• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAYARAN UANG PENGGANTI SEBAGAI SALAH SATU

BENTUK PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN

KETENTUAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA

KORUPSI

TESIS

OLEH

107005136/HK ROMI TRI WALDY

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PEMBAYARAN UANG PENGGANTI SEBAGAI SALAH SATU

BENTUK PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN

KETENTUAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA

KORUPSI

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Fakultas Hukum Dalam Program Magister IImu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

107005136/HK

ROMI TRI WALDY

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : PEMBAYARAN UANG PENGGANTI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN KETENTUAN UNDANG - UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

Nama Mahasiswa : Romi Tri Waldy

Nim : 107005136

Program Studi : IImu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

(Prof. Dr. Sunarmi.,SH.,M. Hum)

(Dr. Mahmud Mulyadi.,SH.,M. Hum) (

Anggota Anggota

Dr. M. Hamdan.,SH.,MH)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi.,SH.,MH) (Prof. Dr. Runtung.,SH.,M. Hum)

(4)

Telah Diuji Pada

Tanggal 30 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Sunarmi.,SH.,M. Hum

Anggota :1. Dr. Mahmud mulyadi.,SH.,M. Hum

:2. Dr. M. Hamdan.,SH.,MH

:3. Prof. Dr. Suhaidi.,SH.,MH

(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah wasyukrulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT dan junjungan nabi besar Muhammad SAW. yang senantiasa mengasihi dan menyayangi umat-Nya, serta melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada Penulis. Dengan izin-Nya penulis pada akhirnya dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.

Adapun judul tesis ini adalah “ PENERAPAN PEMBAYARAN UANG

PENGGANTI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK PENGEMBALIAN

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

BERDASARKAN KETENTUAN UNDANG UNDANG TINDAK PIDANA

KORUPSI ”

Semenjak rencana hingga selesainya penulisan tesis ini, tak terhitung dukungan moril maupun materil yang penulis peroleh dari segenap keluarga, pembimbing tesis dan kerabat, sahabat, pengajar, dan rekan-rekan. Dari lubuk hati yang paling dalam, penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung penulis, yaitu :

(10)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menjadi mahasiswa Program Studi Magister Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi , SH, MH, selaku Ketua Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku penguji tesis Penulis, yang banyak membantu memberikan saran, masukan serta kritikan dalam penulisan tesis ini.

4. Ibu Prof. Dr. Sunarmi , SH, MHum, selaku pembimbing I tesis Penulis, yang dalam kesibukannya masih dapat meluangkan waktu untuk membantu dan memberikan bimbingan dan dorongan dalam penulisan tesis ini.

5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum selaku pembimbing II tesis Penulis, yang dalam kesibukannya masih dapat meluangkan waktu untuk membantu dan memberikan bimbingan dan dorongan dalam penulisan tesis ini.

6. Bapak Dr. Hamdan, SH, MH selaku pembimbing III tesis Penulis, yang dalam kesibukannya masih dapat meluangkan waktu untuk membantu dan memberikan bimbingan dan dorongan dalam penulisan tesis ini.

7. Bapak Dr. Madiasa Albisar , SH, MS, selaku penguji tesis Penulis, yang banyak membantu dan memberikan saran, masukan serta kritikan dalam penulisan tesis ini.

(11)

9. dan mendoakan Penulis dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, juga kepada Bapak AKP Anggoro Wicaksono, SH, SiK (selaku Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Deli Serdang dan selaku atasan tempat saya bekerja), Bapak IPTU Bayu Puji Haryanto, SH (selaku Kanit Idik III Sat Reskrim Polres Deli Serdang dan selaku atasan tempat saya bekerja), Rio Afriandy, AmKep (selaku abang kandung saya), Rosidah, AmKeb (selaku kakak ipar saya), Ricki Dwi Wendy, SE (selaku abang kandung saya), Fayyaza Yasmine Athallah, dan Amelia Ismi Adli, SH, MH (soulmate), Alm.dr. H Adli Lidya, DTM&H, Hj. Dastel Mery, SH dan Tante Armada Situmeang, SH yang turut mendukung membantu dan mendoakan untuk penyelesaian tesis ini.

10.Seluruh dosen, staf dan pegawai yang bertugas di Magister Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

(12)

Atas bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan, kembali Penulis mengucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan karuniaNya, dengan harapan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2012 Penulis,

(13)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Romi Tri Waldy, SH.

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 12 Pebuari 1986 Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Lajang

Agama : Islam

Alamat : Jalan Sei Padang Dalam II Nomor 11 Kel.Merdeka Kec.Medan Baru Kotamadya Medan.

II. Keluarga

Nama Ayah : H. Surianto

Nama Ibu : Hj. Endang Maryanti, SKM, MSi. Nama Saudara : Rio Afriandy, AmKep (abang kandung)

Ricki Dwi Wendy, SE (abang kandung)

III. Pendidikan

1. SD Percobaan Negeri Medan Lulus

Tahun 1998

2. SLTP Negeri 1 Medan Lulus

Tahun 2001

3. SMA Swasta Apipsu Medan Lulus

Tahun 2004

4. S1 Fakultas Hukum Universitas Alwasliyah Medan Lulus Tahun 2009

(14)

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...…………...……...………...1

B. Perumusan Masalah ……...…..…………...11

C. Tujuan Penelitian ……...………...…………..11

D. Manfaat Penelitian ....………...12

E. Keaslian Penulisan ...13

F. Kerangka Teori……....….…..………...…...14

G. Metode Penelitian …..……...………...……... 24

BAB II. LATAR BELAKANG PENGATURAN TENTANG UANG PENGGANTI DALAM KEBIJAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perkembangan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Sejak Reformasi 1998 ………29

B. Dampak Tindak Pidana Korupsi ……...…. …………..37

C. Kebijakan Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia………..44

BAB III. PENERAPAN PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN TUJUAN PEMIDANAAN. A. Tujuan dan Fungsi Pemidanaan ...………... 56

B. Sistem Pemidanaan di Indonesia ...……...……….. 65

(15)

BAB IV. HAMBATAN PENERAPAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Hambatan dalam Penentuan Jumlah Pidana Uang Pengganti .... 89 B. Hambatan dalam Pembebanan Uang Pengganti …...…92 C. Kelemahan Dalam Mekanisme Penyelesaian Pembayaran Uang

Pengganti...97

D. Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi………....103

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ...…………...……...…………...111 B. Saran ……...…..………...112

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi adalah istilah yang sudah lama dikenal dalam masyarakat Indonesia. Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana tidak hanya di lembaga legislatif, yudikatif maupun eksekutif, namun korupsi dapat terjadi pada semua sisi kehidupan dan aktivitas masyarakat. Korupsi telah menjadi ciri penyelenggaraan birokrasi dan bisnis nasional. Korupsi bukanlah semata-mata atau bahkan terutama masalah yang dihadapi oleh negara-negara berkembang saja. Kejadian-kejadian di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan secara jelas bahwa tidak pada tempatnya negara-negara industri menggurui negara-negara sedang berkembang mengenai korupsi. Seperti halnya masalah korupsi di Italia, demokrasi dan pasar bebas bukanlah satu-satunya alat penangkal korupsi.1

Gunar Myrdal menyebut korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak wajar yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintah atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak wajar, serta kegiatan lainnya seperti penyokongan. Sementara Myrdal tampaknya menggunakan istilah korupsi dalam arti yang luas yang meliputi juga kolusi dan nepotisme. Sedangkan Edelhers lebih senang menggunakan istilah white collar crime2

1

Jeremi Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hal. 1.

untuk perbuatan

2

(17)

korupsi ini, sedangkan menurut Hamzah menyebutkan pengertian korupsi di Malaysia disana tidak digunakan kata korupsi tetapi memakai peraturan anti kekuasaan.3

Hamzah menyebutkan pengertian korupsi secara harfiah (literal/ mendasar) dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah yang sangat luas pengertiannya. Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam ragam pula. Pendekatan sosiologis seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya kalau terhadap hal yang sama dilakukan pendekatan normatif, politik ataupun ekonomi.4

Undang-undang tindak pidana korupsi mensyaratkan untuk adanya tindak pidana korupsi haruslah terjadi kerugian negara. Kerugian negara menurut Pasal 1 angka 22 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah berkurangnya uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

Menurut Djoko Sumaryanto, kerugian negara dalam hal ini bukanlah kerugian negara dalam pengertian di dunia perusahaan/ perniagaan, melainkan suatu kerugian yang terjadi karena sebab perbuatan (perbuatan melawan hukum). Dalam kaitan ini faktor-faktor lain yang menyebabkan kerugian negara adalah penerapan kebijakan yang tidak benar, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.

barang, untuk menghindari pembayaran atau kehilangan uang atau barang, atau untuk mendapatkan keuntungan bagi perusahaan maupun bagi diri sendiri.

