commit to user
i
PERAMBATAN CAHAYA PADA PANDU GELOMBANG MAKRO
BERBENTUK TRAPESIUM
Disusun oleh :
DWI SETIAWAN
M0206028
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagian
persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Sains Fisika
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini dibimbing oleh :
Pembimbing I Pembimbing II
Ahmad Marzuki, S.Si., Ph.D. Drs. Hery Purwanto, M.Sc.
NIP. 19680508 199702 1 001 NIP.19590518 198703 1 002
Dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi pada : H
ari : Senin
Tanggal : 3 Januari 2011
Anggota Tim Penguji : 1
. Drs. Cari, M.A., M.Sc., Ph.D. (...)
NIP. 19610306 198503 1 001
Disahkan oleh: Jurusan Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta
K
etua Jurusan Fisika
Drs. Harjana, M.Si., Ph.D.
commit to user
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Perambatan Cahaya Pada Pandu Gelombang Makro Berbentuk Trapesium
Oleh :
Dwi Setiawan M0206028
Saya dengan ini menyatakan bahwa isi intelektual skripsi ini adalah hasil kerja saya dan sepengetahuan saya, hingga saat ini skripsi ini tidak berisi materi yang telah dipublikasikan dan ditulis oleh orang lain, atau materi yang telah diajukan untuk mendapatkan gelar di Universitas Sebelas Maret Surakarta maupun di lingkungan perguruan tinggi lainnya, kecuali yang telah dituliskan dalam daftar pustaka skripsi ini. Semua bantuan dari berbagai pihak baik fisik maupun psikis, telah saya cantumkan dalam bagian ucapan terimakasih skripsi ini.
Surakarta, Januari 2011 Penulis
commit to user
iv
PERAMBATAN CAHAYA PADA PANDU GELOMBANG MAKRO BERBENTUK TRAPESIUM
DWI SETIAWAN
Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Sebelas Maret
ABSTRAK
Tulisan ini berisi kajian tentang perambatan cahaya pada pandu gelombang makro berbentuk trapesium. Penelitian dibagi menjadi dua tahap. Tahap yang pertama adalah tahap pengkajian perambatan cahaya secara matematis. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mencari kaitan antara panjang kolektor, kemiringan kolektor, lebar kolektor dan indeks bias kolektor terhadap
numerical aperture (NA). Dari kajian kajian ini diperoleh bahwa persamaan
umum pemantulan ke-i pada kolektor surya berbentuk trapesium adalah ߚ݅ ൌ ʹ݅ߙ ሺʹ݅ െ ͳሻߛ െ ሺʹ݅ െ ͳሻͻͲι dengan ijadalah sudut puncak kolektor, ߙ
dan ߛ adalah sudut yang terbentuk oleh sisi kolektor terhadap garis yang tegak lurus sumbu kolektor. Selain itu juga diperoleh persamaan umum untuk menghitung panjang kolektor minimum yang diperlukan agar sinar datang dengan sudut datang tertentu și) dapat merambat didalam kolektor tanpa melewati sudut
kritis șc) adalah ܺ ൌ ୱ୧୬ ఊ ୲ୟ୬൫ሺିଵሻఈାሺିଶሻఊ൯ୱ୧୬ሺఈାሺିଵሻఊሻ untuk n genap (n=2,4,6,...) dan ܺൌ ୱ୧୬ ఊ ୲ୟ୬ሺఈାሺିଵሻఊሻୱ୧୬൫ሺିଵሻఈାሺିଶሻఊ൯ untuk m ganjil (m=3,5,7,...). Dengan persamaan ȕdan
X dapat diperoleh NA secara matematis.
Setelah kajian secara matematik dilakukan, tahap berikutnya adalah menguji hasil tersebut secara eksperimen. Sampel untuk eksperimen ini dibuat dari PMMA (polymethyl methacrylate). Pada tahap eksperimen penelitian ini dibagi menjadi lima tahap yaitu pengukuran absorbasi PMMA, pengukuran reflektansi PMMA, pengukuran indeks bias PMMA, pengukuran NA secara eksperimen, dan membandingkan NA hasil eksperimen dengan hasil perhitungan secara teori. Pada eksperimen yang pertama diperoleh kurva absorbansi dari
Ȝ QP KLQJJD Ȝ QP Pada eksperimen yang kedua diperoleh kurva reflektansi PMMA untuk mode gelombang Tranverse Electric (TE) dan
Tranverse Magnetic (TM). Pada eksperimen yang ketiga diperoleh indeks bias PMMA. Pada eksperimen yang keempat diperoleh NA kolektor untuk setiap variasi panjang kolektor dengan variasi sudut kemiringan kolektor 83°, 85° dan 87°. Variasi panjang yang digunakan adalah 5,25cm, 6cm, 6,5cm dan 7cm. Dari hasil eksperimen diperoleh hasil NA yang hampir sama dengan hasil perhitungan matematis
commit to user
v
PROPAGATION OF THE LIGHT ON MACROWAVEGUIDE TRAPEZIFORM
DWI SETIAWAN
Physics Department, Mathematic and Science Faculty, Sebelas Maret University
ABSTRACT
This research is content study about propagation of the light on macrowaves trapeziform. This research divided become two phases. The first phase is study about propagation of the light on mathematics. This phase aim to get relations between collector lenght, collector skewness, collector wide, and refraction index collector on numerical aperture (NA). The result of this research show that the general formula of reflection for-i on solar collector organized as trapeziform is ߚ݅ ൌ ʹ݅ߙ ሺʹ݅ െ ͳሻߛ െ ሺʹ݅ െ ͳሻͻͲι ZLWK ij is top angle collector,ߙ and ߛ is angle formed by collector side to perpendicular line of collector axis. In the other side, general formula for calculating minimum collector length in order to the light come with certain incidence angle și) LW¶VFDQ
creeping on collector without across critis angle șF LV ܺ ൌ ୱ୧୬ ఊ ୲ୟ୬൫ሺିଵሻఈାሺିଶሻఊ൯ୱ୧୬ሺఈାሺିଵሻఊሻ for even n (n=2,4,6,...), and ܺൌ ୱ୧୬ ఊ ୲ୟ୬ሺఈାሺିଵሻఊሻୱ୧୬൫ሺିଵሻఈାሺିଶሻఊ൯ for odd m (m=3,5,7,...). By using formula ȕ dan X can
be got mathematical NA.
After this research had done on mathematics, the next phase examined the result in a experiment. The sample for this experiment is made of PMMA. The phase this experiment divided become five phases. There are measuring PMMA absorbance, measuring PMMA reflectance, measuring PMMA refraction index,
PHDVXULQJ1$LQDH[SHULPHQWDQGFRPSDULQJ1$H[SHULPHQW¶VUHVXOWZLWK1$ FDOFXODWH WKHRUHWLFDOO\¶V UHVXOW )RU WKH ILUVW H[SHULPHQW REWDLQHG DEVRUEDQce
FXUYHIURPȜ QPuntil Ȝ QPDQGIRUWKHVHFRQGH[SHULPent can be got PMMA reflectance curve for wave mode TE and TM. Where as for the third experiment can be got PMMA refraction index, and for the fourth experiment can be got collector NA for every collector length variation with collector skewness angle variation 83°, 85° and 87°. Length variation that used is 5,25cm, 6cm, 6,5cm and 7cm. The result of this research is obtained result NA which much the same to with result of mathematical calculation.
commit to user
vi
MOTTO
´,FDQEHZKDW,ZDQQDEHLI,KDUGZRUNIRULW
I can be what I wanna
EH«µ
(Penulis)
Hidup dan nasib, bisa tampak berantakan, misterius, fantastis, dan
sporadic, namun setiap elemennya adalah subsistem keteraturan dari
sebuah desain holistic yang sempurna. Menerima kehidupan berarti
menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apa pun terjadi karena
commit to user
vii
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan dengan rasa syukurku kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, serta ucapan terimakasih kepada :
x Ayah dan Ibu, yang telah memberikan cinta dan pengorbanannya selama ini yang tidak mungkin dapat aku membalasnya.
x Adikku ³)LWUL´GDQ³&DWXU´WHUXVODKEHODMDUVHPRJDNHODNELVDVXNVHV.
x Almamaterku Universitas Sebelas Maret, tempat menimba semua pengalaman dan ilmu.
x Fisika FMIPA Angkatan 2006.
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
$VVDODPX¶DODLNXP:U:E
$OKDPGXOLOODKLUREELO¶DODPLQPuji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan laporan skripsi dengan judul ³Perambatan Cahaya
Pada Pandu Gelombang Makro Berbentuk Trapesium´.
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penulisan laporan penelitian ini, penulis mengalami berbagai macam kendala karena keterbatasan kemampuan penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penyusunan laporan skripsi ini tidak bisa lepas dari bantuan berbagai pihak. Dengan rasa tulus ikhlas penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Keluarga tercinta : Bapak dan Ibu. Terima kasih untuk semua kasih sayang, pengorbanan, semangat yang telah diberikan sehingga penulis bisa seperti sekarang ini.
2. Drs. Harjana, M.Sc., Ph.D selaku Ketua Jurusan Fisika FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Ahmad Marzuki, S.Si, Ph.D dan Drs. Hery Purwanto, M.Sc selaku dosen pembimbing I dan dosen pembimbing II yang selalu membimbing, memotivasi dan mengarahkan penulis dalam mengerjakan skripsi.
