BAB II
WAKAF BERDASARKAN HUKUM ISLAM DAN PERATURAN-PERTURAN HUKUM AGRARIA
A. Wakaf Berdasarkan Hukum Islam 1. Pengertian Wakaf
Kata wakaf berasal dariwaqf,yang berarti menahan atau berhenti atau diam di
tempat. Secara peristilahan, wakaf berarti menahan harta yang dapat diambil
manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mu’bah (tidak
dilarang Tuhan), serta dimaksudkan untuk mendapat keridhaan Allah SWT.33
Menurut Moh. Anwar, wakaf ialah menahan suatu barang dari dijual belikan
atau diberikan atau dipinjamkan oleh pemilik, guna dijadikan manfaat untuk
kepentingan tertentu yang diperbolehkan olehsyara’serta tetap bentuknya, dan boleh
dipergunakan, diambil manfaatnya oleh orang yang ditentukan (orang yang menerima
wakaf ), atau umum.34
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai arti wakaf secara istilah
(hukum), hal ini sesuai dengan perbedaan mazhab yang telah dianutnya. Adapun
pendapat masing-masing mazhab adalah sebagai berikut:35 1. Menurut Mazhab Syafi’i, antara lain:
a). Wakaf menurut Imam Nawawi, “Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tetapi bukan untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada
33
Azhar Basyir, MA.,Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijaroh dan Syirkah.(Bandung : PP. Al-Ma’arif, 1977), hal. 5
34Sudarsono,Pokok-Pokok Hukum Islam,Cetakan Pertama, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 494 35
padanya dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah”.
b). Wakaf menurut Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syaikh Umairah, “Menahan harta yang bisa dimanfaatkan dengan menjaga keutuhan harta tersebut, dengan memutuskan kepemilikan barang tersebut dengan pemiliknya untuk hal yang dibolehkan”.
2. Menurut Mazhab Hanafi,
a). Wakaf menurut A. Imam Syarkhasi, menahan harta dari jangkauan kepemilikan orang lain (habsul mamluk’an al-tamlik min al-ghair)”. b). Al-Murghiny mendefenisikan wakaf ialah menahan harta di bawah tangan
pemiliknya, disertai pemberian manfaat sebagai sedekah (habsul’aini ala maliki al-wakif wa tashaduk bi al-manfa’ab).
3. Menurut Mazhab Malikiyah
Ibnu Arafah mendefenisikan wakaf adalah memberikan manfaat sesuatu, pada batas waktu keberadaannya, bersamaan tetapnya wakaf dalam kepemilikan si pemiliknya meski hanya perkiraan (pengandaian).
Dalam pasal 215 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI), wakaf adalah
perbuatan seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna
kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya, sesuai dengan ajaran Islam.
sedangkan dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, Wakaf ialah perbuatan
hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syariah.36
Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang
Wakaf, Wakaf adalah Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan
36
melembagakannya untuk selama lamanya untuk kepentingan peribadatan atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.37
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa wakaf adalah
perbuatan hukum yang suci dan mulia, sebagai shodaqah zariah atau amalan yang
pahalanya selalu mengalir walaupun orang yang mewakafkan telah meninggal dunia.
Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa mewakafkan sesuatu adalah jauh lebih
mulia dari pada sedekah.
Menurut Imam Syafi’i, berlaku sah apabila orang yang mewakafkan telah
menyatakan dengan perkataan “saya telah wakafkan” sekalipun tanpa diputus hakim.
Bila harta tersebut telah diwakafkan maka orang yang berwakaf tidak berhak lagi atas
harta itu walaupun harta tetap di tangannya.38
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan unsur-unsur pengertian wakaf
tersebut antara lain;
1) Harta benda milik seseorang atau badan hukum.
2) Harta benda tersebut bersifat kekal zatnya, tidak habis bila dipakai.
3) Harta tersebut dilepas kepemilikannya oleh pemiliknya
4) Harta yang dilepas kepemilikannya tersebut tidak dapat dihibahkan,
diwariskan atau diperjual belikan.
5) Digunakan untuk kepentingan umum dan ibadah.
37Departemen Agama.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,hal. 60-61 38Abdurrahman,Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara
Keberadaan wakaf telah mendapatkan pengakuan dalam UUPA, yakni pasal
49 yang menegaskan:39
1. Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagaimana dimaksud pada pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.
3. Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah.
Dari ketentuan tersebut terkandung makna, bahwa perihal pertanahan erat
hubungannya dengan peribadatan dan keperluan suci lainnya, yang salah satunya
adalah perwakafan tanah, yang dalam hukum agraria nasional mendapat perhatian.
2. Ikrar Wakaf
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa kebiasaan masyarakat kita sebelum
adanya UU No. 5 tahun 1960 dan PP No. 28 tahun 1977 hanya menggunakan
pernyataan lisan saja yang didasarkan pada adat kebiasaan keberagamaan yang
bersifat lokal. Pernyataan lisan secara jelas (sharih ) menurut pandangan As-Syafi’i
termasuk bentuk dari pernyataan wakaf yang sah. Akan tetapi dalam kasus masjid,
bila seseorang memiliki mesjid dan mengijinkan orang atau pihak lain melakukan
ibadah di masjid tersebut, maka tidaklah otomatis masjid tersebut berstatus wakaf.
Pernyataan wakaf harus menggunakan kata-kata yang jelas seperti waqaftu, habastu
atau sabbaltu atau kata-kata kiasan yang dibarengi dengan niat wakaf secara tegas.
39
Dari pandangan Imam Asy-Syafi’i tersebut kemudian ditafsirkan secara sederhana
bahwa pernyataan wakaf cukup dengan lisan saja.
Namun demikian ketika ada orang yang mewakafkan harta bendanya dengan
tulisan atau isyarat untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang
diinginkan bukan berarti wakafnya tidak sah. Pernyataan tulisan mewakafkan sesuatu
justru bisa menjadi bukti yang kuat bahwa si wakif telah melakukannya, lebih-lebih
itu dinyatakan di hadapan hakim dan nazhir wakaf yang ditunjuk.
3. Harta yang boleh di wakafkan.
Benda yang di wakafkan di pandang sah apabila memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. Benda harus memiliki nilai guna. Tidak sah hukumnya mewakafkan sesuatu
yang bukan benda, misalnya hak-hak yang bersangkut paut dengan benda,
seperti : hak irtifaq, hak irigasi, hak lewat, hak pakai dan lain sebagainya.
Tidak sah pula mewakafkan benda yang tidak berharga menurutsyara’, yakni
benda yang tidak boleh di ambil manfaatnya, seperti: benda memabukkan dan
benda-benda haram lainnya. Karena maksud wakaf adalah mengambil
manfaat benda yang di wakafkan serta mengharapkan pahala atau keridhaan
Allah atas perbuatan tersebut.
b. Benda tetap atau bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan. Kebiasaan
masyarakat Indonesia dalam sejarahnya dan juga sampai sekarang pada
umumnya mewakafkan harta berupa benda yang tidak bergerak, seperti tanah,
asuhan dan lain sebagainya. Dan pandangan ini secara kebetulan juga telah
disepakati oleh semua mazhab empat. Garis umum yang dijadikan sandaran
golongan Syafi’iyyah dalam mewakafkan hartanya dilihat dari kekekalan
fungsi atau manfaat dari harta tersebut, baik berupa barang tak bergerak,
barang bergerak maupun barang kongsi (milik bersama). Namun demikian,
walaupun golongan Syafi’iyyah membolehkan harta bergerak seperti uang,
saham dan surat berharga lainnya, umat Islam Indonesia belum bisa menerima
sepenuhnya karena dikhawatirkan wujud barangnya bisa habis.
c. Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui) ketika terjadi akad wakaf.
