FAKTOR-FAKYOR YANG MEMPENGARUHI
KONSUMSI TEMPE DI KOTA BOGOR
Oleh : INDRA SETIAWAN
A 14105673
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
RINGKASAN
INDRA SETIAWAN. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Tempe Di Kota Bogor (di bawah bimbingan NETTI TINAPRILLA).
Sumber pangan yang diharapkan oleh masyarakat adalah pangan yang memiliki nilai gizi tinggi. Salah satu sumber gizi yang tinggi terdapat pada kedelai yang mempunyai potensi sebagai sumber utama protein nabati dan merupakan pengganti sumber protein hewani yang harganya cukup mahal serta bahan pangan hewani umumnya banyak mengandung lemak dan zat-zat lain seperti kolesterol yang tinggi sehingga dapat menyebabkan timbulnya penyakit seperti jantung koroner, diabetes, dan lain sebagainya.
Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan yang penting setelah padi, karena selain mempunyai potensi yang besar sebagai sumber utama protein bagi masyarakat, kedelai juga telah lama dikenal dan dipakai sebagai bahan produksi tempe, tahu, kecap, tauco, dan susu. Selain itu kedelai juga memiliki ragam kegunaan yang cukup luas untuk dikonsumsi langsung maupun sebagai bahan pakan ternak (unggas dan ikan).
Kebutuhan akan kedelai meningkat setiap tahunnya sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, meningkatnya pendapatan per kapita, meningkatnya kesadaran masyarakat akan kecukupan gizi dan berkembangnya industri yang menggunakan bahan baku kedelai. Produksi dan produktivitas kedelai di Indonesia.
produksi kedelai pada tahun sangat tinggi yaitu 1.017.634 ton. Hal ini mengindikasikan bahwa pada saat itu, para petani kedelai dalam negeri melakukan panen dengan maksimal dengan lahan yang masih luas. Pada tahun 2001 produksi kedelai dalam negeri mengalami penurunan produksi sebesar 44.83 persen dari tahun 2000, hal ini dikarenakan dengan semakin sempitnya luas lahan untuk menanam kedelai selain iut hal ini dikarenakan oleh adanya persaingan penggunaan lahan dengan tanaman palawija lainnya. Pada tahun 2005 produksi kedelai dalam negeri kembali meningkat sebesar 28.1 persen dari tahun 2002, akan tetapi pada tahun 2006 sampai 2007 produksi kedelai dalam negeri kembali mengalami penurunan sebesar 27.58 persen, penurunan ini seiring dengan semakin sempitnya luas panen.
Meningkatnya kebutuhan akan kedelai dikarenakan oleh konsumsi yang terus meningkat mengikuti pertambahan jumlah penduduk, meningkatnya kesadaran masyarakat akan kecukupan gizi, dan berkembangnya berbagai industri yang menggunakan bahan baku dari kedelai. Dengan meningkatnya kebutuhan kedelai dan tidak terpenuhinya kedelai dalam negeri untuk memasoknya, maka pemerintah melakukan impor kedelai untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri. Impor ini merupakan jalan keluar untuk memasok kekurangan kedelai dalam negeri, karena harganya murah dan kualitasnya lebih baik.
Tempe merupakan makanan yang bahan dasarnya dari kedelai banyak dikonsumsi oleh masyarakat di berbagai kalangan, baik itu kalangan dari golongan ekonomi kelas atas, menengah, dan bawah. Tempe banyak dikonsumsi masyarakat luas karena banyak mengandung protein nabati yang memiliki kandungan zat antioksidan yang bermanfaat untuk pencegah penyakit degeneratif,
penyakit jantung, hipertensi, dan lain-lain. Selain banyak mengandung gizi, masyarakat mengkonsumsi tempe karena harganya yang relatif murah dan terjangkau untuk semua kalangan.
Sehubungan dengan latar belakang dan permasalahan yang dihadapi, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah bagaimana karakteristik konsumen tempe di kota Bogor dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konsumsi tempe di kota Bogor.
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Bogor. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Metode Pengolahan dan analisis dilakukan secara deskriptif dan dengan menggunakan Regresi Linear Berganda.
usia rata-rata responden untuk kelas ekonomi atas 45,5 tahun, kelas ekonomi menengah 43,3 tahun, dan kelas ekonomi bawah 42,8 tahun. Mayoritas responden kelas ekonomi atas, menengah, maupun bawah adalah perempuan yang umunya adalah ibu rumah tangga, baik yang memiliki pekerjaan maupun tidak memiliki pekerjaan. Hal ini diambil karena biasanya ibu rumah tangga lebih memahami masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan konsumsi keluarga.
Untuk responden rumah tangga berdasarkan jenis pekerjaan baik itu kelas ekonomi atas, menengah, maupun bawah peresntase terbesarnya adalah ibu rumah tangga. Persentase terbesar responden pada tingkat pendidikan kelas ekonomi atas dan menengah adalah tingkat SLTA, sedangkan kelas ekonomi bawah adalah SLTP. Persentase terbesar Jumlah anggota keluarga untuk kelas ekonomi atas, menengah dan bawah adalah yang memiliki jumlah anggota keluarga 5-6 orang.
Responden terbesar untuk pengeluaran konsumsi tempe keluarga kelas ekonomi atas, kelas ekonomi menengah dan kelas ekonomi bawah adalah diatas Rp 60.000. Lokasi pembelian tempe untuk kelas ekonomi atas sebesar 56 persen di pasar, kelas ekonomi menengah 38 persen di pedagang keliling, dan kelas ekonomi bawah sebesar 50 persen di pedagang sayur keliling.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI TEMPE DI KOTA BOGOR
Oleh : INDRA SETIAWAN
A14105673
SKRIPSI
Skripsi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Konsumsi Tempe Di Kota Bogor.
Nama : Indra Setiawan NRP : A14105673
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Netti Tinaprilla, MM NIP. 132 133 965
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN UNTUK SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Januari 2011
Indra Setiawan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, pada tanggal 13 Juli 1984 sebagai
anak ke dua dari lima bersaudara pasangan Bapak H. Dayat Hidayat dan Ibu Hj.
Iriani Cendrakasih. Pada Tahun 1990, masuk sekolah di SD Negeri Panaragan
Kidul 3 Bogor. Kemudian pada Tahun 1996 melanjutkan sekolah di SLTP Negeri
6 Bogor, dan pada Tahun 1999 kembali melanjutkan sekolah di SMU Rimba
Madya Bogor.
Pada tahun 2002 diterima di Program Diploma Komunikasi Pembangunan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada Tahun 2005. Pada
Tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan S1 Program Sarjana Ekstensi
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim, puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT karena atas rahmat, inayah dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Konsumsi Tempe di Kota Bogor”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Sarjana Manajemen
Agribisnis Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan pada penelitian ini. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan penelitian ini
sangat penulis harapkan. Akhir kata terima kasih kepada semua pihak atas
kerjasama dan bantuannya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. Semoga
hasil penelitian ini bermanfaat bagi yang membutuhkan
Bogor, Januari 2011
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur kembali dipanjatkan bagi Allah SWT, karena atas
kehendak-Nyalah skripsi ini bisa diselesaikan pada tempat dan waktu yang
direncanakan. Pada kesempatan ini juga penulis ingin menyampaikan
penghormatan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang
telah memberikan dukungan baik moril maupun materiil, yaitu kepada :
1. Kedua orang tua tercinta Bapak H. Dayat Hidayat dan Ibu Hj. Iriani
Cendrakasih serta kakak dan adik-adik yang dengan tulus telah memberikan
do’a dan motivasi.
2. Ir. Netti Tinaprilla, MM sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, pengarahan, dan sarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
3. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MSi sebagai dosen evaluator yang telah memberikan
koreksi dan masukan untuk kesempurnaan penelitian skripsi ini.
4. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS sebagai dosen penguji pada saat sidang yang
banyak memberikan saran dan kritik untuk kesempurnaan skripsi ini
5. Ir. Rachmat Yanuar sebagai dosen komisi akademik yang telah memberikan
koreksi dan masukan untuk kesempurnaan penelitian skripsi ini.
6. Teman-teman kantor Indra Karya : Ibu Tati, Tami, Mas Heru, dan Tomo yang
telah banyak memberikan dukungan.
