• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbaikan nilai tambah limbah tulang ikan tuna, Thunnus sp. menjadi gelatin serta analisis fisika-kimia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbaikan nilai tambah limbah tulang ikan tuna, Thunnus sp. menjadi gelatin serta analisis fisika-kimia"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

SERTA ANALISIS FISIKA-KIMIA

Oleh :

Heidi Wiratmaja

C34101048

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

SERTA ANALISIS FISIKA-KIMIA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Heidi Wiratmaja

C34101048

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(3)

HEIDI WIRATMAJA. Perbaikan Nilai Tambah Limbah Tulang Ikan Tuna (Thunnus sp) Menjadi Gelatin Serta Analisis Fisika-Kimia. Dibimbing oleh MITA WAHYUNI dan MALA NURILMALA.

Ikan tuna pada umumnya dimanfaatkan untuk produksi pengalengan dan pembekuan, baik utuh maupun dalam bentuk loin beku. Produk ikan tuna beku sebagian besar hanya memanfaatkan daging ikannya saja, sedangkan sisa-sisa pemanfaatan lain berupa kepala, sirip dan tulang belum dimanfaatkan secara optimal. Saat ini kepala, sirip dan tulang hanya dibuat tepung ikan dengan nilai ekonomi yang masih rendah.

Tulang ikan tuna dapat dijadikan gelatin, karena di dalam tulang ikan tuna mengandung protein kolagen. Gelatin merupakan polipeptida yang diperoleh melalui beberapa tahapan degradatif dari protein kolagen. Proses pembuatan tulang ikan tuna menjadi gelatin digunakan HCl dengan konsentrasi 4, 5 dan 6% dan suhu ekstraksi 80, 85 dan 90 oC. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pembuatan gelatin dari tulang ikan tuna dengan menggunakan metode asam serta menganalisis sifat fisika kimia gelatin yang dihasilkan.

Dari kombinasi perendaman HCl 4% dengan suhu ekstraksi 80, 85 dan 90 oC dihasilkan nilai rendemen berturut-turut sebesar 3,80, 5,37 dan 6,77%, nilai pH sebesar 4,88, 4,78 dan 4,66, nilai viskositas 6,80, 6,00 dan 4,10 cp dan nilai kekuatan gel 290,00, 152,50, 72,50 bloom. Pada perendaman HCl 5% dan suhu ekstraksi 80, 85 dan 90 oC dihasilkan nilai rendemen berturut-turut sebesar 5,33, 5,91 dan 8,31%, nilai pH sebesar 4,88, 4,84 dan 4,45, nilai viskositas 6,60, 5,00 dan 3,55 cp, nilai kekuatan gel sebesar 202,50, 102,5 dan 47,50 bloom. Pada perendaman HCl 6% dengan suhu ekstraksi 80, 85 dan 90 oC dihasilkan nilai rendemen 11,14, 11,40 dan 10,31%, nilai pH sebesar 4,89, 4,47 dan 4,46, nilai viskositas sebesar 6,80, 3,95 dan 3,85 cp, nilai kekuatan gel sebesar 175,00, 82,50 dan 40,00 bloom.

(4)

Sifat Fisika-Kimia Nama Mahasiswa : Heidi Wiratmaja Nomor Pokok : C 34101048

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.Ir. Mita Wahyuni, MS Mala Nurilmala, S.Pi, M.Si NIP. 131 789 337 NIP. 132 315 793

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031

(5)

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 7 Desember

1983merupakan anak kedua dari pasangan Bapak Rubino dan

Ibu Lela Dahlia.

Pendidikan Pertama di SDN Sukajadi I Bandung dan

menyelesaikan pendidikan pada tahun 1995. Pada tahun yang

sama penulis diterima di SLTPN 1 Bandung dan menyelesaikan pendidikan pada

tahun 1998. Penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 2 Bandung dan

menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2001.

Pada tahun 2001, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur

USMI. Semasa kuliah penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa

Teknologi Hasil Perikanan (Himasilkan) dan Organisasi Pencinta Alam AMAZON

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selain itu penulis juga aktif sebagai asisten

luar biasa mata kuliah Avertebrata Air, Departemen Manajemen Sumberdaya

Perairan.

Penulis dinyatakan lulus di Institut Pertanian Bogor pada tanggal

20 Pebruari 2006, dengan skripsi berjudul Pembuatan dan Analisis Sifat Fisika-Kimia

(6)

i

kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan umatnya yang setia mengikuti ajarannya hingga akhir zaman.

Skripsi hasil penelitian ini disusun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan dan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini merupakan studi tentang Pemanfaatan tulang ikan tuna sebagai gelatin.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Mita Wahyuni, M.S dan Mala Nurilmala S.Pi, M.Si selaku dosen

pembimbing yang telah memberikan kritik dan saran dalam penelitian. 2. Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si dan Dra. Pipih Suptijah, MBA. selaku dosen

penguji yang memberikan san dan kritikan dalam penulisan karya ilmiah. 3. Bapak, Ibu, Bram atas semangat, doa dan kasih sayang yang tiada

hentinya.

4. Keluarga Besar Prawiro dan Gandi atas nasehat dan petuah untuk menjalani hidup ini.

5. Dosen, Staf dan Laboran yang senantiasa membantu penulis dalam menyelesaikan karya kecil ini.

6. Reki, Nisa, Dias, Yulita Teman-teman yang selalu menangani segala masalah akademik, tugas dan literatur.

7. Teddy, Timor, Andiarto, Edy, Nuno, Harso, Minto, Abi, dhani, Bandel, Awan.Rekan- rekan yang Anak-anak THP 38,. Terima kasih semuanya 8. Pihak-pihak Lain yang membantu menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Bogor, Pebruari 2006

(7)

ii

2.4Pembuatan Gelatin ... 9

2.5Mutu Gelatin ... 10

2.6Manfaat Gelatin... 11

3. METODOLOGI ... ...14

3.1 Waktu dan Tempat ... 14

3.2 Bahan dan Alat Penelitian ... 14

3.3 Metode Penelitian ... 14

3.3.1 Penelitian tahap pertama ... ..15

3.3.2 Penelitian tahap kedua ... 15

3.4 Analisis ... 17

3.4.1 Rendemen (AOAC,1995) ... 17

3.4.2 Kekuatan gel (Gaspar, 1998) ... 17

3.4.3 Viskositas (British Standard 757, 1975) ... 17

3.4.4 Kadar air (AOAC, 1995) ... 17

3.4.5 Kadar abu (AOAC, 1995) ... 18

3.4.6 Kadar protein (AOAC, 1995) ... 18

3.4.7 Kadar lemak (Apriyantono et.al, 1989) ... 19

3.4.8 Derajat putih (Kett Digital Whiteness Powder) ... 19

(8)

iii

3.4.13 Kandungan logam berat (Hg) (Hutagalung, 1997) ... 20

3.4.13 Komposisi asam amino (Nur et.al, 1992) ... 20

3.5 Rancangan Percobaan ... 21

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... ...23

4.1 Penelitian Tahap Pertama... 23

4.1.1 Rendemen gelatin ... 26

4.1.2 pH gelatin ... 27

4.1.3 Viskositas ... 29

4.1.4 Kekuatan gel ... 30

4.2 Penelitian Tahap Kedua ... 33

4.2.1 Analisis Proksimat ... 33

4.2.1.1 Kadar air ... 34

4.2.1.2 Kadar abu ... 35

4.2.1.3 Kadar lemak ... 35

4.2.1.4 Kadar protein ... 36

4.2.2 Sifat Fisika-Kimia ... 37

4.2.2.1 Titik gel ... 37

4.2.2.2 Titik leleh ... 37

4.2.2.3 Titik isoelektrik ... 38

4.2.2.4 Derajat putih ... 39

4.2.2.5 Asam amino ... 39

4.2.2.6 Kandungan logam berat (Hg) ... 41

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... ...42

(9)

iv

Halaman 1. Sifat gelatin tipe A dan tipe B ... 8 2. Standar mutu gelatin ... 8 3. Persyaratan gelatin berdasarkan FAO ... 9 4. Aplikasi gelatin terhadap produk terhadap produk pangan

(10)

v

Halaman

1. Ikan tuna Albacore ... 4

2. Proses pembentukan gel pada gelatin (de Man, 1997) ... 6

3. Struktur kimia gelatin (Poppe, 1992) ... 7

4. Prosedur pembuatan gelatin dari tulang ikan tuna (Thunnus sp) ... 16

5. Tulang ikan tuna ikan tuna (Thunnus sp) bagian dada ... 23

6. Gambar gelatin dari tulang ikan tuna (Thunnus sp) ... 25

7. Histogram rendemen gelatin tulang ikan tuna (Tunnus sp) ... 26

8. Histogram pH gelatin tulang ikan tuna (Thunnus sp) ... 28

9. Histogram viskositas gelatin tulang ikan tuna (Thunnus sp) ... 29

(11)

vi

Halaman

1. Grafik kekuatan gel ... 49

2. Analisis ragam faktorial rendemen gelatin ... 50

3. Analisis ragam faktorial nila pH gelatin ... 51

4. Analisis ragam faktorial viskositasgelatin ... 52

5. Analisis ragam faktorial kekuatan gel gelatin ... 53

6. Grafik pengujian asam amino standar dan sampel ... 54

7. Analisis biaya pembuatan gelatin ... 56

(12)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan tuna merupakan salah satu ikan ekonomis penting Indonesia. Daerah

penyebaran ikan tuna di Indonesia meliputi Laut Banda, Laut Maluku,

Laut Flores, Laut Sulawesi, Laut Hindia, utara Irian Jaya, perairan utara Aceh,

barat Sumatera, selatan Jawa, utara Sulawesi, Teluk Tomini, dan Halmahera.

