• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS POLA KONSUMSI PETANI PADI BERBASIS AGROEKOSISTEM LAHAN SAWAH IRIGASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS POLA KONSUMSI PETANI PADI BERBASIS AGROEKOSISTEM LAHAN SAWAH IRIGASI"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POLA KONSUMSI PETANI PADI BERBASIS

AGROEKOSISTEM LAHAN SAWAH IRIGASI

Analysis of Consumption Pattern Farmer’s On

Agroecosystem-Based Irrigated Sawah Land

Sugiarto

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Libang Pertanian, Bogor

ABSTRACT

After the economic crisis, agriculltural sector has finally escaped from the low growth spiral trap with annual GDP growth rate at 1.83 percent, but the 21.1 million farmers who engaged in agricultural sector are poor and less wealthy people. This research aims to elaborate the rate of income, expenditures, and welfare level of households from several income sources at agroecosystem-based irrigated sawah land. Locations of this research are the 14 villages surveyed by the 2007 Patanas’ researchers with total household respondents of 350. The research showed that paddy farm is feasible as source of income, and the income is dominated by agricultural sector (74%) compared to income from non agricultural sector (26%). However, the farmer’s welfare is still low with farmer household’s trade value less than 1 (NTPRP = 0.96). This indicates inability of farmers to cope with their respective farm and consumption expenditures. Therefore, there is a need of new policy instruments to improve farmer’s income from agricultural and non agricultural sources. Specifically, improvement of crops price policy is required to maintain agricuktural sustainability and to support better business climate of non agricultural sector for employment opportunity and income gained from land assets and less amount of capital. Key words: expenditures, income and welfare, paddy farmers

ABSTRAK

Setelah masa krisis berlalu, sektor pertanian telah berhasil lepas dari perangkap spiral pertumbuhan rendah dengan laju pertumbuhan PDB 1,83 persen pertahun, namun permasalahannya sekitar 21,1 juta jiwa penduduk yang bekerja di sektor pertanian adalah penduduk miskin dan kurang sejahtera. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran besarnya tingkat pendapatan dari berbagai sumber matapencaharian, pengeluaran dan kesejahteraan bagi rumah tangga petani penggarap padi pada agroekosistem lahan sawah irigasi. Lokasi penelitian diambil 14 desa di daerah penelitian Panel Petani Nasional (Patanas) TA 2007, dengan jumlah responden 350 rumah tangga petani. Hasil penelitian menunjukan bahwa usahatani padi masih layak diusahakan, dan pendapatan rumah tangga petani lebih didominasi oleh pendapatan di sektor pertanian (74%) dibanding diluar sektor pertanian (26%). Sedangkan tingkat kesejahteraan petani masih rendah, dengan Nilai Tukar Rumah Tangga Petani < 1 (NTPRP = 0,96). Hal ini berarti bahwa kemampuan rumah tangga petani padi untuk mendanai total pengeluaran baik untuk biaya konsumsi dan biaya usaha masih rendah terhadap pendapatan yang mereka terima. Oleh karena itu diperlukan kebijakan untuk meningkatkan pendapatan melalui berbagai aspek yang menunjang peningkatan sektor pertanian dan nonpertanian. Disamping itu diperlukan kebijakan harga komoditas pertanian yang layak diterima petani dengan pengembangan usaha pertanian

(2)

yang berkelanjutan, serta didorong oleh iklim usaha di luar pertanian yang lebih kondusif, sehingga dapat diperoleh manfaat bagi rumah tangga petani sebagai penyedia tenaga kerja, aset lahan dan modal yang terbatas.

Kata kunci : pengeluaran, pendapatan dan kesejahteraan, petani padi

PENDAHULUAN

Kondisi sosial ekonomi masyarakat perdesaan dan pertanian telah mengalami perubahan-perubahan khusus setelah pemulihan ekonomi pasca krisis. Perubahan tersebut perlu diidentifikasi secara baik yang merupakan pengetahuan dan masukan bagi penentu kebijakan dalam menyusun program dan perencanaan. Oleh karena itu, perkembangan pembangunan pertanian telah memperlihatkan hasil yang ditunjukan oleh pertumbuhan tahunan Produk Domestik Bruto sektor pertanian dan peternakan mencapai 1,83 persen (2000-2003) dibanding pada periode krisis 0,88 persen (1998-1999) (Simatupang et al., 2004). Walaupun demikian peran kontribusi terhadap PDB sebelum dan sesudah masa krisis cenderung turun 16 persen (1995), dan meningkat 17,3 persen (1999) dan cenderung menurun hingga tahun 2003 menjadi 15,9 persen (BPS. 2004).

Kurang sebandingnya peran PDB dengan tingkat kemiskinan 36 juta jiwa, yang sebagian besar sekitar 21 juta jiwa atau 35 persen yang bekerja di sektor pertanian dan perdesaan. Rendahnya pendapatan yang diterima karena rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja sebagai akibat rendahya upah riil yang diterima. Disamping itu kurang berkembangnya kesempatan kerja dan rendahnya produktivitas kerja di sektor ekonomi perdesaan yang mengakibatkan mengalirnya tenaga kerja usia muda terdidik ke wilayah perkotaan (Spare and Haris, 1986; Manning 1992). Salah satu penyebab lambannya peningkatan produktivitas tenaga kerja adalah lambannya peningkatan upah riil buruh pertanian (Manning dan Jayasura,1996) atau mengalami stagnasi, sementara upah riil non tani mengalami penurunannya ( Erwidodo et al., 1993).