Penentuan benda tersebut bisa ditetapkan dengan jumlahnya, seperti seratus
juta rupiah, atau bisa juga dengan menyebut nisbahnya terhadap benda
tertentu, misalnya separuh tanah yang dimiliki, dan lain sebagainya. Wakaf
yang tidak menyebutkan secara jelas terhadap harta yang akan diwakafkan,
maka tidak sah hukumnya, seperti mewakafkan sebagian tanah yang dimiliki,
sejumlah buku dan sebagainya.
d. Benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik tetap (al-milk) si
wakil (orang yang mewakafkan) ketika terjadi akad wakaf. Oleh karenanya,
jika seseorang mewakafkan benda yang bukan atau belum menjadi miliknya,
maka hukumnya tidak sah, seperti mewakafkan benda atau sejumlah uang
yang masih belum di undi dalan arisan, mewakafkan tanah yang masih dalam
4. Kedudukan harta setelah di wakafkan.
Di lingkungan umat Islam Indonesia bahwa semangat pelaksanaan wakaf
lebih bisa dilihat dari adanya kekekalan fungsi atau manfaat untuk kesejahteraan umat
atau untuk kemaslahatan agama, baik terhadap diri maupun lembaga yang telah
ditunjuk oleh wakif. Karena tujuan dan kekekalan manfaat benda dari yang di
wakafkan, maka menurut golongan Syafi’iyyah yang dianut pula oleh mayoritas
masyarakat muslim Indonesia berubah kepemilikannya menjadi milik Allah atau
milik umum. Wakif sudah tidak memiliki hak terhadap benda itu. Menurut wakif,
wakaf itu sesuatu yang mengikat, si wakif tidak dapat menarik kembali, membatalkan
dan membelanjakannya yang dapat mengakibatkan perpindahan hak milik, dan wakif
juga tidak dapat mengikrarkan bahwa benda wakaf itu menjadi hak milik orang lain
dan lain sebagainya.Wakif tidak dapat menjual, menggadaikan, menghibahkan serta
mewariskan.40
5. Harta wakaf ditujukan kepada siapa
Dalam realitas masyarakat kita, wakaf yang ada selama ini ditujukan kepada
dua pihak : a) keluarga atau orang tertentu (wakaf ahli) yang ditunjuk oleh wakif.
Apabila ada seseorang yang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu
kepada cucunya, maka wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah
mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.
40Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia : Sejarah, Pemikiran, Hukum dan
Dalam satu sisi, wakaf ahli ini baik sekali karena si wakif akan mendapat dua
kebaikan, juga kebaikan dari silaturahminya dengan orang yang diberi amanah wakaf.
Akan tetapi di sisi yang lain, wakaf ahli ini sering menimbulkan masalah seperti :
bagaimana kalau anak yang ditunjuk sudah tidak ada lagi (punah), siapa yang berhak
mengambil manfaat dari harta wakaf itu? Lebih-lebih pada saat akad wakafnya tidak
disertai dengan bukti tertulis yang di catatkan kepada negara. Atau sebaliknya,
bagaimana kalau anak cucu si wakif yang menjadi tujuan wakaf itu berkembang
sedemikian rupa, sehingga menyulitkan bagaimana cara pembagian hasil harta wakaf.
Dan ini banyak bukti, dilingkungan masyarakat kitasering terjadi persengketaan antar
keluarga yang memperebutkan harta yang sesungguhnya sudah diwakafkan kepada
orang yang ditunjuk. Dalam masalah ini, Ahmad Azhar Basyir, MA dalam bukunya
“Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah” menulis : menghadapi kenyataan
semacam itu di beberapa negara yang dalamperwakafan telah mempunyai sejarah
lama, lembaga wakaf ahliitu sebaiknya diadakan peninjauan kembali untuk di
hapuskan. b) Wakaf yang ditujukan untuk kepentingan agama (keagamaan) atau
kemasyarakatan (wakaf khairi). Wakaf seperti ini sangat mudah kita temukan
disekitar kehidupan masyarakat kita, yaitu wakaf yang diserahkan untuk keperluan
pembangunan masjid, sekolahan, jembatan, rumah sakit, kuburan, panti asuhan anak
yatim dan lain-lain.Wakaf dalam bentuk seperti ini jelas lebih banyak manfaatnya
daripada jenis yang pertama, karena tidak terbatasnya orang atau kelompok yang bisa
mengambil manfaat.Dan inilah yang sesungguhnya semangat yang diajarkan oleh
6. Boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf.
Dalam masalah ini, mayoritas wakif dari umat Islam Indonesia berpegang
pada pandangan konservatifnya Asy-Syafi’i sendiri yang menyatakan bahwa harta
wakaf tidak boleh ditukar dengan alasan apapun. Dalam kasus masjid misalnya,
Imam Syafi’i menegaskan bahwa tidak boleh menjual masjid wakaf secara muthlak,
sekalipun masjid itu roboh.Dan ini mudah ditemukan seperti bangunan-bangunan
masjid tua yang nyaris roboh dan mengakibatkan orang malas pergi ke masjidtersebut
hanya karena para nazhir wakaf mempertahankan pendapatnya Imam Syafi’i.
Sebagai perbandingan, kalau menurut pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal
justru membolehkan menjual harta wakaf dengan harta wakaf yang lain. Dalam kasus
masjid di atas, menurutnya, masjid tersebut (yang sudah roboh) boleh dijual apabila
masjid itu sudah tidak lagi sesuai dengan tujuan pokok perwakafan sebagaimana
tujuan atau niat wakif ketika akad wakaf dilangsungkan. Namun demikian hasil dari
penjualannya harus dipergunakan untuk membangun masjid lain yang lebih bisa
dimanfaatkan peruntukannya secara maksimal.41Jadi pada dasarnya, perubahan peruntukan dan status tanah wakaf ini tidak diperbolehkan, kecuali apabila tanah
wakaf tersebut sudah tidak dapat lagi dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf,
maka terhadap wakaf yang bersangkutan dapat diadakan perubahan, baik
peruntukannya maupun statusnya.
41 A. Faishal Haq & Ahmad Syaiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia,
Persyaratan ketat atas penukaran harta wakaf karena diketahui, tidak semua
orang di dunia ini baik akhlaknya, demikian juga dengan nazhir (pengelola harta
wakaf). Sering kita temukan orang atau lembaga yang diberi amanah wakaf ( nazhir )
yang dengan sengaja menghianati kepercayaan wakif dengan merubah peruntukan
atau status tanah wakaf tanpa alasan yang meyakinkan. Hal-hal yang demikian ini
tentu menimbulkan reaksi dalam masyarakat, khususnya bagi mereka yang
berkepentingan dalam perwakafan tanah.Sebelum dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 28 tahun 1977, keadaan perwakafan tanah tidak atau belum
diketahui jumlahnya, bentuknya, penggunaan, dan pengelolaannya disebabkan tidak
adanya ketentuan administratif yang mengatur.Itulah urgensi dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 yang disebut dalam konsiderannya. Dan
jelas sekali kondisi di atas sangat mengganggu nilai-nilai yang terkandung dalam
ajaran wakaf itu sendiri tentang sosialisme harta (kekayaan dunia) untuk menciptakan
keseimbangan sosial ditengah-tengah masyarakat.
7. Dasar Hukum Wakaf
Ada beberapa dalil atau ketentuan yang menjadi dasar dari pada amalan wakaf
ini, yakni ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar semua manusia selalu
berbuat kebaikan, sebab amalan zakatpun juga termasuk salah satu macam perbuatan
yang baik dan terpuji.
Adapun ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berbuat kebaikan di
antaranya adalah :
Yang artinya: perbuatlah oleh kamu kebaikan semoga kamu mendapat kemenangan.
2) Al-Qur’an surat Al- Imran ayat 92 yang berbunyi:
Yang artinya: tidaklah akan tercapai oleh kamu kebaikan,sebelum kamu sanggup
membelanjakan sebagian dari harta yang kamu senangi.
3) Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi:
Yang artinya: belanjakanlah sebagian harta yang kamu peroleh dengan
sebaik-baiknya.
Dalam Undang-Undang Islam yang berkaitan dengan harta, terdapat tiga jenis
peguasaan tanah yaitu:42
a. Penguasaan tanah hak milik pribadi yang didasarkan dan ditentukan oleh ketentuan syariah.
b. Penguasaan tanah wakaf, di mana ketentuannya juga diatur oleh syari’ah. c. Tanah milik Negara, yang banyak diatur oleh pemerintah setempat.
8. Rukun Wakaf
1. Ada orang yang berwakaf(wakif)
2. Ada sesuatu benda atau harta yang diwakafkan(maukuf)
42
3. Ada tujuan atau tempat ke mana harta itu diwakafkan(maukuf ‘alaih)
4. Ada pernyataan(sighat), sebagai pernyataan kehendak dari wakif.43
Keempat rukun wakaf di atas masing-masing harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
1. Tabarru’, wakif harus mampu melepaskan hak miliknya tanpa adanya suatu
imbalan material. Seseorang dikatakan tabarru’ apabila ia telah baligh, dapat
berfikir normal dan tidak ada paksaan.
2. Harta yang diwakafkan mempunyai nilai dan dapat tahan lama dalam
penggunaannya.
