• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. PERILAKU PROSOSIAL 1. Definisi Perilaku Prososial - Hubungan Tipe Kepribadian Extroversion dan Agreeableness dengan Kecenderungan Perilaku Prososial Suku Batak Toba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. PERILAKU PROSOSIAL 1. Definisi Perilaku Prososial - Hubungan Tipe Kepribadian Extroversion dan Agreeableness dengan Kecenderungan Perilaku Prososial Suku Batak Toba"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI A. PERILAKU PROSOSIAL

1. Definisi Perilaku Prososial

Perilaku prososial merupakan tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk

membantu dan menguntungkan individu atau kelompok individu lain (Mussen,

1989). Paul Henry Mussen (1989) menyatakan bahwa perilaku prososial

dilakukan secara sukarela dan bukan karena paksaan. Meskipun perilaku prososial

ditujukan untuk memberikan konsekuensi positif (bantuan) bagi orang lain,

perilaku prososial dapat dilakukan untuk berbagai alasan.

Baron, dkk (2006) mendefinisikan perilaku prososial sebagai suatu

tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan

suatu manfaat langsung kepada orang yang melakukan tindakan menolong

tersebut, dan bahkan mungkin memberikan risiko bagi orang yang menolong.

Menurut Shaffer (2005) perilaku prososial adalah segala tindakan yang

menguntungkan orang lain, seperti berbagi dengan orang-orang yang kurang

beruntung dari pada kita, menghibur atau menolong orang yang sedih,

bekerjasama dengan atau menolong seseorang untuk mencapai suatu tujuan, atau

contoh sederhana seperti menyapa dan memberikan pujian.

Menurut Batson (1998 dalam Taylor, 2009) perilaku prososial merupakan

kategori yang sangat luas, yang mencakup setiap tindakan yang membantu atau

(2)

Dividio et al. (2006 dalam Franzoi, 2009) mengungkapkan bahwa perilaku

prososial adalah perilaku yang dengan sukarela bertujuan untuk menolong orang

lain. Perilaku prososial juga dikatakan lebih mendasar, yang artinya tindakan

tersebut bermaksud untuk memperbaiki situasi si penerima pertolongan, tindakan

tersebut tidak dimotivasi oleh penyempurnaan tanggung jawab profesional, dan

penerima adalah orang dan bukan organisasi (Bierhoff, 2002).

Kenrick (2010) mengungkapkan bahwa perilaku prososial merupakan

suatu tindakan yang menguntungkan orang lain yang mana hal ini juga berlaku

ketika si penolong memiliki tujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Kenrick

mengemukakan beberapa tujuan dari tindakan prososial, yaitu meningkatkan

kesejahteraan tiap individu, menaikkan status sosial, mengatur self-image, serta

mengatur mood dan emosi.

Berdasarkan pengertian perilaku prososial yang dibuat oleh berbagai tokoh

diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial merupakan tindakan menolong

atau memberikan bantuan yang ditujukan untuk menguntungkan orang lain (tanpa

mengharapkan imbalan) atau menguntungkan diri sendiri, tanpa ada unsur

paksaan.

2. Faktor-faktor Penentu Perilaku Prososial

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, antara lain (Baron, 2006):

a. Faktor internal, terdiri dari guilt dan mood

b. Faktor eksternal, terdiri dari social norms, number of bystanders, time

(3)

c. Faktor karakteristik penolong (helpers’ dispositions), terdiri dari

personality trait, gender, dan religious faith.

Para peneliti kepribadian mengemukakan 3 hal penting (Baron, 2006), yakni:

a) Adanya individual differences dalam perilaku menolong, dan

menunjukkan bahwa perilaku menolong tersebut bertahan lama atau

menetap dan dapat diamati oleh orang lain. Orang-orang yang dapat

dipercaya cenderung lebih suka menolong.

b) Para peneliti mengumpulkan bukti-bukti sebagai network of traits

(kumpulan trait yang berhubungan) yang menunjukkan kecenderungan

seseorang untuk memberikan pertolongan. Trait yang tinggi dalam hal

emosi positif, empati, dan self-efficacy adalah yang paling mendapatkan

perhatian dan dapat dikategorikan suka menolong.

c) Kepribadian mempengaruhi bagaimana orang-orang merespon pada

situasi-situasi tertentu. Self-monitoring yang tinggi disesuaikan dengan

harapan orang lain disebut sebagai „suka menolong‟ jika mereka berpikir

bahwa pertolongan yang mereka berikan tersebut akan mendapatkan

reward secara sosial.

