• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak dan Kewajiban Suami Istri Dan Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hak dan Kewajiban Suami Istri Dan Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974

Oleh:

Ahmad Zainudin

Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Surabaya cazainudin@yahoo.com

Abstrak – Suatu perkawinan kadang-kadang terdapat beberapa macam harta perkawinan. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu harta bawaan, harta asal dan harta bersama. Ketiga harta perkawinan di atas, harta bawaan masing-masing suami/isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum sedangkan mengenai harta bersama ialah harta yang diperoleh selama perkawinan suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Selanjutnya menyangkut harta bersama, yang didapat oleh isteri/suami atau hanya oleh suami atau isteri saja, merupakan pendapatan bersama serta tanggung jawab bersama.

Perkawinan merupakan salah satu kebutuhan masyarakat yang cukup menonjol dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan, maka telah memberikan landasan hukum perkawinan yang berlaku bagi berbagai golongan masyarakat di Indonesia.

Kata Kunci: Hak dan Kewajiban, Harta Bersama, Perkawinan.

A. PENDAHULUAN

Perkawinan adalah perilaku mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja terjadi di kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tanaman tumbuhan dan hewan. Oleh karena manusia adalah hewan yang berakal, maka perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinannya sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakat yang maju (modern) budaya perkawinannya maju, luas dan terbuka.

Masalah perkawinan merupakan salah satu kebutuhan masyarakat yang cukup menonjol dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan, maka telah memberikan landasan hukum perkawinan yang berlaku bagi berbagai golongan masyarakat di Indonesia.

Aturan tata-tertib perkawinan sudah ada sejak masyarakat sederhana yang dipertahankan anggota-anggota masyarakat dan para pemuka masyarakat adat dan atau para pemuka agama. Aturan tata tertib itu terus berkembang maju dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan pemerintahan dan di dalam suatu negara. Di Indonesia aturan tata-tertib

(2)

kolonial Belanda dan sampai Indonesia telah merdeka. Bahkan aturan perkawinan itu sudah tidak saja menyangkut warga negara Indonesia, tetapi juga menyangkut warga negara asing, karena bertambah luasnya pergaulan bangsa Indonesia.

Perkawinan sebagai perbuatan hukum dengan demikian merupakan aspek yang senantiasa berlandaskan atas hukum dalam hal mana Hukum Perkawinan mengaturnya. Soedharyo Soimin menerangkan bahwa :

“Tata tertib kaidah-kaidah inilah yang berlaku di Indonesia yang dalam bentuk kongkretnya disebut Hukum Perkawinan atau istilah lain yang sama maksudnya yang telah berlaku sejak dahulu sampai sekarang. Tata tertib dan kaidah-kaidah ini pula yang telah dirumuskan dalam suatu Undang-undang yang disebut Undang-undang perkawinan”.1

Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. Ia dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang dianut masyarakat bersangkutan.

Seperti halnya aturan perkawinan bangsa Indonesia bukan saja dipengaruhi adat budaya masyarakat setempat, tetapi juga dipengaruhi ajaran agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen, bahkan dipengaruhi budaya perkawinan barat. Hal mana berakibat lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, lain masyarakat lain aturan perkawinannya.

Pemerintah menghendaki terwujudnya hukum nasional secara menyeluruh meliputi semua bidang-bidang menuju ke arah modernisasi hukum, unifikasi hukum dan kodifikasi hukum serta mampu untuk menampung perkembangan hukum yang tumbuh memenuhi kebutuhan masyarakat menuju terciptanya suatu macam hukum nasional yang sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia.

Berbahagialah bangsa Indonesia yang telah memiliki Undang-Undang Perkawinan Nasional, yang sifatnya dikatakan telah menampung sendi-sendi dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan masyarakat Indonesia yang berbeda-beda. Jadi bangsa Indonesia telah memiliki hukum perkawinan yang berdasarkan Pancasila dan tetap berpijak pada Bhineka Tunggal Ika. Hal mana berarti walaupun pada pokoknya kita sudah mempunyai hukum perkawinan yang berlandaskan kesatuan namun kebhinekaannya tetap masih berlaku.

1 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum I slam,

(3)

Undang-undang Perkawinan ini selain meletakkan azas-azas hukum perkawinan nasional, sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan masyarakat.

Undang-undang ini sebagai suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Unifikasi tersebut bertujuan hendak memperlengkapi segala apa yang tidak diatur hukumnya dalam agama atau kepercayaan, karena dalam hal tersebut negara berhak mengaturnya sendiri sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tuntutan jaman.

Dalam kaitan di atas, suatu perkawinan kadang-kadang terdapat beberapa macam harta perkawinan. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu harta bawaan, harta asal dan harta bersama. Dalam latar belakang ini disinggung macam-macam harta karena kaitan dengan judul skripsi ini.

Ketiga harta perkawinan di atas, harta bawaan masing-masing suami/isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum sedangkan mengenai harta bersama ialah harta yang diperoleh selama perkawinan suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Selanjutnya menyangkut harta bersama, yang didapat oleh isteri/suami atau hanya oleh suami atau isteri saja, merupakan pendapatan bersama serta tanggung jawab bersama.