3. Tujuan wakaf tidak bertentangan dengan agama.
4. Adanya sighat atau ikrar (pernyataan) mewakafkan sesuatu, boleh secara
lisan, tulisan maupun isyarat.
9). PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf)
Bahwa yang dapat bertindak sebagai PPAIW ialah Kepala KUA Kecamatan
kecuali tidak ada maka Kepala Kantor Kementrian Agama menunjuk kepala KUA
Kecamatan lain yang terdekat, atau jika di daerah Tingkat II itu belum ada KUA
Kecamatan menunjuk Kepala Seksi Agama pada Kemenag Kota/Kabupaten sebagai
PPAIW di daerah tersebut. Pengangkatan dan pemberhentian PPAIW oleh Menteri
Agama.
43
B. Wakaf Berdasarkan Peraturan-Peraturan Hukum Agraria
1. Filosofis Dan Prinsip UUPA No. 5 Tahun 1960 (Undang-Undang Hukum Agraria).
a. Filosofis UUPA Nomor 5 Tahun 1960.
Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk
kelangsungan hidup umat manusia, hubungan manusia dengan tanah bukan hanya
sekedar tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah memberikan sumber daya
bagikelangsungan hidup umat manusia.
Bagi bangsa Indonesia tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan kekayaan nasional, serta hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah
bersifat abadi, oleh karena itu harus dikelola secara cermat pada masa
sekarangmaupun untuk masa yang akan datang.
Menurut Abdurrahman, tanah dapat dinilai sebagai harta yang bersifat
permanen karena tanah dapat dicadangkan untuk kehidupan mendatang, dan
tanahpula sebagai tempat persemayaman terakhir bagi seseorang meninggal dunia.44 Masalah tanah adalah masalah yang menyangkut hak rakyat yang paling
dasar. Tanah disamping mempunyai nilaiekonomis juga berfungsi sosial, oleh karena
itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut dikorbankan guna kepentingan umum.
Ini dilakukan dengan pelepasan hak atas tanah denganmendapat ganti rugi yang tidak
berupa uang semata akan tetapi juga berbentuk tanah atau fasilitas lain.
44Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Agraria Dalam Pembangunan di Indonesia,
Secara filosofis tanah sejak awalnya tidak diberikan kepada perorangan. Jadi
tidak benar seorang yang menjualtanah berarti menjual miliknya, yang benar dia
hanya menjual jasa memelihara dan menjaga tanah selama itu dikuasainya.45
Hal tersebut adalah benar apabila dikaji lebih dalambahwa tanah di samping
mempunyai nilai ekonomis, juga mempunyai nilai sosial yang berarti hak atas tanah
tidak mutlak.Namun demikian negara harus menjamin dan menghormati atas hak-hak
yang diberikan atas tanah kepada warga negaranya yang dijamin oleh
undang-undang.
Undang-undang yang mengatur masalah pertanahan telah disusun, yaitu UU
Nomor 5 Tahun 1960.Menurut Pasal 16 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria atau biasadisebut Undang-Undang Pokok Agraria yang
disingkat (UUPA)diatur tentang hak-hak atas tanah yang dapat diberikan
kepadawarga negaranya berupa yang paling utama Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, HakMembuka Tanah, Hak untuk Memungut
Hasil Hutan dan hak-haklain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang
akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53UUPA.46
Hukum agraria (Belanda = agrarisch recht, Inggris = agrarian law) adalah ketentuan-ketentuan keseluruhan dari hukum perdata, hukum tata Negara dan hukum administrasi (Hukum Tata Usaha Negara) yang mengatur hubungan-hubungan antara
45
Soedharyo Soimin,Status Hak dan Pembebasan Tanah, (Jakarta : Sinar Grafika, 1993), hal. 82 46
orang (termasuk badan hukum) dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah Negara dan mengatur pula wewenang-wewenangnya.47
Hukum agraria nasional pada hakekatnya lahir sejak Undang-Undang Pokok
Agraria (UU No. 5/1960) diberlakukan di Indonesia. Tanggal 24 September 1960
ditetapkan dan diberlakukanlah di seluruh wilayah Indonesia Undang-Undang No. 5
Tahun 1960 yaitu Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Nama Undang No. 5 tahun 1960 itu lebih popular dengan sebutan
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang kemudian istilah itu dipakai di dalam peraturan
pelaksanaannya seperti Peraturan Menteri Agraria Tahun 1960 tentang pelaksanaan
beberapa ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria. Kandungan pengertian kata
“pokok” pada UUPA itu sangat dalam.
Adapun filosofi dibentuknya UUPA yaitu :
1. UUPA dalam Negara Republik Indonesia (RI) yang kehidupan rakyatnya termasuk perekonomiannya masih bercorak agraria (bumi, air, ruang angkasa) sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur.
2. Hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi pemerintah jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional dan pembangunan semesta.
3. Hukum agraria yang mempunyai sifat dualism yaitu masih berlakunya ketentuan-ketentuan hukum adat di samping ketentuan-ketentuan KUH Perdata.
4. Bagi rakyat asli hukum agraria pada zaman penjajahan tidak menjamin adanya suatu kepatian hukum.48
47Tampil Anshari Siregar,
Undang-Undang Pokok Agraria dalam Bagan,(Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 2001), hal. 1-2.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka perlu ada Hukum Agraria Nasional
yang berdasarkan pada hukum adat yang dapat memberikan adanya suatu kepastian
hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang
bersandarkan pada sendi hukum agraria.
Pernyataan ini memperjelas dengan dikembalikannya marwah hukum adat
dan hak ulyat Indonesia dan penyesuaisan pada perkembangan kemajuan
perekonomian dan lalu lintas perdagangan.Hukum adat harus dapat menjawab
tantangan hukum modern dengan dikembangkannya ketentuan pasal 3 UUPA
(tentang hak ulyat) dan pasal 5 UUPA (tentang pengertian hukum adat nasional versi
UUPA).49
Beberapa pendapat menyebutkan bahwa:50
a. Berhubungan dengan apa yang tersebut di atas perlu adanya hukum Agraria Nasional yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama.
b. Hukum Agraria Nasional harus memberikan kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud di atas harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria.
c. Hukum Agraria Nasional harus mewujudkan penjelmaan dari Ketuhanan Yang Maha Esa, Prikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan keadilan sosial sebagai dasar kerohanian Negara dan cita-cita bangsa seperti yang tercantum di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
d. Hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 ketentuan dalam pasal 33 UUD 1945 dan manifesto politik Republik Indonesia sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960.
49Prof. Dr. A. P. Parlindungan, SH,
Hukum Agraria Beberapa Pemikiran dan Gagasan, (Medan: USU Press, 1998), hal. 63.
e. Berhubung dengan segala sesuatu itu perlu diletakkan sendi-sendi dan disusun ketentuan-ketentuan pokok baru dalam bentuk undang-undang yang akan merupakan dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional tersebut di atas.
Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengakuan
bumi, air, dan ruang angkasa dari seluruh rakyat Indonesia merupakan karunia dari
Tuhan Yang Maha Esa, pengakuan tersebut tercantum di dalam sila pertama dari
Pancasila, sehingga kita mengaku bahwa semua ini adalah merupakan pemberian
Tuhan Yang Maha Esa.
Hukum agraria harus memberikan jaminan hukum dan perlindungan di dalam
pelaksanaannya serta tidak mengabaikan unsur-unsur agama di dalamnya, dan hukum
agraria merupakan penjelmaan dari sila-sila Pancasila.
b. Prinsip UUPA
Undang-undang pokok agraria nomor 5 tahun 1960 menganut beberapa
prinsip yang terkandung di dalamnya yaitu:
1. Prinsip Kesatuan Hukum Agraria untuk Seluruh Wilayah Tanah Air.
Bahwa Negara kita telah merupakan Negara kesatuan yang tediri dari
beberapa pulau, dan tidak ada ketentuan hukum pertanahan yang mengatur selain dari
ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Oleh sebab itu pada
masa pemerintah Hindia Belanda Indonesia dibagi menjadi beberapa wilayah yang
mempunyai kekuasaan sendiri atau kalau dilihat versi Van Vallen Hoven yang
membagi 19 daerah persekutuan hukum adat di mana agar memudahkan pemerintah
Hindia untuk mengatur dan menguras hasil bumi Indonesia, namun setelah
kewilayahan yang disebut dengan wawasan Nusantara sehingga tidak mungkin lagi
adanya ketidak seragaman di dalam pelaksanaan hukum agraria.
