• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. Penyesuaian Perkawinan 1. Defenisi Penyesuaian Perkawinan - Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Penyesuaian Perkawinan pada Pasangan Beda Etnis (Batak Toba – Tionghoa)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. Penyesuaian Perkawinan 1. Defenisi Penyesuaian Perkawinan - Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Penyesuaian Perkawinan pada Pasangan Beda Etnis (Batak Toba – Tionghoa)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penyesuaian Perkawinan

1. Defenisi Penyesuaian Perkawinan

Penyesuaian perkawinan didefenisikan sebagai “proses-proses yang dianggap perlu untuk mencapai sebuah hubungan perkawinan yang berfungsi dan harmonis dan dihubungkan dengan perundingan yang dilakukan terus-menerus, komunikasi, dan proses adaptasi” (Muller, R., 2004). Hurlock (1999) menyatakan, bahwa penyesuaian perkawinan sebagai proses adaptasi antara suami istri, dimana suami istri tersebut dapat mencegah terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses penyesuaian diri.

DeGenova (1990) juga mendefenisikan penyesuaian perkawinan sebagai proses dari modifikasi, adaptasi, dan mengubah pola-pola perilaku individual dan pasangan dan interaksi untuk mencapai kepuasan maksimum dalam hubungan. Senada dengan Lasswel & Lasswel (1987) yang menyatakan bahwa penyesuaian perkawinan berarti kedua individu telah belajar untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing yang berarti mencapai suatu derajat kebahagiaan dalam hubungan.

(2)

perkawinan, penyesuaian seksual, perubahan dalam sistem nilai, komunikasi, dan lainnya (Dimpka 2010; Clayton 1978).

Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan adalah proses dimana suami istri melakukan adaptasi, akomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing pasangan untuk mendapatkan kepuasan maksimum dalam hubungan perkawinan.

2. Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri dalam Pernikahan

Hurlock (1999) mengemukakan ada bentuk-bentuk penyesuaian yang paling umum dan paling penting dalam pernikahan yaitu:

1. Penyesuaian dengan pasangan

(3)

dan wawasan sosial mereka sehingga memudahkan dalam penyesuaian dengan pasangan.

2. Penyesuaian seksual

Masalah penyesuaian utama yang kedua dalam pernikahan adalah penyesuaian seksual, masalah ini adalah masalah yang paling sulit dalam pernikahan dan salah satu penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan dalam pernikahan. Permasalahan biasanya dikarenakan pasangan belum mempunyai pengalaman yang cukup dan tidak mampu mengendalikan emosi mereka. Sikap terhadap seks sangat dipengaruhi oleh cara pria dan wanita menerima informasi seks selama masa anak-anak dan remaja.

3. Penyesuaian keuangan

Uang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyesuaian diri individu dalam pernikahan. Istri yang berusia muda atau masih remaja cenderung memiliki sedikit pengalaman dalam hal mengelola keuangan untuk kelangsungan hidup keluarga. Suami juga terkadang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan keuangan, khususnya jika istrinya bekerja di luar rumah dan berhenti setelah memiliki anak pertama sehingga mengurangi pendapatan keluarga.

4. Penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan

(4)

dengan latar belakang yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda, budaya dan latar belakang sosial yang berbeda. Ibu mertua dan kakak ipar lebih cenderung sebagai masalah dalam ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan abang ipar. Inti dalam perselisihan biasanya menyangkut aktifitas dan peran wanita dalam rumah tangga.

3. Kondisi yang Menyebabkan Kesulitan dalam Penyesuaian Perkawinan Hurlock (1999) mengemukakan beberapa faktor yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyesuaian pernikahan yaitu:

1. Persiapan yang terbatas untuk pernikahan

Penyesuaian seksual saat ini terlihat lebih mudah dilakukan dibandingkan masa lalu, dikarenakan banyaknya informasi namun kebanyakan pasangan suami istri hanya menerima sedikit persiapan dibidang keterampilan domestik, mengasuh anak, dan manajemen uang.

2. Perubahan peran dan status sosial menjadi suami atau istri.

Kecenderungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi pria dan wanita serta konsep yang berbeda tentang peran membuat penyesuaian dalam pernikahan semakin sulit saat ini dibandingkan pada masa lalu. 3. Pernikahan dini

Pernikahan dini akan lebih banyak memerlukan proses penyesuaian diri masing-masing pasangan karena pada umumnya di usia ini individu belum terlalu matang dalam hal emosional, ekonomi, dan seksual.