Volume ikan tuna hasil tangkapan tersebut mengalami peningkatan tiap tahunnya,

yang tentu diikuti oleh peningkatan produksi ikan tuna, dimana dari

tahun 1992-2002 mengalami kenaikan sebesar 6,55 ton (Ditjen Perikanan

Tangkap, 2004).

Ikan tuna pada umumnya dimanfaatkan untuk produksi pengalengan

dan pembekuan, baik utuh maupun dalam bentuk loin beku. Produk ikan tuna beku sebagian besar hanya memanfaatkan daging ikannya saja, sedangkan

sisa-sisa pemanfaatan lain berupa kepala, sirip dan tulang belum dimanfaatkan

secara optimal. Saat ini kepala, sirip dan tulang hanya dibuat tepung ikan.

Berdasarkan hasil wawancara pribadi dengan PT Bonecom (2005), ikan

tuna mengandung daging sebesar 45%, tulang 15%, kepala 30%, sisa kulit

dan sisik 10%. Jika didasarkan pada tingkat kenaikan produksi ikan tuna

sebesar 6,55 ton, maka limbah ikan tuna yang dihasilkan mengalami peningkatan

rata-rata sekitar 4 ton atau sekitar 1 ton akan dihasilkan limbah berupa

tulang ikan.

Tulang ikan dapat dimanfaatkan menjadi gelatin, Eastoe (1977)

menyatakan bahwa di dalam tulang terdapat kolagen sebesar 18,6% dari 19,86%

unsur organik protein kompleks. Kolagen selanjutnya dapat dibuat menjadi gelatin

melalui denaturasi panas. Berdasarkan proses pengolahannya, gelatin dapat dibagi

menjadi dua, yaitu tipe A dan tipe B. Pada pembuatan tipe A, bahan baku

direndam dengan larutan asam sehingga proses ini disebut proses asam,

sedangkan pada pembuatan tipe B, perendaman dilakukan dengan mengunakan

larutan basa, sehingga proses ini disebut proses alkali atau basa.

Kebutuhan gelatin dunia dari tahun ke tahun terus meningkat, pada

(13)

permintaan akan gelatin semakin tinggi. Penggunaan terbesar dari gelatin adalah

untuk industri makanan, yaitu sebanyak 60%. Pada tahun 2002 produksi gelatin

dunia tercatat 220.000 - 272.300 MT. Di Indonesia, kebutuhan gelatin dalam

bidang industri tidak diketahui jumlahnya secara pasti. Namun gelatin yang

digunakan industri-industri di Indonesia masih merupakan bahan impor dari

beberapa negara Eropa dan Amerika dengan harga relatif tinggi.

Secara umum fungsi gelatin untuk produk pangan adalah sebagai zat

pengental, penggumpal, pengemulsi, penstabil, pembentuk busa, menghindari

sineresis, pengikat air, memperbaiki konsistensi, pelapis tipis, pemerkaya gizi,

pengawet.

Selama ini sumber utama gelatin yang banyak dimanfaatkan adalah berasal

dari kulit dan tulang sapi atau babi. Penggunaan kulit dan tulang babi tidak

menguntungkan bila diterapkan pada produk pangan di negara-negara yang

mayoritas penduduknya beragama islam seperti Indonesia, karena babi

diharamkan untuk dimakan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan gelatin dari

sumber hewan lain. Salah satu yang berprospek untuk dikembangkan adalah

gelatin tulang dan kulit ikan. Pembuatan gelatin dengan memanfaatan tulang ikan

patin dan menggunakan tulang ikan kakap merah sudah dilakukan. Dalam proses

pembuatannya, gelatin tulang ikan kakap merah dan tulang ikan patin

menggunakan proses pembuatan gelatin tipe A atau perendaman dengan asam,

dimana gelatin yang dihasilkan telah mendekati standar mutu gelatin yang ada

pasaran. Namun penelitian mengenai pembuatan gelatin dengan pemanfaatan

tulang ikan tuna belum pernah dilakukan. Oleh karena itu pemanfaaatan limbah

tulang ikan tuna menjadi produk gelatin menjadi sangat penting untuk dilakukan.

1.2Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah:

1. Mengkaji metode pembuatan gelatin dari tulang ikan tuna dengan

menggunakan proses asam.

2. Menganalisis sifat fisika dan kimia gelatin dari tulang ikan tuna

(14)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Deskripsi Ikan Tuna (Thunnus sp)

Ikan tuna mempunyai tubuh seperti cerutu, dua sirip punggung, sirip depan

biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang, mempunyai jari-jari tambahan

(finlet) di belakang sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung

hipural. Tubuh ikan tertutup oleh sisik-sisik kecil berwarna biru tua dan agak

gelap pada bagian atas tubuhnya. Sebagian besar memiliki sirip tambahan yang

berwarna kuning cerah dengan pinggiran yang berwarna gelap

(Ditjen Perikanan, 1983).

Klasifikasi ikan tuna menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

klas : Teleostei

Subklas : Actinopterygi

Ordo : Perciformes

Subordo : Scombridae

Genus : Thunnus

Spesies : Thunnus sp

Penyebaran ikan tuna Albacore meliputi Laut Banda, Laut Maluku, Laut Flores, Laut Sulawesi, Laut Hindia, utara Irian Jaya, perairan utara Aceh,

barat Sumatera, selatan Jawa, utara Sulawesi, Teluk Tomini, dan Halmahera.

Penangkapan ikan tuna Yellow fin terletak di perairan bagian barat Samudera Pasifik tengah, Laut Banda, Laut Sulawesi, Samudera Hindia,

Selat Sunda, Laut Maluku dan barat Sumatera. (Nikijuluw, 1986)

Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan

lemak yang rendah. Ikan tuna mengandung protein antara 22,6-26,2%. Disamping

itu ikan tuna mengandung mineral (kalsium, fosfor, besi dan sodium), vitamin A

(15)

Sumber : www.kuuloakai.com/images/albacore_large.gif

Gambar 1. Ikan tuna albacore 2.2Kolagen

Bahan baku utama gelatin adalah kolagen, yang banyak terdapat pada

kulit, urat, tulang rawan dan tulang keras pada hewan. Kolagen merupakan

protein fibriler, yaitu protein yang berbentuk serabut. Protein ini tidak larut dalam pelarut-pelarut encer baik larutan garam, asam, basa, dan alkohol

(Winarno, 1997). Kolagen yang berarti “bahan pembentuk perekat” merupakan

komponen protein utama jaringan penghubung, yang bertindak sebagai elemen

penahan tekanan pada semua mamalia dan ikan (Glicksman, 1969).

Menurut Lehninger (1990), jaringan kolagen tersusun atas fibril kolagen

yang nampak seperti garis-garis melintang. Fibril ini terorganisasi sesuai dengan

sistem biologis jaringan tersebut. Kolagen merupakan protein yang mengandung

35% glisin dan sekitar 11% alanin serta kandungan prolin yang cukup tinggi.

Pemanasan kolagen secara bertahap akan menyebabkan struktur rusak dan

rantai-rantai akan terpisah. Berat molekul, bentuk dan konformasi larutan kolagen

sensitif terhadap perubahan temperatur yang dapat menghancurkan

makromolekulnya (Wong, 1989). Pemanasan pada suhu 40 oC belum

mengakibatkan putusnya ikatan kovalen. Ikatan kovalen yang ada pada kolagen

akan terputus saat suhu pemanasan naik menjadi 60 oC atau lebih (Johns dan

Courts 1977). Proses denaturasi struktur kolagen berlangsung relatif lambat bila

dibandingkan dengan protein lainnya.

Kolagen murni sangat sensitif terhadap reaksi enzim dan kimia. Perlakuan

(16)

alkali, kolagen juga larut dalam pelarut asam. Asam mampu mengubah serat

kolagen tripel heliks menjadi rantai tunggal, sedangkan larutan perendaman basa hanya mampu manghasilkan rantai ganda pada waktu perendaman yang sama

(jumlah kolagen yang terhidrolisis oleh larutan perendaman yang asam lebih

banyak daripada larutan basa) sehingga waktu yang diperlukan oleh larutan basa

untuk menghidrolisis kolagen menjadi lebih lama.(Bennion , 1980).

Kolagen dapat mengalami penyusutan jika dipanaskan diatas suhu

penyusutan (Ts), suhu penyusutan kolagen berkisar antara 60 – 70 oC. Pada suhu

tersebut memperpendek serat kolagen sepertiga atau seperempat dari panjang

asalnya. Suhu penyusutan (Ts) kolagen ikan adalah 35 oC. Pemecahan struktur

tersebut menjadi lilitan acak yang larut dalam air yang disebut dengan gelatin.

Jika suhu dinaikan sampai 80 oC, kolagen akan berubah menjadi gelatin

(deMan 1997).

Unit struktural pembentuk kolagen adalah tropokolagen yang mempunyai

struktur batang dengan BM 300.000, dimana di dalamnya terdapat tiga rantai

polipeptida yang sama panjang, bersama-sama membentuk struktur heliks

(Bennion, 1980).

2.3 Gelatin

Gelatin merupakan senyawa turunan yang dihasilkan dari serabut kolagen

jaringan penghubung yang dihidrolisis dengan asam atau basa (Charley, 1982).

Menurut Courts (1977), berat molekul gelatin 90.000 sedangkan rata-rata berat

molekul gelatin komersial berkisar antara 20.000-70.000.

Gelatin dapat diperoleh dengan cara denaturasi panas dari kolagen.