2. Adanya Penghapusan Asas Domein Verklaring.
Bahwa Negara di dalam pelaksanaan hukum agraria tidak seperti pada masa
pemerintahan Belanda di mana seseorang yang tidak dapat membuktikan haknya,
maka tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara, Negara sangat
dominan sekali untuk menguasai tanah-tanah untuk kepentingan pemerintahan
Belanda, oleh karena itu pemerintah di dalam pelaksanaanhukum pertanahan
bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan bunyi pasal 33
ayat 3 UUD 1945.
3. Adanya Fungsi Sosial Hak atas Tanah.
Tanah tidaklah semena-mena untuk dipergunakan sesuka hati, oleh karena itu
di dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960, penggunaan tanah tidak demikian halnya
melainkan harus dapat bermanfaat bagi masyarakat serta kepentingan umum dengan
arti tidak dipegunakan untuk kepentingan pribadi, oleh karena itu jika pemerintah
akan melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum, maka apapun yang
menjadi hak kita harus dapat merelakan hak tersebut untuk diserahkan demi
kepentingan umum tersebut. Jadi di sini tidak ada kemutlakan atau keharusan untuk
menguasai tanah selama-lamanya.
4. Adanya Pengakuan Hukum Agraria dalam Hukum Adat.
Keanekaragaman suku dan adat istiadat yang sejak dulunya sudah ada di
tengah-tengah masyarakat, seperti pelaksanaan gadai sewa tanah, perjanjian bagi
hasil, dll, dengan berlakunya UUPA Nomor 5 Tahun 1960 maka keberadaan
undang-undang ini dapat memberikan jaminan akan kepastian hak itu sendiri.
5. Adanya Persamaan Hak Sesama Warga Negara Indonesia Antara Laki-Laki dan
Wanita.
Dalam ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria, semua warga Negara
Indonesia berhak untuk memperoleh atau memiliki tanah di seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia (prinsip nasionalitas) misalnya suku batak dapat memiliki tanah
di daerah Papua ataupun di daerah Maluku, dan sebagainya. Jadi dengan demikian
tidak ada pembatasan menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria seseorang
untuk memiliki tanah-tanah di Indonesia.
6. Pelaksanaan Landreform Antara Hubungan Manusia dengan Tanah (Bumi, Air
dan Ruang Angkasa).
Landreform adalah menata kembali system pertanahan mengenai penguasaan,
penggunaan, persediaan, peruntukan serta peralihan mengenai bumi, air, dan ruang
angkasa, yang semuanya ini bertujuan agar lebih tertata system pertanahan serta
meningkatkan produktivitas tanah/lahan dengan memperhatikan kehidupan para
petani yang tidak mempunyai tanah. Dengan telah tertatanya system pertanahan tidak
dijumpai lagi adanya tanah-tanah yang tidak bermanfaat baik untuk kepentingan
pemerintah maupun kepentingan masyarakat.
7. Adanya Suatu Rencana Umum (Pasal 14 UUPA) tentang Persediaan, Peruntukan
Agar pelaksanaan pembangunan tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak
tertentu, maka semuanya perlu ada perencanaan yang matang baik itu mengenai
persediaan (reserve), peruntukan (use) serta perencanaan (planning) mengenai bumi,
air, dan ruang angkasa, sehingga apa yang telah menjadi program pemerintah dapat
berjalan dengan baik serta lebih terkoordinasi.
8. Prinsip Nasionalitas.
Hal ini memperjelas lagi bahwa sejak mulai berlakunya UUPA Nomor 5
Tahun 1960 tidak dimungkinkan warga Negara asing untuk memperoleh hak atau
tanah di Indonesia, namun demikian tidak tertutup bagi warga Negara asing, apabila
tujuan perolehan hak tersebut untuk kepentingan atau keperluan bangsa dan Negara
sehingga warga Negara asing dapat untuk memperoleh hak atas tanah di Indonesia,
yaitu hak-hak atas tanah tertentu seperti hak pakai, hak sewa, serta hak guna usaha,
sedangkan mengenai hak guna usaha ini warga Negara asing tersebut harus
berpenduduk di Indonesia, berbentuk badan hukum Indonesia serta dapat
memberikan devisa bagi Negara atau dapat menunjang perekonomian bangsa.51 2. Pengaturan Perwakafan Tanah dalam UUPA.
Dalam kehidupan, tanah mempunyai peran yang amat penting, baik sebagai
tempat tinggal, tempat kegiatan perkantoran, tempat usaha, tempat kegiatan
pendidikan, peribadatan dan lain sebagainya. Tanah untuk keperluan
kegiatan-kegiatan di atas dapat diperoleh selain dengan cara jual-beli, tukar-menukar, hibah,
wasiat, pinjaman dan dapat juga diperoleh melalui jalan wakaf.
51
Dengan perkembangan kehidupan masyarakat di Indonesia yang berkembang
begitu pesat maka modal yang paling utama adalah tanah, yang mengakibatkan
kedudukan tanah menjadi sangat penting.Hal tersebut memunculkan berbagai
perbedaan kepentingan antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat banyak.52 Sehubungan hal diatas, maka masalah tanah ini diatur dalam HukumAgraria
Nasional, yang tertuang dalam UUPA dan ditindaklanjuti oleh berbagaiPeraturan
perundang-undangan yang lainnya. Dalam salah satu konsiderannyadisebutkan:
Bahwa berhubung dengan apa yang disebut dalam
pertimbangan-pertimbangandiatas perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yangberdasar atas
Hukum Adat tentang tanah yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi
seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar
pada Hukum Agama.
Salah satu hal yang bersandar pada Hukum Agama yang menyangkut tanah
ini adalah perwakafan tanah.53 Wakaf tanah adalah merupakan salah satu bentuk ibadah di dalam Islamyang sangat erat hubungannya dengan keagrariaan, yakni yang
menyangkutmasalah bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandungdidalamnya. Oleh karena itu masalah wakaf ini selain terikat dengan
aturanHukum Islam juga terikat dengan aturan Hukum Agraria Nasional.
Karenabegitu pentingnya masalah tanah wakaf ini dimata Hukum Agraria Nasional
yang menganut paham bahwa bumi merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
52H.Taufiq Hamami,
Perwakafan Tanah Dalam Politik Hukum Agraria Nasional, (Jakarta, PT. Tata Nusa, 2003), hal. 8-9
mempunyai fungsi sosial,54 maka masalah tanah wakaf dan perwakafan tanah didudukkan secara khusus. Keberadaannya oleh Negara diakui dan harus dilindungi.
Pada Pasal 49 ayat 1 UUPA menyatakan,“Hak Milik Tanah Badan-badan
Keagamaan dan sosial, diakui dandilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula
akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang
keagamaan dan sosial”
Untuk perwakafan tanah, karena kekhususannya di mata Hukum Agraria
Nasional, maka kedudukan dan praktek pelaksanaannya diatur dengan peraturan
perundang-undangan tersendiri sebagaimana ditentukan pada Pasal 49 ayat 3 UUPA,
yang berbunyi :
“Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan
PeraturanPemerintah”
Ketentuan ini menegaskan bahwa soal pertanahan (keagrariaan) yang
bersangkutan dengan peribadatan dan keperluan suci lainnya, yang salah satunya
adalah masalah perwakafan tanah, di dalam sistem Hukum Agraria Nasional
mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Realisasi dari kehendak Pasal 49
khususnya ayat (3) sebagai wujud perlindungan dan perhatian Hukum Agraria
Nasional terhadap perwakafan tanah adalah dengan diundangkannya peraturan
perundang-undangan sebagai berikut :
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1977,tentang
Perwakafan Tanah Milik, Lembaran Negara No. 38 danTambahan Lembaran
Negara No. 2555.
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang Tata
Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik.
3. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun1977
tentang Perwakafan Tanah Milik.
4. Peraturan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor KEP/D/75/78 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Perwakafan Tanah Milik.
5. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi HukumIslam.
6. Dan peraturan perundangan yang lainnya.
3. Ruang Lingkup Pengaturan Perwakafan Tanah dalam Hukum Agraria Nasional.
Pengalihan hak menurut Hukum Agraria Nasional, selain dapat dilakukan
melalui cara dengan jual beli, tukar menukar, hibah, wasiat, warisan dan wakaf.
