• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jamur tiram sebagai jamur uji keawetan alami kayu karet dan sengon dengan metode standar nasional Indonesia dan standar industri Jepang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Jamur tiram sebagai jamur uji keawetan alami kayu karet dan sengon dengan metode standar nasional Indonesia dan standar industri Jepang"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

JAMUR TIRAM SEBAGAI JAMUR UJI KEAWETAN ALAMI

KAYU KARET DAN SENGON DENGAN METODE STANDAR

NASIONAL INDONESIA DAN STANDAR INDUSTRI JEPANG

Oleh

DEWI ARNA NATALIA

E44061530

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMMARY

Dewi Arna Natalia. E44061530. Oyster Mushrooms as Natural Durability Test Mushroom of Hevea Brasiliensis Muell. Arg. and Paraserianthes Falcataria (L.) Nielsen. Woods with Indonesian National Standard and Japan Industry Standard Method. Under supervision of Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr

Forest biodiversity is Indonesia's most valuable natural wealth. One kind of the diversities is a mushroom that its potential has not been fully utilized in Indonesia. One type of potential wood rot fungi is Pleurotus ostreatus or oyster mushroom. Wood rot fungi is a class of fungi that can break down cellulose and lignin, so the wood becomes rotten, strength and elasticity decreased rapidly. This fungus destroys the cell walls of wood, which can change the physical and chemical characteristic of wood. Natural durability of wood is strongly influenced by the content of extractive substances, although not all extractive substances are toxic to wood destroying organisms. More than 80% of Indonesia's wood has low natural durability, for example, rubber wood and sengon wood. This study aims to determine the level of resistance of Hevea brasiliensis and Paraserianthes falcataria against wood rot fungi P. ostreatus based on SNI 01.7207-2006 and JIS K 1571-2004, and found the use of the tested fungus P. ostreatus by SNI P. 01.7207-2006.

This research was conducted at the Forest Pathology Laboratory Department of Silviculture and Solid Wood Laboratory Department of Forest Product, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University, on October 2009 to December 2010. The variables measured were visual appearance and weight loss percentage of wood based on longitudinal and cross section fiber direction of rubber wood and sengon wood. Measurement of oven dry weight reduction of wood samples performed after 3 months (12 weeks) incubation. Completely randomized design with Factorial design was used as the experimental design. The experimental design used 3 factors: 1). Methodology (SNI and JIS); 2). Fiber direction (longitudinal and cross section); 3). Type of wood (rubber and sengon). Repetition performed 10 times at each treatment combination.

(3)

Tests using the standard JIS K 1571-2004, the lose weight value of rubber wood with longitudinal fiber direction (9.21%), cross section fiber direction (10.95%) and sengon wood with longitudinal fiber direction (5.91%), cross section fiber direction (14.20%). Based on visual observations, in general, can be seen that the colonization of mycelium spreads ranging from side of wood to the middle of the wood surface, as well as increasingly thickened and evenly distributed across the surface of the wood as long the increasing of incubation period. In addition, the color on wood surface becomes more pale and fragile.

(4)

RINGKASAN

Dewi Arna Natalia. E44061530. Jamur Tiram Sebagai Jamur Uji Keawetan Alami Kayu Karet dan Sengon dengan Metode Standar Nasional Indonesia dan Standar Industri Jepang.Di bawah bimbingan Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si. dan Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr.

Hutan dengan keanekaragaman hayati merupakan kekayaan alam Indonesia yang sangat berharga. Salah satu bentuk keanekaragaman tersebut adalah jamur yang potensinya belum dimanfaatkan secara maksimal di Indonesia. Salah satu spesies jamur pelapuk kayu yang sangat potensial adalah Pleurotus ostreatus atau jamur tiram. Jamur pelapuk kayu adalah golongan jamur yang dapat merombak selulosa dan lignin sehingga kayu menjadi lapuk, kekuatan serta elastisitasnya turun dengan cepat. Jamur ini merusak dinding sel kayu sehingga mengubah sifat fisik dan sifat kimia kayu. Keawetan alami kayu sangat dipengaruhi oleh kandungan zat ekstraktifnya meskipun tidak semua zat ekstraktif bersifat racun bagi organisme perusak kayu. Lebih dari 80% kayu di Indonesia memiliki keawetan alami yang rendah, contohnya adalah kayu Hevea brasiliensis

dan Paraserianthes falcataria. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat ketahanan karet dan sengon terhadap serangan jamur pelapuk kayu P. ostreatus

berdasarkan SNI 01.7207-2006 dan JIS K 1571-2004 serta mengetahui penggunaan jamur uji P. osreatus pada SNI 01.7207-2006.

Penelitian ini dilaksakan di Laboratorium Penyakit Hutan Departemen Silkultur , Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, pada bulan Oktober 2009 sampai Desember 2010. Variabel yang diamati meliputi penampakan secara visual dan persentase penurunan bobot kayu berdasarkan arah serat longitudinal dan

cross section pada kayu karet dan sengon. Pengukuran penurunan bobot kering oven contoh uji kayu dilakukan setelah 3 bulan (12 minggu) inkubasi. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap berpola Faktorial 2 x 2 x 2 dengan 3 faktor yaitu: 1). Metodologi (SNI dan JIS); 2). Arah serat (longitudinal dan cross section); 3). Jenis kayu (karet dan sengon). Ulangan dilakukan 10 kali pada setiap kombinasi perlakuan.

Hasil Analisa sidik ragam dengan selang kepercayaan yang digunakan adalah 95%, dapat diketahui bahwa terjadi perbedaan yang nyata antara perlakuan Jenis, Metode x Arah Serat, dan Jenis x Metode x Arah Serat terhadap penurunan bobot contoh uji kayu. Parameter keawetan kayu terhadap jamur pelapuk P. ostretus dilihat dari nilai kehilangan berat contoh uji (weight loss) yang diperoleh dari hasil uji laboratorium. Berdasarkan SNI 01.7207-2006 diketahui bahwa nilai rata-rata kehilangan bobot kayu karet dengan arah serat longitudinal (23.12%), arah serat cross section (20.77%) dan kayu sengon dengan arah serat longitudinal

(5)

Pengujian menggunakan standar JIS K 1571-2004 nilai kehilangan bobot kayu karet dengan arah serat longitudinal (9.21%), arah serat cross section

(10.95%) dan kayu sengon dengan arah serat longitudinal (5.91%), arah serat

cross section (14.20%). Berdasarkan hasil pengamatan visual, secara umum dapat terlihat bahwa kolonisasi miselium menyebar mulai dari sisi kayu menuju ke tengah permukaan kayu, serta semakin menebal dan merata di seluruh permukaan kayu seiring dengan bertambahnya lama inkubasi. Selain itu terlihat warna permukaan kayu menjadi lebih pucat dan kayu menjadi lebih rapuh.

(6)

JAMUR TIRAM SEBAGAI JAMUR UJI KEAWETAN ALAMI

KAYU KARET DAN SENGON DENGAN METODE STANDAR

NASIONAL INDONESIA DAN STANDAR INDUSTRI JEPANG

Karya Ilmiah

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEWI ARNA NATALIA

E44061530

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Jamur Tiram Sebagai

Jamur Uji Keawetan Alami Kayu Karet dan Sengon dengan Metode Standar

Nasional Indonesia dan Standar Industri Jepang adalah benar-benar hasil karya

saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan

sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2011

Dewi Arna Natalia

(8)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Jamur Tiram Sebagai Jamur Uji Keawetan Alami Kayu Karet dan Sengon dengan Metode Standar Nasional Indonesia dan Standar Industri Jepang

Nama Mahasiswa : Dewi Arna Natalia NRP : E44061530

Menyetujui: Komisi Pembimbing,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr NIP. 19670421 199103 2 001 NIP. 19521113 197803 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Silvikultur

Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr

NIP. 19641110 199002 1 001

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke-khadirat Allah SWT atas nikmat dan karunia-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Jamur Tiram Sebagai Jamur

Uji Keawetan Alami Kayu Karet dan Sengon dengan Metode Standar Nasional

Indonesia dan Standar Industri Jepang”. Karya ilmiah ini merupakan syarat untuk

mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Keluarga di rumah Babah saya H. Bambang Sudiarba, mama saya Hj.

Mastah dan ketiga adik saya Ricky Anggara, Marya Ulfa dan M. Zaenul

Hasani (adik Ije) atas segala do’a, perhatian, dukungan moril maupun

materil dan kasih sayang yang tiada hentinya.

2. Ibu Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo

Hadi, M.Agr. atas segala bantuan, bimbingan dan arahannya.

3. Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc selaku dosen penguji sidang saya atas

segala bantuan, arahan dan kritik yang sangat membangun.

4. Ibu Tutin Suryatin, BScF, Bapak Dr. Ir. Achmad, MS dan Bapak M. Alam

Firmansyah, S.Hut M.Si selaku staf dan dosen di Laboratoium Penyakit

Hutan atas bantuan, dukungan dan masukan yang diberikan selama

melaksanakan penelitian.

5. Mas Bayu atas segala dukungan, perhatian, semangat, kesabaran dan

kasih sayang yang tiada henti diberikan kepada saya.