7. Teman-teman Ekstensi MAB-14 : Aputz, Harry, Arfan, Ojie, Saut, Habib,
Boy, Hamid, Kang Dimas, Sandra, Nora, Teh Siti, dan Bu Leli, terima kasih
8. Semua staff sekretariat Ekstensi MAB terima kasih atas bantuannya.
9. Barudak Saung : Pank. Tomy, Apih, Mpie, Otan, Danu, Isan, Muri, Ikro,
Ucup, Sangu, Kaka dan Januar yang telah memberikan semangat.
10.Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu selama penyelesaian skripsi ini.
Semoga segala kebaikannya akan mendapatkan balasan dari Allah SWT,
DAFTAR ISI
1.4 Kegunaan Penelitian... 7
II TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1 Kedelai ... 8
2.2 Sejarah dan Perkembangan Tempe ... 8
2.3 Khasiat dan Kandungan Gizi Tempe ... 9
3.2 Kerangka Pemikiran Operasianal ... 19
IV METODE PENELITIAN ... 22
4.6 Definisi Operasional... 31
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 33
5.1 Letak Geografis Kota Bogor ... 33
5.2 Wilayah Administrasi Kota Bogor ... 34
6.1.4 Tingkat Pendidikan ... 39
6.1.5 Jumlah Anggota Keluarga ... 40
6.1.6 Pendapatan Keluarga ... 41
6.1.7 Pengeluaran ... 41
6.1.8 Pengeluaran Untuk Pangan ... 42
6.1.9 Pengeluaran Untuk Tempe ... 43
6.1.10 Lokasi Pembelian Tempe ... 45
6.1.11 Alasan Mengkonsumsi Tempe ... 45
6.1.12 Kapan Pembelian Tempe ... 46
6.2 Analisis Faktor Yang mempengaruhi Konsumsi Tempe ... 47
VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 55
7.1 Kesimpulan ... 55
7.2 Saran ... 56
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kurva Permintaan... 16
2. Keseimbangan Rumah Tangga ... 19
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas
Kedelai di Indonesia Tahun 2000-2009 ... 2
2. Perkembangan Konsumsi dan Impor Kedelai Tahun 1997-2008 ... 3
3. Kandungan Gizi Tempe dan Bahan Olahan Kedelai Per 100 gram Bahan ... 5
4. Konsumsi Makanan yang Berbahan Dasar dari Kedelai ... 6
5. Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah Pada Masing-Masing Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2007 ... 35
6. Sebaran Responden Berdasarkan Usia ... 37
7. Sebaran Responden Menurut Jenis Kelamin ... 37
8. Sebaran Responden Menurut Jenis Pekerjaan ... 38
9. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 40
10. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga ... 40
11. Sebaran Responden Menurut Jumlah Pendapatan Keluarga ... 41
12. Sebaran Responden Menurut Jumlah Total Pengeluaran Keluarga... 42
13. Sebaran Responden Menurut Jumlah Total Pengeluaran Untuk Pangan ... 43
14. Sebaran Responden Menurut Jumlah Total Pengeluaran Untuk Tempe ... 44
19. Analisis Variabel Pada Model Regresi Linear Berganda .... 48
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Laju pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan populasi penduduk di
negara-negara berkembang membawa dampak pada peningkatan kemakmuran,
dimana konsekuensinya adalah semakin bertambah cepatnya permintaan pangan
serta perubahan bentuk dan kualitas pangan dari penghasil energi kepada
produk-produk penghasil protein. Kebutuhan akan protein ini akan semakin meningkat
dengan peningkatan kebutuhan energi, jumlah penduduk dan pendapatan.
Sumber pangan yang diharapkan oleh masyarakat adalah pangan yang
memiliki nilai gizi tinggi. Salah satu sumber gizi yang tinggi terdapat pada kedelai
yang mempunyai potensi sebagai sumber utama protein nabati dan merupakan
pengganti sumber protein hewani yang harganya cukup mahal serta bahan pangan
hewani umumnya banyak mengandung lemak dan zat-zat lain seperti kolesterol
yang tinggi sehingga dapat menyebabkan timbulnya penyakit seperti jantung
koroner, diabetes, dan lain sebagainya.
Kedelai merupakan salah satu bahan pangan nabati yang sangat penting
sebagai sumber protein. Masyarakat mulai mengonsumsi makanan olahan kedelai
seperti tempe, tahu, kecap, tahu, dan susu kedelai dengan tujuan untuk
meningkatkan konsumsi protein nabati. Selain itu, kedelai juga memiliki ragam
kegunaan yang cukup luas untuk dikonsumsi langsung maupun sebagai bahan
pakan ternak (unggas dan ikan).
Kebutuhan akan kedelai meningkat setiap tahunnya sejalan dengan
meningkatnya kesadaran masyarakat akan kecukupan gizi dan berkembangnya
industri yang menggunakan bahan baku kedelai. Produksi dan produktivitas
kedelai di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Indonesia
petani kedelai dalam negeri melakukan panen dengan maksimal dengan lahan
yang masih luas. Pada tahun 2001 produksi kedelai dalam negeri mengalami
penurunan produksi sebesar 44.83 persen dari tahun 2000, hal ini dikarenakan
dengan semakin sempitnya luas lahan untuk menanam kedelai, selain itu hal ini
dikarenakan oleh adanya persaingan penggunaan lahan dengan tanaman palawija
lainnya. Pada tahun 2005 produksi kedelai dalam negeri kembali meningkat
sebesar 28.1 persen dari tahun 2002, akan tetapi pada tahun 2006 sampai 2007
produksi kedelai dalam negeri kembali mengalami penurunan sebesar 27.58
persen, namun pada tahun 2008 produktivitas kedelai mengalami peningkatan
seiring dengan bertambahnya areal lahan dan produksi.
Produktivitas kedelai erat kaitannya dengan tingkat dan kualitas teknologi
yang digunakan, serta manajemen petani yang masih tergolong sederhana dan
terbatas. Pemerintah sendiri berusaha mendorong untuk peningkatan produksi
kedelai dalam negeri dengan melakukan perluasan lahan penanaman yang
didukung dengan kebijakan harga, namun penanganan oleh pemerintah relatif
kurang intesif.
Meningkatnya kebutuhan akan kedelai dikarenakan oleh konsumsi yang
terus meningkat mengikuti pertambahan jumlah penduduk, meningkatnya
kesadaran masyarakat akan kecukupan gizi, dan berkembangnya berbagai industri
yang menggunakan bahan baku dari kedelai. Dengan meningkatnya kebutuhan
kedelai dan tidak terpenuhinya kedelai dalam negeri untuk memasoknya, maka
pemerintah melakukan impor kedelai untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam
negeri. Impor ini merupakan jalan keluar untuk memasok kekurangan kedelai
dalam negeri, karena harganya murah dan kualitasnya lebih baik. Impor kedelai
yang dilakukan pemerintah dapat dilihat pada Tabel 2, dimana pada tahun
1997-2008 jumlah impor kedelai Indonesia cenderung meningkat.
Tabel 2. Perkembangan Konsumsi dan Impor Kedelai Tahun 1997 – 2008
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa Indonesia mengimpor kedelai terkecil
yaitu pada tahun 1998 dengan jumlah impor sebesar 344.050 ton dengan
konsumsi kedelai sebesar 1.649.000 ton,. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah
impor kedelai Indonesia cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya
jumlah konsumsi kedelai di dalam negeri. Indonesia paling banyak mengimpor
kedelai pada tahum 2003 yaitu sebesar 1.344.400 ton. Pada tahun-tahun
selanjutnya sampai tahun 2006 jumlah impor kedelai Indonesia mengalami
penurunan menjadi 1.078.420 ton dan pada tahun 2007 impor kedelai Indonesia
kembali meningkat menjadi 1.199.839 ton seiring dengan meningkatnya konsumsi
kedelai, hal ini dikarenakan rendahnya produksi kedelai dalam negeri dan
murahnya harga kedelai impor dibandingkan harga kedelai dalam negeri. Pada
tahun 1998 sampai 2003, sesuai dengan Keputusan Menteri No.44/KMK.01/1998,
tarif yang berlaku untuk impor kedelai adalah 0 persen. Akan tetapi hal ini sangat
merugikan petani, maka pada tahun 2004 pemerintah menetapkan untuk
menaikkan tarif impor kedelai menjadi sepuluh persen. Direncanakan tarif
tersebut akan berlaku sampai dengan tahun 2010 (Deptan, 2005).)
Ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor yang terus meningkat
karena produksi kedelai dalam negeri masih rendah dan terbatas sehingga tidak
mencukupi permintaan kedelai dalam negeri setiap tahunnya. Hal ini disebabkan
karena kebutuhan industri makanan dan minuman berbahan baku kedelai
menggunakan kedelai impor, seperti produsen tempe, tahu, dan lain sebagainya.
Tempe adalah salah satu makanan olahan dari kedelai yang sudah dikenal
lama oleh masyarakat luas sebagai sumber protein nabati. Dibandingkan hasil
murah serta nilai kandungan protein dalam tempe lebih baik. Perbandingan
Sumber: Santoso dalam Purba, 2006
Tempe merupakan makanan yang sudah dikenal oleh masyarakat luas dari
berbagai kalangan, baik itu kalangan kelas ekonomi atas, menengah dan bawah.
Alasan konsumen untuk mengonsumsi tempe itu berbeda-beda dari tiap kalangan,
untuk kelas ekonomi atas alasan mengonsumsi tempe karena kandungan gizi yang
terdapat dalam tempe, sedangkan untuk kelas ekonomi menengah dan bawah
alasan mengonsumsi tempe karena harganya yang murah serta terjangkau.
Dengan melihat alasan-alasan di atas, maka diperlukan suatu kajian atau
penelitian yang membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi
tempe di Kota Bogor, baik bagi konsumen dari golongan ekonomi bawah,
menengah, dan atas. Sehingga, dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang
berpengaruh terhadap konsumsi tempe dan bagaimana karakteristik konsumen
tempe di Kota Bogor.
1.2 Perumusan Masalah
Konsumsi makanan masyarakat sehari-hari hendaknya memenuhi dua
kriteria kecukupan, yaitu kecukupan energi dan protein. Kecukupan energi
karbohidrat, sedangkan kebutuhan protein diperoleh dari mengonsumsi makanan
yang berasal dari nabati (tumbuh-tumbuhan) dan hewani seperti daging, telur, dan
lain sebagainya.
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan
mengakibatkan masyarakat mulai mengonsumsi makanan dari olahan kedelai
seperti tempe, tahu, oncom, tauco, dan susu kedelai dengan tujuan untuk
meningkatkan konsumsi protein nabati. Berikut adalah tabel konsumsi makanan
yang bahan dasarnya dari kedelai.
tahun meningkat jika dibandingkan dengan makanan dari bahan dasar kedelai
lainnya seperti tahu, tauco, dan oncom. Hal ini dikarenakan karena tempe sebagai
salah satu produk olahan dari kedelai yang dapat diterima oleh semua kalangan
masyarakat.
Tempe sebagai salah satu produk olahan kedelai merupakan makanan yang
banyak dikonsumsi oleh masyarakat di berbagai kalangan, baik itu kalangan dari
golongan ekonomi kelas atas, menengah, dan bawah. Tempe banyak dikonsumsi
masyarakat luas karena banyak mengandung protein nabati yang memiliki
kandungan zat antioksidan yang bermanfaat untuk pencegah penyakit degeneratif,
penyakit jantung, hipertensi, dan lain-lain. Selain banyak mengandung gizi, masyarakat mengonsumsi tempe karena harganya yang relatif murah dan
terjangkau untuk semua kalangan.
Bagi kalangan vegetarian tempe merupakan makanan pengganti daging
yang banyak mengandung lemak dan zat-zat lainnya seperti kolesterol yang tinggi
sehingga dapat menyebabkan timbulnya penyakit seperti jantung koroner,
diabetes, dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan latar belakang dan permasalahan yang dihadapi, maka
dapat dirumuskan suatu permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini
yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana karakteristik konsumen tempe di Kota Bogor.
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konsumsi tempe di Kota
Bogor.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah
1. Menganalisis karakteristik konsumen tempe di Kota Bogor.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi tempe di Kota
Bogor.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi untuk penelitian lebih
lanjut. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk melatih diri
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kedelai
Kedelai atau kacang kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan
yang menjadi bahan dasar banyak makanan Timur jauh seperti kecap, tahu dan
tempe. Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari paling tidak dua
spesies Glycine max (disebut kedelai putih, biji dapat berwarna kuning, agak putih, atau hijau) dan Glycine soja (kedelai hitam, berbiji hitam). G. max
merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik seperti Tiongkok dan Jepang
selatan, sementara G. soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia Tenggara.
2.2 Sejarah dan Perkembangan Tempe
Tempe adalah makanan yang terbuat dari kacang kedelai yang
difermentasikan menggunakan kapang rhizopus ("ragi tempe"). Tempe kaya akan serat, kalsium, vitamin B dan zat besi. Berbagai macam kandungan dalam tempe
mempunyai nilai obat, seperti antibiotika untuk menyembuhkan infeksi dan
antioksi dan pencegah penyakit degeneratif.
Tempe merupakan makanan tradisional yang sudah dikenal sejak
berabad-abad yang lalu, terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat jawa,
khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Kata tempe diduga berasal dari bahasa
jawa kuno. Pada zaman jawa kuno terdapat makanan berwarna putih terbuat dari
tepung sagu yang disebut tumpi. Tempe segar yang juga berwarna putih terlihat memiliki kesamaan dengan makanan tumpi tersebut.
Sumber lain mengatakan bahwa pembuatan tempe diawali pada era tanam
paksa di Jawa. Pada saat itu, masyarakat jawa terpaksa menggunakan hasil
pekarangan sebagai sumber pangan, seperti singkong, ubi dan kedelai. Ada pula
pendapat yang mengatakan bahwa tempe mungkin diperkenalkan oleh
orang-orang Tionghoa yang memproduksi makanan sejenis, yaitu koji, kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang Aspergillus.
Teknik pembuatan tempe menyebar ke seluruh Indonesia, sejalan dengan
penyebaran masyarakat jawa yang bermigrasi ke seluruh penjuru Tanah Air.
Perhatian yang begitu besar terhadap tempe sebenarnya telah dimulai sejak zaman
pendudukan Jepang di Indonesia. Pada saat itu, para tawanan perang yang diberi
makan tempe terhindar dari disentri dan busung lapar. Dengan adanya tempe dan
kandungan gizi yang dimilikinya, serta harga yang sangat terjangkau,
menyelamatkan masyarakat miskin dari malgizi (malnutrition)1.
2.3 Khasiat dan Kandungan Gizi Tempe
Menurut Sarwono (2002), tempe memiliki beberapa khasiat terhadap
kelangsungan kesehatan tubuh, yaitu untuk menghindari diare akibat dari bakteri
enteropatogenik, dapat melangsingkan tubuh karena dapat menghindari terjadinya timbunan lemak dalam rongga perut, ginjal, dan dibawah kulit perut. Selain itu,
tempe berpotensi untuk digunakan melawan radikal bebas, sehingga dapat
menghambat proses penuaan dan mencegah terjadinya penyakit degeneratif
(aterosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus, kanker, dan lain-lain). Selain itu, tempe juga mengandung zat penurun kolesterol darah, pencegah penyakit
jantung, hipertensi, dan lain-lain2.
Komposisi gizi tempe baik kadar protein, lemak, dan karbohidratnya tidak
banyak berubah dibandingkan dengan kedelai. Namun, karena adanya enzim
1
http://id.wikipedia.org/wiki/Tempe
2
pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak, dan
karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh
dibandingkan yang terdapat dalam kedelai. Oleh karena itu, tempe sangat baik
untuk diberikan kepada segala kelompok umur (dari bayi hingga lansia), sehingga
bisa disebut sebagai makanan semua umur.
2.4 Proses Pembuatan Tempe
Membuat tempe pada dasarnya menyebar benih kapang agar tumbuh subur
sehingga biji kedelai tertutup lapuk halus yang berwarna putih seperti kapas.
Pemanfaatan utama kedelai adalah dari biji. Biji kedelai kaya akan protein dan
lemak serta beberapa bahan gizi penting lain, misalnya vitamin (asam fitat) dan
lesitin. Olahan biji dapat dibuat menjadi salah satunya tempe, berikut adalah
proses pembuatan tempe.
