebagai salah sat u pelaku ke-kuasaan kehakiman mempunyai peranan pen-t ing dalam usaha menegakkan konspen-t ipen-t usi dan prinsip negara hukum sesuai dengan t ugas dan wewenangnya sebagaimana dit ent ukan dalam

8

Mahkamah Konst it usiRI, Enam Tahun. . . op-ci t , hl m. 5-6.

9

(5)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo-nesia Tahun 1945; dan ket iga, bahwa berdasar-kan ket ent uan Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu mengat ur t ent ang pengangkat an dan pemberhent ian hakim konst it usi, hukum acara, dan ket ent uan lainnya t ent ang Mahkamah Kons-t iKons-t usi;

Berdasarkan perkara ant ara 2003 sampai 23 Juli 2009, Mahkamah Konst it usi t elah me-ngabulkan sej umlah 92 perkara at au sekit ar 25, 77%, menolak sej umlah 132 perkara at au sekit ar 36, 97%, t idak dapat dit erima sej umlah 83 perkara at au sekit ar 23, 25%, sert a ket et apan penarikan kembali sej umlah 24 perkara at au sekit ar 6, 72% dan 4 put usan sela at au sekit ar 1, 12%. Sehingga t ot al yang diput us adalah 335 perkara dan t erdapat 22 perkara yang masih dalam proses persidangan.10 Tent ang j umlah dan present asi put usan Mahkamah Konst it usi dari t ahun 2003 sampai 2009 dapat dilihat pada t abel di bawah ini.

Berdasarkan empat wewenang dan sat u kewaj iban yang dimiliki Mahkamah Konst it usi sebagaimana diat ur dalam UUD 1945 dan UU

Tabel 1.

Perbandingan Jumlah dan Persent ase Put usan 2003-Juli 2009

Sumber : Mahkamah Konst i t usi11

Nomor 24 Tahun 2003, maka dapat dikat akan Mahkamah Konst it usi merupakan pengawal konst it usi (t he guar di an of t he const i t ut i on). Hal t ersebut akan membawa sebuah

10 Mahkamah Konst it usiRI, Enam Tahun . . . op-ci t , hl m. 18.

11

Mahkamah Konst it usi, 2009, Enam Tahun Mengawal Kons-t i Kons-t usi Dan Demokr asi ; Gambar an Si ngkaKons-t Pel aksanaan Tugas Mahkamah Konst i t usi 2003-2009, Jakart a: Sekret a-riat Jender al dan Kepanit er aan MK, hl m. 21.

kuensi MK berf ungsi sebagai penaf sir konst it usi (t he sol e i nt er pr et er of t he const i t ut i on). Konst it usi sebagai hukum t ert inggi mengat ur penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip demokrasi dan salah sat u f ungsi konst it usi adalah melindungi hak asasi manusia yang dij amin dalam konst it usi, sehingga menj adi hak konst it usional warga negara. Karena it u, se-sungguhnya Mahkamah Konst it usi j uga berf ungsi sebagai pengawal demokrasi (t he guar di an of t he democr acy), pelindung hak konst it usional warga negara (t he pr ot ect or of t he cit i zen’ s const i t ut i onal r i ght s) dan pelindung HAM (t he pr ot ect or of human r i ght s).

David Held memberikan konsepsi hubung-an hubung-ant ara demokrasi, negara dhubung-an kebut uhhubung-an konst it usionalnya di mana ket iganya menj adi sat u kesat uan sist emik dalam rangka memper-kuat hak dan kewaj iban dalam hukum publik yang demokrat is. Held berpendapat , “ st at e po-wer s and i nst i t ut i ons must be const i t ut e and ci r cumscr i bed by t he r equi r ement t o enact t hi s l aw, i f t he oper at ion of democr at i c l i f e i s t o be sui t abl y r est r i ct ed and f r amed” . 12

Langkah yuridis Pasca-keluarnya Put usan MK Perat uran perundangan, baik dalam ben-t uk Peraben-t uran Pemerinben-t ah (PP) aben-t aupun dalam bent uk Perat uran Ment eri (PP) yang dibent uk dan mengacu kepada UU Nomor 9 Tahun 2009, at au dengan kat a lain, semua perat uran pelaksanaan dari UU Nomor 9 Tahun 2009 yang menempat kan UU Nomor 9 Tahun 2009 dalam konsiderasi ” mengingat ” harus direvisi (t er-bat as) at au bahkan dicabut . Baik BHPP, BHPD at aupun BHPM13 yang dibent uk dengan mengacu kepada UU Nomor 9 Tahun 2009 harus dicabut

12

David Hel d, 1995, Democr acy and t he Gl obal Or der : Fr om t he Moder n St at e t o Cosmopol i t an Gover nance, St andf ord: St anf ord Universit y Press, hl m. 157.

