• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG A. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Hukum Pengangkutan A.1. Pengertian Pengangkutan Secara Umum - Pelaksanaan Angkutan Barang Dengan Peti Kemas Ditinjau Dari Aspek Yuridis (Studi pada PT Masaji Tatanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG A. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Hukum Pengangkutan A.1. Pengertian Pengangkutan Secara Umum - Pelaksanaan Angkutan Barang Dengan Peti Kemas Ditinjau Dari Aspek Yuridis (Studi pada PT Masaji Tatanan "

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG

A.Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Hukum Pengangkutan

A.1. Pengertian Pengangkutan Secara Umum

Pengangkutan merupakan bidang yang sangat vital dalam kehidupan

masyarakat. Hal ini disebabkan karena peran pengangkutan itu sendiri yang sangat

penting dalam memperlancar arus lalulintas barang dan orang yang timbul sejalan

dengan meningkatnya perkembangan masyarakat, sehingga menjadikan

pengangkutan sebagai suatu kebutuhan bagi masyarakat.

Dengan meningkatnya kebutuhan akan sarana pengangkutan, maka

semakin meningkatlah perkembangan di bidang pengangkutan yang mendorong

perkembangan di bidang teknologi, sarana dan prasarana pengangkutan, ilmu

pengetahuan tentang pengangkutan serta hukum pengangkutan.

Mengenai pengertian pengangkutan, ada beberapa pendapat dari para

sarjana yakni sebagai berikut :

1. Abdulkadir Muhammad

Pengertian “angkutan” berasal dari kata “angkut” yang berarti mengangkat

atau membawa, memuat dan membawa atau mengirim.8

8

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal. 19.

Dengan kata lain

angkutan adalah proses kegiatan memuat barang atau penumpang ke

dalam alat tempat pemuatan ke tempat tujuan dan menurunkan barang atau

(2)

2. R. Soekardono

Pengangkutan pada pokoknya berisikan perpindahan tempat baik

mengenai benda-benda maupun mengenai orang-orang, karena

perpindahan ini mutlak serta efisien.9

3. Sri Rejeki Hartono

Pengangkutan dapat memberikan kemanfaatan terhadap nilai dan

penggunaan suatu barang, yang pada dasarnya dapat dikemukakan dua

nilai kegunaan pokoknya, antara lain :

a. Kegunaan tempat (place utility)

Dengan adanya pengangkutan berarti perpindahan barang dari suatu

tempat, di mana barang tadi dirasakan kurang berguna atau

bermanfaat, ke tempat lain yang menyebabkan barang tadi menjadi

lebih berguna dan bermanfaat bagi manusia. Jadi dilihat dari kegunaan

dan manfaatnya bagi manusia maka barang tadi sudah bertambah

nilainya.

b. Kegunaan waktu (time utility)

Dengan adanya pengangkutan berarti dapat memungkinkan terjadinya

suatu perpindahan barang dari suatu tempat ke tempat lain dimana

barang itu lebih diperlukan tepat pada waktunya. Jadi nilai barang itu

dapat dilihat dari faktor waktu barang itu dapat lebih dimanfaatkan

oleh manusia atau tidak.

9

(3)

Jika dilihat dari berbagai pengertian dan definisi pengangkutan di atas,

maka dapat diketahui berbagai aspek pengangkutan, yaitu sebagai berikut :

a. Pelaku, yaitu pihak yang melakukan pengangkutan. Pelaku ini ada yang

berupa badan hukum yang melaksanakan pengangkutan seperti perusahaan

pengangkutan, baik berupa orang secara alamiah maupun orang dalam arti

badan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT) atau Koperasi. Orang secara

alamiah sebagai pelaku misalnya buruh di pelabuhan yang mengangkut dan

mengangkat barang-barang dari dan ke kapal.

b. Alat pengangkutan, yaitu alat yang digunakan untuk menyelenggarakan

pengangkutan. Alat ini digunakan secara mekanik atau elektronik dengan

teknologi tinggi yang harus memenuhi persyaratan keamanan dan

keselamatan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang

berlaku seperti kendaraan bermotor, kapal laut, kapal udara, derek (crene) dan

lain-lain.

c. Barang dan/atau penumpang, yaitu objek yang dimuat dan diangkut.