4. Drs. Eng. Budi Purnama selaku pembimbing akademik yang banyak memberikan, arahan, rancangan dalam proses belajar..
5. Bapak dan Ibu dosen serta staff di Jurusan Fisika FMIPA UNS.
6. Keluarga besar UPT Laboratorium Pusat FMIPA UNS, yang banyak membantu dalam proses pengerjaan skripsi dan memberikan kemudahan dalam pemakaian alat percobaan.
commit to user
ix
9. Adik tingkat angkatan 2007-2010 teruslah berjuang
10. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik atas kebaikan dan bantuan yang telah kalian berikan. Semoga laporan penelitian ini dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Surakarta, Januari 2011
commit to user
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
2.1. Pemantulan Teratur Pada Cermin Datar ... 6
2.2. Hukum Snellius ... 6
2.3. Pemantulan Internal Total ... 7
2.4. Pemantulan Oleh Cermin Berputar ... 8
2.5. Pandu Gelombang ... 9
2.6. Tingkat Numerik (Numerical Aperture (NA)) ... 10
2.7. Gelombang Elektromagnetik ... 12
commit to user
xi
2.9. Polarisasi karena Pemantulan dan Pembiasan ... 15
2.10. Reflektansi Dan Transmitansi ... 16
2.11. Absorbansi ... 18
3.3.2. Pembuatan Program dengan Borland Delphi 7.0 ... 25
3.3.3. Persiapan alat dan bahan ... 25
4.1.1. Penurunan Persamaan Pemantulan ke-i ... 32
4.1.2. Penurunan Persamaan Panjang Kolektor ... 37
4.1.3. Pembuatan Program ... 42
4.2. Kajian Eksperimen ... 45
4.2.1. Pembuatan Sampel ... 45
4.2.2. Pengukuran Absorbansi PMMA ... 46
4.2.3. Pengukuran Reflektansi PMMA ... 48
4.2.4. Pengukuran Indeks Bias PMMA ... 49
commit to user
xii
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ... 55
5.1. Simpulan ... 55
5.2. Saran ... 56
DAFTAR PUSTAKA ... 56
LAMPIRAN ... 59
Lampiran I ... 59
commit to user
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1. Pemantulan pada cermin datar ... 6
Gambar 2. 2. Sinar datang dari medium rapat ke medium renggang ... 7
Gambar 2. 3. Jalannya sinar saat melewati dua medium berbeda dengan sudut datang berbeda ... 8
Gambar 2. 4. Pemantulan oleh cermin yang dirotasi sebesar ߮ ... 8
Gambar 2. 5. Bound rays dan unbound rays pada fiber optik ... 9
Gambar 2. 6. Pemantulan sempurna pada fiber optik yang menyebabkan bound rays ... 10
Gambar 2. 7. Sudut penerimaan pada fiber optik ... 11
Gambar 2. 8. Kapasitas cahaya pada serat optik ... 11
Gambar 2. 9. Spektrum gelombang elektromagnetik ... 13
Gambar 2. 10. Gelombang elektromagnetik yang merambat pada arah x ... 14
Gambar 2. 11. Gejala polarisasi ... 15
Gambar 2. 12. Polarisasi karena pemantulan dan pembiasan ... 16
Gambar 2. 13. Polarisasi mode TE dan mode TM ... 17
Gambar 3.1. Alat-alat yang digunakan untuk penelitian kajian perambatan cahaya pada pandu gelombang makro berbentuk segitiga ... 23
a. Sumber sinar laser merah ... 23
Gambar 3.2. Diagram alir penelitian perambatan cahaya pada pandu gelombang makro berbentuk segitiga ... 24
Gambar 3.3. Meja putar berskala derajat untuk mengukur reflektansi ... 27
commit to user
xiv
Gambar 3.5. Skema pengukuran NA sampel ... 29
Gambar 4. 1. Skema jalannya sinar didalam kolektor surya ... 30
Gambar 4. 2. Penyederhanaan sampel dengan menghilangkan persegi AKLM ... 31
Gambar 4. 3. Penyederhanaan sampel dengan menganggap garis ܵ cermin ... 31
Gambar 4. 4. Skema pemantulan pada setengah sampel ... 32
Gambar 4. 5. Bentuk kolektor dikembalikan ke bentuk semula ... 36
Gambar 4. 6. Skema pemantulan sinar pada setengah sampel untuk mencari panjang sampel minimum... 37
Gambar 4. 7. Bentuk kolektor dikembalikan ke bentuk semula untuk mencari ܺ ... 41
Gambar 4. 8. Flowchart program ... 44
Gambar 4. 9. Tampilan program untuk menghitung NA Sampel ... 45
Gambar 4. 10. (a). Spektrum cahaya matahari ... 46
Gambar 4. 11. (b). Grafik Absorbansi PMMA ... 46
Gambar 4. 12. Grafik Reflektansi PMMA ... 48
commit to user
x v
DAFTAR TABEL
commit to user
x vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I. Kajian Matematis . ... 59
1. Script program untuk menghitung NA dengan Borland Delphi 7.0 .... 59
Lampiran II. Kajian Eksperimen ... 70
1. Data Absorbansi PMMA ... 70
2. Data Reflektansi PMMA ... 85
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah energi merupakan masalah yang sangat sensitif saat ini. Kenaikan harga BBM menimbulkan dampak yang sangat luas di masyarakat karena bahan bakar ini merupakan kebutuhan dasar manusia sehingga ketersediaannya sangat diperlukan. Ketergantungan masyarakat terhadap minyak bumi sangatlah besar, baik untuk kebutuhan rumah tangga, transportasi, industri maupun sebagai sumber energi lainnya, sehingga terus dicari dan diburu kendati harganya selalu melambung tinggi. Kebutuhan masyarakat akan energi minyak bumi jika dibandingkan dengan kebutuhan akan energi dari sumber yang lain menempati proporsi terbesar sebagai sumber energi penduduk, yakni mencapai 54,4%, disusul gas bumi 26,5%. Konsekuensinya beban anggaran yang memberatkan negara karena biaya subsidi harus terus diluncurkan untuk mempertahankan harga jual yang terjangkau oleh konsumen. Pencabutan subsidi BBM walaupun diimbangi dana kompensasi, sampai saat ini masih sangat terasa dampaknya di masyarakat. Pemberian subsidi langsung tunai (SLT) pada masyarakat ternyata belum bisa menyelesaikan masalah, bahkan banyak terjadi ketidakpuasan di masyarakat (Atmojo, 2006).
Cadangan minyak bumi Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 9 miliar barel dengan tingkat produksi mencapai 500 juta barel per tahun. Jika tidak ditemukan cadangan baru, maka minyak bumi kita akan habis 18 tahun lagi. Adapun kondisi cadangan gas alam kita diperkirakan mencapai 182 triliun kaki kubik dengan ektraksi 3 triliun kaki kubik per tahun atau masih tersisa sekitar 61 tahun mendatang. Untuk mengatasi masalah BBM tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah diversifikasi energi (Atmojo, 2006).
commit to user
menggantikan sumber energi fosil di masa mendatang dikarenakan letak strategis wilayah Indonesia yang memungkinkan energi matahari dapat diterima sepanjang tahun secara kontinyu dalam jumlah yang cukup besar dan energi matahari ini juga tidak menimbulkan polusi (Priyadi, 2008).
Pada beberapa tahun terakhir teknologi hybrid kolektor sel surya mulai banyak dikaji oleh para peneliti. Kajian teknologi hybrid kolektor sel surya merupakan penggabungan teknologi kolektor surya dan teknologi sel surya. Sel surya merupakan elemen aktif (semikonduktor) yang memanfaatkan efek fotovoltaik untuk merubah energi matahari menjadi energi listrik. Energi thermal yang dihasilkan dari kolektor surya diubah menjadi energi listrik dan disimpan dalam sel surya untuk dapat digunakan sewaktu-waktu dan pada berbagai aplikasi (Priyadi, 2008).
Untuk dapat mengoptimalkan energi yang dihasilkan, maka diperlukan suatu teknologi kolektor surya. Energi matahari yang diterima oleh kolektor surya tidak dapat langsung dikonversikan menjadi energi listrik, tetapi untuk mengkonversikan energi matahari menjadi energi listrik digunakan alat lain yang disebut sel surya (solar cell).
Posisi teknologi kolektor surya saat ini masih menggunakan kolektor yang berbentuk parabola (Khalsa dan Andrade, 2008). Bentuk kolektor seperti ini masih mempunyai kelemahan yaitu memerlukan lintasan (tracker) untuk mengikuti gerak semu matahari (Sarker, dkk., Tudorache dan Kreindler, 2010). Untuk mengatasi masalah ini dilakukan penelitian suatu kolektor yang dibuat dari PMMA (polymethyl methacrylate) dengan bentuk menyerupai kerucut. Sehingga cahaya yang masuk dari sisi atas yang lebar, dapat difokuskan pada sisi bawah yang menciut. Pola perambatan cahaya dalam kolektor ini berbeda dengan yang terjadi dalam fiber optik.
Prinsip pemantulan cahaya pada waveguide berbentuk silinder (fiber optic)
mempunyai kemanfaatan yang sangat besar dalam dunia modern (Kown, dkk., 2006; Xu, dkk., 2008; Li, dkk., 2010). Dalam bentuk taperpun, fiber optic
commit to user
fiber taper yaitu cahaya dipantulkan secara berulang dalam fiber sebelum akhirnya lolos kembali ke athmosfer. Dalam penelitian divais optic yang berupa kolektor surya ini akan dikembangkan. Fungsi yang diharapkan adalah kemampuan dari divais tersebut sebagai pengumpul cahaya (kolektor surya).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendesain model kolektor surya dari PMMA berbentuk trapesium sehingga dapat digunakan untuk pengumpulan energi matahari. Untuk mencapai tujuan ini maka penelitian ini dilakukan dengan meliputi kegiatan untuk menentukan indeks bias PMMA, menentukan koefisien absorbansi dan reflektansi dari PMMA, menentukan dan membandingkan nilai
numerical aperture (NA) dari pendekatan secara matematis dengan eksperimen.
