• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etnobotani Dan Strategi Konservasi Rotan Jernang (Daemonorops Spp) Di Taman Nasional Bukit Duabelas Provinsi Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Etnobotani Dan Strategi Konservasi Rotan Jernang (Daemonorops Spp) Di Taman Nasional Bukit Duabelas Provinsi Jambi"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

ETNOBOTANI DAN STRATEGI

KONSERVASI ROTAN JERNANG (

Daemonorops

spp)

DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS PROVINSI JAMBI

HARNOV

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Etnobotani dan Strategi Konservasi Rotan Jernang (Daemonorops spp) di Taman Nasional Bukit Duabelas Provinsi Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2017

(4)

RINGKASAN

HARNOV. Etnobotani dan Strategi Konservasi Rotan Jernang (Daemonorops spp) di Taman Nasional Bukit Duabelas Provinsi Jambi. Dibimbing oleh ERVIZAL A.M. ZUHUD dan RINEKSO SOEKMADI.

Suku Anak Dalam (SAD) adalah salah satu suku di Indonesia yang masih hidup secara tradisional di dalam hutan. Salah satu hutan tempat tinggal dan sumber penghidupan mereka adalah di kawasan hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNDB). Kehidupan secara tradisional ini telah mereka jalani sejak lama dan tetap bertahan hingga saat ini. Interaksi SAD dengan hutan yang telah berlangsung sejak lama ini membuat mereka memiliki banyak tradisi terkait dengan konservasi hutan. Hal ini tercermin dari sikap dan perilaku mereka terhadap sumberdaya hutan, yang sesuai dengan prinsip konservasi hutan. Pengetahuan SAD mengenai Rotan Jernang dan konservasi hutan merupakan aspek penting dalam kebudayaan tradisional mereka. Namun pengetahuan ini lambat laun akan mengalami penyesuaian terhadap perubahan-perubahan yang terjadi seiring perkembangan masyarakat SAD. Sekarang ini jernang dimanfaatkan oleh SAD bukan hanya sebagai bahan obat tradisional tetapi sebagai komoditi untuk diperdagangkan. Perubahan sosial budaya, harga jernang yang tinggi; berkisar antara Rp 2.800.000 sampai dengan Rp. 3000.000/kg di tingkat SAD, dapat memicu pemanenan buah rotan jernang muda, pemanenan buah Rotan Jernang tanpa menaati nilai-nilai sosial budaya dan aturan adat istiadat. Salah saatu solusi dampak perubahan sosial budaya SAD terhadap kelestarian rotan jernang di TNBD adalah menyusun strategi konservasi rotan jernang Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi tradisi bejernang, nilai-nilai sosial budaya SAD dan merumuskan strategi konservasi rotan jernang serta habitatnya. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Data dan informasi dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi pustaka, observasi dan wawancara. Analisis data menggunakan teknik triangulasi. Hasil dari penelitian ini, tradisi bejernang telah berlangsung ratusan tahun merupakan bukti bahwa nilai-nilai sosial budaya masyarakat SAD efektif dalam hal konservasi sumberdaya hutan dan habitatnya. Pengelolaan kawasan hutan TNBD ke depan hendaknya sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat SAD. Alternatif tindakan sebagai strategi konservasi rotan jernang yakni: 1) Penataan ruang; 2) Penelitian dan Pengembangan Rotan Jernang; 3) Budidaya Rotan Jernang; 4) Membangun pasar jernang nasional; 5) Konservasi in situ dan konservasi ex situ Rotan Jernang; 6) Pembentukan forum komunitas SAD dan Penguatan Lembaga Adat SAD; 7) Pendampingan dan pemberdayaan SAD; 8) Penegakan aturan adat SAD; 9) Pengelolaan kawasan TNBD secara kolaboratif; dan 10) Monitoring dan evalusi kegiatan konservasi jernang secara berkala.

(5)

SUMMARY

HARNOV. Ethnobotany and Conservation Strategy Rattan jernang (Daemonorops spp) in Bukit Duabelas National Park in Jambi Province. Supervised by ERVIZAL A.M. ZUHUD and RINEKSO SOEKMADI.

Suku Anak Dalam (SAD) is one of the tribes in Indonesia are still living traditionally in the forest. One forest where their live and livelihoods are Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). This traditional life they have lived for a long time and still survive to this day. SAD interaction with the forest that has lasted a long time makes them have many traditions associated with forest conservation. This is reflected in their attitudes and behavior towards forest resources, in accordance with the principle of conservation of forests. SAD knowledge about conservation of forests is an important aspect in their traditional cultures. But this knowledge will gradually be changes that occur as the development of society SAD. Nowt jernang utilized by the SAD not only as traditional medicine but as a commodity to be traded. Socio-cultural changes, jernang high prices; Rp 2,800,000 to Rp. 3000.000 at the SAD, can trigger Rattan harvesting fruit jernang massive, young fruit jernang Rattan harvesting, fruit harvesting rattan jernang without obeying socio-cultural values and customs rules. One alternative solution is to develop a conservation strategy Rattan jernang as an act of anticipation possibility of scarcity Rattan jernang. The purpose of this study is to obtain a description bejernang traditions, socio-cultural values of SAD and formulate strategies Rattan jernang conservation and habitat. This research method using descriptive qualitative approach. Data and information collected by using literature study, observation and interviews. Analysis of the data using triangulation techniques. The results of this study are bejernang tradition that has lasted for hundreds of years is evidence that social and cultural values of society SAD effective in terms of conservation of forest resources and their habitats. Forest management TNBD forward should be promoting the values of social and cultural SAD. The selected alternative actions as a conservation strategy is jernang Rattan; 1) The arrangement of space; 2) Research and Development jernang Rattan; 3) Agroforestry of jernang Rattan; 4) Establish a national jernang market; 5) In situ and ex situ conservation jernang Rattan; 6) Establishment and strengthening of community forums SAD; 7) Mentoring and empowerment SAD; 8) The enforcement of customs rules SAD and Forestry Legislation; 9) The management of TNBD collaboratively; and 10) Monitoring and evaluation of conservation activities jernang periodically.The results of this research can be used as a basis for action; SAD cultural social protection, conservation and conservation Rattan jernang TNBD as Rattan Jerang habitat.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi

pada

Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati

ETNOBOTANI DAN STRATEGI

KONSERVASI ROTAN JERNANG (

Daemonorops spp

)

DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS PROVINSI JAMBI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelititan ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Agustus 2015 dengan judul Etnobotani dan Strategi Konservasi Rotan Jernang (Daemonorops spp) di Taman Nasional Bukit Duabelas Provinsi Jambi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS dan Dr Ir Rinekso Soekmadi, M.Sc.F selaku pembimbing yang telah memberi arahan, saran dan dukungan. Terima kasih juga diucapkan kepada Dr Ir Leti Sundawati, M.Sc.F selaku penguji luar komisi dan Dr Ir Agus Priyono Kartono, MS selaku pimpinan sidang tesis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Kementerian Kehutanan yang telah mendanai penelitian, kepada keluarga, teman-teman dan semua pihak yang telah mendukung selama studi.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi upaya perlindungan sosial budaya masyarakat tradisional dan gerakan konservasi sumberdaya hutan di Indonesia.

Bogor, Januari 2017

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 METODE PENELITIAN 6 Lokasi dan Waktu Penelitian 6

Alat 6

Teknik Penentuan Informan 7

Jenis dan Sumber Data 7

Teknik Pengumpulan Data 8

Analisis Data 9

Analisis Sintesis 10

3 KONDISI UMUM TNBD DAN SAD 12 Proses Penunjukkan TNBD 12

Tujuan Penunjukkan TNBD 12

Letak Geografis dan Batas Tnbd 12

Topografi, Iklim, Hidrologis dan Jenis Tanah 13

Keadaan Kawasan Hutan TNBD 14

Keadaan Sosial Ekonomi SAD 15

Aksesibilitas 17

4 ETNOBOTANI ROTAN JERNANG oleh SAD 20

Tradisi Bejernang 20

Teknik Ekstraksi Jernang oleh SAD 25

Aturan Adat SAD Mengenai Rotan Jernang 26

Bentuk Pemanfaatan Jernang oleh SAD 27

Interpretasi Nilai-Nilai Tradisi Bejernang 29

5 BIOEKOLOGI ROTAN JERNANG 32 Taksonomi Rotan Jernang 32

Morfologi Rotan Jernang 32

Ekologi Rotan Jernang 35

6 ETNOGRAFI SAD 37

Sebutan Orang Terang Terhadap SAD 37

Asal Usul SAD 38

Sebaran SAD 42

Sistem Religi SAD 43

(12)

Sistem Peralatan SAD 50

Sistem Organisasi Sosial SAD 51

Sistem Pengetahuan SAD 54

6 STRATEGI KONSERVASI ROTAN JERNANG 60

Redeliniasi Zone Pemanfaatan Tradisional 62

Penelitian dan Pemgembangan Rotan Jernang 64

Budidaya Rotan Jernang 65

Membangun Pasar Jernang Nasional 67

Konservasi Insitu dan Konservasi Exsitu 68

Pembentukan Lembaga Sosial SAD Transisi 70

Pendampingan dan Pemberdayaan SAD 71

Pembentukan Forum Komunitas SAD 72

Pengelolaan TNBD Secara Kolaboratif 74

Monitoring dan Evaluasi 74

7 KESIMPULAN dan SARAN 77

Kesimpulan 77

Saran 77

DAFTAR PUSTAKA 79

LAMPIRAN 84

(13)