3

Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia masalah dan pemecahannya, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001), hal. 11.

4

(18)

Sebenarnya pengelolaan keuangan negara melupakan identitasnya pada saat diserahi tugas untuk mengurus keuangan negara sehingga negara mengalami kerugian. Kerugian keuangan negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik disengaja maupun kelalaian.5

Ketika faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kerugian keuangan negara tersebut dikaji dalam aspek hukum, kerugian negara berada dalam rana hukum publik, seperti hukum keuangan negara dan hukum pidana. Kedua jenis hukum ini memiliki substansi yang berbeda tetapi tetap pada tujuan yang sama berupa menempatkan keuangan negara dalam kedudukan normal. Hal ini didasarkan bahwa keuangan negara merupakan daya dukung dalam rangka mencapai tujuan negara sebagaimana dimaksudkan dalam alenia keempat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Kerugian negara dan tuntutan ganti kerugian merupakan substansi dalam hukum keuangan negara yang melibatkan pihak pengelola keuangan negara dengan pihak berwenang melakukan tuntutan ganti kerugian. Ketika salah satu pihak tidak dapat melaksanakan fungsinya, berarti terdapat kendala terhadap penegakan hukum keuangan negara. Kendala itu harus dikesampingkan sehingga tujuan negara yang

5

(19)

hendak dicapai dapat memperoleh pembiayaan sebagaimana yang diamanatkan dalam anggaran negara.6

Modus operandi korupsi yasng bersifat individual sudah mulai tertinggal, dimensi baru kejahatan korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh pejabat publik, dikenal dengan korupsi sistemik atau korupsi kelembagaan, yaitu selalu berkaitan dengan masalah kebijakan. Di satu sisi kebijakan yang ada, dimanfaatkan untuk melakukan korupsi. Di sisi lain ada keterbatasan pemahaman dari sebagian aparat penegak hukum terhadap makna “penyalahgunaan wewenang” dalam ranah Hukum Administrasi Negara yang dipersamakan dengan unsur “melawan hukum” dalam ranah hukum pidana

Terkaitnya hukum pidana dalam masalah kerugian negara karena perbuatan itu dilakukan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara atau bahkan perekonomian negara. Hal ini didasarkan bahwa kerugian keuangan negara atau perekonomian perekonomian negara merupakan salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di lain pihak, sebenarnya hukum perdata tidak menjangkau mengenai kerugian negara dan penyelesaiannya walaupun terdapat prosedur tuntutan ganti kerugian negara dan penyelesaiannya, maupun penjatuhan sanksi berupa ganti kerugian. Ketidakterjangkauan hukum perdata disebabkan substansi hukum yang terkandung di

6

(20)

dalamnya hanya bersifat keperdataan, yakni mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan orang lain saja.7

Timbulnya kerugian negara menurut Yunus Husein sangat terkait dengan berbagai transaksi, seperti transaksi barang dan jasa, transaksi yang terkait dengan utang piutang, dan transaksi yang terkait dengan biaya dan pendapatan.8

Sebenarnya pengembalian kerugian negara tanpa melalui peradilan sangat lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan melalui peradilan. Hal ini didasarkan bahwa pengembalian kerugian negara tanpa melalui peradilan sangat mudah penyelesaiannya karena tidak menggunakan prosedur yang berbelit-belit. Disamping itu, waktu yang dibutuhkan sangat singkat karena tidak dikenal upaya hukum seperti banding, kasasi dan peninjauan kembali berbeda dengan prosedur melalui peradilan yang membutuhkan waktu yang cukup lama, namun tidak berarti terjadi perbuatan Ketika negara mengalami kerugian karena akibat pengelolaan keuangan negara dan telah diupayakan pengembaliannya melalui prosedur ganti kerugian berdasarkan hukum keuangan negara. Prosedur yang ditempuh berdasarkan hukum keuangan negara merupakan cara pengembalian keuangan negara sebagai akibat kerugian negara tanpa melalui peradilan. Pada hakikatnya, pengembalian kerugian negara tanpa melalui peradilan lebih difokuskan kepada aspek administrasi tetapi tetap berada dalam koridor hukum keuangan negara.

7

Ibid, hal. 111.

8

(21)

yang sewenang-wenang atas diri yang diminta pertanggung jawabannya terhadap kerugian negara akibat perbuatan pada saat mengelola keuangan negara.9

Tatkala prosedur tanpa melalui peradilan ternyata pengembalian kerugian negara tidak dapat dikembalikan, berarti prosedur melalui peradilan harus digunakan agar keuangan negara berada pada posisi yang sama sebelum dikelola. Prosedur melalui peradilan didasarkan pada instrumen hukum perdata, tetapi keduanya mengandung prosedur bukan merupakan hambatan atau kendala untuk mengembalikan kerugian negara karena substansi hukum itu yang menyebabkan timbulnya perbedaan dalam penerapannya di pengadilan termaksud.

Kerugian negara akibat dari pengelolaan keuangan negara yang menyimpang atau melanggar hukum wajib dikembalikan agar keuangan negara berada dalam keadaan semula untuk membiayaai pelaksanaan pemerintahan negara dalam rangka mencapai tujuan negara. Upaya negara untuk mengembalikan kerugian akibat ditimbulkan oleh pengelolaan keuangan negara yang menyimpang atau melanggar hukum, telah disiapkan instrumen hukum yang berada dalam konteks hukum pidana. Walaupun telah ada, bila moral dan komitmen penegak hukum tidak menunjang untuk ditegakkan berarti instrument hukum pidana hanya bersifat cita-cita hukum belaka.

Oleh karena itu, adalah suatu hal yang wajar apabila pemerintah kemudian menerapkan sebuah kebijakan hukum pidana (dalam hal ini tertuang dalam produk

9

(22)

perundang-undangan) dalam mengupayakan kembalinya uang negara yang hilang akibat tindak pidana korupsi. Instrumen hukum pidana yang terkait dengan pengembalian kerugian negara melalui peradilan adalah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Perubahan itu dilakukan karena tindak pidana korupsi tergolong sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (extra

ordinary crime). Dengan demikian, kerugian negara dalam kacamata instrumen

hukum pidana adalah tindak pidana korupsi yang memerlukan pemberantasan dengan tindak pidana lainnya seperti pembunuhan.

Menurut Barda Nawawi Arief10 berbagai langkah kebijakan penanggulangan korupsi yang ada, terkesan bahwa strategi kebijakan lebih terfokus pada upaya melakukan pembaruan undang-undang (law reform). Upaya melakukan pembaharuan undang-undang memang merupakan langkah yang sepatutnya dilakukan. Masalah korupsi sarat dengan berbagai kompleksitas masalah, maka seyogyanya ditempuh pendekatan integral11

10

Barda Nawawi Arief, “Kebijakan Penanggulangan Korupsi di Indonesia (Beberapa Catatan terhadap RUU tentang Perubahan UU No. 31/1999), makalah Seminar Nasional Pemberantasan dan Penanggulangan Korupsi dengan Sistem Pembuktian Terbalik, (Surakarta: Fakultas Hukum UNS, 10 Juli 2001), hal. 2.

