• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peraturan Pemerintah Pengganti Undang tahun "

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

A.

PENDAHULUAN

Indonesia sedang dilanda konflik yang menurut penulis sebuah konflik yang

sebenarnya tidak layak untuk dibesar-besarkan karena menyangkut masalah ras dan suku,

apalagi Indonesia adalah negara yang majemuk, dimana ras dan suku berada dibawah kaki

bumi pertiwi yang sama. Misal saja rasisme yang menjadi permasalahan di Indonesia ini,

sebanrnya sudah lama terjadi di masa lampau hingga beberapa puluh tahun yang lalu, di

Amerika contohnya, sekarang masih bertahan sebuah kelompok yang menamakan dirinya

kelompok KU KLUX KLAN (KKK), atau yang lebih dikenal dengan nama ”The Klan”.

Mereka adalah kelompok rasis paling ekstrim di Amerika yang sudah berdiri sejak tahun

1865 hingga saat ini. Sedikit mengenai kelompok ini, para anggota KKK berkeyakinan

bahwa ras kulit putih adalah yang terbaik di dunia, sehingga kelompok ini didirikan untuk

memberantas kaum kulit hitam dan minoritas seperti Yahudi, Asia, dan Katolik Roma yang

hidup di Amerika pada saat itu, meskipun mereka telah di umumkan oleh pemerintah sebagai

kelompok illegal, namun mereka masih menjalankan aksinya dengan membunuh orang-orang

kulit hitam, sehingga puncaknya pada pertengahan tahun 1950-1960 muncul perlawanan dari

kelompok orang kulit hitam yang kemudian memunculkan tokoh yang menyerukan

persamaan hak dan anti-rasisme seperti Malcolm X atau Martin Luther King. Namun hingga

saat ini, pemerintah terkesan acuh terhadap kelompok ini dan sepertinya tidak pernah

melakukan usaha serius untuk memberantas kelompok berbahaya ini.

Di Indonesia, banyak gerakan aktif kiri yang berkembang melalui ormas. Mereka

terkesan bersembunyi dibalik bingkai agama sehingga sulit dijangkau oleh penegak hukum,

mulai dari issu merubah sistem pemertintahan menjadi Khilafah Islamiyah atau Daulah Al

Islamiyah, merubah pancasila, hingga issu rasisme yang akhir-akhir ini mencuat. Puncaknya

(2)

yang menurut sebagian orang menyinggung issu agama. Setelah itu muncul berbagai aksi

demo yang di motori oleh ormas “abg” dan melupakan kemajemukan yang ada di Indonesia.

Pemerintah dalam hal ini Presiden RI kemudian mengambil langkah yang menurut saya

langkah yang “ambigu”, sebuah tindakan yang menurut analisa saya sebagai kebijakan yang

akan menimbulkan multitafsir dari sekian kalangan orang pintar yang ada di Indonesia.

Pemerintah dalam hal ini kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2017 yang disebut sebagai Perppu Organisasi

Kemasyarakatan (Ormas) pada bulan Juli lalu dan diajukan ke DPR untuk disahkan menjadi

Undang-Undang (UU). Dan pada hari Selasa (24/10/2017), DPR menggelar rapat paripurna

untuk menolak atau mengesahkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2 Tahun

2017 tersebut dan diubah menyesuaikan dengan isi PERPPU dan UU Ormas yang ada.

Sebanyak tujuh fraksi di DPR dengan kekuatan 314 kursi berhasil mengesahkan Perppu

Ormas menjadi UU yaitu PPP, PKB, PDIP, Partai Demokrat, Partai Nasional Demokrat,

Partai Golkar, dan Partai Hanura. Sementara pihak yang kontra atau tidak setuju hanya

berkekuatan 131 kursi yaitu fraksi PKS, Gerindra, dan PAN.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam),

Jenderal (Purn) Wiranto yang pertama kali mengumumkan Perppu Ormas melalui konferensi

pers yang digelar di kantornya, pada 12 Juli 2017 lalu. Dalam konferensi pers tersebut,