DAFTAR TABEL

1 Rincian pengamatan yang dilakukan 9

2 Tujuan penelitian dan data yang dikumpulkan 11

3 Letak Geografis dan Batas Kawasan TNBD 13

4 Topografi, iklim, hidrologis dan jenis tanah di TNBD 14

5 Sebaran populasi SAD 16

6 Sebaran ladang karet SAD di dalam kawasan TNBD 18

7 Tradisi bejernang 20

8 Lokasi bejernang SAD di dalam kawasan hutan TNBD 22

9 Sifat fisiko-kimia jernang 26

10 Senyawa kimia dari Daemonorops draco dan bioaktivitasnya 28 11 Nilai-nilai tradisi bejernang dan sosial budaya SAD 29

12 Sistem religi SAD 45

13 Pembagian ruang kehidupan SAD 49

14 Jenis tumbuhan pangan SAD yang dikumpulkan dengan cara meramu 55 15 Jenis tumbuhan pangan yang ditanam di ladang SAD 55 16 Jenis tumbuhan buah-buahan hutan yang dimanfaatkan SAD 56 17 Jenis tumbuhan obat yang sering digunakan SAD 57 18 Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan SAD untuk bahan tempat tinggal 58

19 Jenis tumbuhan beracun dan pemanfaatannya 58

20 Perusahaan dan Areal Pemukiman Transmigrasi di Sekitar TNBD 62 21 Uraian kegiatan strategi konservasi Rotan Jernang di TNBD 75

DAFTAR GAMBAR

1 Skema alur penelitian 4

2 Lokasi Penelitian Resort Air Hitam TNBD 6

3 Peta Aksesibilitas TNBD 19

4 Peta Sebaran rotan jernang di lokasi penelitian 23

5 Alur perdagangan jernang 24

6 Ilustrasi teknik ekstraksi jernang oleh SAD 26

7 Morfologi rotan jernang 34

8 Peta Sebaran SAD di TNBD 43

9 Struktur Organisasi Sosial SAD 54

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jenis-jenis Tumbuhan Obat di TNBD 84

2 Jenis-jenis Cendawan Obat di TNBD 86

3 Jenis-jenis Bumbung (Pondok) SAD 87

4 Jenis-jenis Peralatan SAD 88

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Istilah etnobotani diperkenalkan pertama kali pada tahun 1895 oleh ahli botani Amerika Serikat John W. Harshberger sebagai ilmu yang mempelajari tentang tumbuhan yang digunakan oleh Aborigin dan orang-orang primitif. Sejak saat itu etnobotani didefinisikan sebagai pengetahuan tradisional masyarakat adat mengenai beragam tumbuhan di sekitar mereka dan pengetahuan tentang bagaimana orang-orang dari budaya dan daerah tertentu memanfaatkan tumbuhan (Abbasi, 2012). Etnobotani adalah ilmu yang mempelajari interaksi budaya manusia dengan tumbuhan dan lingkungannya (Balick, 2004), dengan penekanan pada konsep budaya dan persepsi kelompok masyarakat dalam membentuk sistem pengetahuan mengenai tumbuhan dalam lingkungan hidup mereka (Suryadharma, 2008).

Suku Anak Dalam (SAD) adalah salah satu etnis di Indonesia yang sampai saat ini masih menjalankan kehidupan sehari-hari secara tradisional. Kehidupan secara tradisional ini telah berlangsung sejak ribuan tahun dan tetap mereka pertahankan hingga saat ini (Handini, 2006). SAD hidup di dalam hutan dan di sekitar hutan di Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan. Di Provinsi Jambi, terdapat kelompok-kelompok SAD yang tinggal tersebar di dalam Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD).

Hampir seluruh kebutuhan hidup SAD, diperoleh dari dalam hutan. Hal ini membuat hidup mereka sangat tergantung pada keberadaan hutan. Ketergantungan hidup SAD dengan hutan yang telah berlangsung lama ini, membuat mereka memiliki tradisi dan nilai-nilai yang pro konservasi hutan. Salah satu tradisi tersebut adalah tradisi bejernang, yakni pemanfaatan rotan jernang (Daemonorops spp).

Jernang adalah serbuk yang menempel dan menutupi permukaan buah rotan jernang. Menurut Coppen (1995) jernang termasuk kelompok resin keras, berwarna merah, berbentuk amorf, berupa padatan yang mengkilat, bening atau kusam, meleleh bila dipanaskan, memiliki bau yang khas, tidak larut dalam air, tetapi larut dalam alkohol, eter, kloroform dan metanol. Menurut Winarni et al. (2004) komponen utama kimia resin jernang adalah ester dan alkohol draco resino tanol (57-82%) yang bila dipanaskan akan menghasilkan aroma seperti kemenyan, draco resena (14%), draco alban (2,5%), asam benzoate dan asam benzoat.

(16)

2

vernis, tincture dan plaster. Menurut Waluyo (2008) jernang dapat dipergunakan sebagai obat luka. Selain itu jernang di Jawa digunakan sebagai bahan campuran pewarna kayu mahoni atau sebagai oker yaitu campuran plitur agar warna plitur menjadi lebih tua. Menurut Soemarna (2009) dan Purwanto et al. (2009) karena mempunyai banyak manfaat, jernang memiliki harga yang tinggi. Harga jernang berkisar antara Rp 800.000 sampai dengan Rp 3.000.000/kg tergantung kelas kualitasnya.

Pengetahuan SAD mengenai rotan jernang dan konservasi hutan merupakan aspek penting dalam kebudayaan tradisional mereka. Namun pengetahuan ini lambat laun mengalami penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi seiring perkembangan masyarakat SAD. Menurut Aritonang (2001) jika diamati secara seksama sebenarnya sudah banyak perubahan yang terjadi pada SAD. Beberapa kelompok SAD di TNBD, sudah berinteraksi dengan Orang Terang1 yang berladang dekat mereka. Selama ini kontak dengan Orang Terang, mereka batasi secara ketat. Perubahan ini bertujuan agar mereka lebih mudah mengakses pertukaran barang dan jasa. Menurut Sasmita (2009) interaksi SAD dengan masyarakat desa, kebijakan pemerintah, kegiatan pemberdayaan SAD oleh Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) pemerhati SAD membuat SAD memperoleh pengetahuan baru. Pertumbuhan penduduk SAD dan perubahan hutan akibat konversi hutan alam menjadi areal perkebunan, transmigrasi, perusahaan kayu (HPH/HTI), menyebabkan perubahan budaya SAD, yang dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari. Weintre (2003) mencatat SAD mengadopsi beberapa inovasi yang berasal dari luar, seperti; 1) Berdasarkan aturan adat pemburu wajib untuk menyerahkan sebagian tangkapannya kepada Temenggung, namun sekarang tradisi itu sudah hilang; 2) Jenis makan pokok SAD biasanya adalah jenis umbi-umbian, seperti Umbi Banar (Dioscorea sp), namun sekarang mereka juga mengkonsumsi beras, mie instan, kue-kue kering dan jajanan lain; 3) SAD dahulu hidup nomaden, berburu dan meramu, sekarang mereka ada yang menetap, berladang karet dan sawit.

Perubahan sosial budaya SAD akan menyebabkan perubahan sikap dan perilaku terhadap sistem nilai yang dahulu mereka percaya. Perubahan yang dipaksakan akan menimbulkan guncangan sosial budaya dan dapat merusak semua tatanan yang sudah ada. Namun perubahan yang terjadi pada SAD di TNBD diharapkan sesuai dengan yang mereka inginkan karena perubahan adalah bagian dari hak asasi mereka. Walau demikian perlu menjadi perhatian semua pihak, bahwa perubahan itu sebaiknya berlangsung gradual bukan radikal dan tetap sesuai dengan konsep konservasi hutan. Perubahan itu perlu diiringi dengan peningkatan pengetahuan, keterampilan dan penyediaan sumberdaya ekonomi di masa depan yang tidak hanya diperoleh dari hutan. Oleh karena itu sebagai bentuk antisipasi harga jernang yang tinggi dan perubahan kehidupan SAD yang sedang terjadi, etnobotani rotan jernang oleh SAD penting untuk diteliti dalam rangka menyusun strategi konservasi rotan jernang sekaligus menjadi bagian dari strategi konservasi TNBD. Etnobotani rotan jernang oleh SAD terkait nilai-nilai yang mereka percaya, kehidupan sosial budaya dan perubahannya. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar tindakan konservasi rotan jernang dan habitatnya di TNBD. Selain itu hasil penelitian ini juga diharapkan dapat

1

(17)

digunakan sebagai solusi terhadap dampak perubahan sosial budaya SAD, sehingga kedepan program pendampingan dan permberdayaan SAD sesuai dengan sosial budaya mereka.

