• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Good Milking Practice Pada Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Good Milking Practice Pada Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Bogor"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

i RINGKASAN

KHAIRUL IKHWAN. D14080037. 2013. Evaluasi Good Milking Practice Pada Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Bogor. Skripsi. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Afton Atabany, M.Si Pembimbing Anggota : Ir. Andi Murfi, M.Si

Susu yang bermutu tinggi dan aman dikonsumsi dapat diperoleh dengan melaksanakan manajemen pemerahan yang higienis, melakukan sanitasi alat-alat pemerahan dan lingkungan (pakan, kandang, operator), kebersihan dan kesehatan ternak, serta kebersihan sumber air dan penanganan susu setelah pemerahan. Penanganan susu yang kurang higienis mengakibatkan rendahnya mutu dan keamanan susu sehingga menjadi penyebab utama kerugian dan mengurangi pendapatan peternak. Pemerahan yang higienis dapat terwujud dengan menerapkan

Good Milking Practice (GMiP).

Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan, dimulai dari bulan Juni sampai Juli 2012. Sapi yang digunakan dalam penelitian adalah sapi FH betina laktasi berjumlah 219 ekor dari 29 peternak. Pengambilan data dengan cara wawancara dan observasi menggunakan kuisioner. Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Penelitian dilakukan untuk mengkaji penerapan Good Milking Practice (GMiP) di kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor. Kajian dibagi menjadi tiga aspek pemerahan yaitu (a) sebelum pemerahan (b) saat pemerahan (c) setelah pemerahan. Kajian GMiP juga dilakukan berdasarkan umur dan lama beternak.

Hasil kajian GMiP memperlihatkan peternak kurang baik melaksanakan GMiP saat pemerahan dan sebelum pemerahan, namun peternak cukup baik melaksanakan GMiP setelah pemerahan. Peternak berumur 31-40 tahun dan pengalaman beternak 21-30 tahun menghasilkan nilai penerapan GMiP tertinggi. Pengalaman peternak yang tinggi ternyata tidak menghasilkan nilai GMiP yang tinggi. Peternak dengan penerapan GMiP cukup memiliki jumlah Total Plate Count

(TPC) lebih tinggi akan tetapi persentase mastitisnya lebih rendah dibanding peternak dengan penerapan GMiP kurang baik. Kuarter ambing sapi bagian belakang lebih banyak terkena mastitis (55,81%) dibanding kuarter depan (44,19%).

(2)

ii ABSTRACT

Evaluation of Good Milking Practice (GMiP) on the Traditionally Farms at Kebon Pedes Tanah Sareal District Bogor

Ikhwan, K., A. Atabany, A. Murfi

Less hygienic handling of milk resulted in low quality and safety of milk causing major losses and reducing farmer income. Milking hygiene can be realized by implementing Good Milking Practice (GMiP). Interview and observation have been done to 29 sample farmers in Kebon Pedes, Tanah Sareal district, Bogor. The questionnaire was used as tool for observation and interview process. Three important aspects of Good Milking Practice have been evaluated i.e. (a) pre-milking (b) milking (c) post milking. The results showed that the highest value of Good Milking Practice had implemented by farmers aged 31-40 years. Farmers by 21-30 years experience result the highest Good Milking Practice value. Higher experience has no effect on the high value of GMiP. The result in implemented of Good Milking Practice showed that the farmers had less implemented of Good Milking Practice aspects in their dairy farm. This condition associated with low microbiological quality of the milk. The good enough farmers doing GMiP produce TPC but produce mastitis lower than poorly farmers doing GMiP. Amount of 876 quarters affected in cows, hind quarters showed higher involvement (55,81%) than fore quarters (44,19%).

(3)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsumsi susu per kapita di Indonesia tergolong rendah dibanding negara Asia lainnya walaupun tingkat konsumsi terus meningkat karena pertumbuhan penduduk. Produksi susu dari peternak lokal sebagian besar diserap Industri Pengolahan Susu (IPS). Peternak belum mampu menghasilkan susu sesuai dengan kualitas yang ditetapkan oleh IPS. Kualitas mikrobiologis dan fisiko-kimia susu yang buruk dapat menyebabkan penolakan dari IPS, sehingga susu tersebut dibuang.

Penanganan susu kurang higienis mengakibatkan rendahnya mutu dan keamanan susu sehingga menjadi penyebab utama kerugian dan mengurangi pendapatan peternak. Keadaan lingkungan kurang bersih dapat mempermudah terjadinya pencemaran susu. Kontaminasi mikroorganisme pada susu dapat berasal dari 3 sumber yaitu lingkungan, ambing dan peralatan susu. Pencemaran dapat berasal dari berbagai sumber seperti kulit sapi, ambing, air, tanah, debu, manusia, peralatan, dan udara. Jumlah total mikroorganisme dalam susu segar dapat bertambah karena beberapa faktor, antara lain pencemaran dari tangan dan baju pemerah, alat perah, lingkungan seperti kandang, air, serta peralatan lain juga dapat meningkatkan jumlah mikroorganisme (Lukman et al., 2009).

Penanganan susu secara higienis akan meningkatkan mutu dan keamanan susu. Susu yang bermutu tinggi dan aman dikonsumsi dapat diperoleh dengan melaksanakan manajemen pemerahan yang higienis, melakukan sanitasi alat-alat pemerahan dan lingkungan (pakan dan kandang), kebersihan dan kesehatan ternak, serta kebersihan sumber air dan penanganan susu setelah pemerahan. Penanganan dan pengawasan yang ketat dibutuhkan dalam proses produksi untuk menjaga kualitas susu.

(4)

2 Kebon Pedes merupakan pusat peternakan sapi perah di Kota Bogor Jawa Barat. Peternak sapi perah di Kebon Pedes merupakan peternakan sapi perah rakyat. Peternak memerah secara tradisional tanpa memperhatikan kebersihan dan kesehatan proses pemerahan. Peternak memerah sapi dengan menggunakan tangan dan dengan peralatan seadanya. Susu segar dihasilkan peternak dijual langsung ke masyarakat melalui distributor lokal. Penerapan Good Milking Practices (GMiP) diharapkan menjaga kualitas susu yang dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh IPS serta aman dikonsumsi masyarakat.

Tujuan

Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi penerapan Good Milking Practice

(5)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Friesian Holstein (FH)

Sapi perah FH berasal dari Belanda dengan ciri-ciri khas yaitu warna bulu hitam dengan bercak-bercak putih pada umumnya, namun ada yang berwarna coklat ataupun merah dengan bercak putih, bulu ujung ekor berwarna putih, bagian bawah dari kaki berwarna putih, dan tanduk pendek serta menjurus kedepan (Makin, 2011). Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susu paling tinggi dengan kadar lemak susu rendah dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya di daerah tropis maupun subtropis. Bobot badan ideal sapi FH betina dewasa adalah 682 kg dan jantan dewasa 1000 kg (Sudono et al., 2003).

Sapi FH memiliki kemampuan berkembang biak yang baik, rata-rata bobot badan sapi FH adalah 750 kg dengan tinggi bahu 139,65 cm. Kemampuan produksi susu sapi FH lebih tinggi dibandingkan bangsa sapi perah lain. Suhu lingkungan yang optimum untuk sapi dewasa berkisar antara 5-21 oC, sedangkan kelembaban udara yang baik untuk pemeliharaan sapi perah adalah sebesar 60% dengan kisaran 50%-75% (Ensminger, 1995). Di tempat asalnya produksi susu per masa laktasi rata-rata sebanyak 7.245 liter atau sekitar 20 liter per hari (Putranto, 2006).

Kualitas Susu

Susu segar merupakan cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan (BSN, 2011). Persyaratan mutu susu segar dapat dilihat pada Tabel 1. Kandungan terbesar susu adalah air. Lemak susu mengandung vitamin yang hanya larut dalam lemak yaitu vitamin A, D, E dan K (Hasim dan Martindah, 2012). Kadar lemak susu mulai menurun setelah satu sampai dua bulan masa laktasi. Masa laktasi dua sampai tiga bulan kadar lemak susu mulai konstan, kemudian naik sedikit (Sudono et al., 2003).

(6)

4 2006). Susu mengandung berbagai macam protein, dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu kasein (80%) dan laktoglobulin (20%). Rasa manis susu karena adanya laktosa berkontribusi sekitar 40% kalori dari susu penuh (whole milk). Laktosa terdiri atas dua macam gula sederhana yaitu glukosa dan galaktosa. Secara alami laktosa hanya terdapat pada susu (Hasim dan Martindah, 2012).

Tabel 1. Standar Mutu Susu Segar (SNI-01-3141-2011)

No Karakteristik Satuan Syarat

a. Berat jenis (pada suhu 27,5 oC) minimum g/ml 1,0270

b. Kadar lemak minimum % 3,0

c. Kadar bahan kering tanpa lemak minimum % 7,8

d. Kadar protein minimum % 2,8

e. Warna, bau, rasa, kekentalan - Tidak ada perubahan

f. Derajat asam oSH 6,0 – 7,5

g. pH - 6,3 – 6,8

h. Uji alkohol (70%) v/v - Negatif

i. Cemaran mikroba, maksimum:

1. Total Plate Count k. Residu antibiotika (Golongan penisilin,

Tetrasiklin, Aminoglikosida, Makrolida) - Negatif

l. Uji pemalsuan - Negatif

m. Titik beku oC -0,520 s.d -0,560

n. Uji peroxidase - Positif

(7)

5 Sudono (1999) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu yaitu: bangsa, lama bunting, masa laktasi, bobot badan, estrus (birahi), umur, selang beranak, masa kering, frekuensi pemerahan serta makanan. Bangsa sapi yang berbeda akan menghasilkan komposisi susu yang berbeda, misalnya sapi perah FH menghasilkan susu dengan kandungan lemak lebih rendah bila dibandingkan sapi Jersey (Palladino et al., 2010). Faktor-faktor lain yang mempengaruhi komposisi susu ialah keragaman akibat musim, hal ini terutama terjadi pada daerah beriklim subtropis dimana kandungan lemak akan menurun pada akhir musim semi dan akan meningkat menjelang musim dingin. Perbedaan tersebut biasanya dihubungkan dengan adanya perubahan pakan ternak dari biji-bijian pada musim dingin menjadi rumput-rumputan pada musim semi (Muchtadi, 2009).