6. Teman-teman SVK 43, Fahutan angkatan 43, Kostan Pongah (Gie2, Nana,

Ulan, Dina, Bale, Ida, Maya, Ima dan abang-abang atas), anak-anak

Mushroom Studies (Nunu, Uan, Ari, Hendri, Yolan, Edo, Umar) atas

perhatian, kebahagian yang diberikan tiada henti dan semangat dalam

menjalani hidup di perantauan saya.

7. Bang Kaka dan Bang Zefy dalam bantuan pengolahan data statistik dan

semangat yang diberikan.

8. Kakak S2 (Kak Rida, Kak Nita, Mba Fit, Kak Dika, Oppa Jin Won, Bang

Ben) atas bantuan mencari literatur dan banyak memberi masukan kepada

(10)

9. Teman satu bimbingan saya (Laila, Nana, Nanan, Kak Kemal, Nifa, Ucik,

Dian) atas dorongan, perhatian dan semangat yang di berikan kepada saya.

10.Pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu

dalam penyelesaian penelitian dan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan kekurangan yang

terdapat dalam skripsi ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun

sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini, khususnya kepada pihak-pihak

yang berkompeten dengan skripsi ini. Mudah-mudahan uraian ini dapat

bermanfaat serta menjadi pemicu semangat bagi penulis untuk mengkaji lebih luas

dan menggali lebih dalam pengetahuan yang telah didapat.

Bogor, Juni 2011

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Samarinda pada tanggal 27

Desember 1987 dari Ayah H. Bambang Sudiarba, SH. dan Ibu

Hj. Zaetun. Penulis merupakan anak pertama dari empat

bersaudara. Pendidikan formal yang telah ditempuh adalah

Taman Kanak-kanak Al-khairiyah, Tenggarong Seberang

(1992-1994), Sekolah Dasar di SDN 026 Tenggarong

Seberang (1994-2000), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTPN 1

Tenggarong Seberang (2000-2003), Sekolah Menengah Atas di SMAN 2

Tenggarong Seberang (2003-2006). Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai

mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Departemen Silvikultur melalui jalur

BUD (Beasiswa Utusan Daerah).

Penulis telah mengikuti kegiatan praktek lapang yaitu: 1). Praktek

Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) pada bulan Juli 2008 di Sancang-Kamojang,

Garut; 2). Bulan Juli – Agustus 2009, penulis melakukan Praktek Pengelolaan

Hutan (PPH) di Gunung Walat; 3). Bulan Juni – Agustus 2010 penulis melakukan

Praktek Kerja Profesi (PKP) di PT. Jembayan Muarabara, Kabupaten Kutai

Kartanegara, Kalimantan Timur.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Penulis menyusun skripsi

dengan judul “Jamur Tiram Sebagai Jamur Uji Keawetan Alami Kayu Karet dan

Sengon dengan Metode Standar Nasional Indonesia dan Standar Industri Jepang”. dibimbing oleh Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si. dan Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 2

1.3. Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Jamur ... 3

2.2. Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) ... 5

2.3. Jamur Tiram sebagai Jamur Pelapuk Kayu ... 7

2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Jamur ... 8

2.5. Siklus Pelapukan Kayu oleh Jamur Pelapuk ... 9

2.6. Proses Pelapukan Kayu ... 9

2.7. Komponen Kayu yang Digunakan Jamur ... 10

2.8. Pengaruh Serangan Pelapuk Kayu terhadap Sifat-Sifat Kayu ... 11

2.9. Struktur Kayu Daun Lebar ... 13

2.10. Kayu Karet ... 14

2.11. Kayu Sengon ... 15

2.12. Keawetan Alami Kayu ... 16

III. METODE PENELITIAN ... 18

3.1.Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

3.2. Asal Inokulum ... 18

(13)

3.4. Metode Penelitian ... 19

3.4.1. Pengambilan Contoh Uji ... 19

3.4.2. Perbanyakan Kultur jamur P. osteorus ... 19

3.4.3. Prosedur Tahap Pengujian ... 20

3.5. Pengolahan Data ... 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

4.1. Pengamatan Visual Kayu ... 23

4.2. Penurunan Bobot Akibat Serangan Jamur P. ostreatus. ... 27

4.3. Keawetan Kayu terhadap Jamur Pelapuk P. ostreatus ... 28

V. KESIMPULAN ... 32

5.1. Kesimpulan ... 32

5.2. Saran ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34

(14)

DAFTAR TABEL

No Uraian Halaman

1 Elemen-elemen yang menyusun kayu daun lebar ... 12

2 Komposisi kimia kayu karet ... 14

3 Komposisi kimia kayu sengon ... 15

4 Kelas ketahanan kayu terhadap jamur ... 16

5 Hasil pengujian kayu karet dan sengon ... 28

(15)

DAFTAR GAMBAR

No Uraian Halaman

1 Tubuh buah P. ostreatus ... 6 2 Contoh uji SNI kayu sengon longitudinal (atas kiri), sengon cross

section (atas kanan), karet longitudinal (bawah kiri) dan karet

cross section (bawah kanan) ... 19 3 Persentase penurunan bobot contoh uji berdasarkan arah serat

terhadap serangan jamur P. ostreatus ... 23 4 Miselium yang menempel pada seluruh permukaan kayu sengon

longitudinal ... 23 5 Miselium yang menempel pada seluruh permukaan kayu sengon

cross section ... 24 6 Miselium sangat tebal menutupi seluruh permukaan kayu karet

longitudinal ... 25 7 Miselium sangat tebal menutupi seluruh permukaan kayu karet

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan dengan keanekaragaman hayati merupakan kekayaan alam

Indonesia yang sangat berharga. Salah satu bentuk keanekaragaman tersebut

adalah jamur yang potensinya belum dimanfaatkan secara maksimal di Indonesia.

Sebagai salah satu sumber hayati, jamur diketahui hidup liar di alam. Tempat

tumbuhnya di tanah ataupun pada kayu yang mulai lapuk. Jamur biasanya banyak

ditemukan pada awal musim hujan. Salah satu spesies jamur pelapuk kayu adalah

Pleurotus ostreatus yang tumbuh secara alami pada batang pohon berdaun lebar atau pada limbah kayu hasil hutan.

Jamur yang menyebabkan pelapukan atau pewarnaan pada kayu dan

bahan-bahan selulosa bersifat autotrof karena tidak dapat memproduksi makanan

sendiri, jamur harus memperoleh energinya dari bahan-bahan organik lain

(Haygreen dan Bowyer 1982) Jamur pelapuk kayu contohnya P. ostreatus. merupakan penyebab utama kerusakan kayu. Jamur ini merusak dinding sel kayu

sehingga mengubah sifat fisik dan kimia kayu. Akibat serangan jamur ini dapat

mencapai titik kondisi yang disebut kayu busuk (decay).

Jamur perusak kayu hidup dari komponen-komponen kayu seperti

selulosa, hemiselulosa dan lignin yang dirombak secara biokimia dengan bantuan

enzim. Karena perombakan inilah maka sifat-sifat kayu berubah. Akibat dari

perombakan ini juga, serangan jamur perusak kayu bersifat menghancurkan dan

membusukkan bahan organik kayu. Jamur pelapuk kayu adalah golongan jamur

yang dapat merombak selulosa dan lignin sehingga kayu menjadi lapuk, kekuatan

(17)

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: 1). Mengetahui potensi jamur P. osreatus sebagai jamur uji terhadap kayu Hevea brasiliensis dan Paraserianthes falcataria

berdasarkan arah serat (longitudinal dan cross section) pada metode SNI 01.7207-2006; 2). Mengetahui tingkat ketahanan kayu H. brasiliensis dan P. falcataria

berdasarkan arah serat (longitudinal dan cross section) terhadap serangan jamur pelapuk kayu P. ostreatus berdasarkan metode SNI 01.7202-2006 dan JIS K 1571-2004.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat: 1). Memberikan informasi tentang

perbedaan teknis pengujian ketahanan kayu terhadap jamur P. ostreatus berdasarkan SNI 01.7207-2006 dan JIS K 1571-2004; 2) Memberikan informasi

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jamur

Jamur atau cendawan merupakan organisme heterotrofik yang

memerlukan senyawa organik untuk nutrisinya. Bila mereka hidup dari benda

organik mati yang terlarut, mereka disebut saprofit. Saprofit menghancurkan

sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang kompleks, menguraikannya menjadi zat-zat kimia

yang lebih sederhana, yang kemudian dikembalikan ke dalam tanah. Sebaliknya,

jamur juga dapat merugikan bilamana jamur tersebut membusukkan kayu, tekstil,

makanan dan bahan-bahan lain (Pelczar dan Chan 1986).

Kollmann (1968) dalam Nandika (1996) menyatakan bahwa, beberapa faktor fisiologis yang dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur yaitu temperatur,

oksigen, kelembaban, pH dan nutrisi, diuraikan sebagai berikut:

1. Temperatur maksimum adalah 27 − 38oC. Setelah lebih dari 40oC jamur

perusak kayu umumnya tidak dapat tumbuh lagi. Temperatur minimum

adalah 5oC, beberapa jamur ada yang masih dapat hidup di bawah 0oC.

Temperatur optimum bagi perkembangan jamur adalah 25 – 30oC.

