• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis hubungan faktor iklim dengan tingkat serangan wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens Stal.) sebagai landasan prediksi serangan: studi kasus pada 3 Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis hubungan faktor iklim dengan tingkat serangan wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens Stal.) sebagai landasan prediksi serangan: studi kasus pada 3 Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

Planthopper (Nilaparvata lugens Stal.) as a Basis for Attack Prediction (Case Study at 3 Districts in Central Java Province). Supervised by YONNY KOESMARYONO.

Pests are organisms that can cause damage to plants and can adversely affect the economy. Rice is the most important staple food in Indonesia. One of destructive pest of rice plants which can reduce the production is brown planthopper (Wereng Batang Coklat – WBC). One of the triggers widespread increase in attacks of WBC is the climatic factor. Climatic factors can influence the level of attacks of the pest. Therefore, the influence of climate on broad attack WBC is important to be analyzed. This study aims to analyze the relationship between climatic factors with a broad attack WBC as a basis for prediction of attack. The areas of studies covered 3 district of Central Java Province,e.g., Cilacap, Pekalongan, and Tegal. The method used for analysis linear regression method for rainfall, quadratic regression to other climatic factors, and multiple linear regression to all the climatic factors that possible influence. Analysis of climatic factors with broad WBC relationships attacks carried out at different time delay (lag time) those are without lag, lag 1 and lag 2. The highest determinate coefficient results between regions of WBC attacks and climatic factors is 20.2%. These results obtained when the analysis is done in lag 1 with the equation of LS (Area Of Attack) = - 38 + 90.2 Tavg - 36.0 Tmax - 61.6 Tmin - 0146 R + 3.11 RH. Climatic factor is one of the factors that influence the broad attack of WBC, there are several other factors that need to be included in the analysis to improve results and get a better prediction.

(2)

ABSTRAK

ANANG AHMADI. Analisis Hubungan Faktor Iklim Dengan Tingkat Serangan Wereng Batang Cokelat (Nilaparvata lugens Stal.) Sebagai Landasan Prediksi Serangan (Studi Kasus pada 3 Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah). Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO.

Hama adalah suatu organisme yang dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman dan dapat merugikan secara ekonomi. Padi merupakan tanaman penting untuk makanan pokok di Indonesia. Hama yang sering merusak tanaman padi dan dapat menurunkan produksi padi adalah wereng batang coklat (WBC). Salah satu pemicu peningkatan luas serangan wereng batang coklat adalah faktor iklim. Faktor iklim dapat mempengaruhi tinggi rendahnya serangan wereng batang coklat. Oleh karena itu perlu diketahui analisis pengaruh iklim terhadap luas serangan WBC. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan faktor iklim dengan luas serangan wereng batang coklat sebagai landasan prediksi serangan WBC. Wilayah kajian yang dianalisis meliputi tiga kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yaitu Cilacap, Pekalongan, dan Tegal. Metode yang digunakan dalam analisis data adalah metode regresi linier sederhana untuk curah hujan, regresi kuadratik sederhana untuk faktor iklim lainnya, dan regresi linier berganda untuk semua faktor iklim yang dianalisis. Analisis hubungan faktor iklim dengan luas serangan WBC dilakukan pada berbagai waktu tunda (time lag) yaitu tanpa lag, lag 1, dan lag 2. Hasil regresi tertinggi antara luas serangan wereng batang coklat dan semua faktor iklim yang dianalisis adalah 20.2 %. Hasil ini didapat saat dilakukan analisis di wilayah tegal pada lag 1 dengan persamaan LS = - 38 + 90.2 Trata - 36.0 Tmax - 61.6 Tmin - 0.146 CH + 3.11 RH. Faktor iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi luas serangan wereng batang coklat, masih ada beberapa faktor lain yang perlu dimasukan dalam model untuk meningkatkan hasil regresi dan prediksi yang lebih baik.

Kata Kunci: faktor iklim, regresi, wereng batang coklat.

(3)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Hama merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi dunia pertanian termasuk Indonesia, dimana iklim tropis cocok untuk perkembangan hama. Hama dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman dan merugikan secara ekonomi. Kerugian akibat serangan hama dapat menurunkan hasil pertanian secara kuantitatif dan kualitatif.

Padi merupakan salah satu bahan dasar makanan pokok di Indonesia, sehingga tanaman padi perlu ditingkatkan produksinya di Indonesia. Namun dalam pertumbuhannya, padi tidak luput dari serangan hama. Salah satu hama yang dapat menurunkan produksi padi di Indonesia adalah wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal).

Wereng batang coklat atau WBC (Nilaparvata lugens Stal) sampai saat ini masih dianggap sebagai hama utama pada pertanaman padi akibat kerusakan yang diakibatkan cukup luas dan hampir terjadi setiap musim tanam. Kerusakan tersebut dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan secara langsung diakibatkan kemampuan wereng batang coklat menghisap cairan sel tanaman sehingga tanaman menjadi kering dan akhirnya mati, sedangkan kerusakan secara tidak langsung adalah dengan menularkan penyakit virus kerdil hampa dan kerdil rumput yang dapat merusak tanaman padi (Ditjentan 1986).

Wereng batang coklat (WBC) merupakan hama yang merusak tanaman padi di Indonesia sejak 1930 hingga saat ini. Luas serangan WBC pada dasawarsa 1960-1970 tercatat sebesar 52 000 ha dan meningkat tajam hingga 2 510 680 ha pada 1970-1980. Periode tersebut merupakan puncak serangan WBC di Indonesia. Luas serangan WBC mengalami penurunan pada dasawarsa 1980-1990, yaitu hanya sebesar 200 000 ha. Hal yang sama terjadi pada 1990-2000, dimana luas serangan WBC hampir sama dengan serangan WBC pada dasawarsa sebelumnya (BBPTP 2007).

Lahan sawah yang terserang WBC terdapat di Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Lampung, dan Aceh. Sebagian besar daerah endemis WBC tersebar di Pulau Jawa, yaitu Jawa Tengah (32 Kabupaten), Jawa Timur (27 Kabupaten), Jawa Barat (19 Kabupaten), Jawa Timur (19 Kabupaten), dan Banten (6 Kabupaten)

Jawa Tengah merupakan daerah endemis WBC yang luas sebarannya paling luas di Indonesia. Serangan wereng batang coklat di daerah Jawa Tengah tersebar hampir diseluruh kabupaten antara lain Kebumen, Kendal, Banyumas, Purworejo, Banjarnegara, Sragen, Blora, Temanggung, Purworejo, Purbalingga, Pekalongan, Jepara, Cilacap, dan Tegal (BBPTP 2007).

Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan serangga, oleh karena itu diharapkan iklim dapat menjadi indikator dalam pengendalian WBC. Untuk mengendalikan serangan WBC diperlukan model prediksi serangan WBC, dengan model prediksi ini persiapan untuk mengantisipasi ledakan (outbreaks) serangan WBC telah dipersiapkan dari waktu sebelumnya. Model prediksi ini dapat disusun dengan memanfaatkan analisis regresi antara faktor iklim dengan luas serangan WBC selama beberapa periode musim tanam. Dengan demikian, kerusakan tanaman padi dan kehilangan hasil panen akibat WBC dapat diminimalisasi.

1.2 Tujuan Penelitian

Menganalisis hubungan berbagai faktor iklim dengan tingkat serangan WBC (Nilaparvata lugens Stal) sebagai landasan prediksi serangan WBC di beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wereng Batang Coklat

Wereng batang coklat atau WBC adalah hama yang berbahaya untuk tanaman padi, karena inang utama wereng batang coklat adalah tanaman padi. Dengan demikian perkembangan populasi wereng batang coklat tergantung pada adanya tanaman padi. Hama WBC ini dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman padi, dimana tanaman padi akan menguning dan cepat sekali mengering (Ditjentan 1986).

(4)

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Hama merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi dunia pertanian termasuk Indonesia, dimana iklim tropis cocok untuk perkembangan hama. Hama dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman dan merugikan secara ekonomi. Kerugian akibat serangan hama dapat menurunkan hasil pertanian secara kuantitatif dan kualitatif.

Padi merupakan salah satu bahan dasar makanan pokok di Indonesia, sehingga tanaman padi perlu ditingkatkan produksinya di Indonesia. Namun dalam pertumbuhannya, padi tidak luput dari serangan hama. Salah satu hama yang dapat menurunkan produksi padi di Indonesia adalah wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal).

Wereng batang coklat atau WBC (Nilaparvata lugens Stal) sampai saat ini masih dianggap sebagai hama utama pada pertanaman padi akibat kerusakan yang diakibatkan cukup luas dan hampir terjadi setiap musim tanam. Kerusakan tersebut dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan secara langsung diakibatkan kemampuan wereng batang coklat menghisap cairan sel tanaman sehingga tanaman menjadi kering dan akhirnya mati, sedangkan kerusakan secara tidak langsung adalah dengan menularkan penyakit virus kerdil hampa dan kerdil rumput yang dapat merusak tanaman padi (Ditjentan 1986).

Wereng batang coklat (WBC) merupakan hama yang merusak tanaman padi di Indonesia sejak 1930 hingga saat ini. Luas serangan WBC pada dasawarsa 1960-1970 tercatat sebesar 52 000 ha dan meningkat tajam hingga 2 510 680 ha pada 1970-1980. Periode tersebut merupakan puncak serangan WBC di Indonesia. Luas serangan WBC mengalami penurunan pada dasawarsa 1980-1990, yaitu hanya sebesar 200 000 ha. Hal yang sama terjadi pada 1990-2000, dimana luas serangan WBC hampir sama dengan serangan WBC pada dasawarsa sebelumnya (BBPTP 2007).

Lahan sawah yang terserang WBC terdapat di Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Lampung, dan Aceh. Sebagian besar daerah endemis WBC tersebar di Pulau Jawa, yaitu Jawa Tengah (32 Kabupaten), Jawa Timur (27 Kabupaten), Jawa Barat (19 Kabupaten), Jawa Timur (19 Kabupaten), dan Banten (6 Kabupaten)

Jawa Tengah merupakan daerah endemis WBC yang luas sebarannya paling luas di Indonesia. Serangan wereng batang coklat di daerah Jawa Tengah tersebar hampir diseluruh kabupaten antara lain Kebumen, Kendal, Banyumas, Purworejo, Banjarnegara, Sragen, Blora, Temanggung, Purworejo, Purbalingga, Pekalongan, Jepara, Cilacap, dan Tegal (BBPTP 2007).

Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan serangga, oleh karena itu diharapkan iklim dapat menjadi indikator dalam pengendalian WBC. Untuk mengendalikan serangan WBC diperlukan model prediksi serangan WBC, dengan model prediksi ini persiapan untuk mengantisipasi ledakan (outbreaks) serangan WBC telah dipersiapkan dari waktu sebelumnya. Model prediksi ini dapat disusun dengan memanfaatkan analisis regresi antara faktor iklim dengan luas serangan WBC selama beberapa periode musim tanam. Dengan demikian, kerusakan tanaman padi dan kehilangan hasil panen akibat WBC dapat diminimalisasi.

1.2 Tujuan Penelitian

Menganalisis hubungan berbagai faktor iklim dengan tingkat serangan WBC (Nilaparvata lugens Stal) sebagai landasan prediksi serangan WBC di beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wereng Batang Coklat

Wereng batang coklat atau WBC adalah hama yang berbahaya untuk tanaman padi, karena inang utama wereng batang coklat adalah tanaman padi. Dengan demikian perkembangan populasi wereng batang coklat tergantung pada adanya tanaman padi. Hama WBC ini dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman padi, dimana tanaman padi akan menguning dan cepat sekali mengering (Ditjentan 1986).

(5)

depannya. Panjang badan serangga jantan rata-rata 2-3 mm dan serangga betina 3-4 mm (Ditjentan 1986).

2.1.2 Penyebaran Wereng Batang Coklat Persebaran WBC tersebar di wilayah India, Asia Tenggara, dan China. Sejak tahun 1970, WBC dianggap penting dan perlu ditangani karena penyebarannya yang luas di Indonesia (Khalshoven 1981). Menurut Mochida (1978) Jawa dan Sumatera Utara merupakan lokasi pertama terserang WBC. Kemudian diikuti wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat, Aceh dan Lampung.

2.1.3 Gejala Serangan

Serangan WBC dimulai dari persemaian sampai waktu panen. Nimfa dan imago mengisap cairan tanaman pada bagian pangkal batang padi. Gejala kerusakan yang terlihat pada tanaman berupa kelayuan dan mengeringnya daun mulai dari daun tua kemudian meluas dengan cepat ke seluruh bagian tanaman sehingga tanaman mati. Wereng coklat dapat menyebabkan daun berubah kuning oranye sebelum menjadi coklat dan mati. Dalam keadaan populasi wereng tinggi dan varietas yang ditanam rentan wereng coklat dapat mengakibatkan tanaman seperti terbakar atau “hopperburn”. Wereng coklat juga dapat menularkan penyakit virus kerdil hampa dan virus kerdil rumput, dua penyakit yang sangat merusak (Oka 1979)

Kerdil rumput (Grassy Stunt) tanaman yang terinfeksi berat akan menjadi kerdil dengan anakan yang berlebihan, sehingga tampak seperti rumput. Daun tanaman padi menjadi sempit, pendek kaku, berwarna hijau pucat sampai hijau, dan kadang-kadang terdapat bercak karat. Tanaman yang terinfeksi biasanya dapat hidup sampai fase pemasakan tetapi tidak memproduksi. Kerdil hampa (Ragged Stunt) disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh WBC. Penyakit ini menghasilkan beberapa gejala malformasi pada daun seperti daun bergerigi (Ragged) dan melintir (Twisting). Daun tanaman yang terkena virus berwarna hijau tua. Tanaman masih dapat berproduksi, tetapi gabah yang dihasilkan hampa (Ditjentan 1986).

Gambar 1 Padi hopperburn akibat serangan WBC (http://www.flickr.com).

2.1.4 Morfologi 2.1.4.1Telur

Telur wereng batang coklat pada saat diletakkan berwarna putih bening dan lama kelamaan berubah warna sesuai dengan perkembangan embrio. Telurnya berbentuk oval, bagian ujung, pangkal dan tutup telurnya tumpul, serta mempunyai perekat pada pangkal telurnya yang menghubungkan telur satu dengan lainnya (Subroto et al. 1992). Telur biasanya diletakkan dalam jaringan pelepah daun dan helaian daun padi. Peletakkan telur secara berkelompok dan tersusun seperti buah pisang dengan jumlah telur tiap kelompok antara 2-37 butir. Selama hidupnya, seekor WBC betina menelurkan telur sekitar 390 butir. (Sogawa 1971).

Gambar 2 Telur WBC (http://www.flickr.com).

2.1.4.2 Nimfa

(6)

3

Gambar 3 Nimfa WBC (http://www. osmania.ac.in).

2.1.4.3 Imago

Serangga dewasa WBC mempunyai dua bentuk, yaitu bersayap sempurna (makroptera) dan bersayap tidak sempurna atau tidak dapat terbang (brakhiptera). WBC makroptera dapat bermigrasi dari satu sawah ke sawah lain setelah persemaian. Generasi WBC yang umumnya ditemukan terdiri dari betina brakhiptera dan jantan makroptera (Subroto et al. 1992). Menurut Natawigena (1990) pada kepadatan populasi tinggi atau keadaan kekurangan makanan maka akan terbentuk lebih banyak serangga makroptera pada generasi berikutnya. Sebaliknya, jika keadaan makanan cukup, maka akan terbentuk lebih banyak serangga dewasa brakhiptera.

Gambar 4 Makroptera dan brakhiptera (http://www.flickr.com).

2.1.5. Siklus Hidup

Satu generasi hama WBC antara 28-32 hari pada suhu 250C dan 23-25 hari pada suhu 280C. Ada 3 fase dalam satu siklus hidupnya yaitu: fase telur 8-10 hari, fase nympha 12-14 hari, dan fase imago praoviposisi adalah 4-8 hari (Subroto et al. 1992).

Siklus hidup satu generasi WBC di daerah tropis rata–rata berkisar antara 21 – 28 hari, Seekor imago jantan rata-rata hidupnya 21 hari dan imago betina 25 hari. Bentuk imago brakipetra lebih dahulu bertelur daripada bentuk makropetra. Berdasarkan umur padi dan umur imago WBC dalam setiap generasi, maka selama satu musim tanam dapat timbul 2-8 imago WBC (Hidayat 2000).

Gambar 5 Siklus Hidup WBC (Ditjentan 1986).

2.1.6 Faktor Pemicu Serangan WBC Kerusakan tanaman padi akibat tingginya populasi WBC dipicu oleh beberapa faktor yang mendukung perkembangan WBC. Menurut Baehaki (1985) faktor yang mendukung perkembangan WBC mencapai populasi yang tinggi adalah penggunaan pupuk nitrogen yang berlebihan, iklim yang sesuai bagi perkembangan WBC, dan teknik penanaman yang rapat. Dirjen Pertanian Tanaman Pangan (1986) menambahkan perkembangan WBC juga dipengaruhi oleh pola dan waktu tanam yang kurang teratur dan serempak dalam satu hamparan, penanaman varietas padi yang tidak tahan terhadap WBC, penggunaan insektisida yang tidak tepat dan berlebihan (jenis, dosis, waktu, dan cara), perubahan biotipe WBC, peranan musuh alami dari WBC yang kurang.

2.1.7 Teknik Pengendalian WBC

(7)

pengendalian berdasarkan musuh alami (BBPTP 2007).

Melakukan pemantauan secara rutin dengan cara mengamati areal tanaman padi dalam interval waktu tertentu (rnisalnya seminggu sekali), sejak awal persemaian, penanaman sampai panen. Pemantauan ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepadatan populasi WBC di tiap lokasl sehingga dapat dijadikan pedoman apakah perlu dilakukan tindakan pengendalian atau tidak (Diratmaja dan Permadi 2005).

2.2 Unsur Iklim yang Berpengaruh pada WBC

Iklim dan cuaca memiliki peranan penting baik langsung maupun tidak langsung pada penyebaran, pemencaran, kelimpahan, dan perilaku serangga (Koesmaryono 1987).

Metabolisme dasar serangga bergantung pada suhu udara lingkungan sekitar. Pada analisis hubungan serangga dengan iklim, faktor iklim seperti suhu udara, curah hujan, kelembaban udara, dan angin, sangat erat kaitannnya dalam mempengaruhi iklim mikro bagi perkembangan serangga (Speight et al. 2008).

2.2.1 Suhu Udara

Suhu udara merupakan faktor yang paling menentukan dalam perkembangan dan kelangsungan hidup serangga. Suhu udara merupakan faktor pembatas penyebaran hewan, pengaruhnya dapat terhadap stadia dari daur hidup, kelangsungan hidup, serta pertumbuhan dan perkembangannya (Koesmaryono 1999). Kemampuan penyesuaian terhadap suhu lingkungannya tergantung pada tiap spesies serangga, sehingga ada beberapa spesies serangga yang mampu beradaptasi pada kisaran suhu yang lebar (uery-thermal) dan pada kisaran suhu yang sempit (steno-thermal).

Keadaan suhu selama fase nimfa dan dewasa dapat mempengaruhi umur serangga. Sangat sulit menentukan pada keadaan suhu berapa yang paling sesuai bagi perkembangan populasi wereng batang coklat. Kisaran suhu normal untuk WBC makroptera jantan adalah 9-300C dan untuk WBC makroptera betina adalah 10-320C (Suenega 1963 dalam Subroto et al. 1992). Kondisi suhu optimal untuk WBC, terutama untuk perkembahngan telur dan nimfa adalah 25-300C, perkembangan embrio WBC akan terhenti jika suhu kurang dari 100C (Hirano, 1942 dalam Subroto et al. 1992). Menurut Abraham dan Nair (1975) dalam IRRI (1979), bahwa ledakan hama

wereng batang cokelat terjadi pada selang suhu 20-300C. Subroto et al. (1992) menyimpulkan suhu harian antara 28-300C dan suhu malam hari yang rendah adalah suhu yang paling sesuai untuk pemunculan sejumlah serangga dewasa.