Pemanasan kolagen secara bertahap akan menyebabkan struktur rusak dan

rantai-rantai akan terpisah. Berat molekul, bentuk dan konformasi larutan kolagen

sensitif terhadap perubahan temperatur yang dapat menghancurkan makro

molekulnya (Wong, 1989).

Menurut deMan (1997), gelatin adalah protein larut yang diperoleh dari

kolagen tak larut. Gelatin juga didefinisikan sebagai produk yang diperoleh dari

(17)

perubahan sol-gel yang reversibel seiring perubahan suhu. Proses perubahan kolagen menjadi gelatin melibatkan tiga perubahan berikut:

1. Pemutusan sejumlah ikatan peptida untuk memperpendek rantai

2. Pemutusan / pengacauan sejumlah ikatan samping antar rantai

3. Perubahan konfigurasi rantai

Proses pembentukan gel berkaitan erat dengan gugus guanidine arginin.

Dalam pembentukan gel, gelatin didispersikan dalam air dan dipanaskan sampai

membentuk sol. Daya tarik menarik antara molekul protein lemah dan sol tersebut

berbentuk cairan, yaitu bersifat mengalir dan dapat berubah sesuai dengan

tempatnya. Bila didinginkan, molekul-molekul yang kompak dan tergulung dalam

bentuk sol mulai mengurai dan terjadi ikatan-ikatan silang antara

molekul-molekul yang berdekatan sehingga terbentuk suatu jaringan. Sol akan berubah

menjadi gel. Mekanisme pembentukan gel dapat dilihat pada Gambar 2.

Sol Gel

Gambar 2. Proses pembentukan gel pada gelatin (deMan 1997)

Metode pengkonversian kolagen menjadi gelatin adalah dengan cara

denaturasi kolagen dengan pemutusan ikatan hidrogen. Proses denaturasi terjadi

dengan pemanasan kolagen pada suhu 40 0C atau dengan penambahan senyawa

pemecah ikatan hidrogen pada suhu kamar atau lebih rendah, berupa pemecahan

struktur koil kolagen menjadi satu, dua, atau tiga rantai secara acak

(Hinterwaldner, 1977)

Gelatin mengandung 19 asam amino yang dihubungkan dengan ikatan

peptida membentuk rantai polimer yang panjang. Komposisi asam amino dalam

(18)

(Ward dan Courts, 1977). Susunan asam amino gelatin hampir mirip dengan

kolagen, dimana glisin merupakan asam amino yang utama (Charley, 1982).

Jenis dan komposisi asam amino pada tulang keras (teleostei) ikan patin menurut Nurilmala, 2005 antara lain sebagai berikut isoleusin 1,07%, leusin tidak

terdeteksi, lisin 1,89%, tirosin 0,09%, valin 1,34%, metionin 0,37%, sistein

0,06%, fenilalanin 2,01%, treonin 2,55%, glisin 22,97%, prolin 12,17%,

hidroksiprolin 6,25%, alanin 10,31%, arginin 8,23%, asam aspartat 4,53%, serin

2,00%, asam glutamat 9,30%, histidin 0,01%.

Gambar 3. Struktur kimia gelatin (Poppe, 1992)

Gelatin akan mengembang jika direndam dalam air dan menjadi lunak,

serta berangsur-angsur menyerap air 5-10 kali bobotnya. Gelatin larut dalam air

panas dan jika didinginkan akan membentuk gel. Gelatin memiliki beberapa sifat

yaitu dapat berubah secara reversibel dari bentuk sol ke gel, membengkak atau mengembang dalam air dingin, dapat membentuk film, mempengaruhi viskositas

suatu bahan dan dapat melindungi sistem koloid (Parker, 1982).

Gelatin larut dalam air, asam asetat dan pelarut alkohol seperti gliserol,

propilen glikol, sorbitol dan manitol, tetapi tidak larut dalam alkohol, aseton,

karbon, tetraklorida, benzene, petroleum eter dan pelarut organik lainnya (Viro,

1992).

Gelatin larut dalam air pada suhu 30-80 oC dan bersifat amfoter ( dapat

bersifat asam atau basa), namun hal ini sangat dipengaruhi oleh pH larutan.

Karakter amfoter pada gelatin dihasilkan oleh gugus karboksil dan amino ujung

yang terbentuk selama hidrolisis dan gugus fungsi asam amino lainnya. Selain

bersifat amfoter, gelatin juga bersifat koloid protektif yang dapat menstabilkan

(19)

Menurut Viro (1992), terdapat dua tipe gelatin berdasarkan perbedaan

proses pengolahannya. Tipe A dihasilkan melalui proses asam dengan titik

isoelektrik pada pH antara 7,5-9,0. Sedangkan tipe B dengan titik isoelektrik

4,8-5,2. Beberapa sifat gelatin tipe A dan tipe B dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat gelatin tipe A dan tipe B

Sifat Tipe A Tipe B

Kekuatan gel (g bloom) 75-300 75-275

Viskositas (cp) 2,0-7,5 2,0-7,5

Kadar abu(%) 0,3-2,0 0,05-2,0

pH 3,8-6,0 5,0-7,1

Titik isoelektrik 9,0-9,2 4,8-5,0

Sumber: Tourtellote, 1980

Sifat fisik secara umum dan kandungan unsur-unsur mineral tertentu

dalam gelatin dapat digunakan untuk menilai mutu gelatin. Standar mutu gelatin

menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Standar mutu gelatin

Karakteristik Syarat

Warna Tidak berwarna-kekuningan pucat

Bau, rasa Normal (dapat diterima konsumen)

Kadar air Maksimum 16%

Kadar abu Maksimum 3,25%

Logam berat Maksimum 50 mg/kg

Arsen Maksimum 2 mg/kg

Tembaga Maksimum 30 mg/kg

Seng Maksimum 100 mg/kg

Sulfit Maksimum 1000 mg/kg

(20)

Persyaratan gelatin untuk makanan berdasarkan FAO pada Tabel 3.

Tabel 3. Persyaratan gelatin berdasarkan FAO

Parameter Persyaratan

Kadar abu Tidak lebih dari 2%

Kadar air Tidak lebih dari 18%

Belerang dioksida Tidak lebih dari 40 mg/kg

Arsen Tidak lebih dari 1 mg/kg

Logam berat Tidak lebih dari 50 mg/kg

Timah hitam Tidak lebih dari 5mg/kg

Sumber: JECFA, 2003

2.4Pembuatan Gelatin

Berdasarkan proses pengolahannya, gelatin terbagi menjadi dua yaitu tipe

A dan tipe B. Pada pembuatan tipe A, bahan baku direndam dengan larutan asam

sehingga proses ini disebut proses asam. Pada pembuatan tipe B, perendaman

mengunakan larutan basa, proses ini disebut proses alkali atau basa

(Utama, 1997).

Menurut Hinterwaldner (1997), terdapat tiga tahap proses produksi yang

utama. Tahap pertama, tahap persiapan bahan baku antara lain penghilangan komponen non kolagen dari bahan. Tahap kedua, tahap konversi kolagen

menjadi gelatin. Tahap ketiga, tahap pemurnian gelatin dengan penyaringan

dan pengeringan.

Proses penghilangan lemak dari jaringan tulang yang biasa disebut

degreasing, dilakukan pada suhu antara titik cair lemak dan suhu koagulasi albumin tulang yaitu antara 32-80 oC, sehingga dihasilkan kelarutan lemak

yang optimum (Courts, 1977).

Proses demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan garam kalsium dan

garam lainnya dari tulang, sehingga diperoleh tulang yang sudah lumer disebut

ossein (Hinterwaldner, 1977). Menurut Court (1977) asam mampu mengubah serat kolagen triple heliks menjadi rantai tunggal, sedangkan larutan perendaman basa hanya mampu menghasilkan rantai ganda. Hal ini menyebabkan pada waktu

(21)

daripada larutan basa. Karena itu perendaman dalam larutan basa membutuhkan

waktu yang lebih lama untuk menghidrolisis kolagen.

Kisaran temperatur yang digunakan untuk ekstraksi adalah 50-100 oC atau

lebih rendah. Nilai pH ekstraksi dapat berbeda untuk setiap metode. Selanjutnya

disebutkan bahwa untuk menghilangkan zat-zat lain yang tidak larut dan dapat

mengurangi kemurnian gelatin, perlu dilakukan penyaringan

(Hinterwaldner, 1977).

Pada proses pembuatan gelatin tulang ikan kakap merah (Hadi, 2005)

menggunakan perendaman HCl dengan konsentrasi 4, 5, 6% dengan suhu

ekstraksi 80, 85, 90 oC. Proses terbaik pembuatan gelatin tulang kakap merah

menggunakan HCl 4% dengan suhu ekstraksi 80 oC dan suhu pengovenan 55 oC.

2.5Mutu Gelatin

Bahan baku tulang ikan menentukan mutu kualitas gelatin. Kesegaran

bahan baku menentukan dan mempengaruhi kualitas ossein dan gelatin. Semakin segar bahan baku maka kualitas gelatin akan semakin baik (Hinterwaldner, 1977).