Rumusan Masalah

Menurut McNeely dan Pitt (1985) dalam McKinnon et al. (1988) ada banyak kawasan hutan yang penduduk lokalnya masih melakukan budaya tradisional, melindungi kawasan hutan yang luas yang merupakan ekosistem alam dan memungut sumberdaya hutan terpulihkan yang berprinsip pada pemanfaatan sumberdaya hutan berkelanjutan. Pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat lokal dianggap „primitif‟, namun telah terbukti mampu mengintegrasikan kehidupan mereka dengan lingkungan alamnya sehingga mereka mencapai konsep pemanfaatan sumberdaya hutan berkelanjutan yang apabila dilihat dari sudut pandang ekologi, menjamin tetap tersedianya sumberdaya hutan dengan kondisi hutan yang tetap sehat. Namun pola pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat tradisional di era sekarang ini, rawan dirusak oleh kekuatan luar yang sifatnya eksplotatif (free raider and overuse), yakni pola pemanfaatan sumberdaya hutan secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan daya dukung dan kelestarian sumberdaya hutan tersebut, tujuan pemanfaatan sumberdaya hutan hanya untuk memperoleh keuntungan ekonomis sesaat, sebesar-besarnya dan tidak mempertimbangkan aspek-aspek lain, seperti aspek ekologis dan sosial budaya masyarakat tradisional. Selanjutnya ditambahkan oleh Rosenbaum (2009) upaya masyarakat lokal bisa secara langsung mempengaruhi hutan maupun jutaan warga yang hidupnya bergantung pada hutan. Upaya masyarakat lokal mempertahankan hutan mereka seringkali gagal atau terabaikan.

SAD adalah salah satu etnis di Indonesia yang mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan secara berkelanjutan. Namun kondisi SAD sekarang ini terdesak oleh berbagai hal, diantaranya program pemerintah masa lalu yang tidak sesuai dengan sosial budaya SAD dan stigma yang dilekatkan oleh Orang Terang. Contoh program pemerintah yang tidak sesuai dengan sosial budaya SAD, yakni: (1) Pemberian izin pembukaan hutan kepada Perusahaan Perkebunan Negara & Swasta Nasional dan izin pemanfaatan kayu kepada Perusahaan Hak Penguasaan Hutan (HPH); (2) Transmigrasi; dan (3) Rumah tinggal SAD dengan konsep rumah tinggal Orang Terang. Semua program pembangunan tersebut merubah hutan tempat tinggal SAD dan merubah hidup sosial budaya mereka, dari hidup nomaden-berburu-meramu menjadi hidup menetap dan berkebun. Sedangkan contoh stigma yang dilekatkan Orang Terang kepada SAD, yakni: pemalas, bodoh dan miskin. Situasi ini menekan mereka dan adalah sangat tidak mungkin jika SAD berjuang sendiri untuk mempertahankan hutan dan budaya mereka. Program pembangunan yang tidak sesuai dengan sosial budaya SAD dan stigma yang dilekatkan Orang Terang tersebut, dikuatirkan dapat merubah nilai-nilai yang mereka percayai serta merubah sikap dan perilaku mereka yang pro konservasi menjadi sikap dan perilaku eksploitatif terhadap sumberdaya hutan.

(18)

4

dan pemberdayaan SAD sesuai sosial budaya mereka dan agar SAD mendapat dukungan Pemerintah dan masyarakat bahwa mereka berhak hidup sesuai dengan sosial budaya mereka. Adapun pertanyaan yang muncul dan akan dijawab dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana SAD melakukan pemanfaatan, perlindungan dan pelestarian rotan jernang? 2) Bagaimana nilai-nilai dan sosial budaya SAD terkait dengan rotan jernang dan konservasi hutan? dan 3) Bagaimana dampak perubahan sosial budaya SAD terhadap ekosistem, habitat dan kelestarian rotan Jernang?

Pertanyaan penelitian tersebut akan dijawab melalui rangkaian kegiatan penelitian, yakni; studi pustaka, observasi dan wawancara mendalam untuk memperoleh deskripsi etnobotani Rotan Jernang oleh SAD, sosial budaya dan nilai-nilai yang mereka percaya guna menyusun strategi konservasi Rotan Jernang dan habitatnya dalam hal ini kawasan hutan TNBD. Secara skematis alur penelitian ini, seperti disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Skema alur penelitian Rotan Jernang Sosial budaya

Interaksi Interaksi

SAD Ekosistem

Hutan

Orang Terang

 Pemerintah Pusat

 Pemerintah Daerah

 Politisi

 Akademisi

 Balai TNBD

 Dinas Sosial

 Dinas Transmigrasi

 Dinas Kesehatan

 LSM

 Masyarakat

Strategi Konservasi Rotan Jernang dan habitatnya

Etnobotani

Bioekologi Etnografi

Perubahan Nilai-nilai

“SAD Transisi” Orang Terang

Nilai-nilai

(19)

Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menyusun strategi konservasi rotan jernang di TNBD. Tujuan utama dibangun melalui sintesa tiga tujuan antara. Adapun tiga tujuan antara penelitian ini, yakni: 1) Mengkaji etnografi SAD; 2) Mengkaji bioekologi rotan jernang; dan 3) Mengkaji etnobotani rotan jernang oleh SAD.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat; (1) Memberikan sumbangan pengetahuan pada ilmu pengetahuan: Etnobotani, Ekologi, Sosiologi dan Antropologi (2) Menyediakan data untuk bahan pertimbangan para pihak dalam rangka konservasi rotan jernang dan TNBD (3) Menyediakan data untuk para pihak dalam rangka perlindungan sosial budaya SAD, pemberdayaan SAD sesuai dengan sosial budaya mereka dan rotan jernang sebagai alternatif pemberdayaan ekonomi SAD dan masyarakat lokal di sekitar kawasan hutan TNBD.

Ruang Lingkup Penelitian

(20)

2

METODE

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Menurut Sugiyono (2001) metode kualitatif digunakan untuk mengkaji permasalah realitas sosial dalam kondisi alami, apa adanya, tanpa rekayasa peneliti, kehadiran peneliti tidak mempengaruhi dinamika realita sosial yang diteliti. Menurut Moleong (2007) penelitian deskriptif adalah penelitian yang memberi gambaran secara detail mengenai individu atau kelompok tentang keadaan atau fenomena sosial. Miles dan Huberman (2007) menjelaskan bahwa pelaksanaan penelitian kualitatif memiliki paling tidak tiga tahap, yakni; pertama mengumpulkan data, analisis menentukan kategori dan pola dilanjutkan dengan mengumpulkan data, analisis untuk menentukan kesimpulan (sementara) dan diakhiri dengan mengumpulkan data, analisis dan menentukan kesimpulan final.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Resort Air Hitam, Seksi Konservasi Wilayah II, TNBD dan di desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan TNBD Resort Air Hitam, yakni; Desa Pematang Kabau dan Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan; (1) Lokasi relatif dekat dengan Kantor Resort Air Hitam TNBD, sehingga lokasi relatif mudah untuk dijangkau dengan demikian biaya relatif murah; (2) Antara informan dengan petugas TNBD Resort Air Hitam, telah terjalin interaksi; dan (3) Hasil survey Balai TNBD tahun 2012 di kawasan hutan wilayah kerja Resort Air Hitam terdapat populasi Rotan Jernang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2015. Lokasi penelitian ini seperti disajikan pada Gambar 2.

(21)

Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini; (1) Perlengkapan observasi: peta wilayah kerja Resort Air Hitam TNBD, GPS, kompas, camera dan alat tulis; dan (2) Perlengkapan wawancara: alat tulis, daftar pokok-pokok pertanyaan dan alat perekam.

Teknik Penentuan Informan

Informan dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan teknik snowball. Menurut Sugiyono (2001) teknik snowball adalah teknik penentuan informan yang diawali dengan satu orang informan, kemudian informan tersebut dimintai informasi mengenai orang-orang yang mengetahui tentang obyek penelitian untuk dijadikan informan, begitu seterusnya, sehingga informan semakin banyak, ibarat bola salju yang menggelinding, makin lama semakin besar.

Menurut Miles dan Huberman (2007) penelitian dengan pendekatan kualitatif akan diperoleh data yang berbeda-beda dan kompleks, sehingga menyebabkan muncul banyak pertanyaan sehingga dibutuhkan informan lain, demikian seterusnya sampai data jenuh, yakni: tidak diperoleh informasi baru. Sesuai dengan tujuan penelitian, informan dalam penelitian ini harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut: 1) Informan adalah Pemimpin SAD sehingga memudahkan peneliti dalam hal: menjelajahi lokasi penelitian, melakukan wawancara dan mengamati situasi sosial SAD; 2) Informan adalah pelaku kegiatan bejernang; dan 3) Informan adalah orang yang diduga mengetahui banyak hal mengenai tradisi bejernang dan sosial budaya SAD.

Dalam penelitian ini diwawancarai informan dan responden sebanyak 63 orang, terdiri dari; 33 orang informan SAD dan 30 orang responden Orang Terang. Informan SAD, yakni; 3 orang Tumenggung dan 30 orang Anak Dalam. Responden Orang Terang, yakni; 1 orang anak almarhum Jenang, 3 orang petugas TNBD, 4 orang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) WARSI, 2 orang LSM Gita Buana, 4 orang pengepul desa, 2 orang pengepul kabupaten, 2 orang pengepul provinsi, 2 orang Kepala Desa, Kepala Puskesmas Kecamatan Air Hitam, 1 orang paramedis puskesmas, 1 orang petugas Balai Pemantau Pemanfaatan Hasil Produksi (BP2HP) Prov. Jambi, 1 orang petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, 2 orang petugas Dinas Kehutanan Kab. Sarolangun, 1 Orang petugas Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, 2 orang petugas Balai Cagar Budaya Wilayah Provinsi Jambi, 1 orang petugas museum Provinsi Jambi dan Kepala Taman Budaya Provinsi Jambi.