B. METODE PENELITIAN

Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penulisan ini, maka metode penelitian yang digunakan berupa penelitian hukum yuridis normatif yang merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur terkait untuk memecahkan persoalan hukum atau permasalahan yang akan dibahas.

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan ini adalah Statute Approach dan

Conceptual Approach. Statute Approach adalah pendekatan masalah yang dirumuskan dan

dikaji berdasarkan pendekatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, sedangkan

Conceptual Approach adalah pendekatan masalah yang didasarkan pada literatur-literatur,

karya ilmiah, pendapat para sarjana, atau doktrin-doktrin ilmu hukum. Pendekatan masalah baik

Statute Approach maupun Conceptual Approach yang dilakukan adalah terhadap hal-hal yang

memiliki korelasi dengan masalah yang dibahas. Langkah penulisan yang menggunakan studi kepustakaan ini diawali dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum yang memiliki korelasi

(4)

yang terkait untuk disusun secara sistematis agar lebih mempermudah dalam membaca, mempelajari, dan melaksanakan studi pustaka.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebelum diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 di Indonesia ada dua sistem yang berlaku yang sifatnya bilateral satu sama yang lain, yaitu disatu pihak Hukum Islam dan dilain pihak Hukum Barat (KUH Perdata).

Hukum Islam menganggap kekayaan suami dan isteri masing-masing terpisah satu dari yang lain. Barang-barang milik masing-masing pada waktu perkawinan dimulai tetap menjadi milik masing-masing. Demikian juga segala barang-barang yang mereka masing-masing dapat selama perkawinan berlangsung tidak disatukan melainkan terpisah satu dari yang lain, artinya atas barang-barang milik suami, isteri tidak mempunyai hak atas barang-barang milik isteri, suami tidak mempunyai hak.

“Pada dasarnya harta suami dan isteri terpisah baik harta bawaannya masing-masing atau harta yang diperoleh salah seorang dari mereka sebagai hadiah atau warisan sesudah mereka terikat dalam perkawinan”.2

Selanjutnya Sajuti Thalib, menjelaskan bahwa dilihat dari sudut asal usulnya, harta suami isteri itu dapat digolongkan dalam 3 (tiga) golongan yaitu :

a. Harta masing-masing suami isteri yang telah dimilikinya sebelum mereka kawin baik yang berasal dari warisan, hibah atau usaha mereka sendiri-sendiri atau dapat disebut harta bawaan.

b. Harta masing-masing suami isteri yang dimiliki sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan, tetapi yang diperolehnya bukan dari usaha mereka baik seorang-seorang atau warisan untuk masing-masing.

c. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam perkawinan atas usaha mereka atau usaha salah seorang dari mereka atau disebut harta pencaharian.3

Terpisahnya harta suami isteri menurut Hukum Islam adalah dimaksudkan untuk memberikan hak yang sama bagi isteri dan suami mengatur hartanya sesuai dengan kebijaksanaannya masing-masing.

Walaupun demikian telah dibuka kemungkinan untuk mengadakan syirkah atas harta kekayaan suami isteri itu secara resmi dan menurut cara-cara tertentu.

Suami isteri yang mengadakan syirkah yaitu percampuran harta kekayaan yang diperoleh suami dan atau isteri selama adanya masa perkawinan atas usaha suami atau isteri sendiri-sendiri, atau atas usaha mereka bersama-sama. Begitupun mengenai harta kekayaan

2 Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia. Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1974,

hal. 90.

(5)

usaha sendiri-sendiri sebelum perkawinan dan harta yang berasal bukan dari usaha salah seorang dari mereka atau bukan usaha mereka berdua, tetapi berasal dari pemberian atau warisan atau yang lainnya yang khusus teruntuk mereka masing-masing yang tetap menjadi milik masing-masing baik yang diperolehnya sebelum perkawinan maupun yang diperolehnya sesudah berada dalam ikatan suami isteri dapat pula mereka syirkahkaan.

Hukum Islam tidak mengenal percampuran kekayaan atau harta bersama di dalam perkawinan, masing-masing suami isteri mempunyai kekayaan sendiri, baik barang-barang yang mereka bawa pada awal perkawinan maupun barang-barang yang mereka peroleh selama perkawinan berlangsung sebagai hasil pekerjaan, kecuali mereka berdua ada perjanjian untuk mengadakan syirkah terhadap harta kekayaan mereka masing-masing.

Di dalam KUH Perdata (BW), tentang Harta Bersama menurut Undang-Undang dan Pengurusannya, diatur dalam Bab VI pasal 119-138, yang terdiri dari tiga bagian. Bagian Pertama tentang Harta Bersama Menurut Undang-Undang (pasal 119-123), Bagian Kedua tentang Pengurusan Harta Bersama (pasal 124-125) dan Bagian Ketiga tentang Pembubaran Gabungan Harta Bersama Dan Hak Untuk Melepaskan Diri Dari Padanya (pasal 126-138).