. Tidak hanya melakukan law reform

(reformasi hukum), akan tetapi juga seyogyanya disertai dengan social economic political cultural, moral and administrative reform (reformasi sosial, ekonomi, politik dan adminstrasi).

11

(23)

Menurut Barda Nawawi Arief12

Upaya pemulihan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, merupakan salah satu tujuan utama dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Salah satu upaya untuk mengembalikan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi adalah dengan diadakannya ketentuan tentang pembayaran uang pengganti. Keputusan tentang pembayaran uang pengganti ini pertama kali muncul dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu di dalam Pasal 34 sub c, sebagai pidana tambahan. Di dalam penjelasan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 disebutkan bahwa tujuan dari pidana pembayaran uang pengganti adalah untuk mendapatkan hasil yang maksimum dari usaha pengembalian kerugian negara ataupun perekonomian negara.

dilihat sebagai suatu kesatuan proses, maka tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling strategis. Dari tahap kebijakan legislatif inilah diharapkan adanya suatu garis pedoman untuk tahap-tahap berikutnya. Dalam konteks pembicaraan tentang pidana pembayaran uang pengganti, dimana melalui kebijakan legislatif telah dirumuskan di dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka akan sangat menarik untuk mengkaji apakah pidana tambahan pembayaran uang pengganti tersebut telah memenuhi syarat untuk dipakai sebagai garis pedoman untuk tahap-tahap berikutnya.

Terhadap terpidana perkara korupsi selain pidana badan (penjara) dan/ atau denda, juga dijatuhi pidana tambahan antara lain pembayaran uang pengganti yang

12

(24)

besarnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari korupsi. Dalam praktiknya hampir tidak ada terpidana yang membayar uang pengganti dengan berbagai dalih, misalnya tidak punya lagi uang atau aset. Sikap terpidana yang tidak mau atau mampu membayar uang pengganti itu sebenarnya sudah bisa diketahui oleh penyidik dan penuntut umum sejak sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan, menghadapi terpidana seperti ini, seyogyanya penuntut umum menuntut hukuman badan (penjara) maksimum sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang.

Konsep pidana uang pengganti menurut ahli hukum pidana Romli Atmasasmita dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa koruptor harus diancam dengan sanksi pidana seberat mungkin agar mereka jera. Menilik sistem pemidanaan yang dianut undang-undang korupsi baik yang lama maupun yang baru, setiap orang memang sudah sepatutnya takut untuk melakukan korupsi.13

Pertimbangan lain yang melatarbelakangi munculnya konsep pidana uang pengganti adalah dalam rangka mengembalikan uang negara yang melayang akibat suatu tindak pidana korupsi. Pemikiran ini sejalan dengan definisi dari korupsi itu sendiri. Menurut undang-undang, salah satu unsur tindak pidana korupsi adalah adanya tindakan yang merugikan keuangan negara. Dengan adanya unsur ini maka setiap terjadi suatu tindak pidana korupsi maka akan menimbulkan kerugian pada keuangan negara.

Ketentuan tentang pidana pembayaran uang pengganti di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur

13

(25)

Pasal 18 sub b yang menyatakan “selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi”. Ketentuan ini sedikit berbeda bila dibandingkan dengan ketentuan pidana pembayaran yang ada dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971. Didalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 ada ketentuan yang menyebutkan bahwa dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana yang lamanya tidak melebihi ancaman dari pidana pokoknya. Ketentuan demikian itu tidak terdapat dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971.

Dalam persfektif politik kriminal, maka pidana pembayaran uang pengganti dipandang sebagai suatu usaha rasional14

Sebagai sarana yang cukup strategis untuk memulihkan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, pidana tambahan pembayaran uang pengganti harus dapat dilaksanakan seoptimal mungkin. Kalau melihat materi ketentuan pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang ada dalam Undang-Undang No. 31 untuk menekan kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi. Perumusan sanksi pidana pembayaran uang pengganti dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan suatu kebijakan legislatif, pidana pembayaran uang pengganti sebagai suatu produk kebijakan legislatif tentu saja harus dirumuskan secara hati-hati dan tidak boleh menimbulkan kebingungan dan pelaksanaannya nanti.

14

Rasional dalam hal ini adalah suatu hal yang di dalam prosesnya dapat dimengerti sesuai

(26)

tahun 1999, seakan-akan memberikan harapan yang besar bahwa kerugian negara dapat dipulihkan. Harapan yang begitu besar tersebut seakan-akan menjadi redup, setelah melihat kenyataan yang sesungguhnya, dimana dari tahun ketahun kerugian negara akibat tindak pidana korupsi berhasil dipulihkan justru semakin mengecil. Tentu saja patut dipertanyakan keefektifan dari pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku korupsi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa masalah di seputar ketentuan pidana tambahan pembayaran uang pengganti cukup banyak dan sangat menarik untuk dilakukan pengkajian melalui penelitian. Dalam penelitian ini, akan dilakukan kajian penelitian terhadap beberapa aspek dari ketentuan tentang pidana pembayaran uang pengganti dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

B. Permasalahan

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah latar belakang lahirnya pengaturan tentang uang pengganti dalam kebijakan hukum tindak pidana korupsi?

2. Bagaimanakah penerapan pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi dikaitkan dengan tujuan pemidanaan?

3. Apa hambatan penerapan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi?

(27)

1. Untuk mengetahui dan menganalisis latar belakang lahirnya pengaturan tentang uang pengganti dalam kebijakan hukum tindak pidana korupsi

2. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi dikaitkan dengan tujuan pemidanaan

3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan penerapan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi.

D. Manfaat Penelitian

1. Teoretis

a. Memberikan masukan pada pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya.

b. Menambah pengetahuan mengenai upaya pengembalian kerugian keuangan negara melalui penerapan pembayaran uang pengganti

2. Praktis

(28)

E. Keaslian Penelitian

Setelah melakukan penelusuran kepustakaan, maka diketahui belum ada tulisan yang mengangkat mengenai “Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi”. Penulisan ini dilakukan berdasarkan literatur-literatur yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan juga hukum keuangan negara. Memang ada penelitian sebelumnya yang dilakukan:

1. Abu Bokar Tombak/ 037005001, Judul Penelitian “Pengembalian Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Faktor yang Meringankan Hukuman dalam Tindak Pidana Korupsi.” Permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Konsep dan ketentuan-ketentuan bagaimana yang mendasari peraturan

perundang-undangan untuk menanggulagi kerugian keuangan negara dalam tindak pidaua korupsi?

b. Bagaimana pengaturan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang mengembalikan kerugian keuangan negara?

(29)

(Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Lubuk Pakam)”, Permasalahan yang diteliti adalah

a. Bagaimana pelaksanaan pengembalian dan pembayaran uang pengganti kerugian yang diderita negara oleh pelaku tindak pidana korupsi atau ahli warisnya yang diputus oleh Pengadilan Negeri Lubuk Pakam ditinjau dari aspek hukum perdata?

b. Masalah-masalah apa saja yang dihadapi jaksa selaku pengacara negara dalam melakukan penuntutan tanggungjawab perdata terhadap pelaku tindak pidana korupsi atau ahli warisnya maupun sebagai eksekutor dalam pelaksanaan putusan hakim tentang pembayaran uang pengganti kerugian terhadap negara serta bagaimana upaya mengatasinya?

(30)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berhubungan yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu.15 Fungsi teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses terjadi.16 Suatu teori harus diuji untuk menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.17 Sehingga kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis,18

Barda Nawawi Arief mengemukakan beberapa tahap dalam pemidanaan, yaitu:

yang akan dijadikan sebagai landasan pemikiran dalam penelitian ini.

a. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang;

b. Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang, yaitu hakim; c. Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.19

Secara keseluruhan pelaksanaan pemidanaan diharapkan merupakan satu jalinan mata rantai yang saling berkaitan dalam satu kebulatan sistem. Sebagai satu kesatuan dalam keseluruhan mekanisme penanggulangan kejahatan, maka harus ada

15

J.J.H.Bruggink, “Refleksi Tentang Hukum”, dialihbahasakan oleh Arief Sidharta, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 2.