Diharapkan berkembangnya kesempatan kerja dan kesempatan berusaha di sektor luar pertanian merupakan alternatif kegiatan dan sumber pendapatan masyarakat perdesaan terutama bagi para petani berlahan sempit (small size land holding farmers) dan petani tanpa lahan (landless farmers). Akan tetapi pada kenyataannya, peran sektor pertanian masih cukup besar sebagai sumber pendapatan rumah tangga (Rusastra, 1998). Walaupun dalam hasil analisis Sensus Pertanian 1983-1993 terjadi penurunan usaha pertanian, seperti di pulau Jawa turun dari 47,8 persen menjadi 40,7 persen, luar jawa turun dari 61,7 persen menjadi 68,9 persen. Pada subsektor tanaman pangan (khususnya padi) mempunyai peran yang sangat besar dalam pendapatan rumah tangga dan kemudian diikuti dengan diversifikasi pendapatan dengan meningkatnya subsektor perkebunan dan peternakan, kehutanan maupun usaha nonpertanian.

Sementara itu, tingkat dan struktur pengeluaran rumah tangga juga terjadi perubahan dari waktu atau antar daerah satu dengan yang lainnya, selera, pendapatan dan lingkungan. Dan harus tersedia setiap saat dan bagimana

(3)

mendistribusikannya, agar tidak terguncang untuk memenuhi kebutuhan dibawah tingkat kesejahteraan. Pada dasarnya akses kebutuhan individu terhadap bahan pangan yang dibutuhkan tergantung dari daya beli, tingkat pendapatan , harga pangan, proses distribusi, kelembagaan tingkat lokal, maupun kondisi sosial lainnya.

Secara umum kebutuhan konsumsi/pengeluaran rumah tangga berupa kebutuhan pangan dan kebutuhan non pangan, dimana kebutuhan keduanya berbeda. Pada kondisi pendapatan yang terbatas, lebih dahulu mementingkan kebutuhan konsumsi pangan. Sehingga dapat dilihat pada kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah, sebagian besar pendapatan digunakan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Namun demikian seiring dengan pergeseran dan peningkatan pendapatan, proporsi pola pengeluaran untuk makan akan menurun dan meningkatnya pengeluaran untuk kebutuhan non pangan.

Seiring dengan kondisi tersebut akan terukur tingkat kesejahteraan masyarakat, apakah pendapatan rumah tangga yang diterima dari berbagai sumber matapencaharian mampu dibelanjakan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan atau kebutuhan pangan dan non pangan. Oleh karena itu dalam tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran besarnya tingkat pendapatan dari berbagai sumber matapencaharian dan pengeluaran dan kesejahteraan bagi rumah tangga petani penggarap padi di lahan sawah irigasi di desa penelitian Panel Petani Nasional (Patanas). Dan juga memberikan masukan bagi penentu kebijakan tentang masalah pendapatan, pengeluaran dan kesejahteraan petani di perdesaan

METODOLOGI PENELITIAN

Kajian ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian PATANAS (Panel Petani Nasional) TA 2007 di perdesaan berbasis agroekosistem lahan sawah Irigasi di 5 Provinsi yaitu Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara, dengan 14 kabupaten dan 14 desa. Sedangkan jumlah contoh rumah tangga yang terpilih, dari masing-masing desa diambil 25 contoh rumah tangga penggarap ushatani padi, sehingga total rumah tangga contoh yang diteliti ada 350 rumah tangga contoh.

Kemudian dari 350 rumah tangga contoh yang terpilih dikelompokan menjadi 3 menurut luas penguasaan lahan yaitu : 1) Penguasaan lahan sempit, 2) Penguasaan sedang dan 3) Penguasaan lahan luas. Adapun kreteria pengelompokan adalah sebagai berikut :

(1) Kelompok penguasaan lahan sempit : luas lahan <= u – 0.5 sd)

(2) Kelompok penguasaan lahan sedang : (u- 0,5 sd) < luas lahan <= (u – 0,5 sd) (3) Kelompok penguasaan lahan luas : luas lahan > (u - 0,5 sd )

Dari diterminan pengelompokan rumah tangga contoh, diperoleh proporsi rumah tangga contoh dengan proporsi sebagai berikut:

(4)

1. Jumlah Rumah tangga kelompok sempit = 129 rumah tangga atau 36,8 persen 2. Jumlah Rumah tangga kelompok sedang = 141 rumah tangga atau 40,3

persen

3. Jumlah Rumah tangga kelompok luas = 80 rumah tangga atau 22, 9 persen. Sementara itu lokasi peneltian, seperti yang ada pada Tabel 1.

Sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan rumah tangga petani didekati dengan konsep Nilai Tukar Petani (NTP) yang merupakan rasio indeks harga yang diterima dan indek harga yang dibayar petani. Menurut Simatupang et al., 2007, bahwa penanda kesejahteraan yang unik bagi rumah tangga tani praktis tidak ada, sehingga NTP menjadi pilihan satu-satunya bagi pengamat pembangunan pertanian. Namun NTP tersebut baru merujuk rumah tangga petani tanaman bahan makanan dan perkebunan saja. Sedangkan rumah tangga petani bahan makanan dan perkebunan, pada umumnya juga memperoleh pendapatan dari usaha peternakan atau perikanan bahkan dari nonpertanian.