Barang muatan yang diangkut adalah barang yang dapat diperdagangkan atau

tidak dapat diperdagangkan dan berbagai jenis yang yang diklasifikasikan

sebagai barang umum (general good), barang-barang berbahaya (dangerous

good), barang yang mudah rusak (perishable good), barang beracun termasuk

pula animal product, jenazah, hewan, ikan, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain.

d. Perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang mengangkut barang atau penumpang

sejak pemuatan atau boarding sampai dengan penurunan di tempat tujuan

(4)

e. Fungsi pengangkutan, yaitu meningkatkan nilai tambah atau kegunaan barang

yang diangkut di tempat tujuan.

f. Tujuan pengangkutan, yaitu barang dan/atau orang dapat selamat sampai di

tempat tujuan. 10

A.2. Jenis-Jenis Pengangkutan dan Pengaturannya

Pengangkutan secara garis besar dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Pengangkutan Darat

a. Pengangkutan melalui jalan raya, yaitu pengangkutan dengan

menggunakan kendaraan yang digerakkan oleh peralatan tehnik yang ada

pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang

atau barang yang dijalankan di setiap jalan dalam bentuk apapun yang

terbuka untuk lalu lintas umum. Adapun pengangkutan melalui jalan raya

diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu Lintas

dan Angkutan Jalan.

b. Pengangkutan dengan kereta api, yaitu pengangkutan dengan

menggunakan kendaraan yang digerakkan oleh peralatan tehnik yang ada

pada kendaraan itu dan biasanya dipergunakan untuk pengangkutan orang

atau barang yang dijalankan di atas rel. Adapun pengangkutan dengan

kereta api diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang

Perkeretaapian.

10

(5)

2. Pengangkutan Laut

Khusus mengenai pengangkutan laut tidak dijumpai definisinya dalam

KUHD, yang ada yaitu pengertian pengangkutan yang terdapat di dalam Pasal 466

dan Pasal 521 KUHD yakni :

Pasal 466 KUHD :

“Pengangkutan adalah barang siapa yang baik dalam persetujuan charter menurut perjalanan, baik dengan persetujuan lain, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan yang seluruhnya atau sebagian melalui lautan”

Pasal 521 KUHD :

“Pengangkutan dalam arti bab ini adalah barang siapa yang baik dengan charter menurut waktu atau charter menurut perjalanan, baik dengan persetujuan lain, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan angkutan orang (penumpang), seluruhnya atau sebagian melalui lautan”

Sedangkan menurut Pasal 1 butir 3 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008

tentang Pelayaran menyebutkan bahwa Angkutan di Perairan adalah kegiatan

mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan

menggunakan kapal.

Pengaturan pengangkutan laut di Indonesia diatur dalam berbagai macam

peraturan antara lain :

a) KUHD, Buku II Bab V, tentang perjanjian charter kapal.

b) KUHD, Buku II Bab Va, tentang pengangkutan barang-barang.

c) KUHD, Buku II Bab Vb, tentang pengangkutan orang.

d) Peraturan di luar KUHD yaitu Undang-Undang No. 17 Tahun 2008

tentang Pelayaran.

(6)

Menurut Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan menjelaskan bahwa Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan

menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo dan/atau pos

untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain

atau beberapa bandar udara.

Pasal 1 butir 14 sampai dengan butir 18 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2009 tentang Penerbangan menjelaskan mengenai jenis-jenis angkutan udara yang

meliputi:

1) Angkutan Udara Niaga, yaitu angkutan udara untuk umum dengan memungut

pembayaran.

2) Angkutan Udara Bukan Niaga, yaitu angkutan udara yang digunakan untuk

melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan

yang usaha pokoknya selain di bidang angkutan udara.

3) Angkutan Udara Dalam Negeri, yaitu kegiatan angkutan udara niaga untuk

melayani angkutan udara dari satu bandar udara ke bandar udara lain di dalam

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4) Angkutan Udara Luar Negeri, yaiut kegiatan angkutan udara niaga untuk

melayani angkutan udara dari satu bandar udara di dalam negeri ke bandar

udara lain di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan

sebaliknya.

5) Angkutan Udara Perintis, yaitu kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri

(7)

terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh moda

transportasi lain dan secara komersial belum menguntungkan.

A.3. Perjanjian Pengangkutan dan Pengaturannya

Pengangkutan barang di dalam pelaksanaannya didahului dengan adanya

kesepakatan antara pihak-pihak yang ingin mengadakan pengangkutan barang.

Kesepakatan tersebut tertuang dalam bentuk perjanjian pengangkutan yang akan

menimbulkan hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang berbeda dari

masing-masing pihak.

Mengenai pengertian perjanjian pengangkutan, tidak diberikan definisinya

dalam Buku II KUHD. Perjanjian pengangkutan itu sendiri bersifat konsensuil,

sehingga untuk terciptanya perjanjian pengangkutan tidak diperlukan adanya

syarat tertulis.

Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan

tentang syarat sahnya perjanjian :

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 1. Sepakat mereka yang mengikat dasarnya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab halal

Menurut H.M.N. Purwosutjipto, Perjanjian Pengangkutan adalah

perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut

(8)

dari suatu tempat ke tempat tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim

mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.11

Sedangkan Perjanjian Pengangkutan menurut Subekti yaitu suatu

perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang

atau barang dari suatu tempat ke tempat lain, sedangkan pihak lainnya

menyanggupi akan membayar ongkos.12

1. Asas Konsensual

Ada empat asas pokok yang mendasari perjanjian pengangkutan :

Asas ini tidak mensyaratkan bentuk perjanjian angkutan secara tertulis,

sudah cukup apabila ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Dalam

kenyataannya, hampir semua perjanjian pengangkutan darat, laut dan udara dibuat

secara tertulis, tetapi selalu didukung dokumen pengangkutan. Dokumen

pengangkutan bukan perjanjian tertulis melainkan sebagai bukti bahwa

persetujuan diantara pihak-pihak itu ada. Alasan perjanjian pengangkutan tidak

dibuat tertulis karena kewajiban dan hak pihak-pihak telah ditentukan dalam

Undang. Mereka hanya menunjuk atau menerapkan ketentuan

Undang-Undang.

2. Asas Koordinasi

Asas ini mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara pihak-pihak dalam

perjanjian pengangkutan.

11

HMN. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang, Hukum Pengangkutan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1981, hal. 2.

12

Subekti, IV, Hukum Perjanjian, Cetakan XI, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 2010,

(9)

3. Asas Campuran

Perjanjian pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian,

yaitu pemberian kuasa dari pengirim kepada pengangkut, penyimpan barang dari

pengirim kepada pengangkut, dan melakukan pekerjaan pengangkutan yang

diberikan oleh pengirim kepada pengangkut. Jika dalam perjanjian pengangkutan

tidak diatur lain, maka diantara ketentuan ketiga jenis perjanjian itu dapat

diberlakukan. Hal ini ada hubungannya dengan asas konsensual.

4. Asas Tidak Ada Hak Retensi

Penggunaan hak retensi bertentangan dengan fungsi dan tujuan

pengangkutan. Penggunaan hak retensi akan menyulitkan pengangkut sendiri,

misalnya penyediaan tempat penyimpanan, biaya penyimpanan, penjagaan dan

perawatan barang. 13

B.Pihak-pihak yang Terlibat di dalam Pengangkutan Barang

Yang dimaksud dengan pihak-pihak dalam pengangkutan adalah

merupakan para subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam

hubungan hukum pengangkutan.14

13

Folorensus, Hukum tentang Perjanjian Pengangkutan,

Adapun yang menjadi pihak-pihak dalam

pengangkutan menurut pendapat yang dikemukakan oleh para ahli antara lain :

diakses

tanggal 7 Januari 2014 14

(10)

1) Wiwoho Soedjono menjelaskan bahwa dalam pengangkutan di laut terutama

mengenai pengangkutan barang, maka perlu diperhatikan adanya tiga unsur,

yaitu pengirim barang, pihak penerima barang, dan barang itu sendiri.15

2) HMN Purwosutjipto mengemukakan bahwa pihak-pihak dalam pengangkutan

yaitu pengangkut dan pengirim. Pengangkut adalah orang yang mengikatkan

diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang lain dari

suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Lawan dari pihak

pengangkut ialah pengirim yaitu pihak yang mengikatkan diri untuk

membayar uang angkutan, dimaksudkan juga ia memberikan muatan.16

3) Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa pihak-pihak dalam perjanjian

pengangkutan niaga adalah mereka yang langsung terkait memenuhi

kewajiban dan memperoleh hak dalam perjanjian pengangkutan niaga.

Mereka adalah pengangkut yang berkewajiban pokok menyelenggarakan

pengangkutan dan berhak atas biaya angkutan, pengirim yang berkewajiban

pokok membayar biaya angkutan dan berhak atas penyelenggaraan

pengangkutan barangnya dan penumpang yang berkewajiban pokok

membayar biaya angkut dan berhak atas penyelenggaraan pengangkutan.17

Dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli diatas, maka

dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan pengangkutan barang, akan melibatkan

pihak-pihak sebagai berikut :

1. Pengirim Barang

15

Ibid, hal. 12. 16

Ibid, hal. 12. 17

(11)

Mengenai pengirim barang, tidak ada ditemukan definisinya di dalam

KUHD. Namun, secara ringkas dapat dikemukakan bahwa pengirim adalah orang

yang mengikatkan diri untuk mengirim sesuatu barang dengan membayar uang

angkutan.18

a. Perjanjian yang dibuat antara ekspeditur dengan pengirim disebut dengan

perjanjian ekspedisi, yaitu perjanjian timbal balik antara ekspeditur dengan

pengirim, dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan

pengangkut yang baik bagi si pengirim, sedangkan si pengirim

mengikatkan diri untuk membayar provisi kepada ekspeditur.

Pengirim belum tentu adalah pemilik barang. Sering kali dalam praktik,

pengirim adalah ekspeditur atau perantara lain dalam bidang pengangkutan. Pasal

86 ayat (1) KUHD menyatakan bahwa ekspeditur adalah orang yang pekerjaannya

menyuruh orang lain untuk menyelenggarakan pengangkutan barang-barang.