16

J. J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, edt. M. Hisyam, (Jakarta: FE UI, 1996), hal. 203.

17

Ibid, hal. 16.

18

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80.

19

(31)

jalinan mata rantai antara setiap tahap pemidanaan. Ini berarti tahap pemberian pidana tidak dapat dilepaskan dari tahap penetapan pidana dan pelaksanaan pidana dan menjalin ketiga tahap pemidanaan itu menjadi satu kesatuan tidak lain adalah tujuan pemidanaan itu sendiri.20

Dari semua tujuan pemidanaan yang ada, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat tujuan pemidanaan yang utama, yaitu:

a. Incapacitation, yang berarti mencegah orang melakukan kembali kejahatan

dengan menahannya. Sanksi diberikan untuk mengasingkan tidak untuk mengurangi kecendrungan pelaku kejahatan pada kejahatan kemudian, dengan memberikan perlakuan untuk mengubah tingkah laku atau kepribadian seseorang, tetapi menghalangi kemungkinan perilaku jahat setidak-tidaknya bila pelaku kejahatan berada dalam pengawasan.

b. Deterrence, pada umumnya berarti mencegah kejahatan dalam masyarakat

luas dengan memberikan contoh seseorang yang melakukan kejahatan. Jadi sekalipun tidak diperlukan membatasi pelaku kejahatan secara khusus dengan memenjarakannya, dia masih dapat menerima bentuk penjara jangka panjang sebagai peringatan bagi pelaku kejahatan potensial yang mungkin sebaliknya melakukan kejahatan yang sama. Pencegahan dibagi menjadi dua, yaitu:

Specific deterrence21

20

Barda Nawawi Arief, Ibid, hal. 115.

yang dirancang untuk mencegah pelaku kejahatan

21

(32)

melakukan kembali kejahatan dan general deterrence22

c. Rehabilitation, adalah termasuk tujuan pidana yang dirancang untuk

memberikan perlakuan, terhadap perilaku para pelaku kejahatan, kepribadian, atau sejarah umum pribadi yang mungkin memiliki peranan penting bagi perilaku jahat. Menghukum orang ke penjara untuk direhabilitasi sama dengan mengirim orang sakit ke rumah sakit untuk menerima perawatan untuk orang sakit;

(pencegahan secara umum) dirancang untuk mencegah pelaku kejahatan potensial dengan membuat contoh menangkap pelaku kejahatan;

d. Punishment, tujuan pemidanaan ini agak berbeda dari tiga tujuan ide masing-masing komponen incapacitation, deterrence dan rehabilitation adalah bersifat future-oriented (berorientasi ke masa depan), dimana mereka telah dirancang untuk mencegah kejahatan tambahan oleh pelaku kejahatan atau lainnya. Pemidanaan bagaimanapun juga berfokus pada perilaku jahat dimasa lalu pelaku kejahatan dan diberikan untuk perilaku tersebut. Sekarang tujuan pemidanaan sering disebut “just deserts (ganjaran yang setimpal)” atau

commensurate deserts (ganjaran yang sepadan)” yang menyiratkan bahwa

hal tersebut adalah tujuan yang tepat dari sistem peradilan pidana sesuai kerugian akibat perbuatannya.23

22

Pencegahan dengan pemberian hukuman berfungsi sebagai contoh yang akan menghalangi mereka yang berniat melakukan kejahatan.

23

(33)

Sementara itu Anthoni Duff dan David Garland sebagaimana dikutip Harkristuti Harkrisnowo mengelompokkan berbagai tujuan pemidanaan yang ada ke dalam dua golongan besar, yakni “konsekuensialis”, benar tidaknya sesuatu tergantung semata-mata pada konsekuensi secara menyeluruh. Ringkasnya, jika konsekuensinya baik, maka tindakan tersebut benar, namun apabila konsikuensinya buruk, maka tindakan itu salah. Oleh karenanya, untuk mencari pembenaran bagi pemidanaan, maka harus dibuktikan bahwa: a) pidana itu membawa kebaikan; b) pidana mencegah kejadian yang lebih buruk; dan c) tidak ada alternatif lain yang dapat memberikan hasil yang setara baiknya.24

Dalam persfektif ini, pencegahan kejahatan merupakan tujuan utama pemidanaan. Dengan asumsi bahwa kejahatan merupakan suatu perilaku (baik secara aktual maupun potensial) yang mengakibatkan kerugian, maka layaklah apabila pelakunya dikenakan kerugian pula, yakni melalui penjatuhan pidana. Hal ini patut dilakukan agar tidak terjadi atau timbul kerugian yang lebih besar dimasa depan. Aliran ini berkarakter instrumentalis (berdasarkan ketentuan hukum positif) dan berorientasi ke depan (forwardlooking), dan menitik beratkan pada asas kemanfaatan penjatuhan pidana; hal yang sangat terkenal di kalangan para penganut utilitarian klasik (meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum) yang menggarisbawahi the greatest happiness for the greatest number (kebahagiaan

24

(34)

terbesar untuk jumlah terbesar).25 Bentham dengan tegas menyatakan bahwa the greaest happiness of the greatest number hanya dapat diperoleh jika hukum ditaati. Hanya penderitaan dan kesenangan yang dapat memberikan manfaat nyata tindakan dan dalam kehidupan pribadi serta publik berada dalam analisis terakhir dimana segala perhatian dengan kebahagiaan maksimum.26

Dalam hal penetapan pidana, Beccaria sebagai pelopor teori utilitarian yang mendasarkan pada teori kontrak sosial menyatakan bahwa tiap-tiap individu menyerahkan kebebasannya kepada negara. Dimana perbuatan manusia adalah bersifat purposive (bertujuan) dan ini didasarkan pada sifat hedonism atau prinsip kesenangan dan kesusahan, dimana manusia memilih perbuatan-perbuatan yang membawa kesusahan. Sedangkan Bentham memperkenalkan prinsip-prinsip moral dan legislasi dengan kalimat klasiknya: “Nature has place mankind under governance of two sovereign master, pain and pleasure. It is for them alone to point

out what we ought to do, as well as determine what we shall do (Alam telah

menempatkan manusia di bawah perintah dua kekuasaan utama, penderiaan dan kesenangan. Hal itu untuk mereka sendiri menunjukkan apa yang dilakukan, seperti halnya menetapkan apa yang dikerjakan).”27

25

Ibid , hal. 11-12.

Sehingga dari keduanya kelihatan bahwa setiap orang mempunyai kebebasan kehendak (free will) dalam memilih perbuatan yang akan memberikan kesenangan dan menghindari perbuatan-perbuatan yang membawa kesusahan.

26

Samuel Enoch Stumpt, Philosophy, History & Problems, Fourt Adition, (McGraw-Hill International Editions, 1989), hal. 365.

(35)

Konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:28

Pertama; hukum dapat memerintahkan menghukum kejahatan dimana kekuasaan ini hanya terletak pada legislator yang merupakan representasi dari masyarakat keseluruhan kesatuan dari kontrak sosial. Hal ini karena tiap-tiap individu telah menyerahkan kebebasannya kepada negara agar masyarakat dapat hidup sehingga hukum melindungi / mempertahankan keseluruhan kebebasan yang dikorbankan terhadap perampasan kemerdekaan orang yang dikorbankan oleh orang lain.

Kedua: kekuasaan yang berkuasa yang merupakan representasi masyarakat itu sendiri hanya dapat membuat hukum secara umum yang mengikat pada semua anggota tetapi dia secara jelas tidak dapat menghakimi seseorang yang melanggar kontrak sosial, sehingga negara hanya membuat undang-undang tetapi tidak memberikan kekuasaan untuk menentukan siapa yang melanggar undang-undang tersebut tetapi dilakukan oleh pihak lain yaitu hakim.