13

(6)

at au diadakan revisi t erbat as.14 Sebagai cont oh misalnya Perat uran Pemerint ah Nomor 17 Ta-hun 2010 t ent ang Pengelolaan dan Penyeleng-garaan Pendidikan, dan Perat uran Pemerint ah Nomor 38 Tahun 2010 Tent ang Badan Hukum Pendidikan Pemerint ah Universit as Pert ahanan Indonesia.

PP Nomor 17 Tahun 2010 t ent ang Penge-lolaan dan Penyelengg-araan Pendidikan meng-at ur secara khusus menyangkut Perguruan Tinggi sebagai badan hukum. Walaupun PP Nomor 17 Tahun 2010 t idak meruj uk kepada UU Nomor 19 Tahun 2009, namun secara mat eri bert ent angan dengan t af siran badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud oleh hakim MK dalam dua put usan, yakni; put usan Nomor 021/ PUUIV/ 2006 pada 22 Februari 2007, dan Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009 t anggal 31 Maret 2010. sehingga PP Nomor 17 Tahun 2010 menj adi bagian yang ha-rus direvisi.15

Kemudian, PP Nomor 38 Tahun 2010 ha-rus dicabut pembent ukkan PP ini merupakan pendelegasian dari UU Nomo 19 Tahun 2009. Dalam konsideran ” mengingat ” PP Nomor 38 Tahun 2010 mencant umkan UU nomor 39 Tahun 2009. Pasal 1 angka 1 PP t ersebut berbunyi; ” Badan Hukum Pendidikan Pemerint ah Univer-sit as Pert ahanan Indonesia yang selanj ut nya disebut BHPP UNHAN adalah badan hukum pendidikan yang didirikan oleh Pemerint ah yang menyelenggarakan pendidikan t inggi ilmu pert ahanan” .

BHMN (Badan Hukum Milik Negara) se-pert i Universit as Indonesia, Inst it ut Pert anian Bogor, Universit as Gaj ah Mada, Inst it ut

14 Pasal 7 (1) UU Nomor 9 Tahun 2009; BHPP di dir ikan ol eh

Pemerint ah dengan perat uran pemerint ah at as usul Men-t eri. Pasal 7 (2) UU Nomor 9 Tahun 2009; BHPPD didiri-kan ol eh pemeri nt ah daerah dengan perat uran gubernur at au perat uran bupat i/ w al ikot a. Pasal 7 (3) UU Nomor 9 Tahun 2009; BHPM di dir ikan ol eh masyarakat dengan akt a not ari s yang disahkan ol eh Ment er i.

15

Pasal 221 Perat ur an Pemeri nt ah Nomor 17 Tahun 2010 t ent ang Pengel ol aan dan Penyel enggar aan Pendidikan mengat ur ” Pada saat Per at ur an Pemer i nt ah i ni mul ai ber l aku: i . Per at ur an Pemer i nt ah Nomor 61 Tahun 1999 t ent ang Penet apan Per gur uan Ti nggi Neger i sebagai Badan Hukum (Lembar an Negar a Republ i k Indonesi a Tahun 1999 Nomor 116, Tambahan Lembar an Negar a Republ i k Indonesi a Nomor 3860); di cabut dan di nyat akan t i dak ber l aku” .

nologi Bandung yang dibent uk sebelum UU Nomor 20 Tahun 2003 dan UU Nomor 9 Tahun 2009, keberadaannya t et ap diakui sebagai Per-guruan Tinggi Negeri. Demikian pula BHMN yang dibent uk dengan konsideran UU UU Nomor 20 Tahun 2003 sepert i Universit as Pendidikan In-donesia, Universit as Sumat era Ut ara dan Uni-versit as Airlangga t et ap diakui keberadaannya. Namun kesemua BHMN t ersebut perlu merevisi Anggaran Dasar masing-masing sesuai dengan Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009.