Karena merupakan perantara, ada dua jenis perjanjian yang perlu dibuat

oleh ekspeditur yaitu sebagai berikut :

b. Perjanjian antara ekspeditur atas nama pengirim dengan pengangkut

disebut perjanjian pengangkutan19

Dari dua jenis perjanjian tersebut, maka hubungan hukum, hak dan

kewajiban ekspeditur adalah sebagai berikut :

a. Sebagai Pemegang Kuasa

18

Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaanya di Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal.147.

19

(12)

Ekspeditur melakukan perbuatan hukum atas nama pengirim. Dengan

demikian, ketentuan-ketentuan tentang pemberian kuasa yang yang

tercantum dalam Pasal 1792 samapi dengan 1819 KUHPerdata berlaku

baginya.

b. Sebagai Komisioner

Kalau ekspeditur berbuat (melakukan perbuatan hukum) atas namanya

sendiri, maka diberlakukanlah kepadanya ketentuan-ketentuan hukum

mengenai komisioner sebagaimana tercantum dalam Pasal 76 KUHD dan

seterusnya.

c. Sebagai Penyimpan Barang

Sebelum ekspeditur dapat menemukan pengangkut yang memenuhi syarat,

sering juga ekspeditur terpaksa harus menyimpan dulu barang-barang

pengirim di gudangnya. Dalam hal ini ketentuan-ketentuan yang berlaku

baginya adalah ketentuan mengenai penyimpanan barang sebagaimana

yang tercantum dalam Pasal 1694 KUHPerdata.

d. Sebagai Penyelenggara Urusan (Zaakwaarneming)

Untuk melaksanakan tugas/amanat pengirim, sering kali ekspeditur

berurusan dengan pihak ketiga, seperti misalnya melaksanakan

ketentuan-ketentuan tentang pengeluaran dan pemasukan barang-barang di

pelabuhan, bea cukai dan lain-lain. Disini ada urusan zaakwaarneming. 20

Selain ekspeditur, dalam pengangkutan laut dikenal pula pihak-pihak yang

terkait lainnya, yaitu sebagai berikut :

20

(13)

1) Pengatur Muatan

Pengatur muatan atau juru padat adalah orang yang tugasnya menetapkan

tempat dimana suatu barang harus disimpan dalam ruangan kapal.

Pengatur muatan ini merupakan perusahaan tersendiri dan mempunyai

anak buah tersendiri. Dengan demikian, pengatur muatan terlepas dari

perusahaan pengangkut/pemilik kapal. Namun, dalam melaksanakan

tugasnya di kapal pengangkut, pengatur muatan harus tunduk pada aturan

yang ada di kapal (Pasal 321 KUHD). Jadi, perbuatan yang merugikan

pengirim yang dilakukan oleh pengatur muatan dan/atau anak buahnya di

dalam kapal menjadi tanggung jawab pengusaha kapal.

2) Per-Veem-An/Ekspedisi Muatan Laut

Per-Veem-An dan ekspedisi muatan laut adalah dua jenis perusahaan yang

biasa terkait dalam proses pengangkutan barang dan lazim ada dalam

praktik pengangkutan laut di Indonesia. Kedua jenis perusahaan ini diatur

bersamaan dalam PP No. 2 Tahun 1969 tentang Penyelenggaraan dan

Pengusahaan Angkutan Laut. Sementara itu, untuk persyaratan usaha

Per-Veem-An dan usaha ekspeditur ditetapkan oleh Menteri Perdagangan

dengan Surat Keputusan No. 122/Kp/VI/1970 tanggal 8 Juni 1970 tentang

Persyaratan dan Prosedur Memperoleh Izin Usaha. Surat Keputusan

Menteri Perdagangan ini dikeluarkan sebagai pelaksanaan Pasal 28 (1) PP

No. 2 Tahun 1969.

Menurut PP No. 2 Tahun 1969 yang dimaksudkan dengan Per-Veem-An

(14)

barang-barang yang dilakukan dengan mengusahakan gudang-gudang,

lapangan-lapangan, dimana dikerjakan dan disiapkan untuk diserahkan

kepada perusahaan pelayaran untuk dikapalkan, yang meliputi antara lain

kegiatan ekspedisi muatan, pengepakan, pengepakan kembali, sortasi,

penyimpanan, pengukuhan, penandaan dan lain-lain pekerjaan yang

bersifat teknis ekonomis yang diperlukan perdagangan dan pelayaran.”