Wiranto menegaskan bahwa UU Ormas dianggap kurang sempurna, karena tidak memenuhi

asas "contrarius actus." Menurut dia, semestinya lembaga yang mengeluarkan izin

pembentukan ormas atau yang memberikan pengesahan lisensi ormas, adalah lembaga yang

seharusnya mempunyai wewenang untuk mencabut atau membatalkannya. Dengan asas

tersebut, seharusnya pihak yang mengeluarkan kebijakan, berhak mencabut kembali

(3)

kepada pihak yang mengeluarkan keabsahan Ormas, yakni Kementerian Hukum dan HAM

(Kemenkumham) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), untuk mencabut keabsahan

dan lisensi Ormas yang bermasalah. Di UU tersebut diatur proses pencabutan keabsahan

Ormas, harus diawali dengan surat peringatan kepada Ormas terkait. Setelah itu, kementerian

yang mengeluarkan keabsahan bisa meminta pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA)

untuk pencabutan. Proses selanjutnya adalah kementerian terkait yang bermodal rekomendasi

dari MA, meminta Kejaksaan mendaftarkan gugatan hukum ke pengadilan setempat.

Keabsahan Ormas bisa dicabut, setelah ada putusan pengadilan.

Melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2017, pemerintah mencoba menyederhanakan

mekanisme pencabutan keabsahan Ormas, atau bahasa kasarnya “Pembubaran Ormas”. Di

Perppu tersebut diatur bahwa kementerian yang mengeluarkan keabsahan, bisa mencabut

kembali keabsahan tersebut, tanpa harus melalui mekanisme putusan pengadilan. Dari salinan

Perppu yang diunduh dari situs resmi Kementerian Sekretaris Negara, www.setneg.go.id,

diketahui aturan pencabutan badan hukum atau keabsahan sebuah Ormas, diatur dalam pasal

61, berikut salinan pasal tersebut:

Aturan ancaman pencabutan badan hukum, dicantumkan dalam pengubahan pasal 61,

yang berbunyi:

(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) terdiri atas:

a. Peringatan tertulis;

b. Penghentian kegiatan; dan/atau

c. Pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) berupa:

a. Pencabutan surat keterangan terdaftar oleh Menteri; atau

(4)

(3) Dalam melakukan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait.

Soal mekanisme pencabutan badan hukum, hal itu diatur pada pengubahan pasal 62

yang berbunyi: menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan.

(3) Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

Didalam UU tentang Ormas, pasal 62, 63 dan 64 diatur bahwa Ormas berhak

mendapat surat peringatan sebanyak tiga kali. Pada Perppu Nomor 2 Tahun 2017, ketentuan

pasal 63 dan 64 dihapuskan. Sementara mekanisme pembubaran ormas, yang di pasal 65

sampai pasal 78 UU tentang Ormas diatur bahwa proses pembubaran dilakukan melalui

mekanisme pengadilan, dalam Perppu nomor 2 tahun 2017 dihapuskan. Di Dalamnya juga

diatur bahwa setiap ormas tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, dan Undang-Undang

Dasar 1945. Dalam perppu tersebut pemerintah menambahkan sejumlah perubahan, terkait

hal-hal yang dilarang dilakukan ormas.

Larangan tersebut diatur di pasal 59 ayat 3 dan ayat 4 yang berbunyi:

(1) Ormas dilarang

a. Melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, rasa atau golongan

(5)

c. Melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial

d. Melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

(2) Ormas dilarang

a. Menggunakan nama, lambang, bendera atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera atau simbol gerakan separatis atau organisasi terlarang

b. Melakukan kegaitan separatis yang menganccamkedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia

c. Mengantu, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila

Korban pertama dari Perppu tersebut adalah Kelompok Hizbut Tahrir Indonesia

(HTI). Wiranto dalam sejumlah wawancara, mengatakan gagasan khilafah atau

kepemimpinan sesuai ajaran Islam, bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar (UUD) 1945. Dan hingga saat ini, sidang uji materi atas Perppu tersebut yang diajukan

HTI, masih berlangsung di Mahkaah Konstitusi (MK). Dengan Perppu ormas, pemerintah

menghilangkan mekanisme pengadilan, di mana ormas berhak melakukan sanggahan atas

tuduhan-tuduhan yang dilontarkan pemerintah. Namun menurut Wiranto, proses pengadilan

masih ada, akan tetapi proses tersebut ditempuh setelah pemerintah membubarkan Ormas.