Ketiga; kekerasan yang ekstrim dari pemidanaan dapat menunjukkan sesuatu menjadi tidak berguna, hal ini akan bertentangan dengan keadilan dan sifat dari kontrak sosial itu sendiri.

Beccaria tidak percaya dengan pidana yang berat atau kejam, pencegahan akan datang tidak dari pidana yang berat tetapi dari pidana yang patut (appropriate)

28

(36)

yang tepat (prompt) dan pasti (inevitable). Penjatuhan pidana harus dilakukan dengan alasan utama yaitu untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat dan untuk mencegah orang melakukan kejahatan. Dan pidana harus dirancang untuk masing-masing kejahatan menurut tingkatnya yang akan menghasilkan lebih banyak kesusahan daripada kesenangan terhadap mereka yang melakukan perbuatan.

Dalam penerapan pidana; kekuasaan untuk menginterpretrasikan hukum pidana tidak dapat diletakkan pada hakim pidana, hal ini tepat karena mereka bukan pembuat hukum. Sehingga dengan demikian tugas seorang hakim hanya semata-mata sebagai alat undang-undang yang hanya menentukan salah tidaknya seseorang dan kemudian menetapkan pidananya.

(37)

ditentukan tetapi berprospek penderitaan jika seseorang tidak mentaati moral atau kewajiban hukum.29

Dalam pelaksanaan pidana pada akhirnya, apapun jenis dan bentuk sanksi dalam hukum pidana yang akan ditetapkan, tujuan pemidanaan yang harus menjadi patokan. Karena itu, tujuan pemindanaan yang harus menjadi patokan. Oleh karena itu harus ada kesamaan pandang atau pemahaman yang sama pada setiap tahap kebijakan legislasi tentang apa hakikat atau maksud dari sanksi pidana dan atau tindakan itu sendiri. Adanya tujuan pemidanaan yang harus dijadikan patokan dalam rangka menunjang bekerjanya sistem peradilan ini, menurut istilah Muladi untuk menciptakan sinkronisasi yang bersifat fisik, yaitu sinkronisasi structural (structural synchronization), sinkronisasi substansial (substantial synchroni-zation), dan dapat pula bersifat sinkronisasi cultural (cultural synchronization). Dalam sinkronisasi struktural, keserempakan dan keselarasan ditentukan dalam mekanisme administrasi peradilan pidana (the administration of justice) dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Sedangkan menyangkut sinkronisasi substansial, maka keserampakan itu mengandung makna baik vertikal maupun horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku. Sementara menyangkut sinkronisasi kultural mengandung makna untuk selalu serempak dalam menghayati

29

Ibid, hal. 366. Bentham mengakui bahwa beberapa motif yang lebih

(38)

pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. Persoalan dalam menetapkan sanksi dalam hukum pidana, apapun jenis dan bentuk sanksinya harus didasarkan dan diorientasikan pada tujuan pemidanaan. Setelah tujuan pemidanaan ditetapkan, barulah jenis dan bentuk sanksi apa yang paling tepat bagi pelaku kejahatan ditentukan.30

2. Konsepsi

Konsepsi berasal dari bahasa Latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.31 Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.32 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional.33

Pentingnya defenisi adalah untuk menghindarkan pengertian atau penafsiran yang berbeda dari satu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan serangkaian defenisi sebagai berikut:

a. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun

30

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 95.

31

Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hal. 122.

32

Masri Singarimbun dan Sifian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 34.

33

(39)

berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.34

b. Kerugian negara adalah berkurangnya uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.35

c. Uang pengganti merupakan suatu bentuk hukuman (pidana) tambahan dalam perkara korupsi. Pidana pembayaran uang pengganti merupakan konsekuensi dari akibat tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sehingga untuk mengembalikan kerugian tersebut diperlukan sarana yuridis yakni dalam bentuk pembayaran uang pengganti.36

d. Tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang tercantum pada Pasal 2 s/d Pasal 16 Undang-Undang ini, yang meliputi: delik merugikan keuangan Negara (Pasal 2 dan Pasal 3); delik penyuapan (Pasal 5, 6, dan 11); delik penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, 9, dan 10); delik pemerasan dalam jabatan (Pasal 12); delik yang berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7); dan delik gratifikasi (Pasal 12 B, 12 C dan Pasal 13).

34

Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 1 angka 1

35

Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 angka 22

36

(40)

G. Metode Penelitian

Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”. Namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:37

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian, 2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan,

3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.

Agar penelitian tersebut memenuhi syarat keilmuan, maka diperlukan pedoman yang disebut metode penelitian. Metode penelitian adalah cara-cara berfikir dan berbuat, yaitu dipersiapkan dengan baik-baik untuk mengadakan penelitian dan untuk mencapai suatu tujuan penelitian.38

Penulisan sebagai salah satu jenis karya tulis ilmiah membutuhkan data-data yang mempunyai nilai kebenaran yang dapat dipercaya. Untuk memperoleh data-data sebagaimana yang dimaksud, maka dilakukan suatu metode tertentu, karena setiap cabang ilmu pengetahuan mempunyai metode penulisan tersendiri.

Maka dalam tulisan hukum secara otomatis metode yang dipakai adalah metode penulisan hukum. Metode penulisan ini merupakan pedoman atau petunjuk dalam mempelajari, menganalisa, memahami serta menemukan penyelesaian bagi permasalahan yang dihadapi.

37

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2000), Hal. 5.

38

(41)

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian yang berbasis kepada ilmu hukum normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji berbagai aspek hukum, dari segi ketentuan perundang-undangan yang berlaku mengenai ketentuan pidana tambahan uang pengganti .

Menurut Sunaryati Hartono, “dalam penelitian hukum normatif dapat mencari asas hukum dan pembentukan asas hukum baru”.39

Sedangkan menurut Bagir Manan, “penelitian normatif adalah penelitian terhadap kaedah dan asas hukum yang ada”.

40

Soerjono Soekanto menyatakan penelitian hukum normatif adalah “penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum”.

41

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Bersifat deskriptif maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sitematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat bagaimana menjawab permasalahan. Jadi deskriptif analisis yaitu mendeskripsikan, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analisis permasalahan yang dikemukakan terperinci tentang hal tertentu dan pada saat tertentu. Biasanya dalam penelitian ini,

39

C. F. G. Sunaryati Hartono, Op. Cit., Hal. 141.

40

Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), Hal. 13.

41

(42)

peneliti sudah mendapatkan atau mempunyai gambaran yang berupa awal tentang permasalahan yang akan diteliti.42 Penelitian bersifat deskriptif analisis adalah “suatu penelitian yang berusaha menggambarkan fakta dan data-data mengenai tugas dan tanggung jawab Pengurus, kemudian melakukan penyusunan, pengolahan dan penilaian terhadap data-data yang ditemukan sehingga diperoleh gambaran lengkap dan menyeluruh mengenai permasalahan yang diteliti”.43

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Pendekatan normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif, serta kemudian dihubungkan dengan perkembangan yang ada di tengah masyarakat.44

2. Sumber Data

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.45

42

Ibid, hal 63.

Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahannya, Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

43

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Hal. 36

44

Johnny Ibrahim, “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”, (Jakarta: Banyumedia, 2007), Hal. 295

45

(43)

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan akibat hukum terhadap pembayaran uang pengganti sebagai salah satu bentuk pengembalian kerugian keuangan negara, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan Hukum Tertier

Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

4. Analisis Data

(44)

jawaban-jawaban dari informan yaitu hakim dan jaksa, yangdicari hubungan antara data yang satu dengan data yang lain kemudiandisusun secara sistematis.

