• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Keragaman Gen β-laktoglobulin pada Sapi Perah Friesian Holstein di KPSBU Lembang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Keragaman Gen β-laktoglobulin pada Sapi Perah Friesian Holstein di KPSBU Lembang"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

DI KPSBU LEMBANG

SKRIPSI

RATNA YUNITA HANDAYANI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

Gen β-laktoglobulin pada Sapi Perah Friesian Holstein di KPSBU Lembang.

Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. Pembimbing Anggota : Ir. Anneke Anggraeni, MSi., Ph.D.

Kualitas susu dipengaruhi oleh komposisi protein yang dikandungnya, meliputi kasein dan whey. Peningkatan kualitas susu dapat dilakukan dengan upaya melakukan seleksi pada level DNA. Gen β-laktoglobulin merupakan salah satu gen utama pengontrol whey sehingga gen ini mampu menjadi faktor yang mempengaruhi kualitas susu. Keragaman yang terjadi pada gen β-laktoglobulin diharapkan mampu memberikan informasi terhadap kadar protein serta kualitas susu.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen β -laktoglobulin sapi Friesian Holstein (FH) di Desa Cilumber dan Pasir Kemis, KPSBU, Lembang. Sampel darah yang digunakan berasal dari 95 ekor sapi FH betina di Pasir Kemis dan 98 ekor sapi FH betina di Cilumber. Amplifikasi gen β -laktoglobulin menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR), sedangkan penentuan genotipe dengan metode Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) menggunakan enzim restriksi HaeIII yang mengenali situs pemotong GG|CC. Analisis data menerapkan frekuensi genotipe, frekuensi alel, keseimbangan Hardy-Weinberg, dan heterozigositas.

Amplifikasi gen β-laktoglobulin terjadi pada ekson 4 dan menghasilkan fragmen sepanjang 247 pb. Tipe alel yang terbentuk yakni alel A dan B. Gen β -laktoglobulin pada sapi FH di kedua lokasi bersifat polimorfik dengan frekuensi alel B pada gen β-laktoglobulin pada sapi perah dari kedua lokasi memiliki nilai yang lebih tinggi (0,59) daripada frekuensi alel A (0,41). Terdapat tiga macam genotipe yang terbentuk, yaitu AA (99 dan 148 pb), AB (74, 99 dan 148 pb), dan BB (74 dan 148 pb). Genotipe AB memiliki nilai frekuensi yang paling tinggi (0,70) bila dibandingkan dengan frekuensi genotipe yang lainnya, yakni genotipe AA (0,06) dan BB (0,24). Berdasarkan data dari kedua lokasi, diketahui bahwa frekuensi alel A di Cilumber (0,46) lebih tinggi daripada frekuensi alel A di Desa Pasir Kemis (0,36), sedangkan frekuensi alel B tertinggi terdapat pada sapi FH di Desa Pasir Kemis. Analisis Chi Kuadrat menunjukkan bahwa sapi perah FH pada kedua pengamatan berada dalam ketidakseimbangan Hardy-Weinberg (χ2 > χ20,01). Tingkat heterozigositas pada kedua lokasi tergolong tinggi (Ho > He) dimana sapi FH di Cilumber (0,80) memiliki nilai heterozigositas lebih tinggi dibandingkan sapi FH dari Pasir Kemis (0,60). Keragaman gen β-laktoglobulin dapat dijadikan informasi dasar dalam program seleksi kualitas susu pada sapi FH.

(3)

Dairy Cattle at KPSBU Lembang

Handayani, R.Y., C. Sumantri, and A. Anggraeni

Gene β-lactoglobulin is a gene which can effect to milk quality. This gene is a major components of whey, which whey is one part of milk protein. The aim of this research was to identify the β-lactoglobulin polymorphism in Holstein Friesian (HF) cattle that were kept by small dairy farms in Cilumber and Pasir Kemis villages, in KPSBU Lembang. Blood samples of HF cows were collected successively 95 hds in Pasir Kemis and 98 hds in Cilumber. The β-lactoglobulin gene was amplified by PCR-RFLP method by using HaeIII restriction enzymes with restricting site at GG|CC. β-lactoglobulin gene located at exon 4 and had fragment length among 247 bp. β-lactoglobulin gene in this study had polymorphism with three genotypes that were identified namely AA (99 and 148 bp), AB (74, 99 and 148 bp), and BB (74 and 148 bp). Two alleles were produced from these genotypes, namely A and B alleles. At both locations of Cilumber and Pasir Kemis, AB genotype (0,70) had highest frequency than AA (0,06) and AB (0,24) genotype. The frequency of B allele (0,59) higher than A allele (0,41). Chi Square analysis showed that HF observed were not in Hardy-Weinberg equilibrium (χhit2 > χtabel20,01). The level of heterozygosity was relatively high (Ho > He), HF in Cilumber had a higher heterozygosity value than that of HF in Pasir Kemis. The β-lactoglobulin gene polymorphism could be used as a basic information milk protein quality selection program.

(4)

DI KPSBU LEMBANG

RATNA YUNITA HANDAYANI D14063324

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

Nama : Ratna Yunita Handayani NIM : D14063324

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) (Ir. Anneke Anggraeni, MSi., Ph.D.) NIP. 19591212 198603 1 004 NIP. 19630924 199803 2 001

Mengetahui, Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP. 19591212 198603 1 004

(6)

Penulis adalah anak keempat dari 4 bersaudara dari pasangan Bapak Sunarno

(almarhum) dan Ibu Sumarmi Marlinasih.

Pendidikan dasar diselesaikan tahun 2000 di SD Negeri Bejen 02

Karanganyar. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003

di SLTP Negeri 1 Karanganyar dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan

pada tahun 2006 di SMA Negeri 1 Karanganyar, Surakarta.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Produksi dan

Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur

SPMB pada tahun 2006. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di berbagai

kepanitiaan, beberapa organisasi penunjang, serta aktif dalam Program Kreativitas

Mahasiswa (PKM). Penulis aktif dalam kiprahnya sebagai pengurus di Lembaga

Dakwah Fakultas FAMM Al An’am Fakultas Peternakan IPB periode 2008/2009,

pengurus Asrama Putri Darmaga (APD) tahun 2008-2010 serta pengurus inti

(Sekretaris Umum serta Badan Pengawas) Paguyuban Beasiswa Karya Salemba

Empat (KSE) IPB pada tahun 2008-2011. Penulis pada tahun 2010/2011 ini juga

menjadi salah satu kandidat dari mahasiswa IPB penerima Beasiswa KSE yang

masuk dalam program Beasiswa KSE UNGGUL (Berprestasi) 2010/2011.

Penulis aktif di program kewirausahaan, yakni menjadi anggota Entrepreneur

Development Unit (EDU) BEM KM IPB pada angkatan pertama tahun 2009/2010,

peserta Building Entrepreneur Student (BEST) Fakultas Peternakan IPB angkatan ke

dua tahun 2009/2010, serta menjadi anggota binaan dari program wirausaha Mien R.

Uno Foundation (MRUF) tahun 2009/2010. Penulis menduduki peringkat ke-5

delegasi calon mahasiswa berprestasi Departemen IPTP tahun 2007/2008, menjadi

salah satu kontingen IPB dalam event nasional yakni menjadi peserta terpilih dalam

program intensive-Student Technopreneurship Program (i-STEP) 2009 yang

dilaksanakan selama tiga minggu di kampus IPB atas penyelenggaraan dari pihak

RAMP IPB yang bekerja sama dengan Lemelson Foundation serta penulis

berkesempatan mendapat penghargaan dengan menempati The 1st Winner in the

Country Undergraduate Competition for 2011 Alltech’s Young Scientist Award for

(7)

Pertanian Bogor yakni sebagai “Mahasiswa Berprestasi di bidang ekstrakurikuler”

periode Mei-Agustus tahun 2011 pada saat pelaksanaan Upacara 17 Agustus tahun

(8)

Rahmat dan Karunia-Nya, penelitian dan penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

Skripsi yang berjudul “Identifikasi Keragaman Gen β-laktoglobulin pada Sapi Friesian Holstein di KPSBU Lembang” merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Produktivitas ternak berpotensi untuk terus ditingkatkan. Salah satunya, yaitu

terkait dengan produksi susu pada sapi Friesian Holstein (FH). Peningkatan produksi

susu dapat ditingkatkan nilainya dengan melalui perbaikan kadar dan komposisi

protein susu yang dikandungnya. Kadar dan komposisi protein penyusun susu akan

ditentukan oleh keragaman genetik dari gen-gen pengontrol protein susu dan mampu

menjadi dasar perhitungan ekonomi dari sebuah peternakan sapi perah. Gen β

-laktoglobulin merupakan salah satu gen yang berhubungan dengan kualitas dan kadar

protein susu, penyusun utama whey pada susu sehingga gen ini erat kaitannya

terhadap kualitas susu yang dihasilkan sapi perah.

Penelitian ini bertujuan memberikan informasi mengenai keragaman gen β

-laktoglobulin pada sapi FH yang dipelihara oleh sejumlah peternakan rakyat.