1.2. Perumusan Masalah
Pola perambatan cahaya dalam kolektor surya bebentuk trapesium berbeda dengan yang terjadi dalam fiber optik. Pada fiber optik, kedua sisi bidang pantulnya sejajar, sehingga dapat dengan mudah dihitung NAnya. Berbeda pada kolektor berbentuk trapesium pada penelitian ini, dimana kedua sisi bidang pantulnya tidak sejajar. Dalam kolektor berbentuk trapesium ini cahaya masuk dari sisi atas yang lebar difokuskan pada sisi bawah yang menciut, sehingga akan diperoleh masalah yang lebih komplek. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan kolektor surya. Permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Mengukur besaran-besaran yang berkaitan dengan NA (indeks bias, panjang kolektor, lebar kolektor, dan sudut kemiringan kolektor),
2. Berapakah koefisien absorbsi dan reflektansi PMMA, 3. Berapakah nilai numerical aperture (NA) PMMA, dan
commit to user 1.3. Batasan Masalah
Permasalahan pada penelitian ini dibatasi pada:
1. Pajang gelombang sinar yang digunakan dalam penelitian ini adalah laser hijau dengan Ȝ QPGDQODVHUPHUDKGHQJDQȜ QP
2. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah PMMA. 3. Pola perambatan yang diteliti adalah pola perambatan 2 dimensi.
4. Bentuk kolektor surya yang digunakan adalah bentuk trapesium dengan kemiringan ±83°, ±85°, dan ±87° dengan variasi panjang 5,25cm, 6cm, 6,5cm, dan 7cm.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menentukan persamaan matematis untuk menghitung NA pada kolektor surya berbentuk trapesium.
2. Menentukan koefisien absorbansi dan reflektansi dari PMMA. 3. Menentukan indeks bias PMMA.
4. Menentukan dan membandingkan nilai NA dari pendekatan secara matematis dengan eksperimen.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Dapat memberikan informasi mengenai indeks bias, koefisien absorbsi dan
refleksi dari PMMA.
2. Dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah energi yang dikumpulkan oleh sel surya.
commit to user 1.6. Sistematika Penulisan
Laporan skripsi ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: BAB I Pendahuluan.
BAB II Tinjauan Pustaka BAB III Metode Penelitian
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan BAB V Simpulan dan saran
commit to user
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemantulan Teratur Pada Cermin Datar
Pada permukaan benda yang rata seperti cermin datar, cahaya dipantulkan membentuk suatu pola yang teratur. Sinar-sinar sejajar yang datang pada permukaan cermin dipantulkan sebagai sinar-sinar sejajar pula (Gambar 2.1). Akibatnya cermin dapat membentuk bayangan benda. Pemantulan semacam ini disebut pemantulan teratur.
Gambar 2. 1. Pemantulan pada cermin datar
2.2. Hukum Snellius
Kecepatan cahaya pada jenis material yang berbeda akan berbeda pula. Besar kecilnya kecepatan cahaya dalam medium ini ditentukan oleh indeks bias ሺሻ dari masing-masing material. Perbandingan antara kecepatan cahaya di udara dengan kecepatan cahaya di medium tertentu disebut indeks bias. Indeks bias dapat ditulis dalam persamaan:
(2.1)
Dengan ݊ adalah indeks bias medium, ܿ adalah kecapatan cahaya diudara, dan ݒ adalah kecepatan cahaya didalam medium.
Hukum dasar tentang pemantulan yaitu sinar datang, sinar pantul, dan garis normal terletak pada satu bidang datar, besar. Sudut sinar datang (yang
NHPXGLDQ GLVHEXW GHQJDQ VXGXW GDWDQJ ș1)) nilainya sama dengan sudut sinar Sinar datang
Sinar pantul
Bidang pantul
commit to user
SDQWXO \DQJ NHPXGLDQ GLVHEXW VXGXW SDQWXO ș¶1)). Hukum ini disebut dengan
hukum refleksi. Secara matematis dinyatakan dengan:
ߠଵ ൌ ߠᇱଵ (2.2)
Hukum dasar tentang pembiasan yang dikemukakan oleh Willebrord Snellius, yaitu sinar datang, sinar bias, dan garis normal terletak pada satu bidang datar. Indeks bias medium pertama ሺ݊ଵሻ dikalikan dengan sinus sudut datang sama dengan indeks bias medium kedua ሺ݊ଶሻ dikalikan dengan sinus sudut bias. Hukum ini disebut dengan hukum refraksi atau hukum Snellius. Secara matematis dinyatakan dengan:
݊ଵ ߠଵ ൌ ݊ଶ ߠଶ (2.3)
Dengan ݊ଵ adalah indeks bias medium pertama, ݊ଶ adalah indeks bias medium kedua, ߠଵ adalah sudut datang, dan ߠଶ adalah sudut bias.
Mengacu pada hukum Snellius, jika sinar datang dari medium rapat ሺ݊ଵሻ dengan membentuk sudut ߠଵ menuju mendium renggang ሺ݊ଶሻ maka sinar akan dibiaskan menjauhi garis normal membentuk sudut ߠଶ (Gambar 2.2).
2.3. Pemantulan Internal Total
Sesuai dengan hukum Snellius, apabila sinar datang dari medium rapat ke medium renggang, maka sinar akan dibiaskan menjauhi garis normal. Semakin besar sudut datangnya, maka sudut bias juga akan semakin besar, hingga sampai pada sudut datang tertentu (sinar datang nomor 4 pada Gambar 2.3) sinar yang
Gambar 2. 2. Sinar datang dari medium rapat ke medium renggang
Garis Normal
Sinar datang
Sinar bias ߠଵ
commit to user
dibiaskan akan membentuk sudut ߠଶ ൌ ͻͲι terhadap normal. Sudut datang pada keadaan seperti ini disebut dengan sudut kritis ሺߠሻ.
Gambar 2. 3. Jalannya sinar saat melewati dua medium berbeda dengan sudut datang berbeda
Sudut kritis hanya terjadi jika sinar datang dari medium rapat ke medium yang lebih renggang. Besarnya sudut kritis ሺߠሻ dinyatakan sebagai berikut:
(2.4)
Apabila sudut datang sinar datang dari medium rapat ke medium renggang diperbesar melebihi sudut kritis, maka sinar akan dipantulkan seluruhnya ke medium yang sama (medium rapat). Peristiwa seperti ini disebut pemantulan internal total (Total Internal Reflection)(Rambe,2003). Pada penelitian ini persamaan (2.4) akan digunakan sebagai acuan yaitu apabila sudut pantul lebih kecil dari sudut kritisnya maka sinar akan dibiaskan keluar kolektor.
2.4. Pemantulan Pada Cermin Yang Diputar
Gambar 2. 4. Pemantulan oleh cermin yang dirotasi sebesar ࣐
Gambar 2.4 merupakan pola pemantulan yang terjadi pada cermin yang diputar. Sebuah cermin datar, dengan sudut sinar datang adalah ߠ. Sebelum cermin dirotasi sudut datang sama dengan sudut pantul yaitu ߠ. Jika cermin
commit to user
dirotasi sebesar ߮ terhadap normal, dengan demikian sudut garis normal juga akan bergeser sebesar ߮. Dengan sinar datang yang tetap sama seperti saat sebelum dirotasi, maka sudut datang akan menjadi ߠ ߮ dan sudut sinar pantul akan menjadi ߠ ʹ߮. Perbedaan akhir antara sudut pantul saat sebelum cermin dirotasi dengan setelah cermin dirotasi adalah ʹ߮. Jadi, untuk sinar datang tetap, jika cermin dirotasi sebesar ߮, maka sudut pantul akan bergeser sejauh ʹ߮ yang searah dengan pergeseran cermin.
2.5. Pandu Gelombang
Pandu gelombang adalah sebuah alat yang dapat digunakan untuk mengarahkan atau memandu perambatan radiasi elektromagnetik sepanjang lintasan tertentu. Gelombang elektromagnetik bisa saja merambat di udara, seperti gelombang radio, tetapi untuk tujuan-tujuan tertentu gelombang perlu dipandu untuk meminimalisasikan loss wave dari suatu pemancar ke receiver.
Contoh dari pandu gelombang ini adalah pandu gelombang pada fiber optik. Konsep perambatan cahaya pada fiber optik ini dapat ditinjau secara optik geometri. Dalam tinjauan ini terdapat dua tipe sinar dapat merambat sepanjang fiber optik, yaitu sinar meridian dan sinar skew. Sinar meredian merupakan sinar yang merambat memotong sumbu fiber optik, sedangkan sinar skew merupakan sinar yang merambat tidak melalui sumbu fiber optik. Sinar-sinar meridian dibedakan menjadi bound dan unbound ray (Gambar 2.5).