“Metode analisis data kualitatif dilakukan dengan cara menyeleksi data yang telah terkumpul dan memberikan penafsiran terhadap data-data itu kemudian menarik kesimpulan”.46

46

(45)

BAB II

LATAR BELAKANG PENGATURAN TENTANG UANG PENGGANTI

DALAM KEBIJAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Perkembangan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Sejak Reformasi 1998

Pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya telah berjalan cukup lama, bahkan nyaris setua umur Republik ini berdiri. Berbagai upaya represif dilakukan terhadap para pejabat publik atau penyelenggara negara yang terbukti melakukan korupsi. Sudah tidak terhitung telah berapa banyak pejabat negara yang merasakan getirnya hidup di hotel prodeo.47

Berdasarkan sejarah, selain KPK yang terbentuk di tahun 2003, terdapat 6 lembaga pemberantasan korupsi yang sudah dibentuk di negara ini yakni; (i) Operasi Militer di tahun 1957, (ii) Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, (iii) Operasi Tertib pada tahun 1977, (iv) tahun 1987 dengan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak, (v) dibentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999, dan (vi) tahun 2005 dibentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor).48

Kebijakan pencegahan juga telah diupayakan oleh pemerintah. Peningkatan transparansi dari penyelenggara negara telah menjadi perhatian pemerintah bahkan sejak tahun 1957. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1957 melalui Kepres No.

47

Sugianto, Sejarah Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Jakarta : Pusat Kajian Kepolisian dan Keamanan , 2009) hal.1

48

(46)

48/1957 Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution selaku penguasa militer menetapkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Salah satu aspek penting dalam peraturan tersebut adalah membentuk suatu unit kerja yang bertugas menilik harta benda setiap orang yang disangka, didakwa atau sepatutnya disangka melakukan korupsi, termasuk harta benda suami, istri, anak atau badan/institusi yang diurus oleh orang tersebut. Pada masa orde baru, lahir Keppres No. 52/1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi Pejabat Negara/Pegawai Negeri/ABRI. Di era reformasi dengan adanya UU no. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Korupsi Kolusi dan Nepotisme maka dibentuklah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Dalam tugasnya KPKPN berhasil meletakkan landasan yang baik bagi mekanisme pelaporan kekayaan penyelenggara negara secara komprehensif.49

Berbagai kebijakan dan lembaga pemberantasan yang telah ada tersebut ternyata tidak cukup membawa Indonesia menjadi negara yang bersih dari korupsi. Berdasarkan kondisi dimana Indonesia tetap dicap sebagai salah satu negara terkorup di dunia tentunya ada beberapa hal yang kurang tepat dalam pelaksanaan kebijakan atau pun kinerja dari lembaga pemberantasan korupsi tersebut.

Tidak berjalannya program-program pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini lebih banyak dikarenakan; (i) dasar hukum untuk melaksanakan tugas dan fungsi dalam pemberantasan korupsi tidak kuat, (ii) program pemberantasan korupsi tidak dilakukan secara sistematis dan terintegrasi, (iii) sebagian lembaga yang

49

(47)

dibentuk tidak punya mandat atau tidak melakukan program pencegahan, sementara penindakan tindak pidana korupsi dilaksanakan secara sporadis, sehingga tidak menyurutkan pelaku korupsi lain dalam melakukan pelanggaran yang sama, (iv) masyarakat mempunyai persepsi bahwa lembaga anti korupsi yang dibentuk berafiliasi kepada golongan / partai tertentu sehingga masyarakat tidak mempercayai keberhasilan lembaga tersebut dalam memberantas korupsi, (v) tidak mempunyai sistem sumber daya manusia yang baik, sistem rekrutmennya tidak transparan, program pendidikan dan pelatihan tidak dirancang untuk meningkatkan profesionalisme pegawai dalam bekerja, sehingga SDM yang ada pada lembaga tersebut tidak memiliki kompetensi yang cukup dalam melaksanakan tugas dalam pemberantasan korupsi, (vi) tidak didukung oleh sistem manajemen keuangan yang transparan dan akuntabel. Sistem penggajian pegawai yang tidak memadai, mekanisme pengeluaran anggaran yang tidak efisien dan pengawasan penggunaan anggaran yang lemah, (vii) lembaga dimaksud menjalankan tugas dengan benar hanya pada tahun pertama dan kedua, maka setelah itu menjadi lembaga pemberantas korupsi yang korup dan akhirnya dibubarkan.50

Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tahun 2003 dengan lingkup tugas dan fungsi meliputi koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, monitoring, berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 2002, berusaha untuk tidak

50

Lihat makalah

(48)

mengulang kegagalan lembaga-lembaga sebelumnya.51

Di Indonesia, akibat perilaku korupsi yang tersistematis, merata, dan hampir terstruktur melembaga di seluruh lapisan masyarakat, telah berimplikasi pada timbulnya krisis ekonomi, rusaknya sistem hukum dan terhambatnya pemerintahan yang bersih dan demokratis (democratic and clean government). Korupsi sudah menjadi akar dari semua persoalan yang dihadapai bangsa ini (the root of all evils). Dengan kata lain, korupsi telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai suatu bentuk kejahatan biasa, tetapi sudah merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), sehingga diperlukan upaya luar biasa pula dalam penanganannya, baik dari Misalnya , lembaga ini di desain menjadi lebih otonom dan independen . Eksistensi independensi dalam proses penegakan hukum merupakan suatu wacana yang imperatif sifatnya. Jika dilihat bagi Kepolisian dan Kejaksaaan akan sulit memaksimalkan pemberantasan korupsi selama independensi dalam konteks limitatif masih dalam status sub ordinasi kekuasaan eksekutif tertinggi, sehingga terkesan adanya suatu kekuasaaan otoriter yang permessif. Dari kajian sosiologis yuridis, gangguan optimal independensi penegak hukum justru dari lingkaran internal kekuasaan, sehingga selama masih ada hubungan sub ordinasi penegak hukum dan kekuasaan tertinggi eksekutif, kegamangan kehendak penegak hukum memberantas korupsi akan selalu minimal hasilnya

51

(49)

segi partisipasi masyarakatnya, maupun kemauan politik (political will) dari negara pembentuk hukum, pemerintah dan seluruh aparatur penegak hukum.52

Negara pasca-otoritarian53

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak

pada dasarnya telah memberikan komitmen yang serius bagi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Ditandai dengan dikeluarkannya beberapa regulasi yang memberi legitimasi bagi langkah dan gerakan pemberantasan korupsi. Setidaknya dua undang-undang telah dibentuk untuk mendukung gerakan ini, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya diamandemen menjadi UU No. 20 Tahun 2001 dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua peraturan perundangan tersebut telah secara tegas mengakui adanya sebuah kondisi darurat korupsi.

52

Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik,(Jakarta : Penerbit Penaku bekerjasama dengan Maharini Press, 2008), hal. 49-50.

53

(50)

sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa54

Akibat korupsi dan dampak yang di timbulkan, tercermin pula dalam pembukaan (preambule) konvensi PBB antikorupsi (UNCAC, 2003). Konvensi yang yang telah di ratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006, dalam pembukaannya menyatakan bahwa:

.

Concerned about the seriousness of problems and threats posed by

corruption to the stability and security of societies, undermining the

institutions and values of democracy, ethical values and justice and

jeopardizing sustainable development and the rule of law;”

("Khawatir tentang keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum;")

Pernyataan undang-undang tersebut di atas tentunya bukan tanpa alasan, apalagi sejumlah fakta menunjukkan masih tingginya tingkat korupsi di Indonesia. Betapa tidak, sejak Soemitro Djojohadikusumo menyebutkan bahwa kebocoran dana

54

(51)

pembangunan antara tahun 1989-1993 sebesar 30%.55

Melengkapi laporan BPK di atas, Indonesia Corruption Watch (ICW) membuat catatan dan analisa terhadap trend korupsi di Indonesia 2004-2006. Dijelaskan bahwa pada tahun 2004 terungkap 153 kasus korupsi, tahun 2005 terungkap 125 dan tahun 2006 terungkap 166 kasus korupsi. Meskipun jumlah kasus yang terungkap di tahun 2006 tidak berbeda jauh dengan tahun 2005, tetapi kerugian negara meningkat cukup besar. Dari 161 kasus korupsi yang terjadi di tahun 2006, kerugian negara mencapai Rp. 14,4 triliun, lebih besar dibandingkan dengan tahun 2005 dan 2004.