Dari ketentuan Pasal 1 PP No. 2 Tahun 1969 tersebut, maka tugas

Per-Veem-An dapat dirinci diantaranya :

i) Pengurusan dokumen-dokumen dan pekerjaan-pekerjaan yang

menyangkut penerimaan dan penyerahan barang-barang muatan yang

diangkut melalui lautan untuk diserahkan kepada perusahaan

pengangkutan

ii) Pengepakan atau pengepakan kembali, penandaan barang-barang untuk

kepentingan pemilik barang dan pengiriman selanjutnya dari

barang-barang dimaksud dengan angkutan laut

iii) Penerimaan dan penyimpanan barang dalam gudang-gudang,

lapangan-lapangan yang diusahakan untuk itu tanpa mengerjakan

perubahan yang bersifat teknis kepada barang-barang

iv) Sortasi barang-barang untuk kepentingan pemilik barang

Sementara itu, tugas ekspedisi muatan laut menurut peraturan pemerintah

yang sama adalah usaha yang ditujukan kepada pengurusan

(15)

yang diangkut melalui lautan untuk diserahkan kepada/diterima dari

perusahaan pelayaran untuk kepentingan pemilik barang.

Dengan memperhatikan pengertian dan tugas Per-Veem-An serta tugas

ekspedisi muatan kapal laut di atas, tampaknya sama dengan tugas dari

ekspeditur, pengatur muatan, Agen Duane. Oleh karena itu, dalam praktik

sekarang ini hanya dikenal istilah EMKL atau Ekspedisi Muatan Kapal

Laut. 21

a. Perusahaan pengangkutan di laut, disebut juga perusahaan pelayaran,

selanjutnya ditambah dengan jenis pelayaran, misalnya perusahaan

pelayaran samudera, perusahaan pelayaran pantai, perusahaan pelayaran

sungai, dan lain-lain. 2. Pengangkut

Menurut Pasal 466 KUHD, pengangkut adalah barangsiapa yang baik

dengan perjanjian carter menurut waktu atau carter menurut perjalanan, maupun

dengan perjanjian jenis lain, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan

pengangkutan barang atau orang (pasal 521 KUHD), yang seluruhnya atau

sebagian melalui lautan. Mengenai definisi dalam Pasal 466 dan 521 KUHD

tersebut, HMN Purwosutjipto memberikan beberapa catatan yaitu :

b. Pengertian “menyelenggarakan” pengangkutan tidak hanya berarti

melakukan sendiri perbuatan pengangkutan itu, tetapi juga dapat

memerintahkan kepada orang lain untuk melakukan perbuatan

pengangkutan itu.

21

(16)

c. Mengenai obyek yang diangkut, dapat berwujud barang-barang atau

orang-orang.

d. Pengangkutan tidak perlu seluruhnya melalui lautan, dapat juga hanya

sebagian, sedangkan bagian lainnya dapat melalui daratan atau udara.

e. Sedangkan kalimat di tengah-tengah pasal 466 dan 521 KUHD yang

berbunyi: “baik dengan perjanjian carter menurut waktu atau carter

menurut perjalanan, maupun dengan perjanjian jenis lain” itu mengenai

cara bagaimana si pengusaha kapal mendapatkan kapalnya. Menurut pasal

426 dan 521 KUHD tersebut, pengusaha kapal dapat menguasai kapal

dengan cara :

i. Menutup perjanjian carter menurut waktu

ii. Menutup perjanjian carter menurut perjalanan

iii. Menutup perjanian pengangkutan dengan kapal jurusan

iv. Menutup perjanjian pengangkutan dengan kapal pengangkut

barang-barang potongan22

Adapun definisi lain mengenai pengangkut terdapat dalam The Hague

Rules 1922 pasal 1 huruf a yang berbunyi: “Carrier, includes the owner or the

charterer who enters into a contract with a shipper” yang berarti Pengangkut

adalah pemilik kapal atau pencarter kapal yang mengadakan perjanjian

pengangkutan dengan pemilik barang.23

22

HMN Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Hukum Pelayaran Laut dan Perairan Darat, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1993, hal. 187.

23

Ibid, hal. 188.

(17)

Kedudukan penerima dalam pengangkutan barang adalah sebagai pihak

yang menerima barang-barang yang tercantum dalam konosemen. Kedudukan ini

timbul karena sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa kewajiban

pengangkut adalah menyerahkan barang yang diangkut kepada penerima.

Dalam hal ini, mengenai penerima ada dua kemungkinan yaitu sebagai

berikut :

a) Penerima adalah juga pengirim barang

b) Penerima adalah orang lain yang ditunjuk

Kewajiban penerima adalah membayar uang angkutan. Kewajiban ini

sesuai dengan ketentuan Pasal 491 KUHD yang menyatakan sebagai berikut :

“Setelah barang angkutan itu ditentukan di tempat tujuan, maka si penerima wajib membayar uang angkutan dan semua yang wajib dibayarnya menurut dokumen-dokumen atas dasar mana barang tersebut diterimakan kepadanya”.

Selain pengirim, pengangkut dan penerima, terdapat pihak-pihak yang

merupakan pihak terkait yang menawarkan jasa dalam usahanya demi kelancaran

pengangkutan barang, pihak ini disebut juga sebagai usaha jasa terkait.

Berdasarkan Undang-Undang No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran

menyatakan bahwa usaha jasa terkait adalah kegiatan usaha yang bersifat

memperlancar proses kegiatan di bidang pelayaran.