2.2.2 Kelembaban Udara

Kelembaban udara berpengaruh terhadap proses biologi serangga, dimana kisaran kelembaban udara optimum pada umumnya sekitar 73-100%. Kelembaban udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menghambat aktivitas dan kehidupan serangga, kecuali pada beberapa jenis serangga yang biasa hidup di tempat basah. Kelembaban optimum serangga berbeda menurut jenis dan stadium (tingkatan kehidupan) pada masing-masing perkembangan (Sunjaya 1970).

Kelembaban udara merupakan faktor iklim yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan WBC. Hino et al. (1970) dalam Alissa (1990) menyebutkan WBC sangat menyukai lingkungan yang memiliki kelembaban tinggi dengan RH optimal berkisar antara 70-85%. Dalam sebuah penelitian, perkembangan WBC akan terhambat apabila dipelihara dalam kelembaban nisbi yang konstan di atas 80% pada suhu 290C, namun perkembangannya lebih baik pada kelembaban nisbi yang konstan di bawah 80% pada suhu yang sama (IRRI 1976 dalam Baco 1984). Serangan WBC berhubungan dengan kepadatan tanaman, radiasi matahari yang rendah, kelembaban yang tinggi, dan perbedaan suhu yang kecil antara siang dan malam hari.

2.2.3 Curah Hujan

Hujan mempengaruhi ekologi serangga, terutama pada pertumbuhan dan aktivitas serangga. Periodisitas timbulnya suatu hama erat hubungannya dengan periodisitas curah hujan tahunan dan perubahannya. Tetesan air hujan secara fisik langsung dapat menghanyutkan serangga-serangga yang berukuran kecil, sedangkan secara tidak langsung curah hujan dapat mempengaruhi kelembaban udara (Sunjaya 1970).

(8)

5

mereka mengakui adanya keterkaitan antara curah hujan dengan peningkatan populasi WBC (Hidayat 2000).

2.2.4 Cahaya dan Radiasi

Pengaruh cahaya terhadap perilaku serangga berbeda-beda antara serangga yang aktif pada siang hari (diurnal) dengan yang aktif pada malam hari (nocturnal). Pada serangga yang aktif pada siang hari, keaktifannya akan dirangsang oleh keadaan intensitas maupun panjang gelombang cahaya di sekitarnya. Sebaliknya pada serangga malam hari keadaan cahaya tertentu mungkin dapat menghambat keaktifannya (Uvarov 1931 dalam Koesmaryono 1987). Serangga yang mempunyai kebiasaan hidup dengan cahaya minimum dan lemah, apabila intensitas cahaya ditingkatkan akan mengakibatkan aktivitasnya akan tertekan, begitu pula sebaliknya. Meningkatnya intensitas cahaya dapat mempercepat kedewasaan serangga dan mempersingkat umur imagonya (Sunjaya 1970).

Faktor cahaya dan radiasi juga mempengaruhi kehidupan wereng batang coklat. Apabila WBC dewasa dipelihara di tempat gelap maka pematangan indung telur terhambat dan jumlah telur yang di letakkan juga kecil. WBC lebih banyak ditemukan pada musim yang sering mendapat radiasi langsung dibandingkan musim yang kurang mendapat sinar matahari langsung (Suenaga 1963 dalam Baco 1984).

2.2.5 Angin

Pertumbuhan dan perkembangan serangga secara tidak langsung dipengaruhi oleh angin. Angin mempengaruhi penguapan dan kelembaban udara yang secara tidak langsung memberi efek pada suhu tubuh serangga maupun kadar air dalam tubuh serangga.

Pemencaran dan aktivitas serangga dipengaruhi oleh gerak udara. Misalnya pada serangga yang bertubuh ringan walaupun berdaya terbang lemah dan tidak bersayap akan mampu pindah ke daerah yang lebih jauh, hal ini terjadi akibat adanya gerak udara vertikal maupun gerak udara horizontal (Sunjaya 1970).

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan September 2010 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen

Geofisika dan Meteorologi. Dengan kajian di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Tegal (Provinsi Jawa Tengah).

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini:

1. Data iklim harian selama 8 tahun (periode tahun 2002 sampai 2009) yaitu data curah hujan (CH), data suhu maksimum (T max), data suhu minimum (T min), data suhu rata-rata (T rata), data kelembaban udara (RH) (Sumber : BMG)

2. Data luas serangan WBC 2 mingguan di wilayah kajian selama 7 tahun (2003-2009) (Sumber : BPTPH Provinsi Jawa Tengah)

3. Seperangkat komputer 4. Microsoft Excel 5. Minitab 14

3.3 Metode Penelitian 3.3.1. Persiapan Data

Data iklim harian wilayah kajian diubah menjadi data iklim 2 mingguan atau setengah bulanan sesuai dengan data luas serangan WBC. Data luas seragan WBC memiliki 4 kriteria yaitu Ringan (R), Sedang (S), Berat (B), Puso (P). Berikut ini kriteria serangan WBC:

Tabel 1 Kriteria Luas Serangan WBC

Kriteria Luas Serangan Presentase Serangan

Ringan 0-25%

Sedang 25-50%

Berat 50-85%

Puso 85-100%

Sumber : Ditjentan 1986

3.3.2. Pengolahan Data

Luas serangan bernilai nol atau tidak terjadi serangan tidak dimasukkan dalam analisis data dengan tujuan untuk mengurangi error dalam regresi sehingga diperoleh pola regresi yang lebih jelas. Hal ini karena tidak adanya serangan disebabkan pengaruh faktor lain di luar faktor iklim yang terlalu besar atau pengambilan data luas serangan WBC yang tidak akurat.

(9)

mereka mengakui adanya keterkaitan antara curah hujan dengan peningkatan populasi WBC (Hidayat 2000).

2.2.4 Cahaya dan Radiasi

Pengaruh cahaya terhadap perilaku serangga berbeda-beda antara serangga yang aktif pada siang hari (diurnal) dengan yang aktif pada malam hari (nocturnal). Pada serangga yang aktif pada siang hari, keaktifannya akan dirangsang oleh keadaan intensitas maupun panjang gelombang cahaya di sekitarnya. Sebaliknya pada serangga malam hari keadaan cahaya tertentu mungkin dapat menghambat keaktifannya (Uvarov 1931 dalam Koesmaryono 1987). Serangga yang mempunyai kebiasaan hidup dengan cahaya minimum dan lemah, apabila intensitas cahaya ditingkatkan akan mengakibatkan aktivitasnya akan tertekan, begitu pula sebaliknya. Meningkatnya intensitas cahaya dapat mempercepat kedewasaan serangga dan mempersingkat umur imagonya (Sunjaya 1970).

Faktor cahaya dan radiasi juga mempengaruhi kehidupan wereng batang coklat. Apabila WBC dewasa dipelihara di tempat gelap maka pematangan indung telur terhambat dan jumlah telur yang di letakkan juga kecil. WBC lebih banyak ditemukan pada musim yang sering mendapat radiasi langsung dibandingkan musim yang kurang mendapat sinar matahari langsung (Suenaga 1963 dalam Baco 1984).

2.2.5 Angin

Pertumbuhan dan perkembangan serangga secara tidak langsung dipengaruhi oleh angin. Angin mempengaruhi penguapan dan kelembaban udara yang secara tidak langsung memberi efek pada suhu tubuh serangga maupun kadar air dalam tubuh serangga.

Pemencaran dan aktivitas serangga dipengaruhi oleh gerak udara. Misalnya pada serangga yang bertubuh ringan walaupun berdaya terbang lemah dan tidak bersayap akan mampu pindah ke daerah yang lebih jauh, hal ini terjadi akibat adanya gerak udara vertikal maupun gerak udara horizontal (Sunjaya 1970).

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan September 2010 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen

Geofisika dan Meteorologi. Dengan kajian di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Tegal (Provinsi Jawa Tengah).

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini:

1. Data iklim harian selama 8 tahun (periode tahun 2002 sampai 2009) yaitu data curah hujan (CH), data suhu maksimum (T max), data suhu minimum (T min), data suhu rata-rata (T rata), data kelembaban udara (RH) (Sumber : BMG)

2. Data luas serangan WBC 2 mingguan di wilayah kajian selama 7 tahun (2003-2009) (Sumber : BPTPH Provinsi Jawa Tengah)

3. Seperangkat komputer 4. Microsoft Excel 5. Minitab 14

3.3 Metode Penelitian 3.3.1. Persiapan Data

Data iklim harian wilayah kajian diubah menjadi data iklim 2 mingguan atau setengah bulanan sesuai dengan data luas serangan WBC. Data luas seragan WBC memiliki 4 kriteria yaitu Ringan (R), Sedang (S), Berat (B), Puso (P). Berikut ini kriteria serangan WBC:

Tabel 1 Kriteria Luas Serangan WBC

Kriteria Luas Serangan Presentase Serangan

Ringan 0-25%

Sedang 25-50%

Berat 50-85%

Puso 85-100%

Sumber : Ditjentan 1986

3.3.2. Pengolahan Data

Luas serangan bernilai nol atau tidak terjadi serangan tidak dimasukkan dalam analisis data dengan tujuan untuk mengurangi error dalam regresi sehingga diperoleh pola regresi yang lebih jelas. Hal ini karena tidak adanya serangan disebabkan pengaruh faktor lain di luar faktor iklim yang terlalu besar atau pengambilan data luas serangan WBC yang tidak akurat.

(10)

6

regresi linier berganda untuk semua faktor iklim yang dianalisis. Data faktor iklim digunakan sebagai peubah bebas dan data luas serangan WBC sebagai peubah respon.