Mutu gelatin sangat ditentukan oleh sifat fisik, kimia dan fungsional yang

menjadikan gelatin sebagai karakter yang unik Sifat-sifat fisik gelatin menurut

Budavari (1996) antara lain:

1. Tidak berwarna atau agak berwarna kuning transparan,

2. Rapuh

3. Tidak berbau

4. Tidak memiliki rasa

5. Berbentuk lembaran, serpihan atau tepung

6. Larut dalam air panas, gliserol dan asam asetat

7. Tidak larut dalam pelarut organik.

Menurut Poppe (1992) gelatin memiliki titik leleh di bawah 37 oC, ini

berarti gelatin dapat meleleh di dalam mulut dan mudah sekali larut. pH gelatin

terbentuk dalam larutan netral disebut titik isoelektrik. Titik isoelektrik protein

gelatin berkisar antara 4,8 - 9,4, dimana gelatin yang diproses secara asam

(22)

Kadar abu gelatin bervariasi berdasarkan jenis bahan baku dan metode

pengolahannya. Gelatin komersial memiliki kekuatan gel yang cukup bervariasi

yaitu 75 – 300 bloom (Tourtellote, 1980). Gelatin dari ikan berbeda dengan

gelatin dari sapi atau babi yaitu titik lelehnya rendah, suhu pembentuk gelnya

rendah dan viskositasnya tinggi (Leunberger, 1991).

Gelatin yang diperoleh secara basa memiliki hidroksiprolin lebih tinggi

dan memiliki tirosin yang rendah dibanding gelatin dengan proses asam.

Komposisi asam amino gelatin yang diperoleh dari kolagen ikan dan

Elasmobranchi lebih beragam dibandingkan gelatin dari sumber lainnya. Kadar prolin dan hidroksiprolin gelatin ikan lebih rendah dari mamalia dan lebih rendah

lagi pada ikan air dingin (Eastoe dan Leach, 1977).

2.6Manfaat Gelatin

Gelatin adalah protein yang mempunyai nilai gizi rendah karena pada

gelatin tidak terkandung seluruh asam amino esensial pembentuk protein secara

lengkap. Gelatin merupakan suatu protein yang tidak mengandung asam amino

triptofan oleh karena itu penggunaan gelatin lebih disukai karena sifat fisik

kimianya bukan karena nilai gizinya.

Kegunaan gelatin terutama untuk mengubah cairan menjadi padatan yang

elastis atau mengubah bentuk sol menjadi gel. Reaksi pada pembentukan gel ini

bersifat reversible kerena bila gel dipanaskan akan terbentuk sol dan bila didinginkan akan terbentuk gel lagi. Keadaan tersebut membedakan gelatin

dengan gel dari pektin, alginat, albumin telur, dan protein susu yang gelnya

irreversible (Johns, 1977).

penggunaan gelatin sudah meluas meliputi produk pangan dan non

pangan. Sebagian besar dari total produksi gelatin diaplikasikan pada industri

makanan dalam bentuk edible gelatin. Dalam pembuatan bakery, gelatin digunakan sebagai bahan penstabil dan pengisi. Pemanfaatan gelatin dalam

produk non pangan ialah industri farmasi, teknik dan kosmetik. Pada bidang

farmasi, gelatin digunakan dalam pembuatan kapsul, berperan sebagai agen

pengikat untuk tablet dan pastilles, penyamar rasa pada pil, pengganti serum,

(23)

digunakan dalam bahan pembuatan lem, kertas, cat yang berperan sebagai

pengikat, dan penstabil emulsi. Dalam industri kosmetika digunakan dalam

lipstik, shampo dan sabun.

Gelatin dapat digunakan sebagai penstabil (stabilizer), pembentuk gel (geling agent), pengikat (binder), pengental (thickner), pengemulsi (emulsifier), perekat (adhesive), dan pembungkus makanan yang bersifat dapat dimakan (edible coating) (Jones, 1977).

Gelatin sebagai pembentuk gel karena mempunyai sineresis yang rendah

dan mempunyai kekuatan gel antara 220 atau 225 gr bloom (Jones, 1977),

sehingga dapat digunakan dalam pembuatan produk jelly. Sebagai pengemulsi

gelatin bisa diaplikasikan ke dalam sirup lemon, susu, mentega, margarine, pasta ,

dan mayonnaise. Gelatin sebagai penstabil dapat digunakan dalam pembuatan es

krim dan yoghurt. Sebagai bahan pengikat, gelatin dapat digunakan dalam

(24)

Tabel 4. Aplikasi gelatin terhadap produk pangan dan non pangan berdasarkan sifat fisik-kimia

Produk fungsi Kekuatan gel

(Bloom) Type Viskositas Dosis

Gelatin gums Gelling agent

• Tekstur

Chewability 100-150 A/B Medium-High 0.5-3%

Marsmallows • Stabilisasi

• Gelling Agent

200-260 A/B Medium-High 2-5%

Nugget • Chewability 100-150 A/B Medium-High 2-5%

Coating Film Forming 120-150 A/B High 0,2-1%

Youghurt • pengental

Gelling agent

• Tekstur

200-250 A/B Medium-High 0,2-1%

Eskrim • Tekstur

Sumber :http://www.gelatin.co.za/gltn1.html#Gel-str dan www. Koshercom.org

Ket : A = Gelatin dengan Proses Asam

(25)

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2005 sampai dengan

Agustus 2005, yang bertempat di Laboratorium Biokimia Departemen Teknologi

Hasil Perairan, Bogor, Laboratorium Pengolahan Departemen Teknologi Pangan

dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan penelitian yang digunakan, meliputi bahan utama untuk pembuatan

gelatin yaitu tulang ikan tuna albacore dibawa dengan box yang didalamnya diberi

es, tulang ikan tuna albacore diperoleh dari PT Bonecom pada bulan April, asam

klorida teknis yang didapatkan dari Toko Bratachem dan aquades. Bahan – bahan

untuk analisis yaitu asam klorida, asam sulfat, asam asetat, pelarut hexana,

natrium asetat,natrium hidroksida, etanol 95%, garam kjeldahl (CuSO4 dan

K2SO4).

Peralatan yang dibutuhkan yaitu: pisau, kompor gas, wadah plastik,

cetakan, neraca analitik, pH meter, tanur, desikator, oven, heater, thermometer, blender, peralatan mikro kjeldahl, peralatan soxhlet, cawan alumunium, cawan

porselen, alat-alat gelas, kertas saring whatman 40, kain saring, Rheoner RE3305 , Brookfield Synchro-Lectric Viscometer, Kettler Whitenes Powder.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan, yaitu tahap pertama dan tahap

kedua. Penelitian tahap pertama berfokus pada pembuatan gelatin dengan proses

perendaman dengan asam klorida dan suhu ekstraksi. Adapun penelitian tahap

kedua berfokus pada analisis sifat fisika kimia produk gelatin yang dihasilkan.

Pembuatan gelatin dari tulang ikan tuna dilakukan dengan metode asam

yang dimodifikasi dari Hadi (2005). Tahapan utama proses pembuatan gelatin ini

adalah degrasssing (perebusan) selama 30 menit dengan suhu 80oC;

demineralisasi atau perendaman tulang ikan tuna dengan menggunakan asam klorida, dimana banyaknya tulang ikan dibandingkan dengan larutan perendaman

(26)

perendaman 2 hari, dimana tiap 24 jam larutan perendaman diganti; dan terakhir

adalah pemanasan dengan suhu berkisar antara 80-90oC. Diagram alir proses

pembuatan gelatin dapat dilihat pada Gambar 4. Adapun deskripsi selangkapnya

tahapan penelitian ini adalah :

3.3.1 Penelitian tahap pertama

Penelitian tahap pertama diawali dengan melakukan analisis proksimat

pada bahan baku tulang ikan tuna kering, yang meliputi kadar air, kadar abu,

kadar protein dan kadar lemak. Proses penelitian selanjutnya adalah pembuatan

gelatin dari tulang ikan tuna dengan perlakuan pertama pada proses

demineralisasi atau perendaman tulang ikan tuna dengan menggunakan asam klorida, dimana banyaknya tulang ikan dibandingkan dengan larutan perendaman

adalah 1: 4, dan konsentrasi asam klorida yang digunakan adalah 3, 4, 5, 6 dan 7%

v/v dengan lama perendaman 2 hari, dimana setiap 24 jam larutan perendaman

diganti dan pemanasan dengan suhu ekstraksi 80, 85 dan 90oC merupakan

perlakuan yang kedua. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan

pengamatan berupa uji fisik yang meliputi identifikasi gelatin, rendemen, pH,

viskositas, dan kekuatan gel.

3.3. Penelitian tahap kedua

Penelitian tahap kedua merupakan analisis produk gelatin yang terpilih

dari penelitian tahap pertama. Hasil analisis ini dibandingkan parameter mutunya

dengan gelatin tulang ikan kakap merah (Hadi, 2005) dan gelatin tulang ikan patin

(Nurilmala, 2004). Parameter yang dibandingkan meliputi analisis proksimat

gelatin (kadar air, abu, lemak dan protein) dan sifat fisika-kimianya meliputi

kekuatan gel, viskositas, pH, titik gel, titik leleh, titik isoelektrik, derajat putih dan

(27)

Degreasing (Perebusan) selama 30 menit pada suhu 80oC

Pembersihan

Pemotongan dengan ukuran 1,5-2 cm

Pengeringan

dengan sinar matahari selama 2 hari Tulang ikan tuna

Demineralisasi (perendam)

HCl 3%,4%, 5%, 6% dan 7% selama 2 hari (1:4), diganti larutansetiap hari *

Pencucian sampai pH netral

Perendaman ossein dalam aquades selama 1hari

Pencucian dengan air mengalir

Ekstraksi

pada suhu 80 0C, 85 0C, 90 0C selama 4 jam

Penyaringan menggunakan kain belacu

Pengeringan

dalam oven pada suhu 60 0C *

Lembaran gelatin

* Modifikasi

(28)

3.4 Analisis

3.4.1 Rendemen (AOAC, 1995)

Rendemen diperoleh dari perbandingan berat kering tepung gelatin yang

dihasilkan dengan berat bahan segar (tulang yang telah dicuci bersih). Besarnya

rendemen dapat diperoleh dengan menggunakan rumus:

Rendemen = x100%

3.4.2 Kekuatan gel (Gaspar, 1998)

Kekuatan gel dilakukan secara objektif dengan menggunakan alat Rheoner

RE3305. Tingkat kekuatan gel dinyatakan dengan satuan gf/cm2 yang berarti

besarnya gaya tekan untuk memecah deformasi produk. Sebelum digunakan alat

disetting agar sesuai dengan jenis produk yang akan diukur kekuatan gelnya

karena standar setting untuk setiap produk berbeda. Pada pengujian ini

jarak 400 x 0.01 mm, kecepatan 0.5 mm/s, chart speed 60 mm/ min, silinder probe 16 mm. Cara kerja alat ini yaitu silinder penusuk yang bediameter 16 mm tidak bergerak, meja tempat untuk meletakan sampel yang bergerak ke atas

mendekati jarum penusuk, tekanan dilakukan sebanyak satu kali hasil pengukuran

akan tercetak dalam kertas dengan bentuk Histogram, pengukuran berdasarkan

tingginya Histogram.