Beberapa data hasil survey dari berbagai kalangan, juga masih meperlihatkan tingginya korupsi di Indonesia. Survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) di tahun 2006, menggolongkan Indonesia sebagai negara yang tinggi tingkat korupsinya.

Transparency International (TI), selama 5 tahun berturut-turut (1995-2000) selalu menempatkan Indonesia dalam posisi 10 besar negara paling korup di dunia. Demikian halnya dengan survey TI tahun 2006, meski peringkat korupsi Indonesia sedikit lebih baik dengan nilai indeks 2,4, angka ini hanya mendongkrak urutan Indonesia satu peringkat dari negara terkorup keenam (dari 159 negara) pada 2005, menjadi negara terkorup ketujuh (dari 163 negara) di 2006. Bahkan laporan yang dibuat oleh Badan Pemeriksa Keuangan Negara (BPK), menyebutkan masih terjadi kebocoran dalam anggaran Negara.

56

55

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, 1999, hal. 296.

56

(52)

2004-Dari 153 kasus yang terungkap pada tahun 2004, 125 kasus tahun 2005, dan 166 kasus tahun 2006, terjadi peningkatan kerugian negara yang cukup besar. Dari kasus yang terungkap pada tahun 2006, kerugian negara mencapai Rp. 14,4 triliun, lebih besar dibandingkan dengan Tahun 2005 dan 2004.57 Suatu hal yang ironis kemudian, mantan presiden Soeharto telah ditempatkan menjadi pemimpin negara paling korup sedunia. Berdasarkan laporan PBB dan Bank Dunia yang dikeluarkan September 2007, total uang yang dikorupsi oleh Soeharto diperkirakan sebesar US$ 15-35 miliar (Rp. 135-315 triliun).58

Korupsi yang meluas dan sistematis, terlihat dari intensitas korupsi pada sejumlah Lembaga Pemerintah di Daerah. Hasil penelitian dari Governance Assessment Survey (2006) yang dilakukan oleh Kemitraan dan PSKK UGM di 10 Propinsi dan Kabupaten,59

2006”, 2006. Dapat diakses di http://www.antikorupsi.org.

memperlihatkan adanya praktik korupsi di lembaga-lembaga pemerintahan. Yang mengkhawatirkan dari temuan penelitian tersebut adalah, praktik korupsi di lembaga penegak hukum cenderung lebih tinggi dibandingkan lembaga pemerintah lainnya. Jika demikian, sulit membayangkan upaya pemberantasan korupsi akan dapat dilakukan secara efektif jika lembaga penegak hukum yang ada justru lebih besar praktik korupsinya.

57 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Analisa Trend Korupsi Indonesia Tahun 2004-2006”, 2006, diakses di www.antikorupsi.org., tanggal 23 Mei 2007.

58 “Majalah Berita Mingguan Tempo”, No. 31/XXXVI/24-30 September 2007, hal. 26-35.

(53)

Sebagai akibat dari masih tingginya korupsi di Indonesia adalah, jutaan warga terbelenggu dalam kemiskinan. Data BPS mencatat bahwa Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada September 2011 mencapai 29,89 juta orang (12,36 persen), turun 0,13 juta orang (0,13 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2011 yang sebesar 30,02 juta orang (12,49 persen). Selama periode Maret 2011-September 2011, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,09 juta orang (dari 11,05 juta orang pada Maret 2011 menjadi 10,95 juta orang pada September 2011), sementara di daerah perdesaan berkurang 0,04 juta orang (dari 18,97 juta orang pada Maret 2011 menjadi 18,94 juta orang pada September 2011).60

Dampak lebih jauh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menilai bahwa Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index - HDI) negara Indonesia berada pada urutan 110 dari 173 negara di dunia. Suatu peringkat yang tergolong sangat rendah, hanya satu peringkat di atas Kamboja tetapi jauh tertinggal jika dibandingkan beberapa negara ASEAN seperti Vietnam, Philipina, Malaysia dan Singapura.

B. Dampak Tindak Pidana Korupsi

Telah banyak usaha yang dilakukan untuk memberangus korupsi, namun sampai saat ini hasilnya masih tetap belum sesuai dengan yang harapan masyarakat. Melihat kenyataan betapa sulitnya usaha pemberantasan korupsi, sebenarnya wajar

60

(54)

saja jika sampai timbul public judgement bahwa korupsi adalah manisfestasi budaya bangsa. Ibarat wabah demam berdarah dengou (DBD), korupsi kini telah memasuki arena Kejadian Luar Biasa (KLB). Salah satu akibat buruk dari perilaku korup yang kini semakin membudaya di Indonesia adalah kerugian keuangan negara. Selama tiga tahun terakhir terdapat trend kenaikan kerugian keuangan negara yang menurut catatan akhir tahun Indonesian Corruption Watch (24/1/07) pada tahun 2004 mencapai Rp. 4,3 triliun, tahun 2005 mencapai Rp 5,3 triliun dan tahun 2006 meningkat tiga kali lipat menjadi Rp 14,4 triliun.61

Begitu kronisnya penyakit korupsi di Indonesia digambarkan oleh Prof. Dr. H. Syafe'i Ma'arif, akibat korupsi yang semakin merajalela kini bangsa Indonesia dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Departemen Agama RI yang seharusnya mengurusi pembangunan mental (hati) bangsa adalah salah satu departemen terkorup di negeri ini. Kemudian Departemen Pendidikan RI yang seharusnya mengurusi usaha mencerdaskan bangsa (otak) juga merupakan salah satu departemen terkorup. Demikian juga Departemen Kesehatan RI yang seharusnya mengurusi kesehatan secara fisik bangsa Indonesia juga salah satu Departemen Terkorup di negeri ini. "Lalu apa yang tersisa? ", tanya Ma'arif.62

Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM mengemukakan

kemudlaratan korupsi telah sukses merambah seluruh aspek kehidupan sosial

61

Dokumen annual report ICW ini di rilis pada tanggal 12 Desember 2007, yang memberi overview kasus-kasus korupsi serta penanganan terhadap kasus-kasus tersebut

62

(55)

diantaranya ; mahalnya biaya pendidikan, kesehatan, minimnya fasilitas umum, minimnya fasilitas militer, penegakan hukum yang "memble", minimnya lapangan kerja, dana bantuan di-"sunat", ekonomi biaya tinggi, BBM mahal, dan banyaknya biaya-biaya yang tidak jelas (invisble cost).63

Lesunya Perekonomian Korupsi memperlemah investasi dan pertumbuhan ekonomi. Korupsi merintangi akses masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan yang berkualitas. Korupsi memperlemah aktivitas ekonomi, memunculkan inefisiensi, dan nepotisme. Korupsi menyebabkan lumpuhnya keuangan atau ekonomi suatu negara, meluasnya praktek korupsi di suatu negara mengakibatkan berkurangnya dukungan negara donor, karena korupsi menggoyahkan sendi-sendi kepercayaan pemilik modal asing.

Bagi dunia usaha korupsi punya dampak yang merugikan. Pertama, korupsi memperbesar biaya perusahaan karena perusahaan harus membayar biaya-biaya tidak resmi dan biaya tambahan karena tindakan korupsi. Penelitian Mudrajad Kuncoro (2004)64 pada industri berorientasi ekspor yang padat karya di 10 Kabupaten/Kota di Indonesia menemukan bahwa biaya tambahan karena korupsi mencapai 7,3 persen dari biaya perusahaan. Sedangkan penelitian Ari Kuncoro (2001) 65

63

http://pukat.hukum.ugm.ac.id/

pada 1.736 perusahaan di 285 kabupaten dan kota di Indonesia menemukan besarnya biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi mencapai 10 persen dari

64

Mudrajad Kuncoro, Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, (Jakarta : Erlangga, 2004) hal. 3.