Menurut KUH Perdata ‘Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian perkawinan. Harta Bersama itu selama perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau dirubah dengan suatu persetujuan antara suami-isteri (pasal 119). Berkenaan dengan soal keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-barang tak bergerak suami isteri itu, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma, kecuali bila dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang menghibahkan menentukan kebalikannya dengan tegas (pasal 120).

‘Hanya suami saja yang boleh mengurus harta bersama itu. Dia boleh menjualnya, memindahtangankannya dan membebaninya tanpa bantuan isterinya, kecuali isteri berdasarkan perjanjian perkawinan tidak mengurangi haknya untuk mengurus hartanya’ (pasal 124). Harta bersama bubar demi hukum, karena kematian, perkawinan atas izin hakim setelah suami atau isteri tidak ada, perceraian, pisah meja dan ranjang dan karena pemisahan harta (pasal 126).

Menurut Hukum Barat (KUH Perdata) menganggap sebagai pokok pangkal bahwa apabila suami dan isteri pada waktu akan melangsungkan pernikahan tidak mengadakan perjanjian apa-apa antara mereka berdua, maka akibat dari perkawinan itu ialah percampuran

(6)

kekayaan suami dan isteri menjadi satu kekayaan milik mereka berdua bersama-sama dan bagian masing-masing dalam kekayaan bersama itu adalah separuh.4

KUH Perdata mengenal percampuran kekayaan atau harta bersama di dalam perkawinan.“Pokok pangkal dari sistem Burgerlijk Wetboek ialah hakekat adanya percampuran kekayaan dari suami isteri secara bulat. Semua kekayaan dari masing-masing suami isteri baik yang mereka bawa pada awal perkawinan maupun yang mereka peroleh selama perkawinan berlangsung, dicampur menjadi satu kekayaan selaku milik bersama dari suami dan isteri.

Hukum Adat menganut sistem di tengah-tengah, karena menurut Hukum Adat ada dua alternatif terhadap harta benda dalam perkawinan. Pertama ada kemungkinan dalam suatu perkawinan sebagian dari harta kekayaan masing-masing suami isteri terpisah satu dari yang lain, kedua, bahwa ada kemungkinan sebagian kekayaan itu tercampur menjadi kekayaan bersama dari mereka.

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 masalah harta bersama diatur dalam Bab VII pasal 35 s/d 37 dengan judul harta benda dalam perkawinan.

Undang-undang ini membedakan antara harta bersama yaitu yang diperoleh selama perkawinan dan harta bawaan yang tetap menjadi milik pribadi masing-masing suami dan isteri. Termasuk harta bawaan adalah harta yang dibawa masing-masing suami dan isteri dalam perkawinan serta harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan (pasal 35 ayat 2).

Menurut pasal 36 UU No. 1 tahun 1974, maka harta bersama diurus oleh kedua suami isteri dan kalau perlu dapat dipindahtangankan atau dijamin atas persetujuan kedua belah pihak. Rumusan di atas didasarkan atas perkataan “bertindak” dalam pasal tersebut yang ditafsirkan meliputi wewenang mengurus (beheer) dan wewenang memindahtangankan atau menjamin (beschikking).

Dalam memori penjelasan terhadap undang-undang tersebut tidak memberi petunjuk tetapi adalah wajar bahwa terhadap harta bersama itu suami dan isteri dalam kedudukannya yang seimbang menurut undang-undang ini mempunyai wewenang mengurus dan wewenang memindahtangankan atau menjamin harta benda dalam perkawinan demi suksesnya pelaksanaan tugas membina rumah tangga yang bahagia dan kekal.

Mengenai harta bawaan adalah di bawah penguasaan masing-masing suami dan isteri karena harta itu tetap merupakan suatu harta pribadi milik masing-masing suami dan isteri (Pasal 35 ayat 2).

(7)

Adapun istilah penguasaan dalam pasal tersebut, dalam hal inipun dapat diartikan baik

beheer maupun beschikking; disinipun adalah wajar bahwa suami dan isteri masing-masing

mempunyai wewenang beheer dan beschikking terhadap harta bawaan yang tetap menjadi milik masing-masing.

Dalam pasal 35 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 bagian akhir membuka kemungkinan bagi pihak mengenai penguasaan harta bawaan untuk menentukan lain. Rumusan menentukan lain dalam ketentuan tersebut, dapat diartikan bahwa para pihak dapat membuat perjanjian mengenai penguasaan harta bawaan tersebut yang kewenangannya lebih lanjut diatur dalam pasal 29 Undang-undang Perkawinan ini yang mengatur perjanjian perkawinan.