Faktor lainnya ialah umur sapi. Umur sapi berpengaruh kecil sekali terhadap komposisi susu. Selama jangka waktu 10 tahun, rata-rata kandungan lemak susu menurun sekitar 0,2% (Muchtadi, 2009).

Pakan berpengaruh terhadap komposisi susu. Kurangnya pemberian pakan akan mengurangi produksi susu. Keragaman cukup besar yang terjadi dalam kandungan protein dan karbohidrat dalam pakan tidak akan banyak mempengaruhi komposisi susu, akan tetapi pakan yang banyak mengandung lemak atau pakan tersebut secara sengaja dicampuri lemak atau minyak, pengaruhnya akan terlihat jelas kadar dan komposisi lemak susu (Muchtadi, 2009).

Usaha Sapi Perah

(8)

6 Swastika et al. (2000) menyatakan bahwa rata-rata kepemilikan sapi perah di Indonesia sebanyak 3-5 ekor per peternak sehingga tingkat efisiensi usaha masih rendah. Peternak Cibungbulang didominasi oleh peternakan rakyat, sebab umumnya mereka memiliki sapi tidak lebih dari 10 ekor walaupun demikian, beberapa diantaranya memiliki jumlah sapi yang cukup banyak yaitu lebih dari 10 ekor (Sinaga, 2000). Rata-rata kepemilikan sapi perah di Tajur Halang, Cibeureum dan kabupaten Bandung sebanyak 4 ekor, 7 ekor dan 3 ekor (Agustina, 2001 dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 2011). Usaha sapi perah di kecamatan Cepogo, Boyolali belum merupakan usaha komersial, ditandai dengan penguasaan ternak 2-4 ekor per kepala keluarga (Rusdiana dan Praharani, 2009).

Good Milking Practice (GMiP) dan Good Hygienie Practice (GHP)

International Dairy Federation Food dan Agriculture Organization of The United Nations (IDF/FAO) (2004) menyatakan bahwa untuk memperoleh susu yang aman dari suatu peternakan sapi perah, maka ada lima bagian besar yang perlu diperhatikan dan dipenuhi yaitu kesehatan ternak, pemerahan yang higienis, pakan ternak, kesejahteraan ternak, dan lingkungan peternakan. Menurut Direktorat Penanganan Pasca Panen Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (2006), beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menghasilkan susu yang berkualitas baik diantaranya:

1) pemeliharaan kesehatan ternak agar selalu sehat dengan memberikan pakan yang bergizi dan sesuai dengan kebutuhan ternak, serta melakukan pemeriksaan kesehatan ternak secara rutin,

2) pekerja yang menangani ternak dan pemerahan harus dalam kondisi yang sehat, menjaga diri agar tidak melakukan kebiasaan menggaruk, batuk-batuk, merokok ataupun bersin untuk menghindarkan kontaminasi pada susu,

3) upaya menjaga lingkungan lingkungan agar selalu bersih sangat dianjurkan agar dapat mencegah bahaya pencemaran susu pada saat pemerahan,

4) pemerahan dilakukan di tempat yang bersih, peralatan yang higienis dan kebersihan ternak, serta dengan metode yang tepat,

(9)

7 6) pengujian kualitas susu dengan parameter yang sesuai dengan parameter yang

dipersyaratkan IPS agar diketahui tingkat kualitas susu yang diterima oleh IPS tersebut dan

7) pencucian serta sanitasi semua peralatan untuk penanganan susu setelah digunakan.

Tujuan pemerahan menurut Williamson dan Payne (1993) adalah untuk mendapatkan jumlah susu maksimal dari ambingnya, apabila pemerahan tidak sempurna sapi induk cenderung untuk menjadi kering terlalu cepat dan produksi total cenderung menjadi kering terlalu cepat dan produksi total menjadi menurun. Menurut Puspitasari (2008), puting dan ambing perlu dibersihkan dengan air hangat. Membersihkan ambing dan puting dengan air hangat bertujuan untuk membersihkan ambing dan merangsang hormon pengeluaran susu, karena usapan yang hangat pada ambing merangsang otak untuk mengeluarkan hormon oksitosin. Lukman et al.

(2009) menambahkan bahwa ambing harus dicuci dengan air hangat selama 15-30 detik kemudian ambing dikeringkan dengan menggunakan lap yang bersih dan kering kemudian ambing diberikan larutan pembersih seperti larutan klor dan ambing dilap dengan kain yang kering.

Pemerahan awal dilakukan dengan membuang susu perahan pertama pada mangkuk kuarter untuk pemeriksaan susu terkait dengan kesehatan ambing sapi perah adanya gejala mastitis atau tidak (Zakiah, 2011). Puting susu diberikan sanitaiser (teat dipping) dan peralatan pemerahan harus dibersihkan setelah pemerahan selesai (Lukman et al., 2009). Zakiah (2011) menambahkan susu yang telah diperah, disaring terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam milk can.

Menurut Saleh (2004), penanganan susu dilakukan dengan cara:

1) Pemindahan air susu dari kandang. Setelah memerah, air susu dibawa ke kamar susu. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari agar air susu tersebut tidak berbau sapi ataupun kotoran,

(10)

8 3) Sebaiknya setelah diperah, air susu langsung didinginkan. Hal ini dimaksudkan agar dapat menghambat dan mengurangi perkembangan kuman. Air susu sebaiknya didinginkan maksimum 7 oC dan minimum 4 oC; dan

4) Pengawasan terhadap lalat perlu dilakukan. Hal ini dimaksud untuk mengurangi jumlah kuman dan menjaga agar sapi tidak gelisah. Bila pengawasan terhadap lalat dilaksanakan sebaik mungkin, setidak-tidaknya jumlah kuman akan dapat ditekan.

Tata Cara Pemerahan

Saleh (2004) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi produksi susu antara lain adalah jumlah pemerahan setiap hari, lamanya pemerahan, dan waktu pemerahan. Jumlah pemerahan 3-4 kali setiap hari dapat meningkatkan produksi susu daripada jika hanya diperah dua kali sehari. Sudono et al. (2003) menambahkan bahwa waktu pemerahan dalam sehari umumnya dilakukan dua kali, yaitu pagi dan sore. Namun pemerahan sebaiknya dilakukan 3 kali jika produksi lebih dari 25 liter per hari. Jarak pemerahan dapat menentukan jumlah susu yang dihasilkan. Jika jaraknya adalah 12 jam, maka jumlah susu yang dihasilkan pada waktu pagi dan sore akan sama. Jarak pemerahan yang tidak sama akan menyebabkan jumlah susu yang dihasilkan pada sore hari akan lebih sedikit daripada susu yang dihasilkan pada pagi hari. Pemerahan pada pagi hari mendapatkan susu sedikit berbeda komposisinya daripada susu hasil pemerahan sore hari. Mahardhika

et al. (2012) menyatakan bahwa metode pemerahan dengan tangan antara lain yaitu whole hand milking, kneevelen dan strippen, diantara ketiga metode tersebut yang terbaik adalah dengan menggunakan metode whole hand milking.

Saleh (2004) menyatakan bahwa pemerahan menggunakan tangan ataupun menggunakan mesin tidak memperlihatkan perbedaan dalam produksi susu, kualitas ataupun komposisi susu. Menurut Sudono et al. (2003) tahapan pemerahan dengan cara manual atau dengan tangan adalah sebagai berikut:

1) Membersihkan kandang dari segala kotoran;

2) Mencuci daerah lipatan paha sapi yang akan diperah;

(11)

9 4) Membersihkan alat-alat pemerahan susu (ember dan alat takar susu) dan cane

susu;

5) Membersihkan tangan pemerah;

6) Mencuci ambing dengan air bersih, kemudian melapnya dengan lap yang bersih; dan

7) Melakukan uji mastitis setiap sebelum dilakukan pemerahan. Sanitasi Peralatan Pemerahan dan Air

Lukman et al. (2009) menyebutkan bahwa, susu merupakan bahan makanan dengan nilai gizi tinggi, komponen nutrisi yang lengkap, dan komposisi yang berimbang. Di sisi lain, susu termasuk produk yang mudah rusak. Susunan yang sempurna dari susu sekaligus menjadi media yang sangat baik bagi pertumbuhan berbagai jenis mikroorganisme. Susu sangat peka terhadap cemaran kuman dan mudah rusak. Kerusakan susu akibat kontaminasi kuman membahayakan konsumen, karena dapat terjadi penularan penyakit seperti brucellosis dan tubercullosis (TBC). Kontaminasi mikroorganisme dapat mempengaruhi kualitas dan masa simpan. Cara beternak sapi perah pada umumnya masih bersifat tradisional sehingga peternak perlu dibekali pengetahuan tentang sanitasi peralatan pemerahan dan air untuk memperpanjang daya tahan produk susu sekaligus menekan pencemaran mikroorganisme.