B.

EKSPLANASI (Realita) pelaksanaan program

Dari beberapa pandangan diatas, ada beberapa poin yang dianggap sebagai realitas

dan dianggap sebagai “jalan lurus” yang ditempuh pemerintah bahwa kenapa UU Ormas ini

disahkan. Menurut analisa penulis, tentu ini adalah usaha pemerintah dalam menjaga dan

mempertahankan keutuhan NKRI, sebab secara logika, pemimpin mana yang ingin negara

kekuasaannya hancur. Pemerintah dalam hal ini pengambil kebijakan sudah tentu memikirkan

(6)

Presiden BJ Habibie dalam mengambil keputusan untuk melepaskan Timur Timor dari

Indonesia, atau mempertahankan tetapi banyak orang yang mati sia-sia. Dan tidak bisa

dipungkiri bahwa sebuah kebijakan pemerintah pasti akan selalu salah di mata beberapa

orang, namun itulah resiko seorang pemimpin.

Kedua, adalah adanya keinginan Presiden untuk merevisi UU tersebut yang menjadi

syarat beberapa fraksi dalam menerima pengesahan ini. Menurut mereka, keinginan merevisi

merupakan kebijakan jalan tengah yang diambil pemerintah tanpa harus menghapus UU

Ormas sebelumnya dan menggantinya Perppu tersebut menjadi UU Ormas yang baru. Salah

satu elite poltik dari parti yang memberi syarat menyatakan bahwa revisi UU tersebut bisa

masuk program Legislasi Nasional (Prolegnas) di tahun mendatang. Menurut pengamat

politik Universitas Gadjah Mada Erwan Agus Purwanto, revisi diperkirakan akan dilakukan

terhadap sejumlah pasal yang dianggap krusial. Persetujuan dari pihak Pemerintah itu tak

lepas dari sejumlah kondisi, terutama kondisi HTI. Pertama, misi membubarkan HTI sudah

tercapai lewat Perppu Ormas. Pembubaran HTI didorong akibat misi organisasi ini yang

menyebarkan ajaran khilafah yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.

Ketiga, kemungkinan adanya barter politik dengan Parpol pendorong revisi UU

Ormas yang bisa menguntungkan posisi Jokowi, terutama di Pemilu Presiden 2019. Hal itu

tak luput dari kehadiran Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di

Istana Negara. Sebelum pertemuan itu, SBY mengatakan pemerintah terancam sanksi berat

bila inkar janji untuk tak merevisi UU Ormas. Bahkan, Partai Demokrat akan membuat petisi

politik terhadap pemerintah bila tidak ada revisi. Seperti diketahui, proses revisi UU akan

diawali melalui pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Jika suatu UU disetujui untuk

direvisi maka UU tersebut akan masuk Prolegnas. Peluang revisi ini juga hadir dari celah di

(7)

tempat bagi satu revisi/rancangan UU di Prolegnas 2018. Rinciannya, baru ada 49 RUU dari

50 RUU yang jadi jatah di Prolegnas 2018.

Sementara itu Sekretaris Jenderal PPP Asrul Sani mengaku bahwa pihaknya akan

mendorong UU Ormas masuk dalam Prolegnas 2018. Namun hal itu bisa dilakukan setelah

UU Ormas diregistrasi dan diundangkan dalam Lembaran Negara (LN). Menurut salah

seorang anggota Baleg DPR, ada tiga poin penting yang harus direvisi dalam UU Ormas.

Pertama, Pasal 62 UU Ormas baru yang mengatur pembubaran Ormas tanpa proses

pengadilan. Walaupun ada jalur gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),

pembubaran Ormas tanpa pengadilan dianggap sebagai hal yang dapat merusak demokrasi.

Kedua, pengaturan soal penelitian mendalam terhadap satu ormas sebelum pemberian status

badan hukum. Sebab dalam UU Ormas lama, pendaftaran badan hukum suatu ormas hanya

mencantumkan tahapan dan syarat pendaftaran. Ketiga, lanjutnya, pasal 82A UU Ormas baru

yang mengatur ketentuan pidana bagi Ormas yang melanggar aturan. Bahwa, setiap orang

yang menjadi anggota dan atau pengurus Ormas bisa dikenakan hukuman selama enam bulan

sampai seumur hidup.