1. Biji kedelai yang telah dipilih lalu dibersihkan dari kotoran, setelah itu
dicuci dengan air yang bersih selama satu jam.
2. Setelah bersih, kedelai direbus dalam air selama dua jam.
3. Kedelai kemudian direndam 12 jam dalam air panas atau hangat bekas air
perebusan supaya kedelai mengembang.
4. Berikutnya, kedelai direndam dalam air dingin selama 12 jam.
5. Setelah 24 jam direndam seperti pada butir tiga dan butir empat di atas,
kedelai dicuci dan dikuliti (dikupas).
6. Setelah dikupas, kedelai direbus untuk membunuh bakteri yang
7. Kedelai diambil dari dandang lalu diletakkan di atas tampah dan diratakan
tipis-tipis. Selanjutnya, kedelai dibiarkan dingin sampai permukaan keping
kedelai kering dan airnya menetes habis.
8. Sesudah itu, kedelai dicampur dengan laru (ragi dua persen) guna
mempercepat atau merangsang pertumbuhan jamur. Proses mencampur
kedelai dengan ragi memakan waktu sekitar 20 menit. Tahap peragian
(fermentasi) adalah tahap penentu keberhasilan dalam membuat tempe
kedelai.
9. Bila campuran bahan fermentasi kedelai sudah rata, campuran tersebut
dicetak pada loyang atau cetakan kayu dengan lapisan plastik atau daun
yang akhirnya dipakai sebagai pembungkus. Sebelumnya, plastik
dilubangi atau ditusuk-tusuk. Maksudnya adalah untuk memberi udara
supaya jamur yang tumbuh berwarna putih. Proses percetakan dan
pembungkusan memakan waktu tiga jam. Daun yang biasanya buat
pembungkus adalah daun pisang atau daun jati. Ada yang berpendapat
bahwa rasa tempe yang dibungkus plastik menjadi "aneh" dan tempe lebih
mudah busuk (dibandingkan dengan tempe yang dibungkus daun).
10.Campuran kedelai yang telah dicetak dan diratakan permukaannya lalu
diletakan di atas rak dan kemudian ditutup selama 24 jam.
11.Setelah 24 jam, tutup dibuka dan campuran kedelai
didinginkan/diangin-anginkan selama 24 jam lagi. Setelah itu, campuran kedelai telah menjadi
tempe siap jual.
12.Supaya tahan lama, tempe yang misalnya akan menjadi produk ekspor
Proses membekukan tempe untuk ekspor adalah sebagai berikut,
mula-mula tempe diiris-iris setebal 2-3 cm dan di-blanching, yaitu direndam dalam air mendidih selama lima menit untuk mengaktifkan kapang dan enzim. Kemudian,
tempe dibungkus dengan plastik selofan dan dibekukan pada suhu 40 °C sekitar
enam jam. Setelah beku, tempe dapat disimpan pada suhu beku sekitar 20 °C
selama 100 hari tanpa mengalami perubahan sifat penampak warna, bau, maupun
rasa. (Sarwono, 2002).
2.5 Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Widari (2006) mengenai dampak
sosialisasi flu burung terhadap pola konsumsi daging dan telur ayam konsumen
rumah tangga di Kota Bogor dengan menggunakan regresi linear berganda
menjelaskan bahwa sosialisai flu burung berdampak positif terhadap pola
konsumsi daging dan telur ayam konsumen rumah tangga. Sesudah sosialisasi,
tidak ada konsumen rumah tangga yang berhenti mengonsumsi daging dan telur
ayam. Pola konsumsi mengalami perubahan yang meliputi frekuensi pembelian,
jumlah pembelian dan tempat pembelian.
Besarnya permintaan daging ayam dan telur untuk konsumen kelas atas
dipengaruhi oleh pendapatan, jumlah anggota keluarga, etnis responden,
pendidikan terakhir, pekerjaan kepala keluarga, dan pekerjaan responden. Untuk
konsumen kelas menengah permintaan daging ayam dan telur dipengaruhi oleh
jumlah anggota keluarga, pengaruh anggota keluarga, dan pekerjaan responden.
Sedangkan untuk konsumen kelas bawah dipengaruhi oleh pendapatan,
Penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2004) mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi konsumen membeli stick tahu poo (studi kasus di Kabupaten
Kediri) dengan menggunakan analisis deskriptif, fishbean, dan linear berganda. Hasil penelitian yang diperoleh adalah mayoritas konsumen stick tahu poo di
Kabupaten Kediri adalah laki-laki yang berusia antara 17-27 tahun dengan tingkat
pendidikan terakhir SMU dan bekerja sebagai pegawai negeri atau swasta yang
memiliki penghasilan berkisar antara Rp 500.000- 1.500.000. Konsumen stick
tahu poo memiliki jumlah anggota keluarga sebanyak empat orang. Besarnya
jumlah pembeliaan stick tahu poo dipengaruhi nyata oleh besarnya tingkat pendapatan, jumlah anggota keluarga, pengaruh penjual, harga, dan promosi.
Media promosi yang mempengaruhi konsumen dalam membeli stick tahu poo
adalah melalui iklan.
Penelitian yang dilakukan oleh Hadipurnomo (2000) mengenai dampak
kebijakan produksi dan perdagangan terhadap penawaran dan permintaan kedelai
di Indonesia dengan menggunakan model persamaan simultan. Hasil penelitian
yang diperoleh adalah bahwa kebijakan produksi berdampak lebih besar kepada
perubahan luas areal lahan panen, produktivitas dan produksi terutama di wilayah
potensial luar Pulau Jawa daripada di Pulau Jawa. Sedangkan, kebijakan
perdagangan berdampak perubahan volume impor, harga impor, dan permintaan
kedelai.
Penelitian yang dilakukan oleh Susetyanto (1994) mengenai analisis
dampak alternatif kebijaksanaan terhadap produksi, pendapatan, dan konsumsi
rumah tangga petani kedelai di Kabupaten Subang dengan menggunakan model
petani kedelai dalam luas areal panen kedelai, produktivitas kedelai, penggunaan
tenaga kerja dalam keluarga, penggunaan tenaga kerja upahan, dan konsumsi
kedelai benih tidak responsif terhadap perubahan peubah penjelas, kecuali
konsumsi kedelai pangan responsif terhadap perubahan harga kedelai. Hasil
evaluasi alternatif kebijaksaan menunjukkan bahwa prioritas peningkatan
penggunaan tenaga kerja, produksi kedelai, dan pendapatan rumah tangga petani
kedelai adalah dengan menaikkan harga kedelai, harga kedelai dan pupuk, atau
harga kedelai dan saprotan (benih, pupuk, pestisida). Penelitian ini menyimpulkan
bahwa peningkatan penggunaan tenaga kerja, produksi kedelai, dan pendapatan
rumah tangga petani kedelai sesuai dengan arah dan tujuan kebijaksanaan
pemerintah dalam penentuan harga dasar padi dan palawija, serta penghapusan
subsidi pupuk.
Penelitian yang dilakukan oleh Kurniasari (2010) mengenai Analisis
Dampak Kenaikan Harga Kedelai di Sentra Industri Tempe Kelurahan Semanan
Jakarta barat dengan menggunakan analisis Linear Programming. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya kenaikan harga kedelai membuat pengrajin tempe
skala kecil dan menengah memperkecil ukuran tempe sedangkan untuk pengrajin
skala besar cenderung mengurangi jumlah jam penggunaan tenaga kerja luar
keluarganya. Pengrajin tempe skala kecil paling sensitif terhadap kenaikan harga
kedelai.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah bahan dasar
yang di gunakan untuk penelitian sama yaitu kedelai dan untuk penelitian
terdahulu ada yang sama alat analisisnya yaitu menggunakan linear berganda dan
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah lokasi
penelitiannya yang berbeda, alat analisis yang digunakan ada yang berbeda untuk
penelitian terdahulu dan variabel-variabel yang digunakan untuk penelitian
berbeda.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1Permintaan
Jumlah total komoditas yang ingin dibeli oleh semua rumah tangga disebut
jumlah yang diminta (quantity demanded) untuk komoditas tersebut. Jumlah komoditi yang akan dibeli semua rumah tangga pada periode waktu tertentu,
dipengaruhi oleh beberapa variabel, yaitu: harga komoditas itu sendiri, harga
komoditas lain, selera, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan.