Gambar 2. 5. Bound rays dan unbound rays pada fiber optik (Palais, 2002)
Konsep pandu gelombang optik ini didasarkan pada hukum Snellius untuk perambatan cahaya pada media transparan. Pemandu gelombang optik dibentuk dari dua lapisan utama, yaitu core (inti) dan cladding (selimut). Indeks bias core
commit to user
ሺ݊ଵሻ harus lebih besar dari indeks bias cladding ሺ݊ଶሻ. Dengan menerapkan konsep
sudut kritis seperti pada persamaan (2.4) yang dapat ditulis ulang:
(2.4)
Maka pada Gambar 2.5 terlihat unbound rays dibiaskan keluar dari inti, sedangkan bound rays dipantulkan dan merambat sepanjang inti dengan menganggap bahwa permukaan batas antara inti dan kulit sempurna. Secara umum sinar-sinar meredian mengikuti hukum pemantulan dan pembiasan. Bound rays di dalam fiber optik disebabkan oleh pemantulan sempurna, dimana agar peristiwa tersebut dapat terjadi maka sinar yang memasuki fiber optik harus memotong perbatasan core-cladding dengan sudut lebih besar dari sudut kritis ሺߠሻ, sehingga sinar dapat merambat sepanjang fiber optik dengan lintasan
zig-zag, seperti pada Gambar 2.6.
Gambar 2. 6. Pemantulan sempurna pada fiber optik yang menyebabkan bound rays (Palais, 2002)
Sudut ߠ adalah sudut maksimum sinar yang memasuki serat agar sinar dapat tetap merambat sepanjang serat (dipandu), sudut ini disebut sudut tangkap (acceptance angle).
2.6. Tingkat Numerik (Numerical Aperture (NA))
Numerical Aperture merupakan parameter yang merepresentasikan sudut penerimaan maksimum dimana berkas cahaya masih bisa diterima danmerambat didalam inti fiber (Gambar 2.7). Sudut penerimaan ini dapat beraneka macam tergantung kepada karakteristik indeks bias inti dan selubung serat optik.
commit to user
Gambar 2. 7. Sudut penerimaan pada fiber optik
Jika sudut datang berkas cahaya lebih besar dari NA atau sudut kritis maka berkas tidak akan dipantulkan kembali ke dalam serat melainkan akan menembus
cladding dan akan keluar dari serat. Semakin besar NA maka semakin banyak kapasitas cahaya yang diterima oleh serat (Gambar 2.8).
Gambar 2. 8. Kapasitas cahaya pada serat optik
Dengan memperhatikan gambar 2.7 dan dengan menggunakan hukum Snellis maka diperoleh hubungan:
݊ ߠ௦ ൌ ݊ଵ ߠଵ (2.5)
karena ߠଵ ൌ ͻͲι െ ߠ , maka persamaan (2.5) menjadi
݊ ߠ௦ ൌ ݊ଵ ߠ (2.6)
dengan menggunakan relasi trigonometri ଶߠ ଶߠ ൌ ͳ, maka persamaan (2.6) dapat dinyatakan dalam bentuk:
݊ ߠ௦ ൌ ݊ଵඥͳ െ ଶߠ (2.7)
Inti Fiber (Fiber Core) n1
Reflektansi 96%
4%
commit to user
maka
݊ ߠ௦ ൌ ඥሺ݊ଵଶെ ݊ଶଶሻ (2.9)
Hubungan antara sudut penerimaan dan indeks bias ketiga media (core, cladding, udara) dinyatakan dengan Numerical Aperture (Supadi dkk, 2006).
ܰܣ ൌ ݊ ߠ௦ ൌ ඥሺ݊ଵଶെ ݊ଶଶሻ (2.10)
jika indeks bias udara ݊ൌ ͳ
ܰܣ ൌ ߠ௦ ൌ ඥሺ݊ଵଶെ ݊ଶଶሻ (2.11)
Dengan NA adalah Numerical Aperture,
n
1adalah Indeks bias cladding,n
2adalah Indeks bias core. Sudut ߠ௦ adalah sudut maksimum sinar yang memasuki serat optik agar sinar dapat tetap merambat sepanjang serat optik (dipandu).2.7. Gelombang Elektromagnetik
Gelombang Elektromagnetik adalah gelombang yang dapat merambat walau tidak ada medium. Gelombang elektromagnetik meliputi cahaya tampak, gelombang radio, sinar-x, sinar gamma, ultraviolet, infra merah, dan mikro gelombang.
Gambar 2.9 menunjukkan spektrum gelombang elektromagnetik dengan berbagai interval frekuensi dan panjang gelombang. Cahaya tampak (Visible Light) adalah spektrum gelombang elektromagnetik yang dapat dideteksi oleh mata manusia. Panjang gelombang terpendek dalam spektrum tampak ini bersesuaian dengan cahaya violet/ungu ሺ͵ͻͲ െ Ͷͷͷ݊݉ሻ dan yang terpanjang bersesuaian dengan cahaya merah ሺʹʹ െ ͺͲ݊݉ሻ. Gelombang elektromagnetik yang memiliki panjang gelombang lebih kecil dari spektrum cahaya tampak disebut sinar ultra violet, dan gelombang elektromagnetik yang memiliki panjang gelombang lebih besar dari cahaya tampak disebut gelombang infra merah.
commit to user
Gambar 2. 9. Spektrum gelombang elektromagnetik (Serway, 2004)
Gelombang EM yang merambat sebagai gelombang planar memiliki sifat-sifat sebagai berikut (Viridi, 2010):
1. Perubahan medan listrik dan medan magnetik terjadi pada saat yang bersamaan, sehingga kedua medan memiliki harga maksimum dan minimum pada saat yang sama dan pada tempat yang sama.
2. Gelombang elektromagnetik merupakan gelombang transversal yang arah
medan listrik ܧሬԦdan medan magnetik ܤሬԦsaling tegak lurus dan keduanya tegak lurus terhadap arah rambat gelombang (Gambar 2.10).
commit to user
4. Cepat rambat gelombang elektromagnetik hanya bergantung pada sifat-sifat listrik dan magnetik medium yang ditempuhnya.
Gambar 2. 10. Gelombang elektromagnetik yang merambat pada arah x (Pedrotti, 1993)
Susunan semua bentuk gelombang elektromagnetik berdasarkan panjang gelombang dan frekuensinya disebut spektrum elektromagnetik. Gelombang EM merambat dalam vakum dengan laju ܿ. Hubungan antara frekuensi ݂ dan panjang gelombang ߣ, secara matematis adalah:
ݒ ൌ ݂Ǥ ߣ (2.12)
Dengan ݒ adalah kecepatan cahaya, ݂ adalah frekuensi gelombang, dan ߣ adalah panjang gelombang.
Di mana di dalam vakum ݒ ൌ ܿ, Dengan
ܿ ൌ ͳ
ඥߤߝ ൌ ʹͻͻͻʹͶͷͺ݉Ȁݏ ൎ ͵ ൈ ͳͲͺ݉ȀݏǤ
Energi gelombang elektromagnetik terbagi sama dalam bentuk medan magnetik dan medan listrik. Solusi terbaik dari gelombang bidang elektromagnetik yang berjalan sinusoidal, dimana amplitud E dan B berubah terhadap x dan t sesuai dengan persamaan:
ܧሺݔǡ ݐሻ ൌ ܧሺ݇ݔ െ ߱ݐሻ (2.13)
ܤሺݔǡ ݐሻ ൌ ܤሺ݇ݔ െ ߱ݐሻ (2.14)
ݕ
ݔ
commit to user
2.8. Polarisasi Cahaya
Polarsasi adalah peristiwa terserapnya sebagian atau seluruh arah getar gelombang. Gejala polarisasi hanya dapat dialami oleh gelombang transversal saja, sedangkan gelombang longitudinal tidak mengalami gejala polarisasi.Gejala polarisasi dapat digambarkan dengan gelombang yang terjadi pada tali yang dilewatkan pada celah. Apabila tali digetarkan searah dengan celah maka gelombang pada tali dapat melewati celah tersebut (Gambar 2.11(a)). Sebaliknya jika tali digetarkan dengan arah tegak lurus celah maka gelombang pada tali tidak bisa melewati celah tersebut tersebut (Gambar 2.11(b)).
Gambar 2. 11. Gejala polarisasi
Bila dalam gelombang EM, medan listrik hanya berosilasi pada satu sumbu saja (sebagai konsekuensinyamedan magnetik juga hanya berosilasi pada satu sumbu saja) maka polarisasi jenis ini dinamakan polarisasi linier. Terdapat pula polarisasi berbentuk lingkaran di mana arah medan listrik dan medan magnetik berosilasi tidak hanya pada satu sumbu tetapi pada bidang yang tegak lurus arah penjaran dan membentuk bola seperti lingkaran. Jenis polarisasi yang paling umum adalah polarisasi acak, di mana pada suatu waktu tidak dapat ditentukan ke mana arah osilasi medan listrik atau magnetiknya (Viridi, 2010).
2.9. Polarisasi karena Pemantulan dan Pembiasan
Peristiwa pemantulan dan pembiasan dapat menyebabkan terjadinya polarisasi (Gambar 2.12). Ketika cahaya jatuh pada bidang batas antara dua medium dengan membentuk sudut datang ߠ terhadap garis normal, sebagian
sinar akan dipantulkan dengan sudut pantul ߠᇱ (ߠଵ = ߠᇱ) dan sebagian lagi akan
dibiaskan dengan sudut bias ߠଶ. Jika sinar bias dan sudut pantul membentuk sudut
commit to user
90° yang secara matematis ߠ ߠଶ ൌ ͻͲι, maka sinar pantul terpolarisasi linier.
Sudut datang yang menghasilkan sinar pantul terpolarisasi disebut sudut polarisasi atau sudut Brewster (ߠሻ.
Gambar 2. 12. Polarisasi karena pemantulan dan pembiasan
Hukum Snellius untuk menyatakan pembiasan adalah: ݊ଵ ߠൌ ݊ଶ ߠଶ
Oleh karena ߠଶ ൌ ͻͲι െ ߠ
Maka ͻͲι െ ߠൌ ߠ
Sehingga hukum Snellius diatas menjadi:
(2.15)
Persamaan (2.15) disebut dengan hukum Brewster. Dalam penelitiaaan ini persamaan (2.15) akan digunakan untuk mencari indek bias PMMA dengan mengunakan metode reflektansi.