(5)

Orang dewasa yang belajar di perguruan tinggi dengan pengalaman yang sedikit cenderung memiliki konsep yang tidak realistis mengenai makna pernikahan dengan pekerjaan, pembelanjaan uang, atau perubahan pola hidup.

5. Perkawinan campuran,

Perkawinan yang dilakukan antara dua adat istiadat yang berbeda dan dapat mempersulit dalam penyesuaian.

6. Pacaran yang dipersingkat.

Periode masa pacaran yang singkat pada masa sekarang dibandingkan masa lalu, sehingga pasangan memiliki sedikit waktu untuk memecahkan masalah tentang penyesuaian sebelum melangsungkan pernikahan.

7. Romantika perkawinan

Harapan yang berlebihan mengenai tujuan dan hasil pernikahan sering membawa kekecewaan yang menambah kesulitan penyesuaian terhadap tugas dan tanggung jawab pernikahan.

4. Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Perkawinan

Hurlock (1999), mengemukakan kriteria keberhasilan penyesuaian dalam perkawinan yang digunakan untuk menilai tingkat penyesuaian perkawinan, yaitu:

1. Kebahagiaan Suami-Istri

(6)

juga dapat melakukan penyesuaian seksual yang baik serta menerima peran sebagai orangtua.

2. Hubungan yang baik antara orangtua dan anak

Hubungan yang baik antara anak dan orang tuanya mencerminkan keberhasilan penyesuaian perkawinan terhadap masalah dengan anak. Jika hubungan antara anak dan orangtuanya buruk, maka suasana rumah tangga akan diwarnai oleh perselisihan yang menyebabkan penyesuaian perkawinan menjadi sulit

3. Penyesuaian yang baik dari anak-anak

Penyesuaian yang baik dari anak-anak adalah apabila anak dapat menyesuaikan dirinya dengan teman-temannya, dan sangat disenangi oleh teman sebayanya, ia akan berhasil dalam belajar dan merasa bahagia dalam sekolah. Ini merupakan bukti keberhasilan proses penyesuaian kedua orangtuanya terhadap perkawinan dan perannya sebagai orangtua.

4. Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat

(7)

Jika penyesuaian perkawinan dapat berhasil, maka keluarga dapat menikmati waktu yang digunakan untuk berkumpul bersama. Apabila hubungan keluarga telah dibentuk dengan baik pada awal-awal tahun perkawinan, maka keduanya dapat mengikatkan tali persahabatan lebih erat lagi setelah menikah dan membangun rumah atau usahanya sendiri.

6. Penyesuaian yang baik dengan keuangan

Bagaimanapun besarnya pendapatan, keluarga perlu mempelajari cara membelanjakan pendapatannya sehingga mereka dapat menghindari utang yang selalu melilitnya agar disamping itu mereka dapat menikmati kepuasan atau usahanya dengan cara yang sebaik-baiknya.

7. Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan

Suami istri yang mempunyai hubungan yang baik dengan pihak keluarga pasangan, khususnya mertua, ipar laki-laki dan ipar perempuan, kecil kemungkinannya untuk terjadi percecokan dan ketegangan hubungan dengan mereka.

5. Faktor-faktor Pendukung Penyesuaian Perkawinan Antar Etnis

(8)

tujuan hidup, kesadaran akan cross-cultural; menyukai budaya pasangan; memiliki sebuah harapan yang realistis dari perbedaan budaya yang mengharapkan bahwa akan ada konflik-konflik dan kekurapahaman; self esteem

dan self-worth (dalam masing-masing pasangan); rasa humoris; dan dukungan

sosial dari keluarga, teman dan masyarakat. Chan dan Wethington (dalam Muller, 2004) menambahkan faktor dukungan yaitu social network (pasangan yang memiliki jaringan sosial yang luas dimana berpotensi akan menyediakan dukungan).

Tseng (1977) menunjukkan beberapa pola-pola penyesuaian antar budaya:

1. One-way adjustment

Salah satu pasangan mengadopsi pola-pola budaya dari yang lainnya, seperti ketika salah satu pasangan berubah pada keyakinan yang lainnya.