Dairy Hygiene Inspectorate (DHI) (2006) menyatakan bahwa untuk mencapai keamanan pangan, peralatan yang digunakan untuk pemerahan dan penanganan susu harus selalu dibersihkan setelah digunakan. Pencucian peralatan pemerahan dan penanganan susu harus dengan menggunakan larutan pembersih.

Total Bakteri

(12)

10 Santoso et al. (2012) menambahkan kontaminasi susu oleh bakteri bersumber dari tubuh sapi, tangan pemerah dan kandang kotor.

(13)

11 MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di peternakan rakyat sapi perah di daerah kelurahan Kebon Pedes, Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor, Jawa Barat. Pengujian kualitas susu dilaksanakan di Laboratotium Ilmu Produksi Ternak Perah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan sekitar dua bulan dari bulan Juni sampai dengan Bulan Juli 2012.

Materi

Bahan yang digunakan dalam pengujian kualitas susu yaitu susu, aquades,

Plate Count Agar (PCA) dan Buffer Pepton Water (BPW). Sebanyak 219 sapi laktasi dilakukan pengujian mastitis menggunakan bahan yaitu pereaksi IPB-1

Mastitist Test. Sebanyak 29 orang peternak di wawancarai dengan bantuan kuisioner.

Instrumen untuk memperoleh data yaitu alat tulis, kuisioner, kamera, dan

videocam. Pengujian kualitas susu menggunakan tabung reaksi, waterbath, gelas piala, cawan petri, botol kaca, gunting, pembakar bunsen, pengocok tabung (vortex), inkubator, kompor, gelas ukur, pipet volumetrik, timbangan digital, cooler box, rak tabung reaksi, mikro pipet, lemari steril, lemari pendingin, plastik wrap, kapas dan plastik.

Prosedur

(14)

12 Total Plate Count (Badan Standarisasi Nasional, 2008)

Pemupukan menggunakan media Plate Count Agar (PCA). Pengenceran dilakukan dengan cara pengambilan sampel sebanyak 1 ml dimasukkan dalam 9 ml

Buffer Pepton Water (BPW) untuk mendapatkan pengenceran sepersepuluh (P-1). Pengenceran dilanjutkan dengan cara yang sama untuk mendapatkan pengenceran seperseratus (P-2) hingga diperoleh P-8. Sebanyak 1 ml dari pengenceran yang dikehendaki (P-3 sampai P-5) diambil/diteteskan dengan pipet ke dalam cawan petri steril, kemudian ditambahkan media PCA yang telah dingin (kira-kira 37 ± 1 oC ) dituangkan ke dalam cawan petri steril tersebut sebanyak 12-15 ml. Campuran tersebut dihomogenkan dengan cara cawan petri digerakkan dengan arah membentuk arah angka delapan. Setelah agar mengeras, cawan petri diinkubasikan dengan posisi terbalik pada suhu 37 ± 1 oC selama 24 - 48 jam. Jumlah bakteri ditentukan dengan metode hitungan cawan dan untuk melaporkan hasil sesuai dengan Standard Plate Count (SPC).

Jumlah bakteri = rata-rata jumlah koloni x faktor pengencer IPB-1 Mastitis Test (Sudarwanto, 1998)

Sebanyak dua ml contoh susu dimasukkan ke pedel, lalu ditambahkan dua ml pereaksi IPB-1. Pencampuran keduanya dibantu dengan menggerak-gerakkan pedel secara horizontal. Hasil dibaca berdasarkan perubahan kekentalan yang terjadi yaitu: tidak ada gumpalan, gumpalan sedikit, gumpalan nyata, cepat menggumpal terdapat sedikit jel, jel terbentuk; dengan hasil diberi tanda -, +, ++, +++, ++++ .

Rancangan dan Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan keadaan atau kondisi peternakan sapi perah rakyat di Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Bogor. Data yang diperoleh dengan kuisioner disimpulkan sesuai poin-poin yang telah disusun dan diberi skor 4, 3, 2, 1 dan 0. Nilai yang didapat dari setiap aspek kemudian dirata-ratakan. Hasil evaluasi aspek pemerahan kemudian diberi nilai mutu dengan penjabaran sebagai berikut :

(15)

13 2) jika nilai rata-rata 0,51 – 1,00 maka nilai mutu yang diberikan adalah 1, artinya

penerapan GMiP di peternakan tersebut buruk;

3) jika nilai rata-rata 1,01 – 2,00 maka nilai mutu yang diberikan adalah 2, artinya penerapan GMiP di peternakan tersebut kurang baik;

4) jika nilai rata-rata 2,01 – 3,00 maka nilai mutu yang diberikan adalah 3, artinya penerapan GMiP di peternakan cukup baik;

(16)

14 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi

Kawasan peternakan sapi perah rakyat Kebon Pedes berada di Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor dengan jarak tempuh ke pusat pemerintahan kota ± 2 km dan dari pusat pemerintahan kecamatan ± 0,5 km. Kelurahan Kebon Pedes mempunyai luas sekitar 104 ha. Kelurahan Kebon Pedes berbatasan dengan Kelurahan Kedung Badak di sebelah Utara, Kelurahan Cibogor di sebelah Selatan, Kelurahan Ciwaringin di sebelah Barat dan Kelurahan Tanah Sareal di sebelah Timur. Kebon pedes memiliki topografi yang datar, berada pada ketinggian 250 dpl, curah hujan rata-rata 3.500 - 4.000 m, suhu diantara 22-32 oC dan kelembaban 55%-96%. Kebon Pedes kurang sesuai dijadikan wilayah peternakan sapi perah. Sutardi (1981) menyebutkan bahwa lokasi yang baik untuk ternak sapi perah pada ketinggian 800 m di atas permukaan laut. Suhu di Kebon Pedes juga tidak baik untuk sapi perah. Suhu rata-rata yang baik untuk sapi perah adalah 18,3 oC (Sutardi, 1981).

Kawasan peternakan sapi perah Kebon Pedes berada di daerah padat penduduk. Keterbatasan lahan dapat menyulitkan peternak terutama dalam penyediaan lahan untuk menanam hijauan, penambahan luas kandang, dan pengolahan limbah. Penyediaan pakan hijauan sulit dilakukan karena peternak harus mencari hijauan lebih jauh dari kawasan peternakan. Peternak memanfaatkan alternatif hijauan dengan memanfaatkan limbah pasar berupa klobot jagung. Kandang sapi mempunyai ukuran yang kecil, sangat berdekatan dengan rumah warga bahkan menjadi satu dengan rumah peternak. Pengelolaan limbah menjadi masalah besar karena sebagian besar limbah langsung dibuang tanpa diolah terlebih dahulu. Hal ini dapat mencemari lingkungan perairan dan lingkungan sekitarnya.

(17)

15 banyak dibanding menjual ke KPS. Susu dari peternak dihargai oleh KPS Rp. 3000/liter sedangkan non-KPS membeli susu dari peternak Rp. 5000/liter. Terdapat selisih harga Rp. 2000/liter sehingga peternak lebih menyukai menjual susu langsung ke masyarakat ataupun distributor lokal.

Tabel 2. Populasi dan Komposisi Sapi Perah di Kebon Pedes Tahun 2012

No. Uraian Jumlah (ekor) Satuan Ternak % Satuan Ternak

1 Sapi Laktasi 219,00 219,00 63,80

2 Kering kandang

a. Tidak bunting 2,00 2,00 0,60

b. Bunting 12,00 12,00 3,50

3 Sapi dara

a. Tidak bunting 29,00 14,50 4,22

b. Bunting 37,00 18,50 5,40

4 Jantan

a. Muda 35,00 17,50 10,19

b. Dewasa 24,00 24,00 6,99

5 Anak

a. Jantan 22,00 5,50 1,60

b. Betina 51,00 12,75 3,70

Total 431,00 343,25 100,00

Peternak sapi perah di Kebon Pedes berjumlah 29 orang. Sapi perah digunakan oleh peternak adalah bangsa sapi FH dan peranakan FH. Sapi perah terdapat di Kebon pedes berjumlah 431 ekor. Sebagian besar sapi dipelihara peternak adalah sapi sedang laktasi yaitu 63,8% (Tabel 2) dari total populasi.

Bangunan kandang sapi di Kebon Pedes berdekatan dengan rumah bahkan terdapat kandang yang menyatu dengan rumah menyalahi syarat-syarat teknis perusahaan peternakan sapi perah yang dikeluarkan Direktur Jenderal Peternakan (1982) menyatakan bahwa ketentuan lokasi perusahaan peternakan sapi perah, yaitu:

(18)

16 2. Lokasi peternakan sapi perah tidak terletak di pusat kota dan pemukiman

penduduk dengan jarak sekurang-kurangnya 250 m dari pemukiman penduduk.

3. Letak atau ketinggian lokasi terhadap wilayah sekitarnya harus memperhatikan lingkungan atau topografi sedemikian rupa sehingga kotoran dan sisa-sisa perusahaan tidak mencemari wilayah di sekitar perusahaan. Peternak Kebon Pedes tidak ingin sepenuhnya disalahkan karena kawasan peternakan sudah ada sebelum pemukiman di daerah sekitar menjadi padat. Mereka berpendapat bahwa masyarakat yang datang mendekati kawasan peternakan. Pemerintah Kota Bogor pada tahun 1995 merelokasi usaha peternakan sapi perah di Kebon Pedes ke wilayah Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Sebagian besar peternak menolak relokasi tersebut karena mereka menilai bahwa dilokasi baru akan mengalami kesulitan dalam hal pemasaran serta membutuhkan banyak biaya untuk membangun sarana dan prasarana peternakan.