Menurut hemat penulis bahwa pasal undang-undang tersebut tidak hanya membuka kemungkinan bagi para pihak untuk memperjanjikan penguasaan masing-masing melainkan juga status harta yang bersangkutan dengan memperjanjikan bahwa harta yang semula merupakan harta bawaan itu diperjanjikan menjadi harta bersama, sebab adalah kurang wajar apabila suatu harta bawaan itu hanya dapat diperjanjikan untuk diurus bersama oleh suami dan isteri tanpa perubahan status dari harta bawaan itu menjadi harta bersama. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa UU No. 1 Tahun 1974, mengenai harta bersama di dalam perkawinan yang penggunaannya masing-masing suami isteri mempunyai hak dengan persetujuan salah satu pihak.

Apabila kita mempelajari dan mengkaji lebih jauh isi pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 dapatlah diambil pengertian bahwa:

1. Semua harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Apabila kali mat ini ditafsirkan, maka semua harta pendapatan yang diperoleh baik secara bersama-sama maupun perorangan secara otomatis akan menjadi harta bersama. 2. Harta bawaan dari masing suami isteri dan harta benda yang diperoleh

masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing-masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Kalimat ini memberikan dua alternatif, apakah harta bawaan, harta benda yang didapat karena hadiah atau warisan akan tetap menjadi harta bersama atau tetap di bawah penguasaan masing-masing. Hal ini sangat tergantung dari kemauan pihak yang memiliki barang-barang tersebut.

Apabila suami dan isteri yang memiliki harta bawaan, hadiah atau warisan secara ikhlas untuk menjadikan harta bersama, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa cara memperoleh

(8)

harta bersama di dalam suatu perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 ada 3 (tiga) macam yaitu :

1. Harta yang diperoleh dengan usaha bersama atau perseorangan selama perkawinan berlangsung secara otomatis menjadi harta bersama.

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri yang kemudian menjadi harta bersama.

3. Hadiah atau warisan yang diperoleh masing-masing suami dan isteri yang atas kerelaan pihak yang memiliki barang-barang tersebut ditetapkan menjadi harta bersama.

Jika dibanding dengan uraian tentang harta perkawinan dalam UU No. 1 tahun 1974, maka uraian dalam KUH Perdata lebih banyak sampai 18 pasal. Di dalam UU No. 1 tahun 1974 hanya diuraikan dalam tiga pasal saja. Antara kedua perundangan itu terdapat perbedaan yang asasi.

Menurut UU No. 1 tahun 1974 bahwa Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari suami isteri masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (pasal 35 [1-2]). Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (pasal 36 [1-2]). Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan ‘hukumnya’ masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

Dengan demikian UU No. 1 tahun 1974 lebih mendekati hukum adat dan hukum lain dan menjauhi hukum perdata Eropah yang jauh berbeda dari hukum Indonesia. Hal mana tidak berarti bahwa Hukum Perkawinan Nasional kita itu telah menerima hukum adat yang menyangkut harta perkawinan. Memang ia mungkin sesuai bagi keluarga/rumah tangga yang bersifat parental, tetapi tidak sesuai dengan keluarga/rumah tangga yang bersifat patrilineal maupun matrilineal. Oleh karenanya di dalam Undang-Undang dipakai kaidah ‘sepanjang para pihak tidak menentukan lain’, atau kaidah ‘diatur menurut hukumnya masing-masing’.

Harta Perkawinan Dalam Hukum Adat

Apabila kita simak pasal 35 UU No. 1 tahun 1974, maka harta perkawinan itu terdiri dari ‘harta bersama’, ‘harta bawaan’, ‘harta hadiah’ dan ‘harta warisan’. Harta bersama adalah harta yang didapat suami isteri selama perkawinan (harta pencarian). Harta bersama ini jika perkawinan putus (cerai mati atau cerai hidup) diatur menurut hukumnya masing-masing

(9)

(hukum adat, hukum agama, hukum lainnya). Harta bawaan yaitu harta yang dibawa masing-masing suami isteri ke dalam ikatan perkawinan, mungkin berupa harta hasil jerih payahnya sendiri, dan mungkin juga berupa harta hadiah atau harta warisan yang didapat masing-masing suami isteri sebelum atau sesudah perkawinan. Harta bawaan, harta hadiah dan harta warisan ini tetap dikuasai masing-masing, jika tidak ditentukan lain.

Istilah-istilah tersebut berasal dari hukum adat yang berlaku di Indonesia. Menurut hukum adat harta perkawinan itu terdiri dari ‘harta bawaan’ (Lampung: sesan; Jawa: gawan; Batak: ragiragi), ‘harta pencarian’ (Minangkabau: harta suarang; Jawa: ganagini; Lampung:

massow besesak), dan ‘Harta Peninggalan’ (Harta Pusaka, Harta Warisan) dapat ditambahkan

pula dengan ‘harta pemberian’, (hadiah, hibah dan lain-lain).5

Kedudukan harta perkawinan tersebut tergantung pada bentuk perkawinan yang terjadi, hukum adat setempat dan keadaan masyarakat adat bersangkutan, apakah masyarakat itu masih kuat mempertahankan garis keturunan patrilineal, matrilineal atau parental/bilateral, ataukah berpegang teguh pada hukum agama, atau sudah maju dan mengikuti perkembangan zaman.