Suatu hipotesis ekonomi dasar menyatakan bahwa harga suatu komoditas
dan kuantitas yang akan diminta berhubungan negatif (ceteris paribus). Dengan kata lain, semakin rendah harga suatu komoditas maka jumlah yang akan diminta
untuk komoditas itu akan semakin besar, dan semakin tinggi harga semakin
rendah jumlah yang diminta.
Gambar 1. Kurva Permintaan Sumber : Soekartawi, 2002
Hubungan antara jumlah komoditas yang diminta dengan beberapa
variabel penting secara matematis dapat dirumuskan secara umum sebagai
berikut:
Harga (P)
Qd = f (Pi, Pj, S, PD, Y)
Dimana:
Qd : Permintaan Komoditas
Pi : Harga Komoditas itu sendiri
Pj : Harga Komoditas lain
S : Selera
PD : Jumlah penduduk
Y : Tingkat Pendapatan
Pi : Harga Komoditas itu sendiri
Dengan asumsi cateris paribus, semakin tinggi harga suatu barang maka akan menurunkan jumlah permintaan akan barang tersebut, dan sebaliknya makin
rendah harga suatu barang maka semakin tinggi jumlah permintaan. Permintaan
dan harga komoditas memiliki hubungan yang negatif.
Pj : Harga Komoditas lain
Perubahan harga komoditas substitusi akan mempengaruhi permintaan
atas komoditas yang bersangkutan secara positif. Kenaikan harga komoditas
substitusi akan meningkatkan permintaan atas komoditas yang bersangkutan, dan
sebaliknya. Sedangkan, perubahan harga barang komplemen dapat mengubah
permintaan barang yang bersangkutan secara negatif. Semakin tinggi harga barang
komplementer, semakin rendah permintaan atas barang yang bersangkutan.
S : Selera
Selera dan juga pilihan terhadap sesuatu barang merupakan variabel yang
mempengaruhi besar kecilnya permintaan. Perubahan selera terjadi dari waktu ke
waktu, dan cepat atau lambat akan menigkatkan permintaan pada periode tertentu
PD : Jumlah Penduduk
Semakin tinggi jumlah penduduk, maka makin besar pula barang yang
diminta oleh masyarakat.
Y : Tingkat Pendapatan
Kenaikan pendapatan cenderung meningkatkan permintaan untuk
mengonsumsi suatu barang, bahkan bertambah juga kualitas barang yang
dikonsumsi.
3.1.2 Teori Konsumsi
Konsumsi adalah kegiatan ekonomi yang berupa memakai atau
menggunakan barang atau jasa konsumsi dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan
hidup mereka.
Garis anggaran (Isocost) adalah garis yang memperlihatkan semua kombinasi yg tersedia bagi RT sesuai dengan pendapatannya dan harga barang
yang dibelinya, jika ia membelanjakan semua uangnya untuk itu. Sifat- sifat garis
anggaran antara lain:
1. Titik-titik di sepanjang garis anggaran merupakan kombinasi barang yang
menghabiskan seluruh anggaran konsumen
2. Titik-titik di luar garis anggaran merupakan kombinasi barang yang tidak
bisa dicapai oleh konsumen, dengan anggaran yang ada
3. Titik-titik di dalam garis anggaran merupakan kombinasi barang yang
tidak menghabiskan anggaran konsumen
Kurva Indiferen adalah Garis yang menghubungkan titik-titik kombinasi
Keseimbangan rumah tangga akan tercapai pada saat kurva indiferen
bersinggungan dengan garis anggaran, dimana pada saat itu rasio harga relatif
sama dengan tingkat substitusi marginal (MRS). Hal itu dapat dilihat pada
Gambar 2
Gambar 2. Keseimbangan Rumah Tangga Sumber: Iswardono, 1994
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Konsumsi makanan masyarakat sehari-hari hendaknya memenuhi dua
kriteria kecukupan, yaitu kecukupan energi dan protein. Kecukupan energi
biasanya diperoleh dari mengonsumsi makanan-makanan yang mengandung
karbohidrat, sedangkan kebutuhan protein diperoleh dari mengonsumsi makanan
yang berasal dari nabati (tumbuh-tumbuhan) dan hewani seperti daging, telur, dan
lain sebagainya.
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan
mengakibatkan masyarakat mulai mengonsumsi makanan dari olahan kedelai
seperti tempe, tahu, susu kedelai dan lain sebagainya dengan tujuan untuk
A: tidak efisien karena tidak Menghabiskan anggaran
U3
C C: tidak dapat dicapai karena
Anggaran tidak cukup
U2 B
Tempe merupakan makanan berbahan dasar dari kedelai yang banyak
dikonsumsi oleh masyarakat luas dari berbagai kalangan, baik itu kalangan dari
golongan ekonomi kelas atas, menengah, dan bawah. Tempe banyak dikonsumsi
masyarakat luas karena banyak mengandung protein nabati yang memiliki
kandungan zat antioksidan yang bermanfaat untuk pencegah penyakit degeneratif,
mengandung zat antibakteri penyebab diare, penurun kolesterol darah, pencegah
penyakit jantung, hipertensi, dan lain-lain. Selain banyak mengandung gizi, masyarakat mengonsumsi tempe karena harganya yang relatif murah dan
terjangkau untuk semua kalangan.
Alasan konsumen untuk mengonsumsi tempe berbeda-beda dari tiap
kalangan, untuk kelas ekonomi atas alasan mengonsumsi tempe karena kandungan
gizi yang terdapat dalam tempe, sedangkan untuk kelas ekonomi menengah dan
bawah alasan mengonsumsi tempe karena harganya yang murah serta terjangkau.
Selain itu, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen untuk
mengonsumsi tempe, antara lain oleh harga tempe itu sendiri, harga tahu, harga
telur, pendapatan, jumlah anggota keluarga dan pendidikan terakhir responden.
Responden dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kelas ekonomi
berdasarkan tingkat pendapatan yaitu konsumen rumah tangga kelas ekonomi
atas, kelas ekonomi menengah dan kelas ekonomi bawah. Adapun alur kerangka
pemikiran penelitian ini secara lebih jelas telah tersusun secara sistematis pada
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional
Meningkatnya konsumsi terhadap tempe
Tempe
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor,karena untuk memudahkan penulis
melakukan penelitian. Lokasi penelitian dilakukan dengan sengaja (purposive), Pengumpulan data untuk penelitian ini dilaksanakan bulan Agustus - November
2009.
4.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh melalui pengamatan
langsung di lapangan dan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner
yang telah disusun sebelumnya. Kuesioner didesain bersifat semi terbuka yaitu
selain responden menjawab pertanyaan yang ada di kuesioner tapi ada pertanyaan
yang ditanyakan langsung dalam wawancara yang tidak ada di dalam kuesioner.
Responden dalam hal ini adalah mereka yang bersedia untuk diwawancarai dan
dapat mengambil keputusan dalam kegiatan rumah tangga. Data sekunder
diperoleh melalui studi pustaka dan data-data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS).
Data primer digunakan untuk menjawab dari tujuan satu, yaitu untuk
menganalisis karakteristik konsumen tempe di kota Bogor. Sedangkan data
sekunder digunakan untuk menjawab tujuan dua, yaitu untuk menganalisis
4.3 Teknik Pengambilan dan Pengelompokan Contoh
Dalam penelitian ini yang menjadi sampel adalah konsumen rumah
tangga. Lebih spesifik lagi, responden yang termasuk ke dalam kriteria ini adalah
ibu rumah tangga, seorang ayah dengan keputusan sendiri, anggota keluarga yang
telah memiliki penghasilan dan mempunyai wewenang dalam membelanjakan
pendapatannya. Untuk memudahkan pengambilan sampel di lapangan, maka
teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik pengambilan
sampel berdasarkan pendapatan atau penghasilan per bulan.
Penentuan sampel dilakukan pada responden yang bersedia untuk di
wawancarai (convinience) dan berdasarkan pengkelasan tingkat pendapatan dengan membagi 150 rumah tangga menjadi tiga bagian, yaitu 50 rumah tangga
kelas ekonomi atas, 50 rumah tangga kelas ekonomi menengah, dan 50 rumah
tangga kelas ekonomi bawah. Untuk daerah Bogor Barat responden yang diambil
adalah sebanyak 50 responden, Bogor Tengah sebanyak 30 responden, Bogor
Timur sebanyak 30 responden, Bogor Selatan 20 responden, Bogor Utara
sebanyak 20 responden. Penentuan sampel dengan membagi tiga kelas ekonomi
yaitu kelas ekonomi atas, kelas ekonomi menengah dan kelas ekonomi bawah
karena dalam penelitian ini ingin membandingkan faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi konsumsi tempe pada konsumen tempe dari kelas ekonomi atas,
menengah, dan bawah.