Informasi mengenai keragaman β-laktoglobulin diharapkan dapat menjadi dasar

informasi untuk melakukan seleksi berdasarkan penciri DNA sehingga dapat

memberikan harapan pada perbaikan genetik bibit pada kadar protein susu sapi

Friesian Holstein (FH) Indonesia untuk meningkatkan kualitas produksi susu sapi

FH di Indonesia. Semoga skripsi ini dapat pula memberikan manfaat yang banyak

bagi dunia peternakan sapi perah khususnya bagi mahasiswa dan pelaku usaha sapi

perah di Indonesia. Amin

Bogor, 06 Oktober 2011

(9)

Halaman

RINGKASAN .………... i

ABSTRACT ………. ii

LEMBAR PERNYATAAN .………. iii

LEMBAR PENGESAHAN ………. iv

(10)

Frekuensi Alel dan Genotipe ………..…………. 17

Keseimbangan Hardy-Weinberg (HW) ……….………….. 18

Heterozigositas ………..…... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN ………...…………. 20

Amplifikasi Gen ß-laktoglobulin ………. 20

Keragaman Gen ß-laktoglobulin ……….. 21

Frekuensi Gen ß-laktoglobulin …………….. 23

Keseimbangan Genotipe Gen β-laktoglobulin …………... 25

Heterozigositas Gen β-laktoglobulin ………... 26

Assosiasi antara Gen ß-laktoglobulin terhadap Susu …………... 27

KESIMPULAN DAN SARAN ………... 28

Kesimpulan ………... 28

Saran ………... 28

DAFTAR PUSTAKA ………... 29

UCAPAN TERIMA KASIH ………... 35

(11)

1. Variasi Jenis, Fraksi dan Jumlah Protein Susu pada Sapi Perah... 6

2. Keragaman Gen β-laktoglobulin dari Beberapa Penelitian

Terdahulu Terhadap Ternak Sapi dari Berbagai Bangsa ………. 8

3. Sekuen Gen β-laktoglobulin …………………. 14

4. Nilai Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel gen β

-laktoglobulin pada Sapi Friesian Holstein ………... 24

5. Distribusi Genotipe Gen β-laktoglobulin pada sapi FH ……….... 26

6. Nilai Heterozigositas Gen β-laktoglobulin|HaeIII pada Sapi

(12)

1. Sapi Friesian Holstein ……… 4

2. Rekonstruksi Struktur Gen β-laktoglobulin Berdasarkan

Sekuen Gen β-laktoglobulin di GenBank ... 9

3. Pita Amplifikasi Fragmen Gen β-laktoglobulin dengan

Metode PCR pada Sapi FH ………... 20

4. Pemotongan Gen ß-laktoglobulin dengan Menggunakan

Enzim HaeIIIpada Ekson 4.………...………... 21

5. Posisi Penempelan Primer pada Sekuen Gen β-laktoglobulin

dengan Nomor Akses GenBank X14710…………..………... 21

6. Pola Pita ß-laktoglobulin Sapi FH dalam Gel Agarose 2,5%

(13)

Nomor Halaman

1. Sekuen Gen β-laktoglobulin (diakses dari GenBank No

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Permintaan susu di Indonesia dalam tahun-tahun terakhir ini terus mengalami

peningkatan. Pemerintah telah menerapkan kebijakan impor susu dan ternak sapi

perah untuk memenuhi tingginya permintaan susu tersebut. Hal ini sesuai dengan

pernyataan dari Direktorat Jenderal Peternakan (2006) yang menyatakan bahwasanya

kebutuhan akan protein hewani berasal dari susu di Indonesia diperkirakan sebanyak

896.791 ton, tetapi baru terpenuhi dari dalam negeri sebanyak 577.628 ton, sehingga

sisanya sekitar 60% harus diimpor berupa bahan baku susu dari luar negeri. Namun,

pada sisi lain, masyarakat Indonesia masih memiliki potensi sapi perah yang cukup

baik dalam menghasilkan susu. Sapi perah sudah menjadi ternak yang cukup lama

dibudidayakan peternakan di Indonesia. Salah satu jenis sapi perah yang banyak

dikembangkan di Indonesia ialah sapi perah Friesian Holstein (FH). Berdasarkan

data statistik peternakan, jumlah populasi sapi perah (FH) nasional pada tahun 2006

mencapai sekitar 373.970 ekor. Jumlah sapi perah di Jawa tersebar di Propinsi Jatim,

Jateng dan Jabar berurutan sekitar 133.719, 123.132 dan 107.895 ekor atau

masing-masing sekitar 35,76, 32,93 dan 28,85% dari populasi nasional (Direktorat Jenderal

Peternakan, 2006). Sapi FH merupakan ternak sapi dengan penghasil susu yang

cukup tinggi bila dibandingkan dengan ternak perah lainnya.

Pengembangan sapi perah secara umum harus disertai dengan perbaikan

manajemen pemeliharaan dan perbaikan genetik. Performan sapi perah ditentukan

oleh faktor genetik yang dimilikinya dan lingkungan tempat ternak tersebut hidup.

Genetik adalah segala hal yang berhubungan dengan pewarisan sifat dari tetua

kepada turunannya. Perbaikan genetik pada sapi perah dapat dilakukan melalui

kegiatan seleksi, baik pada sifat produksi maupun kualitas susunya yang berpengaruh

terhadap sifat kualitas proteinnya. Melalui kemajuan dalam bidang bioteknologi

molekuler, dapat dilakukan upaya seleksi pada tingkat DNA yang memerlukan

identifikasi keragaman DNA dari gen yang mengontrol sifat-sifat yang ingin

diperbaiki. Teknik Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length

Polymorphism (PCR-RFLP) merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan untuk

(15)

Susu memiliki kandungan protein yang terdiri dari kasein dan whey. Salah

satu gen yang diduga memiliki pengaruh besar terhadap persentase protein dari

produksi susu adalah gen β-laktoglobulin yang terdapat pada protein whey. Gen β

-laktoglobulin memiliki struktur yang sama dengan ikatan retinol binding dan

lipocalin. Oleh karena itu, gen β-laktoglobulin memiliki fungsi dalam transport

(pengangkutan) asam lemak dan vitamin A. Keragaman alel dari gen-gen kandidat

tersebut menarik karena kemungkinan berpengaruh langsung atau tidak langsung

pada kualitas susu dan diharapkan dapat menjadi informasi dalam

mempertimbangkan pelaksanaan program seleksi terhadap kualitas susu khususnya

protein susu.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman genetik gen β

-laktoglobulin menggunakan metode Polymerase Chain Reaction-Restriction

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Perah Friesian Holstein

Secara garis besar, bangsa-bangsa sapi (Bos) yang terdapat di dunia ada dua,

yaitu (1) kelompok yang berasal dari sapi Zebu (Bos indicus) atau jenis sapi yang

berpunuk, berasal dan tersebar di daerah tropis serta (2) kelompok dari Bos

primigenius yang tersebar di daerah sub tropis atau lebih dikenal dengan Bos Taurus

(Perkins, 1969). Jenis sapi perah Bos taurus yang unggul dan paling banyak

dipelihara adalah sapi Shorthorn (dari Inggris), Friesian Holstein (dari Belanda),

Jersey (dari selat Channel antara Inggris dan Perancis), Brown Swiss (dari

Switzerland), Red Danish (dari Denmark) dan Droughtmaster (dari Australia).

Sapi perah Friesian Holstein (FH) atau yang dikenal dengan nama Fries

Holland di Negara Belanda ini berasal dari nenek moyang sapi liar Bos (Taurus)

Typicus Primigenius yang tidak berpunuk. Sapi FH ditemukan di Propinsi Belanda

Utara dan Friesland Barat, Belanda (Schmidt & Vleck, 1974). Sapi ini di Amerika

Serikat disebut dengan Holstein Friesian atau disingkat Holstein dan di Eropa

disebut Friesian, sedangkan di Indonesia terkenal dengan nama Friesian Holstein

(Sudono, 2003).

Sapi FH memiliki ciri-ciri fisik berupa warna kulit belang hitam putih,

terdapat warna putih berbentuk segitiga pada dahinya, kaki bagian bawah dan bulu

ekornya berwarna putih, tanduknya pendek dan menjurus ke depan (Gambar 1).

Sifat-sifat pada sapi FH, yakni tenang dan jinak, tidak tahan panas, lebih mudah

menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan, serta lambat kedewasaannya

(Sudono, 2003). Rataan produksi susu sapi FH pada tahun 2008 di BPPT-SP Cikole

cukup tinggi, seperti ditunjukkan oleh capaian produksi susu harian yang mencapai

sebesar 14,2 kg, produksi susu tahunan sebesar 4058 kg dan laktasi lengkap sebesar

4558 kg (Anggraeni et al., 2008).

Sapi FH merupakan bangsa sapi perah berproduksi susu tinggi bila

dibandingkan dengan bangsa sapi perah lain, dengan kadar lemak susu rendah.

Holstein memiliki tanda yang khusus dan terkenal dengan produksi susunya. Sapi FH

kecil, memiliki tanda hitam dan putih yang terdapat pada tubuhnya baik didominasi

oleh warna hitam hingga didominasi oleh warna putih, atau setengah dan setengah,

(17)

40–45 kg atau lebih pada saat lahir. Sapi FH dewasa biasanya memiliki berat badan

580 kg, dan tinggi bahu pada saat berdiri adalah 147 cm (58 inchi). Sapi FH memiliki

masa kelamin yang lambat tidak seperti sapi-sapi bangsa Jersey dan Guernsey yang

termasuk masak dini (Sudono, 2003).

Sumber : Hilalnuha (2010)

Gambar 1.Sapi Friesian Holstein

Marker Assisted Selection (MAS)

Seleksi merupakan suatu proses dalam memilih individu dari suatu populasi

untuk dijadikan tetua bagi generasi berikutnya (Sumantri et al., 2007). Salah satu

metode seleksi adalah menggunakan marka penciri genetik. Penciri genetik

merupakan bagian dari gen yang menjadi patokan untuk mempelajari gen tersebut.

Lawrance dan Fowler (2002) menyatakan bahwa sifat kuantitatif dapat dipengaruhi

oleh sejumlah gen (polygenes) yang tempat atau posisi lokusnya dapat diketahui

melalui analisis pendekatan gen kandidat. Banyak gen yang teridentifikasi yang

memiliki potensi sebagai penciri genetik atau Marker Assisted Selection (MAS)

seperti gen-gen pengontrol protein susu yang dapat bermanfaat dalam mempercepat

kegiatan seleksi dari sifat produksi dan bernilai ekonomis (Sumantri et al., 2007).