Penanda kesejahteraan petani dengan NTP dapat didekati dengan berbagai cara sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Oleh karena itu sesuai dengan tujuan penelitian, maka pananda tingkat kesejahteraan petani dengan konsep “Nilai Tukar Pendapatan Rumah tangga Petani (NTPRP)”. Penanda tersebut adalah merupakan ukuran kemampuan rumah tangga petani didalam memenuhi kebutuhan subsistennya. Konsep kebutuhan subsisten disebut juga dengan Nilai Tukar Subsisten (Susistencs Term of Trade)

Menurut konsep Biro Pusat Statististik yang diformulasikan sebagai Nilai Tukar Subsisten (NTS) mendifinisikan bahwa nilai tukar pendapatan baru memasukan semua usaha pertanian, namun belum memasukan kegiatan berburuh tani dan sektor nonpertanian yang cukup besar memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga petani (Muchjidin et al., 2000). Oleh karena itu menurut Muchjidin et al., 2000; Riyanto Basuki et al., 2001; Simatupanget al., 2007, bahwa konsep “Nilai Tukar Pendapatan Rumah tangga Perdesaan (NTPRP)” didifinisikan merupakan nisbah antara pendapatan total rumah tangga dengan pengeluaran total rumah tangga. Pendapatan total rumah tangga pertanian merupakan penjumlahan dari seluruh nilai hasil produksi komoditas pertanian yang dihasilkan petani, nilai dari berburuh tani, nilai hasil produksi usaha nonpertanian, nilai dari berburuh nonpertanian, dan lainnya (kiriman dan lain-lain). Sedangkan pengeluaran petani merupakan penjumlahan dari pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga dan pengeluaran untuk biaya produksi.

Secara matematis konsep Nilai Tukar Pendapatan Rumah Tangga Petani adalah sebagai berikut:

NTPRP = Y/E Y = Yp + YNP

E = Ep + EK dimana :

(5)

Yp = Total pendapatan dari usaha pertanian YNP = Total Pendapatan dari usaha nonpertanian Ep = Total pengeluaran untuk usaha pertanian EK = Total pengeluaran untuk usaha nonpertanian

Tabel 1. Lokasi Penelitian Terpilih Menurut Provinsi, Kabupaten, Desa dan Basis Agroekositem Lahan Sawah Irigasi, 2007

Provinsi Kabupaten Desa Agroekosistem

1. Jawa Barat 2. Jawa Tengah 3. Jawa Timur 4. Sulawesi Selatan 5. Sumatera Utara 1. Indramayu 2. Subang 3. Karawang 1. Cilacap 2. Klaten 3. Sragen 4. Pati 1. Jember 2. Banyuwangi 3. Lamongan 1. Sidrap 2. Luwu 1. Asahan 2. Serdang Badagai 1. Tugu 2. Simpar 3. Sindang Sari 1. Padang sari 2. Demangan 3. Mojorejo 4. Tambah Mulyo 1. Padomasan 2. Kaligondo 3. Sungegeneng 1. Carawali 2. Salu Jambu 1. Kuala Gunung 2. Lidah Tanah

Lahan sawah Irigasi Lahan sawah Irigasi Lahan sawah Irigasi Lahan sawah Irigasi Lahan sawah Irigasi Lahan sawah Irigasi Lahan sawah Irigasi Lahan sawah Irigasi Lahan sawah Irigasi Lahan sawah Irigasi Lahan sawah Irigasi Lahan sawah Irigasi Lahan sawah Irigasi Lahan sawah Irigasi Sumber: Data Primer 2007.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi

Secara agregrat pendapatan rumah tangga petani padi diperoleh dari dua sumber pendapatan, yaitu sumber pendapatan dari sektor pertanian dan nonpertanian. Sumber pendapatan pertanian yang terdiri dari usaha pertanian dikelompokkan menjadi tiga yaitu sumber pendapatan dari usahatani sawah/tegal, usahatani kebun dan pekarangan dan usaha ternak, dan diluar usaha pertanian seperti berburuh tani. Sumber pendapatan nonpertanian terdiri dari usaha nonpertanian (dagang, industri, angkutan dan jasa), Pegawai Negeri/TNI, pendapatan dari sumbangan dan lainnya.

Pada Tabel 2, menunjukan bahwa secara agregrat sumber pendapatan rumah tangga petani padi di lahan sawah irigasi masih didominasi oleh peran pendapatan dari pertanian (74%) dibanding sumber pendapatan di luar sektor pertanian (26%). Dari beberapa hasil penelitian Patanas, menunjukan bahwa peran relatif sumber pendapatan di sektor pertanian pada daerah lahan sawah mengalami penurunan dibawah 65 persen sampai dengan 50 persen dan meningkatnya peran pendapatan diluar sektor pertanian antara 35 persen hingga 50 persen (Rusastra, 1998; Adyana et al., 1999; Nurmanaf et al., 2004; Muchjidin

(6)

et al., 1997; Kasryno, 2000). Hal ini memberikan indikasi bahwa peran sektor pertanian masih merupakan sumber pendapatan utama bagi petani di perdesaan, dan tulang punggung perekonomian perdesaan dalam menyerap angkatan kerja bukan saja bagi petani land less atau tunakisma, namun dapat membuka peluang kerja pada segmen agribisnisnya bagi mereka yang masuk dalam pasar tenaga kerja.