Tafsiran Yuridis ” Badan Hukum Pendidikan” Pembent ukkan sebuah Badan Hukum Pen-didikan adalah sebuah keharusan dan amanat dari Pasal 53 (4) UU Nomor 20 Tahun 2003 yang menent ukan bahwa Ket ent uan t ent ang badan hukum pendidikan diat ur dengan Undang-undang t ersendiri. Pasal 53 (4) t idak menj adi bagian yang dibat alkan dalam Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009.

Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas t ent ang BHP menj adi r at io l egis lahirnya Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009. UU Nomor 9 Tahun 2009 yang disusun at as dasar pemahaman ” Badan Hukum Pendidikan” versi penj elasan Pasal 53 ayat (1) yang memahami ” Badan Hukum Pendidikan” sebagai badan hu-kum publik at au badan huhu-kum yang menyeleng-garakan pendidikan, dibat alkan. Pasal 53 Ayat (1) menyebut kan, ” Penyelenggara dan/ at au sa-t uan pendidikan f ormal yang didirikan pemerin-t ah apemerin-t au masyarakapemerin-t berbenpemerin-t uk badan hukum pendidikan. Menurut MK, ist ilah badan hukum pendidikan it u bukanlah nama dan bent uk badan hukum t ert ent u.

(7)

Aspek f ungsi negar a unt uk mencerdaskan ke-hidupan bangsa (Alinea Keempat Pembukaan), kewaj iban negara dan pemerint ah dalam bidang pendidikan sebagaimana dit ent ukan Pasal 31 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), sert a hak dan kewaj iban warga negara dalam bidang pendidikan sebagaimana dit ent u-kan oleh Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat dan ayat (2), sert a Pasal 28 ayat (1) (sic. ) UUD 1945; Kedua, Aspek f i l osof i s yakni mengenai cit a-cit a unt uk membangun sist em pendidikan nasional yang berkualit as dan ber-makna bagi kehidupan bangsa, aspek sosiologis yakni realit as mengenai penyelenggaraan pen-didikan yang sudah ada t ermasuk yang diseleng-garakan oleh berbagai yayasan, perkumpulan, dan sebagainya, sert a aspek yuridis yakni t idak menimbulkan pert ent angan dengan perat uran perundang-undangan lainnya yang t erkait de-ngan badan hukum; Ket i ga, Aspek pengat ur an

mengenai badan hukum pendidikan dalam undang-undang dimaksud haruslah merupakan implement asi t anggung j awab negara dan t idak dimaksudkan unt uk mengurangi at au meng-hindar dari kewaj iban konst it usional negara di bidang pendidikan, sehingga t idak memberat -kan masyarakat dan/ at au pesert a didik;

Keempat , Aspek aspir asi masyar akat harus mendapat perhat ian di dalam pembent ukan un-dang-undang mengenai badan hukum pendidik-an, agar t idak menimbulkan kekacauan dan permasalahan baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. ” 16

Di samping keempat aspek di at as, posisi pengelolaan kekayaan negara menj adi bagian t epent ing dari menerj emahkan “ Badan Hukum Pendidikan” sebagaimana diamanat kan dalam

16

Put usan Nomor 021/ PUUIV/ 2006 pada 22 Februari 2007. hl m. 134-135. Dal am Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009 t anggal 31 Maret 2010 hal aman 388, MK menyat akan; ” Menimbang bahw a berdasarkan urai an di at as Mahkamah berpendapat bahw a UU BHP yang menyeragamkan bent uk hukum badan hukum pen-di pen-dikan yang pen-di sel enggarakan ol eh masyar akat (BHPM) adal ah t idak sesuai dengan rambu-rambu yang t el ah dit et apkan ol eh Mahkamah dal am put usan perkar a Nomor 021/ PUU-IV/ 2006 t anggal 22 Februari 2007, dan t el ah mel anggar hak konst it usional para Pemohon sehingga dal il -dal il para Pemohon dal am perkara Nomor 126/ PUU-VII/ 2009 ber al asan” .