Pengalihan hak melalui wakaf ini bersifat kekal, abadi dan untuk
selama-lamanya,yang berarti bahwa suatu tanah Hak Milik yang telah dialihkan haknya
kepada pihak lain dalam hal ini masyarakat baik individu maupun badan hukum
dengan cara wakaf, berakibat tanah tersebut terlembagakan untuk selama-lamanya
dan tidak dapat dialihkan haknya kepada pihak lain lagi, baik melaluicara jual beli,
Sehubungan dengan sifat kekekalan dan keabadian dari sifat wakaf,
makaselain tanah yang diwakafkan harus berstatus Hak Milik, juga harus untuk
kepentingan orang banyak/masyarakat. Ketentuan ini selain maslahat dan manfaatnya
jauh lebih besar dan lebih banyak dapat dinikmati oleh masyarakat,juga sesuai
dengan maksud dari fungsi sosial atas suatu hak atas tanah yang dianut oleh Hukum
Agraria Nasional. Untuk itulah, maka yang diatur dalam UUPA pasal 49 ayat 3 jo. PP
No 28 Tahun 1977 jo. PerMendagri No 6 Tahun1977 jo. PerMenAg No. 1 Tahun
1978, hanyalah masalah perwakafan tanah milik yang kepentingannya tidak lain
untuk kepentingan umum ataukepentingan peribadatan lainnya.55Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup pengaturan
perwakafan tanah mencakup hal-hal sebagai berikut :
a. Tanah yang dapat diwakafkan adalah tanah yang berstatus Hak Milik,karena ia
mempunyai sifat terkuat dan terpenuh bagi pemilik tanahtersebut, sehingga
pemilik tanah tidak terikat dengan tenggang waktu danpersyaratan tertentu
dengan kepemilikan dan penggunaannya.
b. Tanah wakaf terlembagakan untuk selamanya dalam waktu yang kekal
danabadi. Tidak ada wakaf yang bertenggang waktu tertentu.
c. Perwakafan tanah harus diperuntukan untuk kepentingan umum (masyarakat
banyak), bukan untuk kepentingan pribadi, karena akanmendatangkan
manfaat dan mashlahat bagi banyak orang.
55
d. Wakaf, memutuskan hubungan kepemilikan antara waqif dengan
mauqufbih-nya dan selanjutmauqufbih-nya status kepemilikanmauqufbih-nya menjadi milik Allah (masyarakat
luas).
e. Hubungan hak antara waqif dengan mauquf bih-nya hanyalah hak pahalaatas
manfaat dari sesuatu yang dihasilkan.
f. Waqiftidak bisa menarik kembali terhadap tanah yang telah diwakafkan.
g. Pengikrarannya harus dilakukan dihadapan PPAIW, guna mendapatkan akta
autentik yang akan dapat dipergunakan dalam berbagai hal, sepertiuntuk
mendaftarkan tanahnya kepada Kantor Pertanahan setempat,ataupun sengketa
yang bisa saja terjadi di kemudian hari.
h. Hal-hal yang diatur oleh Hukum Agraria Nasional mengenai perwakafantanah
ini adalah :56
1. Tata cara pelaksanaannya, pengelolaannya, bimbingan dan pengawasannya, yang merupakan kewenangan dan tugas dari Departemen Agama.
2. Tata cara pemberian hak, mendapatkan kepastian hak atas tanah dan lain-lain, yang merupakan wewenang Badan Pertanahan Nasional.
3. Tata cara penyelesaian perselisihan, baik yang menyangkut perbuatan hukum, perubahan status maupun penggunaannya, merupakan wewenang lembaga Peradilan, yang dalam hal ini adalah Pengadilan Agama.
Sebagaimana hasil penelitian melalui wawancara dengan beberapa orang
wakif yang telah mewakafkan hartanya mengenai pemahaman masyarakat saat ini
dalam hal perwakafan yaitu adanya kebiasaan masyarakat yang ingin mewakafkan
sebagian hartanya dengan mempercayakan penuh kepada seseorang yang di anggap
tokoh dalam masyarakat sekitar, seperti kyai, ulama, ustadz, dan lain-lain untuk
mengelolah harta wakaf sebagai nazhir. Orang yang ingin mawakafkan harta (wakif)
tidak tahu persis kemampuan yang dimiliki oleh nazhir tersebut.Dalam kenyataan,
banyak para nazhir wakaf tersebut tidak mempunyai kemampuan manajerial dalam
pengelolahan tanah atau bangunan sehingga harta wakaf tidak banyak manfaat bagi
masyarakat sekitar.
Keyakinan yang mendarah-daging bahwa wakaf harus diserahkan kepada
seorang ulama, kyai atau lainnya, sementara orang yang diserahi belum tentu mampu
mengurus merupakan kendala yang cukup serius dalam rangka memberdayakan harta
wakaf secara produktif di kemudian hari.
Disamping karena kurangnya aspek pemahaman yang utuh terhadap wakaf
dalam Islam, umat Islam (khususnya di Percut Sei Tuan)belum menyadari betul akan
pentingnya wakaf dalam kehidupan dan kesejahteraan masyarakat banyak, kepedulian
terhadap pengembangan wakaf yang sejatinya memiliki peran yang cukup signifikan
dalam kehidupan masyarakat belum dirasakan benar. Ada beberapa lembaga
kenaziran dan lembaga sosial lainnya yang mencoba mengembangkan wakaf secara
produktif, namun nampaknya masyarakat banyak belum tersentuh secara mendasar,
bahkan banyak di antara masyarakat yang merasa pesimistik karena melihat
pengalaman-pengalaman sebelumnya. Harus diakui, pola dan sistem yang digunakan
oleh para pengelola wakaf selama ini memang sangat tradisional dan monoton,
sehingga di alam pikiran masyarakat umum sudah terbentuk image bahwa wakaf itu
masjid, musholla, kuburan dan lain-lain. Kurangnya kepedulian masyarakat terhadap
wakaf di pengaruhi oleh beberapa faktor :
1. Adanya pemahaman yang sempit bahwa wakaf selama ini hanya berupa benda
tak bergerak, khususnya tanah milik, sementara kepemilikan tanah sudah
semakin menyempit, khususnya di daerah perkotaan.
2. Masyarakat menilai bahwa pengelolahan wakaf selama ini tidak profesional dan
amanah (dapat dipercaya). Akibatnya, harta wakaf justru lebih banyak
membebani masyarakat, bahkan yang membuat prihatin masyarakat, bahwa
pemeliharaan dan pembinaan harta wakaf di ambilkan dari dana-dana sumbangan
yang sering dilakukan justru bisa merusak citra Islam secara umum, seperti di bis
kota, kereta api, jalan raya, pasar dan rumah ke rumah. Kondisi inilah salah
satunya , yang kemudian menyebabkan masyarakat semakin malas memikirkan
tentang wakaf.
3. Belum adanya jaminan hukum yang kuat bagi pihak-pihak yang terikat dengan
wakaf, baik yang berkaitan dengan status harta wakaf, pola pengelolaan,
pemberdayaan dan pembinaan secara transparan seperti nazhir dan wakif,
sehingga banyak masyarakat yang kurang meyakini untuk berwakaf.
4. Belum adanya kemauan yang kuat dan serentak dari pihak nazhir wakaf dan
membuktikannya dengan kongkrit bahwa wakaf itu sangat penting bagi
5. Kurangnya tingkat sosialisasi dari beberapa lembaga yang peduli terhadap
pemberdayaan ekonomi (khususnya lembaga wakaf) karena minimnya anggaran
yang ada.
6. Minimnya tingkat kajian dan pengembangan wakaf pada level wacana di
Perguruan Tinggi Islam, sehingga sedikit pula referensi-referensi pengembangan
wakaf yang sesuai dengan standar manajemen modern. Buku-buku yang ada
paling-paling kita temukan kitab-kitab fiqih yang menjelaskan wakaf dalam
tinjauan Syariah (normatif) bukan inovatif.
Dari pemahaman masyarakat Percut Sei Tuan mengenai perwakafan baik
secara hukum Islam maupun peraturan hukum agrarian, maka dapat dijelaskan bahwa
wakaf sudah demikian melembaga namun permasalahan yang ditimbulkannya tidak
kurang untuk menuntut perhatian, penanganan dan peraturan yang lebih serius dan
komprehensif dari berbagai pihak terlebih-lebih instansi pemerintah yang terkait di
bidang tugas itu.
Lebih khusus lagi, wakaf tanah yang meliputi berbagai dimensi, pengaturan
dan penanganan yang diterapkan seyogianya harus dapat merangsang umat Islam
untuk lebih meningkatkan wakafnya baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya di
dalam rangkaian upaya mengejar kehidupan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan pancasila yang diridhoi Allah SWT.