Seleksi keunggulan genetik yang dilakukan dengan melalui identifikasi gen yang

berasosiasi kuat dengan sifat produksi serta kualitas susu akan sangat mendukung

(18)

Marker Assisted Selection (MAS) ini dapat diartikan sebagai penggunaan

informasi dari penanda genetik untuk membantu dalam pembuatan keputusan

seleksi. Hal ini biasanya akan dilakukan dalam sebuah kejadian yang melibatkan gen

utama yang sudah diketahui maupun belum (Kinghorn & Julius, 2000). MAS lebih

mudah untuk diterapkan ketika mutasi kausal telah diketahui. MAS dikenal sangat

bermanfaat ketika pengamatan terhadap sifat sulit atau mahal untuk diukur (sifat

yang tidak nampak, sex-limited atau terjadi gangguan dalam pengekspresian, hal-hal

invasif seperti penyakit atau rekaman setelah penyembelihan) ketika masing-masing

individu memberikan informasi yang sedikit dalam memprediksi nilai pemuliaan

(sifat dengan heritabilitas rendah, determinasi genetik atau penetrasi yang rendah

resesif) atau lebih umumnya, ketika pendekatan poligenik telah membatasi

efektivitas atau terlalu mahalnya biaya. Oleh karena itu, diyakini bahwa MAS sangat

menguntungkan bagi peternakan sapi perah yang berkonsentrasi pada kondisi yang

cukup buruk (pemuliaan konvensional) dan karena itu kondisi yang mendukung

untuk dilakukan MAS yakni pada sebagian besar sifat yang bersifat sex-limited,

memiliki interval generasi yang panjang, pengujian progeni panjang dan mahal,

pejantan sering diseleksi sebelum masa laktasi pertama mereka sebagai informasi

silsilah saja. Akhirnya, sifat-sifat fungsional seperti ketahanan terhadap penyakit dan

kesuburan, dengan heritabilitas rendah, serta memiliki pengaruh pada peningkatan

berat badan untuk tujuan reproduksi (Boichard et al., 2006).

Protein Susu

Komponen penyusun susu yang menjadi salah satu faktor penentu kualitas

susu adalah protein. Protein susu memiliki dua komponen utama yakni kasein dan

whey. Komponen terbanyak adalah kasein dengan persentase 80%, sedangkan whey

sebesar 20% (Roginskin, 2003). Whey merupakan fraksi dari protein yang terlarut

pada pH 4,6. Whey juga merupakan hasil sampingan dari produk keju. Whey adalah

salah satu komponen yang terpisah dari susu setelah pengentalan ketika rennet atau

sebuah substansi asam edible ditambahkan. Total protein whey secara berurutan β

-laktoglobulin, α-laktalbumin dan serum albumin sebanyak 50%, 20% dan 10%. β

-laktoglobulin, α-laktalbumin, Immunoglobuin (Ig), laktoferin dan Bovine Serum

(19)

jumlah β-laktoglobulin sebesar 7-12% dari total protein pada susu (Meza et al.,

2007). β-laktoglobulin merupakan komponen utama whey dalam protein susu.

Menurut Harper dan Hall (1981) variasi protein berdasarkan jumlahnya yakni

seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Variasi Jenis, Fraksi dan Jumlah Protein Susu pada Sapi Perah

Jenis Protein Jenis Fraksi Jumlah Protein Susu (%)

Berat Molekul (Dalton)

Kasein Kasein 85 -

αs1-kasein Kasein 53–70 121.000

αs2-kasein Kasein 80 23.000

k-Kasein Kasein 17 19.000

β–Kasein Kasein 23–35 24.000

-kasein Kasein 3 21.000

Whey 15 -

β-laktoglobulin Laktoglobulin 7–12 36.000

α-laktalbumin Laktalbumin 2–5 15.000

Serum albumin Laktalbumin 0,7–1,3 69.000

Imunoglobulin Laktalbumin 1,5–3,5 150.000

IgG1 Laktalbumin 0,8–1,7 150.000

IgG2 Laktalbumin 0,6–1,4 180.000

Sumber : Harper & Hall (1981)

Harper & Hall (1981) menyatakan bahwa susu tersusun oleh protein kasein

dan whey. Komposisi keduanya yakni 85% dan 15%. Kasein terdiri dari fraksi

protein penyusun seperti αs1-kasein, αs2-kasein, k-kasein, β-kasein dan -kasein.

Sedangkan whey disusun oleh fraksi protein seperti β-laktoglobulin, α-laktalbumin,

serum albumin, imunoglobulin, IgG1 dan IgG2. Kandungan fraksi penyusun protein

whey tertinggi yakni protein β-laktoglobulin yakni menyusun β-laktoglobulin dengan

jumlah 7-12% dari total protein whey yang terdapat dalam susu. Fraksi protein selain

β-laktoglobulin hanya menyusun sebagian kecil dari protein whey. β-laktoglobulin juga memiliki berat molekul yang relatif lebih rendah apabila dibandingkan dengan

(20)

pada protein α-laktalbumin serta jauh lebih kecil dari pada serum albumin,

imunoglobulin, IgG1 dan IgG2.

Keragaman Gen β-laktoglobulin

Gen merupakan unit terkecil pewarisan sifat yang terdapat pada kromosom

yang tersusun oleh suatu substansi yang disebut dengan deoxyribonucleic acid

(DNA). DNA merupakan molekul yang terdapat dalam inti sel. Susbtansi DNA

terdiri dari dua untaian panjang terpilin yang membentuk double helix (seperti tangga

terpilin). Setiap dua untaian DNA disusun oleh ribuan unit nukleotida. Setiap

nukleotida disusun oleh basa nitrogen, gula deoksiribosa (deoxyribose) dan asam

fosfat. Antar nukleotida dihubungkan oleh ikatan kimia antara gula dan fosfat. Kedua

untaian DNA dihubungkan oleh ikatan lemah hidrogen. Ada 4 macam basa nitrogen

yang ditemukan pada DNA, yaitu adenine, timin, sitosin, dan guanin. Sitosin selalu

berpasangan dengan guanine dan adenin selalu berpasangan dengan timin. Struktur

tersebut memungkinkan terjadinya pewarisan sifat. DNA dapat diisolasi dari

berbagai jaringan hidup yang memiliki inti sel. DNA dapat diekstrak dari darah

karena dalam darah terdapat jaringan sel darah putih serta sel darah merah yang

masih muda (Williams, 2005).

β-laktoglobulin dapat stabil pada asam yang tinggi, tahan pada pH normal susu sapi, berat molekul 36.000 Dalton, serta merupakan polipeptida dengan ikatan

tunggal 18kDa yang terdiri dari 162 residu asam amino. Variasi alel A pada β

-laktoglobulin susu sapi berbeda dari variasi alel B dikarenakan oleh karena dua asam

amino saja, yaitu aspartat-64 dan valine-118. Asam-asam amino ini disubtitusi

berturut-turut oleh glysin dan alanin dalam alel B. Semua alel terdiri lima residu

systein, keempatnya diliputi dalam pembentukan jembatan disulfida ikatan dalam

(Rachagani et al., 2006).

β-laktoglobulin termasuk kelompok protein lipokolin yang dapat mengikat molekul-molekul yang bersifat hidrofobik dan berperan penting dalam metabolisme

lemak. β-laktoglobulin dalam susu mampu meningkatkan presentase kandungan

protein susu (Kumar et al., 2006).

Hasil–hasil dari penelitian terhadap gen β-laktoglobulin yang telah dilakukan

(21)

ditemukan pada ternak ruminansia. Tabel 2 berikut adalah tabel yang menunjukkan

keragaman gen β-laktoglobulin pada ternak sapi dari berbagai bangsa.

Tabel 2. Keragaman Gen β-laktoglobulin dari Beberapa Penelitian Terdahulu Terhadap Ternak Sapi dari Berbagai Bangsa

Bangsa Sapi Frekuensi Alel Frekuensi Genotipe Sumber

A B AA AB BB

Holstein 0,400 0,600 0,100 0,600 0,300 Nury (2010)

0,529 0,471 0,257 0,544 0,198 Heidari et al. (2009) 0,231 0,769 0,037 0,387 0,576 Lin & Mcallister (1986)

0,387 0,613 - - - Ng-Kwai-Hang et al. (1984)

Brown Swiss 0,440 0,560 0,172 0,289 0,537 Celik, (2003)

Sahiwal 0,170 0,830 0,031 0,276 0,693 Rachagani et al. (2006)

Tharparkar 0,390 0,610 0,023 0,733 0,244 Rachagani et al. (2006)

Guernsey 0,210 0,790 - - - Eenennaam & Medrano (1991)

Milking

Shorthorn

0,310 0,690 - - - Eenennaam & Medrano (1991)

Red Shindi 0,250 0,750 - - - Meignanalakshmi et al. (2001)

Ayrshire 0,158 0,842 0,019 0,279 0,702 Lin & Mcallister (1986)

Gen β-lactoglobulin pada penelitian sebelumnya banyak dijumpai genotipe

AB dengan frekuensi yang lebih tinggi dari genotipe AA dan BB. Hal ini

ditunjukkan pada penelitian Rachagani et al. (2006) yang mendapatkan hasil

frekuensi genotipe AB sebesar 0,733 sesuai dengan penelitian Heidari et al. (2009)

dengan frekuensi genotipe AB sebesar 0,544 dan penelitian Nury (2010) yang

memiliki nilai frekuensi genotipe AB sebesar 0,60. Hasil yang lain menunjukkan

bahwa baik genotipe BB memiliki nilai frekuensi yang lebih tinggi dari genotype AA

dan AB pada beberapa jenis bangsa sapi. Namun, sangat jarang ditemukan informasi

yang menunjukkan bahwa genotipe AA memiliki nilai frekuensi yang lebih tinggi

dari pada genotipe AB maupun BB. Hasil dari beberapa penelitian terdahulu

(22)

tinggi dari pada frekuensi pada alel A. Hal ini dikuatkan dengan hasil penelitian dari

Ng-Kwai-Hang (1984), Lin & Mcallister (1986), Eenannaam & Medrano (1991),

Sabour et al. (1993), Lunden et al. (1997), Meignanalakshmi et al. (2001), Celik

(2003), Rachagani et al. (2006), dan Nury (2010) yang dilakukan pada jenis sapi

perah dari berbagai bangsa.