2. Oksigen (O2) dibutuhkan oleh jamur untuk melakukan respirasi yang

menghasilkan karbon dioksida (CO2) dan air (H2O). Konsentrasi CO2 yang

tinggi akan menghambat pertumbuhan jamur, untuk pertumbuhan yang

optimumoksigenharus diambil secara bebas di udara.

3. Kebutuhan jamur akan kelembaban berbeda-beda, akan tetapi hampir

semua jenis jamur dapat hidup pada substrat-substrat yang belum jenuh

air. Kadar air yang rendah dari substrat sering menjadi faktor pembatas

bagi pertumbuhan jamur. Kayu yang memiliki kadar air kurang dari 20%

tidak diserang oleh jamur perusak sedangkan kayu yang memeliki kadar

air 35 − 50% sangat disukai oleh jamur.

4. Jamur akan tumbuh baik pada pH kurang dari 7 atau dalam suasana asam.

(19)

5. Jamur memerlukan makanan dari zat-zat yang terkandung dalam kayu

seperti selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat isi sel. Lebih dari setengah

berat kering tanur merupakan karbon. Energi diperoleh dari hasil oksidasi

senyawa-senyawa organik tersebut.

Kaul (1997) dalam Wartaka (2006) menyatakan bahwa jamur dibagi menjadi empat kelas berdasarkan ada tidaknya ciri-ciri seksual dan cara spora

seksual dibentuk, yaitu sebagai berikut:

1. Deuteromycetes merupakan fungi imperfect karena dalam proses reproduksi fase telemorfnya belum diketahui sedangkan fase anamorfnya

sudah diketahui. Jamur ini memiliki hifa yang bersekat. Contoh dari kelas

ini adalah : Fusarium spp., Rhizoctonia spp. dan Penicilium spp.

2. Basidiomycetes pada umumnya memiliki hifa yang bersekat dengan

membentuk sambungan apit (clamp connection), berkembangbiak secara seksual maupun aseksual. Perkembangan secara seksual biasanya tidak

diikuti langsung oleh karyogami. Selain itu antara alat kelamain jantan dan

betina tidak dapat dibedakan dan pada umumnya membentuk tubuh buah.

Contoh dari kelas ini adalah : Ganoderma spp., Agaricus spp. dan

Pleurotus sp.

3. Ascomycetes umumnya mempunyai askus (kantong) yang berisi spora

seksual dan hifanya berseka. Alat kelamin jantannya disebut anteridium

dan alat kelamin betinanya disebut askogonium. Contoh dari kelas ini

adalah : Oidium spp., Sacharomyces spp. dan Nectria spp.

4. Oomycetes mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : talusnya berbentuk

filament, hifanya tidak bersekat, mempunyai alat kelamin jantan

(anteridium) dan alat kelamin betina (oogium). Contoh dari kelas ini

adalah : Phytium spp., Phytopthora spp. dan Saprolegnia spp.

Struktur somatik pada jamur dikenal sebagai hifa. Hifa berbentuk seperti

benang atau filamen. Hifa dapat tumbuh kesegala arah pada ujung-ujungnya dan

bagian tertentu tempat cabang dibentuk (Gunawan 1999). Miselium yang berasal

dari satu spora dinamakan miselium primer dan merupakan miselium monokarion.

Miselium ini mempunyai satu macam inti saja. Dalam kehidupannya, dua

(20)

miselium sekunder dan miselium dikarion. Miselium hasil peleburan ini

mempunyai sel-sel dengan dua inti pada setiap selnya. Keadaan dikarion ini dapat

dipertahankan melalui proses pembentukan sambungan apit. Miselium dikarion

inilah yang menghasilkan tubuh buah suatu jamur (Chang dan Miles 1989).

Struktur reproduksi seksual yang dihasilkan di dalam tubuh bergantung

pada kelompok jamurnya. Struktur reproduksi seksual pada Ascomycetes

dinamakan askus dan spora yang terbentuk didalamnya dinamakan askospora.

Jamur Basidiomycetes menghasilkan basidiospora yang dibentuk di atas

basidium. Di dalam basidium dua inti saling melebur yang diikuti proses meiosis

sehingga menghasilkan empat inti (Chang dan Miles 1989).

Chang dan Miles (1989) berpendapat bahwa, Pleurotus spp. termasuk ke dalam kelas Basidiomycetes. Semua jamur kelas Basidiomycetes membentuk

tubuh buah atau basidium. Basidospora membentuk miselium monokariotik yang

bersifat haploid (n).

2.2. Jamur Tiram (P. ostreatus)

Jamur P. ostreatus merupakan salah satu jenis jamur kayu. Pada umumnya masyarakat menyebut jamur tiram sebagai jamur kayu karena jamur ini banyak

tumbuh pada media kayu yang sudah lapuk. Disebut jamur tiram atau oyster mushroom karena bentuk tudungnya agak membulat, lonjong dan melengkung seperti cangkang tiram. Batang atau tangkai tanaman ini tidak tepat berada pada

tengah tudung, tetapi agak ke pinggir (Yuniasmara et al., 2001).

Jamur tiram putih secara alami hidup pada batang kayu yang sudah mati.

Jamur ini mampu memproduksi enzim yang dapat mengurai material yang

mempunyai kandungan selulosa dan lignin yang tinggi seperti yang dikandung

oleh bahan buangan (limbah), baik dari tanaman pertanian maupun dari hasil

hutan. Kemampuan jamur ini dalam mengurai selulosa dan lignin dapat

dimanfaatkan dengan beberapa keuntungan yang dapat diperoleh, yaitu: 1).

Limbahnya digunakan sebagai media budidaya jamur; 2). Limbah sisa budidaya

digunakan sebagai kompos; 3). Limbah budidaya jamur tiram dapat digunakan

sebagai makanan tambahan bagi ternak ruminansia, karena bahan ini menjadi

(21)

Beberapa peneliti (Swann dan Taylor, 1993, 1995, McLaughlin et al.,1995 dan Berres et al. dalam Alexopoulus et al., 1996), membuat klasifikasi lengkap dari jamur tiram sebagai berikut: Kingdom: Fungi; Phylum: Basidiomycota; Klas:

Hymenomycetes; Ordo: Agaricales; Family: Tricholomataceae; Genus: Pleurotus; Species: Pleurotus spp.. Moncalvo et al., (2002) dan Landcare Research (2004)

dalam Herliyana (2007), mengklasifikasikan Pleurotus ke dalam famili tersendiri yaitu Pleurotaceae.

Sumber Foto : Dewi. A

Gambar 1 Tubuh buah Pleurotus ostreatus (Koleksi Laboratorium Penyakit Hutan, IPB).

2.3. Jamur Tiram (P. ostreatus) sebagai Jamur Pelapuk Kayu

Pelapukan kayu adalah proses berkurangnya kepadatan kayu yang

disebabkan adanya penguraian bahan dasar kayu oleh jamur. Pelapukan

disebabkan oleh jamur yang menggunakan kandungan dinding sel kayu sebagai

sumber makanan (Cartwright dan Findlay 1958 dalam Herliyana 2007). Pelapukan dapat menyebabkan adanya gangguan struktural, yang terjadi secara

cepat dan luas dan menyebabkan kerugian secara ekonomik dan kehilangan

sumberdaya yang cukup besar. Hal tersebut sejalan dengan permintaan kayu yang

semakin besar (Fegel dan Wegener 1989 dalam Herliyana 2007).

Jamur pelapuk secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga, yaitu

brown rot fungi (jamur pelapuk coklat), white rot fungi (jamur pelapuk putih), dan

(22)

soft rot fungi. Brown rot fungi merupakan jamur tingkat tinggi dari kelas Basidiomycetes. Jamur kelas ini mampu mendegradasi holoselulosa kayu dan

meninggalkan residu kecoklatan yang banyak mengandung lignin. White rot fungi

merupakan jamur dari kelas Basidiomycetes yang mampu mendegradasi

holoselulosa dan lignin sehingga menyebabkan warna kayu menjadi lebih muda

daripada warna normal. Soft root fungi merupakan jamur dari kelas Ascomycetes. Jamur ini mampu mendegradasi selulosa dan komponen penyusun dinding sel

kayu sehingga menjadi lebih lunak (Fengel dan Wegener 1989 dalam Herliyana 2007).

Pelapukan kayu oleh jamur dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap

awal dan tahap lanjut. Pelapukan tahap awal, mula-mula terjadi perubahan warna

dan pengerasan pada permukaan kayu. Pada tahap ini, benang-benang hifa akan

menyebar ke segala arah terutama ke arah longitudinal. Hifa dapat juga berkembang pada permukaan kayu atau bagian kayu yang retak. Miselium bekerja

seperti akar tanaman, yaitu menghisap zat makanan. Setelah tingkat permukaan

dilalui, penampilan kayu berubah secara total. Sedangkan pelapukan tahap

lanjutan, kekuatan kayu berkurang sehingga mudah dihancurkan dengan jari-jari

tangan. Kerusakan terus berlanjut bahkan kayu teras rusak berat. pelapukan pada

kayu berdiri umumnya menyebar secara vertikal dimana laju pelapukan lebih

cepat pada tahap lanjutan (Boyce 1961).