Umur Peternak

(19)

17 Tabel 3. Hasil Kajian Good Milking Practice dengan Kategori Umur Peternak

Umur Peternak Jumlah Peternak Persentase (%) Nilai GMiP

18-30 tahun 5 17,24 1,92

Rataan Good Milking Practice berdasarkan umur peternak sebesar 1,87. Hasil kajian GMiP menunjukkan bahwa nilai penerapan yang paling tinggi dihasilkan oleh peternak yang berumur antara 41-50 tahun yaitu sebesar 1,98. Namun penerapan GMiP oleh peternak tersebut kurang baik. Umur 41-50 tahun dikaitkan dengan pengalaman bekerja yang cukup, terlatih dalam bekerja dan memiliki etos kerja baik namun tidak terlalu tua untuk menghasilkan karya-karya kreatif dan terbuka dalam menerima perubahan. Nilai penerapan Good Milking Practice yang paling kecil ditunjukkan oleh peternak berumur diatas 60 tahun, yaitu sebesar 1,67 mungkin dikarenakan tenaga kurang untuk beternak dan kurang terbuka dalam menerima masukan. Pasaribu (2007) menjelaskan bahwa keterampilan seorang individu terutama kecepatan, kecekatan, kekuatan dan koordinasi semakin menurun seiring dengan berjalannya waktu, kebosanan pekerjaan yang berlarut-larut, dan kurangnya rangsangan intelektual pada usia tua, dapat berpengaruh terhadap berkurangnya produktivitas.

Lama Beternak

Pengalaman beternak berpengaruh terhadap pengetahuan peternak tentang manajemen pemerahan yang baik. Hasil kajian penerapan Good Milking Practice

(20)

18 Tabel 4. Hasil Kajian Good Milking Practice dengan Kategori Lama Beternak

Lama Beternak Jumlah Peternak Persentase (%) Nilai GMiP

<10 tahun 4 13,79 1,91

Nilai GMiP tertinggi dihasilkan oleh peternak dengan lama beternak 21-30 tahun sedangkan terendah dihasilkan oleh peternak dengan lama beternak 31-40, hasil ini kontradiktif dengan penjelasan Pasaribu (2007) menyatakan bahwa semakin lama masa kerja maka semakin banyak pula orang tersebut mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang akan mendukung pekerjaan mereka sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerjanya akan tetapi penerapan GMiP oleh peternak kurang baik dengan nilai antara 1,01-2,00. Peternak meyakini manajemen pemeliharaan yang selama ini dilaksanakan sudah benar dan sulit menerima masukan-masukan baru, selain itu perkembangan pengetahuan peternak yang lambat mengenai teknologi peternakan karena informasi tidak terjangkau oleh peternak.

Pendidikan

(21)

19 bertujuan untuk meningkatkan keahlian dalam menjalankan suatu pekerjaan tertentu dan pendidikan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan lingkungan. Peternak berpendidikan tinggi seharusnya menghasilkan nilai GMiP lebih besar dibanding peternak berpendidikan rendah. Gejala ini mungkin disebabkan jurusan pendidikan yang diambil tidak sesuai dengan bidang peternakan. Tabel 5. Hasil Kajian Good Milking Practice dengan Kategori Pendidikan

Pendidikan Jumlah peternak Persentase (%) Nilai GMiP

Tidak Sekolah 1 3,45 2,17

SD/ Sederajat 6 20,69 1,96

SMP/Sederajat 8 27,59 1,71

SMA/ Sederajat 11 37,93 1,86

Akademi D1-D3 1 3,45 2,08

Strata 1 (S1) 2 6,89 2,08

29 100 1,88

Good Milking Practice

Manajeman pemerahan meliputi manajemen sebelum pemerahan, manajemen saat pemerahan dan manajemen setelah pemerahan. Manajemen sebelum pemerahan meliputi pembersihan kandang, pembersihan peralatan pemerahan, pembersihan ambing dan kebersihan pemerah. Manajemen saat pemerahan meliputi tes mastitis, memerah, handling sapi, dan pemberian pakan. Manajemen setelah pemerahan meliputi pembersihan puting, penanganan susu dan penanganan sapi.

Sebelum Pemerahan

(22)

20 dari sapi yang diperah dengan jarak pemerahan yang sama, misalnya 12:12, akan cenderung sama. Namun jika jarak pemerahan berbeda, maka jumlah produksi susu pagi hari akan lebih banyak daripada sore hari (Sudono et al., 2003).

Tabel 6. Hasil Kajian Good Milking Practice Sebelum Pemerahan

No Aspek pemerahan Nilai

1 Kebersihan kandang 2,72

2 Peralatan 1,55

3 Ambing 1,48

4 Pemerah 2,03

Kegiatan pemerahan di Kebon Pedes diawali dengan membersihkan kandang. Pembersihan kandang penting dilakukan sebelum pemerahan karena dapat menghindarkan kontaminasi susu dari feses sapi ataupun kotoran sisa pakan. Peternak sapi perah di Kebon Pedes membersihkan feses yang menempel di lantai dan di dinding kandang dilanjutkan dengan membersihkan kotoran sisa pakan yang terdapat di tempat pakan. Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum pemerahan dilakukan antara lain kandang terlebih dahulu dibersihkan dan menghindari mengerjakan aktifitas lain (Lukman et al., 2009). Sudono (1999) menyatakan bahwa sebelum sapi diperah, kandang tempat sapi harus dibersihkan dan dihilangkan dari bau, baik yang berasal dari kotoran sapi maupun dari makanan atau hijauan yang berbau atau silage karena air susu mudah sekali menyerap bau-bauan yang dapat mempengaruhi kualitas susu. Performa peternak dalam menerapkan GMiP pada aspek kebersihan kandang adalah cukup dengan nilai 2,72 (Tabel 6).

(23)

21 Peralatan yang tidak bersih dalam penanganan susu mengakibatkan susu mengandung mikroorganisme. Peforma peternak dalam menerapkan GMiP aspek peralatan pemerahan kurang baik dengan nilai sebesar 1,55 (Tabel 6). Peralatan pemerahan terutama ember dan milk can yang digunakan untuk pemerahan harus sudah dalam keadaan bersih dan kering. Peralatan yang digunakan untuk pemerahan harus memiliki permukaan yang licin agar mudah membersihkannya. Ember plastik yang digunakan peternak untuk menampung susu sangat mudah tergores, sehingga susu dapat tertinggal disela-sela goresan dan menjadi tempat berkembang mikroba.

Hasil pengamatan di lapangan memperlihatkan bahwa peternak sapi perah Kebon Pedes membersihkan ambing hanya dengan menyiramkan air dingin. Penerapan GMiP pada aspek kebersihan ambing kurang baik dilaksanakan peternak dengan nilai sebesar 1,48 (Tabel 6). Pembersihan dengan cara penyiraman air dapat mengakibatkan air yang disiramkan peternak dapat jatuh dan mengontaminasi susu. Proses pembersihan ambing dilakukan untuk membersihkan kotoran yang menempel pada ambing. Pembersihan ambing dilakukan dengan cara membasuh ambing dengan air hangat menggunakan kain yang bersih kemudian pencelupan ambing ke larutan desinfektan. Khasanah (2010) menyatakan pencelupan puting akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang masuk melalui lubang puting, dengan cara merusak dinding sel mikroorganisme bagian luar dan membran sel sehingga desinfektan dapat masuk dalam sitoplasma sampai pada sel mikroorganisme, dengan demikian mikroorganisme tidak dapat berkembang biak hingga perkembangannya terhambat sampai akhirnya mikroorganisme tersebut mati, sehingga kontaminasi susu dapat dicegah sedini mungkin.

(24)

22 sampai 8 menit, maka pemerahan harus selesai dalam masa pelepasan itu agar diperoleh hasil yang maksimum (Blakely dan Bade, 1994).

Peforma pemerahan dari aspek kebersihan peternak dan keselamatan kerja cukup dengan nilai sebesar 2,03 (Tabel 6). Kebersihan peternak dapat menjaga higienitas pemerahan karena peternak sebagai subjek pemerahan langsung terlibat dalam proses pemerahan. Selain itu, faktor keselamatan pekerja saat memerah perlu diperhatikan. Idealnya saat memerah peternak dalam keadaan bersih dan menggunakan sepatu bot, karet atau kulit untuk menghindarkan kaki peternak terinjak sapi dan menginjak feses. Pengamatan dilapangan memperlihatkan bahwa sebagian besar peternak sapi perah Kebon Pedes tidak mandi atau membersihkan diri sebelum melakukan pemerahan. Kontaminasi susu dapat berasal dari peternak, seperti dari tangan peternak yang kotor, pakaian dan kelengkapan pemerahan yang lain. Handayani dan Purwanti (2010) menyatakan bahwa tangan pemerah merupakan salah satu sumber kontaminasi mikroorganisme dalam susu, dengan ditemukannya mikroorganisme pathogen seperti Staphylococcus aureus (S. aureus) dan Escherichia coli (E. coli). Kesadaran peternak dalam menjaga keselamatan kerja sudah tinggi. Hal ini terbukti dengan peternak memakai sepatu bot setiap melakukan pemerahan.