2.10. Reflektansi Dan Transmitansi
Pada proses pemantulan dan pembiasan, cahaya dapat terpolarisasi sebagian atau seluruhnya oleh refleksi. Perbandingan intensitas cahaya yang dipantulkan dengan cahaya yang datang disebut reflektansi (R), sedangkan perbandingan intensitas cahaya yang ditransmisikan dengan cahaya datang disebut
ߠ ൌ݊݊ଶ ଵ
Sinar datang Sinar pantul
commit to user
transmitansi (T). Fresnel menyelidiki dan merumuskan suatu persamaan koefisien refleksi dan koefisien transmisi yang dihasilkan oleh pemantulan dan pembiasan (Pedrotti, 1993).
Jenis polarisasi dengan medan listrik ܧtegak lurus bidang datang dan medan magnet ܤsejajar bidang datang disebut transverse electric (TE).Sebaliknya jika medan listrik ܧsejajar bidang datang maka jenis polarisasi ini disebut
transverse magnetic (TM). Polarisasi TE yaitu polarisasi dimana vektor medan listrik berada pada bidang yang tegak lurus arah perambatan gelombang.Polarisasi TM yaitu polarisasi dimana vektor medan magnetik berada pada bidang yang tegak lurus arah perambatan gelombang (Gambar 2.13).
Gambar 2. 13. Polarisasi mode TE dan mode TM
Transmitansi dari bahan dapat dicari dengan membandingkan intensitas sinar laser setelah melalui bahan ሺܫ௧ሻ dengan intensitas sinar laser sebelum mengenai bahan ሺܫሻ.
(2.16)
Transmitansi juga dapat dikaitkan dengan koefisien absorbansi suatu bahan. Keterkaitan antara koefisien absorbsi dan transmitansi digambarkan oleh persamaan (2.17):
ܶ ൌ ሺെߙݐሻ (2.17)
Dimana ܶ adalah Transmitansi, ߙadalah koefisien absorbsiሺܿ݉ିଵሻ, dan ݐ adalah
ketebalan bahan ሺܿ݉ሻǤ
Sedangkan Reflektansi (R) didefinisikan sebagai perbandingan antara intensitaspemantulan dengan intensitas sumber yang dapat ditulis:
commit to user
Pada penelitian ini persamaan (2.18) akan digunakan untuk menghitung Reflektansi PMMA untuk mode TE dan TM. Untuk metode kedua dengan menggunakan sudut datang dan sudut bias didapatkan nilai koefisien refleksi (r) dan koefisien tansmisi(t) sebagai berikut:
(2.19)
(2.20)
(2.21)
(2.22)
Sedangkan untuk nilai koefisien refleksi (r) dan koefisien tansmisi(t) sebagai fungsi sudut datang dapat diperoleh dengan persamaan sebagai berikut:
(2.23)
(2.24)
(2.25)
(2.26)
Dimana ߠ adalah sudut gelombang datang, dan ݊ adalah indeks bias relatif ሺ݊ ؠ ݊ଶȀ݊ଵሻ.Sampai di persamaan koefisien refleksi dan transmitansi diatas
sehingga dapat di ambil suatu komentar bahwa pada penelitian ini tidak menggunakan selinder dengan dinding dalam cermin karena tiap pantulan energi akan hilang sebesar ͳ െ ݎ.
2.11. Absorbansi
Absorbsi cahaya oleh suatu molekul merupakan bentuk interaksi antara gelombang cahaya/foton dengan atom/molekul. Absorbsi terjadi saat foton masuk
commit to user
bertumbukan langsung dengan atom-atom pada material dan menyerap energinya pada elektron atom. Foton mengalami perlambatan dan akhirnya berhenti, sehingga pancaran sinar yang keluar dari material berkurang dibandingkan saat masuk material. Abrobsi hanya terjadi ketika selisih kedua tingkat energi elektron tersebut ሺοܧ ൌ ܧଶെ ܧଵሻ bersesuaian dengan energi cahaya datang.
οܧ ൌ ܧ௧ (2.27)
Absorbansi menyatakan banyaknya cahaya yang diserap oleh bahan dari total cahaya yang dilewatkan pada bahan tersebut. Absorbansi merupakan logaritma kebalikan dari transmitansi, sehingga dalam persamaan matematis dapat dituliskan:
(2.28)
Dimana ܣ adalah Absorbansi, ܶ adalah Transmitansi, ܫ௧ adalah Intensitas cahaya keluar ሺܹȀ݉ଶሻ, dan ܫ adalah Intensitas cahaya masukሺܹȀ݉ଶሻ.
Persamaan (2.28) juga dapat dituliskan:
(2.29)
Dengan mensubtitusikan persamaan (2.17) ke persamaan (2.28) besarnya intensitas cahaya setelah melewati bahan dapat dituliskan :
ܫ௧ ൌ ܫሺെߙݐሻ (2.30)
Dari persamaan (2.30) dapat diturunkan persamaan yang menyatakan koefisien absorbsi suatu bahan yang dihubungkan dengan transmitansi, yaitu:
(2.31)
Dimana ߙ adalah koefisien absorbsi ሺܿ݉ିଵሻ, dan ݐ adalah ketebalan bahan ሺܿ݉ሻ,
dan ܶ adalah Transmitansi.
Dengan mensubtitusikan persaman (2.17) ke persamaan (2.29) sehingga diperoleh hubungan antara Absorbansi ሺܣሻ, koefisien absorbsi ሺߙሻ, dan ketebalan bahan ሺݐሻ yang dituliskan dengan persamaan:
commit to user
2.12. PMMA (Polymethyl Metacrylate)
Polymethyl metacrylate atau yang biasa dikenal dengan acrylic adalah polimer yang mengkilap dengan struktur teratur. PMMA dibentuk melalui polimerisasi dari monomer methyl metacrylate (MMA) yang direaksikan dengan
benzoil perosida (BPO). MMA adalah cairan bening dan substansi transparansi yang tinggi sedangkan BPO bebentuk serbuk. PMMA mempunyai kerapatan 1.19 g/cm3, dan mempunyai serapan air yang sangat rendah, indeks biasnya diantara
1,49 ± 1,51. PMMA adalah satu dari jenis termoplastik yang paling keras dan juga memiliki daya tahan kekerasan yang sangat tinggi. PMMA murni bening dan tidak berwarna, memiliki Mn (molecule number average) sebesar 25.800, Mw (molecule weight average) sebesar 75.000, Tg (glass transition temperature) sebesar 1140°C (Puspita, 2010).
Karakteristik utama material PMMA adalah warnanya yang bening transparan. Tidak hanya transparan, PMMA juga sedikit sekali menyerap sinar yang melalui material tersebut. Disinilah letak perbedaan optis yang utama antara kaca dan acrylic. Walaupun bening, kaca menyerap sinar yang masuk sehingga semakin tebal kaca tersebut maka semakin sedikit sinar yang melewatinya. Sehingga dapat disimpulkan semakin tebal kaca maka sifat transparannya semakin berkuarang. Sedangkan pada acrylic, penyerapan sinar yang terjadi demikian kecil sehingga walaupun ketebalannya bertambah, sifat transparasinya tidak banyak berpengaruh.
Perbedaan yang lain antara kaca dan acrylic adalah:
1. Kaca lebih bersifat getas dibanding acrylic. Acrylic lebih bersifat elastis, sehingga secara teknis dapat bertahan pada hentakan tekanan dinamik air. 2. Kaca akan berlumut, sedangkan acrylic tidak.
commit to user
commit to user
22
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
3.1.1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sub Laboratorium Optik Jurusan Fisika Fakultas MIPA Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3.1.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, mulai bulan September 2010 sampai dengan Desember 2010.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian antara lain (Gambar 3.1) :
1. Power Meter Model 1815-C
2. Large Area Visible Photo Receiver Model 2031
3. Sinar laser He-Ne merah (632 nm) 4. Sinar laser hijau (532 nm)
5. Spektrophotometer UV-VIS-NIR
6. Meja Putar berskala derajat 7. Alat Polish
8. Polish dengan grit 100, 1000, 2400 dan 4000 9. Gergaji
10.Wadah sampel
3.2.2. Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain : 1. Polymethyl metacrylate (Acrylic)
commit to user
Gambar 3.1. Alat-alat yang digunakan untuk penelitian kajian perambatan cahaya pada pandu gelombang makro berbentuk trapesium (a) Sumber sinar laser merah,
(b) Photo Receiver, (c) Powermeter, (d) Meja putar berkala derajat, (e) Sampel trapesium, (f) Sumber sinar laser hijau, (g) Alat polish, dan
(h) Polish dengan grit 100, 1000, 2400 dan 4000
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
(g) (h)
100
2400 4000
commit to user 3.3. Prosedur Penelitian
Seperti telah disebut di bagian pendahuluan, kerja dalam penelitian ini ditujukan untuk membuat kolektor surya dengan bentuk trapesium. Dengan melihat pola perambatan cahaya pada fiber optik, pada kolektor surya ini ada hubungan antara sudut kemiringan kolektor dengan sudut penerimaan (NA). Untuk mencapai tujuan di atas kegiatan penelitian ini di bagi menjadi dua tahap yaitu kajian secara matematis dan kajian secara eksperimen. Gambar 3.2 adalah diagram alir dari kegiatan penelitian ini.