C.

KEPATUHAN (Sesuai prosedur atau tidak)

Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK) menegaskan jika penerbitan Perppu Nomor 2

Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi

Masyarakat (Ormas) telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perppu

itu juga sesuai dengan kondisi nasional saat ini sehingga memungkinkan pemerintah untuk

menerbitkan Perppu untuk membubarkan Ormas yang bertentangan dengan ideologi

Pancasila dan mengancam keutuhan NKRI. Pembubaran ormas kata JK merupakan hal yang

(8)

diatur dalam UU Ormas. Sehingga tak perlu ditanggapi secara berlebihan. Menurut JK,

sebagai pemerintah, perundang-undangan-lah yang merupakan cara yang paling efektif kalau

ada ormas melanggar sesuai izin. Kalau ada organisasi mahasiswa tidak sesuai aturan

organisasi, tidak sesuai izinnya, perusahaan pun bisa dibubarkan oleh yang mengeluarkan

izin.

Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie,

MH mengungkapkan bahwa pengesahan UU Ormas sudah sesuai ketentuan yang ada, jalan

itu bisa diambil oleh pemerintah jika merasa ada Ormas yang menentang ideologi Pancasila,

namun menurutnya ada dua hal yang harus menjadi perhatian, terutama dalam merevisi

Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan ( UU Ormas) yang telah disetujui DPR. Jimly

menjelaskan, seseorang yang menjadi anggota suatu ormas, sebelum dibubarkan pemerintah

tidak bisa dipidana karena hal tersebut bukan merupakan kejahatan. Kecuali, seseorang yang

menolak ormasnya dibubarkan setelah terbukti melakukan pelanggaran.

Ketentuan pidana diatur dalam Pasal 82A Ayat (2) dan Ayat (3) UU Ormas bahwa

Sanksi pidana dapat dikenakan kepada setiap orang yang menjadi anggota dan atau pengurus

ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung menganut paham yang

bertentangan dengan Pancasila. Sedangkan hukuman pidananya mulai dari seumur hidup atau

pidana penjara penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun. Selain itu, anggota

ormas anti-Pancasila dapat pula dikenai dengan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, Jimly juga menyoroti peran

pengadilan dalam membubarkan suatu ormas. Menurut dia, UU Ormas tidak boleh

menghilangkan ketentuan pembubaran ormas tanpa melalui proses pengadilan. Seperti yang

diketahui, sebanyak tujuh fraksi menerima perppu tersebut sebagai undang-undang yakni

(9)

Demokrat menerima Perppu tersebut dengan catatan agar pemerintah bersama DPR segera

merevisi Perppu yang baru saja diundangkan itu. Sementara, tiga fraksi lainnya yakni PKS,

PAN, dan Gerindra menolak Perppu Ormas karena menganggap bertentangan dengan asas

negara hukum karena menghapus proses pengadilan dalam mekanisme pembubaran ormas.

Analisa saya, kita sebagai masyarakat terutama Ormas hanya tinggal mengikuti

mekanisme putusan DPR yang dalam hal ini sebagai pengabsah kebijakan pemerintah, apatah

lagi proses tersebut sudah sesuai prosedur yang ada. Meskipun kebijakan tersebut terkesan

(sekali lagi) “ambigu”, terlepas dari itu semua, kita sebagai warga negara yang baik

mengikuti proses tersebut dengan baik. Lagipula jika kita menilik memang seharusnya UU

Ormas harus lebih dirinci lagi sehingga tidak ada lagi oknum yang memanfaatkan celah

tersebut sebagai senjata untuk kepentingan pribadi “busuk”nya.

D.