Pada umumnya dalam masyarakat yang bersifat patrilineal, karena mempertahankan garis keturunan pria, maka bentuk perkawinan yang kebanyakan berlaku adalah bentuk perkawinan dengan pembayaran jujur (kecuali masyarakat Bali yang tidak memakai uang jujur dan harta bawaan dari kerabat), di mana setelah perkawinan isteri masuk dalam kekerabatan suami dan pantang cerai. Pada golongan masyarakat patrilineal ini pada dasainya tidak ada pemisahan harta bersama dan harta bawaan (hadiah/warisan). Kesemua harta yang masuk dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama atau harta persatuan yang dikuasai oleh suami sebagai kepala keluarga/rumah tangga. Semua perbuatan hukum yang menyangkut harta perkawinan harus diketahui dan disetujui suami, isteri tidak boleh bertindak sendiri atas harta bawaannya tanpa persetujuan suami. Malahan di antara harta bersama atau harta bawaan yang bernilai adat segala sesuatunya bukan hanya suami yang menguasai tetapi juga termasuk kerabat bersangkutan.

Andaikata terjadi perceraian yang tidak lagi dapat diatasi dengan musyawarah kerabat dan isteri kembali ke kerabat asalnya atau ke tempat lain, ia tidak berhak membawa kembali harta bawaannya, apalagi jika perceraian itu terjadi dikarenakan kesalahan isteri (berzina). Jika pihak kerabat isteri menuntut juga agar semua harta bawaan dikembalikan, maka kewajiban pihak kerabat isteri mengembalikan uang jujur dan semua biaya yang telah dikeluarkan pihak

(10)

suami dalam penyelenggaraan perkawinan mereka. Hal ini jarang sekali terjadi, oleh karena jika terjadi berakibat pecahnya hubungan baik bukan saja di antara suami isteri itu sendiri tetapi juga pecahnya hubungan kekerabatan antara besan dan selalu menjadi pergunjingan orang ramai.

Dalam masyarakat yang mempertahankan garis keturunan wanita (matrilineal), perkawinan yang banyak berlaku adalah dalam bentuk perkawinan semenda (tanpa pembayaran uang jujur), di mana setelah terjadi perkawinan suami masuk dalam kekerabatan isteri atau tunduk pada penguasaan pihak isteri (di Minangkabau menjadi ‘urang sumando’). Pada golongan masyarakat matrilineal antara harta pencarian (harta bersama) dapat terpisah dari harta bawaan isteri dan harta bawaan suami, termasuk juga harta hadiah dan atau warisan yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan. Dengan demikian harta yang dikuasai bersama adalah harta bersama (harta pencarian) sedangkan harta lainnya tetap dikuasai suami dan isteri masing-masing. Jika terjadi perceraian, maka yang sering menjadi masalah perselisihan adalah mengenai harta pencarian/harta bersama, sedangkan harta lainnya seperti harta bawaan (Rejang, harta pembujangan yang dibawa pria/bujang dan harta pejantian yang dibawa wanita/gadis) termasuk yang berasal dari hadiah atau warisan, tidak menjadi masalah perselisihan, kecuali apabila harta bawaan itu terlibat bercampur ke dalam harta bersama.

Itupun jika perkawinannya berbentuk semanda antara suami isteri yang bermartabat sama kedudukannya (Rejang, kawin semendo beradat) seperti ‘semendo tambik anak beradat’ dan ‘semendo rajo-rajo’. Jika perkawinan dilakukan dalam bentuk semanda tidak beradat (Rejang, semendo menangkap burung atau semendo bapak ayam), maka harta pasuarangan (harta bersama) itu tidak ada.6 Hal mana mirip dengan perkawinan ‘semanda mati manuk mati

tungu’ di Lampung Pesisir, atau juga perkawinan ‘nyalindung ka gelung’ di Pasundan atau

manggih kaya’ di Jawa.

Dalam masyarakat adat yang berdasarkan ‘keorangtuaan’ (parental), yang hanya terikat pada hubungan keluarga serumah tangga di bawah pimpinan ayah dan ibu, dan tidak terikat dengan hubungan kekerabatan yang luas, maka perkawinan yang banyak terjadi adalah dalam bentuk ‘perkawinan bebas’ atau ‘perkawinan mandiri’, di mana kedudukan suami isteri setelah perkawinan seimbang sama, dan bebas menentukan tempat kediaman sendiri, maka harta perkawinannya mendekati apa yang diatur dalam UU No. 1 tahun 1974, yaitu adanya ‘harta bersama’ (Jawa: gana-gini) yang dikuasai oleh suami isteri bersama dan adanya ‘harta bawaan’

(11)

yang tetap dikuasai dan dimiliki masing-masing suami dan isteri. kecuali ditentukan dengan ketentuan yang lain.