Staub (1978) mengkategorikan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya

perilaku prososial ke dalam:

a. The Situation

Pengaruh sosial merupakan elemen yang sangat penting dari sebuah

situasi. Orang-orang saling memberi pengaruh yang kuat satu sama lain. Salah

(4)

Stimulus tersebut dapat berbeda pada beberapa dimensi. Unsur lainnya dari faktor

ini adalah sifat dari kondisi di sekitar stimulus.

b. Temporary States of Potential Helpers

Faktor lain yang mempengaruhi perilaku prososial adalah bagaimana

perasaan orang-orang yang berada dalam posisi untuk membantu melihat orang

lain yang membutuhkan bantuan. Apakah mereka merasa baik atau buruk,

kompeten atau tidak kompeten. Apakah sesaat harga diri mereka tinggi atau

rendah. Apakah perhatian dan kepedulian mereka sangat terfokus pada diri

mereka sendiri, atau mereka “bebas” untuk mengurus orang lain.

c. Relationship to Potential Recipients of Help

Hubungan seseorang dengan orang lain mungkin sangat penting dalam

menentukan apakah seseorang tersebut akan membantunya. Mempertimbangkan

apakah ada hubungan timbal balik atau hubungan yang saling menguntungkan

pada masing-masing pihak atau tidak.

d. Personality Characteristics

Segala jenis karakteristik kepribadian adalah penting dalam menentukan

perilaku prososial, terutama yang dihubungkan dengan faktor situasi. Selain dari

faktor situasi, orang-orang cukup sering mencari kesempatan untuk terlibat dalam

tindakan prososial ini. Faktor penentu perilaku ini juga penting untuk

dipertimbangkan.

e. Psychological Processes

Pemahaman kita mengenai penentuan perilaku sosial secara positif,

(5)

menerapkan praktik sosialisasi yang akan mendorong keinginan orang lain untuk

berperilaku prososial, apabila kita tahu mengapa pada kondisi tertentu seseorang

akan atau tidak akan (kurang) berperilaku prososial.

Menurut Sears (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, antara

lain:

a. Faktor situasi, terdiri dari:

1) Kehadiran orang lain

Kehadiran orang lain terkadang dapat menghambat usaha untuk menolong,

karena orang yang begitu banyak menyebabkan terjadinya penyebaran tanggung

jawab.

2) Kondisi lingkungan

Kondisi lingkungan disebut juga sebagai keadaan fisik, mempengaruhi

kesediaan untuk membantu. Keadaan fisik ini meliputi cuaca, ukuran wilayah, dan

tingkat kebisingan.

3) Tekanan waktu

Dalam penelitian Darley dan Batson (dalam Sears, 1994) membuktikan

bahwa kadang-kadang seseorang berada dalam keadaan tergesa untuk menolong.

Keadaan ini menekan individu untuk tidak melakukan tindakan menolong, karena

memperhitungkan keuntungan dan kerugian.

b. Faktor karakteristik penolong, terdiri dari:

1) Kepribadian

Kepribadian setiap individu berbeda-beda, salah satunya adalah

(6)

lingkungannya. Kebutuhan ini akan memberikan corak yang berbeda dan

memotivasi individu untuk memberikan pertolongan.

2) Suasana hati

Suasana hati yang buruk menyebabkan kita memusatkan perhatian pada

diri kita sendiri yang menyebabkan mengurangi kemungkinan untuk membantu

orang lain. Pada situasi seperti ini, apabila kita beranggapan bahwa dengan

melakukan tindakan menolong dapat mengurangi suasana hati yang buruk dan

membuat kita merasa lebih baik mungkin kita akan cenderung melakukan

tindakan menolong.

3) Rasa bersalah

Rasa bersalah merupakan perasaan gelisah yang timbul bila kita

melakukan sesuatu yang kita anggap salah. Keinginan untuk mengurangi rasa

bersalah dapat menyebabkan kita menolong orang yang kita rugikan atau berusaha

menghilangkannya dengan melakukan tindakan yang lebih baik.

4) Distress diri dan rasa empati

Distress diri adealah reaksi pribadi terhadap penderitaan orang lain,

perasaan cemas, prihatin, tidak berdaya, atau perasaan apapun yang dialami.