AUDITING (Tepat sasaran atau tidak)

Terlepas dari banyaknya issu kontroversi dari pengesahan UU Ormas ini, kontra dan

non-kontra, setuju dan tidak setuju, sah dan nonabsah dan lain sebagainya, maka harus digaris

bawahi terutama oleh penulis disini adalah kesungguhan pemerintah dalam memperketat

aturan ormas yang tidak sesuai dengan ideology Pancasila. Bukan karena pemerintah

anti-islam, atau tidak mengikuti sunnah dan Al-Qur’an, melainkan asas negara kita adalah

Pancasila yang dibangun oleh para pejuang dalam mempertahankan NKRI. Jika serta merta

Indonesia dijadikan sebagai khilafah maka semua aturan dan organisasi yang ada seharusnya

ikut berubah, mulai dari presiden, penghapusan menteri, penghapusan MPR, DPR, DPD,

penghapusan partai, penghapusan undang-undang serta ideology Pancasila.

Namun dari kacamata penulis, pemerintah sepertinya hendak memilih jalan tengah,

(10)

oramas yang tidak mendukung kesatuan NKRI, namun pemerintah masih memilih merivisi

poin-poin penting yang ada diadalamnya, akibatnya ormas-ormas yang mengatas namakan

dirinya “pembela negara” tidak akan lagi memanfaatkan celah UU Ormas yang masih

“longgar”. Oleh sebab itu, berdasarkan penjabaran di situs setneg.go.id, ormas berbadan

hukum dapat berbentuk perkumpulan atau yayasan. Ormas yang tidak berbadan hukum dapat

memiliki struktur kepengurusan berjenjang atau tidak berjenjang, sesuai Anggaran Dasar

(ADA) / Anggaran Rumah Tangga (ART) Ormas tersebut yang telah diundangkan oleh

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 6 Desember 2016. Peraturan Pemerintah

(PP) ini menegaskan, Ormas berbadan hukum dinyatakan terdaftar setelah mendapatkan

pengesahan badan hukum dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang hukum dan hak asasi manusia. Apabila telah mendapat pengesahan badan hukum,

ormas tersebut tidak lagi memerlukan Surat Keterangan Terdaftar (SKT).

Pendaftaran ormas berstuktur kepengurusan berjenjang dilakukan pengurus ormas

tingkat pusat. Pengurus ormas sebagaimana dimaksud melaporkan keberadaan

kepengurusannya di daerah kepada pemerintah daerah setempat dengan melampirkan SKT

dan kepengurusan daerah. Pada Pasal 16 PP tentang Ormas disebutkan, pengurus harus

mengajukan SKT apabila terjadi perubahan nama, bidang kegiatan/pokok kegiatan, nomor

pokok wajib pajak (NPWP), dan/atau alamat ormas.

Sedangkan bagi warga negara asing yang ingin mendirikan ormas atau Ormas Warga

Asing (OWA) jika merujuk kepada PP ini, Ormas yang didirikan warga negara asing dapat

melakukan kegiatan di wilayah Indonesia, yang terdiri atas:

a. Badan hukum yayasan asing atau sebutan lain;

b. Badan hukum yayasan yang didirikan oleh warga negara asing bersama warga negara Indonesia; atau

(11)

Berikut bunyi Pasal 35 PP Nomor 58 Tahun 2016:

“Ormas berbadan hukum yayasan asing atau sebutan lain sebagaimana dimaksud wajib memiliki izin prinsip yang diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan

luar negeri dan izin operasional yang diberikan oleh pemerintah atau pemerintah daerah.”

Badan hukum harus disahkan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di

bidang hukum dan HAM setelah mendapatkan pertimbangan Tim Perizinan. Pengawasan

internal dan eksternal diperlukan untuk meningkatkan kinerja dan akuntabilitas serta

menjamin terlaksanananya fungsi dan tujuan ormas. Pengawasan internal dilakukan oleh

pengawas internal dan berfungsi menegakkan kode etik organisasi. Sementara itu,

pengawasan eksternal dilakukan masyarakat, pemerintah, dan/atau pemerintah daerah,

sebagaimana bunyi Pasal 45 ayat (2a, b):

“Pengawasan eksternal oleh pemerintah dikoordinasikan oleh: a. Menteri untuk Ormas berbadan hukum Indonesia dan tidak berbadan hukum; dan menteri yang menyelenggarakan

urusan pemerintahan di bidang luar negeri bagi ormas berbadan hukum yayasan asing atau sebutan lain.”