Gambar 3.2. Diagram alir penelitian perambatan cahaya pada pandu gelombang makro berbentuk trapesium
Keterangan secara mendetil dari masing-masing langkah adalah sebagai berikut:
3.3.1. Kajian Matematis
Kajian matematis dalam penelitian ini dilakukan dengan mencari keterkaitan antara kemiringan kolektor dengan NA. Pada tahapan ini dicari persamaan untuk menentukan besarnya sudut pada pemantulan ke-i ȕi).
Sudut-sudut tersebut dihubungkan dengan Sudut-sudut datang sinar șL saat sebelum memasuki model kolektor. Pada tahap kajian matematis ini juga dicari persamaan
Pembuatan sampel
Pengukuran reflektansi
Pengukutan indeks bias
Perhitungan dan Pengukuran NA masing-masing sampel Pengukuran absorbansi
Pengkajian secara matematis
commit to user
XQWXN SDQMDQJ PRGHO NROHNWRU VXU\D [ %HVDUQ\D VXGXW GDWDQJ și) juga
mempengaruhi panjang kolektor surya (x) yang dibutuhkan agar semua sinar dapat dipantulkan. Dengan menggunakan persamaan besar sudut pada pemantuan ke-i dan persamaan panjang kolektor surya (x) dapat diperoleh NA secara matematis.
3.3.2. Pembuatan Program dengan Borland Delphi 7.0
Pada tahapan ini dibuat program untuk menghitung NA dengan menggunakan persamaan-persamaan matematis yang diperoleh pada tahapan kajian matematis. Pembuatan program ini ditujukan untuk mempermudah perhitungan NA secara matematis. Software pembuat program yang digunakan pada penelitian ini adalah Borland Delphi 7.0.
3.3.3.Persiapan alat dan bahan
Pada tahap ini dilakukan persiapan alat dan bahan yang dibutuhkan dalam eksperimen. Bahan yang dibutuhkan diantaranya Polymethyl metacrylate atau yang biasa dikenal dengan acrylic. Alat yang digunakan dalam penelitian ini ada beberapa macam, yaitu photo receiver sebagai sensor cahaya, powermeter sebagai alat pengukur intensitas cahaya, spectrophotometer UV-VIS-NIR sebagai alat pengukur absorbansi, meja putar berskala derajat sebagai alat pengukur reflektansi, indeks bias, dan NA masing-masing sampel.
Pada penelitian ini digunakan model eksperimen berbentuk trapesium. Model trapesium ini akan divariasi pada sudut kakinya (sudut kemiringan), dan akan divariasi pada ketinggian/panjang trapesium. Sehingga akan diperoleh beberapa sampel dengan variasi sudut kemiringan dan panjang trapesium.
commit to user
Dikarenakan jika langsung ke grid tinggi, maka akan dibutuhkan waktu yang lama. Proses polish diawali dengan meletakan kertas polish ke alat polish dengan perekat berupa magnet. Pada proses polish ini di gunakan air sebagai media pelarut untuk menghilangkan dan membuang kotoran bekas polish dari sampel sehingga proses polish menjadi lebih cepat dan lebih baik.
3.3.4. Pengukuran Absorbansi
Pengukuran absorbansi pada penelitian ini dengan menggunakan 1 buah sampel trapesium. Alat yang digunakan untuk mengukur transmitansi adalah
Ultra Violet ± Visible Spectroscopy Double Beam Shimadzu 1061 PC (Spektro-photometer UV-VIS-NIR). Dari pengukuran ini dapat diketahui seberapa besar cahaya yang diserap oleh sampel. Panjang gelombang yang digunakan pada pengukuran absorbansi ini adalah 200nm-1000nm. Data yang diperoleh dari pengukuran menggunakan alat UV-VIS-NIR Spectrophometer adalah data absorbansi. Data absorbansi ini masih di pengaruhi oleh ketebalan. Untuk memperoleh koefisien absorbansi yang tidak berpengaruh pada ketebalan maka data absorbansi yang masih dipengaruhi oleh ketebalan dibagi dengan ketebalan sampel yang digunakan pada saat pengukuran, seperti pada persamaan (2.32) pada tinjauan pustaka.
(2.32)
Dengan tebal sampel yang digunakan pada pengukuran absorbansi pada penelitian ini adalah 4,75mm. Kemudian data yang didapat dibuat grafik hubungan antara koefisien absorbsi dengan panjang gelombang dengan menggunakan software
Origin Pro 8.
3.3.5. Pengukuran Reflektansi
Pengukuran reflektansi pada penelitian ini dengan menggunakan satu buah sampel trapesium. Sebagai landasan terdapat suatu meja putar berskala derajat yang akan digunakan untuk memvariasi sudut (Gambar 3.3).
commit to user
Laser He-Ne Polarisator
Photoreceiver
Powermeter Sampel
Gambar 3.3. Meja putar berskala derajat untuk mengukur reflektansi
Pada penelitian ini, proses pengukuran nilai reflektansi PMMA adalah dengan melewatkan sinar dari leser laser He-Ne 632nm terlebih dahulu ke polarisator, kemudian diarahkan sampel PMMA. Dari sampel PMMA ini selanjutnya sinar akan dipantulkan kembali oleh sampel PMMA kemudian diukur intensitas sinar pantulnya dengan menggunakan powermeter. Pengambilan data intensitas dilakukan terhadap variasi sudut datang. Variasi sudut datang yang digunakan adalah dari 1° dan 90° dengan perubahan pergeseran sudut sebesar 1°. Untuk hasil yang lebih akurat, maka posisi lampu laser dibuat tetap. Skema proses pengambilan data digambarkan seperti pada Gambar 3.4.
commit to user
Nilai reflektansi akan diperoleh dengan membandingkan intensitas sinar pantul dengan intensitas sumber, seperti yang telah disebutkan dalam tinjauan pustaka pada persamaan (2.18) :
(2.18)
Pengukuran reflektansi dilakukan pada mode TE dan mode TM. Data antara sudut sinar datang dan intensitas sinar pantul ini dimasukkan dalam grafik. Pembuatan grafik dilakukan dengan menggunakan Software Origin Pro 8.
3.3.6. Pengukuran Indeks Bias
Pengukuran Indeks bias dapat dilakukan dengan menggunakan reflektansi mode TM. Untuk mendapatkan indeks bias yang lebih teliti dilakukan pengukuran ulang reflektansi pada rentang sudut 50°-60° dengan ketelitian 0,167°. Data reflektansi ini dibuat grafik dengan menggunakan software Origin Pro 8. Indeks bias ditunjukkan oleh nilai tangen dari sudut datang sinar laser yang memberikan nilai intensitas terkecil. Indeks bias dihitung dengan menggunakan persamaan
sudut Brewster yang secara matematis dapat dituliskan:
(2.15)
Dimana șp adalah sudut datang sinar laser yang memberikan nilai intensitas
terkecil, n2 adalah indeks bias sampel, dan n1 adalah indeks bias udara (n1=1).
Pada penelitian ini akan dicari indeks bias PMMA dengan cara mencari nilai șp.
Setelah șp didapatkan, maka dapat digunakan persamaan (2.15) untuk menghitung
indeks bias PMMA.
3.3.7. Pengukuran Numerical Aperture (NA)
Numerical Aperture merupakan parameter yang merepresentasikan sudut penerimaan maksimum dimana berkas cahaya masih bisa diterima dan merambat didalam kolektor surya. Secara matematis, besar sudut penerimaan (NA) sampel trapesium dapat dihitung dalam kaitannya dengan indek bias bahan, panjang sampel, lebar sampel, sudut kemiringan sampel ij.
commit to user
Gambar 3.5. Skema pengukuran NA sampel
Gambar 3.5 adalah skema pengambilan data NA sampel. Dalam penelitian ini langkah untuk menentukan NA adalah dengan cara meletakkan sampel diatas meja putar berskala derajat, kemudian menyinari masing ± masing sampel dengan laser dan dicari sudut maksimum dimana sinar masih merambat dalam didalam sampel hingga keluar dari ujung sisi yang lain. Laser yang digunakan pada penelitian ini adalah laser KLMDXȜ QPGDQODVHU +H-1HPHUDKȜ nm). Pengambilan data NA dilakukan pada 3 titik untuk setiap sampel, yaitu pada pusat sampel dan dua titik yang lain adalah seperempat dari lebar kolektor yang berada disebelah kiri dan kanan pusat kolektor. Penggunaan dua laser ini dimaksudkan agar dapat mewakili spektrum cahaya yang sampai ke bumi yang dipancarkan oleh matahari. Data NA untuk setiap laser dari masing-masing sampel dimasukkan kedalam tabel dan dibandingkan dengan NA hasil perhitungan secara matematis.
Laser
NAKanan
NAKiri
Sampel
commit to user
30
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, tahapan yang pertama yaitu kajian matematis sedangkan tahap yang kedua yaitu eksperimen. Kajian matematis dalam penelitian ini dilakukan dengan mencari keterkaitan antara kemiringan kolektor dengan NA. Sedangkan pada tahap eksperimen terdiri dari beberapa tahapan, yaitu: menentukan karakteristik absorbansi dan reflektansi PMMA, menentukan indeks bias PMMA, dan menentukan besarnya NA untuk setiap model kolektor surya, kemudian membandingkan besar NA dari perhitungan matematis dan hasil eksperimen.
4.1. Kajian Matematis
Pada tahapan kajian matematis dicari persamaan untuk menentukan besarnya sudut pada pemantulan ke-i ȕi). Sudut-sudut tersebut dihubungkan
dengan sudut datang și) sinar saat sebelum memasuki model kolektor. Selain itu,
juga dicari persamaan untuk panjang model kolektor surya (h). Besarnya sudut datang și) juga mempengaruhi panjang kolektor surya (h) yang dibutuhkan agar
semua sinar dapat dipantulkan.