Saat Pemerahan

Susu dari perahan pertama digunakan untuk menguji apakah sapi terjangkit mastitis. Susu hasil perahan pertama mengandung banyak mikroba ikut terbuang untuk digunakan sebagai uji mastitis. Menurut Usmiati dan Nurdjannah (2009) untuk menghindari kontaminasi silang, maka sapi terjangkit mastitis harus dipisah penanganannya serta diobati secara tuntas. Mastitis dalam keadaan parah dapat mematikan puting susu sehingga puting tidak berfungsi. Nilai untuk aspek Good Milking Practice ambing sangat buruk dengan nilai sebesar nol (Tabel 7) artinya belum ada kesadaran peternak untuk memperhatikan kesehatan ambing sapi perah. Sapi perah sehat dan kebutuhan gizi cukup tentu dapat menghasilkan produksi susu maksimal.

(25)

23 bawah dapat membuat puting menjadi panjang ke bawah (Siregar et al., 1996). Kelemahan pemerahan dengan dua jari adalah mudah terjadi perlukaan pada ambing, ambing dan puting selalu basah, dan sumber kontaminasi karena ambing terus bergerak dan tertarik. Keuntungan pemerahan dengan seluruh jari adalah memerah lebih cepat, puting tidak tertarik, dan puting tidak terlalu basah sehingga kotoran jarang atau sedikit terikut dalam susu (Lukman et al., 2009). Nilai peforma peternak untuk aspek teknik memerah sebesar nol artinya peforma peternak sangat buruk dalam teknik memerah.

Tabel 7. Hasil Kajian Good Milking Practice Saat Pemerahan

No Aspek pemerahan Nilai

1 Ambing 0,00

2 Memerah 0,00

3 Penanganan sapi 1,00

4 Pemerah 2,93

5 Pemberian pakan 2,76

Memerah sapi dibantu dengan pelicin berupa margarin ataupun vaselin. Sapi yang diperah dengan margarin dapat mempengaruhi kualitas susu. Saputro (2009) mengatakan, bahwa pelicin berupa margarin atau minyak kelapa bertujuan untuk mempermudah proses pemerahan dan sapi tidak merasa sakit, namun penggunaan pelicin dapat menyebabkan kontaminasi pada susu yang dihasilkan. Pelicin banyak mengandung lemak sering terbawa dalam susu sehingga menyebabkan mudah terjadi ketengikan. Hidayat et al. (2002) menambahkan bahwa penggunaan vaselin pada proses pemerahan akan menutupi permukaan puting. Bila terus menerus menggunakan pelicin (vaselin), maka penularan penyakit sulit untuk dihindari, sehingga sebaiknya vaselin tidak digunakan.

(26)

24 pemerahan dapat menginjak susu yang telah ditampung dalam ember penampung susu. Kotoran dari ekor sapi dapat masuk ke dalam ember apabila tidak diikat.

Peforma penerapan GMiP oleh peternak sapi perah di Kebon Pedes pada aspek pemerah adalah cukup dengan nilai sebesar 2,93 (Tabel 7). Kesadaran peternak untuk tidak merokok saat memerah sangat kurang. Merokok dapat mempengaruhi kualitas susu dan dapat memperlambat proses pemerahan.

Keberhasilan pemerahan dipengaruhi oleh pengalaman peternak. Peternak berpengalaman memiliki ketelatenan tinggi sehingga sapi diperah dengan nyaman. Pengalaman dimiliki peternak di dapat secara otodidak untuk memelihara sapi perah bertahun-tahun maupun melalui penyuluhan yang mereka dapatkan. Salundik (2012) menyatakan bahwa sebagian besar peternak sapi perah di Kebon Pedes (65,72%) telah memiliki pengalaman beternak sapi perah sudah lebih dari 20 tahun. Sebagian besar peternak sapi perah di Kebon Pedes (97,14%) pernah mengikuti pendidikan informal seperti pelatihan-pelatihan terkait sebagai profesi peternak akan meningkatkan keterampilan sesuai dengan jenis pelatihan yang pernah diikuti. Pelatihan yang pernah diikuti peternak antara lain pelatihan budidaya sapi perah, pengolahan limbah dan pembuatan bio gas serta pengolahan susu dan pemeriksaan kualitas susu.

Pola pemberian pakan sapi perah oleh Peternak di Kebon Pedes sangat beragam. Pemberian pakan konsentrat atau hijauan ketika pemerahan dilakukan peternak agar sapi tenang saat diperah. Performa peternak cukup baik dalam melaksanakan GMiP dengan aspek pemberian pakan saat pemerahan dengan nilai sebesar 2,76 (Tabel 7). Menurut Sudono et al. (2003), konsentrat diberikan kepada sapi yang akan diperah sehingga pada saat pemerahan, sapi makan dalam keadaan tenang. Tristy (2009) menambahkan bahwa pemberian hijauan yang baik adalah setelah pemerahan, sebab apabila diberikan sebelum pemerahan akan menurunkan kualitas susu. Hal ini berkaitan dengan baubauan hijauan yang dapat mengontaminasi susu. Hal tersebut dapat terjadi karena susu memiliki sifat mengabsorbsi bau-bauan disekitarnya.

Setelah Pemerahan

Peternak sapi perah di kebon Pedes setelah proses pemerahan, menstripping

(27)

25 cara menyiramkan air dingin ke puting. Pembersihan puting oleh peternak kurang baik dilaksanakan dengan nilai Good Milking Practice aspek kebersihan puting sebesar 2,00 (Tabel 8). Setelah pemerahan dilaksanakan, puting seharusnya diberi larutan desinfektan untuk menghilangkan mikroba yang menempel. Direktorat Jenderal Peternakan (2009) menyatakan, bahwa keuntungan melakukan suci hama adalah puting dapat terhindar dari mastitis. Pembersihan puting dengan menyiramkan air dingin akan memicu berkembangnya mikroba hingga bermuara menjadi penyakit mastitis. Sudono (1999) menyarankan selesai diperah puting dibersihkan dan dicelupkan ke dalam larutan desinfektan klorin atau iodophor dengan kepekatan 0,01%. Perlakuan pencelupan puting akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan cara merusak dinding sel mikroorganisme bagian luar dan membran sel sehingga desinfektan dapat masuk dalam sitoplasma sampai pada sel mikroorganisme. Mikroorganisme tidak dapat berkembang biak hingga perkembangannya terhambat sampai akhirnya mikroorganisme tersebut mati, sehingga kontaminasi susu dapat dicegah sedini mungkin (Khasanah, 2010).

Tabel 8. Hasil Kajian Good Milking Practice Setelah Pemerahan

No. Aspek pemerahan Nilai

1 Puting 2,00

2 Penanganan susu setelah pemerahan 2,14

3 Sapi setelah diperah 3,59

(28)

26 Peternak sapi perah di Kebon Pedes memberikan pakan setelah selesai pemerahan. Pakan yang diberikan berupa sampah organik yang berasal dari pasar dan konsentrat yang dicampur dengan ampas tahu. Performa peternak dalam menerapkan GMiP dengan aspek penanganan sapi setelah diperah adalah baik dengan nilai sebesar 3,59 (Tabel 8). Sapi yang tetap berdiri setelah pemerahan akan mencegah penyakit mastitis. Rahman (2007) menyebutkan bahwa mastitis dapat disebabkan ambing kontak langsung dengan mikroorganisme patogen yang ada di lantai kandang. Mastitis dapat menjangkiti sapi yang langsung berbaring setelah diperah. Sapi yang baru selesai diperah, lubang putingnya masih besar, sehingga mikroba mudah masuk apabila sapi langsung berbaring. Butuh beberapa saat hingga puting kembali menutup sempurna. Akhir dari proses pemerahan dengan melakukan pemberian makan sapi dan membiarkan sapi tetap berdiri setelah selesai diperah sangat membantu dalam menjaga kesehatan sapi dan kesejahteraannya.

Total Mikroba dan Kejadian Mastitis

Total kandungan mikroba susu yang diambil dari dalam ember penampung sebesar 1,3 × 106 cfu/ml dan 1,5 × 106 cfu/ml (Tabel 9) sudah melebihi dari jumlah kandungan maksimal mikroba dalam susu segar yang terdapat pada peraturan SNI 01-3141-2011 (2011) sebesar 106 cfu/ml. Keadaan lingkungan kurang bersih dapat mempermudah terjadinya pencemaran dan meningkatkan jumlah mikroba susu. Pencemaran dapat berasal dari berbagai sumber seperti kulit sapi, ambing, air, tanah, debu, manusia, peralatan, dan udara (Lukman et al. 2009). Pemerahan yang baik dan benar akan mengurangi jumlah total mikroorganisme dalam susu.

Tabel 9. Nilai Good Milking Practice, TPC dan Mastitis

Jumlah Peternak Nilai GMiP TPC (cfu/ml) Mastitis (%)

19 2 (1,73) 1,3 × 106 61,9%

10 3 (2,15) 1,5 × 106 38,1%

Rataan 1,94 1,4 × 106 100%

(29)

27 tetapi persentase mastitisnya lebih rendah dibanding peternak dengan penerapan GMiP kurang baik. Hasil tersebut bertolakbelakang dengan pernyataan Hidayat et al. (2002) bahwa susu yang dihasilkan oleh sapi perah yang terkena mastitis mempunyai kandungan bakteri yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu yang dihasilkan dari sapi yang sehat. Peternak cukup baik melaksanakan GMiP akan tetapi peternak tidak melakukan pencegahan dan pengobatan mastitis. Hal ini terlihat dari penerapan GMiP kurang baik pada aspek pembersihan ambing; pencelupan puting dan menstripping puting serta tidak melakukan uji mastitis. Peternak tidak memisahkan sapi sehat dengan sapi terjangkit mastitis. Sapi terjangkit mastitis tidak dipisahkan dapat menyebabkan infeksi silang dengan sapi lain.