2. Alternative adjustment.

Pasangan tidak dapat menemukan jalan untuk menyatukan kedua budaya mereka. Solusinya adalah mengadopsi pola-pola budaya dari masing-masing pasangan pada waktu yang berbeda.

3. A ‘mid-point compromise”

Pasangan mendiskusikan perspektif mereka dan sampai pada sebuah solusi yang didasarkan pada kompromi. Masing-masing pasangan dapat mengekspresikan ide-ide dan kebutuhan mereka, dan yang lainnya dapat belajar dan memahami lebih lagi akan budaya pasangan.

4. The “mixing” adjustment

(9)

5. A “creative” adjustment

Masing-masing pasangan berdiskusi untuk menyerahkan aspek-aspek tertentu dari budayanya, dan keduanya mengembangkan hal baru, budaya ketiga dari budaya pasangan.

B. Dukungan Sosial

1. Defenisi Dukungan Sosial

DiMatteo (1991) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti teman, keluarga, tetangga, teman sekerja dan orang lain yang berpotensi mendukung individu menghadapi kondisi-kondisi atau kejadian stress. Sarafino (2006) juga menyatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada memberikan kenyamanan pada orang lain, merawatnya, atau menghargainya.

Dukungan sosial juga didefenisikan sebagai “transaksi interpersonal’’ yang menghasilkan perhatian emosi, bantuan instrumental, informasi, atau

informasi yang relevan terhadap evaluasi diri (House, 1981). Cutrona, 1990; Reis,

(10)

Tokoh lain Thoits (dalam Lyons, 1997) menyatakan dukungan sosial sebagai derajat kebutuhan sosial dasar seseorang (penghargaan, kasih sayang, indentitas, perlindungan, dll) yang dipuaskan melalui interaksi dengan orang lain. Menurut (Sarason & Pierce, 1990; Toepfer, 2010), dukungan sosial sebagai penilaian kognitif umum seorang individu akan dukungan melalui anggota-anggota penting dari jaringan sosial seperti keluarga, teman-teman, dan yang penting lainnya. Tidak jauh berbeda, dukungan sosial didasarkan pada “informasi yang mengarahkan subjek untuk percaya bahwa dia dicintai, dipedulikan, dihargai

dan termasuk dalam jaringan komunikasi bersama (Cobb dalam Cohen, Underwood, & Gottlieb 2000).

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah

derajat bantuan, perhatian, kenyamanan, penghargaan, informasi yang diperoleh

dan dirasakan seseorang melalui transaksi interpersonal dengan orang lain. Dari

defenisi di atas juga dapat disimpulkan bahwa sumber dukungan sosial didapatkan

dari interaksinya dengan orang lain seperti pasangan hidup, orangtua,

teman-teman, tetangga, rekan kerja dan lainnya.

2. Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial

Cutrona & Russell (1990) membedakan lima bentuk dari dukungan sosial antara lain:

1. Emotional support

Emotional support mencakup kemampuan untuk memperoleh kenyaman dan

(11)

lain merasakan bahwa dia diperhatikan oleh orang lain. Menurut Tolsdorf & Wills (dalam Orford, 1992), tipe dukungan ini lebih mengacu kepada pemberian semangat, kehangatan, cinta, kasih, dan emosi. Sarafino (2006) menambahkan bahwa dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian orang yang bersangkutan.

2. Network support

Network support merupakan perasaan seseorang menjadi bagian dari sebuah kelompok

yang mana anggota-anggota memiliki ketertarikan dan fokus yang sama. Menurut (Cohen & Wills, 1985; Orford, 1992), dukungan ini dapat berupa menghabiskan waktu bersama-sama dalam aktivitas, rekreasional di waktu senggang. Barren & Ainlay (dalam Orford, 1992) menambahkan bahwa dukungan ini dapat meliputi membuat lelucon, membicarakan minat, melakukan kegiatan yang mendatangkan kesenangan.

3. Esteem support

Esteem support mencakup dukungan atau sokongan akan rasa kemampuan

seseorang atau harga diri, pujian dan penghargaan dari orang lain. Menurut (Cohen & Wills, 1985; Orford, 1992), dukungan ini dapat berupa pemberian informasi kepada seseorang bahwa dia dihargai dan diterima, sehingga harga diri seseorang dapat ditingkatkan.