Jenis dan Sumber Data

(22)

8

budaya SAD (sistem religi, mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan dan peralatan bahan yang digunakan oleh SAD); dan 3) Interpretasi tradisi bejernang dan nilai-nilai sosial budaya SAD. Data sekunder meliputi; data botani rotan jernang, yakni; taksonomi, morfologi dan ekologi Rotan Jernang.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik; wawancara, observasi dan studi pustaka. Teknik pengumpulan data primer menggunakan teknik; wawancara terbuka dan mendalam, observasi dan studi pustaka. Sedangkan pengumpulan data sekunder menggunakan teknik; wawancara terbuka dan studi pustaka. Secara rinci teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, seperti uraian berikut ini:

1. Wawancara

Menurut Sugiyono (2001) wawancara adalah pertemuan antara peneliti dengan satu orang informan atau lebih untuk memperoleh informasi melalui tanya jawab, sehingga diperoleh deskripsi dan interpretasi makna dalam suatu topik tertentu. Wawancara dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara terbuka dan mendalam. Yang dimaksud dengan wawancara terbuka adalah peneliti memberi kebebasan untuk informan menjelaskan obyek penelitian yang diwawancarai sehingga tidak menutup kemungkinan muncul pertanyaan baru sesuai alur pembicaraan informan. Sedangkan yang dimaksud dengan wawancara mendalam adalah peneliti menelusuri jawaban informan sampai sedetail mungkin. Agar wawancara tidak menyimpang, peneliti menyiapkan pokok-pokok pertanyaan sesuai dengan tujuan penelitian. Peneliti menyiapkan empat pedoman wawancara, yakni; wawancara dengan SAD, wawancara dengan Pengepul, wawancara dengan Jenang, Tokoh Masyarakat dan fasilitator LSM serta wawancara dengan petugas Pemerintah. Peneliti untuk mendapat gambaran detail mengenai etnobotani rotan jernang dan sosial budaya SAD, menyusun pokok-pokok pertanyaan mengacu pada teknik pertanyaan investigasi, yakni: 5W1H, singkatan dari what (apa), who (siapa), when (kapan), where (dimana), why (kenapa) dan how (bagaimana).

2. Pengamatan

(23)

Tabel 1 Rincian pengamatan yang dilakukan

No. Komponen Situasi Sosial

Yang Diobservasi

Data Yang Diinginkan

1. Tempat Pemukiman, hutan lokasi bejernang, lokasi penjualan jernang

dan lokasi-lokasi aktivitas kehidupan sehari-hari SAD, seperti; lokasi; keramat, ladang, kebun buah dan pasar.

2. Orang SAD

3. Aktivitas  Kegiatan bejernang; mencari rotan jernang, panen buah

rotan jernang, pengolahan buah rotan jernang menjadi jernang, penyimpanan dan penjualan jernang;

 Kegiatan sehari-hari, seperti; berburu meramu, beladang dan mencari; madu, damar, jelutung dan damar

 Kegiatan sosial budaya SAD; interaksi sosial SAD secara internal dan eksternal, apabila memungkingkan observasi; ritual prosesi; melahirkan, perkawaninan, pengobatan dan kematian.

3. Studi Pustaka

Kegiatan studi pustaka yang dilakukan dalam penelitian ini, yakni; kajian literatur; berupa buku dan hasil penelitian terkait, peta, laporan instansi pemerintah, LSM, cerita rakyat (folklore), peraturan perundang-undangan dan informasi lainnya. Ragam data pustaka yang dikumpulkan dalam penelitian ini, yakni data yang berkaitan dengan; konservasi hutan, etnobotani Rotan Jernang, sosial budaya SAD dan TNBD. Menurut Bogdan dan Bliken (1982) data penelitian hasil observasi dan wawancara akan kredibel (dapat dipercaya) kalau didukung oleh data studi pustaka.

Analisis Data

(24)

10

data adalah uji validitas data. Dalam penelitian ini validitas data dilakukan dengan teknik triangulasi data.

Menurut Patton (2001) triangulasi data adalah metode yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk memeriksa dan menetapkan validitas dengan analisa data dari berbagai perspektif, yakni; sumber, metode dan waktu. Jika data konsisten, maka data tersebut dinyatakan valid. Adapun teknik validitas data yang digunakan dalam penelitian ini, yakni: 1) Triangulasi sumber, data yang diperoleh diuji dengan cara membandingkan data tersebut dari beberapa sumber. Seperti: untuk menguji tahapan bejernang SAD, dibandingkan uraian tahapan bejernang oleh individu dalam satu rombong yang sama dan uraian tahapan bejernang individu antar rombong SAD. Kemudian hasil perbandingan tersebut dikategorikan berdasarkan; pemikiran yang sama, yang berbeda dan yang spesifik, guna selanjutnya dibuat kesimpulan sementara; 2) Triangulasi metode, data yang diperoleh diuji dengan cara perbandingan data dari sumber yang sama dengan metode yang berbeda. Seperti: data yang diperoleh dengan teknik wawancara dibandingkan dengan data yang diperoleh dengan teknik pengamatan dan studi pustaka. Apabila data berbeda maka dilakukan wawancara, pengamatan dan studi pustaka lebih lanjut dengan sumber data yang bersangkutan atau dengan sumber data yang lain, untuk memastikan data mana yang valid, atau mungkin semua data valid, hanya sudut pandangnya berbeda, kemudian disusun kesimpulan sementara; dan 3) Triangulasi waktu, validitas data dilakukan dengan cara membandingkan data hasil wawancara dan pengamatan pada waktu atau situasi yang berbeda. Apabila data berbeda dilakukan wawancara dan pengamatan kembali demikian dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh kepastian data, pada informan yang sama.

Analisis Sintesis

(25)

Tabel 2 Tujuan penelitian dan data yang dikumpulkan

Tujuan Penelitian

Jenis Data Sumber Data Teknik dan Data Yang Dikumpulkan

Primer Sekunder Primer Sekunder Studi Pustaka Wawancara Observasi

(26)

3

KONDISI UMUM TNBD DAN SAD

Proses Penunjukkan TNBD

Proses penunjukkan TNBD diinisiasi Bupati Sarolangun Bangko, melalui Surat Nomor: 522/182/1984 tanggal 7 Februari 1984, Surat Kepala Sub Balai Perlindungan Pengawetan Alam (PPA) Nomor: 163/V/813 PPA/1984 tanggal 15 Februari 1984 dan Surat Gubernur Propinsi Jambi Nomor: 522.51/863/84 tanggal 25 April 1984 kepada Menteri Kehutanan agar kawasan hutan Bukit Duabelas seluas 28.707 ha diperuntukkan sebagai Cagar Biosfer Bukit Duabelas (CBBD).

Kemudian Yayasan Warung Konservasi Indonesia (Warsi) pada tahun 1997 melakukan pendampingan dan kajian kehidupan SAD di CBBD. Yayasan Warsi menyarankan kepada Kementerian Kehutanan agar areal PT. Inhutani V dan PT. Sumber Hutan Lestari (SHL) yang terletak di sisi luar bagian utara CBBD sebagai kawasan hidup SAD. Selanjutnya Kementerian Kehutanan menindaklanjuti saran Yayasan Warsi dengan membentuk Tim Terpadu, melakukan kajian mikro di kawasan hutan Bukit Duabelas dengan rekomendasi agar areal sisi utara yang berbatasan dengan CBBD dijadikan kawasan lindung.

Rekomendasi tersebut ditindak lanjuti oleh Gubernur Propinsi Jambi, dengan berkirim Surat Nomor: 525/0496/Perek, tanggal 20 Januari 2000 kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) dengan usulan agar Menhutbun membatalkan pencadangan areal PT. Inhutani V dan PT. Sumber Hutan Lestari (SHL) seluas 38.500 ha, guna diperuntukkan sebagai kawasan CBBD sehingga total luas kawasan CBBD menjadi 65.300 ha. Kemudian Menhutbun menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 258/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000 tentang penunjukkan kawasan TNBD seluas 60.500 ha yang terletak di tiga kabupaten yaitu: Sarolangun (6.758 ha), Batanghari (41.259 ha) dan Tebo (12.483 ha) dan akhirnya Presiden RI Abdurrahman Wahid mendeklarasikan TNBD di Jambi tanggal 26 Januari 2001.

Tujuan Penunjukkan TNBD

Berdasarkan Undang-undang Nomor: 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor: 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, penunjukkan/penetapan kawasan hutan menjadi taman nasional bertujuan untuk: 1) Melindungi proses ekologis yang menunjang kehidupan, mengawetkan keanekaragaman: genetik, spesies dan ekosistem, dan 2. Memanfaatkan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya untuk kepentingan penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan, rekreasi, wisata alam, jasa lingkungan dan kegiatan penunjang budidaya.

(27)

Letak Geografis dan Batas TNBD

Kawasan TNBD seluas 60.500 ha, terletak di tiga kabupaten yaitu: Kabupaten Sarolangun (6.758 ha), Kabupaten Batanghari (41.259 ha) dan Kabupaten Tebo (12.483 ha). Letak geografis dan batas kawasan TNBD seperti diuraikan pada Table 3.

Tabel 3 Letak Geografis dan Batas Kawasan TNBD

Uraian Utara Timur Selatan Barat

Topografi, Iklim, Hidrologis dan Jenis Tanah

TNBD memiliki topografi datar, bergelombang dan perbukitan. Pada kawasan perbukitan terdapat 12 bukit utama, yakni: Bukit Kuaran, Bukit Punai Banyak, Bukit Berumbung, Bukit Lubuk Semah, Bukit Sungai Keruh Mati, Bukit Panggang, Bukit Enau, Bukit Terenggang, Bukit Pal, Bukit Suban, Bukit Tigo Beradik dan Bukit Bitempo.