Pada Pasal 31 disebutkan bahwa usaha jasa terkait dengan angkutan

perairan dapat berupa :

a. Usaha bongkar muat barang

b. Usaha jasa pengurusan transportasi

(18)

d. Usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait

dengan angkutan laut

e. Usaha tally mandiri

f. Usaha depo peti kemas

g. Usaha pengelolaan kapal (ship management)

h. Usaha perantara jual beli dan/atau sewa kapal (ship broker)

i. Usaha keagenan awak kapal (ship maning agency)

j. Usaha keagenan kapal

k. Usaha perawatan dan perbaikan kapal (ship repairing and maintenance)

C.Peran dan Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Barang Secara Umum

Di dalam pengangkutan barang, pengangkut mempunyai peranan penting

sebagai pihak yang menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari

suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat. Sebagai pihak yang

mengusahakan pengangkutan, pengangkut dibebani tanggung jawab tertentu

terhadap barang-barang muatan yang diserahkan dari pengirim untuk diangkut.

Adapun tanggung jawab pengangkut menurut KUHD diatur dalam :

1. Pasal 468

Ayat (1) :

“Persetujuan pengangkutan untuk menjaga keselamatan barang-barang yang diangkutnya sejak dia terima dari pengirim sampai dia serahkan ke penerima”

(19)

“Si pengangkut diwajibkan mengganti segala kerugian yang disebabkan karena barang tersebut seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkannya, atau karena terjadi kerusakan pada barang itu, kecuali apabila dibuktikannya bahwa tidak diserahkannya barang atau kerusakan tadi disebabkan oleh suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun dihindarkannya atau cacat daripada barang tersebut atau oleh kesalahan dari si yang mengirimkannya”

Ayat (3) :

“Ia bertanggungjawab untuk perbuatan dari segala mereka yang dipekerjakannya dan untuk segala benda yang dipakainya dalam menyelenggarakan pengangkutan tersebut”

Dalam ayat (1) ditetapkan kewajiban pengangkut untuk menjaga

keselamatan barang-barang selama dalam perwalian pengangkut.

Dalam ayat (2) ditetapkan keharusan pengangkut mengganti kerugian atas

kehilangan dan kerusakan barang-barang seluruhnya atau sebagian, kecuali jika

kehilangan dan kerusakan itu disebabkan oleh force majeure (tidak dapat

dihindarkan). Tapi adanya force majeure tersebut harus dibuktikan oleh

pengangkut. Jadi, pengangkut tidak mengganti kerugian jika kehilangan dan

kerusakan barang-barang disebabkan oleh force majeure. Demikian juga

pengangkut tidak mengganti kerugian atas kerusakan barang-barang yang

disebabkan oleh sifat dan cacat barang itu sendiri dan karena kesalahan si

pengirim.

Dalam ayat (3) ditetapkan bahwa pengangkut bertanggungjawab atas

perbuatan orang-orang yang dipekerjakannya karena orang-orang tersebut bekerja

untuk pengangkut dan bukan untuk orang lain. Pengangkut bertanggungjawab atas

kehilangan dan kerusakan barang-barang yang disebabkan oleh perbuatan dari

(20)

memenuhi syarat, misalnya kapal tidak layak laut dan atau ruangan-ruangan

tempat pemadatan barang-barang di dalam kapal tidak memenuhi syarat untuk

barang-barang, kecuali kalau pengangkut dapat membuktikan adanya force

majeure.24

a) Mesin atau baling-baling rusak sehingga terpaksa pelayaran ditunda untuk

memperbaiki kerusakan tersebut. Bagian-bagian kapal yang rusak yang

dapat diperbaiki sambil kapal berlayar tidak termasuk dalam kategori ini. 2. Pasal 477

“Si pengangkut adalah bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan karena terlambat diserahkannya barang yang diangkutnya, kecuali apabila dibuktikannya bahwa kelambatan itu disebabkan karena suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarkannya”

Dalam pasal ini ditetapkan bahwa pengangkut bertanggungjawab atas

kerugian yang dialami oleh pemilik barang jika pengangkut terlambat

menyerahkan barang-barang kepada penerima, kecuali pengangkut dapat

membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh oleh force majeure.

Kejadian-kejadian yang memperlambat penyerahan barang-barang kepada

penerima yang dapat dianggap sebagai force majeure antara lain disebabkan oleh

hal-hal berikut :

b) Kapal melakukan penyimpangan pelayaran dari rute yang seharusnya

dilayari untuk menghindarkan topan.

c) Kapal menolong orang yang dalam bahaya di lautan, misalnya penumpang

kapal yang tenggelam atau orang-orang perahu.