Struktur Gen β-laktoglobulin

Gen β-laktoglobulin pada ternak sapi terletak pada kromosom 11 (Daniela et

al., 2008). Rekonstruksi struktur gen β-laktoglobulin dapat digambarkan berdasarkan

sekuens gen β-laktoglobulin di GenBank (Nomor akses : X14710) (Gambar 2) :

Keterangan : Ekson : Intron =

Sekuen awal 2170 (2170 pb)

Ekson 1 2171–2305 ( 135 pb) Intron 1 2306–2974 ( 669 pb) Ekson 2 2975–3114 ( 140 pb) Intron 2 3115–3975 ( 861 pb) Ekson 3 3976–4049 ( 74 pb) Intron 3 4050–5166 (1117 pb) Ekson 4 5167–5277 ( 111 pb) Intron 4 5278–5952 ( 675 pb) Ekson 5 5953–6057 ( 105 pb) Intron 5 6058–6278 ( 221 pb) Ekson 6 6279–6321 ( 43 pb) Intron 6 6322–6710 ( 389 pb) Ekson 7 6711–6893 ( 183 pb)

Sumber : Alexander et al. (1989)

Gambar 2. Rekonstruksi Struktur Gen β-laktoglobulin Berdasarkan Sekuen Gen β-laktoglobulin di GenBank

Alexander et al. (1989) melaporkan bahwa sumber organisme sampel yang

digunakan, yakni sapi jenis Bos Taurus. Struktur gen β-laktoglobulin ditemukan

terdiri dari 6 intron dan 7 ekson dengan panjang gen β-laktoglobulin pada sapi adalah

7877 pb (pasang basa). Menurut Nei & Kumar (2000), intron adalah segmen pada

bagian yang tidak dapat menyandikan basa yang dihubungkan dalam proses produksi

sebuah mRNA alami. Ekson adalah segmen pada struktur protein yang mampu

Ekson 1 Ekson 2 Ekson 3 Ekson 4 Ekson 5 Ekson 6 Ekson 7

Intron 1 Intron 2 Intron 3 Intron 4 Intron 5 Intron 6

Sekuen awal

(23)

menyandikan jenis protein. Jumlah dari ekson dalam sebuah gen bervariasi dari gen

yang satu ke gen yang lainnya. Gen prokariot tidak memiliki intron, di samping itu

beberapa gen eukariot (sebagai contohnya gen penyakit otot menyusut) memiliki

banyak hingga 78 intron (Roberts et al., 1992). Fungsi utama dari intron tidak

diketahui dengan jelas. Biasanya, sebuah intron diawali dengan dinukleotida GT dan

diakhiri dengan AG. Dinuklotida ini menunjukkan standar untuk penghubungan

intron yang benar.

Ruas fragmen pada hasil penelitian oleh Alexander et al. (1989)

menggunakan primer gen β-laktoglobulin dengan forward

5’TGTGCTGGACACCGACTACAAAAA3’ dan β-laktoglobulin reverse

5’GCTCCCGGTATATGACCACCCTCT3’. Alel yang dihasilkan ada dua jenis

yaitu alel A (148 bp, 99 bp, 74 bp) dan alel B (99 bp, 74 bp).

Metode PCR-RFLP

Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu teknik untuk

menggandakan jumlah molekul DNA secara in vitro. Proses ini berjalan dengan

bantuan enzim polymerase dan primer. Primer merupakan oligonukleoteida spesifik

yang menempel pada bagian sampel DNA yang akan diperbanyak (Williams, 2005).

Enzim polymerase merupakan enzim yang dapat mencetak urutan DNA baru. Hasil

dari proses PCR dapat langsung divisualilsasikan dengan elektroforesis atau dapat

digunakan untuk analisis lebih lanjut (Williams, 2005).

Menurut Muladno (2002), Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan

suatu reaksi in vitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu

dengan mensintesa molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA

target tersebut dengan bantuan enzim polymerase dan oligonukleotida pendek

sebagai primer dalam suatu thermocyler. Secara umum, reaksi yang terjadi dalam

mesin PCR dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap denaturasi (pemisahan untai

ganda DNA), tahap annealing (penempatan primer) dan tahap ekstensi

(pemanjangan primer).

Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) adalah profil DNA

berupa fragmen-fragmen DNA hasil pemotongan enzim endonuklease untuk

(24)

situs pemotongan empat dan enam basa umum dipakai untuk analisis keragaman

genetik menggunakan pendekatan analisis RFLP. Yahyoui et al. (2001) menyatakan

bahwa PCR RFLP merupakan suatu metode yang sederhana dan biasa digunakan

untuk mencari keragaman genotipe.

Meskipun derajat keragaman genetik yang tinggi dalam spesies adalah nyata

dari variasi pada karakter morfologi, evaluasi kuantitatif dari variasi genetik dapat

diidentifikasi hanya setelah teknik elektroforesis protein ditemukan dari hasil

penelitian genetika populasi di pertengahan tahun 1960 (Harris, 1966; Lewontin &

Hubby, 1966). Teknik ini mampu mendeteksi perubahan isi dalam protein. Masih

bagian dari aplikasi dari teknik ini, menyatakan bahwa kebanyakan dari populasi

alami terdiri atas sejumlah besar variasi genetik dan teknik ini memfasilitasi

penelitian pada genetik populasi yang sangat besar (Lewontin, 1974; Nei, 1975)

Analisis RFLP biasa digunakan untuk melakukan deteksi terhadap adanya

keragaman pada gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis, seperti produksi dan

kualitas susu (Sumantri et al., 2007). Selain PCR-RFLP, PCR-SSCP (Polymerase

Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism) juga dapat digunakan

untuk analisis keragaman DNA. Metode PCR-SSCP merupakan metode yang handal

dalam melakukan pendeteksian terhadap adanya mutasi secara cepat (Hayashi,

1991). Metode ini juga merupakan metode elektroforesis yang popular untuk

mengidentifikasi mutasi sekuens karena mudah, murah, dan memiliki sensitifitas

tinggi walau hanya satu nukleotida saja (Nataraj, 1999). SSCP dapat mendeteksi

keragaman dan mutasi titik pada berbagai posisi pada fragment DNA meskipun

mutasi yang terjadi hanya pada satu basa (Orita et al., 1998). Asumsi yang mendasari

metode analisis SSCP adalah bahwa perubahan yang terjadi pada nukleotdida

meskipun terjadi hanya pada satu basa akan mempengaruhi bentuk (conformation)

dari fragmen DNA pada kondisi untai tunggal (Bastos et al., 2001). Perbedaan

konformasi molekul akan menyebabkan perbedaan migrasinya dalam gel

poliakrilamid pada saat elektroforesis (Montaldo et al., 1998). Sensitifitas dari

analisis SSCP merupakan hal yang cukup sulit dalam teknik karena sangat peka

dalam kondisi elektroforesis. Sensitifitas dipengaruhi beberapa faktor termasuk

didalamnya tipe subtitusi basa, panjang fragmen, kandungan G dan C dalam fragmen

(25)

Metode PCR-RFLP bisa mendeteksi mutasi jika situs restriksi mengalami

perubahan susunan basa. Apabila mutasi terjadi di luar situs restriksi, maka mutasi

tersebut tidak dapat dideteksi. Metode PCR-SSCP dapat mendeteksi perubahan pada

satu basa tetapi tidak dapat diketahui basa mana yang berubah. DNA sekuensing

dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan tersebut. Metode yang biasa digunakan

dalam sekuensing DNA adalah metode Sanger (Muladno, 2002). Metode sekuens ini

dapat digunakan untuk membandingkan sekuens dari gen yang sama pada sama pada

spesies yang berbeda sehingga dimungkinkan dibuatnya diagram filogenetik.

Elektroforesis

Elektroforesis adalah suatu cara pemisahan campuran dari beberapa senyawa

dengan melakukan suspense ke dalam air kemudian diberikan aliran listrik. Gel yang

ditempatkan ke dalam sumur elektroforesis yang mengandung larutan buffer dialiri

listrik. Molekul DNA yang bermuatan negatif pada PH netral akan bergerak ke arah

positif. DNA bergerak melalui gel pada kecepatan yang berbeda tergantung

ukurannya (Winarno dan Agustinah, 2007).

Hasil analisis DNA dapat diketahui melalui proses elektroforesis. Komponen

bahan kimia yang digunakan dalam proses tersebut yang utama adalah gel. Gel yang

biasa digunakan yaitu gel agarose dan gel poliakrilamid. Kecepatan migrasi DNA

pada proses elektroforesis ditentukan oleh beberapa faktor yaitu ukuran molekul

DNA, konsentrasi agarose, konformasi DNA, voltase yang digunakan, jenis

Ethidium Bromide (EtBr) yang digunakan serta komposisi larutan buffer yang

dipakai (Muladno, 2010).

Keragaman Genetik

Keragaman genetik dalam suatu populasi merupakan salah satu sarana untuk

mengetahui dan melestarikan bangsa-bangsa dalam populasi terkait dengan penciri

suatu sifat khusus. Informasi mengenai keragaman genetik suatu bangsa akan sangat

bermanfaat bagi keamanan dan ketersediaan bahan pangan yang berkesinambungan

(Blot et al., 1998).

Keseimbangan genetik dapat ditentukan dengan menggunakan hukum

Hardy-Weinberg. Hukum ini merupakan salah satu yang paling dasar dan konsep yang

(26)

dalam keadaan panmixia dan tanpa adanya gangguan dari faktor yang berhubungan

dengan genetik seperti seleksi, migrasi dan mutasi. Frekuensi gen dalam populasi

akan tetap sama dari generasi ke generasi berikutnya. Populasi yang demikian dapat

disebut dalam keadaan yang seimbang (equilibrium).