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmit dan Ferguson, TNBD termasuk ke dalam iklim kelompok A, yakni; iklim tropika basah, dengan ciri-ciri; curah hujan terendah 3.294 mm dan tertinggi 3.669 mm, suhu terendah 26°C dan tertinggi 38° C, kelembaban udara terendah 80% dan tertinggi 94%.

TNBD dialiri dua sungai besar yakni Sungai Tembesi dan Sungai Tabir. Anak sungai tembesi, yakni; sungai air hitam, sungai jelutih dan sungai serengam. Anak sungai tabir, yakni ; sungai kejasung kecil, sungai kejasung besar, sungai makekal, sungai bernai dan sungai seranten.

(28)

14

Tabel 4 Topografi, iklim, hidrologis dan jenis tanah di TNBD

Uraian Keterangan

Hidrologis Aliran sungai tembesi dan

sungai tabir;

(29)

Sungai; Kejasung Besar, Kejasung Kecil dan Serengam Hulu kondisi hutannya telah terbuka sehingga memerlukan rehabilitasi, khususnya disepanjang jaringan jalan logging eks HPH PT. SHL.

Ekosistem, Flora dan Fauna di TNBD

(30)

16

Keadaan Sosial Ekonomi SAD

Kependudukan

Komunitas SAD hidup dalam rombong (secara berkelompok) namun tidak dibatasi wilayah tempat tinggal, berburu dan meramu. Kontrol sosial di tiap-tiap rombong diatur oleh Penghulu (Lembaga Adat SAD). Penghulu terdiri dari Tumenggung, Wakil Tumenggung, Depati, Menti, Mangku, Debalang Batin dan Tengganai. Rombong dipimpin oleh Tumenggung dan masing-masing rombong diberi nama berdasarkan nama Tumenggungnya. Berdasarkan hasil sensus SAD di kawasan TNBD tahun 2013 oleh Balai TNBD, diperoleh informasi bahwa di dalam kawasan hutan TNBD ada 13 rombong dengan populasi sebanyak 1775 jiwa yang terdiri dari: 856 laki-laki dan 919 perempuan, secara lebih rinci disajikan pada Tabel 5.

(31)

artinya SAD pantang makan makanan hasil ternak, seperti: ayam, kambing dan kerbau. Rumah beratap daun tikai, berdinding kulit kayu, berlantai tanah, berkelambu asap resam (tidak berkelambu), taat kepada: Rajo, Jenang, Batin (Waris) dan Penghulu.

Jika melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang, SAD percaya hidupnya akan menderita, mendapat bencana, sengsara, celaka: ditimpa kayu, dimakan harimau atau dimakan buayo. Hal tersebut diceritakan oleh mantan Tumenggung SAD, Pak Tarib kepada peneliti. Selain itu ada hambatan psikis bagi masyarakat SAD dan Orang Terang, masing-masing mempunyai cara hidup yang sangat berbeda. Masyarakat SAD tidak memakai baju, hanya memakai cawat, tidak mandi dan takut berinteraksi dengan Orang Terang. Bagi SAD, Orang Terang dapat menularkan penyakit menular, seperti: cacar atau campak.

Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan sensus SAD di kawasan TNBD tahun 2013 oleh Balai TNBD, diperoleh data; dari 1775 orang SAD yang tinggal di dalam kawasan hutan TNBD, yang pernah dan sedang mengenyam pendidikan 35 orang atau 0.02 %, dengan sebaran; SD 31 orang, SLTP 3 orang dan SLTA 1 orang.

Kepercayaan

SAD menganut kepercayaan sinkritisme, yakni gabungan kepercayaan seperti: animisme, dinamisme dan totemisme. SAD percaya Dewa-Dewa, satwaliar jelmaan Dewa, tumbuh-tumbuhan tempat turunnya Dewa, tempat-tempat yang didiami Dewa, benda-benda keramat, roh-roh nenek moyang dan hantu. Namun sekarang ada juga SAD yang memeluk agama Islam, yakni SAD rombong Temenggung Betaring/Ngangkus (21 orang) dan warga rombong Temenggung Jelitai (29 orang). Sumber: laporan pelaksanaan kegiatan sensus SAD di kawasan TNBD tahun 2013 oleh Balai TNBD).

Perekonomian SAD

SAD memenuhi kebutuhan makanannya, dengan cara berburu, meramu dan ladang berpindah. Pada zaman dahulu SAD hidup dengan pola nomaden dan secara penuh menggantungkan diri pada alam untuk memenuhi kebutuhan makanan, peralatan rumah tangga dan tempat tinggal. Saat ini terjadi perubahan pola hidup SAD, jika dahulu tergantung pada kemurahan alam sekarang mereka mengelola ladangnya secara agroforestri berbasis karet. Selain untuk memenuhi kebutuhan pangan, ladang karet juga berfungsi sebagai batas lahan milik antar sesama komunitas SAD dan khususnya dengan masyarakat desa.

(32)

18

Tabel 6 Sebaran ladang karet SAD di dalam kawasan TNBD No. Rombong

Sumber: Data sensus SAD olehTNBD, 2013 Aksesibilitas

TNBD berada di tengah Provinsi Jambi. Kota Jambi dapat diakses melalui transportasi darat melalui jalan lintas Sumatera. Saat ini Kota Jambi melalui transportasi udara dapat diakses melalui: Medan, Batam Palembang dan Jakarta. Perjalanan dengan menggunakan pesawat terbang dari Jakarta ke Kota Jambi memakan waktu selama satu jam.

Kawasan TNBD di wilayah Kabupaten dari Kota Jambi umumnya diakses melalui jalur darat. Rincian jarak tempuh jalur darat dari Kota Jambi ke masing-masing kawasan TNBD di wilayah Kabupaten, sebagai berikut:

1) Kawasan TNBD di wilayah Kabupaten Sarolangun: Kota Jambi ke Sarolangun menempuh jarak 200 km, Sarolangun ke Kecamatan Pauh menempuh jarak 24 km, Kecamatan Pauh ke Desa Air Hitam menempuh jarak

60 km; 2) Kawasan TNBD di wilayah Kabupaten Tebo: Kota Jambi ke Muaro Tebo menempuh jarak 200 km, Muaro Tebo ke Kecamatan Tebo Ilir menempuh jarak 48 km, Kecamatan Tebo Ilir ke Desa Sungai Jernih menempuh jarak 36 km; dan 3) Kawasan TNBD di wilayah Kabupaten Batanghari: Kota

(33)
(34)

4

ETNOBOTANI ROTAN JERNANG

Tradisi Bejernang

Bejernang adalah tradisi yang sampai sekarang masih dilakukan oleh SAD. Bejernang bukan hanya sekedar kegiatan mencari buah rotan jernang di dalam hutan diolah menjadi jernang kemudian dijual kepada toke jernang. Bejernang adalah tradisi yang meliputi multi aspek, yakni aspek; spiritual, sosial, ekonomi dan ekologi. Bagi SAD, Rotan Jernang adalah tumbuhan tempat turunnya Dewa. Oleh karenanya apabila SAD akan pergi bejernang mereka mengucapkan mantra memohon kepada Dewa agar mereka mendapat banyak buah Rotan Jernang. Ketika SAD menjumpai rotan jernang di hutan, mereka akan mengucapkan mantra mohon izin untuk memasuki area tersebut dan memohon izin untuk memanen buah rotan jernang. Secara lengkap rangkaian kegiatan bejernang adalah sebagai berikut; 1) Berembuk dan mufakat; 2). Mencari Rumpun rotan jernang; 3) Panen buah rotan jernang; 4) Pemeraman buah rotan jernang; 5) Ekstraksi jernang; 6). Penyimpanan jernang; dan 7) Menjual jernang kepada toke. Adapun uraian tradisi bejernang SAD seperti disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Tradisi bejernang

2) Mencari RJ Dewasa dan anak remaja laki-laki

3) Panen buah RJ Memanjat dan galah pengait kayu, buah

4) Pemeraman buah RJ 2-3 hari agar buah mudah rontok dari

tandan

5) Ektraksi jernang Ektraksi kering

6) Penyimpanan jernang Langsung dijual atau disimpan sebagai

tabungan

7) Jernang dijual kepada toke Harga Rp. 2.800.000-Rp. 3.000.000/kg

2 Pola 1)Sendiri Mendapat buah Rotan Jernang untuk

dirinya sendiri

2)Kongsi Mendapat buah Rotan Jernang dibagi

bersama

3 Modal 1)Sendiri Apabila mendapat jernang dapat dijual

(35)

Tabel 7 Tradisi bejernang (lanjutan) musim buah-buahan masak, setelah Tumenggung mengumpulkan rombong

6 Lokasi Sempadan sungai dan bukit. Lokasi di dalam TNBD; sungai makekal,

kejasung besar dan kejasung kecil matahari, mengenal lokasi (sejak anak-anak) menurut nama bukit dan sungai

(36)