Empatik adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya

untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan

orang lain.

c. Faktor orang yang membutuhkan pertolongan, terdiri dari:

(7)

Individu yang mempunyai perasaan suka terhadap orang lain dipengaruhi

oleh beberapa faktor seperti daya tarik fisik atau adanya kesamaan antar individu.

2) Menolong orang yang pantas ditolong

Individu lebih cenderung melakukan tindakan menolong apabila individu

tersebut yakin bahwa penyebab timbulnya masalah berada di luar kendali orang

tersebut.

3. Aspek-aspek Perilaku Prososial

Aspek-aspek perilaku prososial menurut Mussen (1989), meliputi:

a. Sharing (berbagi), yaitu kesediaan berbagi perasaan dengan orang lain

baik dalam suasana suka maupun duka. Berbagi dilakukan apabila

penerima menunjukkan kesukaan sebelum ada tindakan melalui

dukungan verbal dan fisik.

b. Cooperating (bekerjasama), yaitu kesediaan untuk bekerjasama dengan

orang lain demi tercapainya suatu tujuan. Kerja sama biasanya

mencakup hal-hal yang saling menguntungkan, saling memberi, saling

menolong, dan menenangkan.

c. Helping (menolong), yaitu kesediaan untuk menolong orang lain yang

sedang dalam kesusahan. Menolong meliputi membantu orang lain,

memberi informasi, menawarkan bantuan kepada orang lain, atau

melakukan sesuatu yang menunjang berlangsungnya kegiatan orang

(8)

d. Donating (memberi atau menyumbang), yaitu kesediaan berderma,

memberi secara suka rela sebagian barang miliknya untuk yang

membutuhkan.

e. Honesty (kejujuran), yaitu kesediaan untuk tidak berbuat curang

terhadap orang lain.

B. KEPRIBADIAN BERDASARKAN TEORI BIG FIVE 1. Definisi Kepribadian Berdasarkan Teori Big Five

Pervin (2010) menyebutkan bahwa kepribadian adalah karakteristik

seseorang yang menyebabkan munculnya konsistensi perasaan, pemikiran, dan

perilaku. Menurt Allport, trait adalah karakteristik yang kontinum berbeda–beda

pada setiap orang untuk memandu perilaku setiap orang. Menurut Catteel, reaksi

kecenderungan yang berasal dari analisis faktor merupakan bagian dari

kepribadian permanen. Dan menurut Eysenk trait merupakan habitual response

yang bersifat konsisten dan saling berhubungan satu sama lain. Eysenck dan

Cattel sama-sama mengakui bahwa trait adalah unit dasar kepribadian, yang

merupakan kecenderungan umum untuk merespon dengan cara tertentu (dalam

Pervin dkk, 2010).

Teori kepribadian Big Five merupakan kesimpulan dari definisi para tokoh

tersebut. McCrae dan Costa (dalam Pervin, 2010) membagi ke dalam 5 besar

faktor atau dimensi kepribadian, yaitu Openness, Conscientiousness,

(9)

2. Dimensi Kepribadian Berdasarkan Teori Big Five

Berdasarkan teori Big Five terdapat 5 tipe dalam kepribadian. McCrae dan

Kosta (dalam Pervin, 2005) menggambarkan kelima tipe tersebut sebagai berikut:

1) Neuroticism (N).

Tipe ini mengidentifikasi individu yang rentan terhadap distress psikologis

yaitu yang mudah mengalami rasa sedih, takut dan cemas yang berlebihan,

memiliki dorongan yang berlebihan dan memiliki coping respon yang maladaptif

atau tidak sesuai. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Neuroticism VS

Emotional Stability. Neuroticism dikarakteristikkan dengan kekhawatiran, cemas,

emosional, merasa tidak nyaman, kurang penyesuaian, kesedihan yang tak

beralasan. Sedangkan, Emotional Stability dikarakteristikkan dengan sifat yang

tenang, santai, tidak emosional, tabah, nyaman, puas terhadap diri sendiri.

2) Extroversion (E).

Tipe ini melihat kuantitas dan intensitas interaksi interpersonal yang

dimiliki individu yaitu tingkat aktivitas, kebutuhan akan stimulasi dan

kemampuan bersenang–senang individu. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah

Introversion VS Extroversion. Introversion dikarakteristikkan dengan tidak ramah,

tenang, tidak periang, menyendiri, task-oriented, pemalu, dan pendiam.