PP ini juga menegaskan, bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai

lingkup tugas dan kewenangannya menjatuhkan sanksi administratif kepada Ormas yang

melanggar kewajiban dan larangan. Sanksi administratif iterdiri dari peringatan tertulis,

penghentian bantuan dan/atau hibah, penghentian sementara kegiatan, dan/atau pencabutan

SKT atau pencabutan status badan hukum. Pemerintah wajib meminta pertimbangan hukum

Mahkamah Agung dalam penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan ormas. Apabilia

ormas berbadan hukum tak mematuhi sanksi tersebut, menteri penyelenggara bisa

menjatuhkan sanksi status badan hukum. Sementara penjatuhan sanksi terhadap ormas

berbadan hukum yayasan asing atau sebutan lain diatur dengan peraturan pemerintah

tersendiri sebagaimana bunyi Pasal 74:

(12)

E.

AKUNTING ( dampak yang ditimbulkan)

Langkah Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo yang mengambil kebijakan

untuk mengeluarkan Perppu yang berisi pembubaran Ormas anti-Pancasila dinilai sudah tepat

oleh beberapa kalangan. Itu berarti pemerintah dapat sewaktu-waktu membubarkan Ormas

yang dinilai bertentangan dengan ideologi pancasila, yang selama ini dianggap berbahaya

terhadap keberadaan ideologi pancasila, tanpa proses peradilan yang selama ini berlaku

semenjak adanya proses demokratisasi setelah era reformasi. Semenjak era reformasi 1998

yang memberikan ruang lebih luas terhadap proses demokratisasi Indonesia. Indonesia terus

membenahi diri dalam menjalankan proses demokrasi, yang selama era orde baru dikebiri

dengan label "Demokrasi Terpimpin". Organisasi kemasyarakatan (Ormas) adalah bagian

dalam proses demokrasi tersebut, sehingga tindakan pemerintah untuk membatasi keberadaan

ormas dengan Perppu tersebut, adalah kemunduran dalam proses demokrasi yang berjalan di

Indonesia setelah era reformasi 1998.

Dari analisa bebas penulis, keputusan pemerintah untuk mengeluarkan Perppu

pembubaran ormas, tentunya akan memberikan dampak yang luas dan menyeluruh terhadap

kehidupan demokrasi Indonesia, yang selama ini oleh dunia barat, Indonesia dianggap

sebagai salah satu negara yang berhasil menjalankan sistem demokrasi secara baik dan

matang. Berikut adalah dampak Perppu Pembubaran Ormas Anti Pancasila terhadap proses

demokrasi Indonesia.

1). Pemerintah dapat membubarkan Ormas Anti Pancasila tanpa proses peradilan

Dengan keluarnya Perppu Nomor 2 tahun 2017, maka secara otomatis UU

Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat, akan tergantikan oleh Perppu

(13)

membubarkan ormas-ormas yang dianggap bertentangan dengan pancasila tanpa

proses peradilan. Masih ingatkah dengan wacana pemerintah beberapa waktu lalu

yang ingin membubarkan ormas HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang dianggap

bertentangan denga pancasila? hambatan pemerintah pada saat itu adalah harus

membubarkan ormas HTI dengan mekanisme pengadilan. Sehingga pemerintah

mengurungkan niatnya untuk membubarkan ormas HTI pada beberapa waktu lalu,

sebab jika melalui proses peradilan, maka kemungkinan gugatan pemerintah akan di

tolak di PTUN. Dengan demikian, UU ormas yang telah disahkan menandakan

bahwa ormas tidak lagi merasa berkuasa diatas nama semua demokrasi, dimana

kebanyakan ormaas sudah seperti kelompok yang “tidak tahu diri”,

2). Pemerintah dapat dengan mudah menyasar ormas-ormas yang bersebrangan

pendapat dengan pemerintah

Dengan adanya Perppu Nomor 2 tahun 2017, maka secara langsung

pemerintah akan mendapatkan payung hukum yang sangat kuat, untuk menggunakan

perppu tersebut sebagai kekuasaan penuh pemerintah, untuk mengontrol

ormas yang berbeda pandangan dengan pemerintah. Semenjak era reformasi,

ormas-ormas oposisi tumbuh seperti jamur yang tumbuh setelah hujan turun. Maka dari itu

dengan berdalih pemberantasan ormas anti pancasila, pemerintah dapat dengan

sewenang-wenang melumpuhkan ormas-ormas yang bersebrangan dengan

pemerintah, dengan dalih ormas-ormas tersebut tidak sesuai dengan pancasila atau

anti pancasila.