22

2. Mencari Buah Rotan Jernang

Bejernang adalah kegiatan fisik yang berat, membutuhkan fisik yang prima, pengetahuan dan keterampilan, seperti; a) Pengetahuan dan keterampilan navigasi; b) Pengetahuan dan keterampilan berburu dan meramu; c) Ketrampilan membuat sudung (bivak); dan d) Ketrampilan memanjat pohon. Penjelasan mengenai pengetahuan dan keterampilan tersebut, seperti diuraikan berikut ini; a) Pengetahuan dan Keterampilan navigasi; agar mereka tidak tersesat di hutan, mereka berpedoman kepada; (1) Posisi matahari ketika pergi dan kembali; (2) Sungai dan bukit, mereka mengetahui sungai dan bukit dengan memberi nama sungai dan bukit tersebut. Sejak mereka; anak-anak, orang tua mereka telah sering membawa mereka ke sana. Orang tua SAD selalu mengikutsertakan anak-anak laki-laki mereka bejernang sejak masih anak-anak; dan (3) Tanda tetak di pohon, sebelah kiri ketika pergi atau sebelah kanan ketika pulang dan tanda tetak di setiap persimpangan jalan. Apabila tersesat proses diulang, dengan cara balik ke pangkal; b) Berburu & meramu; saat bejernang SAD tidak membawa bekal makanan, mereka berburu dan meramu untuk memenuhi kebutuhan energinya. Mereka memiliki pengetahuan perilaku satwa buru, seperti; babi, kijang, rusa, monyet, ikan, labi-labi, kura-kura, biawak dan ular. Mereka memiliki ketrampilan; menombak atau menembak dan memasang jerat; c) Membuat sudung; adalah pondok. Mereka membuat sudung sesaat mereka sampai di lokasi bejernang, sudung selain menjadi tempat bermalam juga merupakan pangkalan mereka selama bejernang. Ukuran sudung disesuaikan dengan jumlah personil bejernang, lantai tanah diberi alas daun-daun, tiang kayu dan beratap daun atau plastik; dan d) Memanjat pohon; SAD selalu melibatkan anak-anak bejernang, dengan syarat anak-anak yang telah bisa memanjat pohon. Keterampilan memanjat pohon berguna untuk memanen buah Rotan Jernang yang tinggi, menghindar dari binatang buas dan menentukan arah ke pangkalan atau ke pemukiman apabila mereka tersesat di hutan. Adapun lokasi-lokasi yang biasa menjadi lokasi bejernang rombong Tumenggung; Bepayung, Betaring dan Grib SAD dan peta sebaran rotan jernang di lokasi penelitian, seperti: disajikan pada Tabel 8 dan Gambar 4.

Tabel 8 Lokasi bejernang SAD di dalam kawasan hutan TNBD

Batang Sungai Ranting Sungai Keterangan

1).Makekal

(37)

Gambar 4 Peta Sebaran rotan jernang di lokasi penelitian 3. Cara Panen Buah Rotan Jernang

Panen buah Rotan Jernang oleh SAD dilakukan dengan hati-hati. Panen buah Rotan Jernang oleh SAD dilakukan dengan menggunakan alat yang sederhana, yakni; galah yang ujungnya dipasang pengait kayu. Kadang kala panen dilakukan dengan memanjat pohon rambat Rotan Jernang. Buah Rotan Jernang dipanen saat buah sudah masak dengan ciri-ciri buah diselimuti resin dan warna kemerahan. Panen buah Rotan Jernang dilakukan dengan cara tandan buah Rotan Jernang dikait dan dipilin sampai tandan buah Rotan Jernang lepas dari batang. Setelah tandan buah lepas dari batang dan buah brondol (buah yang terlepas dari tandan) dikumpulkan dalam ambung (wadah yang terbuat dari rotan). Panen buah Rotan Jernang oleh SAD dilakukan berdasarkan aturan adat turun temurun dari nenek moyang. Aturan adat tersebut dalam bentuk lisan yang mereka ingat dan ajarkan kepada anak cucunya.

4. Pemeraman Buah Rotan Jernang

(38)

24

5. Pengolahan Buah Rotan Jernang

Sebelum pengolahan dilakukan, terlebih dahulu dilakukan persiapan; alat, tempat dan pemilihan waktu yang tepat. Alat yang disiapkan; ambung, kayu penumbuk; kayu sentumbung cabang tiga, plastik, periuk, dan kayu bakar. Tempat pengolahan harus memenuhi syarat, yakni; aman dari gangguan dan terlindung dari angin. Waktu pengolahan biasanya pagi atau sore hari, karena pagi atau sore hari, hembusan angin relatif tidak kencang. Saat pengolahan faktor angin menjadi pertimbangan penting karena lulun merupakan serbuk yang ringan yang mudah diterbangkan angin. Selanjutnya mengenai pengolahan buah Rotan Jernang diuraikan dan dijelaskan pada bagian Teknik Ektraksi Jernang Oleh SAD. 6. Penyimpan Jernang

Pengolahan lulun menjadi jernang dapat dilakukan di pangkalan atau di perkampungan. Lulun yang telah diolah menjadi jernang selanjutnya disimpan atau bisa juga langsung dijual. Pertimbangan disimpan atau dijual, terkait masalah kebutuhan dan harga jernang. Apabila tidak ada kebutuhan yang mendesak, jernang biasanya disimpan tetapi apabila harga jernang sedang tinggi walaupun tidak ada kebutuhan yang mendesak jernang langsung dijual.

7. Penjualan Jernang

Zaman dahulu SAD berniaga hasil hutan dengan cara barter, tetapi zaman sekarang setelah mengenal uang dan setelah terjadi perubahan sosial politik di Jambi, SAD berniaga dengan cara menjual langsung hasil hutan kepada pengepul. Pola niaga jernang SAD ada dua, yakni; pola toke dan pola mandiri. Pola toke, SAD mendapat pinjaman modal atau mendapat bahan dan alat dari toke, jernang yang diperoleh harus dijual kepada toke, dengan harga saat ini berkisar antara Rp2.800.000 hingga Rp3.000.000/kg. Pola mandiri, SAD bejernang dengan modal sendiri. SAD bisa menjual jernang secara bebas kepada pedagang pengumpul jernang di desa. Di Kecamatan Air Hitam terdapat empat pedagang pengumpul jernang. Harga jernang saat ini di tingkat pedagang pengumpul jernang berkisar antara Rp3.000.000 hingga Rp3.500.000/kg. Adapun alur perdagangan jernang seperti disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Alur perdagangan jernang

Istilah toke digunakan apabila pedagang pengumpul memberi pinjaman modal atau bahan kepada SAD sedangkan istilah pedagang pengumpul digunakan apabila SAD tidak terikat pinjaman modal atau bahan kepada seorang toke. Pedagang pengumpul Desa bisa menjual jernang kepada pedagang pengumpul Kabupaten atau pedagang pengumpul Provinsi. Pedagang pengumpul Kabupaten

SAD Toke atau Pedagang Pengumpul Desa

Pedagang Pengumpul Kabupaten

Pedagang Pengumpul Provinsi

(39)

atau Pedagang Pengumpul Provinsi biasanya pergi ke Desa Bukit Suban atau Desa Pematang Kabau membeli jernang kepada Pedagang Pengumpul Desa. Atau bisa juga sebaliknya Pedagang Pengumpul Desa pergi menjual jernang kepada Pedagang Pengepul Kabupaten kemudian Pedagang Pengepul Kabupaten pergi menjual jernang kepada Pedagang Pengepul Provinsi.

Teknik Ekstraksi Jernang Oleh SAD

Jernang adalah serbuk yang menempel dan menutupi permukaan buah Rotan Jernang dan untuk memisahkan serbuk dari buah Rotan Jernang perlu dilakukan proses ekstraksi. SAD memiliki istilah yang mereka gunakan untuk menyebut serbuk yang menempel pada buah Rotan Jernang. Serbuk tersebut mereka sebut dengan istilah lulun. Adapun teknik ekstraksi jernang oleh SAD sebagai diuraikan berikut ini; 1) Sebelum pengolahan dilakukan, terlebih dahulu dilakukan persiapan; alat, tempat dan pemilihan waktu yang tepat. Alat yang disiapkan; ambung, kayu penumbuk; kayu sentumbung cabang tiga, plastik, periuk, dan kayu bakar. Tempat pengolahan harus memenuhi syarat, yakni; aman dari gangguan dan terlindung dari angin. Waktu pengolahan biasanya pagi atau sore hari, karena pagi atau sore hari, hembusan angin relatif tidak kencang. Saat pengolahan faktor angin menjadi pertimbangan penting karena lulun merupakan serbuk yang ringan yang mudah diterbangkan angin; 2) Buah Rotan Jernang yang mereka panen tidak langsung diolah, tetapi diperam terlebih dahulu, selama 2-3 hari agar buah Rotan Jernang mudah dirontokkan dari tandannya dan lulun yang menempel pada kulit buah Rotan Jernang mudah lepas saat diolah; 3) Teknik pemeraman buah Rotan Jernang oleh SAD adalah praktis dan sederhana, yakni; buah Rotan Jernang disimpan di dalam kantong plastik, kemudian disimpam di dalam ambung, di letak di sudut sudung atau tempat yang diperkirakan aman, dari gangguan satwaliar dan aman dari aktifitas mereka; 4) Setelah alat dan tempat disiapkan, selanjutnya buah Rotan Jernang diolah dengan tahapan, sebagai berikut; (a) Buah Rotan Jernang dirontokkan dari tandannya; (b) Buah ditaruh di dalam ambung; (c) Ambung digoncang agar lulun rontok dan untuk memaksimalkan lulun yang rontok, buah Rotan Jernang ditumbuk dengan kayu sentubung cabang tiga. Menurut informan kalau menumbuk buah Rotan Jernang dengan kayu sentubung cabang tiga, lulun tidak akan lengket pada kayu penumbuk; (d) Lulun yang rontok ditampung dan dibungkus plastik; (e) Kemudian lulun direbus, agar lulun yang masih berupa serbuk tersebut meleleh; dan (f) Selanjutnya lulun dibiarkan dingin agar lulun mengumpal dan mengeras. Sebelum lulun menjadi keras terlebih dahulu dibentuk menjadi batangan. Lulun yang telah mengumpal dan mengeras ini mereka sebut jernang. Adapun ilustrasi pengolahan buah Rotan Jeranang oleh SAD dapat dilihat pada Gambar 6.