3.4.3 Viskositas (British Standard 757, 1975)

Larutan gelatin dengan konsentrasi 6,67% (b/b) disiapkan dengan aquades

kemudian diukur viskositasnya dengan menggunakan alat Brookfield Synchro-Lectric Viscometer. Pengukuran dilakukan pada suhu 60 0C dengan kecepatan 60 rpm. Nilai viskositas dinyatakan dalam satuan centipoises (cP).

3.4.4 Kadar air (AOAC, 1995)

Cawan porselen dikeringkan pada suhu 105 0C selama 1 jam. Kemudian

didinginkan dan ditimbang. Contoh yang akan ditentukan kadar air ditimbang

sebanyak 5 gram. Cawan yang telah berisi contoh dimasukan ke dalam oven

bersuhu 105 0C sampai beratnya konstan. Kadar air dihitung berdasarkan

(29)

(%) Kadar Air = ( ) x100%

contoh Berat

A B

Keterangan : A= berat cawan + contoh kering (g)

B= berat cawan + contoh basah (g)

3.4.5 Kadar abu (AOAC, 1995)

Timbang sampel ± 2 gram masukan kedalam cawan porselin lalu

dipanaskan pada penangas sampai didapat arang atau sampai asap hilang dari

sampel yang dipanaskan. Contoh yang telah diuapkan airnya dimasukkan ke

dalam tanur bersuhu 600 0C, sebelumnya berat cawan kering dan berat contoh

telah diketahui. Proses penguapan dilakukan sampai semua bahan berubah warna

enjadi abu-abu, kemudian contoh ditimbang.

(%) Kadar Abu = x100%

Sampel Berat

Abu Berat

3.4.6 Kadar protein (AOAC, 1995)

Penentuan kadar protein dilakukan dengan metode mikrokjeldahl. Prinsip

analisis ini adalah menetapkan protein berdasarkan oksidasi bahan-bahan

berkarbon dan konversi nitrogen menjadi amonia. Selanjutnya amonia bereaksi

dengan kelebihan asam membentuk amonium sulfat. Setelah larutan menjadi basa,

amonia diuapkan untuk diserap dalam larutan asam borat. Jumlah nitrogen yang

terkandung ditentukan dengan titrasi HCl.

Cara penentuannya meliputi tahap destruksi, destilasi, dan titrasi.

Mula-mula sampel ditimbang sebanyak 0,5 gram, masukan dalam labu kjeldahl

kemudian ditambahkan 5 gram garam kjeldahl sebagai katalis yang berupa

campuran CuSO4.5H2O dan K2SO4, tambahkan 10 ml H2SO4 pekat. Destruksi

sampai larutan berwarna jernih, angkat labu kjeldahl dan dinginkan, setelah dingin

lakukan destilasi dengan menggunakan kjeltech sistem yang sebelumnya larutan

sampel diberi penambahan NaOH, larutan asam standar berupa asam borat dan

indikator metilenblue. Setelah larutan mencapai 200 ml lakukan titrasi dengan HCl 0,1 N sampai warna berbah menjadi biru muda.

(30)

3.4.7 Kadar lemak (Apriyantono et al., 1989)

Penentuan kadar lemak dilakukan dengan menggunakan metode soxhlet.

Prinsip analisis ini adalah mengekstrak lemak dengan pelarut dietil eter, setelah

pelarutnya diuapkan, lemak dapat ditimbang dan dihitung persentasenya. Lemak

yang dihasilkan adalah lemak kasar.

Cara penentuannya adalah dengan meletakkan 5 gram sampel yang sudah

dibungkus dengan kertas saring di alat soxhlet, kemudian pelarut dietil eter

dituang ke dalam labu lemak. Selanjutnya direfluks selama minimum 5 jam

sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang

ada di labu lemak tersebut didestilasi, labu yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan

dalam oven pada suhu 100 0C. Setelah didinginkan dalam desikator, labu lemak

tersebut ditimbang sampai memperoleh berat yang konstan. Berat lemak dapat

dihitung dengan rumus:

3.4.8 Derajat putih (Kett Digital Whiteness Powder)

Analisa warna dilakukan menggunakan Kett Digital Whiteness Powder C-100. Sampel dalam bentuk tepung dimasukkan kedalam cawan sampel,

selanjutnya cawan tersebut dimasukkan kedalam alat. Nilai dapat langsung dibaca

pada layer dan dinyatakan dalam persentase derajat putih. Standar derajat putih

blanko adalah 85,4 %.

3.4.9 Titik gel (Suryaningrum dan Utomo, 2002)

Larutan gelatin dengan konsentrasi 6,67% (b/b) disiapkan dengan aquades,

dan disimpan dalam tabung reaksi yang dihubungkan dengan thermometer digital,

kemudian diberikan es pada sekeliling luar bagian tabung reaksi. Titik gel adalah

suhu ketika larutan gelatin mulai menjadi gel dan suhu ini ditentukan pada saat

sensor dapat mengangkat gel dalam tabung reaksi.

3.4.10 Titik leleh ( Suryaningrum dan Utomo, 2002)

Larutan gelatin dengan konsentrasi 6,67% (b/b) disiapkan dengan aquades.

Sampel diinkubasi pada suhu 10 oC selama 17±2 jam. Pengukuran titik leleh

(31)

gelatin tersebut diletakkan goytri dan ketika goytri jatuh ke dasar gel gelatin,

maka suhu tersebut merupakan suhu titik leleh.

3.4.11. Titik isoelektrik protein (Wainewright, 1977)

Sebanyak 0,2 gr sample ditambah dengan 40 ml aquades sebagai pelarut

dengan kisaran pH 4,5-10,5 interval 0,5. Pengaturan pH dilakuakan dengan

menambahkan NaOH 0,5 N untuk menaikkan pH dan HCl 0,5 N untuk

menurunkan pH. Setelah kondisi tercapai dilanjutkan dengan pengadukan

selama 30 menit untuk menyempurnakan ekstraksi. Larutan yang dihasilkan

dipisahkan dengan bagian yang tidak larut dengan cara disentrifuse, kemudian

disaring menggunakan kertas saring Whatman. Filtrate dianalisis kadar

nitrogennya dengan metode mikrokjeldahl. Kadar nitrogen terlarut yang paling

rendah ditentukan sebagai daerah isoelektrik (pI).

3.4.12. Derajat keasaman (pH) (British Standard 757, 1975)

Sampel sebanyak 0,2 gram ditimbang dan didispersikan ke dalam 20ml

aquades pada suhu 80 oC. sampel dihomogenkan dengan magnetic stirrer, kemudian diukur derajat keasamannya pada suhu kamar dengan pH meter.

3.4.13. Kandungan logam berat (Hg) (Hutagalung, 1997)

Sampel sebanyak 2 gr dimasukan kedalam teflon beker yang memepunyai

tutup, ditambahkan 1,5 ml HClO4 dan 3,5 ml HNO3 tutup dan biarkan

selama 24 jam. Selanjutnya panaskan diatas penangas air pada suhu 60-70 oC,

selama 2-3 jam (sampai larutan jernih). Tambahkan 3 ml air suling bebas ion,

panaskan kembali hingga larutan hampir kering selanjutnya didinginkan pada

suhu ruang. Kemudian ditambahkan 1 ml HNO3 pekat dan diaduk-aduk

pelan-pelan. Selanjutnya ditambahkan 9 ml air suling bebas ion. Kemudian dilakukan

pengukuran menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometri menggunakan nyala udara-asetilen.

3.4.14. Komposisi asam amino (Nur et al, 1992)

Sebanyak 0,2 gram sampel disiapkan dalam tabung reaksi tertutup dan

ditambahkan 5ml HCl 6N. Sampel dimasukan dalam oven dengan suhu 100 oC

selama 24 jam, selanjutnya sampel disaring dalam kertas saring Whatman 40.

(32)

dikeringkan dengan pompa vakum bertekanan 50 torr. Sampel yang telah

dikeringkan ditambahkan larutan derivat (methanol, phenyl iso tiocyanat dan

TEA) sebanyak 30 µl dan dibiarkan selama kurang lebih 20 menit. Sampel

selanjutnya diencerkan dengan 200 µl larutan pengencer natrium asetat 1 M.