Perppu ini dapat dijadikan senjata-senjata ampuh kembali bagi pemerintah,

(14)

Perppu ini akan dijadikan alat bagi pemerintah, untuk membungkam ormas-ormas

kritis yang dianggap bersebrangan dengan pemerintah.

3). Pemerintah berangsur menghilangkan demokratisasi di Indonesia

Indonesia yang kita kenal semenjak era reformasi, tentunya perlahan-lahan

menjadi negara yang demokratis dalam menjalankan setiap peraturan hukum dan

politiknya. Kebebasan berorganisasi dan berserikat adalah bagian dari demokrasi itu

sendiri. Dengan adanya Perppu pembubaran ormas anti pancasila tersebut. Indonesia

akan bertransformasi menjadi negara kekuasaan, yang mana dalam produk hukum

berupa perppu ini, adalah cara pemerintahan pusat untuk mengekang kebebasan

berpendapat dan berorganisasi yang terjadi selama era reformasi dewasa ini.

Dengan adanya Perppu yang refresif tersebut, adalah cara halus dari

pemerintah untuk mengekang kebebasan berpendapat dengan produk hukum berupa

Perppu ini. Pemerintahan pusat akan bisa berubah menjadi pemerintah otoriter, yang

bisa membungkan setiap sayap-sayap organisasi atau ormas yang dianggap

berbahaya, bagi keberadaan rezimnya dengan menggunakan dalih ormas tersebut

bertentangan dengan pancasila.

Namun, keinginan pemerintah tersebut ternyata tidak terbendung hingga akhirnya

beberapa hari yang lalu, DPR mengesahkan Perppu tersebut menjadi Ormas sebagai

tambahan dari UU Ormas yang telah diterbitkan sebelumnya. Jauh hari sebelum issue

pengesahan UU Ormas berkembang, sudah banyak opinin yang menyebar ditengah

masyarakat, diantaranya yaitu dampak yang ditimbulkan jika ternyata DPR mengesahkan UU

Ormas, salah satunya yang penulis sadur dari situs http://kumparan.com menyatakan bahwa

(15)

1. Terdapat hukuman pidana bagi anggota dan pengurus ormas yang dinilai

bertentangan dengan ideologi Pancasila dengan sanksi pidana penjara seumur

hidup, pidana paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun (Pasal 82A ayat 2).

Pasal ini dikritisi oleh beberapa pihak, karena hukuman yang diberikan dianggap

terlalu lama dan langsung menyasar kepada keseluruhan anggota ormas.

2. Tidak adanya proses pengadilan bagi ormas yang dibubarkan. Artinya, pembubaran

ormas bisa dilakukan secara sepihak tanpa melewati mekanisme peradilan. Dalam

Perppu Nomor 2 Tahun 2017, ketentuan yang mengatur soal pengadilan seperti yang

tertera dalam Pasal 63 sampai dengan pasal 80 UU nomor 17 Tahun 2013 tentang

organisasi masyarakat dihapus. Peniadaan proses hukum tersebut dianggap

sewenang-wenang karena secara sepihak memberikan kewenangan kepada

Menteri Hukum dan HAM untuk mencabut kegiatan ormas dan melakukan

pembubaran dengan sendirinya.

3. Pemerintah bisa menafsirkan sendiri secara sepihak apakah ormas tersebut dianggap

bertentangan dengan ideologi Pancasila, tanpa melewati proses seperti pembelaan

atau klarifikasi ormas di pengadilan. Tentunya itu dianggap menghalangi hak

masyarakat yang ada dalam berkumpul serta ikut serta dalam hidup bermasyarakat.

Tetapi, ketiga poin diatas belum bisa kita simpulkan secara menyeluruh, sebab

putusan tersebut masih sedang berlangsung pe-revisian isi UU yang masih dalam proses

(16)

F.