Sedangkan, extroversion dikarakteristikkan dengan mudah bergaul, aktif, banyak

bicara, person-oriented, optimis, menyenangkan, penuh kasih sayang, dan

(10)

3) Openness (O).

Tipe ini melihat keterbukaan individu untuk mencari, menghargai dan

mengeksplorasi pengalaman baru. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah

Closedness VS Openness. Closedness dikarakteristikkan dengan mengikuti apa

yang sudah ada, down to earth, tertarik hanya pada satu hal, tidak memiliki jiwa

seni, dan kurang analitis. Sedangkan, openness dikarakteristikkan dengan rasa

ingin tahu yang tinggi, ketertarikan luas, kreatif, original, imajinatif, tidak

„ketinggalan jaman‟.

4) Agreeableness (A).

Tipe ini melihat kualitas orientasi personal individu, perasaan dan

perbuatan yang penuh kasih sayang hingga yang antagonis. Dimensi bipolar dari

faktor ini adalah Antagonism VS Agreeableness. Antagonism dikarakteristikkan

dengan sinis, kasar, rasa curiga, tidak mau bekerjasama, pendendam, kejam,

mudah marah, dan manipulatif. Sedangkan, agreeableness dikarakteristikkan

dengan berhati lembut, baik, suka menolong, mudah percaya, mudah memaafkan,

mudah untuk dimanfaatkan dan berterus terang.

5) Conscientiousness (C).

Tipe ini melihat motivasi, pendirian serta kemampuan mengorganisasikan

sesuatu dalam mencapai suatu tujuan. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Lack

of Direction VS Conscientiousness. Lack of Direction dikarakteristikkan dengan

tidak bertujuan tidak dapat dipercaya, malas, kurang perhatian, lalai, sembrono,

(11)

Conscientiousness dikarakteristikkan dengan teratur, dapat dipercaya, pekerja

keras, disiplin, tepat waktu, teliti, rapi, ambisius, dan tekun.

Berdasarkan kelima tipe kepribadian tersebut, terdapat beberapa tipe yang

berkaitan dengan perilaku prososial ditinjau dari aspek-aspek perilakunya, yaitu

tipe extroversion dan agreeableness. Extroversion, di mana individu lebih

menyukai dan dominan melakukan segala kegiatan bersama-sama dengan

individu lain (Pervin, 2005), memiliki kesamaan / keterkaitan dengan aspek

cooperating dalam perilaku prososial. Sifat ini dimaknai dengan adanya keinginan

untuk bekerjasama dengan orang lain (Mussen, 1989). Pada tipe agreeableness,

individu cenderung melakukan tindakan yang penuh kasih sayang yang dicirikan

dengan perilaku yang suka menolong, mempercayai orang lain sehingga

cenderung mudah untuk dimanfaatkan sesamanya, mudah memaafkan, dan jujur

ketika menyampaikan suatu hal (Pervin, 2005). Hal ini memiliki kesamaan

dengan hampir semua aspek perilaku prososial yaitu sharing, helping, donating,

dan honesty.

C. SUKU BATAK TOBA

Batak Toba adalah sebuah suku di Pulau Sumatera, Indonesia. Sejak

masuknya penginjil I. L. Nomensen ke tanah Batak, mayoritas orang Batak Toba

beragama Kristen. Batak Toba merupakan salah satu sub suku Batak yang berada

di Sumatera Utara yang terdiri dari Batak Toba, Batak Karo, Batak Mandailing,

Batak Pakpak, dan Batak Simalungun. Secara geografis, sub suku Batak Toba

(12)

Ajibata (berbatasan dengan Parapat), Pulau Samosir, Pakkat, serta Sarulla (Sagala,

2008).

Menurut Bayral Hamidy Harahap dan Hotman Siahaan (Sitanggang,

2009), terdapat 9 nilai budaya utama suku Batak Toba yang menjadi falsafah

hidup mereka, yaitu :

1. Kekerabatan

Mencakup hubungan primordial suku, kasih sayang atas dasar hubungan

darah, kerukunan unsur-unsur Dalihan Na Tolu (Hula-hula, Dongan Tubu, dan

Boru) Pisang Raut (Anak Boru dari Anak Boru), Hatobangon (Cendekiawan)

serta segala yang ada kaitannya dengan hubungan kekerabatan karena pernikahan

dan solidaritas marga.

2. Religi

Mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama

yang datang kemudian, yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta

hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya.