4. Tangible Support

Tangible support merupakan bantuan instrumental yang nyata, dapat

(12)

support sebagai bentuk-bentuk yang lebih nyata seperti meminjamkan uang, berbelanja, dan merawat anak, dll.

5. Informational support

Informational support mencakup nasehat, saran-saran, petunjuk-petunjuk atau panduan

yang memungkinkan menyelesaikan sebuah masalah. Dimatteo (1991), menyatakan informational support merupakan dukungan sosial dengan menasehatkan tindakan-tindakan alternatif yang dapat membantu menyelesaikan masalah yang dapat menghasilkan stress.

Bentuk dukungan sosial yang digunakan adalah menurut Cutrona & Russell (1990) yaitu, emotional support, network support, esteem support, tangibel support, dan informational support. Meskipun fungsi-fungsi dukungan

dapat dibedakan secara konseptual, tetapi dalam naturalnya mereka tidak selalu terpisah. Seseorang adalah mungkin memiliki pertemanan sosial yang lebih menerima bantuan instrumental dan dukungan esteem (Cohen & Wills, 1985).

Dalam Sarafino (2006) disebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari dukungan sosial antara lain:

1. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan

2. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu 3. Sumber dukungan memberikan contoh yang buruk pada individu seperti

(13)

4. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya.

3. Dukungan Sosial Keluarga

Menurut Gunarsa (1993), keluarga adalah kelompok sosial yang bersifat abadi, dikukuhkan dalam hubungan nikah yang memberikan pengaruh terhadap keturunan dan lingkungan.

Weiss, 1974; Lerner, Easterbrooks & Mistry, 2003 dalam teorinya tentang persediaan dukungan dari family dan nonfamily, bahwa ada perbedaan peran dari keluarga dan teman-teman. Teman-teman menyediakan persahabatan dan intervensi krisis dalam jangka pendek, sedangkan anggota keluarga diharapkan menyediakan sumber-sumber yang lebih signifikan pada area-area seperti masalah keuangan, kesehatan, tugas sehari-hari, diskusi masalah-masalah keluarga ketika diperlukan, dan dukungan jangka lama. Anggota keluarga seperti orangtua dan pasangan adalah sumber dukungan yang penting dalam beberapa konteks seperti masa sekolah, dewasa muda, dan wanita yang mengalami kanker payudara. Orang dewasa yang tidak memiliki keluarga atau hubungan yang lemah dengan keluarga memiliki level well-being yang lebih rendah daripada yang lainnya (Thompson & heller dalam Lerner, Easterbrooks & Mistry., 2003).

(14)

saat seseorang berhasil atau gagal dalam menghadapi masalahnya. Keluarga adalah pendukung utama bagi individu yang mengalami masalah.

Berdasarkan beberapa literatur diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga adalah bantuan yang diperoleh dan dirasakan seseorang dari keluarganya.

C. Perkawinan antar Etnis

1. Defenisi Perkawinan antar Etnis

Perkawinan yang mana pasangan dengan latar belakang yang berbeda dari ras, agama, retnis, dan atau budaya disebut dengan intermarriage, sedangkan perkawinan dimana pasangan berasal dari latarb elakang etnis yang berbeda disebut dengan interethnic (Muller, 2004).

Budaya menjadi suatu aspek yang penting dalam perkawinan, dimana pasangan tersebut tentu memiliki nilai-nilai budaya yang dianut, menurut keyakinan dan kebiasaan, serta adat istiadat dan gaya hidup budaya.

2. Tahap-Tahap Perkawinan

(15)

a. Tahap I : Pasangan Awal (Married Couple)

Berdasarkan family life cycle dari Duvall (Lefrancois, 1993), tahap ini berlangsung selama kurang lebih 2 tahun dimulai dari ketika pasangan menikah & berakhir ketika anak pertama lahir.

b. Tahap II: Membesarkan Anak (Childrearing)

Tahap ini dimulai dari kelahiran anak pertama sampai anak berusia 20 tahun. Umumnya, tahap ini berlangsung selama kurang lebih 20 tahun (Duvall, dalam Lefrancois, 1993). Rata-rata masa awal menjadi orangtua merupakan transisi hidup yang penuh tekanan yang melibatkan perubahan yang postitif dan negatif (Cowan & Cowan; Monk et al, dalam Sigelman & Rider, 2003). Selain itu, kepuasan pernikahan juga menurun pada tahun-tahun pertama setelah bayi lahir dan biasanya penurunan ini lebih tajam pada wanita dibandingkan pria dikarenakan tanggung jawab yang lebih besar terhadap pengasuhan anak (Levy & Shiff, dalam Sigelman & Rider, 2003).