Tabel 10. Persentase Kuarter Ambing Sapi Terjangkit Mastitis

Kuarter Mastitis (%)

Depan Kanan 23,26

Depan Kiri 20,93

Belakang Kanan 27,91

Belakang Kiri 27,91

Kuarter ambing sapi bagian belakang lebih banyak terkena mastitis (55,81%) dibanding kuarter depan (44,19%). Kuarter belakang lebih banyak terkena mastitis disebabkan lebih mudah terkena urin sehingga mikroba masuk ke dalam ambing. Henskh (1995) menyatakan terdapat korelasi erat antara kerentanan atau ketahanan terhadap mastitis dan bentuk, ukuran ambing, puting, tingkat pemerahan dan status imunologi sapi diamati. Hamana et al. (1994) menambahkan bahwa ukuran kuarter belakang ambing secara signifikan mempengaruhi jumlah bakteri. Tingginya infeksi mastitis pada kuarter belakang mungkin disebabkan paparan kotoran dan urin lebih sering, kapasitas dan massa lebih besar, kerentanan lebih besar terhadap trauma langsung dan relatif lebih dekat ke lantai dibandingkan dengan kuarter depan (Singh

(30)

28 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penerapan Good Milking Practice di Peternakan sapi perah rakyat Kebon Pedes kurang baik. Nilai penerapan Good Milking Practice paling tinggi dilaksanakan oleh peternak yang berumur 31-40 tahun dan pengalaman beternak 21-30 tahun. Pendidikan peternak yang tinggi ternyata tidak menghasilkan nilai GMiP yang tinggi. Good Milking Practice yang dilakukan sebelum pemerahan dan saat pemerahan peternak sapi perah di Kebon Pedes kurang, sedangkan Good Milking Practice yang dilakukan setelah pemerahan cukup baik. Peternak dengan penerapan GMiP cukup baik memiliki jumlah Total Plate Count (TPC) lebih tinggi akan tetapi persentase mastitisnya lebih rendah dibanding peternak dengan penerapan GMiP kurang baik. Kuarter ambing sapi bagian belakang lebih banyak terkena mastitis dibanding kuarter depan.

Saran

Standar panduan penerapan Good Milking Practice dapat dibuat sehingga peternak dapat menerapkannya dengan benar. Penyuluhan dan pelatihan rutin dari dinas terkait di Kebon Pedes dapat meningkatkan pengetahuan peternak tentang penerapan Good Miliking Practice. Peternak sebaiknya menggunakan ember

(31)

EVALUASI GOOD MILKING PRACTICE PADA PETERNAKAN

SAPI PERAH RAKYAT DI KELURAHAN KEBON PEDES

KECAMATAN TANAH SAREAL BOGOR

SKRIPSI KHAIRUL IKHWAN

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(32)

EVALUASI GOOD MILKING PRACTICE PADA PETERNAKAN

SAPI PERAH RAKYAT DI KELURAHAN KEBON PEDES

KECAMATAN TANAH SAREAL BOGOR

SKRIPSI KHAIRUL IKHWAN

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(33)

i RINGKASAN

KHAIRUL IKHWAN. D14080037. 2013. Evaluasi Good Milking Practice Pada Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Bogor. Skripsi. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Afton Atabany, M.Si Pembimbing Anggota : Ir. Andi Murfi, M.Si

Susu yang bermutu tinggi dan aman dikonsumsi dapat diperoleh dengan melaksanakan manajemen pemerahan yang higienis, melakukan sanitasi alat-alat pemerahan dan lingkungan (pakan, kandang, operator), kebersihan dan kesehatan ternak, serta kebersihan sumber air dan penanganan susu setelah pemerahan. Penanganan susu yang kurang higienis mengakibatkan rendahnya mutu dan keamanan susu sehingga menjadi penyebab utama kerugian dan mengurangi pendapatan peternak. Pemerahan yang higienis dapat terwujud dengan menerapkan

Good Milking Practice (GMiP).

Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan, dimulai dari bulan Juni sampai Juli 2012. Sapi yang digunakan dalam penelitian adalah sapi FH betina laktasi berjumlah 219 ekor dari 29 peternak. Pengambilan data dengan cara wawancara dan observasi menggunakan kuisioner. Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Penelitian dilakukan untuk mengkaji penerapan Good Milking Practice (GMiP) di kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor. Kajian dibagi menjadi tiga aspek pemerahan yaitu (a) sebelum pemerahan (b) saat pemerahan (c) setelah pemerahan. Kajian GMiP juga dilakukan berdasarkan umur dan lama beternak.

Hasil kajian GMiP memperlihatkan peternak kurang baik melaksanakan GMiP saat pemerahan dan sebelum pemerahan, namun peternak cukup baik melaksanakan GMiP setelah pemerahan. Peternak berumur 31-40 tahun dan pengalaman beternak 21-30 tahun menghasilkan nilai penerapan GMiP tertinggi. Pengalaman peternak yang tinggi ternyata tidak menghasilkan nilai GMiP yang tinggi. Peternak dengan penerapan GMiP cukup memiliki jumlah Total Plate Count

(TPC) lebih tinggi akan tetapi persentase mastitisnya lebih rendah dibanding peternak dengan penerapan GMiP kurang baik. Kuarter ambing sapi bagian belakang lebih banyak terkena mastitis (55,81%) dibanding kuarter depan (44,19%).

(34)

ii ABSTRACT

Evaluation of Good Milking Practice (GMiP) on the Traditionally Farms at Kebon Pedes Tanah Sareal District Bogor

Ikhwan, K., A. Atabany, A. Murfi

Less hygienic handling of milk resulted in low quality and safety of milk causing major losses and reducing farmer income. Milking hygiene can be realized by implementing Good Milking Practice (GMiP). Interview and observation have been done to 29 sample farmers in Kebon Pedes, Tanah Sareal district, Bogor. The questionnaire was used as tool for observation and interview process. Three important aspects of Good Milking Practice have been evaluated i.e. (a) pre-milking (b) milking (c) post milking. The results showed that the highest value of Good Milking Practice had implemented by farmers aged 31-40 years. Farmers by 21-30 years experience result the highest Good Milking Practice value. Higher experience has no effect on the high value of GMiP. The result in implemented of Good Milking Practice showed that the farmers had less implemented of Good Milking Practice aspects in their dairy farm. This condition associated with low microbiological quality of the milk. The good enough farmers doing GMiP produce TPC but produce mastitis lower than poorly farmers doing GMiP. Amount of 876 quarters affected in cows, hind quarters showed higher involvement (55,81%) than fore quarters (44,19%).

(35)

iii

EVALUASI GOOD MILKING PRACTICE PADA PETERNAKAN

SAPI PERAH RAKYAT DI KELURAHAN KEBON PEDES

KECAMATAN TANAH SAREAL BOGOR

KHAIRUL IKHWAN D14080037

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(36)

Judul : Evaluasi Good Milking Practice Pada Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Bogor

Nama : Khairul Ikhwan NIM : D14080037

Menyetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

(Dr. Ir. Afton Atabany, M.Si) (Ir. Andi Murfi, M.Si) NIP. 19640521 199512 1 002 NIP. 19631229 198903 1 002

Mengetahui, Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP. 19591212 198603 1 004

(37)

v RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 20 Januari 1991. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan ayahanda Sutoyo dan Ibunda Hanifah H.

Pendidikan Sekolah Dasar penulis diselesaikan pada tahun 2002 di SD Marisi Medan. Penulis lulus dari pendidikan Sekolah Menengah Pertama pada tahun 2005 di Yayasan SMP Pangeran Antasari Medan. Penulis menamatkan Sekolah Menengah Atas pada tahun 2008 di SMA Kartika I-2 Medan. Penulis diterima di IPB melalui jalur USMI (Ujian Saringan Masuk IPB) pada tahun 2008 sebagai mahasiswa pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

(38)

vi KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, nikmat, dan karuniaNya atas terselesaikannya skripsi ini yang berjudul “Evaluasi Good Milking Practice pada Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kelurahan Kebon Pedes Kecamatan Tanah Sareal Bogor” bimbingan Dr. Ir. Afton Atabany, M.Si dan Ir. Andi Murfi, M. Si. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabat yang telah membimbing kita menuju jalan terangnya Islam.

Skripsi ini memberikan gambaran mengenai tata cara pemerahan oleh peternak sapi perah di Kebon Pedes dan kaitannya dengan kualitas susu yang dihasilkan. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga hasil penelitian yang dituliskan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi kemajuan peternakan Indonesia khususnya sapi perah.

(39)

vii

Good Milking Practice (GMiP) dan Good Hygienie Practice

(GHP)... 6

Tata Cara Pemerahan……….. 8

Sanitasi Peralatan Pemerahan dan Air……… 9

Total Bakteri…………...………. 9 Rancangan dan Analisis Data………. 12

HASIL DAN PEMBAHASAN……… 14

Keadaan Umum Lokasi……….. 14

Umur Peternak……… 16

Lama Beternak………... 17

Pendidikan……….. 18

Good Milking Practice……….... 19 Sebelum Pemerahan……….... 19

Saat Pemerahan………... 22

(40)

viii Total Mikroba dan Kejadian Mastitis………. 26

KESIMPULAN DAN SARAN……….. 28

Kesimpulan………. 28

Saran………... 28

UCAPAN TERIMA KASIH………....………. 29

DAFTAR PUSTAKA………. 30

(41)

ix DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Standar Mutu Susu Segar……….. 4 2. Populasi dan Komposisi Sapi Perah di Kebon Pedes Tahun

2012……….. 15

3. Hasil Kajian Good Milking Practice dengan Kategori Umur

Peternak……… 17

4. Hasil Kajian Good Milking Practice dengan Kategori Lama

(42)

x DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

(43)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsumsi susu per kapita di Indonesia tergolong rendah dibanding negara Asia lainnya walaupun tingkat konsumsi terus meningkat karena pertumbuhan penduduk. Produksi susu dari peternak lokal sebagian besar diserap Industri Pengolahan Susu (IPS). Peternak belum mampu menghasilkan susu sesuai dengan kualitas yang ditetapkan oleh IPS. Kualitas mikrobiologis dan fisiko-kimia susu yang buruk dapat menyebabkan penolakan dari IPS, sehingga susu tersebut dibuang.