Tabel 2. Struktur Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi menurut Kelompok Penguasaan

Lahan pada Basis Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi di Perdesaan, 2007. (%)

Kelompok Luas Lahan Sumber pendapatan

Sempit Sedang Luas Total

I. Pertanian 62,1 80,2 84,3 74,3

1. Usaha Pertanian 49,5 75,2 83,9 70,6

a. Usahatani sawah 45,5 70,6 76,2 60,6

b. Usahatani tegalan 0,2 0,7 0,1 0,3

c. Tanaman non semusim 0,0 0,2 0,2 0,1

d. Kebun 1,1 3,1 4,8 6,6 d. Ternak 2,7 0,5 0,5 0,6 e. Tambak/kolam 0,0 0,1 2,2 2,3 2. Buruh Tani 12,6 5,0 0,4 3,7 II. Nonpertanian 37,9 19,8 15,7 25,7 1. Buruh nonpertanian 20,5 6,1 1,3 5,6 2. Pegawai/karyawan 2,3 2,4 1,7 1,8 3. Usaha dagang 7,1 7,5 3,9 5,1

4. Usaha produksi dan jasa 4,7 0,6 3,9 4,3

nonpertanian

5. Hasil menyewakan/ 0,6 1,8 1,2 1,2

menyakapkan lahan

6. Hasil menyewakan/gaduh ternak 0,6 0,6 3,0 7,0

7. Hasil menyewakan 0,8 0,4 0,1 0,2

alsintan 0,0 0,0 0,0 0,0

8. Hasil lainnya dan kiriman 1,4 0,3 0,5 0,5

Total (Rp 000) 8191,4 15221,6 33948,1 19262,9

Sumber: Data Primer, 2007.

Kalau dilihat secara parsial, menunujukan bahwa pendapatan petani padi pada kelompok penguasaan lahan yang semakin luas terjadi kecenderungan bahwa kontribusi pendapatan rumah tangga disektor pertanian semakin tinggi. Sebaliknya, pada kelompok penguasaan lahan yang semakin sempit, peran kontribusi sumber pendapatan diluar pertanian semakin tinggi. Umumnya sebagian besar pendapatan pertanian berasal dari usaha pertanian lahan sawah, kebun, ternak,kolam/tambak dan kegiatan berburuh tani. Kemudian pendapatan usaha pertanian yang sangat dominan bersumber pada usahatani lahan sawah,

(7)

utamanya tanaman pangan (padi) dari pada usahatani lainnya. Rendahnya sumber pendapatan pertanian pada kelompok penguasaan lahan yang sempit sebagai akibat kecilnya penguasaan lahan yang digarap karena ketimpangan distribusi penguasaan lahan yang semakin tinggi. Dari hasil penelitian Irawan et al. (2007) menunjukan bahwa pada lokasi yang diteliti, sekitar 60 persen lahan sawah di perdesaan di luar Jawa dikuasai hanya oleh sekitar 25 persen petani, dengan kata lain setiap 1 persen petani kaya menguasai sekitar 2,40 persen lahan sawah yang tersedia. Ketimpangan distribusi penguasaan lahan sawah tersebut lebih tinggi lagi di pulau Jawa dimana sekitar 60 persen lahan sawah yang tersedia dikuasai oleh 17,6 persen petani, dengan kata lain setiap 1 persen petani kaya menguasai 3,43 persen lahan sawah. Pada kondisi tersebut, sangatlah wajar bila petani pada kelompok luas yang sempit cenderung berupaya untuk melakukan diversifikasi sumber pendapatan diluar sektor pertanian. Hal ini berarti sudah terjadi pergeseran ragam sumber pendapatan dari sektor pertanian ke luar sektor pertanian. Utamanya kontribusi sumber pendapatan yang terbesar diluar sektor pertanian melalui kegiatan usaha dagang, produksi barang dan jasa bahkan kegiatan berburuh nonpertanian atau dari sumber pendapatan dengan kegiatan bermigrasi sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.

Pola Pengeluaran Rumah Tangga Petani Padi

Pengeluaran Makanan

Secara umum besaran konsumsi/pengeluaran rumah tangga dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu pengeluaran untuk makanan, bukan makanan dan pengeluaran bahan bakar. Tingkat pengeluaran pada ketiga kelompok untuk masing-masing rumah tangga pada luas penguasaan lahan tersebut berbeda. Pada umumnya, besarnya nilai pengeluaran rumah tangga di perdesaan bervariasi sesuai dengan besarnya pendapatan yang mereka peroleh. Fenomena ini akan terjadi bila pendapatan rendah akan lebih mengutamakan untuk kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan subsitennya, terutama kebutuhan pengeluaran bahan makanan dibanding lainnya. Berbeda halnya bila pendapatan yang di peroleh semakin tinggi akan terjadi pergeseran antara kebutuhan bahan makanan dengan kebutuhan bahan bukan makanan.

Pada Tabel 3, memperlihatkan bahwa secara agregrat proporsi penge-luaran bahan makanan dari masing-masing kelompok luas lahan yang terbesar digunakan untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat (28,7%), terutama yang berasal dari beras (27%) dan sebagian kecil dari nonberas (1%). Kemudian pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan lainnya yang besar beturut-turut adalah pangan hewani (18%) dengan sumber kebutuhan yang terbesar adalah daging (9%) dan ikan (5%), kacang-kacangan terutama yang berasal dari tahu dan tempe (12%), tembakau (11%) dan yang lainnya terdiversifikasi dibawah 5 persen.