Sampel siap dianalisis dengan menggunakan HPLC Water Asiociates. Kondisi HPLC pada saat dilakukan analisis:

Temperatur kolom : 38 0C

Kolom : Pico tag 3,9 X 150 nm coulomb

Kecepatan alir : Sistem linier gradient

Batas tekanan : 3000 psi

Program : Gradien

Fase gerak : Asetonitril 60%

Buffer Natrium Asetat 1 M, pH 5,75

Detektor : UV, panjang gelombang 254 nm

Konsentrasi asam amino dapat ditentukan dengan rumus:

Asam Amino (%) = x100%

BM = Berat molekul masing-masing asam amino

Fp = Faktor pengenceran

3.5 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap

Faktorial dengan dua faktor, yaitu konsentrasi HCl (4, 5 dan 6%) dan suhu

ekstraksi (80 ,85 dan 90 oC). Metode rancangan yang digunakan adalah sebagai

berikut;

(33)

Keterangan :

Yijk = Nilai hasil pengamatan dari faktor A level ke-i, faktor B level ke-j

ulangan ke-k

µ = Rataan umum

Ai = Pengaruh konsentrasi HCl

Bj = Pengaruh suhu ekstraksi

(AB)ij = Pengaruh interaksi antara konsentrasi dan suhu

∑ijk = Faktor galat (sisa)

Data selanjutnya diolah dengan menggunakan analisis ragam apabila

terjadi beda nyata pada faktor perlakuan selang kepercayaan 95%. Uji lanjut

menggunakan uji wilayah berganda Duncan menggunakan tingkat nyata yang

besarnya bergantung pada banyaknya nilai tengah yang terlibat pada setiap tahap

pengujian. Dasar pemikirannya adalah bahwa meningkatnya nilai tengah, akan

diikuti dengan mengecilnya peluang bahwa semuanya sama. Nilai tengah dihitung

dengan rumus:

Sy =

r KTS

Keterangan

Sy = total nilai tengah

KTS = kuadrat tengah sisa

R = ulangan

Untuk menghitung wilayah nyata terkecil menggunakan rumus:

Rp = q x Sy

Keterangan

Rp = wilayah nyata terkecil

(34)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Penelitian Tahap Pertama

Bahan baku pada penelitian ini didapat dari perusahaan Bonecom Jakarta.

Tulang yang didapat merupakan limbah dari pengolahan loin ikan tuna, tulang

ikan tidak mengalami penanganan khusus (disimpan pada refrigerator) dari

perusahaan sehingga tidak terlalu segar, tulang tidak terlalu putih setelah di

degreasing. Tulang ikan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Tulang ikan tuna (Thunnus sp) bagian dada

Pada penelitian pertama dilakukan analisis proksimat tulang ikan tuna

kering dengan tujuan untuk mengetahui kandungan protein, lemak, air dan abu

Hasil analisis proksimat selengkapnya tulang ikan tuna dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Proksimat tulang ikan tuna albacore

Parameter Jumlah (%)

Protein 26,02

Lemak 8,01

Abu 52,36

Air 12,57

Dari hasil analisis didapat nilai protein sebesar 26,02% sehingga tulang

ikan tuna dapat dijadikan bahan baku sebagai gelatin, karena menurut

Eastoe (1977), di dalam tulang terdapat kolagen sebesar 18,6% dari 19,86% unsur

organik protein kompleks. Kadar abu pada tulang ikan tuna sebesar 52,36%, hal

(35)

kering. Kadar lemak pada tulang ikan tuna sebesar 8,01% dan kadar air sebesar

12,57%.

Untuk mendapat gelatin dari tulang ikan tuna dilakukan beberapa tahap,

tahapan proses yang paling penting adalah pada saat demineralisasi dan ekstraksi,

pada tahap ekstraksi adalah tahap perubahan struktur kolagen menjadi gelatin.

Pada tulang ikan tuna kering dilakukan proses demineralisasi yaitu

menghilangkan mineral yang terdapat dalam tulang, proses ini akan menghasilkan

ossein. Proses demineralisasi dilakukan dengan merendam tulang dalam asam kuat, dengan tujuan supaya senyawa asam dapat memutuskan ikatan hidrogen

struktur koil kolagen lebih baik dalam waktu yang relatif singkat.

Pada penelitian ini telah dicobakan mulai dari konsentrasi 3% hingga 7%.

Konsentrasi HCl 3% belum mengubah struktur tripleheliks kolagen menjadi rantai

tunggal dan tulang masih terlalu keras dimana kandungan mineral masih cukup

tinggi sehingga ossein pada konsentrasi HCl 3% belum terbentuk secara

sempurna. Sedangkan untuk konsentrasi 7% tulang ikan menjadi hancur dan tidak

dapat dilakukan proses ekstraksi karena pengaruh asam yang cukup kuat.

Berdasarkan hasil diatas, untuk proses demineralisasi diambil perlakuan

konsentrasi HCl 4, 5 dan 6%. dengan lama perendaman selama dua hari. Hal ini

berdasarkan konsentrasi yang sering digunakan dalam proses demineralisasi

sebesar 2-6%. Perendaman selama dua hari berdasarkan pada penelitian

sebelumnya yang telah dilakukan pada gelatin dari bahan baku tulang

kakap merah (Hadi, 2005).

Tahap selanjutnya adalah ekstraksi yaitu konversi kolagen menjadi gelatin.

Ekstraksi menggunakan aquades pada suhu 80, 85 dan 90 oC selama 4 jam. Suhu

ini berada di atas suhu susut kolagen, yaitu diatas 60 oC – 70 oC

(Gross, 1961 dalam Hadi, 2005). Jika suhu ekstraksi lebih tinggi maka akan

terjadi kerusakan protein. Pemanasan akan memecahkan struktur heliks dan ikatan

peptida kolagen menjadi rantai terpisah, yang dinamakan gelatin (Courts, 1977).

Pada tahap ekstraksi dihasilkan larutan yang berwarna kuning, dan tulang terlihat

begitu lunak. Kolagen yang telah berubah menjadi gelatin dapat dirasakan atau

(36)

Larutan yang dihasilkan selanjutnya disaring dan disimpan dalam loyang

dan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 60 oC selama 30 jam. Pengeringan

dalam oven akan menghasilkan gelatin berbentuk lembaran.

Secara fisik gelatin yang dihasilkan larut dalam air panas dan membentuk

gel ketika didinginkan pada suhu 10 oC selama ± 17 jam. Apabila gel dipanaskan

akan cair kembali karena sifat gelatin yang reversible. Berdasarkan deMan (1997)

gelatin adalah protein larut yang diperoleh dari kolagen tidak larut. Gelatin

didefinisikan sebagai produk yang diperoleh dari jaringan kolagen hewan yang

dapat didispersi dalam air dan menunjukkan perubahan sol-gel yang reversibel

seiring perubahan suhu. Hasil gelatin dari kombinasi perlakuan dapat dilihat pada

Gambar 6.

Gambar 6. Gambar gelatin dari tulang ikan tuna albacore(Thunnus sp)

Pada gambar terlihat warna pada perlakuan HCl 6% lebih cerah

dibandingkan dengan perlakuan yang lain. pada perlakuan HCL 4% terlihat lebih

kuat dibandingkan yang lainnya, pada perlakuan HCl 6% gelatin lebih mudah

patah dibandingkan dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan seperti rendemen,

(37)

4.1.2 Rendemen gelatin

Rendemen merupakan salah satu parameter yang sangat penting dalam

proses pembuatan gelatin. Perhitungan rendemen dilakukan untuk mengetahui

persentase gelatin yang dihasilkan. Semakin banyak rendemen yang diperoleh

menunjukkan semakin efisien perlakuan yang diberikan. Berdasarkan hasil

penelitian, diperoleh nilai rata-rata rendemen gelatin yang berkisar

antara 3,8% - 11,4%. Hasil rendemen dalam bentuk histogran dapat dilihat pada

Gambar 7.

Gambar 7. Histogram rata-rata rendemen gelatin tulang ikan tuna (Thunnus sp)

Dari hasil penelitian terlihat kecenderungan bahwa semakin tinggi

konsentrasi asam klorida, maka rendemen yang dihasilkan makin tinggi.

Tingginya rendemen yang dihasilkan diduga karena pengaruh jumlah ion H+ yang

menghidrolisis kolagen dari rantai triple heliks menjadi rantai tunggal yaitu

gelatin lebih banyak, semakin tinggi suhu ekstraksi akan menyebabkan kolagen

terurai menjadi gelatin lebih banyak. Kecenderungan ini mencapai batasnya

apabila ion H+ yang berlebih disertai suhu yang tinggi mendenaturasi kolagen

yang terhidrolisis. Konsentrasi asam yang berlebih dan suhu yang tinggi

menimbulkan adanya hidrolisis lanjutan sehingga sebagian gelatin turut

terdegradasi dan menyebabkan turunnya jumlah gelatin. Menurut Courts (1977),

o

o

(38)

konversi kolagen menjadi gelatin dipengaruhi oleh suhu, waktu pemanasan

dan pH.

Pada perendaman tulang dengan konsentrasi HCl 4% dan suhu

ekstraksi 80 0C menghasilkan rendemen gelatin yang paling rendah yaitu sebesar

3,8%. Hal ini diduga karena rendahnya konsentrasi HCl sehingga konversi tulang

menjadi ossein tidak sempurna, sehingga ketika dilakukan ekstraksi pada

suhu 80 oC kolagen tidak terhidrolisis sempurna menjadi gelatin.

Dari hasil analisis ragam faktorial menunjukan bahwa konsentrasi

HCl (4, 5 dan 6%), suhu ekstraksi (80 ,85 dan 90 oC), dan interaksi keduanya

berbeda nyata (sig<0.05) terhadap rendemen. Hal ini menunjukan bahwa

konsentrasi HCl, suhu ekstraksi dan interaksi keduanya mempengaruhi hasil

rendemen gelatin tulang ikan tuna.