Pasal 53 (4) UU Nomor 20 Tahun 2003. Tent ang hal ini, MK berpendapat :

Oleh karena it u, seharusnya pendirian BHPP at au BHPPD t idak cukup dilakukan hanya dengan Perat uran Pemerint ah, at au Perat uran Gubernur/ Bupat i/ Wali-kot a karena menyangkut pelepasan hart a pemerint ah at au pemerint ah daerah yang memerlukan perset uj uan DPR at au DPRD. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 t ent ang Perbendaharaan Ne-gara (UU 1/ 2004) menyat akan, “ Pemi n-daht anganan bar ang mi l i k negar a/ daer ah di l akukan dengan car a di j ual , di per t ukar -kan, di hi bah-kan, at au di ser t akan sebagai modal Pemer i nt ah set el ah mendapat per set uj uan DPR/ DPRD”. Jelas pembuat UU BHP t idak mempert imbangkan ke-beradaan UU 1/ 2004, hal demikian t er-bukt i UU BHP t idak mencant umkan UU 1/ 2004 dalam konsiderans mengingat padahal pembent ukan BHP sebagaimana dimaksud oleh UU BHP mensyarat kan adanya hart a yang dipisahkan dari pendiri dalam hal BHPP dan BHPPD adalah Pemerint ah dan Pemerint ah Daerah sebagaimana disebut kan dalam Pasal 37 ayat (1) UU BHP kekayaan awal BHPP, BHPPD, dan BHPM berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan. 17

Di luar UU Nomor 20 Tahun 2003, peng-at uran badan hukum t erdappeng-at dalam KUH Per-dat a (BW) Pasal 1653 dan 1654. Dalam dua pa-sal t ersebut , dij elaskan 4 (empat ) j enis badan hukum (zadel i j ke l i chaamen) yait u, Per t ama,

Badan hukum yang diadakan (didirikan) oleh kekuasaan umum; Kedua, Badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum; Ket i ga, Badan hukum yang diperkenankan, Keempat , Badan hukum yang didirikan unt uk maksud t uj uan t ert ent u.

Menurut de heer sende’ l eer unt uk mem-bedakan mana yang badan hukum public dan mana yang badan hukum privat dapat dilihat dari (1) cara pembent ukannya dan (2) perun-t ukkannya. Jika unperun-t uk kepenperun-t ingan umum maka j elas merupakan badan hukum publik sedang-kan unt uk perseorangan maka j elas merupasedang-kan badan hukum privat .

17 Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009

(8)

Terkait BHP yang diat ur dalam UU Sisdik-nas dan Put usan MK, maka BHP j elas merupa-kan badan hukum publik dimana peran Negara unt uk menj alankan proses organisasi BHP Uni-versit as sangat “ mut lak” . Peran warga Negara dalam membant u pelaksanaan BHP versi baru t ersebut t idaklah mut lak, apabila individu war-ga Newar-gara berkehendak ikut sert a maka peran-nya t ersebut diperbolehkan.

Sesungguhnya, MK sudah memberikan so-lusi hukum at as bent uk ” badan hukum pen-didikan” sebagaimana disebut dalam Pasal 53 (1) UU Nomor 20 Tahun 2003. Hal ini dapat dibaca dalam Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009:

UU Sisdiknas bukanlah nama dan bent uk badan hukum t ert ent u, melainkan sebut -an dari f ungsi penyelenggara pendidik-an yang berart i bahwa suat u lembaga pen-didikan harus dikelola oleh suat u badan hukum. Adapun bent uk badan hukum it u dapat bermacam-macam sesuai dengan bent uk-bent uk yang dikenal dalam per-at uran perundang-undangan, misalnya; yayasan, perkumpulan, perserikat an, ba-dan wakaf , ba-dan sebagainya.

MK membenarkan bahwa Badan hukum pendidikan dapat dij alankan dengan prinsip nirlaba, disamping it u, MK dalam put usannya j uga mengakui bahwa t idak semua prinsip BHPP dan BHPPD yang sudah dit erapkan dalam UU Nomor 19 Tahun 2009 bert ent angan dengan UUD 1945. hal ini dapat dibaca dalam put usan MK;

Menimbang bahwa meskipun keberadaan BHPP dan BHPPD sebagaimana dimaksud oleh UU BHP bert ent angan dengan UUD 1945, namun t idak semua prinsip yang dit erapkan dalam BHPP dan BHPPD ber-t enber-t angan dengan UUD 1945. Adanya ke-t enke-t uan bahwa penyelenggaraan pen-didikan harus menerapkan prinsip nirlaba dalam pengelolaan pendidikan adalah benar dan t idak bert ent angan dengan UUD 1945. Meskipun demikian, prinsip nirlaba it u t idak hanya dapat dit erapkan di dalam BHP, t et api dapat dit erapkan pula dalam bent uk-bent uk badan hukum penyelenggara pendidikan yang lain. 18

18 Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009

t anggal 31 Maret 2010, hl m. 400.