Jamur pelapuk putih merombak lignin dan polisakrida. Kayu yang

terdegardasi menjadi putih, kuning, atau coklat terang dan lunak. Umumnya

menyerang kayu daun lebar. Kerugian lain adalah keuletan kayu dan derajat

polimerasi menurun, kualitas serat serta kelarutan alkali hampir sama dengan kayu

normal. Beberapa jamur pelapuk putih mengubah lignin dan hemiselulosa secara

memilih, tetapi pada prinsipnya mereka mendegradasi seluruh komponen dinding

sel kayu. Jamur pelapuk menyebabkan kayu menjadi pucat, kadang-kadang

menyebabkan kayu menjadi rapuh, dan tampak lebih putih. Jamur pelapuk putih

telah mendapat perhatian lebih dibanding jamur pelapuk lainnya, mungkin karena

kemampuannya dalam menghasilkan enzim-enzim yang dapat diaplikasikan untuk

kemampuan bioteknologi. Miselium tumbuh dan menyebar di dalam kayu dengan

(23)

noktah atau langsung menembus dinding sel (Fengel dan Wegener 1989 dalam

Herliyana 2007).

Jamur pelapuk putih paling sering diuraikan sebagai pembuat penipisan

progresif dari dinding sekunder, dimulai pada lumen dan maju keluar kearah

lamela tengah. Fungi yang menghasilkan lapuk putih mampu mencerminkan

semua komponen kayu yang utama, yaitu fraksi-fraksi lignin dan karbohidrat.

Secara teoritik, fungi ini mampu menghasilkan degradasi sempurna dari substansi

kayu. Dengan mengingat hal ini, bahwa fungi ini akan menghasilkan suatu

penipisan seragam atau penghapusan progresif dari dinding sel kayu. Dalam

kenyataanya, dilihat ada dua tipe yang berbeda dari cendawan pelapuk putih : a).

mendekomposisikan lignin dan selulosa secara simultan lewat pembusukkan, dan

b). memilih mendekomposisikan lignin pada tahap awal-awal pembusukan

(Wilcox 1987).

2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Jamur

Jamur merupakan sekelompok tumbuhan tingkat rendah yang tidak

berklorofil dan tubuhnya dapat terdiri dari satu sel atau lebih. Individu yang terdiri

atas satu sel biasanya berbentuk benang-benang halus yang disebut miselium atau

hifa. Karena tidak berklorofil, untuk hidupnya, jamur memerlukan bahan organik

yang dapat diserap dari lingkungan sekitarnya (heterotrof). Bahan-bahan organik

tersebut didapatkan oleh jamur dari benda mati (bersifat saprofitik) ataupun dari

jasad hidup, seperti tumbuhan atau hewan (bersifat parasitik) (Alexopoulos dan

Mims 1979 dalam Herliyana 1997).

Demikian halnya dengan jamur pelapuk kayu, untuk perkembangannya

selain dipengaruhi oleh struktur dan komposisi kimia kayu, juga sangat

dipengaruhi oleh faktor makanan atau nutrisi dan faktor-faktor lingkungan lainnya

(24)

2.5. Siklus Pelapukan Kayu oleh Jamur Pelapuk

Umumnya siklus pelapukan oleh jamur pelapuk kayu dari kelas

Basidiomycetes adalah sebagai berikut. Basidiospora menempel pada permukaan

kayu karena terbawa udara, air, serangga atau bahan-bahan yang mudah terkena

infeksi. Apabila keadaan lingkungan sesuai, basidiospora tersebut akan

berkecambah menjadi hifa atau miselium yang berinti sel satu yang haploid

(miselium primer) (Tambunan dan Nandika 1989 dalam Herliyana 1997). Dua hifa miselium primer yang kompatibel akan mengadakan somatogami sehingga

terjadi dikarionasi (terjadinya hifa baru dengan tetap berinti dua), sehingga

terbentuk miselium sekunder yang selanjutnya berinti dua yang masing-masing

haploid (Buller 1924 dalam Herliyana 1997). Miselium sekunder ini berkembang secara khusus, yaitu tiap inti membelah diri dan hasil belahan tiap pasangan inti

berkumpul lagi membentuk pasangan baru tanpa mengadakan kariogami dalam

sel baru, sehingga miselium sekunder tiap sel selalu berinti dua. Pembelahan

tiap-tiap inti diikuti dengan terbentuknya suatu kait yang mengakibatkan terjadinya

suatu struktur pada tiap antar dua sel yang lama dan baru yang biasa disebut

sambungan apit (clamp connection) (Buller 1924 dalam Herliyana 1997). Setelah terbentuk miselium sekunder yang sel ke sel pada kayu melalui lubang

pengeboran yang dibuatnya di tempat-tempat pertemuan antara hifa itu dengan

dinding sel atau melalui noktah-noktah dan dinding sel kayu.

2.6 Proses Pelapukan Kayu

Cartwright dan Findlay (1958) dalam Herliyana (1997) mendefinisikan pelapukan kayu sebagai berkurangnya kepadatan kayu, disebabkan karena

terjadinya penguraian bahan dasar kayu oleh jamur. Karena jamur tidak

mempunyai kemampuan untuk membentuk bahan organik sendiri, maka

bahan-bahan organik kompleks yang ada dalam kayu dirombak untuk dijadikan sebagai

sumber energi. Hasil dari proses respirasi oleh jamur tersebut berupa

karbondioksida sesuai dengan dikemukakan di bawah ini.

(25)

Jamur pelapuk kayu dapat berkembang dalam kondisi lingkungan yang

cocok melalui perkecambahan spora atau pertumbuhan segmentasi hifa

(mycelium) yang berasal dari sumber-sumber yang terinfeksi di sekitarnya. Hifa

tumbuh sepanjang permukaan kayu dan melakukan penetrasi untuk pertama kali

melalui dinding sel kayu atau lubang yang dibuat oleh hifa itu sendiri (Haygreen

dan Bowyer 1982; Manion 1981 dalam Herliyana 1997). Menurut Khan (1954) dan Shigo (1979) dalam Herliyana (1997) berpendapat bahwa kejadian tersebut merupakan awal dari proses pelapukan.

Kemampuan hifa menyerang sel-sel kayu ditentukan oleh kenormalan

aktivitas pertumbuhan sel hifa yang ada pada ujung hifa, yang dikenal sebagai

zona sub-apikal hifa. Sel-sel pada ujung hifa selain dapat mengadakan proses

biokimia juga dapat menghasilkan enzim yang diperlukan untuk mempercepat

(katalisator) proses biokimia dalam rangka menembus dinding sel kayu serta

perolehan zat makanan yang diperlukan hifa (Haygreen dan Bowyer 1982 dalam

Herliyana 1997).

2.7. Komponen Kayu yang Digunakan Jamur

Pada prinsipnya bahan yang terkandung dalam kayu dapat dimanfaatkan

oleh jamur. Holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa) serta lignin yang secara

bersama-sama membentuk zat kayu, dirombak oleh mikroorganisme menjadi

senyawa-senyawa lebih sederhana dengan bantuan enzim tertentu, sehingga dapat

diabsorbsi dan dimetabolisme (Tambunan dan Nandika 1989).

Kayu adalah bahan alami yang berupa komposit dan terdiri atas sel-sel.

Kayu dapat pula disebut polimer alami, mengingat 97 − 99% bobotnya berupa

polimer (sekitar 90% pada kayu tropis). Nicholas (1987) dalam Herliyana (2007), mengatakan bahwa dalam kegiatan pelapukan kayu jamur membutuhkan nitrogen

dan minerak-mineral. Kandungan nitrogen yang tersedia pada kayu kurang lebih

0,03 − 0,10%, sedangkan kandungan abu mineral tersebut mampu mendukung

kegiatan pelapukan oleh jamur.

(26)

2.8. Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk Kayu terhadap Sifat-sifat Kayu Pengaruh serangan jamur pelapuk putih terhadap sifat-sifat kayu

diantaranya adanya perubahan struktural kayu dari yang normal, pengurangan

berat yang disebabkan oleh hilangnya sebagian selulosa dan lignin karena

dirombak jamur, berkurangnya kekuatan kayu, peningkatan kadar air karena kayu

yang telah diserang jamur banyak menyerap air dari pada kayu sehat, penurunan

kalori terjadi karena intensitas pelapukan semakin tinggi maka nilai kalori

semakin rendah sebab kayu yang lapuk memberi panas yang rendah pada kayu

yang sehat, perubahan warna pelapuk putih menimbulkan warna putih pada

bagian kayu yang terserang, perubahan bau akan menimbulkan bau yang tak

sedap dan perubahan struktur mikroskopis pelapukan putih menyebabkan dinding

sel kayu semakin lama makin tipis dan akhirnya habis (Nandika dan Tambunan

1989 dalam Herliyana 1997).

Jika jamur berkembang, akan terjadi perubahan sifat-sifat fisik dan kimia

kayu yang terserang. Intensitas perubahan tersebut terutama tergantung pada

luasnya perubahan tersebut terutama dari organisme yang dihasilkannya. Kayu

yang terserang jamur pelapuk P. ostreatus hampir sama dengan kayu yang terserang jamur pelapuk putih lainnya, yaitu adanya perubahan warna kayu

menjadi putih, kuning, merah cokelat atau cokelat muda (Padlinurjaji 1979 dalam

Herliyana 1997).