Uji lanjut menggunakan metode Duncan menunjukan bahwa hampir

semua kombinasi perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap hasil

rendemen gelatin. Perlakuan penambahan konsentrasi HCl 6% berbeda nyata

dengan perlakuan lain. Perlakuan dengan kombinasi konsentrasi HCl 6% dan suhu

ekstraksi 85 oC merupakan perlakuan yang terbaik.

4.1.3 Nilai pH gelatin

Nilai pH gelatin adalah derajat keasaman gelatin yang merupakan salah

satu parameter penting dalam standar mutu gelatin. Pengukuran nilai pH larutan

gelatin penting dilakukan, karena pH larutan gelatin mempengaruhi sifat-sifat

gelatin yang lainnya seperti viskositas, kekuatan gel dan akan berpengaruh juga

pada aplikasi gelatin dalam produk. pH gelatin berdasarkan mutu gelatin secara

umum diharapkan mendekati pH netral. Nilai gelatin dalam histogram dapat

dilihat pada Gambar 8.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pH gelatin berkisar

antara 4,46-4,89. Nilai ini masih memenuhi standar gelatin tipe A (gelatin dengan

proses asam) yaitu antara 3,8-6,0 (Tourtellote, 1980).

Dari hasil uji statistik ragam faktorial semua kombinasi perlakuan

konsentrasi HCl, suhu ekstraksi dan interaksi keduanya berbeda nyata (sig<0.05).

(39)

keduanya memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai pH gelatin yang

Gambar 8. Histogram pH gelatin tulang ikan tuna (Thunnus sp)

Dari uji lanjut Duncan semua kombinasi perlakuan memberikan pengaruh

yang berbeda nyata. Nilai pH yang tertinggi pada kombinasi konsentrasi HCl 4%

dengan suhu 80 oC tidak berbeda nyata dengan perlakuan kombinasi konsentrasi

HCl 6% dengan suhu ekstraksi 80 oC, tetapi keduanya memberikan pengaruh yang

berbeda dengan perlakuan lain terhadap nilai pH gelatin tulang ikan tuna.

Rendahnya nilai pH pada gelatin tulang ikan tuna diakibatkan oleh

penggunaan asam kuat ( asam klorida ). Hal ini diduga bahwa masih ada sisa-sisa

asam klorida yang digunakan pada saat proses demineralisasi masih terbawa pada

saat proses ekstraksi, yang akan mempengaruhi tingkat keasaman pada gelatin

yang dihasilkan.

Berdasarkan hasil penelitian nilai rata-rata terendah terdapat pada

kombinasi konsentrasi 6% suhu 90 oC yaitu sebesar 4,46. nilai tertinggi

sebesar 4,89 terdapat pada kombinasi HCl 4% dengan suhu 80 oC. Rendahnya

nilai pH yang dihasilkan pada penelitian ini karena masih terbawanya sisa larutan

HCl pada tulang ikan dan terbawa saat ekstraksi sehingga mempengaruhi

nilai keasaman terhadap gelatin yang dihasilkan. Untuk meningkatkan nilai pH

gelatin pada saat proses penetralan dilakukan pencucian dengan air mengalir

secara berulang-ulang sehingga tulang hampir mendekati nilai pH netral (pH 7).

o

o

(40)

Gelatin dengan pH netral akan sangat baik digunakan untuk produk

daging, farmasi, fotografi, cat, dan sebagainya. Sedangkan gelatin dengan pH

rendah akan sangat baik digunakan dalam produk juice, mayonnaise, sirop rasa

asam dan sebagainya (Nurilmala, 2004). Gelatin dari tulang ikan tuna memiliki

nilai pH berkisar antara 4,45-4,46 sehingga gelatin ini cocok untuk produk-produk

asam.

4.1.4 Viskositas gelatin

Viskositas adalah daya aliran molekul dalam suatu larutan baik dalam air,

cairan organik sederhana dan suspensi encer (deMan, 1989). Stainsby (1977),

viskositas gelatin merupakan interaksi hidrodinamik antara molekul molekul

gelatin dalam larutan. Sistem koloid dalam larutan dapat meningkat dengan cara

mengentalkan cairan sehingga terjadi absorbsi dan pengembangan koloid

(Glicksman, 1969).

Dari hasil penelitian nilai rata-rata viskositas berkisar

antara 3,5-6,8 centipoise (cP). Nilai ini masih sesuai dengan standar yang

ditetapkan oleh Tourtellote (1980) yaitu 2,0-7,5. Hasil viskositas alam bentuk

Histogram dapat dilihat pada Gambar 9.

6

Gambar 9. Histogram rata-rata viskositas gelatin tulang ikan tuna (Thunnus sp)

Nilai rata-rata terendah didapat dari kombinasi konsentrasi HCl 5%

dengan suhu ekstraksi 90 oC yaitu sebesar 3,55 cP. Secara keseluruhan semakin

o

o

(41)

meningkatnya suhu ekstraksi maka semakin rendah nilai viskositasnya. Hal ini

diduga pemanasan yang tinggi mengakibatkan terjadi hidrolisis lanjutan pada

kolagen yang sudah menjadi gelatin sehingga akan memutuskan rangkaian asam

amino sehingga viskositasnya rendah. Semakin panjang rantai asam amino gelatin

maka nilai viskositas gelatin akan semakin besar (Stainsby, 1977).

Peningkatan suhu akan mengakibatkan penurunan viskositas yang

menggambarkan berkurangnya hambatan aliran fluida. Suhu tinggi akan

memutuskan ikatan antar molekul larutan membentuk unit-unit yang lebih kecil

sehingga gaya geser yang diperlukan untuk menimbulkan laju geser akan menjadi

lebih kecil, sehingga fluida lebih mudah mengalir. Peningkatan konsentrasi gelatin

dan penurunan suhu akan meningkatkan viskositas larutan gelatin (Poppe, 1992).

Viskositas gelatin dipengaruhi oleh pH gelatin, temperatur, konsentrasi

dan teknik perlakuan seperti penambahan elektrolit lain dalam larutan gelatin.

Semakin tinggi konsentrasi gelatin maka viskositasnya akan semakin tinggi

(Stainsby, 1977). Semakin besar berat molekul maka laju aliran larutan semakin

lambat dan hal akan meningkatkan nilai viskositas. Menurut Jones (1977)

viskositas gelatin akan berpengaruh pada produk akhir suatu produk.

Berdasarkan analisis ragam faktorial didapatkan bahwa konsentrasi HCl,

suhu ekstraksi dan interaksi antara keduanya berbeda nyata (sig.< 0.05). Hal ini

menunjukkan bahwa konsentrasi HCl, suhu ekstraksi dan interaksi antara

keduanya memberikan hasil yang berbeda terhadap nilai viskositas gelatin.

Dari pengujian Duncan semua kombinasi perlakuan memberikan pengaruh

yang berbeda nyata. Nilai viskositas tertinggi didapat pada kombinasi perlakuan

konsentrasi HCl 4, 5 dan 6% dengan suhu ekstraksi 80 oC yaitu sebesar 6.8 cP,

perlakuan ini berbeda nyata dengan semua perlakuan suhu yang lain.

4.1.5 Kekuatan gel

Kekuatan gel sangat penting dalam penentuan perlakuan yang terbaik,

karena salah satu sifat penting gelatin adalah mampu mengubah cairan menjadi

gel yang bersifat reversibel. Kemampuan inilah yang menyebabkan gelatin sangat

luas penggunaannya, baik dalam bidang pangan maupun non pangan.

Kekuatan gel adalah salah satu parameter dari tekstur suatu bahan dan

(42)

gel didefinisikan sebagai besarnya kekuatan yang diperlukan oleh probe untuk menekan gel sampai pada kedalaman 4 mm dengan kecepatan 0,5 mm/s.

Dari hasil penelitian menunjukkan semakin tingginya suhu ekstraksi maka

nilai kekuatan gel semakin rendah. Hal ini disebabkan semakin tingginya suhu

ekstraksi maka akan terjadinya hidrolisis lanjutan pada kolagen yang sudah

menjadi gelatin dan menyebabkan pendeknya rantai asam amino sehingga

kekuatan gelnya rendah. Hasil kekuatan gel dalam bentuk histogram dapat dilihat

dalam Gambar 10:

Gambar 10. Kekuatan gel gelatin tulang ikan tuna (Thunnus sp)

Dari Histogram di atas dapat diketahui bahwa nilai kekuatan gel berkisar

antara 40-290 bloom. Pada suhu 80 oC didapatkan nilai rata-rata tertinggi dari

semua perlakuan suhu antara 175-290 bloom dan nilai terendah pada perlakuan

suhu 90 oC yaitu berkisar antara 40-72,5 bloom, nilai ini sangat rendah dan tidak

memenuhi syarat gelatin komersial. Menurut Tourtellote (1980) kekuatan gel

standar gelatin sebesar 75-300 bloom.

Rendahnya kekuatan gel pada suhu 90 oC diduga karena terjadinya

hidrolisis lanjutan yang menyebabkan pendeknya rantai asam amino. Rendahnya

nilai kekuatan gel pada suhu 90 oC dimungkinkan rendahnya konsentrasi gelatin

dan tingginya komponen non gelatin seperti tingginya kadar abu yang dapat

menurunkan mutu gelatin.

o

o

(43)

Menurut Glicksman (1969) kekuatan gel dan viskositas dipengaruhi oleh

asam, alkali dan panas yang akan merusak struktur gelatin sehingga tidak

terbentuk. Pembentukan gel merupakan hasil ikatan hidrogen antara molekul

gelatin sehingga dihasilkan gel semi padat yang terikat dalam komponen air.

Proses pembentukan gel juga terjadi karena adanya ikatan antar rantai polimer

sehingga membentuk struktur tiga dimensi yang mengandung pelarut di dalam

celahnya. Kerangka tiga dimensi dapat mengembang karena dapat menyerap air

secara osmosis dan mempertahankan bentuknya sehingga berubah menjadi zat

padat yang elastis jika diberi tekanan.