Penanganan susu kurang higienis mengakibatkan rendahnya mutu dan keamanan susu sehingga menjadi penyebab utama kerugian dan mengurangi pendapatan peternak. Keadaan lingkungan kurang bersih dapat mempermudah terjadinya pencemaran susu. Kontaminasi mikroorganisme pada susu dapat berasal dari 3 sumber yaitu lingkungan, ambing dan peralatan susu. Pencemaran dapat berasal dari berbagai sumber seperti kulit sapi, ambing, air, tanah, debu, manusia, peralatan, dan udara. Jumlah total mikroorganisme dalam susu segar dapat bertambah karena beberapa faktor, antara lain pencemaran dari tangan dan baju pemerah, alat perah, lingkungan seperti kandang, air, serta peralatan lain juga dapat meningkatkan jumlah mikroorganisme (Lukman et al., 2009).

Penanganan susu secara higienis akan meningkatkan mutu dan keamanan susu. Susu yang bermutu tinggi dan aman dikonsumsi dapat diperoleh dengan melaksanakan manajemen pemerahan yang higienis, melakukan sanitasi alat-alat pemerahan dan lingkungan (pakan dan kandang), kebersihan dan kesehatan ternak, serta kebersihan sumber air dan penanganan susu setelah pemerahan. Penanganan dan pengawasan yang ketat dibutuhkan dalam proses produksi untuk menjaga kualitas susu.

(44)

2 Kebon Pedes merupakan pusat peternakan sapi perah di Kota Bogor Jawa Barat. Peternak sapi perah di Kebon Pedes merupakan peternakan sapi perah rakyat. Peternak memerah secara tradisional tanpa memperhatikan kebersihan dan kesehatan proses pemerahan. Peternak memerah sapi dengan menggunakan tangan dan dengan peralatan seadanya. Susu segar dihasilkan peternak dijual langsung ke masyarakat melalui distributor lokal. Penerapan Good Milking Practices (GMiP) diharapkan menjaga kualitas susu yang dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh IPS serta aman dikonsumsi masyarakat.

Tujuan

Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi penerapan Good Milking Practice

(45)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Friesian Holstein (FH)

Sapi perah FH berasal dari Belanda dengan ciri-ciri khas yaitu warna bulu hitam dengan bercak-bercak putih pada umumnya, namun ada yang berwarna coklat ataupun merah dengan bercak putih, bulu ujung ekor berwarna putih, bagian bawah dari kaki berwarna putih, dan tanduk pendek serta menjurus kedepan (Makin, 2011). Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susu paling tinggi dengan kadar lemak susu rendah dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya di daerah tropis maupun subtropis. Bobot badan ideal sapi FH betina dewasa adalah 682 kg dan jantan dewasa 1000 kg (Sudono et al., 2003).

Sapi FH memiliki kemampuan berkembang biak yang baik, rata-rata bobot badan sapi FH adalah 750 kg dengan tinggi bahu 139,65 cm. Kemampuan produksi susu sapi FH lebih tinggi dibandingkan bangsa sapi perah lain. Suhu lingkungan yang optimum untuk sapi dewasa berkisar antara 5-21 oC, sedangkan kelembaban udara yang baik untuk pemeliharaan sapi perah adalah sebesar 60% dengan kisaran 50%-75% (Ensminger, 1995). Di tempat asalnya produksi susu per masa laktasi rata-rata sebanyak 7.245 liter atau sekitar 20 liter per hari (Putranto, 2006).

Kualitas Susu

Susu segar merupakan cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan (BSN, 2011). Persyaratan mutu susu segar dapat dilihat pada Tabel 1. Kandungan terbesar susu adalah air. Lemak susu mengandung vitamin yang hanya larut dalam lemak yaitu vitamin A, D, E dan K (Hasim dan Martindah, 2012). Kadar lemak susu mulai menurun setelah satu sampai dua bulan masa laktasi. Masa laktasi dua sampai tiga bulan kadar lemak susu mulai konstan, kemudian naik sedikit (Sudono et al., 2003).

(46)

4 2006). Susu mengandung berbagai macam protein, dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu kasein (80%) dan laktoglobulin (20%). Rasa manis susu karena adanya laktosa berkontribusi sekitar 40% kalori dari susu penuh (whole milk). Laktosa terdiri atas dua macam gula sederhana yaitu glukosa dan galaktosa. Secara alami laktosa hanya terdapat pada susu (Hasim dan Martindah, 2012).

Tabel 1. Standar Mutu Susu Segar (SNI-01-3141-2011)

No Karakteristik Satuan Syarat

a. Berat jenis (pada suhu 27,5 oC) minimum g/ml 1,0270

b. Kadar lemak minimum % 3,0

c. Kadar bahan kering tanpa lemak minimum % 7,8

d. Kadar protein minimum % 2,8

e. Warna, bau, rasa, kekentalan - Tidak ada perubahan

f. Derajat asam oSH 6,0 – 7,5

g. pH - 6,3 – 6,8

h. Uji alkohol (70%) v/v - Negatif

i. Cemaran mikroba, maksimum:

1. Total Plate Count k. Residu antibiotika (Golongan penisilin,

Tetrasiklin, Aminoglikosida, Makrolida) - Negatif

l. Uji pemalsuan - Negatif

m. Titik beku oC -0,520 s.d -0,560

n. Uji peroxidase - Positif

(47)

5 Sudono (1999) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu yaitu: bangsa, lama bunting, masa laktasi, bobot badan, estrus (birahi), umur, selang beranak, masa kering, frekuensi pemerahan serta makanan. Bangsa sapi yang berbeda akan menghasilkan komposisi susu yang berbeda, misalnya sapi perah FH menghasilkan susu dengan kandungan lemak lebih rendah bila dibandingkan sapi Jersey (Palladino et al., 2010). Faktor-faktor lain yang mempengaruhi komposisi susu ialah keragaman akibat musim, hal ini terutama terjadi pada daerah beriklim subtropis dimana kandungan lemak akan menurun pada akhir musim semi dan akan meningkat menjelang musim dingin. Perbedaan tersebut biasanya dihubungkan dengan adanya perubahan pakan ternak dari biji-bijian pada musim dingin menjadi rumput-rumputan pada musim semi (Muchtadi, 2009).

Faktor lainnya ialah umur sapi. Umur sapi berpengaruh kecil sekali terhadap komposisi susu. Selama jangka waktu 10 tahun, rata-rata kandungan lemak susu menurun sekitar 0,2% (Muchtadi, 2009).

Pakan berpengaruh terhadap komposisi susu. Kurangnya pemberian pakan akan mengurangi produksi susu. Keragaman cukup besar yang terjadi dalam kandungan protein dan karbohidrat dalam pakan tidak akan banyak mempengaruhi komposisi susu, akan tetapi pakan yang banyak mengandung lemak atau pakan tersebut secara sengaja dicampuri lemak atau minyak, pengaruhnya akan terlihat jelas kadar dan komposisi lemak susu (Muchtadi, 2009).

Usaha Sapi Perah

(48)

6 Swastika et al. (2000) menyatakan bahwa rata-rata kepemilikan sapi perah di Indonesia sebanyak 3-5 ekor per peternak sehingga tingkat efisiensi usaha masih rendah. Peternak Cibungbulang didominasi oleh peternakan rakyat, sebab umumnya mereka memiliki sapi tidak lebih dari 10 ekor walaupun demikian, beberapa diantaranya memiliki jumlah sapi yang cukup banyak yaitu lebih dari 10 ekor (Sinaga, 2000). Rata-rata kepemilikan sapi perah di Tajur Halang, Cibeureum dan kabupaten Bandung sebanyak 4 ekor, 7 ekor dan 3 ekor (Agustina, 2001 dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 2011). Usaha sapi perah di kecamatan Cepogo, Boyolali belum merupakan usaha komersial, ditandai dengan penguasaan ternak 2-4 ekor per kepala keluarga (Rusdiana dan Praharani, 2009).

Good Milking Practice (GMiP) dan Good Hygienie Practice (GHP)

International Dairy Federation Food dan Agriculture Organization of The United Nations (IDF/FAO) (2004) menyatakan bahwa untuk memperoleh susu yang aman dari suatu peternakan sapi perah, maka ada lima bagian besar yang perlu diperhatikan dan dipenuhi yaitu kesehatan ternak, pemerahan yang higienis, pakan ternak, kesejahteraan ternak, dan lingkungan peternakan. Menurut Direktorat Penanganan Pasca Panen Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (2006), beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menghasilkan susu yang berkualitas baik diantaranya:

1) pemeliharaan kesehatan ternak agar selalu sehat dengan memberikan pakan yang bergizi dan sesuai dengan kebutuhan ternak, serta melakukan pemeriksaan kesehatan ternak secara rutin,

2) pekerja yang menangani ternak dan pemerahan harus dalam kondisi yang sehat, menjaga diri agar tidak melakukan kebiasaan menggaruk, batuk-batuk, merokok ataupun bersin untuk menghindarkan kontaminasi pada susu,

3) upaya menjaga lingkungan lingkungan agar selalu bersih sangat dianjurkan agar dapat mencegah bahaya pencemaran susu pada saat pemerahan,

4) pemerahan dilakukan di tempat yang bersih, peralatan yang higienis dan kebersihan ternak, serta dengan metode yang tepat,

(49)

7 6) pengujian kualitas susu dengan parameter yang sesuai dengan parameter yang

dipersyaratkan IPS agar diketahui tingkat kualitas susu yang diterima oleh IPS tersebut dan

7) pencucian serta sanitasi semua peralatan untuk penanganan susu setelah digunakan.