Persamaan regresi linier sederhana digunakan untuk menyatakan hubungan antara luas serangan dengan curah hujan. Analisis regresi linier sederhana dilakukan berdasarkan musimnya, yaitu bulan April – September untuk musim kemarau, dan bulan Oktober – Maret untuk musim hujan. Persamaan umum regresi linier sederhana yaitu :

Y = a + bx………(1) dimana :

y = luas serangan WBC x = curah hujan a,b = konstanta

Persamaan regresi kuadratik digunakan untuk menyatakan hubungan antara luas serangan dengan faktor iklim selain curah hujan yaitu suhu rata-rata, suhu makasimum, suhu minimum, dan kelembaban. Persamaan umum regresi kuadratik sederhana adalah sebagai berikut :

Y = a + b1x1+ b2x2 2

………..(2) dimana :

y = luas serangan WBC x = Tmax, Tmin, Trata, dan RH a,b = konstanta

Analisis regresi linier berganda dilakukan untuk memperoleh hubungan lima faktor iklim, yaitu suhu maksimum, suhu minimum, suhu rata-rata, kelembaban, curah hujan secara keseluruhan terhadap luas serangan, sehingga dapat diketahui hubungan faktor iklim dan luas serangan WBC secara umum. Persamaan regresi linier berganda adalah sebagai berikut :

Y : a + b1x1 + b2x2 + b3x3 + b4x4 + b5x5

Dimana :

y = luas serangan WBC x = unsur iklim a,b = konstanta

Analisis hubungan faktor iklim dengan luas serangan WBC dilakukan pada berbagai waktu tunda (time lag) berdasarkan siklus hidup WBC. Siklus hidup WBC berkisar 28-32 hari atau kurang lebih satu bulan sampai WBC menjadi serangga dewasa (Subroto, et al. 1992). Analisis tanpa memperhitungkan lag berarti faktor iklim secara langsung mempengaruhi luas serangan pada saat terjadi serangan atau ketika WBC pada fase imago aktif mencari makan. Analisis pada waktu tunda setengah bulan (lag 1) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase nimfa. Analisis pada waktu

tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur.

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Geografis Wilayah Kajian

Topografi wilayah Kabupaten Cilacap terdiri dari permukaan landai dan perbukitan dengan ketinggian antara 6-198 m dari permukaan laut. Wilayah topografi terendah umumnya terletak di bagian selatan yang merupakan daerah pesisir dengan ketinggian antara 6-12 mdpl. Sementara itu, topografi yang termasuk dataran rendah dan sedikit berbukit dengan ketinggian antara 8-75 mdpl, sedangkan topografi yang termasuk dataran tinggi atau perbukitan meliputi wilayah Cilacap bagian barat dengan ketinggian antara 75-198 mdpl (DKP 2010). Kabupaten Cilacap merupakan wilayah terbesar di Provinsi Jawa tengah dan juga memiliki luas sawah terbesar di Jawa Tengah. Berikut luasan sawah dan luas serangan WBC Kabupaten Cilacap tahun 2004-2008.

Tabel 2 Perbandingan Luas Sawah dan Luas Terserang WBC Tahun 2004-2008 di Kabupaten Cilacap.

(Sumber: Badan Pusat Statistik)

Luas wilayah Cilacap mencapai 213.851 ha dengan alokasi penggunaan lahan untuk pertanian sekitar 29% dari luas wilayahnya atau sekitar 63.000 ha. Meskipun sawah yang tersedia cukup besar untuk makanan WBC, akan tetapi serangan WBC relatif kecil. Luas serangan tertinggi terjadi pada tahun 2007 yang meliputi 499 ha sawah atau 0.8% dari total luas sawah di Kabupaten Cilacap.

Cilacap merupakan daerah endemik WBC akibat serangan yang terjadi setiap tahun. Namun, serangan yang terjadi setiap tahunnya masih rendah. Hal ini dimungkinkan daerah tersebut lebih intesif dalam pengendalian hama WBC. Pertanian padi di Cilacap lebih sering gagal panen diakibatkan

Luas

Luas

Luas

Persentase Persentase

admin Sawah Serangan

Sawah

Sawah

(11)

regresi linier berganda untuk semua faktor iklim yang dianalisis. Data faktor iklim digunakan sebagai peubah bebas dan data luas serangan WBC sebagai peubah respon.

Persamaan regresi linier sederhana digunakan untuk menyatakan hubungan antara luas serangan dengan curah hujan. Analisis regresi linier sederhana dilakukan berdasarkan musimnya, yaitu bulan April – September untuk musim kemarau, dan bulan Oktober – Maret untuk musim hujan. Persamaan umum regresi linier sederhana yaitu :

Y = a + bx………(1) dimana :

y = luas serangan WBC x = curah hujan a,b = konstanta

Persamaan regresi kuadratik digunakan untuk menyatakan hubungan antara luas serangan dengan faktor iklim selain curah hujan yaitu suhu rata-rata, suhu makasimum, suhu minimum, dan kelembaban. Persamaan umum regresi kuadratik sederhana adalah sebagai berikut :

Y = a + b1x1+ b2x2 2

………..(2) dimana :

y = luas serangan WBC x = Tmax, Tmin, Trata, dan RH a,b = konstanta

Analisis regresi linier berganda dilakukan untuk memperoleh hubungan lima faktor iklim, yaitu suhu maksimum, suhu minimum, suhu rata-rata, kelembaban, curah hujan secara keseluruhan terhadap luas serangan, sehingga dapat diketahui hubungan faktor iklim dan luas serangan WBC secara umum. Persamaan regresi linier berganda adalah sebagai berikut :

Y : a + b1x1 + b2x2 + b3x3 + b4x4 + b5x5

Dimana :

y = luas serangan WBC x = unsur iklim a,b = konstanta

Analisis hubungan faktor iklim dengan luas serangan WBC dilakukan pada berbagai waktu tunda (time lag) berdasarkan siklus hidup WBC. Siklus hidup WBC berkisar 28-32 hari atau kurang lebih satu bulan sampai WBC menjadi serangga dewasa (Subroto, et al. 1992). Analisis tanpa memperhitungkan lag berarti faktor iklim secara langsung mempengaruhi luas serangan pada saat terjadi serangan atau ketika WBC pada fase imago aktif mencari makan. Analisis pada waktu tunda setengah bulan (lag 1) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase nimfa. Analisis pada waktu

tunda satu bulan (lag 2) berarti faktor iklim mempengaruhi luas serangan pada WBC pada fase telur.

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Geografis Wilayah Kajian

Topografi wilayah Kabupaten Cilacap terdiri dari permukaan landai dan perbukitan dengan ketinggian antara 6-198 m dari permukaan laut. Wilayah topografi terendah umumnya terletak di bagian selatan yang merupakan daerah pesisir dengan ketinggian antara 6-12 mdpl. Sementara itu, topografi yang termasuk dataran rendah dan sedikit berbukit dengan ketinggian antara 8-75 mdpl, sedangkan topografi yang termasuk dataran tinggi atau perbukitan meliputi wilayah Cilacap bagian barat dengan ketinggian antara 75-198 mdpl (DKP 2010). Kabupaten Cilacap merupakan wilayah terbesar di Provinsi Jawa tengah dan juga memiliki luas sawah terbesar di Jawa Tengah. Berikut luasan sawah dan luas serangan WBC Kabupaten Cilacap tahun 2004-2008.

Tabel 2 Perbandingan Luas Sawah dan Luas Terserang WBC Tahun 2004-2008 di Kabupaten Cilacap.

(Sumber: Badan Pusat Statistik)

Luas wilayah Cilacap mencapai 213.851 ha dengan alokasi penggunaan lahan untuk pertanian sekitar 29% dari luas wilayahnya atau sekitar 63.000 ha. Meskipun sawah yang tersedia cukup besar untuk makanan WBC, akan tetapi serangan WBC relatif kecil. Luas serangan tertinggi terjadi pada tahun 2007 yang meliputi 499 ha sawah atau 0.8% dari total luas sawah di Kabupaten Cilacap.

Cilacap merupakan daerah endemik WBC akibat serangan yang terjadi setiap tahun. Namun, serangan yang terjadi setiap tahunnya masih rendah. Hal ini dimungkinkan daerah tersebut lebih intesif dalam pengendalian hama WBC. Pertanian padi di Cilacap lebih sering gagal panen diakibatkan

Luas

Luas

Luas

Persentase Persentase

admin Sawah Serangan

Sawah

Sawah

(12)

7

oleh banjir di daerah persawahan. Rusaknya tanaman padi membuat terbatasnya makanan untuk WBC. Sehingga luas serangan WBC di Kabuapen Cilacap tidak terlalu luas.

Secara topografi Kabupaten Pekalongan terdiri atas wilayah pantai, wilayah dataran rendah dan wilayah pegunungan dengan ketinggian 4-1294 mdpl. Menurut pembagian wilayah, kabupaten Pekalongan di dominasi oleh dataran rendah sebesar 80 %. Sedangkan yang berdataran tinggi dan pegunungan sebesar 20 %. Sebagian besar sawah di Kabupaten Pekalongan berada pada dataran rendah (Pemerintah Kabupaten Pekalongan 2006). Berikut adalah luasan sawah beserta luas serangan WBC pada Kabupaten Pekalongan.

Tabel 3 Perbandingan Luas Sawah dan Luas Terserang WBC Tahun 2004-2008 di Kabupaten Pekalongan.

(Sumber: Badan Pusat Statistik)

Tingkat penggunaan lahan untuk areal persawahan di Kabupaten Pekalongan cukup besar, yaitu rata-rata 31% dari total wilayahnya. Kabupaten Pekalongan merupakan daerah endemik WBC dengan total luas serangan tertinggi mencapai 2341 ha atau 9,2% dari total luas sawah di Kabupaten Pekalongan. Pertanian di Kabupaten Pekalongan lebih banyak menggunakan pertanian irigrasi. Pertanian padi di Kabupaten Pekalongan juga sering terserang hama selain WBC. Sehingga WBC lebih berkompetisi untuk memperebutkan makanannya.

Wilayah Kabupaten Tegal berada pada ketinggian antara 0-1000 mdpl. Secara garis besar, wilayah Kabupaten Tegal terbagi menjadi empat bagian yaitu dataran rendah dengan ketinggian antara 0-250 mdpl dengan luas wilayah 65.342,93 ha, ketinggian antara 250–500 m dpl dengan luas wilayah 6.959,58 ha, ketinggian antara 500-750 mdpl dengan wilayah 4.692,29 ha, dan ketinggian di atas 750 mdpl dengan luas wilayah 10.884,16 ha. Daerah terluas di Kabupaten Tegal adalah dataran rendah (DPKI 2009). Lusan sawah di

Kabupaten Tegal lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Pekalongan. Berikut luasan sawah dan luas serangan WBC Kabupaten Tegal tahun 2004-2008.