3. Hagabeon

Mencakup keyakinan akan keberhasilan dalam segala hal, atau secara

spesifik keyakinan untuk memiliki banyak keturunan dan panjang umur.

4. Uhum (Hukum)

Mencakup patik dohot uhum (aturan dan hukum). Nilai patik dohot uhum

merupakan nilai yang kuat disosialisasikan orang Batak. Budaya menegakkan

kebenaran dan berkecimpung dalam hukum merupakan dunia orang Batak.

(13)

Mencakup kemajuan yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu.

Nilai budaya hamajuon ini sangat mendorong orang Batak bermigrasi ke seluruh

pelosok tanah air.

6. Hamoraon

Kaya raya merupakan salah satu nilai budaya yang mendasari dan

mendorong orang Batak Toba, untuk mencari harta benda yang banyak.

Hamoraon dalam kehidupan sehari-hari orang Batak merupakan misi budaya yang

menonjol. Hagabeon pada dasarnya adalah upaya mencapai hamoraon.

7. Hasangapon

Mencakup kemuliaan, kewibawaan, dan kharisma yang merupakan nilai

utama yang memberi dorongan yang kuat untuk meraih kejayaan. Hasangapon

diperoleh setelah memenuhi Hagabeon dan Hamoraon, serta dibarengi dengan

bisuk (arif dan bijaksana).

8. Konflik

Sumber konflik pada orang Batak Toba tidak hanya kehidupan

kekerabatan melainkan lebih luas lagi karena menyangkut perjuangan meraih hasil

nilai budaya lainnya, antara lain hamoraon yang merupakan sumber konflik yang

abadi bagi suku Batak Toba.

9. Pengayoman

Kehadiran pengayom, pelindung, dan pemberi kesejahteraan umumnya

hanya diperlukan dalam keadaan yang mendesak.

Berkaitan dengan falsafah pertama, suku Batak Toba sangat mahir dalam

(14)

Solidaritas marga yang sangat kuat pada suku Batak Toba sudah dikenal secara

luas (Sianipar, 2008).

Jan Pieter Sitanggang (2009) mengungkapkan 2 istilah yang berkaitan

dengan sistem sosial atau falsafah kekerabatan masyarakat Batak Toba.

Marsiadapari atau istilah untuk berkumpulnya orang-orang Batak, merupakan

sebuah kegiatan yang berupa arisan kerja dan bagian dari sistem gotong-royong.

Ada juga istilah lainnya yang serupa dengan marsiadapari namun terkadang

masih dibedakan penggunaannya, yaitu mangarumpa. Mangarumpa adalah

kegiatan di mana seseorang atau kelompok memberikan bantuan umum yaitu

bantuan yang diberikan oleh siapa saja, misalnya dalam bertetangga ketika

pembangunan rumah, pemasangan atap rumah, atau kegiatan lain yang

membutuhkan banyak tenaga.

Pada suatu bentuk perkumpulan suku Batak Toba, dalam hal pendanaan

ada yang secara suka rela membantu dan ada pula yang dengan keinginan agar

dirinya diketahui sebagai penentu keberhasilan perkumpulan tersebut (Sitanggang,

2009).

D. HUBUNGAN TIPE EXTROVERSION DAN AGREEABLENESS

DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA SUKU BATAK TOBA

Suku Batak Toba adalah salah satu sub suku Batak yang berada di

Sumatera Utara (Sagala, 2008). Suku Batak Toba sangat mahir dalam

memaparkan hubungan kekerabatan, secara khusus yang telah dikenal secara luas

(15)

Sisi solidaritas tersebut diterapkan dalam berbagai jenis kegiatan dalam kehidupan

sehari-hari, diantaranya marsiadapari dan mangarupa yang merupakan kegiatan

memberikan bantuan kepada siapa saja yang memerlukan banyak tenaga, serta

pada acara adat pernikahan, kematian, dan acara-acara adat lainnya (Sitanggang,

2009).

Kegiatan-kegiatan dalam sistem sosial tersebut merupakan bagian dari

perilaku prososial, yang mana mencakup suatu tindakan yang menguntungkan

orang lain dan hal ini juga berlaku ketika si penolong memiliki tujuan untuk

menguntungkan diri sendiri (Kenrick, 2010). Perilaku prososial mencakup

kategori yang sangat luas, yang merupakan setiap tindakan membantu atau

dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif si penolong (Taylor,

2009).