4.4 Metode Analisis Data
Analisis data adalah proses penyederhanaan data dalam bentuk yang lebih
mudah dibaca dan diinterpretasikan. Untuk mengetahui dan menganalisis data
berganda beserta ujinya dengan menggunakan program minitab 13. Sedangkan
data yang tidak dianalisis menggunakan alat tersebut diolah dengan menggunakan
analisis deskriptif dengan cara memproses data yang diperoleh.
4.4.1 Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif (pemaparan) digunakan untuk mengetahui gambaran
umum konsumen tempe yang terjadi di wilayah yang diamati. Data yang
diperoleh merupakan hasil perhitungan rata-rata dari karakteristik usia dan jumlah
anggota keluarga. Data mengenai jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan
lain sebagainya diperoleh dari perhitungan persentase terbesar. Metode analisis
deskriptif dengan tabulasi sederhana ditujukan untuk mendapatkan karakteristik
responden menurut tingkat pendapatan per bulan.
4.4.2 Analisis Regresi Linear Berganda
Regresi linear berganda digunakan untuk menjawab suatu permasalahan
sosial ekonomi yang secara teoritis menyangkut satu variabel dependen yang
dipengaruhi oleh dua atau lebih variabel independen. Regresi linear berganda
diharapakan dapat menghasilkan model yang akurat untuk memprediksi nilai
variabel independen (asumsi analisis terpenuhi). Model yang baik dan akurat
dapat dimanfaatkan, 1) untuk memprediksi besar dan arah perubahan variabel
dependen sebagai respons karena perubahan variabel independen, sehingga dapat
diuji variabel independen apa saja yang berpengaruh nyata terhadap variabel
dependen. 2) Untuk memprediksi nilai variabel dependen berdasarkan variabel
Pada penelitian ini, regresi linear berganda digunakan untuk melihat
faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi tempe, berikut adalah model
persamaannya:
Model persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi tempe
C = b0 + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + +D1X1 + D2X2 + D3X3 + e
Dimana:
C : Konsumsi Tempe (Rupiah per bulan)
b0 : Konstanta
X1 : Harga Tempe (Rupiah per pcs)
X2 : Harga Tahu (Rupiah per pcs)
X3 : Harga Telur (Rupiah per Kg)
X4 : Jumlah Anggota Keluarga (orang)
X5 : Pendidikan Terakhir Responden (tahun)
D1 : Kelas Ekonomi Bawah
1 = 50 Kelas Ekonomi Bawah
0 = Bukan Kelas Ekonomi Bawah
D2 : Kelas Ekonomi Menengah
1 = 50 Kelas ekonomi Menengah
0 = Bukan Kelas Ekonomi Menengah
D3 : Kelas Ekonomi Atas
1 = 50 Kelas Ekonomi Atas
0 = Bukan Kelas ekonomi Atas
e : Error
Hipotesis:
X1 (Harga tempe) : Semakin tinggi harga tempe maka konsumsi tempe akan
turun, begitu juga sebaliknya. Jadi hubungan antara konsumsi tempe dengan harga
X2 (Harga tahu) : Semakin tinggi harga tahu maka konsumsi tempe akan naik,
begitu juga sebaliknya. Jadi hubungan antara harga tahu dengan konsumsi tempe
adalah positif.
X3 (Harga telur) : semakin tinggi harga telur maka konsumsi tempe akan naik,
begitu juga sebaliknya. Jadi hubungan antara harga telur dengan konsumsi tempe
adalah positif.
X4 (Jumlah anggota keluarga) : Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka
konsumsi tempe akan naik, begitu juga sebaliknya. Jadi hubungan antara jumlah
anggota keluarga dengan konsumsi tempe adalah positif.
X5 (Pendidikan terakhir responden) : semakin tinggi tingkat pendidikan maka
pengetahuan tentang konsumsi pangan yang bergizi semakin tinggi, begitu juga
sebaliknya. Jadi, hubungan pendidikan terakhir responden dengan konsumsi
tempe adalah positif.
D1 (Kelas ekonomi bawah) : semakin banyak kelas ekonomi bawah, maka
konsumsi tempe akan meningkat, maka hubungan kelas ekonomi bawah dengan
konsumsi tempe positif.
D2 (Kelas ekonomi menengah) : semakin banyak kelas ekonomi menengah, maka
konsumsi tempe akan meningkat, maka hubungan kelas ekonomi menengah
dengan konsumsi tempe positif.
D3 (Kelas ekonomi atas) : semakin banyak kelas ekonomi atas, maka konsumsi
tempe akan meningkat, maka hubungan kelas ekonomi atas dengan konsumsi
Pengujian Model Regresi
Setelah model dianalisis maka model harus di uji agar mendapatkan model
terbaik yang dapat merepresentasikan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
konsumsi tempe di Kota Bogor. Beberapa uji yang akan dilakukan adalah :
Uji Normalitas
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah residual dalam model
menyebar normal. Untuk mengetahuinya dilakukan uji Komogorov-Smirnov
dengan menggunakan α sebesar 0,05.
Hipotesis
H0 = residual tidak berdistribusi normal
H1 = residual berdistribusi normal
Jika nilai KS < KS1-α maka tolak H0, atau jika nilai statistik
Komogorov-Smirnov dikonversi ke dalam p-value maka daerah penolakannya adalah p-valuehitung > p-value1-α
Uji Signifikansi
Uji t digunakan untuk melihat nyata atau tidaknya pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Ho : bi = 0, Variabel independen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel
dependen
H1 : bi ≠ 0, Variabel independen berpengaruh nyata terhadap variabel dependen
t-hitung =
bi : (n-k, ttabel)
Dimana :
bi : Koefisien Peubah ke-i
S(bi) : Standar Error Peubah ke-i
n : Jumlah Pengamatan
k : Jumlah Variabel dalam Model
Kriteria uji:
1. Jika –ttabel < thitung < ttabel maka terima Ho, artinya variabel-variabel
independen yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap variabel
dependen.
2. Jika thitung < -ttabel atau thitung > ttabel maka tolak Ho, artinya variabel-variabel
independen yang diuji berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.
Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2)digunakan untuk mengukur sampai sejauh mana
besar keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas (Xi) terhadap
variabel tidak bebas (Y).
Dimana :
JKR : Jumlah Kuadrat Regresi
JKT : Jumlah Kuadrat Total
Uji F
Uji F digunakan untuk menunjukan kemampuan variabel-variabel
independen secara bersama-sama menjelaskan variasi dari variabel dependen.
Langkah-langkah dalam pengujian hipotesis sebagai berikut: JKR
Ho : b1 = b2 . . .= bi = 0, Variabel independen secara bersama-sama tidak
berpengaruh nyata terhadap variabel dependen
H1 : b1 ≠ b2 . . . bi ≠ 0, Variabel independen secara bersama-sama berpengaruh
nyata terhadap variabel dependen
Fhitung =
Dimana:
JKR : Jumlah kuadrat regresi
JKS : Jumlah kuadrat sisa
n : Jumlah sampel
k : Jumlah Peubah (Variabel)
Kriteria uji:
1. Jika Fhitung > Ftabel maka tolak H0, artinya semua variabel independen
mampu secara bersama-sama menjelaskan variasi dari variabel
independen.
2. Jika Fhitung < Ftabel maka terima H0, artinya semua variabel independen
tidak mampu secara bersama-sama menjelaskan variasi dari variabel
independen.
Uji Multikolinearitas
Multikolinear adalah hubungan linear antara dua atau beberapa variabel
independen. Untuk melihat apakah terdapat multikolinear atau tidak dapat dilihat
dari nilai Variance Inflation Factor (VIF). Jika nilai VIF lebih besar dari lima maka model dugaan ada masalah multikolinearitas, dengan nilai α sebesar 0,05.