(16)

c. Tahap III: Kekosongan (Emptynest)

Cepat atau lambat, anak-anak biasanya akan bebas secara emosional dan finansial dari orangtua mereka. Tahap emptynest dimulai dengan “launching” anak terakhir dan berlangsung selama lebih kurang 15 tahun (Duvall, dalam Lefrancois, 1993).

Pada umumnya, suami dan istri menyatakan bahwa pernikahan mereka berlangsung baik hampir setiap waktu. Pada tahap emptynest, kebahagiaan dan kepuasan kembali meningkat sampai pada tahun-tahun pensiun (Rollin & Feldman, dalam Lefrancois, 1993) dan usia tua (Foner & Schwab, dalam Lefrancois, 1993).

D. Etnis Batak Toba

Etnis Batak Toba merupakan salah satu dari enam sub etnis Batak yang mendiami pulau Sumatera Utara. Orang Batak Toba ialah mereka yang karena status kelahirannya mengikuti status ayah yang berasal dari wilayah kabupaten Tapanuli Utara (Lubis, 1999). Secara geografis, daerah asli yang didiami oleh etnis Batak Toba (Kabupaten Tapanuli) meliputi pulau Samosir dan daerah sekitar Danau Toba, adalah pusat Tanah Batak dengan mayoritas penduduknya beragama Kristen (Harahap dan Siahaan, 1987).

(17)

Sebagai pedoman hidup, maka hagabeon, hamoraon, hasangapon adalah sebuah nilai atau value bagi etnik Batak Toba (Irmawati, 2002).

Bagi masyarakat Batak Toba, perkawinan itu adalah di mana seorang laki-laki mengikatkan diri dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga dengan melalui prosedur yang ditentukan dalam ketentuan-ketentuan hukum adat Batak. Seorang laki-laki pada masyarakat Batak Toba adalah menjadi penerus marga (Saragih, 1980). Sedangkan mengenai nilai tentang perkawinan, dimana perkawinan pada etnis Batak Toba terletak pada individu yang bersangkutan.

Nilai - Nilai Budaya Masyarakat Batak Toba:

Harahap dan Siahaan (1987) mengelompokkannya menjadi tujuh nilai yang dapat dianggap sebagai nilai utama, yaitu :

1. Kekerabatan.

Nilai kekerabatan berada di tempat yang paling utama. Nilai inti kekerabatan masyarakat Batak terwujud dalam pelaksanaan adat ’Dalihan Na Tolu’ (Hula-hula, Dongan Tubu, Boru).

2. Agama.

Ada wilayah Batak yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam, seperti Angkola-Mandailing, ada wilayah Batak yang mayoritas penduduknya menganut agama Kristen seperti Batak Toba, dan ada wilayah yang penganutnya berimbang, seperti wilayah Batak Simalungun.

(18)

Nilai budaya hagabeon bermakna harapan panjang umur, punya anak, bercucu, dan baik-baik. Kebahagiaan bagi orang Batak belum lengkap jika belum mempunyai anak, terlebih lagi anak laki-laki.

4. Hamoraon.

Adapun nilai kehormatan menurut adat Batak terletak pada keseimbangan aspek spiritual dan materil yang ada pada diri seseorang.

5. Uhum dan Ugari.

Nilai suatu keadilan itu ditentukan dari ketaatan pada ugari (habit) serta dengan padan (janji). Setiap orang Batak yang menghormati uhum, ugari, dan janjinya dipandang sebagai orang Batak yang sempurna.

6. Pengayoman.

Prinsipnya semua orang menjadi pengayom dan mendapat pengayoman dari sesamanya adalah pendirian yang kokoh dalam pandangan adat Batak.

7. Marsisarian.

Artinya saling mengerti, menghargai, dan membantu. Prinsip ini merupakan antisipasi dalam mengatasi konflik atau pertikaian.