Dalam kaitan ini sangat mendesak untuk dimasyarakatkan segala peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam perwakafan tanah.Di samping segala aturan
peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum nasionalpun harus dipenuhi.Ini
merupakan konsekuensi dari Negara Republik Indonesia sebagai suatu Negara hukum
dengan dasar Negara Pancasila di dalam rangkaian upaya menciptakan kepastian
hukum dari perwakafan tanah dimaksud.57 Dari ketentuan itu dapat dilihat:
1. Wakaf.
Wakaf adalah Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selama-lamanya dan untuk kepentingan peribadatan
atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
2. Ada orang yang berwakaf (wakif)
Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya yang dapat
mewakafkan tanah yang disebut Wakif, yaitu orang-orang ataupun badan
hukum yang mewakafkan tanah miliknya.Namun oleh UU No. 41/2004 telah
dikembangkan, selain orang atau badan hukum juga organisasi dapat menjadi
wakif (dalam UUPA, organisasi termasuk sebagai badan hukum). Dalam hal
ini tidak semua orang atau badan hukum dapat sebagai wakif tetapi harus
sebagai pemilik tanah atau tegasnya sebagai pemegang hak atas tanah yang
akan diwakafkan.
Wakif juga harus memenuhi syarat-syarat khusus seperti : 1) dewasa, 2) sehat
akalnya, 3) tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, 4) atas
57
kehendak sendiri tanpa paksaan dari pihak lain, 5) dalam hal badan hukum
atau organisasi maka yang bertindak atas namanya adalah pengurusnya yang
sah menurut hukum (pasal 3 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor
28/1977).
3. Ada sesuatu benda atau harta yang diwakafkan (maukuf).
Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama atau
manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang
diwakafkan oleh wakif. Secara umum, benda yang dapat diwakafkan adalah :
1). Benda tidak bergerak berupa hak atas tanah yang sudah maupun yang
belum terdaftar, bangunan atau bagian bangunan, tanaman dan benda lain,
hak milik atas satuan rumah susun dan benda tak bergerak lainnya sesuai
dengan ktentuan syariah dan peraturan perundang-undangan.
2). Benda bergerak yang tidak bisa habis karena dikonsumsi seperti uang,
logam mulia, surat berharga, kenderaan, hak atas kekayaanintelektual,
hak sewa dan benda bergerak lain sesuai ketentaun syari’ah dan peraturan
perundang-undangan seperti mushaf, buku dan kitab (pasal 16 UU No.
41/2004).
Benda wakaf yang dijadikan penelitian adalah wakaf tanah di mana
instansi yang berwenang atasnya adalah Badan Pertahanan Nasional.Adapun
tanah yang diwakafkan adalah tanah milik yang meliputi pengertian tanah
4. Ada tujuan atau tempat ke mana harta itu diwakafkan (maukuf
‘alaih)/peruntukan.
Secara umum benda wakaf diperuntukkan bagi sarana dan kegiatan
ibadah, sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan, bantuan kepada fakir
miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa, kemajuan dan peningkatan
ekonomi umat dan kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak
bertentangan dengan syari’ah dan peraturan perundang-undangan (pasal 22
UU Nomor 41/2004).
Wakaf tanah yang dipergunakan selama-lamanya untuk kepentingan
peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam
berlaku atas tanah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan di atas tanah
Negara, hak pakai di atas tanah Negara, sementara penggunaannya untuk
jangka waktu tertentu berlaku atas hak guna bangunan dan hak pakai di atas
tanah hak pengelolaan atau hak milik yang tetap terkait kepada izin tertulis
dari pemegang hak pengelolaan atau hak milik tersebut.
Pada azasnya tanah yang sudah diwakafkan tidak dapat diubah
peruntukannya, tentu bersesuaian dengan kehendak wakif. Tetapi jika
dikaitkan dengan perkembangan bangunan dewasa ini bisa saja terjadi tanah
sebagai wakaf seseorang yang sudah dimanfaatkan sebagaimana keinginan
wakif harus digusur demi kepentingan umum yang lebih besar di bidang
lainnya; atau karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti yang telah
Kemudian, jika wakif tidak menetapkan peruntukan wakafnya nadzir
dapat menetapkan peruntukannya asal sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf
berdasarkan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan (pasal 23
UU 41/2004).
5. Akibat Hukumnya
Jika seseorang telah mewakafkan tanah hak milikya maka dengan sendirinya
berakhirlah hak dan kewajiban si wakif terhadap tanah tersebut.Hak itu
beralih kepada nadzir (pengurus dan pemelihara wakaf). Menurut UU No.
41/2004 benda yang telah diwakafkan itu dilarang dijadikan jaminan, disita,
dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk
pengalihan hak lainnya (pasal 40) dengan kata lain tanah yang telah
diwakafkan itu tidak lagi mempunyai right of disposal dan harus dikeluarkan
dari peredaran lalu lintas perdagangan.
6. Pengurus dan Pemelihara (Nadzir).
Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk
dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.Nadzir sebagai
penerima, pengurus dan pemelihara tanah yang diwakafkan mencakup
kewajiban mengadministrasikan, mengelola, mengembangkan, mengawasi
dan melindungi harta benda wakaf. Jika perseorangan terdiri dari
sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, salah seorang di antaranya sebagai ketua, ataupun
badan hukum, harus didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan
Jika terdiri dari perseorangan harus memenuhi syarat-syarat berikut: 1)
warga Negara Indonesia, 2) beragama Islam, 3) sudah dewasa, 4) sehat
jasmani dan rohani, 5) tidak berada di bawah pengampuan, 6) bertempat
tinggal di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan. Sedangkan
nadzir yang berbentuk badan hukum syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah:
1) badan hukum Indonesia, 2) mempunyai perwakilan di kecamatan tempat
letaknya tanah yang diwakafkan (pasal 6 PP No. 28/1977).
Di samping syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh nadzir, kepada nadzir
diberikan hak dan kewajiban sebagai berikut. 1) mengurus dan mengawasi
kekayaan wakaf serta hasilnya sesuai dengan tujuannya. 2) melaporkan secara
berkala hal-hal yang disebut pada no. 1 di atas kepada kepala KUA setiap
setahun sekali, melaporkan tanah milik yang diwakafkan dan perubahannya ke
Kepala Kantor Kementerian Agama (Kakemenag) melalui kepala KUA untuk
mendapat persetujuan tertulis dari menteri agama (lihat kewenangannya telah
dilimpahkan ke Badan Wakaf Nasional berdasarkan UU No. 41/2004). 3)
melaporkan nadzir yang berhenti dari jabatannya dan mengusulkan
penggantinya kepada Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk
disahkan.
7. Prosedur
Prosedur yang harus dilakukan dalam perwakafan tanah sebagai berikut:
1) Seseorang yang telah memenuhi segala persyaratan untuk dapat sebagai
untuk dijadikan wakaf diharuskan : a) datang di hadapan PPAIW, b)
menyampaikan maksud untuk mewakafkan tanah miliknya kepada PPAIW,
c) membawa dan menyerahkan kepada PPAIW sertifikat hak milik atau
tanda bukti hak lainnya.
PPAIW meneliti kebenaran surat yang diserahkan, menanyakan maksud/kehendak calon wakif serta persyaratan yang harus dipenuhi calon wakif dan tanah yang akan diwakafkan guna dilaksanakan ikrar wakaf dengan mempergunakan formulir baku yang telah tersedia. Adapun contoh ikrar wakaf adalah sebagai berikut:
“BISMILLAHIRROHMANIRROHIM. pada hari ini, tanggal 27 Jumadal Ula 1431 H bertepatan dengan tanggal 12 Mei 2012 M. saya nama djaenah mewakafkan sebidang tanah dengan luas + 200 m2 nomor sertifikat hak milik 1117 yang terletak di kelurahan Kenangan untuk keperluan tempat ibadah musholla kepada nadzir kelompok kelurahan Kenangan (bendahara nadzir mochamad zainuri) untuk dimanfaatkan dan dipergunakan sebagaimana mestinya. demikian semoga Allah SWT memberikan ridho dan berkahnya kepada kita sekalian.”
2) Pada pelaksanaan ikrar wakaf, nadzir dan dua orang saksi harus hadir dan
menandatangani ikrar wakaf dan akta ikrar wakaf tersebut.
3) Kepala KUA/PPAIW setelah menandatangani ikrar wakaf dan akta ikrar
wakaf atas nama nadzir diharuskan untuk mengajukan permohonan ke
Kantor Pertanahan untuk mendaftarkan perwakafan tanah milik tersebut
sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1977
(dahulu Peraturan Pemerintah Nomor 10/1961).