Terpisahnya harta bersama dan harta bawaan selama dalam ikatan perkawinan adalah demi hukum, untuk memudahkan penyelesaian jika kemudian hari terjadi perselisihan atau cerai hidup. Namun pada kenyataannya dalam keluarga-keluarga Indonesia, tidak ada yang mencatat tentang harta perkawinan mereka. Dalam perkawinan yang masih baru pemisahan harta bersama dan harta bawaan masih jelas, tetapi pada keluarga-keluarga yang perkawinannya sudah tua, di mana anak-anak sudah menjelang dewasa, yang mana harta bawaan bapak dan yang mana harta bawaan ibu sudah sulit untuk diketahui dan dirinci jenisnya. Harta perkawinan itu sudah campur aduk dan sudah berubah jenis atau sudah beralih ke tangan orang lain dan mana yang ada merupakan harta bersama kesemuanya, yang dimiliki bersama dan dikuasai bersama suami-isteri.

Jika terjadi perceraian (cerai hidup) dalam keluarga parental bersangkutan, dan penyelesaian secara damai atas dasar kekeluargaan tidak tercapai, maka para pihak dapat mengajukan tuntutannya kepada pengadilan.

Harta Perkawinan Dalam Hukum Agama

Hukum Islam tidak mengatur tentang harta bersama dan harta bawaan ke dalam ikatan perkawinan, yang ada hanya menerangkan tentang adanya hak milik pria atau wanita serta maskawin ketika perkawinan berlangsung. Di dalam Al-Qur’an sebagaimana juga disinggung Hazairin (1975:30) ada ayat yang menyatakan: “... Bagi pria ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan.”

Ayat tersebut bersifat umum tidak ditujukan terhadap suami atau isteri, jadi bukan ditujukan kepada suami isteri saja, melainkan semua pria dan semua wanita. Jika mereka berusaha dalam kehidupannya sehari-hari, maka hasil usaha mereka itu merupakan harta pribadi yang dimiliki dan dikuasai oleh pribadi masing-masing. Untuk hukum waris ayat tersebut mengandung pengertian bahwa setiap pria atau wanita mempunyai hak untuk mendapat bagian harta warisan yang ditinggal-kan atau diberikan orangtua.

Dalam hubungan dengan perkawinan ayat tersebut dapat dipahami bahwa ada kemungkinan dalam suatu perkawinan akan ada harta bawaan dari isteri yang terpisah dari harta suami, dan masing-masing suami dan isteri menguasai dan memiliki hartanya sendiri-sendiri. Sedangkan harta bersama (harta pencarian) milik bersama suami isteri tidak ada, dan harta bawaan isteri itu kemudian bertambah dengan mas kawin yang diterimanya dari suaminya

(12)

ketika berlangsungnya perkawinan, atau masih merupakan hutang jika belum dipenuhi suami ketika perkawinan itu.

Selanjutnya suami tidak boleh memakai hak milik isteri tanpa persetujuan isteri, jika digunakan suami harta isteri walaupun untuk kebutuhan sehari-hari pada dasarnya merupakan hutang suami kepada isteri yang harus dikembalikan. Kewajiban suami adalah memberi nafkah lahir batin kepada isteri dan membahagiakan isteri, tidak menyusahkan isteri, bukan sebaliknya. Namun demikian tidak berarti suami isteri tidak saling membantu dalam membangun keluarga/rumah tangganya, asal saja segala sesuatunya dilakukan dengan baik dengan musyawarah antara satu sama lain.

Bagi mereka yang beragama Kristen tentang harta perkawinan itu dalam pasal 50 Huwelijks Ordonnantie voor Christen Indonesiers (HOCI) Java, Minahasa en Amboina Stb. 1933-74 jo Stb. 1936-607 tentang Harta benda suami isteri menyatakan bahwa:

Masing-masing suami isteri tetap memiliki apa yang telah dibawanya ke dalam perkawinan atau yang selama perkawinan diperoleh sendiri, barang-barang lain adalah milik mereka bersama.

Pada waktu melakukan perkawinan para calon suami isteri dapat bersepakat bahwa juga barang-barang yang mereka bawa ke dalam perkawinan dan yang mereka peroleh secara pribadi selama perkawinan menjadi milik mereka bersama, kecuali bila hukum adat melarang hal itu.

Persetujuan ini harus dimuat dalam akta perkawinan, hal itu hanya dapat dibuktikan dengan akta itu.

Bila isteri bekerja untuk keuntungan rumah tangga, maka semua barang yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama suami isteri, kecuali bila hal itu telah diperoleh oleh salah seorang dari mereka dari pembagian, wasiat atau pewarisan (HOCI pasal 50:1-4).

Dengan demikian, bagi penganut agama Kristen, terdapat pula pengertian ‘harta bersama’ (harta pencarian), ‘harta bawaan’, ‘harta hadiah/wasiat’ dan ‘harta warisan’, selain harta bersama harta perkawinan yang lain tetap dikuasai oleh masing-masing suami dan isterinya yang membawanya ke dalam perkawinan kecuali ada perjanjian perkawinan tentang itu, atau hukum adat setempat mengatur lain.