JKR / (k – 1)
VIF = j = 1,2,3….k
Ket : Rj2 = koefisien determinasi untuk variabel atau peubah bebas ke – j
Uji autokorelasi
Autokorelasi adalah hubungan linear yang terjadi pada variabel itu sendiri
yang terlambat beberapa periode. Untuk mengetahui autokorelasi dari model ini
digunakan variabel residual atau error (e). Uji autokorelasi dapat dihitung
menggunakan statistik uji Durbin-Watson dengan α sebesar 0,05.
d = dimana dtabel α (n,k)
Jika d < dlow maka tolak H0
Jika d > (4- dlow) maka tolak H0
Jika dlow < d < dup atau (4-dup) < d < (4-dlow) maka tidak dapat disimpulkan
Jika dup < d < (4-dup) maka terima H0
4.5 Definisi Operasional
Ada beberapa istilah atau definisi dalam penelitian ini, antara lain:
1. Responden adalah ibu rumah tangga, seorang ayah dengan keputusan
sendiri, anggota keluarga yang telah memiliki penghasilan dan wewenang
dalam membelanjakan pendapatannya.
2. Rumah tangga adalah semua orang yang bertempat tinggal di bawah satu
atap dan yang membuat keputusan keuangan bersama.
1 1 – Rj2
Σ(
ei– ei-1)
3. Tingkat pengeluaran rumah tangga adalah jumlah biaya yang dikeluarkan
untuk konsumsi semua anggota keluarga selama sebulan.
4. Tingkat pendidikan terakhir responden adalah tingkat pendidikan formal
yang diikuti responden sampai selesai (SD, SLTP, SLTA, dan Perguruan
Tinggi).
5. Kelas ekonomi dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kelas yaitu kelas
ekonomi atas, kelas ekonomi menengah dan kelas ekonomi bawah yang
didasarkan pada pendapatannya. Untuk kelas ekonomi atas pendapatannya
dari Rp 5.000.000,- keatas, kelas ekonomi menengah pendapatannya
antara Rp 2.000.000,- sampai dengan kurang dari Rp 5.000.000,-,
sedangkan untuk kelas ekonomi bawah pendapatannya kurang dari
Rp 2.000.000,-. Pengkelasan ini berdasarkan pada buku pedoman
pencacah skor dari BPS untuk melakukan Survei Sosial Ekonomi
Nasional (SUSENAS).
6. Pendapatan rumah tangga dalam hal ini adalah pendapatan total rumah
tangga konsumen dari berbagai sumber yang merupakan pendapatan per
bulan dinyatakan dalam rupiah per bulan.
7. pola konsumsi adalah kebiasaan mengkonsumsi bahan pangan sumber
protein antara lain tempe, tahu, dan telur.
8. Frekuensi konsumsi adalah jumlah berapa kali konsumen mengkonsumsi
tempe dalam sebulan.
9. Alasan mengkonsumsi adalah hal-hal yang mendasari konsumen
10.Tempat pembelian adalah tempat asal konsumen membeli produk tempe
dan produk-produk lainnya seperti tahu, telur, dan lain sebagainya yang
meliputi pasar tradisional, supermarket, tukang sayur atau pedagang
BAB V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1 Letak Geografis Kota Bogor
Secara geografis, Kota Bogor terletak diantara 106 derajat 43’30” BT, 106
derajat 51’00” BT, dan 30’30” LS – 6 derajat 41’00” LS. Kedudukan geografis
Kota Bogor berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya
dekat dengan Ibukota Negara, merupakan posisi yang strategis bagi
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, industri, perdagangan,
transportasi, komunikasi, serta pariwisata.
Kota Bogor mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 meter dan
maksimal 350 meter diatas permukaan laut dengan topografi bergelombang.
Kemiringan lereng antara 0-3 persen, 4-15 persen, 16-30 persen dan diatas 40
persen dengan jarak dari Ibu Kota Negara kurang lebih 60 kilometer yang
dikelilingi oleh Gunung Salak, Gunung Pangrango, dan Gunung Gede.
Kota Bogor mempunyai keadaan cuaca dan udara yang sejuk dengan suhu
udara rata-rata 26 derajat celcius dan kelembaman udaranya kurang dari 70
persen. Suhu terendah di Kota Bogor adalah 21,8 derajat celcius. Sedangkan curah
hujan yang cukup besar setiap tahunnya adalah berkisar antara 3500-4000 mm
dengan luas 4992.3 ha, antara 4000-5000 mm dengan luas 6424.65 ha, dan antara
4500-5000 mm dengan luas 433.05 ha dan paling sering terjadi hujan pada bulan
Desember dan Januari. Arah mata angin waktu ini dipengaruhi oleh angin Muson.
Bulam Mei sampai Maret dipengaruhi oleh angin muson barat dengan arah mata
5.2 Wilayah Administrasi Kota Bogor
Kota Bogor mempunyai luas wilayah 118,50 km2 dan mengalir beberapa
sungai yang permukaan airnya jauh dari permukaan, yaitu Sungai Ciliwung,
Cisadane, Cipakancilan, Cidepit, Ciparigi, dan Cibalok. Oleh karena adanya
kondisi sedemikian rupa, maka Kota Bogor relatif aman dari bahaya banjir.
Secara administratif Kota Bogor terdiri dari enam wilayah kecamatan, 31
Kelurahan dan 37 Desa (lima diantaranya merupakan desa tertinggal, yaitu desa
Pamoyanan, Genteng, Balungbangjaya, Mekarwangi, dan Sindangrasa), 210
dusun, 623 RW, 2712 RT dan dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Bogor dengan
batas-batas sebagai berikut:
Selatan : Berbatasan dengan kecamatan Cijeruk dan kecamatan Caringin
Kabupaten Bogor
Timur : Berbatasan dengan kecamatan Sukaraja dan kecamatan Ciawi
Kabupaten Bogor.
Utara : Berbatasan dengan kecamatan Sukaraja, kecamatan Bojong Gede, dan
kecamatan Kemang Kabupaten Bogor.
Barat : Berbatasan dengan kecamatan Kemang dan kecamatan Dramaga
Kabupaten Bogor.
5.3 Kondisi Demografis Kota Bogor
Jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2007 mencapai 905.132 jiwa
yang terdiri dari laki-laki sebanyak 457.717 jiwa dan perempuan 447.415 jiwa.
Tabel 5. Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah pada Masing-Masing Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2007
Nama Kecamatan Jumlah Penduduk Luas Wilayah
(jiwa) (jiwa/km2)
Bogor Tengah 109.039 8,11
Bogor Timur 91.609 10,15
Bogor Barat 198.296 31,33
Bogor Selatan 176.094 29,26
Bogor Utara 161.562 17,69
Tanah Sareal 168.532 20,31
Sumber: BPS Kota Bogor, 2008
Pada tabel diatas jumlah penduduk di Kecamatan Bogor Barat lebih
banyak dibandingkan dengan kecamatan lainnya yaitu 198.296 jiwa dengan luas
wilayahnya 31,33 km2, sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil
ada di Kecamatan Bogor Timur dengan jumlah penduduk sebesar 91.609 jiwa
BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Karakteritik Responden
Karakteristik responden merupakan sifat atau ciri konsumen yang sudah
diberikan pertanyaan melalui kuesioner yang disajikan dari hasil survei.
Karakteristik responden dibagi menjadi tiga kelompok rumah tangga berdasarkan
tingkat pendapatannya, yaitu kelas ekonomi bawah, menengah, dan atas, dimana
pada penelitian ini yang menjadi reponden mayoritas adalah ibu rumah tangga.
Karakteristik responden yang dijelaskan dan dibahas dalam penelitian ini meliputi
variabel usia, jenis kelamin, pekerjaan, pekerjaan, tingkat pendidikan, pendapatan
keluarga, pengeluaran keluarga, pengeluaran untuk pangan, pengeluaran untuk
tempe, lokasi pembelian tempe, alasan mengonsumsi tempe dan kapan pembelian
tempe.
6.1.1 Usia
Usia sebagai karakteristik demografi yang dapat mempengaruhi preferensi
seseorang dalam melakukan keputusan pembelian Rata-rata usia responden pada
kelas ekonomi atas adalah 45.5 tahun, untuk kelas ekonomi menengah rata-rata
usia responden adalah 43.3 tahun, dan kelas ekonomi bawah adalah 42.8 tahun.