Tujuan pemerahan menurut Williamson dan Payne (1993) adalah untuk mendapatkan jumlah susu maksimal dari ambingnya, apabila pemerahan tidak sempurna sapi induk cenderung untuk menjadi kering terlalu cepat dan produksi total cenderung menjadi kering terlalu cepat dan produksi total menjadi menurun. Menurut Puspitasari (2008), puting dan ambing perlu dibersihkan dengan air hangat. Membersihkan ambing dan puting dengan air hangat bertujuan untuk membersihkan ambing dan merangsang hormon pengeluaran susu, karena usapan yang hangat pada ambing merangsang otak untuk mengeluarkan hormon oksitosin. Lukman et al.

(2009) menambahkan bahwa ambing harus dicuci dengan air hangat selama 15-30 detik kemudian ambing dikeringkan dengan menggunakan lap yang bersih dan kering kemudian ambing diberikan larutan pembersih seperti larutan klor dan ambing dilap dengan kain yang kering.

Pemerahan awal dilakukan dengan membuang susu perahan pertama pada mangkuk kuarter untuk pemeriksaan susu terkait dengan kesehatan ambing sapi perah adanya gejala mastitis atau tidak (Zakiah, 2011). Puting susu diberikan sanitaiser (teat dipping) dan peralatan pemerahan harus dibersihkan setelah pemerahan selesai (Lukman et al., 2009). Zakiah (2011) menambahkan susu yang telah diperah, disaring terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam milk can.

Menurut Saleh (2004), penanganan susu dilakukan dengan cara:

1) Pemindahan air susu dari kandang. Setelah memerah, air susu dibawa ke kamar susu. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari agar air susu tersebut tidak berbau sapi ataupun kotoran,

(50)

8 3) Sebaiknya setelah diperah, air susu langsung didinginkan. Hal ini dimaksudkan agar dapat menghambat dan mengurangi perkembangan kuman. Air susu sebaiknya didinginkan maksimum 7 oC dan minimum 4 oC; dan

4) Pengawasan terhadap lalat perlu dilakukan. Hal ini dimaksud untuk mengurangi jumlah kuman dan menjaga agar sapi tidak gelisah. Bila pengawasan terhadap lalat dilaksanakan sebaik mungkin, setidak-tidaknya jumlah kuman akan dapat ditekan.

Tata Cara Pemerahan

Saleh (2004) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi produksi susu antara lain adalah jumlah pemerahan setiap hari, lamanya pemerahan, dan waktu pemerahan. Jumlah pemerahan 3-4 kali setiap hari dapat meningkatkan produksi susu daripada jika hanya diperah dua kali sehari. Sudono et al. (2003) menambahkan bahwa waktu pemerahan dalam sehari umumnya dilakukan dua kali, yaitu pagi dan sore. Namun pemerahan sebaiknya dilakukan 3 kali jika produksi lebih dari 25 liter per hari. Jarak pemerahan dapat menentukan jumlah susu yang dihasilkan. Jika jaraknya adalah 12 jam, maka jumlah susu yang dihasilkan pada waktu pagi dan sore akan sama. Jarak pemerahan yang tidak sama akan menyebabkan jumlah susu yang dihasilkan pada sore hari akan lebih sedikit daripada susu yang dihasilkan pada pagi hari. Pemerahan pada pagi hari mendapatkan susu sedikit berbeda komposisinya daripada susu hasil pemerahan sore hari. Mahardhika

et al. (2012) menyatakan bahwa metode pemerahan dengan tangan antara lain yaitu whole hand milking, kneevelen dan strippen, diantara ketiga metode tersebut yang terbaik adalah dengan menggunakan metode whole hand milking.

Saleh (2004) menyatakan bahwa pemerahan menggunakan tangan ataupun menggunakan mesin tidak memperlihatkan perbedaan dalam produksi susu, kualitas ataupun komposisi susu. Menurut Sudono et al. (2003) tahapan pemerahan dengan cara manual atau dengan tangan adalah sebagai berikut:

1) Membersihkan kandang dari segala kotoran;

2) Mencuci daerah lipatan paha sapi yang akan diperah;

(51)

9 4) Membersihkan alat-alat pemerahan susu (ember dan alat takar susu) dan cane

susu;

5) Membersihkan tangan pemerah;

6) Mencuci ambing dengan air bersih, kemudian melapnya dengan lap yang bersih; dan

7) Melakukan uji mastitis setiap sebelum dilakukan pemerahan. Sanitasi Peralatan Pemerahan dan Air

Lukman et al. (2009) menyebutkan bahwa, susu merupakan bahan makanan dengan nilai gizi tinggi, komponen nutrisi yang lengkap, dan komposisi yang berimbang. Di sisi lain, susu termasuk produk yang mudah rusak. Susunan yang sempurna dari susu sekaligus menjadi media yang sangat baik bagi pertumbuhan berbagai jenis mikroorganisme. Susu sangat peka terhadap cemaran kuman dan mudah rusak. Kerusakan susu akibat kontaminasi kuman membahayakan konsumen, karena dapat terjadi penularan penyakit seperti brucellosis dan tubercullosis (TBC). Kontaminasi mikroorganisme dapat mempengaruhi kualitas dan masa simpan. Cara beternak sapi perah pada umumnya masih bersifat tradisional sehingga peternak perlu dibekali pengetahuan tentang sanitasi peralatan pemerahan dan air untuk memperpanjang daya tahan produk susu sekaligus menekan pencemaran mikroorganisme.

Dairy Hygiene Inspectorate (DHI) (2006) menyatakan bahwa untuk mencapai keamanan pangan, peralatan yang digunakan untuk pemerahan dan penanganan susu harus selalu dibersihkan setelah digunakan. Pencucian peralatan pemerahan dan penanganan susu harus dengan menggunakan larutan pembersih.

Total Bakteri

(52)

10 Santoso et al. (2012) menambahkan kontaminasi susu oleh bakteri bersumber dari tubuh sapi, tangan pemerah dan kandang kotor.

(53)

11 MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di peternakan rakyat sapi perah di daerah kelurahan Kebon Pedes, Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor, Jawa Barat. Pengujian kualitas susu dilaksanakan di Laboratotium Ilmu Produksi Ternak Perah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan sekitar dua bulan dari bulan Juni sampai dengan Bulan Juli 2012.

Materi

Bahan yang digunakan dalam pengujian kualitas susu yaitu susu, aquades,

Plate Count Agar (PCA) dan Buffer Pepton Water (BPW). Sebanyak 219 sapi laktasi dilakukan pengujian mastitis menggunakan bahan yaitu pereaksi IPB-1

Mastitist Test. Sebanyak 29 orang peternak di wawancarai dengan bantuan kuisioner.

Instrumen untuk memperoleh data yaitu alat tulis, kuisioner, kamera, dan

videocam. Pengujian kualitas susu menggunakan tabung reaksi, waterbath, gelas piala, cawan petri, botol kaca, gunting, pembakar bunsen, pengocok tabung (vortex), inkubator, kompor, gelas ukur, pipet volumetrik, timbangan digital, cooler box, rak tabung reaksi, mikro pipet, lemari steril, lemari pendingin, plastik wrap, kapas dan plastik.

Prosedur

Gambar

Tabel 1.   Standar Mutu Susu Segar (SNI-01-3141-2011)
Tabel 2.  Populasi dan Komposisi Sapi Perah di Kebon Pedes Tahun 2012
Tabel 3.  Hasil Kajian Good Milking Practice dengan Kategori Umur Peternak
Tabel 4.  Hasil Kajian Good Milking Practice dengan Kategori Lama Beternak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penulis berharap agar hasil penelitian ini dapat menjadi rekomendasi untuk para peternak, pemerintah, dan semua stakeholder s pada peternakan sapi perah rakyat di Kawasan Usaha

Hasil pengukuran logam Pb dalam susu asal sapi perah Kelurahan Kebon Pedes yang menggunakan tiga jenis pakan yaitu rumput lapangan, klobot jagung serta

Penelitian yang mengkaji kelayakan suatu usaha peternakan dengan topik analisis pengembangan dan optimalisasi produksi usaha ternak sapi perah, studi kasus peternakan Barokah,

Nurtini (2011) menyatakan bahwa usaha peternakan sapi perah Indonesia dibedakan menjadi dua jenis : 1) Usaha peternakan sapi perah rakyat; 2) Perusahaan peternakan sapi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji strategi pengembangan usaha peternakan sapi perah rakyat. Metode dasar yang digunakan metode deskriptif. Penentuan daerah penelitian secara

Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan keadaan atau kondisi peternakan di kawasan usaha Peternakan Sapi Perah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor,

Nurtini (2011) menyatakan bahwa usaha peternakan sapi perah Indonesia dibedakan menjadi dua jenis : 1) Usaha peternakan sapi perah rakyat; 2) Perusahaan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan aspek teknis pemeliharaan sapi perah berdasarkan Good Dairy Farming Practices (GDFP) di peternakan rakyat Cibungbulang sebesar 69,75%