Gambar 4. 1. Skema jalannya sinar didalam kolektor surya
L K
S
A
B
C
߮ M ߠ
commit to user
Gambar 4.1. menjelaskan tentang jalannya sinar saat didalam kolektor surya. Dari gambar 4.1. jika dilakukan penurunan persamaan besar sudut pantul ke-i atau panjang kolektor akan menemui masalah yang cukup komplek. Maka untuk mempermudah penurunan persamaan akan dilakukan beberapa tahapan:
1. Tahapan yang pertama adalah menghilangkan terlebih dahulu persegi AKLM. Karena KL//AM maka:
סܣܯܤ ൌ סܭܮܯ ൌ ߮ (4.1)
Gambar 4. 2. Penyederhanaan sampel dengan menghilangkan persegi AKLM
2. Tahapan yang kedua adalah menggangap סܤܣܯ ൌ ߙ dan סܤܣܥ ൌ ߛserta garis S adalah garis sumbu tengah kolektor yang menerangkan bahwa kolektor surya berbentuk simetris sehingga kolektor dapat dibagi menjadi dua bagian yang sama. Dengan menganggap garis S sebagai cermin dan dengan menggambil sampel sebelah kiri maka akan diperoleh (gambar 4.3):
Gambar 4. 3. Penyederhanaan sampel dengan menganggap garis S cermin
O A
B
C
M ߮ S
A
B
S ߙ
ߛ
commit to user
Dengan memperhatikan gambar 4.1 dan karena KL//AM maka:
ߙ ߛ ൌ ߮ (4.2)
4.1.1. Penurunan Persamaan Pemantulan ke-i
Gambar 4. 4. Skema pemantulan pada setengah sampel
Dengan memperhatikan ǻ$%2 dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga adalah 180°, maka:
ͳͺͲൌ סܤଵ ͻͲ ߙ (4.3)
Sehingga diperoleh:
סܤଵ ൌ ͻͲെ ߙ (4.4)
Karena סB1 dan סB2 membentuk sudut siku-siku, maka:
ͻͲൌ סܤଵ סܤଶ (4.5)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.4), ke persamaan (4.5) diperoleh:
סܤଶ ൌ ߙ (4.6)
commit to user
Dengan memperhatikan ǻ$%&GDQPHQJLQJDW jumlah sudut dalam segitiga adalah 180°, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka:
ͳͺͲൌ ߛ ሺʹ ൈ סܤଶሻ סܥଵ (4.7)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.6) ke persamaan (4.7) diperoleh:
סܥଵ ൌ ͳͺͲെ ሺʹߙ ߛሻ (4.8)
Karena סC1 dan סC2 membentuk sudut siku-siku, maka:
ͻͲൌ סܥଵ סܥଶ (4.9)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.8) ke persamaan (4.9) diperoleh:
סܥଶ ൌ ሺʹߙ ߛሻ െ ͻͲ (4.10)
Dengan memperhatikan ǻ%&' dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga adalah 180°, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka:
ͳͺͲൌ סܤଵ ሺʹ ൈ סܥଶሻ סܦଵ (4.11)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.4) dan persamaan (4.10) ke persamaan (4.11), diperoleh:
סܦଵ ൌ ʹͲെ ሺ͵ߙ ʹߛሻ (4.12)
Karena סD1 dan סD2 membentuk sudut siku-siku, maka:
ͻͲൌ סܦଵ סܦଶ (4.13)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.12) ke persamaan (4.13) diperoleh:
סܦଶ ൌ ሺ͵ߙ ʹߛሻ െ ͳͺͲ (4.14)
Dengan memperhatikan ǻ&'( dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga adalah 180°, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka:
ͳͺͲൌ סܥଵ ሺʹ ൈ סܦଶሻ סܧଵ (4.15)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.8) dan persamaan (4.14) ke persamaan (4.15) diperoleh:
סܧଵ ൌ ͵Ͳെ ሺͶߙ ͵ߛሻ (4.16)
Karena סE1 dan סE2 membentuk sudut siku-siku, maka:
ͻͲൌ סܧଵ סܧଶ (4.17)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.16) ke persamaan (4.17) diperoleh:
commit to user
Dengan memperhatikan ǻ'() dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga adalah 180°, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka:
ͳͺͲൌ סܦଵ ሺʹ ൈ סܧଶሻ סܨଵ (4.19) Dengan mensubtitusikan persamaan (4.12) dan persamaan (4.18) ke persamaan
(4.19) diperoleh:
סܨଵ ൌ ͶͷͲെ ሺͷߙ Ͷߛሻ (4.20)
Karena סF1 dan סF2 membentuk sudut siku-siku, maka:
ͻͲൌ סܨଵ סܨଶ (4.21)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.20) ke persamaan (4.21) diperoleh:
סܨଶ ൌ ሺͷߙ Ͷߛሻ െ ͵Ͳ (4.22)
Dengan memperhatikan ǻEFG dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga adalah 180°, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka:
ͳͺͲൌ סܧଵ ሺʹ ൈ סܨଶሻ סܩଵ (4.23)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.16) dan persamaan (4.22) ke persamaan (4.23) diperoleh:
סܩଵൌ ͷͶͲെ ሺߙ ͷߛሻ (4.24)
Karena סG1 dan סG2 membentuk sudut siku-siku, maka:
ͻͲൌ סܩଵ סܩଶ (4.25)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.24) ke persamaan (4.25) diperoleh:
סܩଶ ൌ ሺߙ ͷߛሻ െ ͶͷͲ (4.26)
Dengan memperhatikan ǻFGH dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga adalah 180°, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka:
ͳͺͲൌ סܨଵ ሺʹ ൈ סܩଶሻ סܪଵ (4.27)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.20) dan persamaan (4.26) ke persamaan (4.27) diperoleh:
סܪଵ ൌ ͵Ͳെ ሺߙ ߛሻ (4.28)
Karena סH1 dan סH2 membentuk sudut siku-siku, maka:
ͻͲൌ סܪଵ סܪଶ (4.29)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.28) ke persamaan (4.29) diperoleh:
commit to user
Dengan memperhatikan ǻGHI dan mengingat jumlah sudut dalam segitiga adalah 180°, dan besar sudut datang sama dengan sudut pantul maka:
ͳͺͲൌ סܩଵ ሺʹ ൈ סܪଶሻ סܫଵ (4.31)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.24) dan persamaan (4.30) ke persamaan (4.31) diperoleh:
סܫଵൌ ͵Ͳെ ሺͺߙ ߛሻ (4.32)
Karena סI1 dan סI2 membentuk sudut siku-siku, maka:
ͻͲൌ סܫଵ סܫଶ (4.33)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.32) ke persamaan (4.33) diperoleh:
סܫଶ ൌ ሺͺߙ ߛሻ െ ͷͶͲ (4.34)
Dengan memperhatikan gambar 4.4 dengan dikaitkan dengan gambar 4.2 maka pemantulan sebenarnya hanya terjadi pada סC, סE, סG, dan סI. Sementara סB, סD, סF, dan סH merupakan sudut pemantulan yang terjadi karena menganggap sumbu S sebagai cermin. Jadi סB, סD, סF, dan סH tidak akan terbentuk pada saat sinar memasuki kolektor. Maka yang akan diambil sebagai sampel persamaan dalam proses penurunan bersar sudut pantul ke-n hanya סC, סE, סG, dan סI. Dari perhitungan diperoleh :
(4.10)סܥଶ ൌ ሺʹߙ ߛሻ െ ͻͲ Pemantulan ke ± 1
(4.18)סܧଶ ൌ ሺͶߙ ͵ߛሻ െ ʹͲ Pemantulan ke ± 2
(4.26)סܩଶ ൌ ሺߙ ͷߛሻ െ ͶͷͲ Pemantulan ke ± 3
(4.34) סܫଶ ൌ ሺͺߙ ߛሻ െ ͷͶͲ Pemantulan ke ± 4
Dari persamaan (4.10), (4.18), (4.26), dan (4.34) terdapat keterkaitan Į GDQ Ȗ antara persamaan yang satu dengan persamaan lainnya. Keterkaitan itu memenuhi hubungan persamaan:
ߚ ൌ ʹ݅ߙ ሺʹ݅ െ ͳሻߛ െ ሺʹ݅ െ ͳሻͻͲι (4.35)
Dengan L «, dan ȕi menunjukkan besar sudut pantul ke-i. Persamaan ȕi
commit to user
Dengan mengembalikan bentuk kolektor kebentuk semula dengan melepaskan cermin ܵ dan mengembalikan persegi AKLM maka ߙ dan ߛ dapat dihubungkan dengan sudut datang și dan sudut bias șr.
Gambar 4. 5. Bentuk kolektor dikembalikan ke bentuk semula
Dengan menggunakan hukum Snellius tentang pembiasan, maka dari Gambar 4.5 diperoleh:
(4.36)
Karena סܣܰܭ dan șr membentuk sudut 90°, maka:
סܣܰܭ ൌ ͻͲι െ ߠ (4.37)
Dengan memperhatikan ߂ܣܰܭ dan mengingat persamaan sinus dalam segitiga diperoleh:
סܭܣܰ ൌ ͻͲι െ ߮ ߠ (4.38)
Dengan memperhatikan סܭܣܰ dan mengingat hukum pemantulan maka:
סܭܣܰ ൌ ߛ (4.39)
Sehingga
ߛ ൌ ͻͲι െ ߮ ߠ (4.40)
Dengan memsubtitusikan persamaan (4.40) ke persamaan (4.2), diperoleh:
ߙ ൌ ʹ߮ െ ͻͲι െ ߠ (4.41)
Dari beberapa perhitungan diatas dan dengan menuliskan kembali persamaan untuk menentukan besar sudut pantul ke-i, maka:
commit to user
Dengan
(4.40) ߛ ൌ ͻͲι െ ߮ ߠ (4.41) ߙ ൌ ʹ߮ െ ͻͲι െ ߠ
(4.36)
Dengan ȕLadalah persamaan untuk menentukan besar sudut pantul ke-i, ij adalah sudut kemiringan kolektor surya, dan șiDGDODKVXGXWVLQDUGDWDQJșr adalah sudut
sinar bias, Įadalah sudut yang terbentuk oleh sinar terhadap garis yang tegak
OXUXVVXPEXNROHNWRU6GDQȖDGDODKVXGut yang dibentuk oleh sinar terhadap sisi kolektor.