Tabel 4 Perbandingan Luas Sawah dan Luas Terserang WBC Tahun 2004-2008 di Kabupaten Tegal.

(Sumber: Badan Pusat Statistik)

Tingkat penggunaan lahan yang digunakan untuk sawah di Kabupaten Tegal cukup dominan, yaitu rata-rata 45% dari luas wilayah keseluruhan. Luas serangan WBC tertinggi pada tahun 2005 yang mencapai 1091 ha atau sekitar 2,65% dari total luas sawah di Kabupaten Tegal. Sama halnya dengan Kabupaten Pekalongan, Padi di Kabupaten Tegal juga banyak terserang hama selain WBC. Sehingga WBC lebih berkompetisi dengan hama lain untuk memperebutkan makanannya.

4.2 Luas Serangan WBC dalam Wilayah Kajian

Luas serangan pada wilayah Kabupaten Cilacap, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Tegal berbeda–beda setiap tahunnya. Kabupaten Pekalongan memiliki luas serangan yang lebih tinggi dibandingkan dua kabupaten lainnya. Luas serangan di Kabupaten Pekalongan mencapai lebih dari 2000 ha pada tahun 2005, 2006 dan 2009. Luas serangan di Kabupaten Tegal mencapai lebih dari 500 ha pada tahun 2005, 2006 dan 2009. Sementara itu, Kabupaten Cilacap memiliki luas serangan WBC lebih rendah dari keduanya, luas serangan Kabupaten Cilacap tertinggi hanya pada tahun 2007 yaitu hanya 499 ha.

Luas

Luas

Luas

Persentase Persentase

admin Sawah Serangan

Sawah

Sawah

(Ha)

(Ha) WBC (Ha)

Terserang

2004 83,613 26,128

103

31.2%

0.4%

2005 83,613 26,081

1,951

31.2%

7.5%

2006 83,613 25,472

2,341

30.5%

9.2%

2007 83,613 25,307

891

30.3%

3.5%

2008 83,613 25,124

1,778

30.0%

7.1%

Tahun

Luas

Luas

Luas

Persentase Persentase

admin Sawah Serangan

Sawah

Sawah

(13)

Gambar 6 Luas serangan wilayah kajian

Analisis lebih lanj luas serangan WBC s masing-masing wilayah 2003-2009. Gambar 7, 8, tingkat luas serangan per serangan per bula menunjukan tingkat lu bulannya sedangkan grfik kejadian serangan per adalah plot hasil luas kabupaten.

Gambar 7 Total luas sera di Kabupaten C 2003-2009.

Kabupaten Cilac serangan yang setiap tah luas serangan WBC tidak 7 menunjukkan bahwa Kabupaten Cilacap tida tahun. Luas serangan ting Pebuari-Maret-April ya peralihan musim hujan Saat musim kemarau serangan WBC. Hal banyaknya kejadian ser bulan Juni-Juli-Agustu serangan tidak terlalu tin serangan. Luas serangan awal musim hujan yaitu Desember. Luas serangan Cilacap sering terjadi p

an WBC tahunan pada an (2003-2009).

njut dilakukan analisis setiap bulannya di h kajian pada tahun 8, dan 9 menunjukkan er bulan dan kejadian lannya. Histogram luas serangan per-fik garis menunjukkan

er-bulannya. Berikut as serangan di tiga

rangan WBC bulanan n Cilacap pada tahun

acap memiliki luas ahun selalu ada, tetapi ak terlalu luas. Gambar a serangan WBC di dak terjadi sepanjang nggi terjadi pada bulan yaitu pada masa n ke musim kemarau. juga sering terjadi l ini terlihat dari serangan WBC pada tus. Namun, luas tinggi pada saat terjadi an rendah terjadi pada tu

Oktober-November-an WBC di Kabupaten pada masa peralihan

musim dari musim hujan dan sepanjang musim kema

Gambar 8 Total luas seran di Kabupaten Pe tahun 2003-200

Kabupaten Pekalon serangan yang tinggi. Gam luas serangan WBC seba pada musim kemarau. H tingginya luas serangan dan WBC pada bulan Juni-Juli WBC juga sering terjadi hujan (Pebuari-Maret), te tidak terlalu besar. Se Kabupaten Pekalongan aka jika terjadi pada musim kem

Gambar 9 Total luas seran di Kabupaten 2003-2009.

Kabupaten Tegal serangan yang hampir Kabupaten Pekalongan menunjukkan luas serang besar juga terjadi pada m ini terlihat pada tingginya kejadian serangan WBC pa Agustus. Serangan WBC pada peralihan musim kemarau, tetapi luas sera tinggi. Serangan WBC di akan mengkhawatirkan peralihan musim hujan k dan berbahaya pada musim Secara keseluruhan sering terjadi pada masa

n ke musim kemarau marau.

angan WBC bulanan Pekalongan pada 009.

ongan memiliki luas mbar 8 menunjukkan bagian besar terjadi Hal ini terlihat dari dan kejadian serangan li-Agustus. Serangan i pada akhir musim tetapi luas serangan Serangan WBC di kan sangat berbahaya

emarau.

rangan WBC bulanan n Tegal pada tahun

al memiliki pola pir sama dengan an. Gambar 9 ngan WBC sebagian musim kemarau. Hal ya luas serangan dan pada bulan Juni-Juli-C juga sering terjadi

hujan ke musim angan tidak terlalu di Kabupaten Tegal jika terjadi saat ke musim kemarau im kemarau.

(14)

hujan ke musim kema musim kemarau. Masa pe pada bulan Pebuari-Mar kemarau yaitu bulan Ju ini diakibatkan pada mus lingkungan sangat mendu WBC.

4.3 Kondisi Iklim Wil Data iklim yang wilayah kajian di dapat Analisis di Kabupaten C stasiun Meteorologi ketinggian 6 mdpl. Ana Tegal menggunakan s Tegal dengan ketinggian Kabupaten Pekalongan m Gamer dengan ketinggian di ketiga kabupaten tidak yang terlalu jauh.

Kondisi iklim tersebut memiliki perb perbedaan yang nyat Kabupaten Cilacap mem yang berbeda dengan K Kabupaten Pekalongan. Kabupaten Tegal dan Ka memiliki jarak yang b bagian utara Jawa Teng iklim hampir sama. Se Cilacap berada pada b Tengah.

Gambar 10 Suhu udara ra (2003-2009).

Suhu udara rata-ra memiliki fluktuasi yang dengan besar suhu yang suhu ketiga kabupaten Gambar 10. Suhu udar terdapat pada Kabupate terendah terdapat pada Tinggi rendahnya suhu u mempengaruhi perkemba yang memiliki suhu ud mendekati suhu optim WBC, akan memicu WBC. Suhu udara Kab

arau dan pada saat peralihan musim yaitu aret-April dan musim Juni-Juli-Agustus. Hal usim kemarau kondisi dukung perkembangan

ilayah Kajian ng digunakan untuk

at dari stasiun iklim. Cilacap menggunakan Cilacap dengan nalisis di Kabupaten stasiun Meteorologi an 3 mdpl. Analisis di menggunakan stasiun ian 4 mdpl. Ketinggian ak memiliki perbedaan

ketiga kabupaten rbedaan. Salah satu ata terlihat bahwa emiliki kondisi iklim Kabupaten Tegal dan . Hal ini dikarenakan Kabupaten Pekalongan berdekatan yaitu di ngah sehingga kondisi Sedangkan Kabupaten bagian selatan Jawa

rata-rata bulanan ).

rata ketiga kabupaten g hampir sama tetapi ng berbeda. Fluktuasi n dapat terlihat pada ara rata-rata tertinggi aten Pekalongan dan a Kabupaten Cilacap. udara rata-rata dapat bangan WBC. Wilayah udara rata-rata yang imum perkembangan tingginya serangan abupaten Pekalongan

memiliki suhu yang p mendekati suhu optimum (Subroto et al. 1992). serangan WBC di Kabu lebih tinggi dibandingkan dan Kabupaten Cilacap. F rata dan luas serangan d Lampiran 1.

Gambar 11 Suhu udara ma (2003-2009).

Suhu maksimum m yang berbeda pada Kabu dibandingkan dengan Kab Pekalongan. Kabupaten Pe suhu maksimum paling ti Tegal dan Cilacap. Suh Kabupaten Cilacap pada b mengalami penurunan ya dibandingkan pada bulan F ini menyebabkan bulan Fe tinggi luas serangan WBC Agustus pada Kabupaten dengan Kabupaten Tegal suhu maksimum di kedua lebih tinggi di bulan Ju dibandingkan pada Febuari luas serangan akan lebih Juli – Agustus. Sama ha rata-rata, serangan WBC ak suhu maksimum tinggi. maksimum dan luas sera pada Lampiran 2.

Gambar 12 Suhu udara mi (2003-2009).

9

paling tinggi dan um yaitu 28-300C . Oleh karena itu, bupaten Pekalongan an Kabupaten Tegal Fluktuasi suhu dapat di lihat pada

maksimum bulanan

memiliki flukstuasi bupaten Cilacap bila abupaten Tegal dan Pekalongan memiliki tinggi dibandingkan uhu maksimum di bulan Juli – Agustus yang sangat rendah Febuari - Maret. Hal Febuari - Maret lebih C dibandingkan Juli – en Cilacap. Berbeda al dan Pekalongan, a kabupaten tersebut Juli – Agustus bila ari – Maret. Sehingga ih tinggi pada bulan halnya dengan suhu akan lebih tinggi bila gi. Fluktuasi suhu rangan dapat dilihat

(15)

Suhu minimum memiliki fluktuasi yang suhu minimum akan re kemarau. Kabupaten Pe suhu minimum yang dibandingkan dengan Ka Cilacap. Suhu minimum akan memicu terjadiny (Subroto et al. 1992).