Pengujian Hardy-Weinberg ini sangat bermanfaat karena untuk lokus non

kodominan yang berada pada frekuensi genotipe keseimbangan Hardy-Weinberg

dapat diperkiraan dari frekuensi alel dan memiliki kemungkinan analisis yang sangat

kuat terhadap hubungan penanda genetik dengan penyakit (Chen & Chatterjee,

2006). Hukum Hardy-Weinberg tidaklah merupakan hukum yang mati karena

apabila suatu populasi yang telah mencapai keseimbangan genetik diganggu

sedemikian rupa sehingga proporsi genotipenya berubah, maka cukup dibutuhkan

satu generasi perkawinan acak untuk mengembalikan keadaan seimbangnya lagi

tetapi dengan keadaan keseimbangan yang baru, artinya baik frekuensi gen maupun

genotipenya akan berubah (Hardjosubroto, 1998). Nei dan Kumar (2000)

menyatakan bahwa populasi dinilai beragam jika memiliki dua atau lebih alel dalam

satu lokus dengan frekuensi yang cukup (biasanya lebih dari 1%).

Keragaman genetik dapat diukur pula secara akurat dengan nilai

heterozigositas (Nei, 1987). Pendugaan heterozigositas memiliki arti penting untuk

diketahui dalam mempelajari genetika populasi. Derajat heterozigositas merupakan

rataan persentase lokus heterozigositas tiap individu atau rataan persentase individu

heterozigot dalam populasi (Nei, 1987). Nilai dari derajat heterozigositas dapat

memberikan informasi mengenai tingkat polimorfisme suatu alel, serta prospek

populasi di masa yang akan datang (Falconer & Mackay, 1996). Nei (1987)

menyebutkan bahwa suatu alel dapat dikatakan polimorfik jika memiliki frekuensi

alel sama dengan atau kurang dari 0,99. Tingkat tinggi rendahnya variasi dari suatu

populasi dapat diketahui pula dari hasil penelitian oleh Javanmard et al. (2005) yang

menyatakan bahwa apabila nilai heterozigositas menunjukkan nilai di bawah 0,5

(50%) maka hal tersebut mengidentifikasikan rendahnya variasi suatu gen dalam

(27)

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2009 hingga bulan April

2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak,

Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi

Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi Sampel

Sampel darah sapi Friesian-Holstein (FH) berasal dari peternakan rakyat desa

Pasir Kemis dan Cilumber di kabupaten Lembang-Bandung. Total darah yang

digunakan sebanyak 183 sampel, berurutan dari Pasir Kemis sejumlah 95 sampel dan

Cilumber sejumlah 98 sampel. Sampel DNA yang digunakan merupakan koleksi

sampel Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, bagian Pemuliaan dan Genetika

Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Primer

Amplifikasi gen β-laktoglobulin pada ternak sapi perah mengacu pada

penelitian yang dilakukan oleh Karimi et al. (2009) dengan penggunaan primer yang

tampak pada Tabel 3.

Tabel 3. Sekuen Gen β-laktoglobulin

Gen Sekuen Primer Produk

PCR

Enzim Restriksi

β-laktoglobulin F 5’TGTGCTGGACACCGACTACAAAAA3’ R 5’GCTCCCGGTATATGACCACCCTCT3’

247 bp HaeIII

Amplifikasi Gen β-laktoglobulin

Bahan–bahan yang digunakan dalam analisis PCR-RFLP adalah sampel

DNA, air destilata, MgCl2, dBTP, 10xbuffer, primer, enzyme taq DNA polymerase,

enzim restriksi HaeIII dengan buffernya. Alat-alat yang digunakan adalah tabung

eppendorf, pipet mikro, vortex, alat sentrifugasi, tabung PCR, mesin PCR (Applied

(28)

Elektroforesis

Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat satu lembar gel ukuran besar

(16 sampel) adalah sebagai berikut; 0,45 gram agarose, 30 ml 0,5xTBE, 2,5 µl EtBr

(Ethidium bromide). Selama proses elektroforesis bahan yang digunakan yaitu

10xbuffer, loading dye dan marker. Alat yang digunakan diantaranya adalah

timbangan digital, gelas ukur, stirrer, microwave, gelas kimia, plate cetakan gel,

pipet mikro, tip, plastik mika, power supply, sarung tangan dan UV transilluminator.

Prosedur Pengambilan Sampel Darah

Sampel darah diambil melalui vena jugularis dengan menggunakan jarum

vaccutainer no 21 G.

Isolasi DNA

Isolasi DNA dilakukan dari sampel darah dengan menggunakan metode

ektraksi phenol-chloroform (Sambrook et al., 1989) yang telah dimodifikasi untuk

penggunaan sampel darah yang disimpan dalam alkohol dengan prosedur sebagai

berikut:

Preparasi sampel. Sampel darah dalam ethanol (EtOH) sebanyak 200 µl dipindahkan ke tabung 1,5 µl. Kemudian dihilangkan alkoholnya dengan

menambahkan air destilasi 1000 µl. Sampel disentrifugasi pada kecepatan 800 rpm

selama 5 menit dan bagian supernatannya dibuang. Pencucian tersebut diulangi untuk

menghilangkan alkohol dalam darah sebanyak mungkin.

Degradasi protein. Sampel yang telah dibersihkan dari alkohol ditambahkan 1xSTE (Sodium Tris EDTA) hingga volume 340 µl (± 200 µl), 40 µl SDS (Sodium Dosesil

Sulfat) 10% dan 20 µl proteinase k 5 mg/ml. Campuran diinkubasi dan digoyang

pada suhu 50 ºC selama semalam.

Degradasi bahan organik. Sampel yang telah diinkubasi ditambahkan 400 µl larutan phenol, 400 µl CIAA (Chloroform : isoamyl alcohol (24 : 1) dan 40 µl 5 M

(29)

Presipitasi DNA. Perlakuan berikutnya sampel disentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 10 menit hingga fase DNA terpisah dengan fase phenol. Fase DNA

dipindahkan dalam tabung baru. Kemudian ditambahkan 800 µl alkohol absolut dan

40 µl 5 M NaCl, lalu diinkubasi pada suhu -20 ºC selama semalam. Larutan yang

telah diproses disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 10 menit, bagian

alkohol dibuang sebanyak mungkin. Bagian endapan (DNA) yang tersisa

ditambahkan 800 µl alkohol 70% dan disentrifugasi seperti sebelumnya, serta bagian

alkohol dibuang sebanyak mungkin. Bagian DNA yang tersisa dibiarkan dalam

keadaan terbuka pada suhu ruang hingga kering. Terakhir, ditambahkan 100 µl

larutan pengemulsi yang telah dipanaskan sebelumnya. DNA disimpan pada suhu -20

ºC dan siap untuk digunakan.

Analisis PCR-RFLP

PCR pada perlakuan ini menggunakan tabung dengan volume reaksi 25 µl

yang di dalamnya terdiri dari campuran sampel DNA sebanyak 2 µl, air destilata

16,7 µl, 0,5 µl untuk masing-masing primer, 10xbuffer sebanyak 2,5 µl, 2,5 mM

MgCl2 µl dan 2 mM dNTP 0,3 µl, BSA 1 µl dan enzim Go Taq 0,1 µl. Kemudian,

campuran yang terdapat dalam tabung PCR dihomogenkan dengan cara divortex, lalu

diendapkan dengan melalui cara sentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 30

detik.

Proses selanjutnya adalah amplifikasi di mesin PCR Applied Bio System

selama 35 siklus dalam berbagai tahapan, pertama melakukan denaturasi awal pada

suhu 95 ºC selama lima menit. Tahap kedua yaitu denaturasi pada suhu 95 ºC selama

30 detik. Tahap ketiga dilanjutkan dengan penempelan primer (annealing) pada suhu

60 ºC selama 45 detik. Tahap keempat dilanjutkan dengan pemanjangan molekul

DNA pada suhu 72 ºC selama satu menit. Tahap kelima yaitu pemanjangan akhir

molekul DNA yang terjadi pada suhu 72 ºC selama lima menit.

Produk PCR yang telah berhasil nampak, diambil sebanyak 5 µl dan

dipindahkan ke tabung baru, yaitu tabung khusus untuk proses pemotongan.

Kemudian, pada tabung tersebut ditambahkan 0,3 µl enzim restriksi HaeIII 10 unit,

0,7 buffer R dan 1 µl air destilata. Setelah semua dimasukkan, maka sampel

(30)

Elektroforesis

Elektroforesis produk PCR dilakukan dengan menggunakan 5 µl produk PCR

pada gel agarose. Gel agarose dibuat dengan mencampurkan 0,45 gram agarose

dengan 30 µl 0,5xTBE. Campuran tersebut dimasukkan dalam microwave selama

empat menit. Campuran agarose dan TBE yang telah terlarut tersebut didinginkan

dengan menggunakan magnet stirrer yang dimasukkan di dalamnya dan

ditambahkan Ethidium Bromida (EtBr) sebanyak 2,5 µl dan terus diputar. Sampel

gel diangkat bila sudah cukup dingin dan dituang ke plate kaca yang telah dipasang

sisir sebagai bahan pembuat sumurnya.

Produk PCR yang sudah diperoleh kemudian dilakukan pengamatan dengan

melakukan pewarnaan DNA menggunakan loading dye sebanyak 1 µl dengan sampel

sejumlah 5 µl dan keduanya dicampur merata dalam pipet mikro. Sampel yang telah

diwarnai dimasukkan dalam sumur. Terakhir, marker dimasukkan sebagai indikator

dari panjang DNA. Gel agarose yang telah diisi oleh sampel dibenamkan dalam

larutan 0,5xTBE buffer dan dielektroforesis selama 45 menit. Hasil elektroforesis

divisualisasi dengan mengamatinya di atas UV transilluminator. Pita DNA yang

muncul dibandingkan dengan marker untuk diketahui panjang fragmennya dan

jumlah pita DNA dari setiap sampel dibandingkan untuk menentukan genotype pita

DNA. Penentuan alel β-laktoglobulin (A) dan β-laktoglobulin (B) ditunjukkan

dengan jumlah dan ukuran besarnya fragmen yang terpotong berdasarkan sekuen β

-laktoglobulin. Sesuai dengan genotyping berdasarkan (Karimi et al., 2009) alel A

gen β-laktoglobulin memiliki titik potong HaeIII (GG|CC) dan menunjukkan adanya

dua fragmen yang masing-masing panjangnya 99 dan 148, sedangkan alel B gen β

-laktoglobulin memiliki dua titik potong dan menghasilkan fragmen sepanjang 74, 74

dan 99 pb.