Jamur pelapuk putih dapat dibedakan dengan jamur pelapuk cokelat, salah

satunya secara kimiawi dengan larutan “guaicum” ditunjukkan dengan adanya

perubahan warna menjadi biru pada media biakan jamur pelapuk putih, sedang

pada media biakan jamur pelapuk cokelat tidak menunjukkan perubahan (Boyce

1961 dalam Herliyana 1997). Selain itu hampir semua jamur pelapuk putih memproduksi enzim oksidase, sedang jamur pelapuk cokelat tidak memberikan

reaksi oksidase (Khan 1954; Boyce 1961 dalam Herliyana 1997).

Zat ekstraktif merupakan bagian kecil dari suatu pohon dan bukan

merupakan penyusun struktur kayu, namun zat ini cukup esensial dan berpengaruh

terhadap sifat-sifat kayu termasuk ketahanan terhadap serangan serangga dan

organisme pelapuk lainnya karena bersifat racun (Ediningtyas 1993). Jenis dan

(27)

menentukan keawetan alami suatu jenis kayu. Penggolongan keawetan alami kayu

didasarkan pada keawetan kayu teras. Hal ini disebabkan adanya zat ekstraktif

seperti tanin dan senyawa-senyawa phenolik yang memiliki sifat racun dan dalam

jumlah yang cukup dapat mencegah kerusakan kayu oleh faktor perusak,

sehingga terdapat perbedaan ketahanan antara kayu gubal dan kayu teras.

Selanjutnya Tobing (1977) mengemukakan bahwa kayu gubal memiliki keawetan

yang rendah karena kayu gubal tidak mengandung zat ekstraktif. Hal ini juga

didukung oleh pernyataan Browning (1967) dalam Ediningtyas (1993) bahwa tidak ada jenis kayu yang menghasilkan kayu gubal yang awet. Selain itu variasi

keawetan juga terdapat di dalam kayu teras, dimana kayu teras bagian luar lebih

awet dibandingkan kayu teras bagian dalam (Tobing 1977).

2.9. Struktur Kayu Daun Lebar

Batang kayu daun lebar pada dasarnya disusun oleh dua pola penyusunan

sel-sel, yaitu sel-sel yang menyusun kayu ke arah longitudinal (axial) dan sel-sel yang menyusun kayu ke arah tranversal (horizontal). Pola penyusunan sel-sel tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 (Pandit dan Ramdan 2002).

Tabel 1 Elemen-elemen yang menyusun kayu daun lebar

Arah Longitudinal Arah Tranversal

A. Bersifat Prosenkim

1. Vessel (sel pembuluh)

2. Fibers (sel serabut)

a. Trakeida serabut

b. Serabut libriform

3. Tracheids (sel trakeida)

a. Trakeida pembuluh

b. Trakeida keliling pembuluh

A. Bersifat Prosenkim

Tidak terdapat

B. Bersifat Parenkim : Parenkim axial,

parenkim fusiform, dan sel epithel

B. Bersifat Parenkim

1. Parenkim jari-jari

a. Sel tegak

b. Sel baring

(28)

Sel-sel kayu daun lebar pada dasarnya disusun oleh lima macam sel-sel

pokok yaitu: 1). Pori atau sel pembuluh (Vessel cells); 2). Sel serabut (Fibers); 3). Sel parenkim (Parenchyma); 4). Sel trakeida (Tracheida); 5). Sel ephitel (Epithelial cells).

Sifat-sifat yang sama terdapat pada semua kayu, pada dasarnya dapat

dibagi atas empat macam: 1). Semua batang pohon tersusun predominan dalam

arah vertikal artinya kayu yang dihasilkan tersusun sebagian besar oleh sel-sel

yang arahnya sejajar sumbu batang; 2). Kayu-kayu mempunyai struktur seluler,

komposisi kimianya sama yaitu terdiri atas selulosa, hemiselulosa dan lignin; 3).

Semua kayu mempunyai sifat anisotrapik, artinya sifat-sifat fisiknya berlainan

menurut sumbu simetrinya (sumbu aksial, radial, dan tangensial). Keadaan ini

disebabkan oleh struktur dan orientasi selulosa di dalam dinding sel, bentuk

memanjang dari sel-sel kayu dan pengaturan aksial dan radial dari sel-sel dalam

batang; 4). Kayu mempunyai sifat higroskopis yaitu sanggup melepaskan dan

menghisap uap air menurut perubahan dalam kelembaban relatif dan suhu udara di

sekitarnya, karena sifat higroskopis inilah maka kayu dapat menyusut atau

mengembang tergantung dari kadar air yang dikandungnya (Pandit 1991 dalam

Herliyana 2007).

2.10. Kayu Karet

Kayu H. brasilensis termasuk famili Ephorbiaceae. Di Indonesia kayu karet banyak terdapat pada perkebunan rakyat di Sumatera, Jawa dan Kalimantan

untuk diambil getahnya. Pohon karet pertama kali dibudidayakan di Indonesia,

Malaysia dan Singapura pada tahun 1876 (Siswanto dan Mudji 2002 dalam

Fitriyani 2010).

Jumlah pohon per hektar berkisar antara 175 − 200 pohon. Batang bebas

cabang berkisar 2 − 4 m, tidak silindris dengan diameter setinggi dada rata-rata 30

cm. Menurut Martawijaya (1972) kayu karet memiliki ciri-ciri, kayu teras yang

masih segar berwarna keputihan dan lama-kelamaan berubah menjadi cokelat

muda, sedangkan kayu gubal berwarna putih. Batas kayu gubal dan kayu teras

(29)

kadang lebar, pori-pori kayu terlihat jelas dengan mata biasa dalam bentuk soliter

atau berkelompok dalam deretan radial 2 − 4 pori tersebar merata. Kayu karet

termasuk dalam kelas kuat II − III dan memiliki berat jenis 0,61.

Sifat dasar lainnya yang menonjol dari kayu karet adalah kayunya mudah

digergaji dan permukaan gergajinya cukup halus, serta mudah dibubut dengan

menghasilkan permukaan yang rata dan halus. Kayu karet juga mudah dipaku, dan

mempunyai karakteristik pelekatan yang baik dengan semua jenis perekat. Sifat

yang khas dari kayu karet adalah warnanya yang putih kekuningan ketika baru

dipotong, dan akan menjadi kuning pucat seperti warna jerami setelah

dikeringkan. Selain warna yang menarik dan tekstur yang mirip dengan kayu

ramin dan perupuk yaitu halus dan rata, kayu karet sangat mudah diwarnai

(Eksanto 1996).

Tabel 2. Komposisi kimia kayu karet

Jenis Analisa Kadar (%)

Selulosa total 60,0-68,0

Alpha selulosa 39,0-45,0

Pentosan 19,0-22,0

Lignin 19,0-24,0

Abu 0,65-1,30

Sumber: Boerhendy dan Agustina 2006

2.11. Kayu Sengon

Kayu P. falcataria (L) Nielsen termasuk famili leguminosae. Sebaran alaminya di Irian Jaya dan Kepulauan Maluku. Sumber benih terdapat di Kediri

(Jawa Timur). Tumbuh pada ketinggian 0-1200 m dpl dengan curah hujan

2400-4800 mm/tahun. Jenis ini tumbuh pada tanah berlapisan dalam, drainase baik.

Toleran terhadap tanah asam, padat dan terpaan angin (Pandit dan Ramdhan

2002).

Warna teras dan gubalnya sukar dibedakan, warna kayunya putih abu-abu

kecoklatan atau putih merah kecoklatan pucat. Tekstur agak kasar sampai kasar,

(30)

lunak dan ringan. Pori bentuknya bulat sampai oval, tersebar, soliter dan

gabungan pori yang terdiri dari 2-3 pori jumlahnya sedikit 4-7 per mm2 diameter

tangensialnya sekitar 160-340 mikron dan bidang perforasi sederhana. Parenkim

umumnya menyinggung pori sepihak (scanty) sampai selubung (vasicenteric), kebanyakan parenkim apotrakeal sebar yang terdiri 1-3 sel membentuk garis-garis

tangensial diantara jari-jari. Jari-jari umumnya sempit terdiri dari 1-2 seri

jumlahnya terdiri dari 6-12 per mm arah dan komposisi seragam yang terdiri

hanya dari sel baring (Pandit dan Ramdan 2002).

Berat jenis rata-rata 0,33 (0,24 − 0,49), kelas awet V dan kelas kuat

IV-V. Daya tahannya terhadap rayap kayu kering termasuk kelas III, sedangkan

terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas II-IV. Berdasarkan percobaan

dengan cara dikubur jenis kayu sengon termasuk kelas awet IV-V (Abdurahim et al 1989). Kayu sengon dapat digunakan sebagai bahan bangunan perumahan terutama di pedesaan, peti, papan partikel, papan serat, papan wool semen, kelom,

[image:30.595.113.475.438.570.2]

dan barang kerajinan lainnya (Pandit dan Ramdan 2002).