4) Kantor Pertanahan setelah menerima permohonan mencatat perwakafan
memiliki sertifikat hak milik dan bagi tanah-tanah yang belum bersertifikat
hak milik diproses terlebih dahulu sampai selesai penerbitan sertifikat hak
miliknya baru dilakukan pencatatan pada buku tanah dan sertifikatnya itu.
5) Setelah pencatatan pada buku tanah dan sertifikatnya, nadzhir setelah
menerima wakaf tersebut harus melaporkannya kepada Kepala KUA
setempat.
Adapun unsur-unsur wakaf yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1977 adalah sebagai berikut :
1. Wakif dan Ikrarnya.
Adalah seseorang yang dengan tanggung jawab dan dengan sengaja
menyerahkan hartanya untuk wakaf. Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif,
untuk mewakafkan tanah hak miliknya. Menurut Pasal 1 Ayat (2) disebutkan bahwa
yang bisa menjadi wakif adalah :
1) Perseorangan
2) Sekelompok atau beberapa orang
3) Badan Hukum
Dengan syarat :
1) Dewasa
2) Sehat akalnya
3) Tidak terhalang oleh hukum untuk melakukan suatu perbuatan hukum.
Ikrar wakaf ini dilaksanakan didepan PPAIW dan diharuskan dalam bentuk
1) Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang dihadapan
PPAIW untuk melaksanakan ikrar wakaf.
2) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri Agama.
3) Isi dan bentuk ikrar wakaf ditentukan oleh Menteri Agama.
4) Pelaksanaan ikrar dan pembuatan akta ikrar wakaf dianggap sah jika
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 orang saksi.
5) Dalam melaksanakan ikrar pihak mewakaf tanah diharuskan membawa
serta dan menyerahkan pada PPAIW surat-surat :
a. Sertifikat hak milik atas tanah.
b. Surat keterangan Kepala Desa bahwa tanah tersebut bebas sengketa.
c. Surat keterangan pendaftaran tanah
d. Ijin Bupati atau Walikota
Keharusan dibuatnya sebuah akta ikrar wakaf dalam proses Perwakafan Tanah
Milik secara tertulis dapat dilihat dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Agama Nomor 1
Tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, yaitu:
1) Ikrar dilakukan secara tertulis.
2) Dalam hal wakif tidak dapat menghadap Pejabat Pembuat Akta
IkrarWakaf (PPAIW), maka wakif dapat membuat ikrar wakaf secara
tertulis dengan persetujuan dari Kakandepag yang kewenanganya
Akta ikrar wakaf tersebut harus dibuat secara tertulis rangkap 3 (tiga),
masing-masing untuk :
1) Lembar pertama disimpan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan.
2) Lembar kedua dilampirkan pada permohonan pendaftaran tanah wakaf
kepada Bupati atau Walikota serta Kepala Kantor Pertanahan setempat.
3) Lembar ketiga dikirim ke Pengadilan Agama setempat.
Selain itu juga akan dibuatkan salinan akta ikrar wakaf yang masing-masing
akan diberikan kepada wakif, Nadzir, kantor Departemen Agama Kabupaten atau
Kota dan Kepala desa yang mewilayahi tanah wakaf tersebut.
2. PPAIW ( Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf )
Sesuai dengan Pasal 5 Ayat 1 ditentukan bahwa pengucap Ikrar Wakaf harus
dilakukan di PPAIW. Semua Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan adalah
ditunjuk sebagai PPAIW, bila pada suatu kecamatan tidak ada KUA maka akan
ditunjuk Kepala Kantor Urusan Agama yang terdekat yang ditunjuk sebagai PPAIW.
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf mempunyai tugas :
1) Meneliti kehendak wakif, memeriksa kelengkapan surat-surat yang
dibutuhkan, khususnya tentang ada atau tidaknya hambatan si calon wakif
melepaskan hak milik atas tanahya.
2) Mengesahkan Nadzir, dengan didahului adanya penelitian tentang
syarat-syarat Nadzir.
4) Menyaksikan pelaksanaan ikrar wakaf dan menandatangani formulir ikrar
wakaf tersebut.
5) Membuat Akta Ikrar Wakaf rangkap 3 dan salinanya rangkap 4 dan
mendistribusikanya pada masing-masing yang seharusnya memperolehnya.
6) Mengajukan permohonan atas nama Nadzir yang bersangkutan kepada
Bupati/Walikota bersama Kepala Kantor Pertanahan setempat untuk
mendaftar Perwakafan Tanah Milik yang bersangkutan, selambat-lambatnya
dalam waktu 3 bulan sejak dibuatnya akta ikrar wakaf dengan dilampiri :
a. Sertifikat tanah yang bersangkutan.
b. Akta Ikrar Wakaf asli.
c. Surat pengesahan Nadzir.
Jika tanah yang hendak diwakafkan belum bersertifikat maka harus dilampiri :
a. Surat permohonan penegasan hak.
b. Surat-surat bukti pemilikan tanah
c. Akta Ikrar Wakaf asli
d. Surat pengesahan Nadzir58 3. Nadzir
Untuk menjamin bahwa tanah wakaf akan dapat berfungsi sebagaimana tujuan
wakaf, maka diperlukan seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yang
diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf. Nadzir juga merupakan
58A. Faisal Haq dan, A. Saiful Anam,Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, (Pasuruan:
satu element yang sangat penting untuk menjaga tanah wakaf agar alokasinya sesuai
dengan yang diinginkan.
Nadzir ada yang berbentuk kelompok, susunannya harus memenuhi syarat-syarat :
1) Sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang yang salah satunya menjadi ketua.
2) Dalam satu desa ditetapkan satu Nadzir.
3) Dalam satu Kecamatan, jumlahnya paling banyak adalah sama dengan jumlah
desa di Kecamatan tersebut.
4) WNI, Islam, sehat jasmani dan rohani, tidak dibawah pengampuan, tinggal di
kecamatan pada tanah yang diwakafkan.
Nadzir yang berbentuk Badan Hukum syaratnya :
1) Badan Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
2) Mempunyai perwakilan di Kecamatan dimana tanah tersebut diwakafkan.
3) Badan Hukum itu bertujuan untuk kepentingan peribadatan atau
keperluan umum sesuai dengan ajaran Islam.
Nadzir dalam pelaksanaan Perwakafan tanah mempunyai beberapa kewajiban,
adapun kewajiban Nadzir adalah sebagai berikut :
1) Menyimpan salinan Akta Ikrar Wakaf.
2) Memelihara dan memanfaatkan tanah wakaf sesuai dengan tujuan wakaf serta
berusaha menambah nilainya.
3) Menggunakan hasil-hasil wakaf sesuai dengan Ikrar Wakaf.
4) Mengadakan pembukuan tentang :
b. Catatan pengelolaan hasil wakaf.
c. Melaporkan hasil pencatatanya kepada KUA setiap tahunnya.
5) Melaporkan pada KUA Kecamatan apabila terjadi perubahan anggota Nadzir.
6) Mengajukan permohonan bila ada perubahan atas tanah wakaf baik statusnya
maupun bila tidak sesuai lagi dengan ikrar wakaf.
7) Melaporkan padaWalikota/ Bupati setempat serta Kepala Kantor Pertanahan
setempat, bila terjadi perubahan status maupun penggunaan tanah wakaf.
4. Obyek Benda Wakaf
Syarat-syarat Wakaf Hak Milik, yakni :
a. Merupakan tanah milik atau tanah hak milik yang bebas dari segala
pembelaan, ikatan, sitaan dan perkara.
b. Tanda bukti pemilikan harta benda/sertifikat hak milik.
c. Harta benda tidak bergerak, surat keterangan kepala desa yang diperkuat oleh
camat.
d. Surat keterangan pendaftaran tanah.
e. Izin dari walikota/ bupati kepala daerah C.q. Kepala sub. Direktorat Agraria
setempat.
Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung
terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti Tanah, dan Bangunan. Padahal,
menurut Undang-Undang Wakif dapat pula mewakafkan sebagian kekayaannya
berupa benda wakaf bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud yaitu :
b. logam mulia,
c. surat berharga,
d. kendaraan,
e. hak kekayaan intelektual,
f. hak sewa, dan
g. benda bergerak lainnya.
Sedangkan menurut Pasal 19 Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tentang
wakaf menyebutkan bahwa :
1).Harta benda wakaf terdiri dari :
a. Benda tidak bergerak; dan
b. Benda bergerak.