4.1.2. Penurunan Persamaan Panjang Kolektor
commit to user
Dengan memperhatikan Gambar 4.6, maka sebelum melangkah ke proses penurunan, terlebih dahulu harus mengingat fungsi sinus dalam trigonometri. Salah satu fungsi sinus yang sering dipakai dalam proses penurunan persamaan:
ܽ
'HQJDQPHPSHUKDWLNDQǻ$2%GDQPHQJLQJDWIXQJVLWDQJHn dan cosinus, maka:
ܺଵ ൌ ݎ ߙ (4.42)
(4.43)
'HQJDQPHPSHUKDWLNDQǻ$%&GDQPHQJLQJDWIXQJVLVLQXV, maka:
(4.44)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.8) dan persamaan (4.43) ke persamaan (4.44) diperoleh:
(4.45)
Dengan memperhatikan ǻ%&& dan mengingat fungsi cosinus, maka:
(4.46)
'HQJDQPHPSHUKDWLNDQǻ%&'GDQPHQJLQJDWIXQJVLVLQXVPDND
(4.47)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.4), persamaan (4.12) dan persamaan (4.45) ke persamaan (4.47) diperoleh:
(4.48)
Dengan memperhatikan ǻDCC' dan mengingat fungsi cosinus, maka:
(4.49)
Dengan PHPSHUKDWLNDQǻ&'(GDQPHQJLQJDWIXQJVLVLQXVPDND
(4.50)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.8), persamaan (4.16) dan persamaan (4.48) ke persamaan (4.50) diperoleh:
commit to user
Dengan memperhatikan ǻDEE' dan mengingat fungsi cosinus, maka:
(4.52)
Kerena besaran panjang tidak mungkin bernilai negatif, maka tanda negatif diabaikan, sehingga persamaan (4.46) menjadi:
(4.53)
Dengan memperhatikan ǻ'()GDQPHQJLQJDWIXQJVLVLQXVPDND
(4.54)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.12), persamaan (4.20) dan persamaan (4.51) ke persamaan (4.54) diperoleh:
(4.55)
Kerena besaran panjang tidak mungkin bernilai negatif, maka tanda negatif diabaikan, sehingga persamaan (4.55) menjadi:
(4.56)
Dengan memperhatikan ǻFEE' dan mengingat fungsi cosinus, maka:
(4.57)
Dengan PHPSHUKDWLNDQǻ()*GDQPHQJLQJDWIXQJVLVLQXVPDND
(4.58)
Dengan mensubtitusikan persamaan (4.16), persamaan (4.24) dan persamaan (4.56) ke persamaan (4.58) diperoleh:
(4.59)
Kerena besaran panjang tidak mungkin bernilai negatif, maka tanda negatif diabaikan, sehingga persamaan (4.59) menjadi:
(4.60)
Dengan memperhatikan ǻFGG' dan mengingat fungsi cosinus, maka:
commit to user
Dari beberapa perhitungan diatas,persamaan (4.42), persamaan (4.46), persamaan (4.49), persamaan (4.53), persamaan (4.57), persamaan (4.61) secara berurutan dapat ditulis ulang :
ሺͶǤͶʹሻܺͳൌ ݎ ߙ
ሺͶǤͶሻܺʹൌݎ ߛ ߙሺʹߙ ߛሻ
ሺͶǤͶͻሻܺ͵ൌݎ ߛ ሺʹߙ ߛሺ͵ߙ ʹߛሻ ሻ
ሺͶǤͷ͵ሻܺସൌݎ ߛ ሺ͵ߙ ʹߛሻሺͶߙ ͵ߛሻ
ሺͶǤͷሻܺହൌݎ ߛ ሺͷߙ ͶߛሻሺͶߙ ͵ߛሻ
ሺͶǤͳሻܺൌݎ ߛ ሺͷߙ Ͷߛሻሺߙ ͷߛሻ
Dari persamaan (4.46), (4.53), dan (4.57) terdapat keterkaitan Į GDQ Ȗ antara persamaan yang satu dengan persamaan lainnya. Keterkaitan itu memenuhi hubungan persamaan:
(4.62)
Dengan Xn adalah jarak vertikal dari sudut pantul ke-(n-1) hingga berpotongan
dengan garis S yang berfungsi sebagai sumbu kolektor, dan n adalah « Dan dari persamaan (4.49) dan (4.57) juga terdapat keterkaitan ߙ dan ߛ antara persamaan yang satu dengan persamaan lainnya. Keterkaitan itu memenuhi hubungan persamaan:
(4.63)
Dengan Xm adalah jarak vertikal dari perpotongan sinar terhadap garis S yang
berfungsi sebagai sumbu kolekor hingga sudut pantul ke-(m-2), dan m « Dengan memperhatikan gambar 4.5 diperoleh bahwa untuk setiap
WHUEHQWXN VDWX VXGXW ȕ PDND GLSHUOXNDQ SDQMDQJ ;i. Dengan demikian dapat ܺ ൌݎ ߛ ൫ሺ݊ െ ͳሻߙ ሺ݊ െ ʹሻߛ൯ሺ݊ߙ ሺ݊ െ ͳሻߛሻ
commit to user
GLVLPSXONDQ MLND WHUEHQWXN VXGXW ȕ VHEDQ\DN L PDND GLEXWXKNDQ ; PLQLPXP
sebanyak 2i. Secara matematis hasil ini dapat dituliskan
݆ݑ݈݄݉ܽܺ݉݅݊݅݉ݑ݉ ൌ ʹ ൈ ݆ݑ݈݄݉ܽߚ (4.64)
Dengan mengembalikan bentuk kolektor ke bentuk semula dengan melepaskan cermin S dan mengembalikan persegi AKLM maka dapat dicari panjang awal yang dibutuhkan (X0) dari saat sinar masuk kolektor hingga saat
sinar dipantulkan pertama kali oleh kolektor.
Dari Gambar 4.7. hal yang harus diperhatikan adalah nilai Z0. Jika sinar
mengenai sisi sebelah kanan dari garis S (garis tengah kolektor) maka Z0 bernilai
positif. Sebaliknya jika sinar mengenai sisi sebelah kiri dari garis S maka Z0
bernilai negatif.
Gambar 4. 7. Bentuk kolektor dikembalikan ke bentuk semula untuk mencari X0
Dengan memperhatikan ߂ܣܭܰ (Gambar 4.7) dan mengingat persamaan sinus, maka:
(4.65) ݕ ൌሺݎേ ܼሻ ߮
commit to user
Dengan y adalah jarak yang ditempuh sinar mulai saat memasuki kolektor hingga terpantul oleh sisi kolektor, r0 adalah setengah dari lebar kolektor bagian atas atau
jarak dari tepi kolektor bagian atas dengan sumbu kolektor S, dan Z0 adalah jarak
jatuh sinar pada kolektor bagian atas dengan sumbu kolektor S.
Dengan memperhatikan ߂ܣܰܲ dan mengingat fungsi cosinus, maka:
(4.66)
Dengan X0 adalah jarak tegak lurus dari tempat jatuhnya sinar saat sinar mulai
memasuki kolektor KLQJJDWHUEHQWXNVXGXWȖ.
Nilai Z0 disini menyesuaikan posisi saat sinar jatuh pada kolektor bagian
atas hingga memasukan kolektor. Z0 akan bernilai positif jika sinar datang jatuh di
sebelah kanan sumbu S, dan Z0 akan bernilai negatif jika sinar datang jatuh di
sebelah kiri sumbu S. Sehingga saat sinat datang jatuh disebalah kanan sumbu S akan mengakibatkan panjang X0 yang lebih besar dibanding dengan saat sinar
datang jatuh di sebelah kiri sumbu S.
Dengan memperhatikan ߂ܣܭܳ dan mengingat fungsi tangen, maka:
ܼଵ ൌ ܺሺͻͲι െ ߮ሻ (4.67)
Dengan Z1 adalah bilangan yang merepresentasikan jarak tegak lurus horizontal
VDDW WHUEHQWXN VXGXW Ȗ NH XMXQJ atas sisi kolektor terdekat, dan ij adalah sudut kemiringan kolektor.
Dengan memperhatikan Gambar 4.7, maka ݎൌ ܼଵ ݎ dan dengan mensubtitusikan ܼଵ dari persamaan (4.67) maka diperoleh:
ݎ ൌ ݎെܺሺͻͲι െ ߮ሻ (4.68)
Dengan r adalah jarak tegak lurus dari sumbu S KLQJJDWHUEHQWXNVXGXWȖ, dan ij adalah sudut kemiringan kolektor.
4.1.3. Pembuatan Program
Pembuatan program pada penelitian ini menggunakan software Borland Delphi 7.0. Pembuatan program ditujukan untuk mempermudah proses perhitungan besar sudut pantul ke-i dan panjang kolektor X secara matemetis.