Analisis Data Frekuensi Alel dan Genotipe

Frekuensi genotipe merupakan rasio dari jumlah suatu genotipe terhadap

jumlah populasi. Keragaman genotipe pada masing-masing individu ternak dapat

(31)

diketahui dengan menghitung perbandingan jumlah genotipe tertentu pada setiap

populasi, dengan rumus Nei dan Kumar (2000) sebagai berikut :

Frekuensi alel merupakan frekuensi relatif dari suatu alel dalam populasi atau

jumlah suatu alel terhadap jumlah total alel dalam suatu populasi. Frekuensi alel (χi)

gen β-laktoglobulin dapat dihitung berdasarkan rumus Nei dan Kumar (2000),

sebagai berikut :

Keterangan :

= frekuensi genotipe ke-ii = frekuensi alel ke-i

= jumlah individu bergenotipe ii = jumlah individu bergenotipe ij N = jumlah individu sampel

Keseimbangan Hardy-Weinberg (HW)

Keseimbangan Hardy-Weinberg diuji dengan menggunakan perhitungan

Chi-Kuadrat (Hartl dan Clark, 1997):

Keterangan :

= chi-kuadrat

O = jumlah pengamatan genotipe ke-i E = jumlah harapan genotipe ke-i

Derajat bebas (db) yang digunakan merupakan hasil pengurangan antara

jumlah genotype dengan jumlah alel (Allendrof dan Luikart, 2007):

(32)

Heterozigositas

Keragaman genetik dapat diketahui melalui estimasi frekuensi heterozigositas

pengamatan yang diperoleh dari masing-masing populasi, dngan menggunakan

rumus Weir (1996) sebagai berikut :

Keterangan :

Ho = heterozigositas pengamatan (populasi) = jumlah individu heterozigositas N = jumlah individu yang diamati

Heterozigositas harapan (He) berdasarkan frekuensi alel dihitung

menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000) sebagai berikut :

Keterangan :

He = nilai heterozigositas harapan = frekuensi alel

(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Amplifikasi Gen ß-laktoglobulin

Penelitian ini berhasil melakukan amplifikasi terhadap gen ß-laktoglobulin

pada sapi perah Friesian Holstein (FH) betina laktasi yang berasal dari peternak di

Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU), Lembang. Fragmen gen β

-laktoglobulin ini berhasil diamplifikasi dengan menggunakan primer yang mengacu

pada Karimi et al. (2009). Panjang produk hasil amplifikasi adalah 247 pb (pasang

basa) yang terletak pada ekson 4. Tingkat keberhasilan amplifikasi DNA ditentukan

oleh konsentrasi sampel DNA, taq polymerase, dinukleotida, ion Mg, buffer dan

primer (Yuwono, 2006). Proses amplifikasi dilakukan dengan menggunakan metode

Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism

(PCR-RFLP). Hasil amplifikasi fragmen Gen β-laktoglobulin dengan metode PCR pada

sapi FH yang divisualisasikan pada gel agarose 1,5% ditampilkan pada Gambar 3.

M 1 2 3 4 5 6 7 8

Keterangan : M = Marker; Nomor 1-8 : Ruas Gen β-laktoglobulin

Gambar 3. Pita Amplifikasi Fragmen Gen β-laktoglobulin dengan Metode PCR pada Sapi FH

Suhu annealing menjadi dasar awal dalam proses PCR karena memiliki

pengaruh yang cukup besar terhadap hasil dari produk PCR yang diperoleh. Suhu

annealing adalah kisaran suhu yang membuat primer menempel (komplementer) ke

DNA cetakan. Suhu annealing menjadi sangat penting dalam proses amplifikasi,

dikarenakan proses perpanjangan DNA dimulai dari primer (Muladno, 2002). Suhu

annealing diketahui mampu mempengaruhi akan menempel tidaknya primer dengan

fragmen DNA target pada saat dilakukan proses PCR. Suhu annealing yang biasa 500 pb

200 pb 100 pb

(34)

digunakan yaitu antara 50-65 °C dan pada penelitian ini suhu annealing yang

digunakan, yaitu 60 °C sesuai dengan literatur dari Karimi et al. (2009).

Keragaman Gen β-laktoglobulin

Hasil amplifikasi serta hasil pemotongan terhadap gen β-laktoglobulin

dengan menggunakan enzim restriksi HaeIII menunjukkan hasil yang sesuai dengan

literatur dari Karimi et al. (2009), yang dilaporkan panjang fragmen gen diketahui

yakni sepanjang 247 bp dengan pemotongan situs basa pada posisi

5’....GG|CC....3’yang terletak pada ekson 4. Pemotongan ini dapat dilihat pada Gambar 3 dan posisi penempelan primer pada sekuens gen β-laktoglobulin dapat

dilihat pada Gambar 4 :

Forward

5161 ttccagcctt gaatgagaac aaagtccttg tgctggacac cgactacaaa aagtacctgc

5221 tcttctgcat ggagaacagt gctgagcccg agcaaagcct gg|cctgccag tgcctgggtg

5281 ggtgccaacc ctggctgccc agggagacca gctgtgtggt cctcgctgca acgggg|ccgg

5341 gggggacggt gggagcaggg agcttgattc ccaggaggag gagggatggg gggtccccga 5401 gtcccgccag gagagggtgg tcatataccg ggagccggtg tcctgggggc ctgtgggtga

Primer reverse

Keterangan : GG|CC menunjukkan situs pemotongan enzim HaeIII; nukleotida yang digaris bawahi menunjukkan primer

Gambar 3. Pemotongan gen ß-laktoglobulin dengan menggunakan enzim HaeIII pada ekson 4

Alel A : 5’-GCCTGG TCTGCC… ACGGGG|CCGGGG-3’ Alel B : 5’-GCCTGG|CCTGCC… ACGGGG|CCGGGG-3’

Keterangan : Garis tebal menunjukkan posisi penempelan primer; Garis bawah menunjukkan posisi terjadinya mutasi basa C - T ; Alel A memiliki basa T pada posisi ke-5263 ; Alel B memiliki basa C pada posisi ke-5263

Gambar 4. Posisi Penempelan Primer pada Sekuen Gen β-laktoglobulin dengan nomor akses GenBank X14710

Pemotongan dengan enzim HaeIII memiliki hasil potongan yang disebut

dengan blunt end (tumpul) karena tidak memiliki bagian molekul yang mempunyai

bentuk single stranded (tidak berpasangan) (Muladno, 2010). Hasil pemotongan

dengan enzim HaeIII menunjukkan bahwasanya terjadi pemotongan titik-titik pada

(35)

Hasil analisis terhadap ruas atau pita gen ß-laktoglobulin dengan teknik PCR

RFLP menggunakan enzim restriksi HaeIII menunjukkan bahwa gen ß-laktoglobulin

yang diamati memiliki sifat beragam (polimorfik). Terdapat tiga genotipe, yaitu

genotipe AA, AB dan BB yang berasal dari dua alel, yaitu alel A dan alel B. Pola

Pita ß-laktoglobulin sapi FH dalam gel agarose 2,5% menggunakan enzim restriksi

HaeIII tampak seperti pada Gambar 6.

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9

M AB AB AB AB AA AB BB AB BB

Elektroforesis gen ß-laktoglobulin

Keterangan :Huruf M = Marker; 1-9 = sampel; AA, AB, dan BB = hasil genotipe; AA = 99 dan 148 pb; AB = 74, 99 dan 148 pb; BB = 74 dan 99 pb

Gambar 6. Pola Pita ß-laktoglobulin Sapi FH dalam Gel Agarose 2,5% menggunakan Enzim Restriksi HaeIII

Pengamatan terhadap gen β-laktoglobulin pada sapi perah Friesian Holstein

di Cilumber dan Pasir Kemis, Lembang diketahui memiliki dua macam alel, yakni

alel A dan alel B. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Yahyaoui (2003) bahwa

terdapat dua variant alel pada gen ß-laktoglobulin yaitu A dan B. Pernyataan yang

sama juga diungkapkan oleh Chung et al. (1995) bahwa pada sapi Korea juga

ditemukan adanya dua varian dari gen ß-laktoglobulin, yakni A dan B. Alel

merupakan bentuk alternatif dari gen yang terjadi akibat mutasi (Noor, 2008).

Pemotongan oleh enzim restriksi HaeIII terhadap ruas gen β-laktoglobulin

menghasilkan amplifikasi sekuen DNA dengan pemotongan pada dua titik, yakni

pada nukleotida ke-5263 dan 5337 atau dapat dikatakan pula terjadi pemotongan

pada posisi basa ke 74 pb dan 148 pb dari produk PCR. Hasil potongan 500 pb

100 pb 200 pb

  74 pb

(36)

menghasilkan tiga macam fragmen dengan panjang berturut-turut 74 pb, 74 pb dan

99 pb. Akan tetapi, dikarenakan terjadi titik potong yang sama yakni pada titik ke 74

pb maka titik tersebut membentuk 1 pita dikarenakan saling berhimpitan. Perpaduan

dari ketiga fragmen tersebut menunjukkan genotipe dengan homozigot BB yang

berarti memiliki alel B (Gambar 5). Alel A ditunjukkan dengan hasil potongan

fragmen yang bergenotipe homozigot AA dengan pola pita yang memiliki dua titik

basa (99 pb dan 148 pb). Asumsi yang mendukung dalam penentuan tipe genotipe,

yaitu semua pita yang memiliki laju migrasi yang sama merupakan alel yang

homolog (Nei, 1987) atau alel merupakan gen yang menempati lokus-lokus yang

sama pada kromosom yang homolog (Noor, 2008).