E. Etnis Tionghoa

(19)

kewarganegaraan mereka dan bahasa yang mereka gunakan. Etnis Tionghoa adalah individu yang memandang dirinya sebagai “tionghoa” atau dianggap demikian oleh lingkungannya. Pada saat bersamaan mereka berhubungan dengan etnis Tionghoa perantauan lain atau negara tiongkok secara sosial, tanpa memandang kebangsaan, bahasa, kaitan erat dengan budaya tiongkok.

Etnis Tionghoa, suatu kelompok dengan elemen-elemen budaya yang dikenal sebagai atribut dari Tionghoa, secara sosial anggota-anggota dari kelompok mengidentifikasi dan diidentifikasikan orang lain sebagai suatu kelompok yang berbeda dari yang lainnya (Tan, 1987).

Di kota Medan keberadaan etnis Tionghoa dimulai pada abad ke-15, ketika armada perdagangan Cina datang mengunjungi pelabuhan Sumatera Timur untuk melakukan hubungan dagang. Hubungan ini cukup berlangsung lama, sehingga sebagian pedagang tersebut ada yang menetap di Sumatera Timur (Lubis, 1999). Jumlah warga masyarakat Cina lebih sedikit dari penduduk asli, dan kehadiran mereka musah ditandai dengan melihat pemukiman yang terletak di pusat perkotaan atau pusat perdagangan dengan menggunakan dialek Cina dalam percakapan sehari-hari. Kedatangan mereka dari berbagi sub etnik menyebabkan mereka berkumpul diantara mereka sendiri, membuat perkampungan dan memakai bahasa sendiri. Inilah awal esklusifime orang Tionghoa (Lubis, 1999).

(20)

Di Medan sendiri, etnis Cina termasuk kelompok masyarakat yang berhasil yang dapat menguasai industri, pertokoan, dan perbankan. (Lubis, 1999).

Kebudayaan dan kehidupan suatu masyarakat banyak dipengaruhi oleh sistem kepercayaannya. Kepercayaan yang dianut etnis Tionghoa adalah Budha, Taoisme, dan Konfusionisme dimana ajaran Konfisionisme lebih dominan dianut oalh Tionghoa dimanamengajarkan tentang moralitas yang harus dimiliki oleh setiap orang. Kunci ini dipakai Konfusius untuk mengatur hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat (Lubis, 1999).

Nilai-nilai Sosial Budaya Tionghoa: 1. Hakekat Hidup

Tingkat tertinggi yang dapat dicapai manusia adalah memperoleh kedudukan sebagai orang yang “arif bijaksana”, suatu tingkat yang pribadinya sudah “sama” dengan alam semesta.

2. Hakekat kerja

Etos kerja banyak dipengaruhi oleh ajaran konfusius yang disebut hubungan segitiga, hubunan antara konfusianisme, keluarga dan kerja. Penanaman moral pertama kali harus terjadi dalam keluarga, dan membaur hubungan yang serasi dengan masyarakat. Etos kerja terletak pada keinginan untuk bakti kepada keluarga dan memperoleh pahala kelak.

(21)

Dalam ajaran Tao manusia harus hidup menurut hukum alam yaitu memilih kesederhanaan seperti air yang selalu memilih tempat rendah dan terlemah tapi dapat menembus batu-batuan.

4. Persepsi mengenai Waktu

Kebudayaan Tionghoa cenderung memiliki orientasi kepada masa mendatang, tetapi jangka waktu akan pendek yang bersifat praktis. Orang Tionghoa berani mengubah sesuatu demi kelangsungan hidup di masa yang datang.

5. Hubungan antara Manusia dan Sesamanya

Seluruh umat manusia merupakan satu keluarga dan keluarga adalah dasar bagi terbentuknya masyarakat. Manusia harus bermurah hati yang terwujud dalam sikap suka menolong.

F. Dukungan Sosial Keluarga terhadap Penyesuaian Perkawinan pada Pasangan Beda Etnis (Batak Toba - Tionghoa)

(22)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Toepfer (2010) menunjukkan bahwa ketika dukungan sosial dari keluarga tersedia maka kebutuhan pasangan akan dukungan informasi, feedback dan dukungan lainnya akan terpenuhi dan dapat mengatur konflik dengan cara yang lebih tepat.