Lemahnya kemampuan protein dalam pengikatan air akan menurunkan

daya pembentukkan gel gelatin yang terbentuk, mengingat air adalah senyawa

pelarut yang akan digunakan untuk mengisi ruangan mikrokristal dalam

pembentukan gel. Sedikitnya jumlah protein yang mempunyai kemampuan

membentuk jaringan gel mengakibatkan gel yang terbentuk mudah pecah saat

ditekan dengan probe.

Perubahan-perubahan yang terjadi selama proses pembentukkan gel

tergantung pada kandungan asam amino spesifik yang masing-masing berbeda

pada setiap spesies, komponen protein, kemampuan pembentukan gel, kondisi

pada saat ekstraksi dan perlakuan yang diberikan.

Berdasarkan analisis ragam faktorial dapat diketahui konsentrasi HCl,

suhu ekstraksi dan interaksi keduanya berbeda nyata (sig.<0.05) hal ini

menunjukan bahwa perlakuan konsentrasi HCl, suhu ekstraksi dan interaksi antara

keduanya memberikan nilai yang berbeda terhadap kekuatan gel.

Dari uji lanjut Duncan hampir semua perlakuan memberikan pengaruh

yang berbeda terhadap nilai kekuatan gel. Perlakuan konsentrasi HCl 4% dengan

suhu 80 oC merupakan perlakuan terbaik dari kekuatan gel dan berbeda dengan

kombinasi perlakuan yang lainnya.

Dari hasil diatas kekuatan gel dan viskositas memiliki korelasi positif,

dimana semakin besar nilai kekuatan gel, maka nilai viskositas semakin tinggi.

Hal ini diduga karena kekuatan gel dan viskositas keduanya dipengaruhi asam

atau alkali, temperatur, konsentrasi gelatin dan penambahan elektrolit lain dalam

(44)

Berdasarkan hasil pengujian di atas, perlakuan perendaman HCl 4%

dengan suhu ekstraksi 80 oC mempunyai nilai pH, viskositas dan kekuatan gel

yang sangat tinggi, tetapi nilai rendemen pada kombinasi perlakuan ini rendah

sehingga tidak efisien bila dilihat dari segi ekonomisnya. Pada kombinasi

perlakuan perendaman HCl 6% dengan suhu ekstraksi 80 oC memiliki nilai

viskositas dan pH yang hampir sama dengan kombinasi HCl 4% dengan suhu

ekstraksi 80 oC, kekuatan gel yang lebih tinggi dibandingkan dengan kombinasi

perlakuan perendaman HCl 5% dengan suhu ekstraksi 80 oC. Kombinasi

perlakuan perendaman HCl 6% dengan suhu ekstraksi 80 oC memiliki nilai

rendemen yang tinggi dibandingkan kombinasi perlakuan yang lain, sehingga dari

segi ekonomis perlakuan inilah yang paling ekonomis untuk digunakan.

Kombinasi perlakuan perendaman konsentrasi HCl 6% dan suhu

ekstraksi 80 oC memenuhi kriteria standar gelatin, maka diambil perlakuan ini

sebagai perlakuan yang terbaik yang akan dilanjutkan kepada penelitian utama.

4.2.Penelitian Tahap Kedua

Pada penelitian utama dilakukan pengujian lebih lanjut sifat fisika-kimia

terhadap gelatin terbaik yaitu kombinasi perlakuan perendaman HCl 6% dengan

suhu ekstraksi 80 oC. Hasil pengujian tersebut akan dibandingkan dengan gelatin

tulang ikan kakap merah (Hadi, 2005) dan tulang ikan patin (Nurilmala, 2004).

Pengujian yang dilakukan adalah analisis proksimat gelatin yang meliputi

kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak, analisis titik gel, titik leleh,

titik isoelektrik, derajat putih dan asam amino.

4.2.1 Analisis proksimat

Gelatin tulang ikan tuna yang terpilih dilakukan analisis proksimat yang

meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak dan kadar protein. Hasil analisis

proksimat gelatin tulang ikan tuna, ikan kakap merah, dan ikan patin dapat dilihat

(45)

Tabel 6. Analisis proksimat gelatin tulang ikan tuna

Air merupakan komponen penting dalam suatu bahan pangan. Air dapat

berupa komponen intrasel dan ekstrasel dari suatu bahan pangan (deMan, 1989).

Air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, citarasa serta mutu bahan pangan

(Winarno, 1992).

Pengujian kadar air terhadap gelatin dimaksudkan untuk mengetahui

kandungan air dalam gelatin. Kadar air gelatin akan berpengaruh terhadap

daya simpan, karena erat kaitannya dengan aktivitas metabolisme yang terjadi

selama gelatin tersebut disimpan. Peranan air dalam bahan pangan merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas metabolisme seperti

aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan aktivitas kimiawi yaitu terjadinya

ketengikan dan reaksi-reaksi non enzimatik sehingga menimbulkan perubahan

sifat-sifat organoleptik dan nilai mutunya.

Hasil pengukuran kadar air dari ketiga jenis gelatin, menunjukan gelatin

dari tulang ikan tuna memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan ketiganya.

Hal ini diduga disebabkan oleh gelatin tulang ikan tuna lebih banyak kehilangan

air selama proses pengeringan, dimana suhu pengeringan sebesar 60 oC

selama 30 jam, suhu ini lebih tinggi dibandingkan suhu pada gelatin tulang ikan

kakap merah dan tulang ikan patin. Pada pembuatan gelatin tulang kakap merah

dan tulang patin menggunakan suhu 40 oC – 55 oC.

Nilai kadar air dari ketiga gelatin tersebut masih memenuhi standar mutu

gelatin yaitu maksimal 16% (SNI, 1995) dan standar JECFA (2003) yaitu

(46)

tuna cenderung menyerap air jika disimpan pada suhu ruang untuk mencapai titik

keseimbangan dengan kelembaban udara lingkungan. Pada kadar air 13% dan

suhu 25 oC gelatin mencapai titik keseimbangan dengan kelembaban udara

lingkungan yaitu RH 46%. (McCormick-Goodhart dalam Rusli, 2004)

4.2.1.2 Kadar abu

Abu adalah zat organik yang tidak ikut terbakar dalam proses pembakaran

zat organik. Zat tersebut diantaranya adalah natrium, klor, kalsium, fosfor,

magnesium dan belerang (winarno, 1992). Kadar abu dalam gelatin diduga

merupakan kalsium, tingginya kalsium dapat mengakibatkan warna gelatin dalam

larutan menjadi keruh (Jones, 1977).

Analisis kadar abu pada gelatin dilakukan untuk mengetahui secara umum

kandungan mineral yang terdapat dalam gelatin. Menurut Apriyantono et al.

bahwa nilai kadar abu suatu bahan pangan menunjukan besarnya jumlah mineral

yang terkandung dalam bahan pangan tersebut.

Nilai kadar abu dari ketiga jenis gelatin berbeda-beda dimana gelatin ikan

tuna mempunyai nilai 1,93, nilai ini masih memenuhi standar SNI (1995) yaitu

maksimum 3,35% dan JECFA (2003) yaitu maksimum 2%.

Besar kecilnya kadar abu ditentukan pada saat proses demineralisasi,

semakin banyaknya kalsium yang luruh maka kadar abu akan semakin rendah.

Pada saat perendaman asam klorida akan bereaksi dengan kalsium fosfat pada

tulang hal ini akan menghasilkan garam kalsium yang larut sehingga tulang

menjadi lunak. Reaksi yang terjadi adalah:

Ca3(PO4)2 + 6HCl 3CaCl2 + 2H3PO4

4.2.1.3 Kadar lemak

Penentuan kadar lemak gelatin cukup penting, karena lemak berpengaruh

terhadap perubahan mutu gelatin selama penyimpan. gelatin yang bermutu tinggi

diharapkan memiliki kandungan lemak yang rendah bahkan diharapkan tidak

mengandung lemak. Kerusakan lemak yang utama diakibatkan oleh proses

oksidasi sehingga timbul bau dan rasa tengik, yang disebut dengan proses

Gambar

Gambar 1.  Ikan tuna albacore
Gambar 2. Proses pembentukan gel pada gelatin (deMan 1997)
Gambar 3. Struktur kimia gelatin (Poppe, 1992)
Tabel 2. Standar mutu gelatin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat hidayah-Nya serta memberikan ketabahan, kekuatan, kemudahan dan kedamaian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan persentase substitusi labu kuning yang tepat pada pengolahan bakso ikan nila berdasarkan pengujian kimia yaitu

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa semua aplikasi perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap total mikroba selama penyimpanan, tetapi selama 6 hari penyimpanan,

Masyarakat yang hanya ingin memenuhi kebutuhannya sebagai seorang manusia biasa, pada akhirnya harus dihadapkan dengan berbagai macam pilihan yang beraneka ragam (atau pada

Ketiga, mereka pun memandang bahwa negara adalah sebagai lembaga politik yang sama sekali terpisah dari agama, kepala negara karenanya hanya mempunyai

Pelaksanaan supervisi dalam rangka memfasilitasi sekolah meningkatkan efektivitas kinerja dalam penerapan manajemen berbasis sekolah serta ,merapkan prinsip

Begitu juga dengan karakteristik filsafat Barat yang berbeda dengan karakteristik filsafat India, filsafat Cina, atau filsafat Islam..

(4) keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Berdasarkan hasil evaluasi dari Camat Banyuates tersebut maka dapat disimpulkan bahwa rancangan APBDesa