Frekuensi Gen ß-laktoglobulin

Hasil pengamatan terhadap gen ß-laktoglobulin pada sampel DNA sapi FH

yang dibudidayakan di dua daerah yakni dari Pasir Kemis dan Cilumber, Lembang

diketahui bahwa terdapat keragaman genotipe pada sapi FH tersebut. Hal ini dapat

diketahui dari adanya dua alel yang terbentuk yakni alel A dan B serta terbentuknya

tiga macam genotipe yakni genotipe AA, AB dan BB. Masing-masing alel dan

genotipe memiliki frekuensinya masing-masing. Frekuensi alel yaitu frekuensi relatif

dari suatu alel dalam populasi atau jumlah suatu alel terhadap jumlah total alel dalam

suatu populasi, sedangkan frekuensi genotipe yaitu rasio jumlah suatu genotipe

terhadap populasi (Nei dan Kumar, 2000). Pengamatan terhadap gen ß-laktoglobulin

dari sapi perah di Pasir Kemis diketahui dari sejumlah 95 sampel yang diamati terdiri

dari 6 sampel bergenotipe AA, 57 sampel bergenotipe AB dan 32 sampel bergenotipe

BB. Nilai frekuensi genotipe sapi asal Pasir Kemis untuk genotipe AA, AB dan BB

berturut-turut yaitu 0,06 ; 0,60 dan 0,34 sedangkan frekuensi alel A dan B diperoleh

sebesar 0,36 dan 0,64. Hasil yang hampir sama ditunjukkan pula dari penelitian

terhadap gen ß-laktoglobulin pada sapi perah jenis FH di wilayah Cilumber. Hasil

yang diperoleh dari sampel sejumlah 98 ekor, diketahui sampel yang bergenotipe

AA, AB dan BB berturut-turut berjumlah 6, 78 dan 14. Nilai frekuensi genotipenya

yakni 0,06 untuk genotipe AA, 0,80 untuk genotipe AB, dan 0,14 untuk genotipe BB.

Frekuensi alel yang diperoleh yakni 0,46 untuk alel A dan 0,54 untuk alel B.

Perhitungan terhadap frekuensi genotipe dan alel gen ß-laktoglobulin dari sapi perah

(37)

Tabel 4. Nilai Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen β-laktoglobulin pada

Frekuensi genotipe AB pada kedua lokasi yakni dari Desa Pasir Kemis (0,60)

dan Cilumber (0,80) memiliki nilai yang lebih tinggi dari pada frekuensi genotipe

AA (0,06 dan 0,06) dan BB (0,34 dan 0,14). Hasil yang sama ditunjukkan oleh Nury

(2010) pada sapi FH yang terdapat di stasiun BPPT-SP Cikole, Lembang yakni

frekuensi genotipe AB (0,60) lebih tinggi dari frekuensi genotipe AA (0,10) dan BB

(0,30). Hasil tersebut bersesuaian pula dengan penelitian Gurcan (2011) terhadap

sapi perah hitam dan putih di Turki yang menunjukkan bahwa genotipe AB memiliki

persentase nilai sebesar 0,38, lebih tinggi bila dibandingkan dengan genotipe AA

(0,37) dan BB (0,25). Heidari et al. (2009) juga menyatakan bahwa pada sapi

Holstein-Iran, genotipe AB (0,54) memiliki frekuensi yang lebih tinggi dari genotipe

AA (0,26) dan BB (0,20). Hal ini dapat terjadi karena sesuai dengan hukum

Hardy-Weinberg yang menyatakan bahwa jumlah proporsi frekuensi dari ketiga macam

genotip yakni sesuai dengan aturan p2 + 2pq + q2 = 1 sehingga frekuensi genotipe

AB yang diperoleh lebih besar karena merupakan hasil perkalian angka dua dengan

masing-masing jumlah genotipe dominan dan resesif yang terjadi. Namun, hasil yang

berbeda dijumpai pada penelitian Chung et al. (1995) yang menunjukkan bahwa

frekuensi genotipe BB (0,74) jauh lebih tinggi dari pada frekuensi genotipe AA

(0.05) dan BB (0,02). Penelitian Chung et al. (1998) terhadap Sapi Korea juga

menunjukkan bahwa frekuensi genotipe BB (0,60) lebih tinggi dari pada frekuensi

genotipe AA (0,03) dan AB (0,37). Demikian juga dengan penelitian dari Karimi et

al. (2008) yang melakukan penelitian pada sapi Iranian Najdi, menunjukkan bahwa

(38)

dan AB (0,18). Hal ini terjadi karena adanya manajemen perkawinan yang tidak

acak, seleksi terhadap sifat tertentu, dan tingkat silang dalam yang tinggi (Bourdon,

2000).

Frekuensi alel B (0,59) sapi FH di kedua lokasi memiliki nilai yang lebih

tinggi dari pada frekuensi alel A (0,41). Berbagai penelitian lainnya juga

menyebutkan bahwasanya frekuensi alel B memiliki nilai lebih tinggi dari frekuensi

alel A (Chung et al., 1998; Karimi et al., 2009; Nury, 2010). Sebaliknya, beberapa

penelitian menyebutkan, frekuensi alel A lebih besar dari frekuensi alel B (Heidari et

al., 2009; Gurcan, 2011). Akan tetapi, hasil yang sedikit berbeda dengan literatur

yakni pada penelitian Karimi et al. (2009), tidak ditemukan adanya genotipe AA,

sedangkan pada penelitian kali ini, telah berhasil ditemukan adanya genotipe AA

pada gen ß-laktoglobulin sapi FH dari daerah Pasir Kemis maupun Cilumber.

Keseimbangan Genotipe Gen β-laktoglobulin

Keseimbangan frekuensi genotipe dan alel pada suatu populasi dapat

diketahui dengan menggunakan perhitungan keseimbangan Hardy-Weinberg,

kemudian dilakukan pengujian terhadap tingkat penyimpangannya dari rasio harapan

dengan mengunakan uji chi-square test (x2).. Berdasarkan hasil analisis Chi-Kuadrat

diketahui bahwa pada sapi FH dari kedua lokasi yang berbeda yakni Pasir Kemis dan

Cilumber memiliki nilai xhit2 > x2((0,05) dan (0,01)), artinya hasil penelitian terhadap

distribusi genotipe gen β-laktoglobulin pada populasi sapi FH memiliki nilai yang

sangat berbeda nyata sehingga dapat dikatakan distribusi genotipe β-laktoglobulin

populasi sapi FH pada desa Cilumber berada dalam ketidakseimbangan. Menurut

Noor (2008), suatu populasi yang cukup besar berada dalam keadaan keseimbangan

Hardy-Weinberg jika frekuensi genotipe dominan dan resesif konstan dari generasi

ke generasi, tidak ada seleksi, mutasi migrasi, serta genetic drift. Seleksi merupakan

salah satu faktor yang dapat mengubah keseimbangan dalam populasi secara cepat.

Oleh karena itu, ketidakseimbangan frekuensi genotipe gen β-laktoglobulin pada sapi

FH di desa Pasir Kemis dan Cilumber, KPSBU Lembang, Bandung menunjukkan

bahwa telah terjadi adanya seleksi secara langsung terhadap ternak sapi perah

berdasarkan gen β-laktoglobulin. Perhitungan chi-square dan hasil uji x2 dapat dilihat

(39)

Tabel 5. Distribusi Genotipe Gen β-laktoglobulin pada Sapi FH

Lokasi N Frekuensi Genotipe β-laktoglobulin db x2 hitung

AA (O/E) AB (O/E) BB (O/E)

Pasir kemis 95 6/12,31 57/43,78 32/38,91 1 8,45

Cilumber 98 6/20,74 78/48,69 14/28,58 1 35,56

Keterangan : O = nilai pengamatan; E = nilai harapan; db = derajat bebas; x2 tabel : 3,84 (5%); x2 tabel : 2,71 (1 %)

Heterozigositas Gen β-laktoglobulin

Nilai heterozigositas merupakan cara yang paling akurat untuk mengukur

keragaman genetik suatu populasi (Nei, 1987). Nilai heterozigositas dari hasil

pengamatan terhadap gen β-laktoglobulin pada sapi perah FH di lokasi Cilumber dan

Pasir Kemis ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai Heterozigositas Gen β-laktoglobulin|HaeIII pada Sapi Friesian Holstein

Lokasi N Ho He

Pasir Kemis 95 0,60 0,461

Cilumber 98 0,80 0,497

Total 193 0,70 0,484

Keterangan: Ho = Heterozigositas Pengamatan; He = Heterozigositas Harapan

Pendugaan nilai heterozigositas memiliki arti penting untuk diketahui karena

dapat memberikan informasi mengenai tingkat polimorfisme suatu alel, serta prospek

populasi di masa yang akan datang (Falconer & Mackay, 1996). Nilai heterozigositas

dipengaruhi oleh jumlah sampel, jumlah alel dan frekuensi alel (Nei, 1987). Nilai

heterozigositas pengamatan (Ho) hasil analisis terhadap sapi FH di Desa Pasir Kemis

dan Cilumber memiliki nilai sebesar 0,60 dan 0,80, keduanya menunjukkan nilai

yang lebih tinggi dari pada nilai heterozigositas harapan (He) yang diperoleh. Nilai

Ho yang lebih tinggi dari He dapat mengindikasikan adanya proses seleksi yang

intensif (Machado et al., 2003). Hal ini dapat dikatakan bahwa gen ß-laktoglobulin di

Desa Pasir Kemis dan Cilumber, KPSBU Lembang, Bandung memiliki variasi yang

tinggi (Ho > 0,5 (50%) ) pada populasi sapi FH yang terjadi. Pernyataan ini sesuai

(40)

bawah 0,5 (50%) menunjukkan bahwa variasi yang rendah suatu gen pada populasi.