(40)

26

kotoran maka semakin tinggi pula kadar abunya. Kadar abu jernang SAD (2,8%), termasuk mutu I. Titik leleh jernang SAD (105ºC), hal ini berkorelasi positif dengan kadar kotoran, ditinjau dari sifat titik leleh, jernang SAD termasuk mutu I. Hasil penelitian Waluyo et al. (2004) terhadap sifat fisiko kimia jernang hasil ekstraksi SAD, seperti disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Sifat fisiko-kimia jernang No. Karakteristik

Yang Diuji

Karakteristik Jernang SAD

Standar Nasional Indonesia (SNI)

Mutu I Mutu II

1 Kadar air (%) 4,4 Maks. 3 Maks. 6

2 Kadar kotoran 16,0 Maks. 14 Maks. 39

3 Kadar abu (%) 2,8 Maks. 8 Maks. 20

4 Titik leleh (ºC) 10,5 80-120ºC 80-120ºC

Gambar 6 Ilustrasi teknik ekstraksi jernang oleh SAD Aturan Adat SAD Mengenai Rotan Jernang

Dalam hal pemanfaatan Rotan Jernang, SAD memiliki aturan adat yang mengatur tata cara pemanfaatan Rotan Jernang. SAD sampai sekarang belum memiliki pengetahuan baca tulis, sehingga aturan adat yang mereka pakai masih dalam bentuk lisan. Aturan adat tersebut, mereka ingat, praktekan dan ajarkan kepada anak cucu mereka. Bagi siapa saja SAD yang ketahuan melanggar aturan

A. Rotan Jernang B. Tandan Buah C. Buah Rotan Jernang

D. Proses Penumbukan E. Serbuk Jernang F. Jernang

(41)

adat dan dilaporkan maka akan bepekaro (sidang adat SAD) dengan Penghulu (Organisasi Sosial SAD) dan apabila terbukti akan dikenakan sanksi adat. Adapun aturan bejernang dan sanksi adat, diuraikan sebagai berikut; 1) Kepemilikan rumpun Rotan Jernang, SAD mengikuti aturan adat kepemilikan harta bersama dan bukan harta bersama. Ketika SAD menemukan rumpun Rotan Jernang yang telah berbuah dan buah Rotan Jernang tersebut telah layak panen dan rumpun Rotan Jernang tersebut belum ada tanda kepemilikan; semak di sekitar rumpun Rotan Jernang tersebut belum dibersihkan, tidak ada tanda-tanda bekas tebasan parang pada semak maka siapa saja yang pertama menemukan buah Rotan Jernang tersebut berhak memanennya. Tetapi apabila buah Rotan Jernang tersebut masih muda belum layak panen dan rumpun Rotan Jernang tersebut belum ada tanda dimiliki, orang itu akan memberi tanda kepemilikannya di sekitar rumpun Rotan Jernang tersebut supaya orang lain tahu rumpun Rotan Jerang tersebut bukan harto bersamo. Setelah buah Rotan Jerang tersebut dipanen, rumpun Rotan Jernang tersebut kembali menjadi harto bersamo; 2) Panen buah Rotan Jernang yang masih mudo, dikenakan denda 120 lembar kain; 3) Melukai batang Rotan Jernang akan dianggap sama dengan membunuh Rotan Jernang, dikenakan denda 500 lembar kain; 4) Seringkali buah Rotan Jernang tidak dapat dijangkau dengan tangan, maka mereka akan memanjat pohon terdekat atau mereka akan mengunakan alat penjuluk dengan pengait dari kayu. Pengambilan buah Rotan Jernang tidak boleh menggunakan pengait dari besi karena menurut kepercayaan SAD pengait dari besi dapat melukai, merusak batang Rotan Jernang; 5) Apabila mengulangi perbuatan melanggar aturan adat untuk ke-dua kali dikenakan hukuman diusir dari rombong; dan 6) Selain sanksi adat, menurut pengakuan informan, sanksi yang lebih berat sebenarnya adalah sanksi dikutuk Dewa, SAD percaya; mereka yang melanggar aturan adat akan mendapat balak (mendapat celaka, seperti; ditimpa dahan pohon, dipatuk ular, terkena penyakit, tidak mendapat satwa buru, tidak mendapat buah-buahan di hutan). Sanksi ini tidak hanya akan menimpa yang melanggar aturan adat, sanksi akan terjadi pada keluarga bahkan anggota rombong yang lain.

Bentuk Pemanfaatan Jernang oleh SAD

Jernang dimanfaatkan oleh masyarakat SAD sebagai bahan obat tradisonal, bahan pewarna kerajinan tangan dan sebagai komoditi yang diperdagangkan. Jernang sebagai bahan obat tradisional; digunakan untuk sakit kepala; pusing dan demam. Serbuk jernang dicampur dengan minyak makan (minyak kelapa atau minyak sawit), dioleskan pada kepala pasien. SAD memanfaatkan jernang sebagai komoditi untuk diperdagangkan, karena jernang memiliki harga yang tinggi, jernang sebagai bahan pewarna digantikan dengan kulit pohon samak (Syzygium inophyllum) dan jernang sebagai bahan obat digantikan dengan jenis tumbuhan obat lainnya. SAD mengenal banyak jenis tumbuhan obat, selain buah Rotan Jernang SAD mengenal 5 jenis tumbuhan obat untuk obat sakit pusing dan demam, yakni; 1) Daun masam (belum teridentifikasi); 2) Keduduk (Melastoma affine); 3) Kilatdari (Euginea lineata); 4) Petaling (Ochanostachys amentacea); dan 5) Tebu pungguk (Costus speciosus).

(42)

28

kecamatan, pedagang pengumpul kabupaten, pedagang besar provinsi dan eksportir. Kelompok masyarakat pengumpul jernang adalah produsen, sedangkan pedagang pengumpul (desa, kecamatan, kabupaten, provinsi) merupakan pedagang (agen) perantara pedagang besar (kabupaten, provinsi atau eksportir). Sedangkan hasil wawancara dengan 4 (empat) orang pedagang pengumpul jernang di Kecamatan Air Hitam, lembaga tata niaga jernang di Kecamatan Air Hitam, adalah; SAD pengumpul jernang, pedagang pengumpul desa atau toke desa, pedagang pengumpul kabupaten atau pedagang pengumpul yang datang dari Surabaya dan Aceh.

Harga jernang dibandingkan HHBK lainnya memiliki harga yang tinggi, pada tingkat SAD saja sudah mencapai Rp. 2.800.000 sampai dengan Rp. 3.000.000/kg. Tingginya harga jernang ini diduga karena jernang merupakan komoditi ekspor yang memiliki khasiat obat dan memiliki banyak manfaat. Gupta et al. (2008) merangkum beberapa hasil penelitian tentang khasiat jernang, diperoleh informasi bahwa jernang memiliki khasiat; aktifitas apoptosis, antiplatelet effects, anticoagulant, antiviral activity, anti-inflammatory, aktifitas cytotoxic.

Tabel 10 Senyawa kimia dari Daemonorops draco dan bioaktivitasnya Nama senyawa Bioaktivitas References

Abietic acid; dehydroabietic acid; isopimaric acid; pimaric acid; sandaracopimaric acid

cis-9,10-dihydrocapsenone; germacrene-d; ɑ -copaene;

(43)

Berdasarkan deskripsi tradisi bejernang dan kehidupan sosial budaya SAD, diperoleh pemahaman bahwa sikap perilaku mereka terhadap Rotan Jernang berpedoman pada nilai-nilai yang mereka percayai. Schwartz (2011) menyatakan ketika kita berpikir tentang nilai-nilai, kita berpikir tentang apa yang penting bagi kita dalam hidup. Masing-masing orang memegang banyak nilai-nilai dengan berbagai tingkat pentingnya. Menurut Spranger (1928) dalam Puente et al., (1986), manusia memiliki nilai-nilai yang dapat diklasifikasikan menurut kategori: spiritual, teoritis, politik, sosial, ekonomi dan estetika. Adapun interpretasi nilai yang terkandung dalam tradisi bejernang, mengacu pada konsep nilai menurut Schwartz (2011) dan Spranger (1928) dalam Puente et al., (1986), seperti disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Nilai-nilai tradisi bejernang dan sosial budaya SAD

No. Nilai-nilai Perilaku atau Norma Keterangan

1 Spiritual SAD sebelum

membersihkan areal disekitar

Rotan Jernang, melakukan ritual membaca mantra; meminta izin dan keselamatan.

SAD percaya bahwa Rotan Jernang

tempat turunnya Dewa. Rotan

Jernang adalah tumbuhan yang sakral, tempat tumbuhnya Rotan Jernang adalah tempat keramat.

2 Sosial 1. Adil, taat aturan adat, hidup

sederhana dan solidaritas.

SAD percaya bahwa pikiran,

perkataan dan perbuatan mereka menentukan baik atau buruk nasib mereka.