Sementara itu, bila kita bandingkan antar kelompok luas lahan bahwa besarnya pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat dan kacang-kacangan (tahu, tempe) lebih besar pada kelompok luas lahan sempit dibanding kedua kelompok kelas lahan lainnya. Namun terjadi sebaliknya untuk pengeluaran

(8)

bahan pangan hewani, lemak, sayur dan buah, tembakau maupun makanan jadi pada kelompok luas lahan cenderung lebih besar dibanding kelompok luas lahan lainnya. Hal ini berarti bahwa semakin besar pendapatan yang diperoleh akan terjadi pola diversifikasi pada pemenuhan kebutuhan bahan makanan yang beragam dan berkualitas.

Tabel 3. Proporsi Pengeluaran Bahan Makanan Rumah Tangga Petani Padi menurut Kelompok Penguasaan Lahan pada Basis Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi di Perdesaan , Tahun 2007 (%)

Kelompok Luas Lahan Jenis makanan

Sempit Sedang Luas Total

A. Sumber Karbohidrat 30,6 28,1 23,5 28,7 1. Beras 29,2 27,0 22,4 27,5 2. Nonberas 1,4 1,1 1,1 1,2 B. Pangan Hewani 15,0 20,5 19,8 18,7 1. Daging 8,4 8,9 9,8 9,0 2. Ikan 2,9 6,7 3,7 4,7 3. Telur 2,7 2,6 2,4 2,6 4. Susu 1,1 2,3 3,8 2,4 C. Kacang-kacangan 15,4 13,5 12,4 13,7 1. Tahu 10,7 9,7 7,8 9,5 2. Tempe 2,7 2,0 2,4 2,3 3. Lainnya 2,1 1,8 2,2 1,9 D. Sayuran + Buah 3,9 4,2 4,3 3,6

E. Minyak dan Lemak 4,7 4,3 5,0 4,6

1. Minyak goreng 3,9 3,5 4,3 3,8 2. Lainnya 0,8 0,8 0,7 0,7 F. Bahan Minuman 6,6 6,6 6,0 5,2 1. Gula pasir 4,5 4,4 4,4 4,3 2. Teh + kopi 1,1 2,2 1,6 0,9 G. Bumbu-Bumbu 3,3 3,0 7,9 4,5

H. Makanan dan Minuman jadi 4,7 5,6 4,7 5,0

1. Makanan jadi 3,9 4,6 3,4 4,1

2. Minuman jadi 0,8 0,9 1,3 1,0

I. Tembakau dan Sirih 11,9 10,3 13,4 11,7

J. Lainnya 4,0 4,1 3,1 4,3

Total (Rp 000) 5705,9 7196,0 8568,6 6960,9

Sumber : Data Primer, 2007.

Pengeluaran Bukan Makanan

Pada Tabel 4, memperlihatkan bahwa secara agregrat ada empat kelompok jenis pengeluaran bukan makanan diantaranya adalah; a) pengeluaran pendidikan, b) perawatam kesehatan, c) sandang dan d) komunikasi/

(9)

telekomuni-kasi. Sementara itu, diantara empat kelompok pengeluaran bahan non makanan, memperlihatkan bahwa pengeluaran untuk pendidikan lebih tinggi dibanding pengeluaran bukan makanan lainnya. Hal ini menunjukan bahwa kesadaran rumah tangga petani pada agroekosistem lahan sawah irigasi cukup tinggi. Disamping itu ditunjang adanya fasilitas pendidikan yang semakin berkembang, untuk menuntut tingkat pendidikan yang lebih tinggi, Walaupun dengan kosekuensi menambah biaya pendidikan lebih tinggi dibanding pengeluaran bukan makanan lainnya. Disamping itu pengeluaran bukan makanan lainnya seperti perawatan, kesehatan, sandang dan telekomunikasi/transportasi berperan juga sebagai pelengkap kebutuhan bukan makanan yang penting bagi rumah tangga. Komponen pengeluaran untuk perawatan seperti sabun mandi, sabun cuci, odol sikat gigi dan kosmetik umumnya merupakan pengeluaran yang harus dibiayai setiap saat yang jumlahnya lebih besar dibanding pengeluaran untuk kesehatan yang sifat pengeluarannya secara insidentil. Namun untuk beberapa pengeluaran tertentu yang termasuk kelompok pengeluaran lainnya, seperti pengeluaran sosial (hajatan, pesta, sosial) lebih dominan bila dibandingkan dengan pengeluaran seperti perbaikan rumah, pajak, iuran RT/RW/Desa dan biaya pembantu rumah tangga sosial.

Tabel 4. Proporsi Pengeluaran Non Bahan Makanan Rumah Tangga Petani Padi Kelompok Penguasaan Lahan pada Basis Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi di Perdesaan, Tahun 2007(%)

Kelompok luas lahan Jenis bahan non makanan

Sempit Sedang Luas Total

Kom/Telekomunikasi 6,1 6,2 8,1 6,6 Pendidikan 51,8 42,8 49,2 46,6 Perawatan/kesehatan 23,2 28,7 20,6 24,6 Sandang 12,3 12,9 11,5 13,3 Lain-lain 6,6 9,4 10,6 8,9 Total (Rp 000) 3339,2 4880,1 5533,5 4514,6

Sumber : Data Primer, 2007

Pengeluaran Bahan Bakar

Pengeluaran bahan bakar yang paling dominan dibutuhkan untuk keperluan sehari-hari adalah minyak tanah dan elpiji sebagai sumber bahan bakar untuk dapur disamping kayu bakar. Sedangkan sumber bahan bakar listrik diutamakan untuk penerangan, bensin dan solar untuk bahan bakar kendaraan bermotor roda dua atau empat.