KESIMPULAN

Bila dilihat dari sisi hukum dan kenegaraan, maka pemerintah dalam hal ini Presiden

telah mengambil langkah tepat dalam mengesahakn Perppu menjadi UU Ormas. Tidak bisa

dipungkiri bahwa banyaknya ormas yang bertebaran di Indonseia itu tidak terlepas dari

terlalu percayanya pemerintah terhadap sebuah proses administrasi yang kaku, hanya dengan

pengajuan nama, tujuan kelompok, alamat dan lain sebagainya, sejumlah orang sudah bisa

membentuk sebuah Ormas, tanpa adanya pengawasan berlanjut dari pemerintah. Oleh sebab

itu, dengan adanya UU Ormas ini, maka tentu masyarakat pasti akan lebih berpikir dua kali

untuk membentuk sebuah ormas “abal-abal” yang memanfaatkan kondisi dan suasana kacau

negara kita.

Sedangkan dari sisi politik, pemerintah dalam hal ini diuntungkan dengan adanya

revisi UU karena dengan revisi itu akan membuka peluang diskusi dan komunikasi politik

antara pemerintah dan parpol. Dan itu akan menguntungkan pemerintah dalam pertarungan

Pilpres 2019 yang akan datang, selain karena merebut hati banyak parpol, juga pemerintah

telah merebut banyak kursi meskipun beberapa parpol mengajukan syarat-syarat tertentu.

Selain itu, dari sisi yang lainnya lagi. Bagi penggiat parpol yang menolak UU Ormas ini

(PAN, PKS dan Gerindra) maka ini membuka peluang mereka merangkul ormas yang merasa

“tersakiti” oleh UU tersebut dengan tagline “JANGAN MEMILIH PARTAI YANG

MENDUKUNG UU ORMAS” sehingga bagi orang yang pintar melihat situasi, ini adalah

peluang politik “sempurna” untuk merangkul mereka “yang tersakiti” dan digandeng

sehingga memuluskan jalannya untuk Pilpres 2019 yang akan datang. Oleh karena itu, issu

ini masih bisa berkembang lebih besar lagi, kita sebagai akademisi hanya bisa menjangkauu

sampai disini saja tanpa harus mengutak atik urusan orang di atas. Mari kita saksikan

(17)

bertentangan dengan ideology pancasila, dan mari kita lihat aksi Ormas tersebut dalam

melawan dan melakukan manuver politik “busuk” yang dipertontonkan dan disaksikan oleh

seluruh masyarakat Indonesia.

G.

S U M B E R

Wikipedia Indonesia

Situs CNN https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171030065901-32-252048/

Situs Kementrian Sekretaris Negara https://www.setneg.go.id/

Situs Media Online http://kumparan.com

Situs Media Online http://pikiran-rakyat.com

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Regresi pada Perusahaan tanpa Kepemilikan Manajerial terhadap Nilai Perusahaan. Dependent Variable: TOBINS_Q Method:

usulan sebagaimana dimaksud pada huruf a diverifikasi dan divalidasi oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri berdasarkan hasil

ini terkait dengan adanya undang- undang hak cipta. Sedangkan perpustakaan tidak memiliki ruang koleksi audio visual yang dilengkapi fasilitas untuk menampilkan

System pembelajaran yang dilakukan secara jarak jauh apabila guru atau peserta didik tidak dapat hadir.. Pembelajaran yang bertujjuan untuk meningkatkann pengetahuan peserta

Mengingat pembinaan SDM di perpustakaan bukan merupakan tindakan sesaat saja, melainkan usaha yang membutuhkan peren- canaan yang matang dengan memperhatikan faktor individu yang

Setelah penderita menabrak bagian dalam mobil, organ yang berada dalam rongga tubuh akan melaju kearah depan dan mungkin akan mengalami perlukaan langsung

Akibat hukum apabila terjadi suatu pelanggaran terhadap karya tulis yang dimuat di media Internet dapat dilihat dalam BAB XIII dalam UUHC tentang ketentuan Pidana,

Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3) Kepala daerah yang tidak mengumumkan