2. Interaksi internal, sosialisasi nilai-nilai dan interaksi eksternal dengan Orang Terang.

SAD bejernang bersama anggota rombong dan mengikut sertakan anak-anak mereka. Tradisi bejernang merupakan media SAD berinteraksi dengan Orang Terang.

3 Ekonomi Buah Rotan Jernang diolah

menjadi jernang; untuk obat dan dijual.

Jernang memiliki harga yang tinggi

bagi SAD,

Rp2.800.000-Rp3.000.000.

4 Politik Konservasi Rotan Jernang bagian

dari konservasi TNBD

Konservasi sebagai gerakan

idealisme, bejernang sebagai bagian dari sosial budaya SAD

5 Teoritis Bejernang sebagai bagian dari

sistem pengetahuan SAD

Pengetahuan; tumbuhan, satwa buru,

lingkungan fisik, bahan obat,

pewarna dan komoditi dagang

6 Estetis Pewarna kerajinan tangan Warna sebagai ekspresi nilai estetis

1. Nilai-nilai Spiritual dan Nilai-nilai Moral

(44)

30

juga akan menimpa anak cucu, sanak saudara dan rombongnya. Oleh karena itu SAD sangat taat pada aturan adat yang mengatur tata cara panen buah Rotan Jernang.

Kepercayaan spiritual SAD dan aturan adat mengakar kuat di dalam pikiran mereka. Kepercayaan spiritual SAD dan aturan adat merupakan faktor yang sangat mempengaruhi sikap dan perilaku SAD terhadap rotan jernang dan habitatnya. Menurut Sumanto (2014) spiritualitas bagi manusia merupakan kesadaran yang paling tinggi, menjiwai dan mewarnai sikap, perilaku dan relasi manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan yang gaib.

SAD memiliki sistem kepemilikan bersama terhadap sumberdaya hutan yang mereka manfaatkan. Setiap rumpun rotan jernang yang tumbuh di hutan adalah milik bersama. Setiap warga SAD yang menemukan dan membersihkan areal tempat tumbuh rumpun Rotan Jernang berhak memanen buah rotan jernang yang telah masak. Setiap rumpun Rotan Jernang yang telah dibersihkan, berarti sudah ada yang punya. SAD yang menemukan rumpun rotan jernang yang telah dibersihkan tidak akan memanen buah rotan jernang tersebut. Sistem kepemilikan dan aturan siapa yang berhak memanen buah rotan jernang ini telah berlangsung ratusan tahun dan tetap lestari sampai sekarang. Interpretasi terhadap situasi ini, karena SAD percaya dan patuh pada nilai-nilai (sprititual dan moral), aturan adat dan ikatan rasa persaudaraan (solidaritas). Menurut Durkheim (1957) dalam Rudyansjah (2015); Ritzer (2014) keteraturan merupakan keadaan normal dari satu masyarakat ketimbang konflik. Durkheim menalarkan bahwa di dalam berbagai masyarakat yang menampilkan keteraturan, beberapa bentuk solidaritas semestinya ada agar bisa menyediakan sebentuk dasar moral bagi ketertiban masyarakat.

2. Nilai sosial, nilai ekonomi dan nilai politik

Tradisi bejernang dan rotan jernang dalam penelitian ini adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam kehidupan sosial budaya SAD, rotan jernang selain terkait dengan nilai-nilai; spiritual, terkait pula dengan nilai sosial, nilai ekonomi serta nilai politik dalam hal karakteristik bioekologis rotan jernang sebagai bagian dari ekosistem hutan.

(45)

memanjat agar mendapatkan ruang dan sinar matahari untuk pertumbuhan vegetatif-generatifnya. Terkait dengan tradisi bejernang, nilai spiritual, nilai sosial dan nilai ekonomi yang dimiliki rotan jernang serta sifat karakteristik bioekologis rotan jernang yang memerlukan banyak pohon disekitarnya. Hal itu menempatkan posisi rotan jernang sebagai tumbuhan penting untuk upaya konservasi hutan trofis dataran rendah. Dalam hal ini konsep konservasi bukan hanya dipahami sebatas upaya teknis kehutanan, tetapi konsep konservasi dipahami sebagai upaya politik membangun idealisme bersama sebagai suatu gerakan perjuangan menyelamatkan hutan trofis dataran rendah dalam hal ini kawasan hutan TNBD.

3. Nilai teoritis dan estetis

Interaksi SAD dengan rotan jernang telah berlangsung lama. Berdasarkan literature diperkirakan telah ratusan tahun. Menurut Marsden (2013) dalam bukunya yang berjudul history of sumatera, edisi pertama terbit pada tahun 1783; darah naga adalah bahan obat dari pulau Sumatera yang banyak dijual oleh penduduk asli ke pedagang Cina. Menurut McKinnon (1992) sejak abad ke-11 telah terdapat kapal niaga dari Tiongkok, India, Arab dan Portugis untuk memuat bahan yang tersedia di pelabuhan tengah Sumatera. Walaupun kuantitas niaga mungkin kecil, Orang Kubu memiliki pengetahuan geografis, keterampilan berburu dan mengumpulkan hasil hutan, seperti; kulit ular, lebah madu, getah jelutung, getah damar, getah jernang, bahan pewarna dari tumbuhan, tumbuhan obat, kemenyan, kayu harum dan kayu besi.

(46)

5 BIOEKOLOGI ROTAN JERNANG

Taksonomi Rotan Jernang

Rotan adalah jenis tumbuhan memanjat, termasuk dalam famili Palmae, hidup merumpun, batang bagian dalamnya tidak berongga. Spesies rotan di dunia yang telah berhasil diidentifikasi sebanyak 613 spesies meliputi 13 genus. Genus tersebut adalah Calamus, Calospatha, Ceratolobus, Daemonorops, Eremospatha, Korthalsia, Laccosperma, Myrialepis, Oncocalamus, Plectocomia, Plectocomiopsis, Pogonotium dan Retispatha (Dransfield 1974).

Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman spesies rotan yang tinggi. Ada 507 spesies rotan yang ditemukan di Indonesia, tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua (Dransfield dan Manokaran 1996). Menurut Rustiami et al. (2004) ada 115 spesies Daemonorops yang hidup di Indonesia, dari 115 spesies Daemonorops tersebut, 12 spesies Daemonorops menghasilkan resin jernang, yakni: Daemonorops didymophylla Becc., D. melanochaetes Blume., D. longipes Mart., D. draco BL., D. microcantha (Griff) Mart, D. draconcellus Becc, D. matleyinensis, D. acehensis, D. brachystachys, D. dransfieldii, D. maculata, D. siberutensi. Menurut Heyne (1987) berdasarkan klasifikasi tumbuhan, Rotan Jernang termasuk ke dalam; Kingdom: Plantae, Subkingdom: Tracheobionta, Divisi: Spermatophyta, Sub divisi: Magnoliophyta (tumbuhan berbunga), Kelas: Liliopsida (tumbuhan monokotil), Sub Kelas: Arecidae, Ordo: Arecales, Famili : Arecaceae Genus: Daemonorops.

Morfologi Rotan Jernang

Dransfield (1974) menyatakan bahwa pengelompokkan spesies rotan didasarkan atas persamaan karakteristik morfologi organ rotan, yakni; akar, batang, daun, bunga, buah dan organ untuk memanjat pohon induk. Adapun karakteristik morfologi rotan jernang adalah sebagai berikut;

1) Akar. Hasil pengamatan akar rotan jernang dilapangan menunjukkan bahwa sistem perakaran rotan jernang adalah sistem serabut, berwarna; putih kuning kehitaman. Akar tumbuh memancar secara horizontal dan vertikal. Menurut Dransfield (1974) akar rotan jernang tumbuh geotropically (yaitu ke bawah) dan tumbuh apogeotropically (yaitu ke atas). Akar apogeotropically terkait dengan pertukaran gas.

Gambar

Gambar 1 Skema alur  penelitian
Gambar 2 Lokasi Penelitian Resort Air Hitam TNBD
Tabel 2 Tujuan penelitian dan data yang dikumpulkan
Tabel 3 Letak  Geografis dan Batas Kawasan TNBD
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi dan potensi karbon tersimpan pada tegakan di hutan kawasan Stasiun Rehabilitasi Orangutan, Resort Bukit Lawang, Taman

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu hutan cagar alam yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, dan diharapkan dapat menjadi kawasan

Penelitian bertujuan mengkaji komposisi jenis rotan dan pohon inang, serta karakter edafik habitat rotan, menginventarisasi jenis rotan yang dimanfaatkan, mengkaji kearifan

Kelestarian hutan Taman Nasional Bukit 12 sebagai tempat tinggal Suku Anak Dalam dapat terjaga karena usaha budidaya lebah madu dapat dijadikan pengganti mata pencaharian

Dalam melakukan pengamatan di lapangan terhadap jumlah individu klampiau ( Hylobates muelleri ) di jalur Interpretasi Bukit Baka dalam kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya

Dari hasil yang diperoleh, ternyata perilaku pencarian informasi masyarakat rimba Makekal Hulu Taman Nasional Bukit Dua Belas Jambi masih menggunakan pertolongan atau

Akulturasi budaya Islam rimba di hutan lindung Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) propinsi Jambi merupakan potret keagamaan unik yang berbeda dengan umumnya

Masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Merapi yang bertempat tinggal dan berbatasan langsung dengan kawasan hutan memiliki kecenderungan dalam memberi kontribusi yang