Hasil penelitian lain dari Rostamil (2013), menunjukkan bahwa harapan dari peran budaya, stress dalam keluarga (konflik diantara pasangan, tugas rumah tangga, dan tanggung jawab pengasuhan) dan stress kerja berperan sebagai stressor dalam hubungan perkawinan. Dilihat bahwa, dukungan sosial dari orang-orang terdekat adalah faktor yang dapat membantu pasangan untuk menangani efek negative stress tersebut dalam perkawinan mereka.

Demikian halnya perbedaan nilai sosial yang dimiliki oleh etnis Batak Toba dan Tionghoa diantaranya adalah prinsip hormat dimana rasa hormat pada etnis Batak Toba berdasarkan pada kedudukan dan posisinya didalam susunan hierarkis keluarga atau masyarakat. Sedangkan etnis Tionghoa berdasarkan pada usia dan hubungan keluarga. Demikian pula mengenai nilai tentang perkawinan dimana perkawinan pada etnis Batak Toba terletak pada individu yang bersangkutan, sedangkan pada etnis Tionghoa nilai perkawinan menyangkut keluarga besar. Dalam hal bekerja, etos kerja pada masyarakt Batak Toba bertujuan untuk memperoleh kekayaan, kehormatan dan kebahagiaan sedangkan etos kerja terletak pada keinginan untuk bakti kepada keluarga dan memperoleh pahala kelak (Lubis, 1999).

(23)

menunjukkan konflik-konflik dalam pernikahan berbeda budaya seperti ekspresi akan cinta dan keintiman, sikap dan komitmen, pola pengasuhan. Area-area konflik lainnya bagi pasangan yang menikah beda budaya termasuk tatacara makan, persahabatan dan jaringan sosial, keuangan, perbedaan keyakinan, penyesuaian seksual, dan lainnya (Ho 1990; Muller, 2004). Markoff (1977) menyatakan konflik lainnya seperti meliputi komunikasi verbal dan non verbal, perbedaan dalam nilai-nilai, perbedaan dalam pengambilan keputusan didasarkan pada kebutuhan dan tuntutan individual pasangan atau didasarkan pada tradisi atau persetujuan sosial keluarga dan prasangka, stereotipe dapat memainkan konflik dalam perkawinan dan level dari keterlibatan dari keluarga mengenai konflik-konflik pasangan atau hubungan dengan keluarga besar.

Banyaknya perbedaan dan permasalahan yang dihadapi oleh pasangan beda etnis (Batak Toba - Tionghoa) di dalam tahap perkawinannya, kemampuan mereka untuk mengatasi tantangan tersebut mungkin dapat mempengaruhi keberhasilan hubungan mereka. Salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian pernikahan beda etnik ini adalah dukungan dari keluarga seperti yang disampaikan oleh Soncini (dalam Muller, 2004). Tanpa dukungan dari keluarga, teman dan masyarakat, hubungan perkawinan beda etnis akan mengalami hambatan dan lebih rentan terhadap masalah.

(24)

G.Hipotesis

Referensi

Dokumen terkait

tetapi tidak memenuhi persyaratan khusus dapat mendaftar pada PPDB tahap kedua SMA sesuai ketentuan. 4) Calon peserta didik baru SMA yang tidak diterima pada PPDB tahap pertama

Kesimpulan: Di Jagalan, Margodadi, Seyegan, Sleman, Yogyakarta (1) 50% remaja laki-laki adalah memiliki perilaku minum minuman keras yang tinggi, (2) 58,8% remaja

Perkembangan Tamadun Islam Di Andalus (711-1492M): Satu Sorotan Sejarah Menurut Sumber-Sumber Berbahasa Indonesia oleh Saifullah Mohd. Prosiding Simposium Tamadun Islam

Beberapa orang tua sangat percaya ajaran kejawen karena mereka menganggap hal tersebut merupakan suatu hal yang sakral yang diturunkan dari nenek moyang mereka, yang terkadang

Penelitian dibagi dalam tiga tahap yaitu persiapan bahan baku yaitu ampo dan bahan pendukung yaitu agen pemilar, pilarisai dimulai dari interkalasi, pencucian, pemanasan

[r]

Pada kemampuan tersebut, belum ada mahasiswa yang mampu mencapai tingkat maksimal pada skala linkert, (4) Kemampuan dalam mengimplementasikan pendekatan dan

Lebih daripada itu, dalam Renstra ini telah termuat visi, misi, sasaran, kebijakan, program dan kegiatan dalam bidang perpustakaan dan kearsipan yang nantinya akan