Prinsip-prinsip dan bent uk-bent uk dari ” badan hukum pendidikan” sesuai yang dij elas-kan dan dit af sirelas-kan MK dalam Put usan MK No-mor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009 se-sungguhnya menj adi bahan hukum ut ama guna merumuskan Rancangan Undang-undang (RUU) yang baru yang mengat ur masalah Badan Hu-kum Pendidikan sebagai amanat Pasal 51 (1) j unt o Pasal 51 (4) UU 20 Tahun 2003.

Penut up Simpulan

Selain merevisi beberapa Anggaran Dasar PTN/ PTS yang dibent uk berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 dan UU Nomor 9 Tahun 2009, pemerint ah pusat (Presiden c. q. Mendiknas) dan Pemerint ah Daerah (Gubernur, Walikot a dan Bupat i) harus segera mencabut seluruh perat uran perundang-undangan yang dibent uk yang mengacu kepada UU Nomor 9 Tahun 2009.

Amat pent ing segera disusun Undang-undang Tent ang Badan Hukum Pendidikan, sesuai dengan amanat Pasal 53 (1) j unt o Pasal 53 (4) UU Nomor 20 Tahun 2003, dengan me-ngacu kepada Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009 t anggal 31 Maret 2010 dan Put usan Nomor 021/ PUUIV/ 2006 pada 22 Februari 2007. Dalam dua put usan t ersebut , MK t elah mendef enisi makna dan bat asan “ Badan Hukum Pendidikan” yang konst it usional.

Belaj ar dari prakt ek pembent ukkan UU di DPR, amat sulit pembahasan RUU Badan Hukum Pendidikan yang sesuai dengan rambu-rambu yang sudah diat ur dalam Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009 dan Put usan Nomor 021/ PUUIV/ 2006 akan selesai dalam wakt u 3 (t iga) bulan. Maka amat pent ing Pe-merint ahan (Presiden) mengeluarkan Perat uran Perundang-undangan Penggant i Pemerint ah (Perppu).

(9)

ke-gent ingan yang memaksa, Presiden berhak menet apkan perat uran pemerint ah sebagai penggant i UU, kedua, perat uran pemerint ah it u harus mendapat perset uj uan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut , dan

ket i ga, j ika t idak mendapat perset uj uan, maka perat uran pemerint ah it u harus dicabut .

Masalahnya yang t imbul dalam kait an rencana pembent ukan Perppu t ent ang UU Ba-dan Hukum Pendidikan, bukan pada eksist ensi, namun t erlet ak pada alasan yang dapat mem-benarkan kehadiran Perppu t ersebut sebagai

emer gency l aw. Alasan ini menj adi amat pen-t ing karena Pasal 22 Ayapen-t (1) UUD 1945 meng-hendaki kondisi at au hal ihwal kegent ingan yang memaksa at as rencana penerbit an Perppu.

Set idaknya t erdapat beberapa pert im-bangan pent ingnya kehadiran Perppu t ent ang UU Badan Hukum Pendidikan. Per t ama, Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009 t anggal 31 Maret 2010 berimplikasi kepada banyaknya perat uran perundang-undangan yang harus dicabut dan direvisi. Pencabut an dan/ at au revisi perat uran-perundangan dimaksud, t idak saj a menyangkut t eknis regulasi semat a, t et api berimplikasi t erhadap eksist ensi badan dan organ lembaga pendidikan yang diat ur di dalamnya. Baik dari st at us Perguruan Tinggi (PTN/ PTS) maupun semua lembaga pendidikan f ormal dan inf ormal yang dibent uk oleh masya-rakat . Kemudian, berbagai perat uran perun-dang-undangan yang akan direvisi membut uh-kan payung hukum yang j elas set ingkat dengan UU. Dengan kat a lain, adalah langkah hukum yang keliru bila Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009 t anggal 31 Maret 2010 hanya dit indaklanj ut i dengan beberapa Perat urn Pemerint ah (PP). Bila t idak dibent uk sebuah UU Badan Hukum Pendidikan dalam wakt u yang secepat -cepat nya, t idak saj a persoalan hukum yang akan t imbul. Namun akan menimbulkan soci al cost yang amat t inggi.