24

(21)

d) Kapal terpaksa memasuki suatu pelabuhan yang bukan pelabuhan yang akan

disinggahi untuk meminta pertolongan dokter atau untuk menurunkan

penumpang atau awak kapal yang perlu segera mendapat pertolongan dokter

untuk menyelamatkan jiwanya.

e) Kapal dihadang oleh kapal bajak laut, tetapi berhasil melepaskan diri

melalui perjuangan dan pelayaran berat. 25

Menurut The Hague Rules 1924, di dalam Pasal 1 (e) ditetapkan bahwa

pengangkutan barang-barang meliputi periode sejak saat barang-barang dimuat ke

dalam kapal sampai saat barang-barang telah dibongkar dari kapal. Periode

tersebut dikenal dengan syarat Actual Carriage atau from end of tackle to end of

tackle. Jadi di luar periode tersebut, yaitu pada waktu barang-barang masih berada

di pelabuhan pemuatan (belum dimuat ke dalam kapal) dan barang-barang yang

telah berada di pelabuhan pembongkaran (telah dibongkar dari kapal),

barang-barang tersebut dilindungi oleh undang-undang atau hukum negara yang

bersangkutan. Sedangkan dalam periode Actual Carriage, barang-barang

dilindungi oleh Surat Muatan (Bill Of Lading) menurut ketentuan-ketentuan yang

tercantum dalam The Hague Rules dengan syarat bahwa pada Surat Muatan (Bill

Of Lading) dicantumkan berlakunya The Hague Rules untuk kontrak

pengangkutan tersebut. Dengan demikian, semua masalah yang timbul

(kehilangan dan kerusakan barang-barang) selama Actual Carriage diselesaikan

menurut ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam The Hague Rules.26

25

Ibid, hal. 145. 26

(22)

Dalam Pasal 3 ayat (2) ditetapkan bahwa pengangkut berkewajiban agar

barang-barang yang diangkutnya dimuat, dirawat, dipadatkan, diangkut, dijaga,

dipelihara, dan dibongkar dengan sewajarnya.

Pengangkut bertanggungjawab atas keselamatan dan keutuhan

barang-barang yaitu :

a) Pada waktu pemuatan sejak barang-barang dikaitkan pada derek (end of

tackle) di pelabuhan pemuatan

b) Dalam pemadatannya di dalam palka-palka kapal

c) Selama pengangkutan mulai dari pelabuhan pemuatan hingga tiba di

pelabuhan pembongkaran

d) Pada waktu pembongkaran sampai barang-barang berada di atas dermaga

atau perahu-perahu dalam posisi masih terkait pada derek (end of tackle) di

pelabuhan pembongkaran. 27

Jika pengangkut lalai atau salah dalam melakukan kewajibannya seperti

yang telah disebutkan di atas, maka pengangkut wajib mengganti kerugian jika

pemilik barang menuntut kerugian atas kerusakan barang-barangnya. Namun,

pengangkut dapat dibebaskan dari keajiban mengganti kerugian apabila terjadi

force majeure.

Di dalam Pasal 4 ayat (1) The Hamburg rules 1978, pengangkut

bertanggungjawab atas barang sejak barang diserahkan dalam penguasaan

pengangkut dan sampai saat penyerahan di pelabuhan tujuan kepada Consignee.28

27

Ibid, hal. 149. 28

(23)

Menurut pasal ini, tanggung jawab pengangkut pada saat penguasaannya

yaitu di pelabuhan pemberangkatan, selama berlangsungnya pengangkutan hingga

sampai di pelabuhan pembongkaran atau sampai barang diserahkan kepada

Consignee (pihak yang mempunyai hak untuk menerima barang). Apabila barang

terlambat diserahkan, maka pengangkut juga bertanggungjawab untuk

memberikan penggantian kerugian atas keterlambatan barang tersebut.

Dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, mengenai

kewajiban pengangkut diatur dalam Pasal 40 yaitu :

1. Perusahaan angkutan di perairan bertanggungjawab terhadap keselamatan

dan keamanan penumpang atau barang yang diangkut.

2. Perusahaan angkutan di perairan bertanggungjawab terhadap muatan kapal

sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan

atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati.

Pada Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang tentang Pelayaran memuat hal-hal

yang dapat menimbulkan tanggung jawab bagi pengangkut yaitu :

a. Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut

b. Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut

c. Keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut

d. Kerugian pihak ketiga

Pada ayat (2) Pasal 41 ini dijelaskan bahwa pengangkut dapat dibebaskan

dari seluruh atau sebagian tanggung jawabnya apabila pengangkut dapat

(24)