Diantara pengeluaran bahan bakar yang terjadi diantara kelompok penguasaan lahan, secara berturut-turut yang terbesar adalah bahan bakar bensin (34%), listrik (24%), minyak tanah (19%), kayu bakar (10%) dan lainnya termasuk minyak dibawah 10 persen (Tabel 5). Besarnya pengeluaran untuk bahan bakar bensin, hal ini didorong oleh sifat mengkonsumsi terhadap keperluan kendaraan bermotor (roda dua atau empat) yang masuk desa, apakah itu digunakan untuk memudahkan akses kesumber pertumbuhan ekonomi dan peningkatan usaha

(10)

maupun keperluan sosial, karena berkembangnya sarana dan prasarana transportasi yang memadai. Sementara itu kebutuhan bahan bakar seperti minyak tanah untuk keperluan dapur dan listrik untuk penerangan, sudah terdiversifikasi dengan penggunaan bahan bakar berupa gas (elpiji) yang menggantikan minyak tanah sesuai dengan anjuran pemerintah.

Tabel 5 Proporsi Pengeluaran Bahan Bakar Rumah Tangga Petani Padi menurut Kelompok Penguasaan Lahan pada Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi di Perdesaan, Tahun 2007 (%)

Kelompok luas lahan Jenis bahan bakar

Sempit Sedang Luas Total

1. Kayu bakar 15,5 9,4 8,0 10,6 2. Arang 0,5 0,5 1,4 0,8 3. Minyak tanah 25,8 20,0 14,1 19,8 4. Elpiji 2,4 3,0 5,5 3,6 5. Solar 0,4 0,3 1,4 0,7 6. Minyak pelumas 3,9 3,8 2,7 3,6 7. Bensin 23,2 39,8 37,7 34,8 8. Listrik 26,8 21,4 27,1 24,4 9. Air 1,6 1,8 2,0 1,8 Total (Rp 000) 1358,4 2078,0 2362,8 1882,7

Sumber : Data primer 2007

Total Pengeluaran Rumah Tangga

Pada Tabel 6, secara agregrat maupun antar kelompok penguasaan lahan, memperlihatkan bahwa total pengeluaran rumah tangga antara kebutuhan makanan dan bukan makanan termasuk bahan bakar relatif merata dengan porsi hampir seimbang yaitu 50 persen dari total pengeluaran rumah tangga. Hal ini berarti bahwa rumah tangga petani padi sudah berorientasi menyeimbangkan kebutuhan untuk makan dan bukan makanan sesuai dengan tingkat pendapatan yang mereka peroleh. Namun demikian tidak menutup kemungkinan rumah tangga petani akan memprioritaskan terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan dibanding non makanan dan bahan bakar.

Tabel 6. Proporsi Pengeluaran Rumah Tangga Petani Padi menurut Kelompok Penguasaaan Lahan pada Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi di Perdesaan, Tahun 2007 (%)

Kelompok Luas Lahan Uraian

Sempit Sedang Luas Total

1. Bahan Makanan 58,2 53,5 54,3 54,8

2. Bukan Makanan 34,1 36,3 35,0 35,5

3. Bahan Bakar 7,7 10,2 10,7 9,7

Total (Rp 000) 10403,6 14154,2 16465,0 13358,2

(11)

Di lain pihak rumah tangga petani padi yang dikelompokkan menurut penguasaan lahan, ada kecenderungan bahwa pada kelompok penguasaan tinggi kebutuhan terhadap bahan makanan cenderung menurun, dan sebaliknya pada kelompok penguasaan lahan sempit. Hal ini menunjukan bahwa besarnya pengeluaran bahan makanan dan pengeluaran secara umum erat kaitannya dengan pendapatan yang diterima baik dari usaha pertanian maupun pandapatan diluar pertanian.

Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani Padi

Salah satu pendekatan untuk mengukur tingkat kesejahteraan rumah tangga petani padi, didekati dengan konsep Nilai Tukar Pendapatan Rumah tangga (NTPRP). NTPRP yang diperoleh adalah merupakan nisbah antara pendapatan rumah tangga dari berbagai sektor dengan seluruh pengeluaran rumah tangga yang terdiri dari pengeluaran untuk konsumsi makanan dan bukan makanan serta pengeluaran untuk produksi seperti biaya usahatani dan usaha diluar pertanian maupun kegiatan berburuh.

Pada Tabel 8, memperlihatkan bahwa pembentukan NTPRP yang terdiri dari pendapatan, pengeluaran konsumsi, pengeluaran biaya usaha, seperti biaya usahatani dan usaha nonpertanian dapat menggambarkan besarnya tingkat kesejahteraan yang dapat dicapai rumah tangga di perdesaan tersebut. Bila NTPRP yang diperoleh dari nisbah pendapatan terhadap total pengeluaran lebih besar dari satu, maka dapat dikatakan rumah tangga tersebut masuk dalam katagori sejahtera, dan sebaliknya bila NTPRP kurang dari satu. Besarnya NTPRP yang diperoleh dari masing-masing kelompok penguasaan lahan terhadap total pengeluaran bervariasi. NTPRP pada kelompok penguasaan lahan sempit dan sedang terhadap total pengeluaran kurang dari satu (NTPRP = 0,6 – 0,7), sedang NTPRP terhadap total pengeluaran pada kelompok luas lebih besar dari satu (NTPRP > 1). Artinya bahwa rumah tangga petani padi pada kelompok luas sempit dan sedang belum sejahtera. Indikasi ini disebabkan karena total pengeluaran yang teridiri dari pengeluaran untuk konsumsi (pangan, bukan makanan) dan biaya produksi yang dikeluarkan rumah tangga lebih besar dari pendapatan. Berbeda pada kelompok penguasaan lahan luas, besarnya pendapatan yang diperoleh masih mencukupi untuk memenuhi semua kebutuhan pengeluaran