Secara umum pen rata-rata, suhu udara m udara minimum di ketig pada bulan Febuari – Agustus, dimana pada b muncul serangan WBC suhu udara dan luas ser pada Lampiran 3. Suhu Pekalongan merupakan sesuai untuk munculnya 28-300C dan suhu mal minimum yang rendah paling sesuai untuk pe serangga dewasa (Subrot karena itu, luas seran Pekalongan lebih tin Kabupaten Tegal dan Cila

Gambar 13 Kelembaban bulanan (2003

Kelembaban udara memiliki pola yang ber kabupaten lainnya sep Gambar 13. Kabupaten kelembaban yang hampir dan kenaikan kelemba signifikan. Hal ini berbed Pekalongan dan Tegal y hampir sama yaitu kelem saat musim kemarau.

WBC sangat me yang memiliki kelembaba optimal berkisar antara 7 1970 dalam Alissa 1990 Kabupaten Pekalongan, Cilacap memiliki kelemb untuk hidup WBC, yai Sebuah penelitian m

ketiga kabupaten g hampir sama yaitu rendah pada musim Pekalongan memiliki ng paling rendah Kabuapaten Tegal dan m yang lebih rendah inya serangan WBC

enurunan suhu udara maksimum dan suhu tiga kabupaten terjadi Maret dan Juli – bulan-bulan tersebut C. Gambar fluktuasi serangan dapat dilihat u udara di Kabupaten n suhu yang paling ya WBC. Suhu antara alam hari atau suhu h adalah suhu yang pemunculan sejumlah oto et al. 1992). Oleh angan di Kabupaten tinggi dibandingkan ilacap.

n udara rata-rata 03-2009).

ra Kabupaten Cilacap erbeda dengan kedua eperti terlihat pada en Cilacap memiliki ir konstan. Penurunan baban tidak terlalu eda dengan Kabupaten l yang memiliki pola mbaban akan menurun

menyukai lingkungan ban tinggi dengan RH 70-85% (Hino et al. 90). Kabupaten Tegal an, dan Kabupaten baban yang optimum aitu sekitar 70-85%. menyatakan bahwa

pekembangan WBC leb kelembaban nisbi di baw kelembaban diatas 80% Baco 1984). Pada Gamba bulan Juli-Agustus di Kab dan Kabupaten Tegal bera sehingga luas serangan dibandingkan Kabupaten C tersebut. Sedangkan pad Maret, kelembaban di K lebih rendah dibandingkan dan Pekalongan. Sehingga luas serangan di Kabupa tinggi. Gambar fluktuasi dengan luas serangan WBC Lampiran 4.

Gambar 14 Curah hujan ra (2003-2009).

Pada Gambar 14 te hujan di Kabupaten Cil dibandingkan dengan Kab dan Tegal. Curah hujan tentu dapat mejadikan sera Karena curah hujan yang membuat tergenangnya air kapasitas. Hal ini juga da WBC dimana tetesan berlebihan langsung dap serangga-serangga yang (Sunjaya 1970). Oleh kare di Kabupaten Tegal Pekalongan lebih me perkembangan WBC. Kabupaten Pekalongan dan tinggi seperti Kabupaten fluktuasi curah hujan den WBC dapat dilihat pada La

4.4 Analisis Regresi Analisis regresi mengetahui hubungan k variabel. Berikut adalah masing-masing faktor iklim iklim yang dianalisis di set iklim merupakan salah

lebih baik dengan awah 80% daripada (IRRI 1976 dalam bar 13 terlihat pada abupaten Pekalongan erada di bawah 80%, n lebih tinggi bila Cilacap pada bulan ada bulan Kabupaten Cilacap

an Kabuapeten Tegal a pada bulan tersebut paten Cilacap lebih si kelembaban udara BC dapat dilihat pada

rata-rata bulanan

terlihat bahwa curah ilacap lebih tinggi abupaten Pekalongan n yang tinggi belum erangan WBC tinggi. ng tinggi juga dapat air di sawah melebihi dapat mempengaruhi air hujan yang apat menghanyutkan g berukuran kecil rena itu, curah hujan l dan Kabupaten mendukung dalam Curah hujan di an Tegal tidak terlalu en Cilacap. Gambar engan luas serangan Lampiran 5.

(16)

11

mempengaruhi luas serangan WBC. Oleh karena itu, hasil dari analisis regresi faktor iklim ini adalah persentase pengaruh faktor iklim terhadap luas serangan WBC. Jika analisis regresi faktor iklim di sebuah kabupaten rendah maka terdapat faktor lain di luar faktor iklim yang mempengaruhi luas serangan WBC.

4.4.1 Cilacap

Hubungan antara faktor iklim dengan luas serangan WBC pada Kabupaten Cilacap terlihat pada Tabel 5. Berdasarkan hasil analisis regresi di Kabupaten Cilacap memiliki pengaruh iklim yang cukup rendah. Karena banyaknya pencilan data disebabkan oleh banyaknya pengaruh faktor lain selain faktor iklim yang mempengaruhi besarnya luas serangan. Berikut adalah hasil regresi luas serangan WBC dan faktor iklim di Kabupaten Cilacap.

Tabel 5 Nilai R2 luas serangan dengan faktor iklim Kabupaten Cilacap.

Gambar 15 Hubungan terbaik luas serangan dan suhu rata-rata (lag 1) di Kabupaten Cilacap.

Faktor suhu rata-rata di Kabupaten cilacap memiliki hubungan paling erat dengan luas serangan saat dilakukan pada analisis lag 1 yaitu pada saat WBC masih berupa nimfa dengan R2 sebesar 3.6% dan persamaan LS =

244 - 21.1 Trata + 0.456 Trata2. Pengaruh suhu udara rata-rata terhadap luas serangan WBC dapat dilihat pada hasil trend line grafik (Gambar 15), luas serangan WBC semakin naik saat suhu udara semakin tinggi. Serangan WBC tingggi saat suhu udara di Kabupaten Cilacap tinggi. Pada gambar terlihat sebagian besar WBC dapat berkembang dengan baik pada kisaran suhu antara 27-28 oC.

Gambar 16 Hubungan terbaik luas serangan dan suhu maksimum (lag 1) di Kabupaten Cilacap.

Hubungan paling erat suhu maksimum dengan luas serangan terjadi pada lag 1 saat WBC masih menjadi nimfa. Hal ini berarti suhu maksimum lebih mempengaruhi luas serangan WBC pada saat masih menjadi nimfa. R2 yang didapat saat lag 1 sebesar 4.4 % dengan LS = 78 - 7.41 Tmax + 0.164 Tmax2. Pada gambar 16 terlihat luas serangan tinggi saat suhu maksimum atau suhu siang hari disekitar 32oC. Luas serangan WBC cenderung tinggi saat suhu maksimum di Kabupaten Cilacap tinggi.

Gambar 17 Hubungan terbaik luas serangan dan suhu minimum (lag 1) di Kabupaten Cilacap.

Hubungan terbaik pengaruh suhu minimum terhadap luas serangan WBC terjadi pada saat lag 1 yaitu WBC masih berupa nimfa. Suhu minimum lebih mempengaruhi luas serangan pada saat WBC masih menjadi nimfa. Nilai R2 pada hubungan luas serangan WBC dan suhu minimum sebesar 3.1% dan LS = 265 - 25.51 Tmin + 0.614 Tmin2. Sebagian

Unsur Iklim Tanpa lag Lag1 Lag2

Suhu rata-rata (Trata) Suhu maksimum (Tmax) Suhu minimum (Tmin)

Kelembaban udara (RH)

Curah hujan musim hujan (CHMH) Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK) Semua Faktor

iklim 6.1% 6.1% 8.6%

0.0% 1.3% 0.0%

8.3% 0.0% 0.5%

1.9% 3.1% 1.3%

4.6% 0.7% 1.9%

2.0% 3.6% 0.8%

(17)

besar luas serangan berada pada suhu 24-25 o

C. Luas serangan WBC lebih sering terjadi jika suhu minimum di Kabupaten Cilacap tinggi.

Gambar 18 Hubungan terbaik luas serangan dan kelembaban udara (tanpa lag) di Kabupaten Cilacap.

Faktor kelembaban udara di Kabupaten Cilacap mempunyai hubungan paling erat saat dilakukan analisis tanpa lag yaitu pada saat WBC sudah menjadi serangga dewasa dengan nilai R2 sebesar 4.6% dan LS = - 4850 + 116.0 RH - 0.6928 RH2. Sehingga kelembaban WBC telah menjadi dewasa lebih mempengaruhi dari pada fase lain. Dari Gambar 18 terlihat bahwa luas serangan WBC di Kabupaten Cilacap selalu muncul pada tingkat kelembaban di daerah tersebut. Terjadi peningkatan serangan WBC saat kelembaban meningkat.

Curah hujan pada musim hujan dan musim kemarau di Kabupaten Cilacap memberi pengaruh yang berbeda terhadap luas serangan WBC. Pada musim hujan pengaruh terbesar pada lag 1 dengan R2 sebesar 1.4 % dan LS = 11.80 - 0.01669 CH. Hal ini berarti CH pada musim hujan lebih mempengaruhi WBC masih menjadi nimfa dibanding fase lainnya. Pada musim kemarau pengaruh terbesar pada tanpa lag dengan R2 sebesar 8.3 % dan LS = 3.006 + 0.01522 CH. Hal ini berarti CH pada musim kemarau lebih mempengaruhi WBC dewasa dibanding fase lainnya. Berikut adalah gambar hubungan luas serangan WBC dan curah hujan di musim hujan dan musim kemarau.

Gambar 19 Hubungan terbaik luas serangan dan curah hujan musim hujan (lag 1) di Kabupaten Cilacap.

Gambar 20 Hubungan terbaik luas serangan dan curah hujan musim kemarau (tanpa lag) di Kabupaten Cilacap.

Pada Gambar 19 dan Gambar 20 terlihat perbedaan antara musim hujan dan musim kemarau. Luas serangan pada musim hujan akan cenderung menurun jika curah hujan terlalu tinggi. Karena curah hujan yang terlalu tinggi, akan terjadi limpasan di sawah yang mengakibatkan WBC kecil mati terbawa air. Sedangkan curah hujan pada musim kemarau, luas serangan cenderung naik. Ketersediaan air member pengaruh dalam perkembangan WBC. Musim kemarau yang basah atau sering terjadi hujan akan memicu terjadinya serangan WBC tinggi.