Tabel 3 Komposisi kimia kayu sengon

Jenis Analisa Kadar (%)

Selulosa total 49,4

Pentosan 15,6

Lignin 26,8

Abu

Silika

0,6

0.2

Sumber: Atlas Kayu Jilid 2

2.12. Keawetan Alami Kayu

Keawetan kayu diartikan sebagai daya tahan kayu terhadap serangan

faktor perusak kayu dari golongan biologis. Keawetan alami ditentukan oleh zat

ekstraktif yang bersifat racun terhadap faktor perusak kayu, sehingga dengan

sendirinya keawetan alami bervariasi sesuai dengan variasi jumlah zat

(31)

kayu, dalam jenis kayu yang sama maupun dalam pohon yang sama (Tobing

1977).

Brown dan Panshin (1949) dalam Partini (2003) ketahanan alami kayu terhadap serangan organisme disebabkan oleh:

1. Dinding sel kayu terdiri dari polimer dengan berat mol tinggi yang tidak

larut. Organisme memiliki enzim depolimerasasi saja yang mampu

mengubah menjadi produk yang lebih sederhana sebagai sumber energi.

2. Lignifikasi kayu menghasilkan halangan fisik bagi serangan enzim pada

polisakarida karenanya, hanya organisme yang mempunyai enzim

lignolitik saja yang mampu menghancurkannya. Selulosa kayu lebih

bersifat kristalin sehingga kayu mempunyai ketahanan lebih besar

terhadap kerusakan organisme perusak kayu.

3. Kayu mempunyai kandungan nitrogen rendah menyebabkan kayu tidak

mudah terpengaruh pelapukan.

4. Kadar air yang tinggi diperlukan untuk deteriorasi kayu.

Tim ELSSPAT (1997) menyatakan bahwa, umur pohon memiliki

hubungan yang positif dengan keawetan kayu. Jika pohon ditebang dalam umur

yang tua, pada umumnya lebih awet daripada jika ditebang ketika muda karena

semakin lama pohon tersebut hidup maka semakin banyak zat ekstraktif yang

dibentuk. Berdasarkan penurunan berat kayu oleh jamur pelapuk, kayu dibagi ke

[image:31.595.126.517.553.681.2]

dalam beberapa kelas awet.

Tabel 4 Kelas ketahanan kayu terhadap jamur

Kelas Ketahanan Penurunan Berat (%)

I Sangat tahan < 1

II Tahan 1-5

III Agak tahan 5-10

IV Tidak tahan 10-30

V Sangat tidak tahan >30

(32)

Terdapat lima kelas awet kayu, mulai dari kelas awet I (yang paling awet)

sampai kelas awet V (yang paling tidak awet). Kelas awet kayu didasarkan atas

keawetan kayu teras karena bagaimanapun awetnya suatu jenis kayu, bagian

gubalnya selalu mempunyai keawetan yang terendah (kelas awet V). Hal ini

disebabkan karena pada bagian kayu gubal tidak terbentuk zat-zat ekstraktif

seperti phenol, tannin, alkaloide, saponine, chinon dan dammar. Zat-zat tersebut memiliki daya racun terhadap organisme perusak kayu (Findlay dan Martawijaya

(33)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Pathologi Hutan, Departemen

Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung

selama bulan Oktober 2009 sampai dengan Desember 2010.

3.2. Asal Inokulum

Isolat yang digunakan adalah jamur pelapuk putih P. ostreatus. Isolat tersebut merupakan koleksi Dr. Ir. Elis Nina Herliana, M.Si. (Laboratorium

Penyakit Hutan).

3.3. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah kayu H. brasiliensis dan P. falcataria

berbentuk balok berukuran (5 x 2,5 x 1,5) cm dengan arah serat longitudinal dan

cross section (Gambar 2). Bahan-bahan yang digunakan pada pengujian SNI 01.7207-2006 antara lain adalah Malt Extract Agar (MEA), air suling, antibiotik berbentuk kapsul chloramphenicol, alkohol 70 %, aluminium foil dan miselium jamur pelapuk kayu P. ostreatus. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan pada pengujian menggunakan JIS K 1571-2004 antara lain H. brasiliensis dan P. falcataria berukuran (2 x 2 x 1) cm, air suling, aluminium foil, extra malt, glukosa, miselium jamur pelapuk kayu P. ostreatus, pasir kuarsa dan pepton.

Alat-alat yang digunakan pada pengujian menggunakan SNI 01.7207-2006

dan JIS K 1571-2004 antara lain gelas (labu kaca erlemeyer, cawan petri, gelas

ukur, gelas ukur, botol kaca dengan diameter 9 cm dan tinggi 15 cm ), batang

pengaduk, neraca analitik, bunsen pembakar spritus, jarum ose, kapas, aluminium foil, plastik tahan panas, oven, autoclave, laminar air flow, ruang inkubasi,

(34)

Sumber foto: Dewi. A

Gambar 2 Contoh uji SNI kayu sengon longitudinal (atas kiri), sengon cross section (atas kanan), karet longitudinal (bawah kiri) dan karet cross section (bawah kanan).

3.4. Metode Penelitian

3.4.1. Pengambilan Contoh Uji

Pengujian SNI 01.7207-2006. Contoh kayu berukuran (5 x 2,5 x 1,5) cm. Dengan bentuk pemotongan arah serat cross section dan longitudinal. Selanjutnya contoh uji ditimbang bobot awalnya (bobot basah), kemudian dikeringkan di

dalam oven hingga mencapai kering mutlak, sehingga dapat diketahui bobot

kering ovennya dan akan dapat dihitung kadar airnya.

Pengujian JIS K 1571-2004. Kayu contoh uji yang digunakan dalam metode ini berukuran (2 x 2 x 1) cm. Dengan bentuk pemotongan arah serat cross section dan longitudinal. Selanjutnya contoh uji ditimbang bobot awalnya (bobot basah), kemudian contoh uji dikeringkan di dalam oven sampai mencapai kering

tanur.

3.4.2. Perbanyakan Kultur Jamur P. osteorus

Pengujian SNI 01.7207-2006. Biakan P. ostreatus pada cawan petri dengan berisi MEA (Malt Extract Agar) yang telah disterilisasi di dalam

autoclave. Biakan jamur dibuat dengan mencampur 50 gram extra malt dengan 20 gram agar dalam 1 liter air suling, kemudian sebanyak 40 cc campuran tersebut

1 cm 1 cm

[image:34.595.113.486.85.302.2]
(35)

dimasukkan ke dalam toples pengujian. Toples yang telah berisi media biakan

jamur, kemudian disterilkan di dalam autoclave selama 30 menit pada tekanan 15 psi. Setelah steril toples tersebut diletakkan mendatar sehingga biakan berada di

bagian bawah leher toples. Jamur penguji diinokulasikan beberapa hari kemudian.

Isolat yang telah ada di perbanyak ke dalam cawan Petri. Kultur diinkubasi selama

lebih kurang 12 hari atau sampai semua permukaan dipenuhi oleh miselium

(berwarna putih).

Pengujian JIS K 1571-2004. Pengujian keawetan kayu terhadap jamur harus dibuat lembab dengan menyediakan biakan jamur di dalam bejana yang

steril. Media biakan jamur yang digunakan adalah menggunakan pasir kuarsa

yang telah dicampur dengan extract malt, pepton dan glukosa. Biakan jamur dibuat dengan mencampur 250 gram pasir kuarsa dengan 16 gram glukosa, 1,2

gram pepton dan 6 gram extra malt dalam 400 cc air suling kemudian sebanyak 80 cc campuran tersebut dimasukkan ke dalam toples pengujian. Toples yang

telah berisi media biakan jamur, kemudian disterilkan di dalam autoclave selama 30 menit pada tekanan 15 psi. Setelah steril toples tersebut diletakkan mendatar

sehingga biakan berada di bagian bawah leher toples. Jamur penguji

diinokulasikan beberapa hari kemudian.

3.4.3. Prosedur Pengujian

Pengujian SNI 01.7207-2006. Pengumpanan contoh uji kayu untuk masing-masing jenis pada isoalat P. ostreatus. dilakukan setelah seluruh permukaan media pada botol kaca dipenuhi miselia. Contoh uji yang steril dan

diketahui beratnya dimasukkan ke dalam botol kaca yang sudah berisi biakan

jamur penguji. Sebelumnya diperiksa dahulu jika biakan jamur terkontaminasi.

Biakan jamur yang terkontaminasi harus diganti dan tidak digunakan dalam

pengujian. Pengamatan dilakukan setelah 12 minggu. Contoh uji dibersihkan dari

miselium dan diamati secara visual menurut kerusakan yang terjadi. Penilaian

kerusakan dapat dilakukan menurut kondisi contoh uji mulai dari utuh sampai

hancur sama sekali. Contoh uji kemudian dimasukkan kedalam oven selama 24

jam. Persentase kehilangan berat dihitung atas dasar selisih berat contoh uji

(36)

Pengujian JIS K 1571-2004. Contoh uji yang steril dan telah dihitung beratnya dimasukkan ke dalam toples yang sudah berisi biakan jamur penguji.

Sebelumnya diperiksa dulu jika biakan jamur penguji terkontaminasi. Pengamatan

dilakukan setelah 12 minggu. Contoh uji dibersihkan dari miselium dan diamati

secara visual menurut kerusakan yang terjadi. Penilaian kerusakan dapat

dilakukan menurut kondisi contoh uji mulai dari “utuh” sampai “hancur sama

sekali”. Klasifikasi kerusakan dapat dibuat menurut keperluan. Contoh uji tersebut

kemudian dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam. Persentase kehilangan berat

dihitung atas dasar selisih berat contoh uji sebelum dan sesudah diserang jamur.