Sementara itu, bila dibandingkan antara NTPRP terhadap total konsumsi dan terhadap biaya produksi dari masing-masing kelompok, menunjukkan bahwa NTPRP terhadap biaya produksi lebih besar dibanding NTPRP terhadap total konsumsi. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga petani lebih banyak mengeluarkan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dibanding kebutuhan usahanya. Namun demikian NTPRP terhadap total konsumsi pada kelompok penguasaan lahan sempit lebih kecil dibanding kedua kelompok lainnya. Artinya bahwa besarnya pendapatan yang diperoleh tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi (pangan dan nonmakanan). Lebih lanjut, pembentukan NTPRP terhadap komponen konsumsi, utamanya NTPRP bukan makanan lebih besar dibanding NTPRP makanan. Hal ini berarti untuk memenuhi kebutuhan konsumsi makanan jauh lebih banyak mengeluarkan anggaran pendapatan dibanding nonpangan.

(12)

Tabel 8. Nilai Tukar Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi menurut Kelompok Penguasaan Lahan pada Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi di Perdesaan, Tahun 2007

Kelompok Luas Lahan Uraian

Sempit Sedang Luas Total

A. Pendapatan ( Rp 000) 8191,4 15221,6 33948,1 19262,9 I. Pendapatan Pertanian 5086,6 12212,8 28629,8 14314,9 1. Usaha Pertanian 4057,6 11451,2 28486,2 13599,4 2. Berburuh Tani 1029 761,6 143,6 715,5 II.Pendapatan NP 3104,8 3008,8 5318,3 4948 1. Usaha NP 1152,7 1603,4 3232,4 2151,1 2. Berburuh NP 1678,3 922,1 434,3 1085,8 3. Lain-lain 273,8 483,3 1651,6 1711,1 B. Biaya Produksi ( Rp 000) 2455,8 6753,2 13479,1 6737,6 I. Pertanian 2156,0 6587,2 12717,6 6384,9 2. Nonpertanian 299,8 166,0 761,5 352,7 C. Konsumsi ( Rp 000) 10403,6 14154,2 16465,0 13358,2 I. Pangan 5705,9 7196,0 8568,6 6960,9 2. Non Pangan 4697,6 6958,1 7896,4 6397,3 D. Total Pengeluaram ( Rp 000) 12859,4 20907,3 29944,1 20095,8 (B +C)

E. Nilai Tukar Pendapatan

1. Terhadap Total Pengeluaran 0,64 0,73 1,13 0,96

2. THDBiaya Produksi 3,34 2,25 2,52 2,86

3. THD Kon Pangan 0,64 0,73 1,13 0,96

4. Terhadap Kon Np 1,74 2,19 4,30 3,01

5. Thd total Konsumsi 0,79 1,08 2,06 1,44

Sumber: Data Primer 2007.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari aspek pendapatan rumah tangga petani padi, masih didominasi oleh pendapatan dari sektor pertanian dibanding sektor nonpertanian. Pendapatan di sektor pertanian yang terbesar pada umumnya dari usaha pertanian, terutama hasil dari usahatani padi, kemudian usaha ternak dan usahatani lainnya. Sementara itu pendapatan di sektor nonpertanian lebih banyak dari kegiatan usaha nonpertanian, utamanya dari usaha dagang kemudian usaha lainnya. Pada kondisi ini dapat diindikasikan bahwa petani padi didalam memperoleh pendapatan masih berorientasi pada land base sebagai sumber matapencaharian.

Dilihat dari aspek pengeluaran, jenis komoditas bahan makanan lebih besar dalam anggaran pengeluaran rumah tangga dibanding bahan bukan makanan. Komoditas bahan makanan pokok seperti beras masih mendapat porsi

(13)

yang lebih besar diantara kelompok pengeluaran bahan makanan. Namun demikian pada kelompok pendapatan yang semakin tinggi, akan terjadi pergeseran konsumsi beras yang cenderung menurun dan digantikan oleh komoditas yang mengandung karbohidrat lainnya atau peningkatan komoditas yang mengandung protein, mineral atau vitamin.

Besarnya pengeluaran konsumsi bukan makanan yang terbesar adalah pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan maupun perawatan tubuh. Hal ini menunjukan bahwa adanya perkembangan pola pikir bagi masyarakat perdesaan yang lebih mengutamakan pendidikan, agar mampu bersaing dipasar tenaga kerja yang cenderung mengutamakan skill manajerial dibanding ketrampilan.

Nilai tukar pendapatan rumah tangga (NTPRP) yang digunakan sebagai tolok ukur kesejahteraan rumah tangga petani padi, pada umumnya kurang dari satu (NTPRP < 1), kecuali pada kelompok penguasaan lahan luas. Artinya bahwa tingkat kesejahteraan rumah tangga petani masih belum masuk katagori sejahtera. Akan tetapi NTPRP terhadap komponen biaya produksi dan total biaya konsumsi lebih besar dari satu. Hal ini menunjukan bahwa kemampuan rumah tangga dalam anggaran belanja hanya dapat dilakukan secara spasial dan skala prioritas terhadap komponen pembentukan NTPRP.