65

(56)

biaya total perusahaan. Besarnya biaya tambahan ini tentu akan mengurangi keuntungan dan efisiensi perusahaan.

Sebuah penelitian 66

Dalam tulisannya yang menarik berjudul "Why is Corruption So Much More Taxing Than Tax"(Mengapa Korupsi Lebih Memajaki daripada Pajak?) sebagai hasil penelitiannya di 45 negara, Shang Jin Wei (1997)

menarik di Afrika menemukan bahwa produktivitas perusahaan yang membayar suap hanya 2/3 dari perusahaan yang tak pernah membayar suap. Kedua, sebagai dampak lebih lanjut dari biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi tersebut, perusahaan biasanya akan menggeser beban biaya tambahan ini pada konsumen dengan cara menaikkan harga barang yang dijualnya. Kenaikan harga barang ini akan mengurangi daya beli konsumen. Karena daya beli konsumen turun maka pada akhirnya pengusaha juga akan menanggung akibatnya berupa penurunan omset penjualan. Ketiga, biaya tambahan sebagai akibat tindakan korupsi yang harus ditanggung oleh pengusaha ternyata lebih "merugikan" dibandingkan pajak.

67

66

menyatakan bahwa korupsi lebih merugikan daripada pajak karena biaya tambahan sebagai hasil korupsi tidak diimbangi dengan balas jasa apapun dari oknum pemerintah. Sementara jika pengusaha membayar pajak, ia akan mendapatkan balas jasa berupa pelayanan publik dan infrastruktur yang dibutuhkannya untuk menjalankan usahanya. Karena ketiga

juni 2012

67

(57)

dampak korupsi yang merugikan dunia usaha tersebut maka tidak heran jika korupsi merupakan hambatan yang cukup serius bagi investasi baik yang berasal dari dalam negeri maupun investasi asing.

Penelitian Shang Jin Wei seperti dikutip di atas menemukan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap investasi asing. Penelitian Hines (1995) di AS menghasilkan hasil yang sama.68 Demikian pula penelitian Daniel Kaufmann (1997) di Ukraina dan Rusia juga menyimpulkan hal yang sama yaitu korupsi berdampak negatif terhadap investasi asing. Karena berdampak negatif terhadap investasi padahal investasi adalah motor penggerak pertumbuhan ekonomi maka korupsi berdampak negatif pula terhadap pertumbuhan ekonomi.69

Penelitian Paulo Mauro (1997) di 70 negara menemukan bahwa korupsi berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Demikian juga penelitian Vito Tanzi (1998) di beberapa negara sedang berkembang menemukan hal yang sama.

Dampak korupsi yang paling dirasakan masyarakat adalah meningkatnya kemiskinan. Meningkatnya kemiskinan efek penghancuran yang hebat terhadap orang miskin adalah dampak langsung yang dirasakan oleh orang miskin dan dampak

tidak langsung terhadap orang miskin

Kemiskinan kronis (chronic poverty) Kemiskinan sementara (transient poverty) Empat risiko tinggi korupsi: Ongkos finansial (financial costs) Modal manusia

68

Lihat Shang-Jin Wei , Corruption in Economic Development: Beneficial Grease, Minor Annoyance, or Major Obstacle (Tshinghua : Centre for Economic Policy Research (CEPR, 1990)

69

Daniel Kaufmann & Pedro C. Vicente, 2011.

(58)

(human capital) Kehancuran moral(moral decay) Hancurnya modal sosial (loss of capital social).70

Sebuah studi literatur yang dilakukan oleh Eric Chetwynd, Frances Chetwynd serta Bertram Spector di tahun 2003 dengan judul "Corruption and Poverty: A

Review of Recent Literature" merupakan sebuah bahan berharga yang dapat

menyediakan landasan teoritik untuk memahami isu ini. Kesimpulan utama dari studi tersebut adalah bahwa korupsi tidak bisa langsung menghasilkan kemiskinan. Namun, "korupsi memiliki konsekuensi langsung terhadap faktor-faktor tatakelola pemerintahan dan perekonomian, yang pada akhirnya melahirkan kemiskinan”.71

Selanjutnya adalah efek dari kemiskinan itu sendiri adalah meningkatnya angka kriminalitas . Tingginya angka kriminalitas, korupsi menyuburkan berbagai jenis kejahatan yang lain dalam masyarakat. Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin besar pula kejahatan. Menurut Transparency International, terdapat pertalian erat antara jumlah korupsi dan jumlah kejahatan. Rasionalnya, ketika angka korupsi meningkat, maka angka kejahatan yang terjadi juga meningkat. Sebaliknya, ketika angka korupsi berhasil dikurangi, maka kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum (law enforcement) juga meningkat. Dengan mengurangi korupsi dapat juga (secara tidak langsung) mengurangi kejahatan yang lain.

70

http://mgtabersaudara.blogspot.com/2011/06/dampak-korupsi-terhadap-eksistensi.html

71

(59)

Tingginya angka kriminalitas (lanjutan) idealnya, angka kejahatan akan berkurang jika timbul kesadaran masyarakat (marginal detterence). Kondisi ini hanya terwujud jika tingkat kesadaran hukum dan kesejahteraan masyarakat sudah memadahi (sufficient). Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penegakan hukum di suatu negara selain tergantung dari hukum itu sendiri, profesionalisme aparat, sarana dan prasarana, juga tergantung pada kesadaran hukum masyarakat. Kesejahteraan yang memadahi mengandung arti bahwa kejahatan tidak terjadi oleh karena kesulitan ekonomi.

Pengaruh korupsi bagi pemerintah sendiri adalah demoralisasi korupsi yang merajalela di lingkungan pemerintah dalam penglihatan masyarakat umum akan menurunkan kredibilitas pemerintah yang berkuasa. Jika pemerintah justru memakmurkan praktik korupsi, maka lenyap pula unsur hormat dan trust

(kepercayaan) masyarakat kepada pemerintah. Praktik korupsi yang kronis menimbulkan demoralisasi di kalangan warga masyarakat. Menurut Bank Dunia, korupsi merupakan ancaman dan duri bagi pembangunan. Korupsi mengabaikan aturan hukum dan juga menghancurkan pertumbuhan ekonomi. Lembaga internasional menolak membantu negara-negara korup.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

dengan tujuan penerapan Good Corporate Governance yang tertuang pada pasal (4) Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor: KEP/117/M-MBU/2002. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri

Hasil dari perancangan destinasi branding yang akan dilakukan adalah membuat identitas visual berupa logo desa wisata Aik Berik dan merancang implementasi desain

Assalamu Alaikum wr wb para pengunjung Sejarah Mula, pada kesempatan kali ini kami akan sedikit memberikan informasi tentang Sejarah 4 Perang Besar Islam yang Terjadi Saat

Setelah melakukan pembimbingan, telaahan, arahan dan koreksi terhadap penulisan skripsi berjudul : PENGARUH BUDAYA, PSIKOLOGIS, PELAYANAN, PROMOSI DAN PENGETAHUAN

Hal ini bila dikaitkan dengan jumlah pengusaha warung Tegal yang ada di wilayah DKI Jakarta khususnya Jakarta Selatan menunjukkan bahwa yang baru di biayai oleh Bank

Tujuan dan teori pemasaran yang telah dikaji kemudian akan dijadikan landasan untuk dapat mengetahui segala kebutuhan, keinginan dan permintaan target sasaran

Berdasarkan hasil penelitian dalam pasambahan maanta marapulai yang dilakukan di nagari atanjung kecamatan koto VII Kabupaten sijunjung dari 76 tuturan ditemukan