D.Prosedur Pengangkutan Barang Melalui Laut dan Darat

Pengangkutan barang dari satu tempat ke tempat tujuan dilakukan dengan

suatu perjanjian. Perjanjian tersebut dilakukan oleh pengirim dan pihak

pengangkut. Perjanjian pengangkutan tersebut diawali dengan serangkaian

perbuatan tentang penawaran dan permintaan yang dilakukan oleh pengirim dan

pengangkut secara timbal balik dengan cara antara lain :

a. Penawaran dari pihak pengangkut

Cara terjadinya perjanjian pengangkutan dapat secara langsung antara

pihak-pihak, atau secara tidak langsung dengan menggunakan jasa perantara

(ekspeditur). Apabila perjanjian pengangkutan dilakukan secara langsung,

maka pihak pengangkut langsung menghubungi pengirim, dimana

pengangkut juga mengumumkan/mengiklankan kedatangan dan

keberangkatan kapalnya, sehingga pengirim barang meyerahkan barangnya

kepada pengangkut untuk diangkut.

b. Penawaran dari pihak pengirim

Apabila penawaran dilakukan oleh ekspeditur, maka ekspeditur

menghubungi pengangkut atas nama pengirim barang. Kemudian pengirim

barang menyerahkan barang pada ekspeditur untuk diangkut. 29

29

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal.97.

Setelah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai segala

kondisi, maka pengangkutan dimulai dengan membuat perjanjian pengangkutan

itu sendiri. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka tentunya akan timbul hak

(25)

Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian pengangkutan adalah hukum

secara timbal balik antara pengangkut (penyedia jasa angkutan) dengan

penumpang dan/atau pengirim barang (pengguna jasa angkutan) dimana

masing-masing pihak mempunyai kewajiban dan hak.30

Pengangkut mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan

pengangkutan barang dan atau orang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu

dengan selamat, sedangkan pengirim mempunyai kewajiban untuk membayar

uang angkutan. Antara pengangkut dan pengirim sama-sama saling mempunyai

hak untuk melakukan penuntutan apabila salah satu pihak tidak memenuhi

prestasi.31

a) Tahap Persiapan

Di dalam menyelenggarakan pengangkutan pada umumnya meliputi lima

tahap kegiatan yaitu :

Pada tahap ini, penumpang atau pengirim mengurus penyelesaian biaya

pengangkutan dan dokumen pengangkutan serta dokumen-dokumen lain

yang diperlukan. Pengangkut menyediakan alat pengangkutan pada hari,

tanggal dan waktu yang telah disepakati berdasarkan dokumen

pengangkutan yang diterbitkan.

b) Tahap Muatan

Pada tahap ini, penumpang yang sudah memiliki tiket dapat naik dan

masuk ke alat pengangkut yang telah disediakan atau pengirim

30

Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008 hal.46.

31

(26)

menyerahkan barang kepada perusahaan bongkar muat untuk dimuat ke

dalam alat pengangkut.

c) Tahap Pengangkutan

Pada tahap ini pengangkut menyelenggarakan pengangkutan, yaitu

kegiatan memindahkan penumpang atau barang dari tempat

pemberangkatan ke tempat tujuan dengan menggunakan alat pengangkut

yaitu sesuai dengan perjanjian pengangkutan.

d) Tahap Penurunan/Pembongkaran

Pada tahap penurunan/pembongkaran ini, para penumpang diturunkan dari

alat pengangkutan pada pengangkutan orang dan pada pengangkutan

barang pengangkut menyerahkan barang kepada penerima dan kemudian

penerima menyerahkan pembongkaran barangnya kepada perusahaan

bongkar muat dan meletakkan barang pada tempat yang telah disepakati

sebelumnya.

e) Tahap Penyelesaian

Pada tahap ini, pihak-pihak yang bersangkutan menyelesaikan persoalan

yang terjadi selama pengangkutan atau sebagai akibat dari pengangkutan

yang telah dilaksanakan. Pengangkut menerima biaya pengangkutan dan

biaya-biaya lainnya dari penerima barang apabila belum dibayar oleh

pengirim sebelumnya. Pengangkut menyelesaikan semua klaim ganti

kerugian yang menjadi tanggung jawabnya sebagai akibat dari

pengangkutan barang kepada penerima barang yang bersangkutan. 32

32

Referensi

Dokumen terkait

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi dengan judul

Sedang informasi lain seperti seringnya permintaan pembeli yang tidak dapat dipenuhi karena persediaan barang yang diminta tidak ada di gudang tidak perlu

Untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan intensi berhenti konsumsi minuman keras pada remaja usia 15-21 tahun berbasis Plan Behavior Model di Desa

Ikan ini memiliki tanduk di bagian atas kepala, tubuh lebar tertutup apendiks penutup kulit, moncong sangat cekung jantan dewasa dengan bulu-bulu pendek pada pangkal

Physic-chemical composition of extracted cassava starch were presented in Table 2. Based on Table 2 showed that cassava starch from all varieties cultivar have similar content

Perancangan yang dilakukan penulis ini adalah membuat aplikasi pembelajaran interaktif bahasa pemrograman visual basic.net berbasis online , yang tujuan utama

Keterampilan berpikir kritis siswa setelah diberikan model pembelajaran inkuiri terbimbing mengalami peningkatan, dikarenakan siswa dilatih untuk menganalisis argumen