3.5. Pengolahan Data

Setelah pengumpanan selesai, contoh uji dikeluarkan dari toples kaca dan

dibersihkan dari jamur-jamur yang menempel disekelilingnya, kemudian

ditimbang bobot basahnya serta dikeringkan dengan oven untuk mengetahui bobot

kering tanurnya.

Besarnya serangan jamur dapat dihitung dengan persentase penurunan berat,

yaitu:

P = Wı – W x 100% Wı

dengan:

P = Persentase penurunan bobot (%)

Wı = Berat kering tanur contoh uji sebelum pengujian (g)

W = Berat kering tanur contoh uji setelah pengujian (g)

Dalam penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan

pola factorial dengan 3 faktor yaitu: 1). Metodologi (SNI dan JIS); 2). Arah serat

(longitudinal dan cross section); 3). Jenis kayu (sengon dan karet). Ulangan dilakukan sebanyak 10 kali pada setiap jenis kombinasi perlakuan.

(37)

Nilai F-hitung yang diperoleh dibandingkan dengan F-tabel dengan selang

kepercayaan 95% dengan kaidah keputusan:

1. Apabila F-hitung < F-tabel, maka perbedaan dari kedua metode standar

pengujian tersebut memberikan pengaruh tidak nyata atau sangat tidak nyata

terhadap kehilangan berat (weight loss) pada selang kepercayaan 95%.

2. Apabila F-hitung > F-tabel, maka perbedaan dari kedua metode standar

pengujian tersebut memberikan pengaruh nyata atau sangat nyata terhadap

(38)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengamatan Visual Kayu

Pengamatan visual kayu merupakan pengamatan yang dilakukan untuk

melihat dampak akibat serangan jamur pelapuk P. ostreatus terhadap contoh uji kayu yang diumpankan selama 3 bulan. Pengamatan yang dilakukan, terlihat

bahwa contoh uji kayu yang telah diserang oleh jamur pelapuk P. ostreatus

mengalami perubahan warna, yaitu menjadi lebih terang (cokelat muda atau

kemerahan), baik pada kayu karet maupun pada kayu sengon. Seperti tercermin

pada Gambar (4, 5, 6 dan 7).

Kayu sengon arah serat longitudinal

[image:38.595.112.508.322.620.2]

(Sumber foto : Dewi. A)

Gambar 4 Miselium yang menempel pada kayu contoh uji sengon longitudinal. Contoh uji kayu sengon dengan metode SNI (atas kiri) tidak mengeluarkan

bakal tubuh buah, berbeda dengan contoh uji kayu dengan metode JIS yang

mengeluarkan bakal tubuh buah (atas kanan). Pengeluaran bakal tubuh buah pada

metode JIS dengan contoh uji kayu sengon longitudinal diduga terjadi karena

SNI

JIS

1 cm

1 cm

(39)

miselium telah memasuki fase generatif. Kayu segon longitudinal (bawah kanan) memiliki warna lebih putih, lebih pucat dan lebih lunak dibandingkan dengan

kayu sengon longitudinal (bawah kiri).

Kayu sengon arah serat cross section

(Sumber foto: Dewi. A)

Gambar 5 Miselium yang menempel pada seluruh permukaan contoh uji kayu sengon cross section

Contoh uji kayu sengon (atas kanan) lebih tipis dibandingkan dengan

miselium yang menempel pada contoh uji kayu sengon cross section (atas kiri). Metode JIS contoh uji kayu sengon cross section mengeluarkan bakal tubuh buah sama dengan contoh uji kayu sengon longitudinal (Gambar 4 atas kanan). Setelah miselium yang menempel pada kayu sengon cross section (SNI dan JIS) dibersihkan maka terlihat perbedaan yang sangat mencolok pada kedua contoh uji.

Kayu sengon cross section (bawah kanan) mengalami tingkat kerusakan yang lebih besar dibandingkan dengan kayu sengon cross section (bawah kiri). Hal ini

SNI

JIS

1 cm 1 cm

[image:39.595.112.509.185.523.2]
(40)

terjadi diduga karena miselium yang menempel pada permukaan kayu sengon

(JIS) lebih tebal sehingga proses degradasi lebih cepat.

Kayu karet arah serat longitudinal

[image:40.595.116.527.162.501.2]

(Sumber foto: Dewi. A)

Gambar 6 Miselium sangat tebal menutupi seluruh permukaan kayu karet

longitudinal.

Miselium sangat tebal menutupi seluruh permukaan kayu karet

longitudinal dengan metode SNI (atas kiri) dan pada kayu karet longitudinal

dengan metode JIS (atas kanan). Miselium dibersihkan dari permukaan kayu karet

cross section dengan metode SNI (bawah kiri) dan karet cross section dengan metode JIS (bawah kiri) terlihat perubahan kayu secara fisiologis menjadi pucat

dan rapuh.

SNI

JIS

1 cm 1 cm

(41)

Kayu karet arah serat cross section

[image:41.595.116.479.99.421.2]

(Sumber foto: Dewi. A)

Gambar 7 Miselium sangat tebal menutupi seluruh permukaan kayu karet

cross section

Contoh uji kayu karet (atas kiri) dengan metode SNI dan contoh uji kayu

karet (atas kanan) dengan metode JIS. Miselium dibersihkan dari permuakaan

kayu sehingga terlihat perbedaan yang cukup jelas antara kayu karet cross section (bawah kiri) dengan kayu karet cross section (bawah kanan). kayu karet dengan menggunakan metode JIS lebih besar mengalami kerusakan dibandingkan

dengan kayu karet dengan metode SNI. Hal tersebut dapat terlihat dari perbedaan

warna kayu karet pada JIS lebih pucat dan lebih rapuh dibandingkan dengan kayu

karet pada SNI.

SNI

JIS

1 cm 1 cm

(42)

4.2. Penurunan Bobot Kayu Karet dan Sengon Akibat Serangan Jamur P. ostreatus

Jamur pelapuk mampu merusak selulosa dan lignin penyusun kayu. Hal ini

menyebabkan bobot kayu menurun dari bobot awalnya. Besarnya nilai penurunan

bobot akibat serangan jamur dalam waktu tertentu menunjukkan tingkat

penyerangan jamur terhadap kayu tersebut.

Standar pengujian yang digunakan pada penelitian ini adalah SNI

01.7207-2006 dan JIS K 1571-2004. Standar pengujian SNI 01.7207-01.7207-2006 digunakan

untuk menguji kayu karet dan sengon dengan arah serat longitudinal dan cross section yang berasal dari Indonesia dengan ukuran (5 x 2,5 x 1,5) cm sedangkan standar pengujian JIS K 1571-2004 digunakan untuk menguji kayu karet dan

sengon dengan arah serat longitudinal dan cross section yang berasal dari Indonesia dengan ukuran (2 x 2 x 1) cm. Standar pengujian SNI 01.7207-2006

menggunakan media berupa agar/Malt Extrak Agar (MEA) sedangkan standar pengujian JIS K 1571-2004 menggunakan media berupa pasir kuarsa yang

dicampur dengan pepton.

Parameter ketahanan kayu terhadap jamur pelapuk P. ostreatus dilihat dari nilai kehilangan bobot contoh uji (weight loss) yang diperoleh dari hasil uji laboratorium (laboratory test). Kehilangan bobot akibat serangan jamur ini digunakan sebagai ukuran atau patokan, karena faktor ini mempengaruhi kekuatan

kayu. Kehilangan bobot merupakan nilai pengurangan bobot kayu akibat

perlakuan uji laboratorium selama 92 hari yang mengakibatkan bobot kayu

berkurang.

Dari pengujian dapat diketahui bahwa nilai rata-rata kehilangan bobot

kayu sengon dengan arah serat longitudinal (22,25%), arah serat cross section

(18,76%) dan kayu karet dengan arah serat longitudinal (23,12%), arah serat cross section (20,77%). Berdasarkan SNI 01.7207-2006 nilai kehilangan bobot kayu karet dan sengon dengan arah serat longitudinal dan cross section termasuk ke dalam kelas awet IV (tidak tahan) dengan persentase kehilangan bobot 10% -

30%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pandit dan Ramdan (2002) yang

mengatakan bahwa kayu karet dan sengon termasuk kelas awet IV-V yang berarti

(43)

1571-2004 nilai kehilangan bobot kayu sengon dengan arah serat longitudinal

(5,91%), arah serat cross section (14.20%) dan kayu karet dengan arah serat

longitudinal (9,21%), arah serat cross section (10,95%). Dilihat dari nilai rata-rata kehilangan bobot dengan menggunakan metode SNI, sebaiknya arah serat yang

digunakan dalam pengujian adalah arah serat longitudinal karena memiliki nilai rata-rata penurunan bobot yang tinggi, sedangkan untuk pengujian JIS arah serat

[image:43.595.112.483.290.388.2]

longitudinal sebaiknya tidak digunakan karena memiliki nilai rata-rata penurunan bobot yang sangat rendah.