Sebagai saran kebijakan didalam meningkatkan NTPRP dapat dilakukan dengan peningkatan harga jual komoditas yang layak diterima petani, serta dan meningkatkan skala usaha pertanian yang berkelanjutan dan menghilangkan kendala penerapan teknologi, pengendalian harga sarana produksi dan meminimalkan pengaruh external untuk menghindari risiko, serta mendorong iklim usaha di luar pertanian yang lebih kondusif bagi rumah tangga petani sebagai penyedia tenaga kerja dan modal terbatas.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, M.O., Sumaryanto, M. Rachmat, R. Kustiari, S.H. Susilowati, Supriati, E. Suryani and Suprapto. 2000. Assesing the Rural Development Impact of the Crisis in Indonesia. CASER, Bogor, Indonesia and The Wold Bank Washington, D.C. Basuki, R. Hadi. P.U, Tri Pranaji, Nyak Ilham, Sugiarto, Hendiarto. Winarso. B, Daeng

Hatnyoto. Iwan Setiawan. 2001. Pedoman Teknis Nilai Tukar Nelayan. Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta Biro Pusat Statisik. Berbagai Tahun (2000-2003). Jakarta.

Erwidodo, M. Sykyr, B. Rachman, G.S. Hardono. 1993. Evaluasi Perkembangan Tingkat Upah di Sektor Pertanian. Monograph. Pusat Penelitiian Sosialk Ekonomi Pertanian. Bogor.

Kasryno, F. 2000. Membangun Kembali Sektor Pertanian dan Kehutanan. Makalah Seminar Nasional “Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2000 ke Depan”. Bogor 9-10 Nopember 2000.

Manning, C. 1992. Survey of Recent Development. Bulletin of Economic Studies. 28(1). Indonesian Project. The Australian National University.

(14)

Manning. C and J. Suriya. 1996. Survey of Recent Development. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 32(1). Indonesian Project. The Australian National University. Nurmanaf, A.R, A. Djulin, Sugiarto, A.K. Zakaria,. N.K, Agustina, J. F. Sinuraya, 2005.

Dinamika Sosial Ekonomi Rumah Tangga dan Masyarakat Perdesaan: Analisa Profitabilitas Usahatani dan Dinamika Harga dan Upah Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Racmat. M, Supriyati. D. Hidayat, J. Situmorang. 2000. Perumusan Kebijakan Nilai Tukar Pertanian dan Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Rusastra. I W et al. 1998. Perubahan Struktur Ekonomi Perdesaan: Dinamika Adopsi Teknologi: Pola Usahatani dan Produktivitas Tenaga Kerja di Perdesaan: Analisis Sensus Pertanian 1983 dan 1993. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Speare Jr, A and J. Harris. 1996. Education, Farmings and Migration in Indonesia. Ecinomic Development and Culture Change 34 (2). The University of Chichago Press. Illionis.

Gambar

Tabel 1. Lokasi  Penelitian  Terpilih  Menurut  Provinsi,  Kabupaten,  Desa  dan  Basis  Agroekositem Lahan Sawah Irigasi, 2007
Tabel 2. Struktur Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi menurut Kelompok Penguasaan
Tabel 3. Proporsi  Pengeluaran  Bahan  Makanan  Rumah  Tangga  Petani  Padi  menurut  Kelompok Penguasaan Lahan  pada  Basis Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi di  Perdesaan , Tahun 2007 (%)
Tabel 4. Proporsi Pengeluaran Non Bahan Makanan Rumah Tangga Petani Padi Kelompok  Penguasaan Lahan pada Basis Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi di Perdesaan,   Tahun 2007(%)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Nilai R Square sejumlah 0,884 menunjukkan pengertian bahwa tingkat kemudahan akses pengunjung dipengaruhi variabel-variabel kualitas area pedestrian di dalam Plaza Senayan

Kepemilikan Anjing dalam kitab Al-Umm Juz II tidak di perbolehkan untuk memelihara anjing kecuali untuk berburu, menjaga kebun, dan menjaga ternak. Sedangkan

Pelaksanaan seni tayub dalam kehidupan masyarakat baik itu saat pelaksanaan untuk ritual, hiburan maupun politik merupakan suatu fakta sosial yang tidak dapat dipungkiri dan

pemberdayaan masyarakat di daerah Saramaake (Kabuapaten Halmahera Timur) belum disam- paikan informasinya. Kegiatan inisiasi pengembangan pemasaran dan pembentukan kelompok

Berdasarkan perhitungan effect size tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model Student Teams Achievement Division t erdapat pengaruh (efek) terhadap

Dengan adanya kesadaran merek terhadap M yang tinggi dari konsumen, asosiasi merek yang kuat dari konsumen terhadap Minute Maid Pulpy, serta adanya pemberian

Aliran sungai dari hulu ketika pasang angkutan sedimen diendapkan di alur sungai ataupun muara sungai sedangkan aliran sungai ketika surut angkutan sedimen dibawa kembali

Dalam penyusunan Tugas Akhir ini penulis mengambil judul “Pola Pergerakan Kendaraan Terhadap Karakteristik Arus Lalu Lintas Pada Ruas Jalan Slamet Riyadi, Surakarta,”