Sebagian besar reponden pada kelas ekonomi atas, menengah, dan bawah yang
umurnya di atas antara 36-50 tahun tahun sebesar 76 persen, 72 persen, dan 68
Tabel 6. Sebaran Responden Berdasarkan Usia
Mayoritas responden kelas ekonomi atas, menengah, maupun bawah
adalah perempuan yang umumnya adalah ibu rumah tangga, baik yang memiliki
pekerjaan maupun tidak memiliki pekerjaan. Hal ini diambil karena biasanya ibu
rumah tangga sebagai pengambil keputusan dalam keluarga untuk hal yang
berkaitan dengan urusan konsumsi keluarga. Selain itu, jenis kelamin telah
menjadi dasar segmentasi pasar yang digunakan dalam menentukan produk yang
khusus dihubungkan dengan jenis kelamin tersebut. Untuk sebaran reponden
menurut jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7. Sebaran Responden Menurut Jenis Kelamin Jenis
Bekerja adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara teratur dan
berkesinambungan dalam jangka waktu tertentu dengan tujuan yang jelas, yaitu
maupun ide. Secara umum jenis pekerjaan akan membedakan tingkat pendapatan.
Dalam penelitian ini pekerjaan yang diamati adalah pekerjaan dari responden,
sementara tingkat pendapatan yang diamati adalah tingkat pendapatan dari rumah
tangga. Responden rumah tangga kelas ekonomi atas persentase terbesar untuk
jenis pekerjaan adalah ibu rumah tangga yaitu sebesar 70 persen, pegawai negeri
sebesar 14 persen, pegawai swasta sebesar 10 persen, dan sisanya enam persen
adalah wiraswasta. Untuk reponden kelas ekonomi menengah persentase terbesar
untuk jenis pekerjaan adalah ibu rumah tangga sebesar 66 persen, pegawai negeri
sebesar 22 persen, pegawai swasta sebesar 12 persen. Sedangkan untuk responden
untuk kelas ekonomi bawah persentase terbesar untuk jenis pekerjaan adalah ibu
rumah tangga sebesar 90 persen dan wiraswasta sebesar 10 persen. Besarnya
proporsi responden yang bekerja untuk semua kelas sosial, baik pegawai negeri,
pegawai swasta maupun berwiraswasta merupakan salah satu upaya untuk
menambah pendapatan keluarga. Sebaran responden menurut jenis pekerjaan
dapat dilihat pada Tabel 8 sebagai berikut.
6.1.4 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan dari responden rumah tangga berbeda satu dengan
lainnya dari tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sampai dengan
Sarjana. Selain itu pendidikan dan pekerjaan adalah dua hal yang saling
berhubungan, dimana pendidikan akan mampu menentukan jenis pekerjaan
konsumen, dan akan berimplikasi pada pendapatan yang akan diterimanya.
Persentase terbesar responden rumah tangga kelas ekonomi atas adalah yang
memiliki tingkat pendidikan SLTA yaitu sebanyak 34 responden atau 68 persen
dari total responden kelas atas. Kelas ekonomi menengah persentase terbesar
responden rumah tangga untuk tingkat pendidikan adalah yang memiliki tingkat
pendidikan SLTA, yaitu sebanyak 33 responden atau 66 persen dari total
responden kelas menengah. Sedangkan untuk kelas ekomoni bawah persentase
terbesar responden rumah tangga untuk tingkat pendidikan adalah yang memiliki
tingkat pendidikan SLTP yaitu sebanyak 29 responden atau sebesar 58 persen dari
total responden kelas ekonomi bawah. Sebaran responden menurut tingkat
Tabel 9. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Jumlah anggota keluarga kelas ekonomi atas, menengah dan bawah antara 5-6 orang merupakan persentase terbesar dari responden yaitu 68 persen, 60
persen dan 66 persen. Jumlah anggota keluarga akan menentukan distribusi
pangan antar anggota keluarga. Keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga
yang lebih kecil tentunya akan lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan
pangannya, terutama bagi keluarga yang termasuk kedalam kelas ekonomi
menengah ke bawah, karena kesenjangan distribusi pangan dapat berakibat buruk
pada anggota keluarga yang rawan gizi meskipun ketersediaan pangan tercukupi.
6.1.6 Pendapatan Keluarga
Tingkat pendapatan rumah tangga tergantung pada kemampuan anggota
keluarga untuk memperoleh kesempatan kerja dan penghasilan yang cukup sesuai
dengan kemampuan seseorang. Pendapatan berpengaruh terhadap kualitas dan
kuantitas konsumsi pangan. Semakin tinggi tingkat pendapatan, maka akan
mempengaruhi individu untuk meningkatkan konsumsinya. Sebaran responden
menurut jumlah pendapatan keluarga dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Sebaran Responden Menurut Jumlah Pendapatan Keluarga (Rp/bulan)
Dalam penelitian ini pengeluaran rumah tangga adalah pengeluaran total
yang dikeluarkan suatu rumah tangga selama satu bulan. Pengeluaran total rumah
tangga dapat diketahui dengan menghitung jumlah rupiah yang dikeluarkan oleh
suatu runmah tangga selama sebulan, baik itu untuk keperluan sehari-hari maupun
untuk keperluan rumah tangga lainnya. Responden memiliki jumlah pengeluaran
per bulan yang berbeda dengan kisaran berbeda pula untuk setiap kelas sosial.
Untuk kelas ekonomi atas, variasi pengeluaran total memiliki kisaran antara
Rp 1.000.000- 3.000.000 dengan rata-rata pengeluaran Rp 2.760.000. Untuk kelas
Rp 1.000.000- 2.500.000 dengan rata-rata pengeluaran Rp 1.782.000. untuk kelas
ekonomi bawah variasi pengeluaran total perbulan berkisar antara Rp 500.000-
1.500.000 dengan rata-rata pengeluaran Rp 1.035.000. Sebaran responden
menurut total pengeluaran keluarga per bulan dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Sebaran Responden Menurut Jumlah Total Pengeluaran Keluarga (Rp/bulan)
Pengeluaran keluarga khusus untuk konsumsi pangan dapat diketahui
dengan menghitung jumlah rupiah yang dikeluarkan oleh suatu rumah tangga
untuk membeli produk pangan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Responden
memiliki pengeluaran khusus untuk pangan per bulan yang berbeda satu dengan
lainnya dengan kisaran yang berbeda pula untuk setiap kelas sosial.
Untuk kelas ekonomi atas, variasi pengeluaran khusus untuk pangan per
bulan memiliki kisaran antara Rp 1.000.000- 2.000.000 dengan rata-rata
pengeluaran Rp 1.562.000. Untuk kelas ekonomi menengah, variasi pengeluaran
khusus untuk pangan per bulan memiliki kisaran antara Rp 500.000- 2.000.000
dengan rata-rata pengeluaran Rp 1.042.000. Sedangkan untuk kelas ekonomi
bawah, variasi pengeluaran khusus untuk pangan per bulan memiliki kisaran
Tabel 13 menunjukkan bahwa sebanyak lima responden rumah tangga
kelas ekonomi atas memiliki jumlah pengeluaran khusus untuk pangan per bulan
sebesar Rp 1.100.000-2.000.000, sedangkan 45 rumah tangga responden memiliki
jumlah pengeluaran khusus untuk pangan per bulan lebih dari 2.000.000.
Responden kelas menengah memiliki 25 rumah tangga yang jumlah
pengeluaran khusus untuk pangan per bulan sebesar Rp 500.000- 1.000.000,
sisanya sebanyak 25 responden rumah tangga memiliki jumlah pengeluaran
khusus untuk pangan per bulan sebesar >Rp 1.000.000- 2.000.000. Sedangkan
untuk kelas ekonomi bawah, 13 rumah tangga memiliki jumlah pengeluaran
khusus untuk pangan sebesar kurang dari Rp 500.000 dan 37 rumah tangga
lainnya memiliki jumlah pengeluaran khusus untuk pangan per bulan sebesar
Rp 500.000- 1.000.000.
Tabel 13. Sebaran Responden Menurut Jumlah Total Pengeluaran untuk Pangan (Rp/bulan)
Pengeluaran keluarga khusus untuk tempe dapat diketahui dengan
menghitung jumlah rupiah yang dikeluarkan oleh suatu rumah tangga untuk