(18)

13

4.4.2 Pekalongan

Hubungan antara faktor iklim dengan luas serangan WBC pada Kabupaten Pekalongan terlihat pada Tabel 6. Keeratan faktor iklim terhadap luas serangan di Kabupaten Pekalongan lebih tinggi daripada Kabupaten Cilacap. Berikut adalah hasil regresi luas serangan WBC dan faktor iklim di Kabupaten Pekalongan.

Tabel 6. Nilai R2 Luas Serangan dengan Faktor Iklim Kabupaten Pekalongan.

Gambar 21 Hubungan terbaik luas serangan dan suhu rata-rata (lag 1) di Kabupaten Pekalongan.

Faktor suhu rata-rata yang paling mempengaruhi luas serangan WBC di Kabupaten Pekalongan yaitu pada saat WBC masih menjadi nimfa (lag 1). Persamaan regresi linier kuadratik yang di dapat pada lag 1 adalah LS = - 18674 + 1333 Trata - 23.72 Trata2 dengan R2 sebesar 3.1%. Suhu rata-rata lebih mempengaruhi pada saat WBC masih mengalami fase nimfa dibandingkan fase lain. Dari Gambar 21, terlihat bahwa luas serangan WBC lebih sering terjadi dan bahkan cenderung tinggi saat suhu rata-rata di 28oC.

Gambar 22 Hubungan terbaik luas serangan dan suhu maksimum (lag 1) di Kabupaten Pekalongan.

Hubungan terbaik untuk pengaruh suhu maksimum terhadap luas serangan WBC didapat pada analisis waktu tunda pertama (lag 1) yaitu pada saat WBC berada pada fase nimfa. Nilai R2 pada lag 1 sebesar 4.6 % dengan LS = - 12038 + 765.1 Tmax - 12.10 Tmax2. Suhu maksimum lebih mempengaruhi perkembangan WBC saat mengalami fase nimfa daripada fase lainnya. Pada Gambar 22, terlihat jelas pengaruh kuadratik, luas serangan semakin tinggi saat mendekati suhu 31-32oC.

Gambar 23 Hubungan terbaik luas serangan dan suhu minimum (tanpa lag) di Kabupaten Pekalongan.

Di Kabupaten Pekalongan, suhu minimum memiliki pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan suhu maksimum dan suhu rata-rata. Hubungan paling erat dilakukan analisis tanpa lag yaitu saat WBC telah menjadi serangga dewasa (imago) dengan R2 sebesar 9.6% dengan persamaan LS = - 1340 + 154.4 Tmin - 4.081 Tmin2. Dari Gambar 23, suhu minimum di Kabupaten Pekalongan lebih memicu tingginya luas serangan WBC saat suhu minimum di daerah tersebut rendah.

Unsur Iklim Tanpa lag Lag1 Lag2

Suhu rata-rata (Trata)

Suhu maksimum (Tmax)

Suhu minimum (Tmin)

Kelembaban udara (RH)

Curah hujan musim hujan (CHMH) Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK) Semua Faktor

iklim 12.8% 11.1% 15.1%

0.9% 0.6% 5.6%

3.6%

9.6% 7.6% 3.3%

7.4% 7.5% 5.8%

3.0% 3.1% 2.5%

1.4% 4.6% 3.4%

(19)

Gambar 24 Hubungan terbaik luas serangan dan kelembaban udara (lag 1) di Kabupaten Pekalongan.

Faktor kelembaban udara di Kabupaten Pekalongan memiliki pengaruh paling kuat terhadap luas serangan pada saat WBC masih menjadi nimfa atau analisis lag 1. Hal ini berarti kelembaba udara lebih mempengaruhi fase nimfa WBC daripada fase lain. Nilai R2 pada saat lag 1 sebesar 7.5 % dan persamaan LS = - 5756 + 147.8 RH - 0.9380 RH2. Dari Gambar 24 terlihat bahwa luas serangan WBC lebih sering terjadi dan cenderung tinggi saat kelembaban udara mendekati kelembaban 80%. Kelambaban di bawah 80% lebih memicu munculnya WBC daripada kelembaban di atas 80%.

Curah hujan di Kabupaten Pekalongan lebih berpengaruh pada fase telur dibandingkan fase lainnya (lag 2) baik pada musim kemarau dan musim hujan. Pada musim kemarau nilai R2 yang diperoleh sebesar 3.6% dengan LS = 51.14 + 0.6732 CH. Pada musim hujan R2 yang diperoleh sebesar 5.6% dengan LS = 5.665 - 0.01168 CH. Serangan WBC di Kabupaten Pekalongan lebih sering terjadi pada musim kemarau. Berikut adalah gambar hubungan luas serangan WBC dan curah hujan di musim hujan dan musim kemarau.

Gambar 25 Hubungan terbaik luas serangan dan curah hujan musim hujan (lag 2) di Kabupaten Pekalongan.

Gambar 26 Hubungan terbaik luas serangan dan curah hujan musim kemarau (lag 2) di Kabupaten Pekalongan.

Pada Gambar 25 dan Gambar 26 terlihat perbedaan antara musim hujan dan musim kemarau. Luas serangan pada musim hujan akan cenderung menurun jika curah hujan terlalu tinggi. Karena curah hujan yang terlalu tinggi, akan terjadi limpasan di sawah yang mengakibatkan telur dan WBC mati terbawa air. Sedangkan curah hujan pada musim kemarau, luas serangan cenderung naik. Musim kemarau yang basah atau sering terjadi hujan akan memicu terjadinya serangan WBC.

Dalam analisis regresi linier berganda, pengaruh semua faktor iklim yang dianalisis secara bersama-sama terhadap luas serangan WBC di Kabupaten Pekalongan mempunyai hubungan paling erat saat dilakukan analisis lag 2 yaitu pada saat WBC masih menjadi telur. Nilai R2 diperoleh cukup besar yaitu sebesar 15.1% dan persamaan LS = - 961 + 64.9 Trata - 33.6 Tmax - 17.6 Tmin - 0.358 CH + 8.69 RH. Faktor iklim di Kabupaten Pekalongan lebih mempengaruhi perkembangan WBC pada saat menjadi telur.

4.4.3 Tegal

(20)

15

Tabel 7. Nilai R2 Luas Serangan dengan Faktor Iklim Kabupaten Tegal.

Gambar 27 Hubungan terbaik luas serangan dan suhu rata-rata (tanpa lag) di Kabupaten Tegal.

Faktor suhu rata-rata yang paling mempengaruhi luas serangan WBC di Kabupaten Tegal yaitu pada saat dilakukan analisis tanpa lag atau pada saat WBC telah dewasa (imago). Jadi suhu rata-rata di Kabupaten Tegal lebih mempengaruhi perkembangan WBC fase imago dibanding fase lain. Persamaan regresi linier kuadratik yang didapat pada saat tanpa lag adalah LS = - 17006 + 1275 Trata - 23.85 Trata2 dengan R2 sebesar 4.2%. Pada Gambar 27, terlihat serangan WBC di Kabupaten Tegal terjadi pada suhu 26-28oC. Luas serangan cenderung tinggi jika suhu rata-rata di Kabupaten Tegal mendekati suhu 27oC.

Gambar 28 Hubungan terbaik luas serangan dan suhu maksimum (lag 1) di Kabupaten Tegal.

Hubungan paling erat suhu maksimum dengan luas serangan terjadi pada saat WBC masih berupa nimfa yaitu pada saat lag 1. Suhu maksimum lebih mempengaruhi perkembangan WBC pada fase nimfa dibandingkan fase lainnya. R2 yang didapat sebesar 5.6 % dengan LS = - 17499 + 1128 Tmax - 18.15 Tmax2. Pada Gambar 28 terlihat serangan WBC seing terjadi pada suhu maksimum yang tinggi. Sebagian besar luas serangan cendrung pada suhu maksimum 31-32 oC.

Gambar 29 Hubungan terbaik luas serangan dan suhu minimum (tanpa lag) di Kabupaten Tegal.

Di Kabupaten Tegal, suhu minimum memiliki pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan suhu maksimum dan suhu rata-rata. Hubungan paling erat saat dilakukan analisis tanpa lag yaitu saat terjadi serangan dengan R2 sebesar 6.7% dan persamaan LS = - 4649 + 407.1 Tmin - 8.851 Tmin2. Pengaruh suhu minimum tertinggi pada saat WBC sudah menjadi serangga dewasa bila dibandingkan fase lainnya. Dari Gambar 29, suhu minimum di Kabupaten Tegal lebih memicu tingginya luas serangan WBC saat suhu minimum di daerah tersebut rendah. Unsur Iklim Tanpa lag Lag1 Lag2

Suhu rata-rata (Trata)

Suhu maksimum (Tmax)

Suhu minimum (Tmin)

Kelembaban udara (RH)

Curah hujan musim hujan (CHMH) Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK) Semua Faktor iklim

4.2% 0.8% 1.3%

4.0% 5.6% 4.5%

6.7% 3.7% 0.0%

3.5% 5.1% 8.4%

11.5% 20.2% 6.1% 20.5% 0.5% 8.9%

(21)

Gambar 30 Hubungan terbaik luas serangan dan kelembaban udara (lag 2) di Kabupaten Tegal.

Faktor kelembaban udara di Kabupaten Pekalongan memiliki pengaruh paling kuat terhadap luas serangan pada saat dilakukan analisis lag 2 dimana kelembaban udara lebih mempengaruhi WBC saat masih menjadi fase telur. Nilai R2 pada saat lag 2 sebesar 8.4 % dan persamaan LS = - 2987 + 76.68 RH - 0.4863 RH2. Dari gambar 30 terlihat bahwa luas serangan WBC lebih sering terjadi dan cenderung tinggi saat kelembaban udara di Kabupaten Tegal mendekati kelembaban 80%. Kelambaban di bawah 80% lebih memicu munculnya serangan WBC.