Bagi penganut agama Budha tentang Harta Benda dalam Perkawinan sudah jelas diatur dalam Bab VI pasal 35-37 HPAB yang berbunyi sebagai berikut:

harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi hak bersama, kecuali ada perjanjian perkawinan terlebih dahulu yang dibuat di hadapan Pandita dari agama Budha Indonesia mengenai harta benda yang didapat selama perkawinan. Perjanjian perkawinan itu harus dibuat sebelum berlangsung perkawinan, berdasarkan kehendak dan persetujuan kedua belah pihak, dan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, serta berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut’. ‘Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk

(13)

merubah dan perubahannya tidak merugikan pihak ketiga’. ‘Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing-masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang kedua belah pihak tidak menentukan lain (pasal 35, 1-7). ‘Mengenai harta bersama, selama tidak ada perjanjian perkawinan, maka suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Mengenai harta bawaan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. (pasal 36, 1 -2).

Apabila perkawinan putus karena perceraian, sepanjang tidak ada perjanjian perkawinan, maka harta bersama diatur menurut ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a. Demi kelangsungan hidup dan pendidikan anak-anaknya, yang tidak tahu akibat perceraian orang tuanya, anak-anak mereka janganlah dijadikan korban yang tidak bersalah dengan adanya perceraian tersebut, maka dalam hal ini perlu diperhatikan benar-benar, bahwa anak-anakpun mempunyai hak atas harta benda bersama tadi. b. Harta bersama selama didapat dalam perkawinan dibagi menurut ketentuan 1/3 untuk

suami, 1/3 untuk isteri dan 1/3 untuk anak-anaknya.

c. Selama anak-anak masih di bawah umur dan harta benda milik anak-anaknya itu diserahkan kepada wali (salah satu dari orang tuanya, ayah atau ibu) yang telah ditunjuk oleh Dewan Pandita Agama Budha Indonesia (Depabudi) setempat.

d. Cara pengaturan mengenai harta milik anak-anak yang masih di bawah umur akan diatur lebih lanjut pada Bab berikutnya mengenai perwalian.

Bagi penganut agama Hindu tentang harta perkawinan menurut G. Pudja M.A., bahwa dasar-dasar hukum harta perkawinan tersimpul dalam sistem hukum yang dikenal dengan ajaran ‘Stridhana’ (harta wanita atau harta isteri)7 yang bentuk hukumnya sama seperti dimaksud oleh pasal 35 (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang ‘Harta bawaan’ dan pasal 36 (2) UU No. 1 tahun 1974 tentang hak sepenuhnya bagi suami dan isteri untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bawaannya. Hanya saja penggunaan atas harta stridhana (harta bawaan wanita) itu menurut Hukum Hindu lebih kaku, apabila dilihat dari Manudharmasastra (Weda Smrti) ‘bahwa Raja harus menghukum laki-laki yang menggunakan harta stridhana itu selagi isterinya masih hidup’.8 Manudharmasastra itu menyatakan: “Raja yang benar harus menghukumnya sebagai pencuri kepada keluarga yang mempergunakan harta milik wanita-wanita seperti itu di dalam masa hidup mereka.” (M. Dhs. VIII:29).

7

(14)

Menurut penulis kaidah yang dikemukakan dalam M. Dhs. VIII:29, sesungguhnya bukan ditujukan khusus kepada isteri, melainkan kepada semua wanita dengan harta miliknya, yaitu seperti wanita yang tidak berketurunan, yang tidak punya anak, yang keluarganya punah, isteri-isteri dan janda yang setia kepada pemerintah dan wanita-wanita yang menderita penderitaan (M. Dhs. VIII:28). Adapun kategori jenis hukuman yang dikenakan terhadap pemakai harta stridhana (bukan suami saja) adalah sama hukumnya sebagai pencuri.

Pengertian harta stridhana, ialah ‘apa yang diberikan pada saat upacara perkawinan, apa yang diberikan pada saat pawai perkawinan, apa yang diberikan sebagai tanda kecintaan dan apa yang diterimanya dari saudaranya, ibu atau ayahnya, semuanya itu, keenam macam yang disebut stridhana (M. Dhs. IX-194).

Selanjutnya mengenai harta Stridhana itu pelaksanaannya diatur dalam berbagai pasal lain, terutama tentang pewarisan dllnya. Adapun kewarisan atas harta stridhana ialah:

a. Bila isteri wafat meninggalkan keturunan (anak) sedangkan suami masih hidup, maka harta stridhana diwarisi oleh anak-anaknya (M. Dhs. IX-195).

b. Bila isteri wafat tidak mempunyai keturunan (anak), sedangkan suami masih hidup, maka harta stridhana akan diwarisi oleh suaminya sendiri. Jika ketika perkawinannya berlaku sistem Brahmawiwaha (perkawinan dengan ahli wedha), Arsa Wiwaha (perkawinan setelah menerima lembu dua pasang), dan Gandhara wiwaha (perkawinan suka sama suka) (M. Dhs. IX-196). Termasuk juga perkawinan Prajapatiwiwaha (perkawinan dengan nasihat).

c. Bila isteri wafat tidak mempunyai keturunan (anak) walaupun suami masih hidup, tetapi karena perkawinannya berlaku sistem Asura Wiwaha (perkawinan dengan memberi harta pada mertua), maka harta stridhana diwarisi oleh ibu dan ayah si wanita.