2).Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud meliputi :
a. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku baiksudah maupun yang belum terdaftar; yang
b. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah;
c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
d. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undanganberlaku; yang
e. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undanganberlaku.
3) Benda bergerak sebagaimana dimaksud adalah harta benda yang tidak bisa
a. Uang;
b. Logam mulia;
c. Surat berharga;
d. Kendaraan;
e. Hak atas kekayaan intelektual;
f. Hak sewa; dan
g. Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Dari ketentuan Pasal 4
disebutkan bahwa obyek Perwakafan adalah tanah dengan hak milik dimana tanah
tersebut dalam keadaan bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.
Menurut Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria dinyatakan bahwa hak
milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki seseorang
atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria.
Adapun fungsi dari wakaf adalah mengekalkan benda wakaf sesuai dengan tujuan
wakaf sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977. Benda wakaf itu harus dikelola dan dipelihara dengan baik dan bertanggung
jawab kepada wakif, masyarakat dan kepada Tuhan.
5. Fungsi Dan Tujuan Wakaf
Peruntukan benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana ibadah
dan sosial melainkan diarahkan pula untuk memajukan kesejahteraan umum dengan
memungkinkan pengelolaan benda wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan ekonomi
dalam arti luas sepanjang pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan
ekonomi syariah.
Tujuan dalam Pasal 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
2004, Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.
Fungsi wakaf dalam Pasal 5 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
2004, Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda
wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 mengatur mengenai
pembatasan peruntukan wakaf yakni dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi
wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi :
a. Sarana dan kegiatan ibadah;
b. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
c. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;
d. Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau
e. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan
syariah dan peraturan perundang-undangan.
6. Dasar Hukum Wakaf
Dasar hukum dalam melaksanakan proses perwakafan antara lain;
a. Undang-undangPokok Agraria (UUPA) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
b. PeraturanPemerintahn Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan tanah
milik.
c. Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang Tata cara
pendaftaran tanahmengenai perwakafan tanah milik.
d. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978.
e. Peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977.
f. Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 KHI Buku III.
g. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang yayasan.
h. Hukum adat dan aturan-aturan menurut hukum Islam sepanjang belum
diatur dalam aturan-aturan hukum tertulis.
i. Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf.
7. Pendaftaran Dan Pengumuman Harta Benda Wakaf
Pendaftaran dan Pengumuman Harta Benda Wakaf diatur dalam Pasal 32 s/d
38 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004, yakni sebagai
berikut:
1. PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada instansi
yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf
ditandatangani.
2. Dalam pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32,
PPAIW menyerahkan :
a. Salinan akta ikrar wakaf;
3. Instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf.
4. Bukti pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
disampaikan oleh PPAIW kepada Nazhir.
5. Dalam hal harta benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya, Nazhir
melalui PPAIW mendaftarkan kembali kepada Instansi yang berwenang dan
Badan Wakaf Indonesia atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah
peruntukannya itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara
pendaftaran harta benda wakaf.
6. Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengadministrasikan pendaftaran harta
benda wakaf.
7. Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengumumkan kepada masyarakat harta
benda wakaf yang telah terdaftar.
Tanah yang tidak ada bukti tertulis (Peraturan Dirjen Bimas Islam Nomor
Kep/D/75/78) :
1. Dibuatkan surat keterangan kepala desa yang menerangkan kebenaran
pemilikan tanah dan wakif.
2. Keterangan bebas dari sengketa.
3. Dilakukan konversi tanah tersebut menjadi hak milik.
4. Apabila wakifnya :
a. Apabila wakifnya telah meninggal maka berdasarkan kesaksian saksi
ikrar antar saksi,maka oleh PPAIW dibuatkan Akta Pengganti Akta ikrar
b. Apabila wakifnya masih hidup: maka oleh PPAIW dibuatkan Akta Ikrar
Wakaf
8. Tata cara pendaftaran tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik.
1. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tata cara pendaftaran
tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik secara global juga diatur didalam
BAB III Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, yaitu :
a. Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya (wakif) harus datang
menghadap Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk
melaksanakan ikrar wakaf.
b. Bila wakif tidak dapat datang menghadap Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf (PPAIW), maka wakif dapat membuat ikrar secara tertulis dengan
persetujuan dari kantor Departemen Agama setempat.
c. Pelaksanaan ikrar dan pembuatan akta ikrar wakaf harus dihadiri
sekurang-kurangnya 2 orang saksi yang memenuhi syarat-syarat : dewasa,
sehat akalnya dan tidak ada halangan baginya untuk melakukan perbuatan
hukum.
d. Dalam melaksanakan ikrar wakaf maka wakif diharuskan membawa serta
dan menyerahkan kepada Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW)
surat-surat sebagai berikut :
b) Surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Camat
setempat yang menerangkan kebenaran kepemilikan tanah dan tidak
tersangkut dalam suatu sengketa.
c) Surat keterangan pendaftaran tanah.
d) Ijin dari Walikota/ BupatiKepala daerah yang disetujui oleh Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten setempat.
e. Setelah melaksanakan ikrar wakaf, Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf (PPAIW) membuat akta ikrar wakaf rangkap 3 (tiga), yaitu :
1) Lembar pertama disimpan di Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan.
2) Lembar kedua dilampirkan pada permohonan pendaftaran tanah
wakaf kepada Bupati atau Walikota serta Kepala Kantor
Pertanahan setempat.
3) Lembar ketiga dikirim ke Pengadilan Agama setempat.
Sedangkan untuk salinan akta ikrar wakaf dibuat rangkap 4 (Empat), yang
akan diserahkan masing-masing kepada :
a) Salinan lembar pertama diserahkan pada Wakif.
b) Salinan lembar kedua diserahkan pada Nadzir.
c) Salinan lembar ketiga diserahkan pada Kantor Departemen Agama
setempat.
2. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 Dalam BAB
II yang mengatur tentang pendaftaran dan pencatatan Perwakafan tanah hak
milik. Adapun tanah yang diwakafkan harus merupakan tanah hak milik atau
tanah milik yang baikseluruhnya maupun sebagian bebas dari beban ikatan,
jaminan, sitaan dan sengketa, yang harus didaftarkan pada kantor Sub
Direktorat Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
Sebagaimana tercantum dalam pasal 20 ayat 1 UUPA pengertian hak milik
sebagai berikut:
Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipuunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.59 Menurut pasal 6 dari UUPA semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Terkuat dan
terpenuh di sini tidak berarti bahwa hak milik merupakan hak yang mutlak, tidak
terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Ini dimaksudkan untuk membedakan dengan
hak-hak atas tanah lainnya yang dimiliki oleh individu. Dengan lain perkataan, hak
milik yang merupakan hak yang paling kuat dan paling penuh di antara semua
hak-hak atas tanah lainnya. Sehingga si pemilik mempunyai hak-hak untuk menuntut kembali
di tangan siapapun benda itu berada.60
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) berkewajiban untuk mengajukan
permohonan pendaftaran kepada kantor Sub Direktorat Pertanahan Kabupaten/Kota
setempat, atas tanah-tanah yang telah dibuat akta ikrar wakaf. Untuk keperluan
59 Eddy Ruchiyat, SH,
Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, (Bandung: Alumni, 1999), hal. 45
pendaftaran Perwakafantanah hak milik, maka calon wakif menyerahkan surat-surat
kepada kantor Sub Direktorat Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, yang berupa :
a. Sertifikat tanah yang bersangkutan.
b. Akta ikrar wakaf yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
(PPAIW) setempat.
c. Surat pengesahan dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan setempat
mengenai Nadzir yang bersangkutan. Apabila tanah milik yang akan
diwakafkan tersebut belum terdaftar atau belum ada sertifikatnya, maka calon
wakif harus menyerahkan kepada kantor Sub Direktorat Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat, yang berupa :
1) Surat permohonan Konversi atau pengesahan haknya.
2) Surat-surat bukti pemilikan tanahnya serta surat-surat keterangan lainya
yang diperlukan sehubungan dengan permohonan konversi dan
pendaftaran hak atas tanah.
3) Akta ikrar wakaf yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
(PPAIW) setempat.
4) Surat pengesahan dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
setempat mengenai Nadzir yang bersangkutan. Setelah dilakukan
permohonan pendaftaran Perwakafan Tanah Milik, maka kepala kantor
Sub Direktorat Pertanahan Kabupaten/Kotasetempat, mencatat
Perwakafantanah hak milik yang bersangkutan pada buku tanah dan