Curah hujan lebih mempengaruhi perkembangan WBC pada saat sudah menjadi imago baik pada musim kemarau dan musim hujan. Pada musim kemarau nilai R2 yang diperoleh sebesar 3.7% dengan LS = 33.94 - 0.2295 CH. Pada musim hujan R2 yang diperoleh sebesar 20.5% dengan LS = 8.508 - 0.05172 CH. Serangan WBC di Kabupaten Tegal lebih sering terjadi pada musim kemarau. Besarnya R2 di musim hujan disebabkan sedikitnya data yang digunakan dalam analisis, karena sedikitnya kejadian serangan pada musim hujan.

Gambar 31 Hubungan terbaik luas serangan dan curah hujan musim hujan (tanpa lag) di Kabupaten Tegal.

Gambar 32 Hubungan terbaik luas serangan dan curah hujan musim kemarau (tanpa lag) di Kabupaten Tegal.

Pada Gambar 31 dan Gambar 32 terlihat adanya kesamaan antara musim hujan dan musim kemarau, luas serangan cenderung turun jika curah hujan tinggi. Pada musim kemarau, serangan WBC terus muncul walaupun tidak terjadi hujan atau curah hujan 0. Hal ini disebabkan karena para petani menggunakan irigrasi jika tidak ada hujan. Sehingga WBC masih bisa hidup optimal walaupun tidak terjadi hujan.

(22)

17

Tabel 8 Hasil analisis regresi terbaik antara luas serangan dan masing-masing faktor iklim. No Faktor Iklim Kabupaten Koefesien

determinasi (R2)

Persamaan

1. Suhu rata-rata (Trata) Tegal 4.2 % (Tanpa lag) LS = - 17006 + 1275 Trata - 23.85 Trata2

2. Suhu maksimum (Tmax) Tegal 5.6 % (Lag 1) LS = - 17499 + 1128 Tmax - 18.15 Tmax2

3. Suhu minimum (Tmin) Pekalongan 9.7 % (Tanpa lag) LS = - 1340 + 154.4 Tmin - 4.081 Tmin2

4. Kelembaban udara (RH) Tegal 8.4 % (Lag 2) LS = - 2987 + 76.68 RH - 0.4863 RH2

5. Curah Hujan Musim Hujan (CHMH)

Tegal 20.5 % (Tanpa lag) LS = 8.508 - 0.05172 CH

6. Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK)

Cilacap 8.3 % (Tanpa lag) LS = 3.006 + 0.01522 CH

Tabel 9 Hasil analisis regresi linier berganda antara luas serangan dan lima faktor iklim yang berperan terhadap luas serangan.

No Kabupaten Koefesien determinasi (R2) Persamaan

1. Cilacap 8.6% (lag 2) LS = - 104 - 21.8 Trata + 7.31 Tmax + 17.0 Tmin - 0.0014 CH + 0.78 RH

2. Pekalongan 15.1% (lag 2) LS = - 961 + 64.9 Trata - 33.6 Tmax - 17.6 Tmin - 0.358 CH + 8.69 RH

3. Tegal 20.2% (lag 1) LS = - 38 + 90.2 Trata - 36.0 Tmax - 61.6 Tmin - 0.146 CH + 3.11 RH

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Di setiap kabupaten fluktuasi faktor iklim mempengaruhi luas serangan WBC secara berbeda. Luas serangan WBC yang paling sering dan paling luas terdapat pada Kabupaten Pekalongan. Setiap faktor iklim memberi pengaruh yang berbeda terhadap luas serangan. Setiap stadia (fase) hidup WBC juga mendapat pengaruh faktor iklim yang berbeda pada tiap kabupaten.

Persamaan regresi yang dihasilkan belum dapat menjelaskan pengaruh iklim terhadap luas serangan. Beberapa faktor lain selain faktor iklim yang mempengaruhi besarnya luas serangan misalnya musuh alami, tata cara pengolahan pertanian, varietas tanaman dan lain-lain yang tidak diperhitungkan dalam penelitian ini.

Suhu rata-rata memiliki pengaruh tertinggi di Kabupaten Tegal dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 4.2%. Suhu maksimum memiliki pengaruh tertinggi di Kabupaten Tegal dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 5.6%. Suhu minimum memiliki pengaruh tertinggi di

Kabupaten Pekalongan dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 9.7%. Kelembaban udara memiliki pengaruh tertinggi di Kabupaten Tegal dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 8.4%. Curah hujan musim hujan memiliki pengaruh tertinggi di Kabupaten Tegal dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 20.5%. Curah hujan musim kemarau memiliki pengaruh tertinggi di Kabupaten Cilacap dengan Koefisien determinasi (R2) sebesar 8.3%.

Hubungan keeratan terbesar antara iklim dan tingkat serangan WBC menurut analisis regresi berganda terdapat di Kabupaten Tegal. Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan yaitu 20.2%, yang artinya faktor iklim memberi kontribusi 20.2% perkembangan wereng batang coklat di Kabupaten Tegal. Koefisien determinasi (R2) didapat saat dilakukan analisis lag 1 (stadia telur).

5.2 Saran

(23)

Tabel 8 Hasil analisis regresi terbaik antara luas serangan dan masing-masing faktor iklim. No Faktor Iklim Kabupaten Koefesien

determinasi (R2)

Persamaan

1. Suhu rata-rata (Trata) Tegal 4.2 % (Tanpa lag) LS = - 17006 + 1275 Trata - 23.85 Trata2

2. Suhu maksimum (Tmax) Tegal 5.6 % (Lag 1) LS = - 17499 + 1128 Tmax - 18.15 Tmax2

3. Suhu minimum (Tmin) Pekalongan 9.7 % (Tanpa lag) LS = - 1340 + 154.4 Tmin - 4.081 Tmin2

4. Kelembaban udara (RH) Tegal 8.4 % (Lag 2) LS = - 2987 + 76.68 RH - 0.4863 RH2

5. Curah Hujan Musim Hujan (CHMH)

Tegal 20.5 % (Tanpa lag) LS = 8.508 - 0.05172 CH

6. Curah Hujan Musim Kemarau (CHMK)

Cilacap 8.3 % (Tanpa lag) LS = 3.006 + 0.01522 CH

Tabel 9 Hasil analisis regresi linier berganda antara luas serangan dan lima faktor iklim yang berperan terhadap luas serangan.

No Kabupaten Koefesien determinasi (R2) Persamaan

1. Cilacap 8.6% (lag 2) LS = - 104 - 21.8 Trata + 7.31 Tmax + 17.0 Tmin - 0.0014 CH + 0.78 RH

2. Pekalongan 15.1% (lag 2) LS = - 961 + 64.9 Trata - 33.6 Tmax - 17.6 Tmin - 0.358 CH + 8.69 RH

3. Tegal 20.2% (lag 1) LS = - 38 + 90.2 Trata - 36.0 Tmax - 61.6 Tmin - 0.146 CH + 3.11 RH

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Di setiap kabupaten fluktuasi faktor iklim mempengaruhi luas serangan WBC secara berbeda. Luas serangan WBC yang paling sering dan paling luas terdapat pada Kabupaten Pekalongan. Setiap faktor iklim memberi pengaruh yang berbeda terhadap luas serangan. Setiap stadia (fase) hidup WBC juga mendapat pengaruh faktor iklim yang berbeda pada tiap kabupaten.

Persamaan regresi yang dihasilkan belum dapat menjelaskan pengaruh iklim terhadap luas serangan. Beberapa faktor lain selain faktor iklim yang mempengaruhi besarnya luas serangan misalnya musuh alami, tata cara pengolahan pertanian, varietas tanaman dan lain-lain yang tidak diperhitungkan dalam penelitian ini.

Suhu rata-rata memiliki pengaruh tertinggi di Kabupaten Tegal dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 4.2%. Suhu maksimum memiliki pengaruh tertinggi di Kabupaten Tegal dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 5.6%. Suhu minimum memiliki pengaruh tertinggi di

Kabupaten Pekalongan dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 9.7%. Kelembaban udara memiliki pengaruh tertinggi di Kabupaten Tegal dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 8.4%. Curah hujan musim hujan memiliki pengaruh tertinggi di Kabupaten Tegal dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 20.5%. Curah hujan musim kemarau memiliki pengaruh tertinggi di Kabupaten Cilacap dengan Koefisien determinasi (R2) sebesar 8.3%.

Hubungan keeratan terbesar antara iklim dan tingkat serangan WBC menurut ana

Gambar

Tabel 2 Perbandingan Luas Sawah dan Luas Terserang WBC Tahun 2004-2008 di Kabupaten Cilacap
Gambar 26 Hubungan terbaik luas serangan
Gambar 27 Hubungan terbaik luas serangan
Gambar 32 Hubungan terbaik luas serangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh dari variabel bebas asimetri informasi (AdjSpread) terhadap variabel terikat manajemen laba (discretionary accruals)

Rasa gangguan akan kebisingan yang timbulkan dari suara peralatan kegiatan pertambangan akan menghasilkan persepsi ketergangguan yang berbeda beda setiap individu,

meneruskan dokumen hasil pengawasan Bawaslu terhadap Verifikasi Administrasi Partai Politik calon Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c kepada

[Invoice] [Data Konfirmasi] [Laporan Pendapatan Service Keseluruhan] [Laporan Transaksi Service] [Laporan Penjualan Sparepart] [Data Sparepart] [Biaya Penjualan Sparepart]

pengambilan sampel dilakukan hanya satu periode, yaitu pada waktu surut. Lokasi penelitian dibagi atas 3 stasiun pengamatan, stasiun I dengan ciri-ciri mangrove yang tumbuh

Sedangkan menurut Al Bahra dalam bukunya Analisis dan Desain Sistem Informasi, adalah sebagai berikut: “Diagram Konteks adalah diagram yang terdiri dari suatu proses

Bahwa dengan banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh Termohon termasuk Pasangan Calon Nomor Urut 2, yang bersifat terstruktur, sistemik, dan masif bahkan melibatkan dan

Ketua Panitia Geografi bersama guru mata pelajaran perlu bekerjasama dan berusaha untuk mengenal pasti, merancang dan menyusun atur setiap fasa pelaksanaan PBP bagi