Perilaku prososial terdiri dari beberapa aspek (Mussen, 1989), yaitu

sharing (berbagi), cooperating (bekerjasama), helping (menolong), donating

(memberi atau menyumbang), dan honesty (kejujuran). Faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi perilaku prososial (Baron, 2006), dapat berupa faktor internal

(terdiri dari rasa bersalah dan mood), eksternal (terdiri dari norma sosial, jumlah

pengamat, tekanan waktu dan similarity), dan karakteristik penolong (terdiri dari

personality trait, gender, religious faith).

Kepribadian merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku

prososial individu. Kepribadian dapat diartikan sebagai karakteristik seseorang

yang menyebabkan munculnya konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku

(16)

kepribadian di antaranya ialah: (a) ada perbedaan pada masing-masing individu

dalam perilaku menolong (individual differences), (b) adanya hubungan trait-trait

tertentu yang dapat menunjukkan kecenderungan seseorang untuk memberikan

pertolongan, dan (c) kepribadian mempengaruhi bagaimana orang-orang

merespon pada situasi-situasi tertentu (Baron, 2006).

Berdasarkan teori Big Five, kepribadian digambarkan ke dalam 5 besar

tipe, yaitu Openness, Conscientiousness, Extroversion, Agreeableness, dan

Neuroticism (OCEAN). Dua di antaranya memiliki keterkaitan dengan perilaku

prososial, yaitu extroversion dan agreeableness. Kedua tipe kepribadian ini

memiliki kesamaan karakteristik dengan aspek-aspek perilaku prososial,

sedangkan ketiga tipe lainnya tidak memenuhi unsur-unsur dari aspek perilaku

prososial. Tipe extroversion memiliki kesamaan dengan aspek cooperating pada

perilaku prososial, yakni individu bersedia dan dominan bekerjasama dengan

orang lain. Sedangkan tipe agreeableness memiliki kesamaan dengan aspek

sharing, donating, helping, dan honesty pada perilaku prososial, yakni individu

cenderung bersikap jujur, bersedia berbagi perasaan dengan orang lain serta

membantu individu lainnya dengan ikhlas hati (Mussen, 1989).

E. HIPOTESA

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka hipotesa penelitian

adalah :

H1 : Ada hubungan positif antara tipe kepribadian extroversion dan

(17)

H2 : Ada hubungan positif antara tipe kepribadian extroversion dengan

perilaku prososial pada suku Batak Toba.

H3 : Ada hubungan positif antara tipe kepribadian agreeableness dengan

perilaku prososial pada suku Batak Toba.

Semakin tinggi extroversion dan agreeableness, maka kecenderungan

perilaku prososial juga semakin tinggi, begitu juga sebaliknya.

F. KERANGKA BERPIKIR

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial :

o Internal (guilty & mood)

o Eksternal (social norms, number of bystanders,

time pressures, dan similarity)

o Karakteristik penolong (personality trait, gender,

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaanya adalah pada pengukuran titik embun tidak ditentukan dengan reflektifitas optik permukaan cermin tetapi ditentukan dengan mendeteksi perubahan massa

Horrez gain, salmenta puntua horren urrun egoteak, joera gorakorra handia izan beharko dela adierazten du, eta ondorioz egonkor mantentzen diren merkatuetan irabazi

Data Hasil Analisis Uji Kestabilan Termal Nanokomposit Karet Alam/Bentonit... Data Hasil Analisis Uji Kestabilan Termal Nanokomposit

Pelaksanaan KKN -PPM akan dibim bing oleh D osen Pem bim bing Lapangan yang akan m endam pingi m asing-m asing unit KKN - PPM dan untuk pelaksanaan kegiatan KKN -PPM di tingkat D

Hasil uji T test menunjukkan bahwa pengaruh variabel inflasi, kurs, jumlah uang beredar dan kapitalisasi pasar secara parsial berpengaruh positif tidak signifikan terhadap

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pemetaan profil kecamatan di Kabupaten Sragen dilakukan dengan menggunakan algoritma

Parameter yang akan diukur dan diamati meliputi tinggi air jatuh (head), tegangan dan arus listrik yang dihasilkan dari generator, jumlah keluarga yang dilayani oleh

Metode menjelaskan suatu kombinasi dari fungsi objektif dengan berbagai macam batasan-batasan yang dipertimbangkan digunakan untuk meningkatkan antibodi