Kedua, dari segi prosedural pembent ukan sebuah UU. Prakt ek ket at anegaraan membukt i-kan bahwa pembent ui-kan sebuah UU memai-kan wakt u yang cukup lama di DPR. Sulit unt uk diharapkan bahwa sebuah RUU akan dapat dibent uk dan disahkan dalam wakt u kurang dari

6 (enam) bulan. Sedangkan kebut uhan regulasi set ingkat UU yang mengat ur masalah badan hukum pendidikan sebagaimana diamanat kan Pasal 53 (1) j unt o Pasal 53 (4) UU Nomor 20 Tahun 2003 menj adi kebut uhan yang amat mendesak.

Dua alasan di at as menj adi pij akan kons-t ikons-t usional bagi Pemerinkons-t ah (c. q. Presiden) un-t uk membenun-t uk sebuah Perppu Badan Hukum Pendidikan yang secara subst ansi sesuai dengan Put usan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009 t anggal 31 Maret 2010 dan Put usan Nomor 021/ PUUIV/ 2006 pada 22 Februari 2007.

DAFTAR PUSTAKA

Fadj ar, Abdul Mukht ie. 2006. Hukum Konst it usi dan Mahkamah Konst it usi . Jakart a: Sek-j en dan Kepanit eraan Mahkamah Kons-t iKons-t usi RI;

Held, David. 1995. Democr acy and t he Gl obal Or der : Fr om t he Moder n St at e t o Cosmopol it an Gover nance. St andf ord: St anf ord Universit y Press;

Mahkamah Konst it usi. 2009. Enam Tahun Mengawal Konst i t usi dan Demokr asi ; Gambar an Si ngkat Pel aksanaan Tugas Mahkamah Konst it usi 2003-2009, Jakar-t a: SekreJakar-t ariaJakar-t Jenderal dan KepaniJakar-t e-raan MK;

Marbun, S. F. “ Nagara Hukum dan Kekuasaan” ,

Jur nal Hukum Ius Qui a Iust um, Vol 4 No. 9. 2007;

Put usan Mahkamah Konst it usi Nomor 11;

Put usan Mahkamah Konst it usi Nomor 126/ PUU-VII/ 2009 t anggal 31 Maret 2010;

Put usan Mahkamah Konst it usi Nomor 136/ PUU-VII/ 2009 t anggal 31 Maret 2010;

Put usan Mahkamah Konst it usi Nomor 14/ PUU-VII/ 2009 t anggal 31 Maret 2010;

Put usan Mahkamah Konst it usi Nomor 21/ PUU-VII/ 2009 t anggal 31 Maret 2010;

Gambar

Tabel 1.  Langkah yuridis Pasca-keluarnya Putusan MK

Referensi

Dokumen terkait

ilmu perilaku dan mahzab ilmu manajemen, keduanya merupakan pendekatan yang penting dan penuh.. semangat terhadap penelitian, analisis, dan pemecahan permasalahan

Berdasarkan hasil evaluasi kualifikasi maka dengan ini Pokja Pengadaan Pekerjaan Konstruksi I pada Bagian Pelayanan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Kabupaten Gunung Mas

Emergency dental treatment can be claimed up to £1,000 per year but cover for accidental dental injury is limited to £250 per treatment.. £6 per month gets you basic dental

[r]

[r]

Dengan ini diberitahukan bahwa setelah dilakukan evaluasi oleh Kelompok Kerja (Pokja) VI Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Tahun Anggaran 2017 yang

Hence, the goal of this research is to identify the relation between the cage temperature and the width of beak opening of gelatik jawa ( Padda oryzivora ), and their body

Seluruh Berkas Asli yang tercantum didalam dokumen kualifikasi perusahaan yang saudara sampaikan pada paket pekerjaan tersebut di atas (Khusus Ijazah, cukup menunjukan