Semakin tinggi derajat heterozigositas suatu populasi maka daya tahan hidup

populasi tersebut akan semakin tinggi (Avise, 1994).

Assosiasi antara Gen ß-laktoglobulin terhadap Protein Susu dan Kualitas Susu

Keragaman dari gen ß-laktoglobulin ini memiliki terhadap komposisi susu

lainnya. Salah satu contohnya yakni gen ß-laktoglobulin dalam susu dapat

meningkatkan presentase protein susu (Kumar et al., 2006). Pernyataan ini juga

didukung oleh penelitian dari Ng-Kwai-Hang et al., (1984) yang menyatakan bahwa

genotipe BB pada gen ß-laktoglobulin memiliki hubungan positif dengan

meningkatnya jumlah protein yang lebih tinggi.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan hal yang lainnya dalam hubungannya

terhadap assosiasi antara varian genetik dari gen β-laktoglobulin dengan komposisi

dan produksi susu (Ng-Kwai-Hang et al., 1984; Ng-Kwai-Hang et al., 1986;

Aleandri et al., 1990; Tsiaras et al., 2005). Beberapa telah menunjukkan pula bahwa

genotipe BB pada β-laktoglobulin berassosiasi juga dengan lemak yang lebih tinggi

dan meningkatkan produksi keju (Ng-Kwai-Hang et al., 1986; Aleandri et al., 1990;

Weldholm et al., 2006).

Pengamatan pada penelitian yang lain, genotipe AA dari gen β-laktoglobulin

memiliki assosiasi dengan produksi susu yang lebih tinggi (Bovenhuis et al., 1992;

Ng-Kwai-Hang et al., 1990; Ikonen et al., 1999) serta memiliki hubungan (assosiasi)

dengan protein susu yang lebih tinggi (Ng-Kwai-Hang et al., 1984; Ng-Kwai-Hang

et al., 1990; Strazalkowska et al., 2002). Namun, dalam penelitian lain menurut

Tsiaras et al. (2005); Kaygisiz & Douan (1999) genotipe AB berhubungan dengan

produksi susu yang lebih tinggi dan produksi protein serta laktosa (Tsiaras et al.,

(41)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pengamatan terhadap sapi perah Friesian Holstein di kedua lokasi (KPSBU

Pasir Kemis dan Cilumber, Lembang-Bandung) ditemukan gen β

-lacotglobulin|HaeIII yang memiliki sifat yang polimorfik dengan dua macam alel yaitu alel A dan alel B sehingga terbentuk tiga macam genotipe yaitu genotipe AA,

AB dan BB. Frekuensi genotipe AB pada kedua lokasi memiliki nilai yang paling

tinggi bila dibandingkan dengan frekuensi genotipe AA dan AB. Frekuensi alel B

(0,59) lebih tinggi dari alel A (0,41). Sapi FH pada kedua lokasi berada dalam

kondisi ketidakseimbangan Hardy-Weinberg serta memiliki keragaman (variasi)

yang cukup tinggi karena nilai heterozigositasnya diketahui lebih besar dari 0,5

(Ho>0,5) sehingga pada keduanya dapat terjadi proses seleksi yang cukup intensif

pada populasi.

Saran

Penelitian lebih lanjut terhadap gen β-laktoglobulin dapat dilakukan dengan

meningkatkan jumlah sampel yang digunakan sehingga diharapkan dapat terjadi

proses seleksi yang lebih intensif pada populasi serta perlu dilakukan pemilihan

lokasi yang memiliki kondisi iklim dan lingkungan yang hampir sama sehingga data

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Aleandri R, L. G. Buttazzoni, & J. C. Schnerder. 1990. The effects of milk protein polymorphisms on milk components and cheese producing ability. J. Dairy Sci. 73: 241-255.

Alexander, L. J., C. W. Beattie, G. Hayes, M. J. Pearse, A. F. Stewart, & A. G. Mackinlay. 1989. Isolation and characterization of the bovine beta-lactoglobulin gene. University of New South Wales, School of Biochemistry, Australia.

Allendrof, F.W. & G. Luikart. 2007. Conservation and The Genetics of Polulations. Blockwell Publishing, USA.

Anggraeni, A., Y. Fitriyani, A. Attabany & I. Komala. Penampilan produksi susu dan reproduksi sapi Friesian Holstein di Balai Pengembangan Pembibitan Ternak Sapi Perah Cikole, Lembang. Pros. Sem. Nas. Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 11-12 Nopember 2008. Puslitbang Peternakan: 137-145.

Avise, J. C. 1994. Molecular Markers, Natural History and Evolution. Chapman and Hall, Inc., New York.

Bastos, E., A. Cravador, J. Azevedo, & H. Pinto. G. 2001. Single strand conformation polymorphism (SSCP) detection in six genes in Portuguese indigenous sheep breed “Churra da Teerra Quente”. Biotechnol. Agron. Soc. Environ. 5 (1): 7-15.

Blott, S. C., J. L. Williams, & C. S. Haley. 1998. Genetic relationship among European cattle breeds. Anim. Genet. 29: 273-282.

Boichard, D., S. Fritz, M. N. Rossignol, Guillaume, J. J. Colleau, & T. Druet. 2006. Implementation of marker-assisted selection: practical lessons from dairy cattle. 8th World Congress on Genetic Applied to Livestock Production, Brazil.

Bovenhuis, H., J.A.M. Van Arendonk, & S. Kerver. 1992. Associations between milk protein polymorphism and milk production traits. J. Dairy. Sci. 75: 2549-2559.

Celik, S. 2003. β-lacotglobulin genetic variants in Brown Swiss breed and its association with composional properties and rennet cloting time of milk. Int. J. Dairy. 13: 727-731.

Chen , J. & Chatterjee, N. 206. Haplotype based association analysis in cohort and nested case control studies. Biometrics. 62: 28-35.

(43)

Chung, E. R., W. T. Kim, & C. S. Lee. 1998. DNA polymorphism of k-casein, β -lactoglobulin, growth hormone and prolactin genes in Korean cattle. AJAS 11: 422-427.

Daniela I, Aurelia S, Anuta M, Claudia S, & Vintila I. 2008. Genetic polymorphism at the β-lacotglobulin locus in a dairy herd of Romanian Spotted and Brown of Maramures breeds. Zoo Biotech. 41: 104-107.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Statistik Peternakan 2006. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Eenennaam A.V. & J. F. Medrano. 1991. Milk protein polymorphism in California dairy cattle. J. Dairy. Sci. 74: 1730-1742.

Falconer, D.S. & T. F. C. Mackay. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. Fourt Ed. Logman Inc., New York.

Gurcan, E. K. 2011. Association betweein milk protein polymorphisms and milk production traits in Black and White dairy cattle in Turkey. Afric J. Biotech. 10: 1044-1048.

Hardjosubroto, W. 1998. Pengantar Genetika Hewan. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta.

Harper, W. J. & E.W. Hall. 1981. Dairy Technology and Engineering. AVI Publ. co. Inc., Westport.

Harris, H. 1996. Enzyme polymorphisms in man. Proc. R. Soc. Lond. B. 164: 298-310.

Hartl, D. L. & A. G. Clark. 1997. Principle of Population Genetic. Sinaver Associates, Sunderland, M. A.

Hayashi, K. 1991. PCR-SSCP: a simple and sensitive method for detection of mutation in the genomic DNA. PCR Methods Appl. 1: 34-38.

Heidari, M., Mojtaba A, Saeed H, Alireza K, & Saeed Z. 2009. Association of genetic variants of β-lacotglobulin gene with milk production in a herd and a superior family of Holstein cattle. Iranian J. of Biotech. 7: 254-257.

Hilalnuha. 2010. Sapi Perah Friesian-Holstein. http://hilalnuha.files.word-press.com/2010/07/friesian-holstein.jpg. [29 September 2011]

Ikonen T, Ojala M, & Routtinen O. 1999. Associations between milk protein polymorphisms and first lactation milk production traits in Finnish Ayrshire cows. J. Dairy. Sci. 82: 1026-1033.

Gambar

Gambar 1. Sapi Friesian Holstein
Tabel 1. Variasi Jenis, Fraksi dan Jumlah Protein Susu pada Sapi Perah
Tabel 2. Keragaman Gen β-laktoglobulin dari  Beberapa Penelitian Terdahulu
Tabel 3. Sekuen Gen β-laktoglobulin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Didalam proses pengembangan kapasitas mantan pekerja seks komersial sudah didampingi oleh pendamping dan pengurus lembaga yang berkompetin pada bidangnya

Menurut pengamatan penulis dalam melakukan pukulan open smash bolavoli kadang masih banyak kesalahan-kesalahan yang terjadi pada siswa sehingga menimbulkan rasa tidak

Penelitian Tindakan Kelas ini berjudul Upaya Meningkatkan Kemampuan Kognitif Dalam Membilang Melalui Alat Permainan Edukatif Pijak Angka Pada Anak Kelompok B TK

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Total

7HODK GLODNXNDQ PRGL¿NDVL VLVWHP SHQDQJNDS JDPEDU NHGDS FDKD\D \DQJ GDSDW PHQDPSLONDQ ODQJVXQJ FLWUD UDGLRJUDI GLJLWDO SDGD OD\DU PRQLWRU 3& GDQ PHQ\LPSDQ ¿OH UDGLRJUDI

Pertambahan berat badan harian yang diperoleh dari penelitian ini yaitu berkisar antara 0,47-0,73 kg/hari data ini menggambarkan bahwa penambahan sargassum sp

Pada 16 dan 17 Disember 2017, telah berlangsung bengkel pengukuhan kendiri latihan industri 2017 yang dianjurkan oleh Unit Latihan Industri Diploma Fakulti Kejuruteraan