Tabel 5 Hasil pengujian kayu karet dan sengon

Jenis Arah serat Penurunan Bobot (%)

SNI JIS

Karet Longitudinal 23,12 9,21

Cross section 20,77 10,95 Sengon Longitudinal 22,25 5,91

Cross section 18,76 14,20

Nilai kehilangan bobot dengan metode SNI lebih tinggi dibandingkan

dengan metode JIS. Hal ini diduga karena adanya hifa jamur yang masuk ke

dalam contoh uji. Hifa jamur yang masih tertinggal di dalam contoh uji akan

mempengaruhi bobot akhir contoh uji setelah diumpankan. Selain itu, adanya

perbedaan ukuran contoh uji dan media yang digunakan SNI dan JIS juga diduga

menyebabkan adanya perbedaan nilai kehilangan bobot yang cukup jauh.

4.3. Keawetan Kayu Karet dan Sengon terhadap Jamur Pelapuk P. ostreatus

Hasil Analisa Statistik dengan menggunakan sidik ragam pada dengan

selang kepercayaan yang digunakan adalah 95%, dapat diketahui bahwa terjadi

perbedaan yang nyata antara perlakuan jenis, metode x arah serat, dan jenis x

metode x arah serat terhadap penurunan bobot kayu, Artinya kedua metode

memiliki tingkat penurunan bobot yang berbeda pada contoh uji kayu baik dengan

(44)

untuk perlakuan metode terjadi perbedaan yang sangat nyata terhadap tingkat

[image:44.595.109.516.166.375.2]

penurunan bobot kayu karena memiliki nilai Pr > F = <,0001.

Tabel 6. Hasil sidik ragam kehilangan bobot terhadap metode, arah serat dan jenis

kayu.

Sumber Keragaman DB JK KT F Pr>F

Ulangan 9 162,83 18,09 0,89 0,540

Metode 1 1943,21 1943,21 95,54 3,03e-14**

Arah Serat 1 7,43 7,43 0,37 0,548

Jenis 1 82,74 82,74 4,07 0,048*

Metode x ArahSerat 1 249,64 249,64 12,27 0,001**

Metode x Jenis 1 7,16 7,16 0,35 0,555

Arah Serat x Jenis 1 63,80 63,80 3,14 0,082

Metode x ArahSerat x Jenis 1 111,06 111,06 5,46 0,023*

Galat 63 1281,42 20,34

Keterangan : ** berbeda sangat nyata pada uji F taraf 0,05, * berbeda nyata pada uji F taraf 0,05

Nilai rataan penurunan berat pada kayu karet lebih tinggi dibanding kayu

sengon pada metode SNI dan JIS. Hal ini diduga karena jumlah selulosa dan

lignin yang terkandung pada kayu karet lebih tinggi dibanding kayu sengon.

Menurut Pari (1996) kandungan selulosa pada kayu karet tergolong tinggi karena

nilainya di atas 45%, sedangkan kandungan ligninnya berkisar antara sedang

sampai tinggi yaitu 30,60 – 33,54 %. Hal inilah yang diduga menyebabkan nilai

kehilangan berat kayu karet lebih tinggi dibandingkan dengan kayu sengon,

karena jamur pelapuk mampu merusak selulosa dan lignin yang menyusun kayu

sehingga menyebabkan bobot kayu menurun dari babot awalnya. Hal ini sesuai

dengan penelitian Martawijaya (1972) penurunan bobot kayu karet (40,2%) lebih

besar dibandingkan dengan kayu sengon (36,3%) dengan menggunakan jamur

pelapuk kayu Schizophyllum commune.

Dari beberapa hasil penelitian, Martawijaya (1972) penurunan bobot kayu

karet (40,2%), kayu sengon (36,3%), Fitriyani (2010) penurunn bobot kayu karet

(45)

artinya S. commune masih lebih ganas menyerang kayu dibandingkan oleh P. ostreatus. Oleh karena itu P. ostreatus masih belum dapat digunakan dalam pengujian ketahanan kayu pada SNI 01.7207-2006, karena penurunan bobot kayu

yang dihasilkan masih dibawah jenis jamur S. commune yang telah distandarkan oleh SNI 01.7207-2006.

Dilihat dari ketahanannya terhadap serangan jamur, kayu karet tergolong

ke dalam kelas awet IV-V yang berarti kayu ini tidak tahan terhadap serangan

jamur. Tetapi jika dilihat dari segi kekuatan, kayu karet termasuk ke dalam kelas

kuat II, sehingga cocok untuk digunakan sebagai bahan baku industri perkayuan

seperti mebel, fibre board, furniture, pulp dan kertas. Menurut Boerhendhy, dkk., 2003 di tingkat daerah kayu karet belum dapat dimanfaatkan secara optimal

karena sebagian besar lokasi kebun karet rakyat tradisional terletak di wilayah

yang tidak mempunyai akses jalan. Untuk mengeluarkan kayu dari kebun ke

pabrik diperlukan biaya yang cukup besar, sehingga penjualan kayu karet menjadi

tidak ekonomis. Kayu karet mempunyai nilai yang ekonomis apabila lokasi kebun

mempunyai akses jalan yang biasa di lewati oleh truk dan tidak terlalu jauh dari

pabrik, sehingga biaya transportasi masih cukup memadai. Selain itu, rendemen

yang rendah juga merupakan masalah pemanfaatan kayu karet, hal ini disebabkan

diameter kayu karet yang kecil karena bahan tanam yang digunakan masih berasal

dari seedling dan rusaknya bagian sadap akibat penyadapan sampai ke bagian kayu sehingga menimbulkan bercak atau ring.

Ketahanan kayu sengon terhadap serangan jamur tergolong ke dalam kelas

awet IV-V yang berarti bahwa kayu sengon tidak tahan terhadap serangan jamur

dan tergolong ke dalam kelas kuat IV-V, sehingga cocok digunakan sebagai bahan

baku industri kertas, papan partikel, papan serat, papan wool semen dan indusri

turunan lainnya.

Kandungan zat ekstraktif yang bervariasi dalam satu spesies, lokasi di dalam

pohon, umur dan laju pertumbuhan mempengaruhi penurunan bobot atau

pelapukan kayu. Kandungan zat ekstraktif pada kayu sengon lebih tinggi

dibandingkan kayu karet. Hal inilah yang diduga menyebabkan mengapa nilai

kehilangan berat kayu karet lebih tinggi dari pada kayu sengon. Dilihat dari

(46)

zat ekstraktif yang terdapat dalam kayu karet antara lain, amirin (triterpena) dalam

getah lateks, asam sumaresinolat dalam benzoin sumatra dan asam elemolat dalam

resin elemi (Sandermann 1960 dalam Fengel dan Wagener 1984), resin, lemak, lilin, tanin, lignin, pentosan, dan heksosan (Safitri 2003). Sedangkan zat ekstraktif

yang terdapat pada kayu sengon antara lain selulosa, lignin, pentosan, abu dan

silika (Atlas kayu jilid 2). Karena zat ekstraktif berperan dalam melawan serangan

jamur pelapuk. Jadi semakin tinggi kandungan ekstraktif yang terdapat dalam

kayu maka kehilangan berat kayu tersebut akan semakin rendah.

Perbedaan ukuran contoh uji ini diduga juga menyebabkan nilai

kehilangan berat kayu karet lebih besar dibandingkan kayu sengon. Arah serat

kayu karet dan sengon yang digunakan adalah longitudinal dan cross section. Hasil analisis sidik ragam (Tabel 6) menyatakan bahwa perbedaan arah serat tidak

berpengaruh nyata terhadap besarnya kehilangan berat contoh uji pada α= 0,05,

akan tetapi jika arah serat di interaksikan dengan metode yan

Gambar

Gambar 1 Tubuh buah Pleurotus ostreatus (Koleksi Laboratorium Penyakit Hutan, IPB).
Tabel 1 Elemen-elemen yang menyusun  kayu daun lebar
Tabel 3  Komposisi kimia kayu sengon
Tabel 4  Kelas ketahanan kayu terhadap jamur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis statistika ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 95%, diperoleh bahwa perlakuan substrat serabut kayu memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan

Hasil analisis sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95% terhadap interaksi antara perlakuan suhu penyimpanan dan perbedaan kelompok sampel bagian tubuh ikan menunjukkan tidak

Dari analisa sidik ragam diketahui bahwa perbedaan perlakuan konsentrasi natrium metabisulfit berpengaruh sangat nyata terhadap Vitamin C yang dihasilkan, sehingga analisa

Hasil sidik ragam yang disajikan pada Tabel 8 menunjukkan bahwa perlakuan pada penelitian ini tidak memberikan pengaruh yang nyata pada selang kepercayaan 95% terhadap parameter

Analisis sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan arah aksial batang berpengaruh tidak nyata terhadap nilai keteguhan tekan sejajar serat (TSS) kayu pinus.. Hal ini

Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan perendaman serbuk gergaji kayu jati yang digunakan sebagai media berpengaruh nyata terhadap banyaknya badan buah yang terbentuk,

Hasil sidik ragam (Tabel 2) menunjukkan bahwa pemberian pupuk lanjutan NPK berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% untuk parameter tinggi dan jumlah cabang pada perlakuan

Analisis sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan arah aksial batang berpengaruh tidak nyata terhadap nilai keteguhan tekan sejajar serat (TSS) kayu pinus.. Hal ini