Hukum Hindu pada dasarnya tidak membenarkan terjadinya putus perkawinan karena perceraian. Jika terjadi juga perceraian dalam masyarakat Hindu (Bali) maka diatur berdasarkan hukum adat.

Menurut hemat penulis bahwa pasal dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak hanya membuka kemungkinan bagi para pihak untuk memperjanjikan penguasaan masing-masing melainkan juga status harta yang bersangkutan dengan memperjanjikan bahwa harta yang semula merupakan harta bawaan itu diperjanjikan menjadi harta bersama, sebab adalah kurang wajar apabila suatu harta bawaan itu hanya dapat diperjanjikan untuk diurus bersama oleh suami dan isteri tanpa perubahan status dari harta bawaan itu menjadi harta bersama. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa UU No. 1 Tahun

(15)

1974, mengenai harta bersama di dalam perkawinan yang penggunaannya masing-masing suami isteri mempunyai hak dengan persetujuan salah satu pihak.

D. KESIMPULAN DAN SARAN TINDAK LANJUT

a. Kesimpulan

Berdasarkan pada pembahasan sebelumnya maka disimpulkan beberapa pokok sebagai berikut :

1. Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 bahwa ‘suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum, suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. (UU No 1 Tahun 1974 Pasal 31).

2. Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari suami isteri masing baik sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. (UU No 1 Tahun 1974 Pasal 31).

b. Saran Tindak Lanjut

Hukum perkawinan nasional masih sering terbentur menghadapi kenyataan dalam pelaksanaannya. Masyarakat bangsa yang heterogen tidak semuanya menganut agama Hindu/Budha, Kristen/Katolik atau Islam, masih ada golongan masyarakat lain yang menganut agama dan kepercayaan yang bukan agama tersebut, karena itu hal-hal demikian merupakan tantangan bagi pembentuk perundangan dan bagi ilmuwan hukum serta para penegak hukum, dalam rangka menuju ke arah terwujudnya rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Pancasila.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Siddik. (1980). Hukum Adat Rejang. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Baswedan, A.R. (1962). Rumah Tangga Rasululloh SAW. Jakarta: Bulan Bintang.

Djokoprakoso dan I Ketut Murtika. (1987). Asas-asas Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: PT. Bina Aksara.

Hazairin. (1975). Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan, Undang-undang No. 1

Tahun 1974. Jakarta: Tinta Mas.

Hilman Hadikusuma. (1977). Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Alumni.

Koentjaraningrat. (1983). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Koningsmann, Dr. Yosef. (1989). Pedoman Hukum Perkawinan Geredja Katolik. Flores: Nusa Inda Ende.

Pudja G.M.A. (1974). Pengantar tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu (didasarkan

Manusmriti). Dirjen Bimas Hindu & Budha Depag.

Sajuti Thalib. (1974). Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.

Soedharyo Soimin. (2002). Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW,

Hukum I slam, dan Hukum Adat. Jakarta: Sinar Grafika.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. (2006). Penelitian Hukum Normatif. Suatu Tinjauan

Singkat. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Subekti R. (1980). Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT. Intermasa.

Wantjik K. Saleh. (1976). Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Wirjono Prodjodikoro. (1974). Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Sumur.

Referensi

Dokumen terkait

Model pengambilan keputusan untuk pemilihan presiden-wakil presiden merupakan model keputusan banyak kriteria dimana setiap kriteria yang digunakan kabur atau tidak

Klien menderita alergi sejak usia 10 bulan dengan keluhan batuk disertai dengan sesak kemudian berobat dan sembuh. Pada usia anak 2 tahun kambuh lagi kemudian klien periksa dan

Implikasi dari kegiatan tersebut diharapkan: 1) Pelaksanaan pembelajaran Pendidikan agama Islam dapat memberikan perubahan sikap dan tingkah laku pada peserta didik

Dan jumlah sampel 70 orang dengan tehnik sampling yang digunakan merupakan purposive sampling dengan rumus hair (2006), sedangkan tehnik pengumpulan data yaitu

Peserta didik dapat memahami pengetahuan tentang: - contoh perilaku Satwam dalam kehidupan sehari-hari - contoh perilaku Rajas dalam kehidupan sehari-hari - pengertian Catur Guru.

Tidak adanya tempat kursus atau tempat latihan bagi pendamping awas ini salah satu hal yang menyebabkan ketidakmampuan orang awas dalam mendampingi tunanetra,

Kaitannya dengan pengamen jalanan di kota Surakarta, dalam melakukan analisis mengenai profil pengamen jalanan, faktor-faktor pengamen jalanan di kota Surakarta, dan

Parameter yang digunakan dalam observasi adalah ujung daun, panjang daun, tulang daun, dan bentuk daun, serta warna daun. Dalam subpopulasi yang sama ciri morfologi